Anda di halaman 1dari 15

Humaniora dalam Kedokteran

Aplikasi nilai-nilai humaniora dalam bidang ilmu kedokteran dan kesehatan

Humaniora Kesehatan

Juni 7, 2008 oleh shulhanamokhtar

Tulisan ini merupakan Bahan Ajar untuk mahasiswa Fakultas Kedokteran UMI, Makassar Angk.2007

HUMANIORA KESEHATan

I. PENDAHULUAN

A. Deskripsi

Humaniora merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari segala hal yang diciptakan atau
menjadi perhatian manusia baik itu ilmu filsafat, hukum, sejarah, bahasa, teologi, sastra, seni dan lain
sebagainya. Atau makna intrinsik nilai-nilai kemanusiaan (Kamus Umum Bahasa Indonesia). Dalam
bahasa Latin, humaniora artinya manusiawi.

Menurut Martiatmodjo, BS dalam “Catatan Kecil tentang Humaniora” dikatakan sebagai Ilmu Budaya
Dasar yang merupakan mata kuliah wajib di Perguruan Tinggi dan merupakan juga terjemahan dari
istilah Basic Humanities atau pendidikan humaniora. Humaniora ini menyajikan bahan pendidikan yang
mencerminkan keutuhan manusia dan membantu agar manusia menjadi lebih manusiawi. Martiatmodjo
menegaskan bahwa perlunya humaniora bagi pendidik berarti menempatkan manusia di tengah-tengah
proses pendidikan.

B. Manfaat/Relevansi
Lantas, apa relevansinya mempelajari humaniora bagi seorang dokter? Dokter adalah salah satu profesi
yang berhubungan langsung dengan manusia sebagai lawan interaksinya. Karena itu seorang dokter
harus mengetahui segala hal yang berkaitan dengan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai
makhluk sosial. Salah satunya dengan pengetahuan humaniora ini.

Sebetulnya, pengetahuan ini haruslah terintegrasi ke dalam seluruh kurikulum kedokteran (demikian
juga semua pokok bahasan yang ada dalam blok ini harus diintegrasikan ke dalam tiap-tiap blok). Karena
yang kita harapkan adalah lahirnya dokter-dokter yang tidak saja kompeten dalam keilmuannya, tapi
juga memiliki perilaku yang manusiawi, memperlakukan pasiennya seperti dirinya ingin diperlakukan.
Tentu saja perilaku tersebut tidak akan muncul tanpa adanya pengetahuan tentang apa dan bagaimana
sebetulnya sifat yang manusiawi itu.

Agar Anda dapat memahami dan selanjutnya dapat menerapkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam
humaniora, maka Anda diperkenalkan dengan pengetahuan ini. Tentu, pengetahuan ini sendiri belumlah
cukup untuk mencapai apa yang kita harapkan, tapi harus dipadukan dengan pengetahuan-pengetahuan
lain yang akan dipelajari di dalam blok ini.

C. Tujuan Instruksional Khusus

Mahasiswa mampu menerapkan prinsip-prinsip humaniora dalam Ilmu Kedokteran dan Kesehatan

II. PENYAJIAN

Apakah Anda pernah berpikir, ingin jadi dokter seperti apakah Anda kelak? Sudahkah Anda memiliki
bayangan dokter ideal itu seperti apa? Mungkin, Anda merasa tertarik melihat dokter yang mempunyai
kedudukan yang terhormat dalam masyarakat. Atau mungkin juga Anda takjub melihat banyak dokter
yang sejahtera dari segi finansial, segala apa yang menjadi standar kemewahan melekat pada mereka.
Atau Anda bangga melihat dokter mampu mempengaruhi jalan hidup seseorang, menyelamatkan nyawa
orang-orang di dekat Anda, memberi sentuhan keajaiban dalam takdir kehidupan orang lain.

Apapun yang ada dalam bayangan Anda, profesi dokter memiliki sejarah perjalanan yang lengkap.
Pengetahuan humaniora ini berusaha memberi gambaran pada kita bagaimana menjadi seorang dokter
yang sejatinya ideal, dokter yang manusiawi, yang berperilaku/berakhlak baik, berkepribadian
profesional. Untuk mendapatkan hasil di hilir yang baik, tentu kondisi di hulu sudah harus dipersiapkan
sebelumnya. Karena itu disajikan pengetahuan mengenai humaniora yang diharapkan dapat
memberikan kontribusi untuk dapat memahami lebih baik tentang makna kehidupan Anda sebagai
seorang dokter.
Mungkin saja terdapat anggapan bahwa masalah perilaku/akhlak baik dan sifat belas kasih merupakan
bawaan atau sifat lahiriah seseorang, bahkan ia adalah watak alami yang melekat pada seseorang sejak
dia dilahirkan, dan berkembang sesuai pengaruh lingkungannya. Menganggap sifat belas kasih atau
compassion bukanlah sesuatu yang dapat dipelajari, tetapi suatu materi yang akan berpindah secara
alami –melalui proses yang panjang- dari satu manusia ke manusia lain. Tapi bila kita kembali kepada jati
diri sebagai manusia yang penuh dengan kekurangan, maka kita tahu bahwa banyak hal yang harus kita
pelajari, cermati, hayati dan amalkan dalam hidup ini, apalagi bila dikaitkan dengan jati diri kita sebagai
seorang muslim. Dalam agama Islam diajarkan mengenai akhlak secara lengkap dan terperinci.
Bedanya, konsep akhlak adalah konsep akhirat, jadi berimplikasi tidak hanya di dunia ini saja.
Sedangkan, konsep humaniora yang akan kita bahas adalah konsep dunia, khususnya dunia medis jadi
implikasinya jelas di dunia medis juga. Namun, sebagai seorang muslim kita tentu percaya bahwa
semua aspek kehidupan kita di dunia ini pada akhirnya akan berdampak juga di akhirat kelak.

