Anda di halaman 1dari 11

REFERAT

VAKSIN TIFOID

Oleh:
Ni Gusti Ayu Made Sintya Dwi Cahyani (H1A320015)
Yaumu Syifa Al Uzhma (H1A320048)

Pembimbing:
dr. Titi Pambudi Karuniawaty, M.Sc, Sp.A

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2021
A. Latar Belakang
Demam tifoid (selanjutnya disebut tifoid) merupakan penyakit infeksi akut
usus halus yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit menular ini masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan jumlah kasus sebanyak 22 juta
per tahun di dunia dan menyebabkan 216.000– 600.000 kematian. Studi yang
dilakukan di daerah urban di beberapa negara Asia pada anak usia 5–15 tahun
menunjukkan bahwa insidensi dengan biakan darah positif mencapai 180–194 per
100.000 anak, di Asia Selatan sebesar 400–500 per 100.000 penduduk, di Asia
Tenggara 100–200 per 100.000 penduduk, dan di Asia Timur Laut kurang dari
100 kasus per 100.000 penduduk. Komplikasi serius dapat terjadi hingga 10%,
khususnya pada individu yang menderita tifoid lebih dari 2 minggu dan tidak
mendapat pengobatan yang adekuat. Case Fatality Rate (CFR) diperkirakan 1–4%
dengan rasio 10 kali lebih tinggi pada anak usia lebih tua (4%) dibandingkan anak
usia ≤4 tahun (0,4%). Pada kasus yang tidak mendapatkan pengobatan, CFR
dapat meningkat hingga 20%.
Di Indonesia, tifoid harus mendapat perhatian serius dari berbagai pihak,
karena penyakit ini bersifat endemis dan mengancam kesehatan masyarakat.
Permasalahannya semakin kompleks dengan meningkatnya kasus-kasus karier
(carrier) atau relaps dan resistensi terhadap obat-obat yang dipakai, sehingga
menyulitkan upaya pengobatan dan pencegahan. Pada tahun 2008, angka
kesakitan tifoid di Indonesia dilaporkan sebesar 81,7 per 100.000 penduduk,
dengan sebaran menurut kelompok umur 0,0/100.000 penduduk (0–1 tahun),
148,7/100.000 penduduk (2–4 tahun), 180,3/100.000 (5-15 tahun), dan
51,2/100.000 (≥16 tahun). Angka ini menunjukkan bahwa penderita terbanyak
adalah pada kelompok usia 2-15 tahun. Hasil telaahan kasus di rumah sakit besar
di Indonesia menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan jumlah kasus
tifoid dari tahun ke tahun dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dan
kematian diperkirakan sekitar 0,6–5%. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007, prevalensi demam tifoid di Indonesia mencapai 1,7%.

2
Distribusi prevalensi tertinggi adalah pada usia 5–14 tahun (1,9%), usia 1–4 tahun
(1,6%), usia 15–24 tahun (1,5%) dan usia <1 tahun (0,8%).
Basil penyebab tifoid adalah Salmonella typhi dan paratyphi dari genus
Salmonella. Basil ini adalah gram negatif, bergerak, tidak berkapsul, tidak
membentuk spora, tetapi memiliki fimbria, bersifat aerob dan anaerob fakultatif.
Ukuran antara (2-4) x 0,6 µm. Suhu optimum untuk tumbuh adalah 37*C dengan
PH antara 6-8. Perlu diingat bahwa basil ini dapat hidup sampai beberapa minggu
di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Sedangkan reservoir
satu-satunya adalah manusia yaitu seseorang yang sedang sakit atau karier. Basil
ini dibunuh dengan pemanasan (suhu 60'C) selama 15-20 menit, pasteurisasi,
pendidihan dan khlorinisasi. Masa inkubasi tifoid 10-14 hari dan pada anak, masa
inkubasi ini lebih bervariasi berkisar 5-40 hari, dengan perjalanan penyakit
kadang-kadang juga tidak teratur. Pertumbuhan dalam kaldu: terjadi kekeruhan
menyeluruh sesudah dieramkan semalam tanpa pembentukan selaput. Pada agar
darah; koloninya besar bergaris tengah 2 sampai 3 mm, bulat agak cembung,
jernih, licin, dan tidak menyebabkan hemolisis.

