Anda di halaman 1dari 17

H UMANIORA DALAM K EDOKTERAN

Humaniora Kesehatan
Juni 7, 2008 oleh shulhanamokhtar
Tulisan ini merupakan Bahan Ajar untuk mahasiswa Fakultas Kedokteran UMI,
Makassar yang mengambil Blok Bioetik, Humaniora dan Profesionalisme

HUMANIORA KESEHATAN
PENDAHULUAN
 Deskripsi

Humaniora merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari segala hal


yang diciptakan atau menjadi perhatian manusia baik itu ilmu filsafat, hukum,
sejarah, bahasa, teologi, sastra, seni dan lain sebagainya. Atau makna intrinsik
nilai-nilai kemanusiaan (Kamus Umum Bahasa Indonesia). Dalam bahasa Latin,
humaniora artinya manusiawi.

Menurut Martiatmodjo, BS dalam “Catatan Kecil tentang Humaniora” dikatakan


sebagai Ilmu Budaya Dasar yang merupakan mata kuliah wajib di Perguruan
Tinggi dan merupakan juga terjemahan dari istilah Basic Humanities atau
pendidikan humaniora.  Humaniora ini menyajikan bahan pendidikan yang
mencerminkan keutuhan manusia dan membantu agar manusia menjadi lebih
manusiawi. Martiatmodjo menegaskan bahwa perlunya humaniora bagi pendidik
berarti menempatkan manusia di tengah-tengah proses pendidikan.
 Manfaat/Relevansi

Lantas, apa relevansinya mempelajari humaniora bagi seorang dokter? Dokter


adalah salah satu profesi yang berhubungan langsung dengan manusia sebagai
lawan interaksinya. Karena itu seorang dokter harus mengetahui segala hal
yang berkaitan dengan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai
makhluk sosial. Salah satunya dengan pengetahuan humaniora ini.

Sebetulnya, pengetahuan ini haruslah terintegrasi ke dalam seluruh kurikulum


kedokteran (demikian juga semua pokok bahasan yang ada dalam blok ini
harus diintegrasikan ke dalam tiap-tiap blok). Karena yang kita harapkan
adalah lahirnya dokter-dokter yang tidak saja kompeten dalam keilmuannya,
tapi juga memiliki perilaku yang manusiawi, memperlakukan pasiennya
seperti dirinya ingin diperlakukan. Tentu saja perilaku tersebut tidak akan
muncul tanpa adanya pengetahuan tentang apa dan bagaimana sebetulnya sifat
yang manusiawi itu.
ADVERTISEMENT
REPORT THIS AD

Agar Anda dapat memahami dan selanjutnya dapat menerapkan prinsip-prinsip


yang terkandung dalam humaniora, maka Anda diperkenalkan dengan
pengetahuan ini. Tentu, pengetahuan ini sendiri belumlah cukup untuk
mencapai apa yang kita harapkan, tapi harus dipadukan dengan pengetahuan-
pengetahuan lain yang akan dipelajari di dalam blok ini.
 Sasaran Pembelajaran

Diharapkan setelah mempelajari mata kuliah ini, sebagai mahasiswa Anda


mampu menerapkan prinsip-prinsip humaniora dalam Ilmu Kedokteran dan
Kesehatan. Namun, di dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI)
2012, yang menjadi acuan dasar dalam penyelenggaraan pendidikan profesi
dokter, dapat diuraikan beberapa kompetensi yang diinginkan (disebut sebagai
area kompetensi), yaitu:
1. Profesionalitas yang luhur
2. Mawas diri dan pengembangan diri
3. Komunikasi efektif

Dari ke-tujuh area kompetensi, memang hanya tiga area saja yang barkaitan
erat dengan pokok bahasan ini. Jika diuraikan, masing-masing area kompetensi
memiliki komponen-komponen kompetensi. Namun, yang menjadi kompetensi
inti dari masing-masing area tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mampu melaksanakan praktik kedokteran yang profesional
sesuai dengan nilai dan prinsip ketuhanan, moral luhur, etika,
disiplin, hukum dan sosial budaya.
2. Melakukan praktik kedokteran dengan menyadari
keterbatasan, mengatasi masalah personal, mengembangkan
diri dan mengikuti penyegaran dan peningkatan pengetahuan
secara berkesinambungan serta mengembangkan
pengetahuan demi keselamatan pasien.
3. Mampu menggali dan bertukar informasi secara verbal dan
non verbal dengan pasien pada semua usia, anggota
keluarga, masyarakat, kolega dan profesi lainnya.
 PENYAJIAN

Apakah Anda pernah berpikir, ingin jadi dokter seperti apakah Anda kelak?
Sudahkah Anda memiliki bayangan dokter ideal itu seperti apa? Mungkin, Anda
merasa tertarik melihat dokter yang mempunyai kedudukan yang terhormat
dalam masyarakat. Atau mungkin juga Anda takjub melihat banyak dokter yang
sejahtera dari segi finansial, segala apa yang menjadi standar kemewahan
melekat pada mereka. Atau Anda bangga melihat dokter mampu
mempengaruhi jalan hidup seseorang, menyelamatkan nyawa orang-orang di
dekat Anda, memberi sentuhan keajaiban dalam takdir kehidupan orang lain.