Sebetulnya, dalam kurikulum kita dikenal pendidikan ilmu budaya dasar yang menurut Martiatmodjo
merupakan juga terjemahan dari istilah Basic Humanities atau pendidikan humaniora. Hanya saja
penyajiannya jarang dikaitkan dengan kehidupan kita kelak sebagai seorang dokter, jadi pengetahuan
tersebut mengawang-awang, sangat idealis, sehingga mahasiswa sulit menerapkannya dalam realitas
kedokteran yang terkenal praktis. Padahal bagi komunitas medis, apa saja yang disentuhkan pada
kulitnya melalui kata medis, akan mudah melekat karena ada sekian banyak reseptor yang sensitif
dengan kata tersebut pada kulitnya. Karena itu dibutuhkan pengetahuan yang lebih integratif agar kita
menjadi paham arah dan tujuan pembelajaran kita.

Pengetahuan tentang humaniora sangat luas. Tapi bahasan kita dalam kuliah ini terbatas pada bidang
kehidupan kita sebagai dokter. Pengetahuan ini harus dapat diterapkan di segala bidang kehidupan
Anda kelak sebagai dokter. Bidang yang dimaksud antara lain:

Praktek kedokteran

Pelayanan kesehatan

Pendidikan kedokteran

Penelitian

Berbicara tentang humaniora, berarti berbicara tentang beberapa aspek yang memiliki pengertian yang
saling berkaitan, di antaranya mengenai humanisme, etika, kebudayaan dan perilaku. Humaniora
memberikan wadah bagi lahirnya makna intrinsik nilai-nilai humanisme. Humanisme sendiri adalah
aliran yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan/mencita-citakan pergaulan yang lebih baik.
Ada juga yang berpendapat humanisme sebagai sikap/tingkah laku mengenai perhatian manusia dengan
menekankan pada rasa belas kasih serta martabat individu.

Pengertian etika yang dipahami lebih luas di kalangan medis selama ini selalu menjadi jargon seorang
dokter. Etika kedokteran dalam kamus kedokteran Stedman dirumuskan sebagai principles of correct
professional conduct with regard to the rights of the physician himself, his patients, and his fellow
practitioners. Dengan kata lain etika dalam kedokteran merupakan prinsip-prinsip mengenai tingkah
laku profesional yang tepat berkaitan dengan hak dirinya sebagai dokter, hak pasiennya, dan hak teman
sejawatnya.

Bila dikaitkan dengan kebudayaan, maka seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dokter adalah suatu
profesi yang berhubungan langsung dengan manusia sebagai lawan interaksinya dalam konteks makhluk
yang sama berbudaya. Karena itu seorang dokter harus mengetahui segala hal yang berkaitan dengan
manusia, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Untuk membangun nilai-nilai sosial itu
agar tetap menjadi landasan bagi setiap dokter -terutama sebagai dokter muslim- dalam menjalani
kehidupan profesinya yang luas, maka disinilah pengetahuan kebudayaan menjadi konsep dasar dalam
membangun jati diri sebagai petugas layanan kesehatan.

Sehubungan dengan itu, penggunaan konsep perilaku di sini berada dalam pengertian ketunggalannya
dengan konsep kebudayaan. Perilaku seseorang, sedikit atau banyak, terkait dengan pengetahuan, nilai
dan norma dalam lingkungan-lingkungan sosialnya, demikian juga halnya dengan seorang dokter. Untuk
proses hulu, lingkungan pendidikan yang baik tentu akan mengantar seseorang untuk berperilaku yang
baik pula.