B. Perkembangan Vaksin Demam Tifoid


Awalnya, salah satu vaksin yang digunakan untuk demam tifoid ialah
vaksin parenteral, yang merupakan seluruh sel Salmonella typhi yang dimatikan
dengan aseton atau yang dipanasi dengan phenol sebagai bahan pengawet. Vaksin
parenteral ini memberi daya perlindungan yang bervariasi di berbagai negara.
Dahulu, uji coba lapangan di dua tempat, yaitu Polandia dan Jugoslavia, memberi
perlindungan sebesar 51-86%, dan di pulau Tonga memberi perlindungan yang
kira-kira sama besarnya. Vaksin yang diberikan secara parenteral ini
menimbulkan gejala samping berupa demam dan badan lesu secara sistemik, rasa
sakit, indurasi dan kemerahan di tempat suntikan (lokal).
Walaupun efektivitasnya cukup besar, akan tetapi timbulnya gejala
samping yang sangat tidak menyenangkan, menyebabkan pemakaian vaksin ini
kurang popular, bahkan pemakaiannya di Indonesia secara nasional tidak

3
dianjurkan. Oleh sebab itu,Germanier dan Fuhrer, menemukan suatu vaksin oral
yang cukup poten, yang berasal dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan,
Ty21a. Vaksin oral ini, pada studi pendahuluan terhadap sukarelawan di Amerika
Utara, memberi perlindungan yang sangat bermakna tanpa adanya gejala
sampingan seperti yang terdapat pada vaksin parenteral.
Selain itu, uji coba di lapangan di Alexandria, Mesir oleh Wandan dkk10,
vaksin oral yang telah ditemukan pada waktu itu memberi dayapērlindungan
sebesar 95% untuk masa paling sedikit 3 tahun. Menyusul uji coba di Mesir, oleh
Levine dkk11, telah pula dilakukan uji coba di lapangan di Santiago, Chili.
Hasilnya sungguh di luar dugaan, karena memberi daya perlindungan yang
berbeda dengan uji coba di Mesir. Uji coba di Chili memberi perlindungan hanya
sebesar 54-62%.
Vaksin parenteral demam tifoid seperti vaksin Typa atau Chotypa,
sebenarnya sudah memberi daya perlindungan yang cukup lumayan akan tetapi
vaksin ini memberi gejala sampingan yang sangat mengganggu. Selain itu,
pemberian vaksinnya memerlukan persiapan dan peralatan suntik serta harus
diberikan oleh tenaga medis atau paramedis. Vaksin oral dari sel S. typhi yang
dimatikan, telah pula coba dipergunakan. Akan tetapi walaupun vaksin ini tidak
memberi gejala samping, vaksin ini tidak dapat dipergunakan karena tidak
memberi daya perlindungan yang memadai. Oleh karena itu vaksin oral kuman
hidup yang dilemahkan dari strain Ty21a penemuan Germanier, merupakan jalan
keluar sebagai usaha untuk memberantas penyakit demam tifoid melalui
imunisasi.
Mutasi galaktosa epimerase dari Salmonella typhi telah diisolasi oleh
Germanier. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa mutan ini memiliki potensi
untuk digunakan sebagai vaksin hidup yang dilemahkan dan digunakan secara
oral. Mutan ty21a, mengambil galaktosa dari sumber eksogen. Kemudian, setelah
terjadi akumulasi yang cukup dari galaktosa-1- fosfat serta galaktosa uridin
difosfat menyebabkan sel bakteri menjadi lisis sehingga mengakibatkan avirulensi
strain. Galaktosa dimasukkan kedalam dinding sel ty21a untuk memungkinkan

4
sintesis lipopolisakarida halus yang diperlukan untuk imunogenitas yang tepat. S.
typhi strain Ty21a yang dilemahkan, telah terbukti aman dan berkhasiat sebagai
vaksin oral dalam studi klinis dan uji coba lapangan terkontrol, yang secara
ekstensif dicirikan oleh data genetika, biokimia dan biologis. Karakteristik Ty21a
relevan dengan avirulensi dan potensinya. Avirulensi disebabkan karena defek
uridin difosfogalaktosa 4-epimerase pada strain Salmonella sehingga bakteri tidak
lagi memiliki antigen Vi tetapi masih mengandung polisakarida dinding sel yang
imunogenik. Vaksinasi primer terdiri dari 1 kapsul enterik berlapis atau
lyophilised sachet. Mekanisme vaksin ini menimbulkan antibody serum dan
mukosa untuk Salmonella typhi O, H, dan antigen lainnya melalui inisiasi respon
imun Cell Mediated Immune (sel T sitotoksik). Efikasi vaksin ini sekitar 50-78%
dan durasi perlindungan mencapai 3 sampai 4 tahun.