Apapun yang ada dalam bayangan Anda, profesi dokter memiliki sejarah
perjalanan yang lengkap. Pengetahuan humaniora ini berusaha memberi
gambaran pada kita bagaimana menjadi seorang dokter yang sejatinya ideal,
dokter yang manusiawi, yang berperilaku/berakhlak baik, berkepribadian
profesional. Untuk mendapatkan hasil di hilir yang baik, tentu kondisi di hulu
sudah harus dipersiapkan sebelumnya. Karena itu disajikan pengetahuan
mengenai humaniora yang diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk
dapat memahami lebih baik tentang makna kehidupan Anda sebagai seorang
dokter.

Mungkin saja terdapat anggapan bahwa masalah perilaku/akhlak baik dan sifat
belas kasih merupakan bawaan atau sifat lahiriah seseorang, bahkan ia adalah 
watak alami yang melekat pada seseorang sejak dia dilahirkan, dan
berkembang sesuai pengaruh lingkungannya. Menganggap sifat belas kasih
atau compassion  bukanlah sesuatu yang dapat dipelajari, tetapi suatu materi
yang akan berpindah secara alami –melalui proses yang panjang- dari satu
manusia ke manusia lain. Tapi bila kita kembali kepada jati diri sebagai manusia
yang penuh dengan kekurangan, maka kita tahu bahwa banyak hal yang harus
kita pelajari, cermati, hayati dan amalkan dalam hidup ini, apalagi bila dikaitkan
dengan jati diri kita sebagai seorang muslim. Dalam agama Islam diajarkan
mengenai akhlak secara lengkap dan terperinci. Bedanya, konsep akhlak adalah
konsep akhirat, jadi berimplikasi tidak hanya di dunia ini saja. Sedangkan
konsep humaniora yang akan kita bahas adalah konsep dunia, khususnya dunia
medis, jadi implikasinya jelas di dunia medis juga. Namun, sebagai seorang
muslim kita tentu percaya bahwa semua aspek kehidupan kita di dunia ini pada
akhirnya akan berdampak juga di akhirat kelak.

Seorang anak, jika dia diperlakukan seperti layaknya manusia lain ingin
diperlakukan, maka dia akan tumbuh menjadi seorang yang humanis. Jika dia
diperlakukan dengan akhlak yang baik, niscaya dia pun akan tumbuh dengan
akhlak yang baik. Itulah sebabnya sebelum kita bertindak sebagai seorang
dokter yang menangani manusia, maka kita harus bisa memahami manusia itu
sendiri.

Sebetulnya, dalam kurikulum kita dikenal pendidikan ilmu budaya dasar yang
menurut Martiatmodjo merupakan juga terjemahan dari istilah Basic
Humanities atau pendidikan humaniora. Hanya saja penyajiannya jarang
dikaitkan dengan kehidupan kita kelak sebagai seorang dokter, jadi
pengetahuan tersebut mengawang-awang, sangat idealis, sehingga mahasiswa
sulit menerapkannya dalam realitas kedokteran yang terkenal praktis. Padahal
bagi komunitas medis, apa saja yang disentuhkan pada kulitnya melalui kata
medis, akan mudah melekat karena ada sekian banyak reseptor yang sensitif
dengan kata tersebut pada kulitnya. Karena itu dibutuhkan pengetahuan yang
lebih integratif agar kita menjadi paham arah dan tujuan pembelajaran kita.

Pengetahuan tentang humaniora sangat luas. Tapi bahasan kita dalam kuliah ini
terbatas pada bidang kehidupan kita sebagai dokter. Pengetahuan ini harus
dapat diterapkan di segala bidang kehidupan Anda kelak sebagai dokter. Bidang
yang dimaksud antara lain:
 Praktik kedokteran
 Pelayanan kesehatan
 Pendidikan kedokteran
 Penelitian
Berbicara tentang humaniora, berarti berbicara tentang beberapa aspek yang
memiliki pengertian yang saling berkaitan, di antaranya mengenai humanisme,
etika, kebudayaan dan perilaku. Humaniora memberikan wadah bagi lahirnya
makna intrinsik nilai-nilai humanisme. Humanisme sendiri adalah aliran yang
bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan/mencita-citakan pergaulan
yang lebih baik. Ada juga yang berpendapat humanisme sebagai sikap/tingkah
laku mengenai perhatian manusia dengan menekankan pada rasa belas kasih
serta martabat individu.
Pengertian etika yang dipahami lebih luas di kalangan medis selama ini selalu
menjadi jargon seorang dokter. Etika kedokteran dalam kamus kedokteran
Stedman dirumuskan sebagai principles of correct professional conduct
with regard to the rights of the physician himself, his patients, and his
fellow practitioners. Dengan kata lain etika dalam kedokteran merupakan
prinsip-prinsip mengenai tingkah laku profesional yang tepat berkaitan dengan
hak dirinya sebagai dokter, hak pasiennya, dan hak teman sejawatnya.