Ilmu kedokteran khususnya kedokteran umum yang menangani manusia jelas sangat paralel dengan
pengetahuan budaya yang berkaitan dengan hasil kesadaran manusia. Segala penalaran dokter sebagai
manusia akan sama dengan penalaran budi manusia. Ilmu kedokteran yang selalu memikirkan jasmani
dan rohani manusia akan selalu dituntut oleh keadaan lingkungan masyarakat. Salah pikir dari seorang
dokter berarti akan bertentangan dengan hati nurani manusia yang melekat dalam pribadi sang dokter.
Sebaliknya kesuksesan dokter akan selalu menjunjung tinggi dan mengangkat nama harumnya karena
segala kesuksesan itu tentu dilandasi oleh budi/pikiran manusia secara sadar. Lantas, bagaimana
kaitannya dengan humanisme?
Menurut Profesor U Mia Tu dari Myanmar dalam orasinya tentang humanisme dan etika dalam berbagai
bidang kedokteran, terminologi humanisme awalnya dikaitkan dengan pergeseran filosofi dan budaya
selama masa renaisans Eropa. Belakangan, maknanya bergeser menjadi sebuah sikap yang berkenaan
dengan perhatian manusia pada sesamanya dengan menekankan pada ‘compassion’ -belas kasihan- dan
martabat individual.

Secara tidak langsung, humanisme menyatakan suatu penghargaan kepada pasien sebagai seorang
individu; menunjukkan belas kasih dan mengerti akan rasa takut dan khawatir dalam diri pasiennya;
menyatakan suatu komunikasi yang berarti kepada pasien sebagai seseorang dan bukannya sebagai
sebuah penyakit. Lebih lanjut dia mengatakan, humanisme dalam kedokteran lebih dari sebuah etika.
Lebih dari sekedar menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang merugikan fisik dan mental pasien
karena kelalaian diri. Lebih dari yang sekedar tertulis dalam sumpah Hippocrates. Humanisme
merupakan tindakan positif, seperti halnya belas kasihan yang bukan sekedar perasaan prihatin kepada
penderitaan orang lain tapi menolong dengan memberi saran atau tindakan yang meringankan
penderitaannya. Namun sungguh mengejutkan karena definisi ‘belas kasihan’ tidak masuk dalam dua
kamus utama kedokteran – Dorland dan Stedman. Meskipun demikian, rasa belas kasih sama
pentingnya dengan pengetahuan ilmiah dan keterampilan pada seorang dokter yang humanistik.

Situasi apa yang menyebabkan sehingga humanisme dan etika mengilhami profesi kedokteran saat ini?
Apa yang telah terjadi sehingga menyebabkan banyak dokter-dokter senior menyuarakan
keprihatinannya terhadap kondisi profesi kita?

Jika kita mengamati sejenak, akan disadari betapa kita telah jauh menyimpang dari idealisme sebagai
dokter. Fenomena ini telah mendunia dan juga telah menyebar ke dalam negara kita. Bukan hanya
praktek medis dan perawatan pasien yang menyimpang dari idealisme sosial, bahkan konsep
humanisme menjadi sesuatu yang asing dalam pendidikan kedokteran dan dalam bidang penelitian
kedokteran. Benar bahwa etika kedokteran termasuk dalam kurikulum pada beberapa sekolah
kedokteran, namun diduga hal tersebut hanya sebagai metode resmi untuk menenangkan hati mereka.
Kenyataannya, dibutuhkan lebih dari sekedar memasukkan subjek etika kedokteran ke dalam kurikulum
agar lulusan kedokteran menjadikan humanisme dan perilaku etis sebagai sifat kedua mereka.

Seorang dokter bernama Assi Ba’l mengemukakan kerisauannya tentang profesi dokter saat ini.
Menurutnya ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya fenomena tersebut, antara lain:

· Pemisahan antara jasad dan jiwa


· Pemisahan antara pencegahan dan pengobatan

· Penghambaan diri terhadap teknologi modern

· Berlebihan dalam mengejar spesialisasi

· Perbedaan dalam tingkat pelayanan kesehatan

Karena tuntutan akan kompetensi profesi yang semakin meningkat, dokter-dokter berlomba dalam
menyempurnakan sisi keilmuannya. Kegamangan menghadapi masyarakat yang gemar menggugat,
ketakutan melakukan malapraktek, peningkatan kejahatan moral oleh praktisi medis, semua hal-hal
tersebut menyebabkan para dokter sangat fokus pada keahlian medis mereka. Mereka menjadi sangat
perhatian dalam menangani keluhan fisik pasien, yang penting pasien sembuh dari derita fisiknya.
Mereka tidak perlu repot-repot menangani jiwa pasien mereka, yang penting pasien itu belum masuk
kategori gila (silakan ke ahli jiwa kalau jiwa anda terganggu).

Untuk urusan pencegahan penyakit, diserahkan dengan hormat kepada teman-teman mereka, ahli
kesehatan masyarakat. ”Kami cukup mengobati mereka yang sakit. Kalau ikut-ikutan dalam program
pencegahan, bisa-bisa kita dituding mengambil lahan kerja mereka”. Begitu barangkali yang ada dalam
benak para dokter. Padahal sangat jelas bahwa para dokter pun diharapkan partisipasi aktifnya dalam
program pencegahan penyakit, bahkan mulai pada tahap awal dari five level prevention, yaitu promosi
kesehatan.