C. Mekanisme Kerja Vaksin Tifoid


Vaksin oral Ty21a hidup yang dilemahkan menyebabkan respons imun lokal di
saluran cerna. Strain yang dilemahkan menyebabkan biosintesis lipopolisakarida
yang menginduksi respon imun protektif. Sel-sel bakteri yang tidak aktif lisis
sebelum menyebabkan infeksi virulen karena penumpukan lipopolisakarida
intraseluler. Responnya membutuhkan empat dosis vaksin. Vaksinasi dengan
vaksin polisakarida Typhoid Vi menginduksi peningkatan antibodi anti-Vi.
Sebanyak 74%, efektif untuk mencegah infeksi pada anak-anak usia dua sampai
empat tahun selama 20 bulan masa follow up.

D. Jenis Vaksin Tifoid yang Tersedia di Indonesia


Di Indonesia saat ini telah tersedia 2 jenis vaksin tifoid, yaitu: 1) Vaksin Vi
kapsuler polisakarida dan 2) Vaksin kombinasi Vi kapsuler polisakarida dan
hepatitis A inaktif.

5
1. Vaksin Vi kapsuler polisakarida

Vaksin ini mengandung polisakarida Vi dari kapsul bakteri Salmonella.


Vaksin dapat mencapai level protektif setelah 2–3 minggu pemberian, dan
dapat diberikan pada usia ≥2 tahun. Vaksin tersedia dalam syringe siap pakai
(suntikan) 0,5ml yang berisi 25 mikrogram antigen Vi dalam buffer fenol
isotonik. Vaksin diberikan secara intramuskular (IM) di deltoid. Vaksinasi
ulangan dilakukan setiap 3 tahun. Kontraindikasi vaksin, yaitu pada keadaan
hipersensitif terhadap vaksin, ibu hamil, dan anak <2 tahun. Bila keadaan
sedang demam, pemberian vaksin sebaiknya ditunda, dan untuk ibu menyusui
perlu dikonsultasikan lebih lanjut ke dokter;
2. Vaksin kombinasi Vi kapsuler polisakarida dan hepatitis A inaktif

Vaksin kombinasi Vi kapsuler polisakarida dan hepatitis A inaktif (double).


Kelebihan vaksin ini lebih praktis dalam pemberian vaksin tifoid dan hepatitis
A. Tidak ada perbedaan efektivitas pemberian vaksin secara bersamaan

6
dengan pemberian vaksin tifoid dan hepatitis A secara terpisah. Vaksin dapat
mencapai level protektif setelah 2–3 minggu pemberian. Vaksin ini dapat
diberikan pada usia 16 tahun ke atas. Vaksin tersedia dalam bentuk dual-
chamber syringe (suntikan) siap pakai dengan volume 1 ml, masing-masing
0,5 ml untuk setiap vaksin. Vaksin diberikan secara intramuskular di deltoid
dan vaksinasi ulangan diberikan setiap 3 tahun. Kontra indikasi vaksin, yaitu
pada keadaan hipersensitif terhadap komponen vaksin, ibu hamil, dan ibu
menyusui.

E. Indikasi dan Kontraindikasi Vaksinasi Demam Tifoid


Ada dua vaksin berlisensi Amerika Serikat yang tersedia untuk Salmonella Typhi,
virus oral hidup yang dilemahkan, dan vaksin polisakarida injeksi. FDA
merekomendasikan kedua vaksin untuk individu yang berasal dari daerah non-
endemik yang bepergian ke daerah endemik. FDA juga direkomendasikan untuk
individu dengan paparan rumah tangga terhadap karier Salmonella Typhi kronis
atau bekerja di laboratorium dengan spesimen yang berpotensi terkontaminasi.
Vaksin oral virus hidup yang dilemahkan tidak boleh digunakan pada individu
dengan immunocompromised. Individu dengan immunocompromised termasuk
mereka yang mengidap HIV/AIDS, mereka yang menggunakan steroid selama
lebih dari dua minggu, atau siapa saja yang menderita kanker atau sedang
menjalani pengobatan kanker atau pengobatan radiasi. Tidak ada vaksin yang
diindikasikan untuk anak di bawah usia dua tahun. Vaksinasi diindikasikan untuk
individu yang pernah mengalami infeksi Salmonella Typhi sebelumnya jika
mereka tinggal di daerah non-endemik atau bepergian ke daerah endemik.
Vaksinasi harus diselesaikan dua minggu sebelum perjalanan untuk vaksin yang
disuntikkan dan satu minggu sebelum perjalanan untuk vaksin oral. Vaksin
polisakarida kapsular Vi injeksi dikontraindikasikan pada siapa saja yang
memiliki reaksi alergi terhadap komponen apa pun. Belum ada penelitian yang
dilakukan pada kehamilan, dan vaksinasi hanya dianjurkan jika benar-benar
diperlukan.