Perkembangan teknologi dalam dunia kesehatan begitu menggila belakangan ini. Seorang dokter tentu
tidak mau ketinggalan dalam bidang teknologi atau akan dicemoohkan oleh masyarakat -yang sudah
semakin kritis- tentang jati dirinya sebagai seorang profesional. Tidak ada istilah, dokter tidak mengerti
tentang perkembangan jaman, walaupun dokter itu baru saja kembali dari daerah terpencil yang harus
didiaminya selama dua-tiga tahun. Teknologi modern adalah suatu keharusan. Salah satu hal yang dapat
memfasilitasi kebutuhan itu adalah dengan bersekolah kembali, dan yang menjadi prioritas tentunya
pendidikan spesialisasi. Ikut pendidikan dokter spesialis tentunya akan membuat para dokter akan terus-
menerus berhubungan dengan perkembangan teknologi karena pusat pendidikan berada di kota-kota
besar. Tentu saja kita tidak dapat menyalahkan dokter yang berniat meneruskan minatnya pada ilmu
tertentu. Ditopang oleh kecenderungan masyarakat yang selalu mengandalkan dokter spesialis dan
bertindak merujuk dirinya sendiri langsung kepada seorang ahli, serta adanya jaminan income yang lebih
menjanjikan, membuat mereka berlomba-lomba meraih gelar tersebut.

Menurut Anda, apakah semua ini tidak cukup membuat seorang dokter merasa terbebani sehingga
punya waktu lagi untuk memikirkan perasaan pasiennya? Tidak cukupkah dia dapat menghilangkan
keluhan pasien-pasiennya dan meringankan derita fisik mereka? Dan ada apa dengan orang-orang di
sekelilingnya, toh mereka mempunyai kehidupan masing-masing yang tidak memerlukan campur tangan
batinnya, selama dia tidak merugikan mereka. This is our own life, marilah kita jalani sendiri-sendiri
tanpa saling mengganggu. Kita sendiri yang akan mempertanggungjawabkan kehidupan kita kelak. Ini
betul. Tapi apakah memang semuanya harus berjalan demikian? Betulkah semata-mata tangan dingin
sang dokter saja yang dibutuhkan dalam menyelesaikan masalah pasiennya? Mari kita lihat bagaimana
humaniora memandang kehidupan seorang dokter.

Humanisme dan etika dalam praktek kedokteran

Merawat orang sakit pada level fundamental berakar pada jiwa manusia dan humanisme. Misalnya
seorang ibu yang merawat anak atau bayinya yang sedang sakit, kenalan/keluarga sekitarnya
menawarkan bantuan berupa saran/nasihat dimanapun diinginkan, sementara seorang wanita tua di
antara para warga merespon permintaan bantuan ibu tadi. Mereka semua tidak memiliki motif yang
berkaitan dengan uang dalam memberikan bantuan, tapi dilandasi atas dasar belas kasih.

Pada level yang berbeda, sejak jaman dahulu orang-orang suci, pendeta, tabib dan dukun telah merawat
orang-orang sakit karena adanya keyakinan bahwa penyakit adalah manifestasi dari pengaruh iblis yang
dilakukan dengan perantaraan tuhan atau makhluk supernatural atau manusia lain. Motif mereka dalam
menyembuhkan orang sakit mungkin tidak sepenuhnya untuk kepentingan orang sakit tersebut karena
mereka memperoleh keuntungan dalam tatanan sosial atas bantuan tersebut, disamping adanya
kekuasaan dan otoritas yang diberikan pada mereka dalam masyarakat.

Saat hal tersebut dikaitkan dengan profesi dokter, kita diyakinkan bahwa masalah sosialnya berakar
pada sikap humanisme, belas kasih terhadap penderitaan pasien, dan keinginan untuk memberikan
pelayanan kesehatan. Dokter praktek dan spesialis saat ini memiliki hubungan dokter-pasien ’one-to-
one’ yang unik dan sangat pribadi, melibatkan kepatuhan, ketergantungan, dan kepercayaan yang utuh
dari pasien terhadap otoritas, pengetahuan dan keterampilan dokternya. Dengan otoritas tersebut
terciptalah unsur kewajiban sosial untuk melayani dengan belas kasih kepada mereka yang percaya dan
bergantung kepada kita.

Tetapi martabat dan status profesi dokter dulunya tidak setinggi seperti yang kita lihat sekarang.
Misalnya pada jaman India kuno, hanya dokter kerajaan yang memiliki status yang tinggi. Dokter pada
jaman itu dianggap tidak berdarah murni dan tidak pernah diundang pada acara-acara sesajian untuk
dewa-dewa. Kasta Brahmana tidak seharusnya menerima makanan dari seorang dokter karena dianggap
najis/kotor (Rao & Radhalaksmi,1960). Pada masa kekaisaran Roma, dokter adalah pekerja berat, orang
liar, orang asing, dan pengobatan dianggap sebagai pekerjaan rendah. Di Inggris abad ke-18, dokter
bedah dan ahli obat-obatan dianggap seperti pedagang dan termasuk kelas pinggiran. Bahkan
sekurangnya di abad 19, dokter di Perancis sangat miskin dan statusnya juga rendah (Starr, 1949).

Namun, dengan perkembangan dan kemajuan ilmu kedokteran dan kemampuan para dokter
mempengaruhi perjalanan penyakit secara radikal, bermula di akhir abad ke-19, secara perlahan
kedokteran berubah statusnya dari sekedar tukang/pekerja berat menjadi sebuah profesi dan
bersamaan dengan itu kekuasaan dan martabat profesi dokter juga meningkat seterusnya hingga di
abad 20 ini.

Dengan tercapainya status profesi itu, segala yang menjadi karakter sebuah profesi juga didapatkan.
Kedokteran memiliki otonomi, mengontrol semua yang ingin memasuki profesi ini, menetapkan standar
kompetensi melalui pelatihan termasuk teori, bukan hanya keterampilan seperti pada pekerjaan tukang.
Profesi kedokteran selanjutnya menyusun lembaga profesi struktural (asosiasi, publikasi, sekolah
kedokteran yang dapat dikontrol) dan bertujuan memberikan pelayanan yang humanistik kepada
masyarakat untuk kepentingan mereka.

Prinsip-prinsip etika telah menjadi bagian yang mendasar sejak masa awal dan berkaitan dengan
kewajiban dan tanggung-jawab seorang dokter. Namun harus dicatat, bahwa semua pernyataan tentang
etika dapat disesuaikan secara profesional dengan dunia medis. Dan tidak satupun yang berkenaan
dengan aspek humanistik.

Pola praktek dokter pada awal abad delapanbelas bersifat ‘biaya pelayanan tunggal’ yaitu seorang
dokter memberikan pelayanan medis dan untuk itu dia dibayar, baik berupa uang maupun berupa hasil-
hasil pertanian seperti yang masih terdapat di negara-negara berkembang di beberapa daerah dan desa
yang miskin. Ini adalah masa dokter pedesaan atau dokter ‘kuno’ atau dokter keluarga yang mengetahui
dengan baik keluarga tersebut, berkeliling ke rumah-rumah, dan bertindak sebagai ‘teman dan
penuntun yang dapat dipercaya’, di samping merawat orang-orang sakit dalam keluarga itu.

Perkembangan kota-kota besar dan rumah-rumah sakit di abad 18 dan 19 membuat dokter-dokter desa
perlahan menghilang dan semakin banyak dokter menetap di daerah kota untuk berpraktek. Hilangnya
dokter pedesaan atau dokter keluarga memulai timbulnya ‘pelayanan dehumanisasi’ di rumah-rumah
sakit.

Dalam dekade terakhir abad 20, pola praktek di negara-negara industri berubah sama sekali dengan
ekonomi berorientasi pasar. Dari praktek mandiri, sekarang kebanyakan dokter praktek berkelompok di
bawah persetujuan formal penggunaan fasilitas dan peralatan medis bersama-sama dan pendapatan
didistrubusikan sesuai perjanjian awal dengan melibatkan personalia kesehatan.

Kalangan bisnis melihat pasar besar dalam lapangan kesehatan, hasilnya adalah meningkatnya
komersialisasi layanan medis dan bertumbuhnya industri medis yang kompleks. Kedokteran tidak lagi
merupakan industri rakyat seperti saat dokter berpraktek mandiri. Manager di bidang kesehatan ini –
ekonom dan CEO (pejabat eksekutif), yang semakin sering memutuskan jenis praktek pelayanan dan
jenis organisasi dibandingkan para dokter. Harga-harga obat melambung dan penggunaan peralatan
medis yang canggih berkonsekuensi dengan pembayaran yang tinggi. Telah dikatakan, semakin dokter
bergantung pada teknologi semata, semakin mereka kehilangan rasa kemanusiaannya, yang berujung
pada ‘pelayanan dehumanisasi’. Hal tersebut ditambah dengan ketakutan akan tuntutan malapraktek,
dokter membayar asuransi untuk dirinya, yang tentu berdampak pada pasien sehingga biaya layanan
kesehatan semakin tinggi.

Perubahan ini mewarnai sikap dan tingkah laku profesi yang menekankan pada aspek finansial dan
teknologi dalam terapi dan merusak panggilan altruistik dan humanistik sang dokter.

Lagi menurut Profesor Tu, seorang dokter di Myanmar menelaah sebuah film bergenre kedokteran,
berjudul “Patch Adam”. Dia tertarik pada kritik sang pemain, yang berperan sebagai dr. Hunter Adam:
“Anda bahkan tidak melihat kepada pasien saat Anda berbicara pada mereka” dan saat dia berbicara
melawan Badan Medis: “Kematian bukanlah musuh, saudara-saudara, tapi sebuah kelalaian. Anda
menangani penyakit, hasilnya kalah atau menang. Anda menangani pasien, anda akan menang
bagaimanapun hasil akhirnya”.
Keadaan ini pun sudah terlihat di negara kita. Ada berapa banyak dokter yang betul-betul menangani
pasiennya dengan rasa belas kasih? Saya tidak menyatakan bahwa tidak ada dokter yang memiliki rasa
belas kasih karena saya mengenal beberapa dokter yang betul-betul menangani pasiennya dengan hati.