7
F. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi
1. Vaksin Injeksi Vi kapsuler polisakarida
Dalam beberapa percobaan, vaksin ini menghasilkan efek samping berikut;
nyeri di tempat suntikan (hingga 80% dari vaksin), eritema atau indurasi >1
cm (7%), demam (0-12%) dan sakit kepala (1,5– 3%). Dalam studi efektivitas
fase 4 yang melibatkan >37.000 peserta di India, efek samping yang umum
adalah eritema 4%, nyeri di tempat suntikan 18%, suhu aksila >37,5C 1% dan
kelelahan 4%.
2. Vaksin kombinasi Vi kapsuler polisakarida dan hepatitis A inaktif.
Pemberian vaksin ini dianggap aman. Nyeri di tempat suntikan adalah gejala
lokal yang paling sering dilaporkan dan sakit kepala adalah efek samping
sistemik yang paling sering dilaporkan. Semua gejala teratasi tanpa gejala
sisa.
G. Prosedur Vaksinasi
1. Syringe

8
 Syringe dimaksudkan untuk sekali pakai saja, tidak boleh digunakan
kembali, dan harus dibuang dengan benar dan segera setelah digunakan.
 Produk obat parenteral harus diperiksa secara visual untuk partikel dan
perubahan warna sebelum pemberian. Jika salah satu dari kondisi ini ada,
JANGAN berikan vaksin.
 Pada orang dewasa, injeksi intramuskular biasanya diberikan di deltoid.
 Pada anak-anak, injeksi intramuskular diberikan baik di deltoid atau paha
anterolateral.
 JANGAN menyuntikkan vaksin ini ke area gluteal atau area di mana
mungkin terdapat batang saraf.
 JANGAN menyuntikkan secara intravena.
2. Vial
 Robek segel atas tutup botol.
 Bersihkan bagian atas sumbat karet vial dengan antiseptik yang sesuai.
 Gunakan spuit dan jarum steril terpisah atau unit steril sekali pakai untuk
setiap pasien untuk mencegah penularan agen infeksi dari orang ke orang.

9
 Jarum tidak boleh ditutup kembali dan harus dibuang dengan benar.
 Produk obat parenteral harus diperiksa secara visual untuk partikel dan
perubahan warna sebelum pemberian. Jika salah satu dari kondisi ini ada,
JANGAN berikan vaksin.
 Pada orang dewasa, injeksi intramuskular biasanya diberikan di deltoid.
 Pada anak-anak, injeksi intramuskular diberikan baik di deltoid atau paha
anterolateral.
 JANGAN menyuntikkan vaksin ini ke area gluteal atau area di mana
mungkin terdapat batang saraf.
 JANGAN menyuntikkan secara intravena.
H. Penyimpanan
Simpan pada suhu 2° hingga 8°C (35° hingga 46°F). JANGAN sampai beku.
Buang jika vaksin telah beku.
I. Jadwal Imunisasi

10
DAFTAR PUSTAKA
1 Depkes, (2010). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
364/MENKES/SK/V/2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid.
Jakarta: Departeman Kesehatan Republik Indonesia.
2 IDAI, 2000. Jadwal Imunisasi Rekomendasi IDAI. Sari Pediatri, Volume 2,
pp. 43-7.

3 Elisabeth Purba, I., Wandra, T., Nugrahini, N., Nawawi, S., & Kandun, N.
(2016). Program Pengendalian Demam Tifoid di Indonesia: Tantangan dan
Peluang. Media Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan, 26(2), 99–108.
https://doi.org/10.22435/mpk.v26i2.5447.99-108

4 Boob, R. G. (1995). Typhoid vaccine. Indian Pediatrics, 32(10), 1138.


https://doi.org/10.5005/jp/books/12329_30

5 Hardianto, D. (2019). TELAAH METODE DIAGNOSIS CEPAT DAN


PENGOBATAN INFEKSI <em>Salmonella typhi</em>. Jurnal
Bioteknologi & Biosains Indonesia (JBBI), 6(1), 149.
https://doi.org/10.29122/jbbi.v6i1.2935

6 Levine, M. M., & Ferreccio, C. (1988). Typhoid Vaccines. The Lancet,


331(8578), 173. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(88)92736-5

11

Anda mungkin juga menyukai