Tapi, pemandangan seperti itu sangat jarang kita rasakan. Banyak dokter melayani pasiennya dengan
senyum, ramah, sopan dan penuh tatakrama, tapi yang kita bicarakan dalam kaitannya dengan
humanisme adalah dokter melayani pasiennya dengan melihat ke dalam perasaan pasiennya.
Menampakkan pengertian akan derita pasiennya dan tidak semata-mata memburu apa yang menjadi
diagnosis agar pengobatannya tepat dan pasien ini segera menyingkir dari kehidupannya yang cukup
sibuk.

Anda keliru jika menyangka pasien tidak membutuhkan sentuhan

humanisme, dan tepat jika menduga bahwa mereka akan lebih nyaman dengan dokter yang menatap
mereka saat melakukan anamnesis dan memperlihatkan sikap menerima dan mengerti akan segala
keluhannya. Itu tidak sulit dilakukan. Tempatkan saja diri Anda pada posisi mereka. Lalu nilai, situasi
mana yang lebih Anda sukai, ditangani oleh dokter yang berwajah dingin yang sibuk meneliti penyakit
Anda atau oleh dokter yang menunjukkan perasaan kasih akan tiap keluhan Anda.

Humanisme dan etika dalam pelayanan kesehatan

Sejak jaman dulu, pemegang kekuasaan bertanggung-jawab terhadap kesehatan rakyatnya. Raja pada
jaman Indis kuno membangun tempat untuk orang-orang sakit dan cacat, bahkan tempat khusus
semacam rumah sakit untuk kebidanan dan bedah. Kerajaan Romawi mengatur tempat layanan
kesehatan untuk orang-orang miskin yang akan dikunjungi oleh dokter-dokter umum untuk memberikan
pemeriksaan kesehatan yang dibutuhkan.

Pada saat Abad Kegelapan baru saja terangkat dari Eropa, kedokteran di negara-negara Arab sangat
berkembang. Terdapat rumah-rumah sakit yang besar di Damascus, Kordoba, dan Kairo yang
memperhatikan segala aspek dari layanan kesehatan termasuk aspek humanistik seperti sisi spiritualnya
(memperdengarkan Al-Quran sepanjang saat tanpa henti), aspek-aspek estetika (seperti memainkan
musik lembut di malam hari untuk membantu mereka yang sulit tidur), dan aspek-aspek yang dapat
meningkatkan semangat mereka (seperti membacakan kisah-kisah yang menggugah jiwa pasien).
Bahkan pasien diberikan sejumlah uang yang dapat menutupi kekurangan semasa sakit, hingga mereka
mampu kembali bekerja (Guthrie, 1958). Ini adalah pendekatan yang betul-betul manusiawi.

Pelayanan kesehatan di Eropa, khususnya Inggris relatif terlambat. Butuh terjadinya suatu epidemi
(kolera) untuk terbentuknya Badan Kesehatan sebagai badan resmi walaupun sebelumnya negara telah
megambil alih langkah darurat jika terjadi penyakit epidemik. Perkembangan spektakuler di dunia medis
pada masa-masa setelahnya mengubah pola tingkah dokter dan pelayanan kesehatan. Teknologi
tersebut membutuhkan biaya yang mahal sehingga tidak mampu digapai oleh masyarakat miskin.
Ditambah lagi dengan dokter-dokter yang terlatih di rumah sakit yang sangat sedikit dibekali dengan
kemampuan untuk menghadapi masalah kesehatan dalam masyarakat dan perkembangan baru dalam
pelayanan kesehatan. Sekarang ini, dikembangkan filosofi baru mengenai pelayanan kesehatan berbasis
persamaan dan keadilan sosial yang berakhir pada gerakan Pelayanan Kesehatan Primer dan Kesehatan
untuk Semua (World Health Organisation, 1981)

Seperti telah disebutkan sebelumnya, dalam era pasar ekonomi, kedokteran telah menjadi bisnis besar
hingga di negara-negara berkembang. Karena bisnis bersifat mengejar keuntungan, biaya pelayanan
kesehatan akhirnya meningkat. Dan akibatnya pelayanan terhadap masyarakat miskin terabaikan.
Idealnya, dokter mampu melakukan praktek hingga menyentuh seluruh lapisan masyarakat, agar nilai-
nilai humanisme tetap terjaga. Tentu, secara pribadi hal tersebut sulit dilaksanakan. Tapi, jika penentu
kebijakan terutama dalam bidang kesehatan memperhatikan masalah ini dan berangkat dengan
keikhlasan untuk berbuat demi kemanusiaan, maka teknologi yang tercanggih sekalipun dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat banyak.

Humaniora dan etika dalam pendidikan kedokteran

Lantas, apa yang bisa menjadikan seorang dokter memiliki kemampuan teknis sekaligus sikap humanistik
dalam perilaku profesinya? Apakah itu bagian dari pelatihan dan pendidikan mahasiswa kedokteran
dengan melihat contoh dari para dosennya? Mari kita lihat bagaimana humanisme dalam pendidikan
kedokteran.
Baik di dunia barat maupun dalam budaya timur, pelatihan untuk menjadi seorang dokter bermula dari
sistem magang, yaitu suatu sistem pelatihan yang bersifat desentralisasi di mana murid dan gurunya
terikat dalam suatu hubungan pribadi. Sejak jaman dulu, murid kedokteran di India misalnya, tinggal di
rumah gurunya dan bahkan menjadi anggota keluarga yang ikut mengerjakan segala pekerjaan rumah
sang guru. Karena kontak yang sangat dekat dengan gurunya, seorang murid tidak hanya belajar dari
guru, tapi menyerap filosofi, sikap, tingkah laku moral, nilai-nilai dan metode hidupnya serta cara guru
menghadapi pasiennya, singkatnya ‘bedside manner’ sang guru tadi.

Karena kebutuhan akan dokter dan ahli bedah semakin meningkat, perubahan sistem pelatihan
mengalami perubahan. Kerajaan Romawi mengambil alih pelatihan dokter dengan menunjuk guru-
gurunya. Di negara-negara Islam, pendidikan kedokteran telah berjalan dengan baik. Mereka
ditempatkan di rumah sakit untuk pendidikan kedokteran. Warga yang kaya membangun rumah-rumah
sakit yang mempekerjakan dokter-dokter handal yang bertanggung-jawab dalam penanganan pasien
sekaligus mengajar murid-murid kedokteran.

Sekolah-sekolah kedokteran di Eropa pada abad 9 hingga 13 menjadikan pendidikan kedokteran sebagai
basis dan memberikan gelar dokter setelah melalui suatu pendidikan dan ujian tertentu. Fakultas
kedokteran ini tidak hanya melatih para dokter tetapi juga mengontrol tindakan mereka. Dengan
semakin banyaknya mahasiswa yang dilatih di rumah sakit, keadaan pasien yang sebenarnya terabaikan.
Metode pengajaran klinis dengan jumlah mahasiswa yang besar berdampak buruk pada pasien. Dan
metode ini diadaptasi oleh semua sentra pendidikan kedokteran di dunia.

Sekarang kita mungkin dapat melihatnya di rumah-rumah sakit, beberapa pasien mengeluh jika terlalu
banyak disentuh oleh mahasiswa (ko-ass). Mereka menghindar untuk dirawat di rumah sakit pendidikan
karena merasa dijadikan orang coba oleh para ko-ass, terurama pasien-pasien dari golongan menengah
ke atas. Sebetulnya keadaan ini dapat kita hindari bersama. Pasien tentu tidak akan mengeluh jika tidak
merasa dirinya hanya dijadikan objek pembelajaran. Caranya tentu dengan menanamkan kepercayaan
kepada pasien dan masyarakat umumnya. Dan itu dapat dimulai dari Anda, sebagai calon dokter.

Sebagai mahasiswa, Anda harus betul-betul memahami semua yang Anda pelajari selama proses
pendidikan dan menguasai seluruh kompetensi yang sudah ditetapkan. Jika kelak Anda dipercayakan
untuk memegang pasien pada saat kepanitraan klinik dan dapat menunjukkan bahwa sebagai
mahasiswa kedokteran Anda cukup handal, maka pasien akan dengan senang hati mempercayakan
penanganan penyakitnya pada Anda . Apalagi jika dibarengi dengan tindakan yang etis dan penuh
sentuhan manusiawi, tidak akan ada pasien yang menolak Anda. Kita harus benar-benar tulus
menghadapi mereka, mendengar keluhan mereka dengan sabar, memperhatikan apa yang menjadi
persoalan sesungguhnya bagi mereka. Ingatlah pepatah bijak orang tua kita bahwa apa yang dilakukan
dari hati sampainya ke hati juga.

Dengan begitu, Anda dapat melalui proses pendidikan kedokteran dengan baik karena sebenarnyalah
hubungan yang terjadi antara Anda dengan pasien tadi adalah hubungan kerjasama. Anda, sebagai
mahasiswa, membutuhkan mereka. Maka buatlah mereka pun membutuhkan Anda.

Dalam pendidikan tentang bioetik dan humaniora ini, Anda akan banyak dibekali dengan pengetahuan
tentang etika terutama saat Anda telah menjadi dokter. Namun sebenarnya, prinsip-prinsip etika telah
tertuang secara lengkap dalam Islam, yaitu dalam ilmu tentang akhlak. Bahkan ilmu ini tidak terbatas
kepada profesi dokter saja, tapi memayungi semua insan yang mengaku sebagai muslim. Jadi, saat
sekarang pun prinsip-prinsip etika sudah harus kita jalankan karena akhlak -yang sumbernya jelas dari
Allah SWT- berimplikasi pada akhirat yang mengikat muslim yang berakal dan dewasa, yaitu kita semua.

Selama masa pendidikan, Anda akan berhubungan dengan dosen, sesama mahasiswa, pegawai di
lingkungan Anda, dan orang-orang dalam lingkungan kampus. Sekarang ini adalah masa yang tepat bagi
Anda untuk melatih diri bagaimana bersikap menjadi dokter yang baik.

Selama masa pendidikan, Anda akan berhubungan dengan dosen, sesama mahasiswa, pegawai di
lingkungan Anda, dan orang-orang dalam lingkungan kampus. Sekarang ini adalah masa yang tepat bagi
Anda untuk melatih diri bagaimana bersikap menjadi dokter yang baik. Betul bahwa setiap orang
memiliki karakter yang berbeda, tapi sikap dan perilaku yang baik bukannya tidak dapat diamalkan.
Sebagai contoh, dalam berdiskusi dengan teman-teman Anda, seringkali terjadi benturan pendapat.
Walaupun Anda yakin bahwa pendapat Andalah yang benar, dan didukung oleh beberapa teman yang
lain, sangat tidak bijak jika Anda langsung menyalahkan dan mematahkan pendapat teman Anda.
Apalagi jika yang Anda serang adalah pribadinya, bukan opininya.

Belum lagi jika menghadapi persoalan yang berbeda, adanya beban tugas dari dosen yang tidak habis-
habis (walaupun alasan bahwa hal tersebut untuk kepentingan mahasiswa sendiri kadang sulit diterima),
dan waktu yang terasa sangat menghimpit, tentu akan sulit bagi kita untuk tetap bersikap stabil.
Masalahnya, kita tidak punya pilihan selain menghadapinya. Kita menerima pengakuan sebagai pribadi
dewasa, jadi sudah seharusnya kita menyadari konsekuensi dari suatu pilihan. Anda memilih untuk
menjadi dokter, berarti sedikit banyaknya Anda tahu seperti apa profesi ini.
Dari segi keterampilan, kompetensi yang dikehendaki dijelaskan oleh masing-masing sub divisi
pendidikan kedokteran. Dengan sistem integrasi yang baru diterapkan, Anda diharapkan memiliki
keterampiln klinis yang lebih terarah. Keaktifan dari Anda sebagai mahasiswa diharapkan karena
pembelajaran ini memang dipusatkan pada Anda (student-centered learning). Para pendidik di bidang
kedokteran sepakat bahwa tujuan pembelajaran yang baru ini adalah mengarahkan pendidikan
kedokteran kepada pengalaman berbasis komunitas, model yang berpusat pada pembelajar sehingga
memungkinkan dokter untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat sekaligus berpraktek dengan
berbekal pengetahuan dan keterampilan yang memasukkan aspek-aspek psikososial dan biologi dalam
pelayanan kesehatan.

Humanisme dan etika dalam penelitian dan pengembangan ilmu kedokteran

Kesadaran sosial, tanggung jawab sosial dan akuntabilitas sosial telah menjadi ciri profesi dokter, dan
karakteristik ini dapat diterapkan juga kepada para peneliti di bidang kedokteran. Etika dan humanisme
dapat diaplikasikan ke dalam seluruh spektrum kegiatan penelitian, mulai dari pemilihan topik
penelitian, hingga pada cara penelitian yang dilakukan dan pada aplikasi hasil penelitian dan
pengembangan.

Misalnya dalam memilih topik penelitian, harus disadari bahwa peneliti memiliki tanggung jawab sosial
untuk mencoba mencari solusi dari masalah-masalah yang paling banyak menyebabkan munculnya
penyakit dan penderitaan dalam masyarakat.

Dalam melakukan percobaan yang melibatkan manusia sebagai relawan, peneliti haruslah dibawah
kontrol etis yang ketat. Dan seperti halnya seorang dokter harus memiliki perilaku medis yang baik
dengan hubungan manusiawi dengan pasiennya, begitu juga seharusnya seorang peneliti.

Tanggung jawab dan akuntabilitas sosial dalam penelitian dimaksudkan agar penelitian tersebut
dilakukan bukan hanya untuk kepentingannya saja. Peneliti diwajibkan melihat kegunaan hasil
penelitiannya. Jadi hasilnya tidak hanya berakhir di kertas jurnal saja, tapi harus mencapai ke penentu
kebijakan, pembuat keputusan dalam pelayanan kesehatan, dan para profesi di bidang kesehatan serta
para konsumen.

Daftar Pustaka

Assi Ba’l, Z.A.: Dokter-dokter, Bagaimana Akhlakmu, Gema Insani Press, Jakarta, 1992

•Prasetya, J.T.,: Ilmu Budaya Dasar, Rineka Cipta, Jakarta, 1998

Samil, RS. Etika Kedokteran Indonesia. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohrdjo. Jakarta. 2001

Tu, U.M. Humanism and Ethics in Medical Practice, Health Service, Medical Education and Medical
Research, dalam The First Myanmar Academy of Medical Science Oration. Myanmar.2001.

Anda mungkin juga menyukai