Bila dikaitkan dengan kebudayaan, maka seperti yang telah disebutkan


sebelumnya, dokter adalah suatu profesi yang berhubungan langsung dengan
manusia sebagai lawan interaksinya dalam konteks makhluk yang sama
berbudaya. Karena itu seorang dokter harus mengetahui segala hal yang
berkaitan dengan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk
sosial. Untuk membangun nilai-nilai sosial itu agar tetap menjadi landasan bagi
setiap dokter -terutama sebagai dokter muslim- dalam menjalani kehidupan
profesinya yang luas, maka disinilah pengetahuan kebudayaan menjadi konsep
dasar dalam membangun jati diri sebagai petugas layanan kesehatan.

Sehubungan dengan itu, penggunaan konsep perilaku di sini berada dalam


pengertian ketunggalannya dengan konsep kebudayaan. Perilaku seseorang,
sedikit atau banyak, terkait dengan pengetahuan, nilai dan norma dalam
lingkungan-lingkungan sosialnya, demikian juga halnya dengan seorang dokter.
Untuk proses hulu, lingkungan pendidikan yang baik tentu akan mengantar
seseorang untuk berperilaku yang baik pula.

Ilmu kedokteran khususnya kedokteran umum yang menangani manusia jelas


sangat paralel dengan pengetahuan budaya yang berkaitan dengan hasil
kesadaran manusia. Segala penalaran dokter sebagai manusia akan sama
dengan penalaran budi manusia. Ilmu kedokteran yang selalu memikirkan
jasmani dan rohani manusia akan selalu dituntut oleh keadaan lingkungan
masyarakat. Salah pikir dari seorang dokter berarti akan bertentangan dengan
hati nurani manusia yang melekat dalam pribadi sang dokter. Sebaliknya
kesuksesan dokter akan selalu menjunjung tinggi dan mengangkat nama
harumnya karena segala kesuksesan itu tentu dilandasi oleh budi/pikiran
manusia secara sadar. Lantas, bagaimana kaitannya dengan humanisme?

Menurut Profesor U Mia Tu dari Myanmar dalam orasinya tentang humanisme


dan etika dalam berbagai bidang kedokteran, terminologi humanisme awalnya
dikaitkan dengan pergeseran filosofi dan budaya selama masa renaisans Eropa.
Belakangan, maknanya bergeser menjadi sebuah sikap yang berkenaan dengan
perhatian manusia pada sesamanya dengan menekankan pada ‘compassion’ -
belas kasihan- dan martabat individual.
Secara tidak langsung, humanisme menyatakan suatu penghargaan kepada
pasien sebagai seorang individu; menunjukkan belas kasih dan
mengerti akan rasa takut dan khawatir dalam diri pasiennya;
menyatakan suatu komunikasi yang berarti kepada pasien sebagai
seseorang dan  bukannya sebagai sebuah penyakit. Lebih lanjut dia
mengatakan, humanisme dalam kedokteran lebih dari sebuah etika. Lebih dari
sekedar menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang merugikan fisik dan
mental pasien karena kelalaian diri. Lebih dari yang sekedar tertulis dalam
sumpah Hippocrates. Humanisme merupakan tindakan positif, seperti
halnya belas kasihan yang bukan sekedar perasaan prihatin kepada
penderitaan orang lain tapi menolong dengan memberi saran atau
tindakan yang meringankan penderitaannya. Namun sungguh
mengejutkan karena definisi ‘belas kasihan’ tidak masuk dalam dua kamus
utama kedokteran – Dorland dan Stedman. Meskipun demikian, rasa belas
kasih sama pentingnya dengan pengetahuan ilmiah dan keterampilan pada
seorang dokter yang humanistik.

Situasi apa yang menyebabkan sehingga humanisme dan etika mengilhami


profesi kedokteran saat ini? Apa yang telah terjadi sehingga menyebabkan
banyak dokter-dokter senior menyuarakan keprihatinannya terhadap kondisi
profesi kita?

Jika kita mengamati sejenak, akan disadari betapa kita telah jauh menyimpang
dari idealisme sebagai dokter. Fenomena ini telah mendunia dan juga telah
menyebar ke dalam negara kita. Bukan hanya praktik medis dan perawatan
pasien yang menyimpang dari idealisme sosial, bahkan konsep humanisme
menjadi sesuatu yang asing dalam pendidikan kedokteran dan dalam bidang
penelitian kedokteran. Benar bahwa etika kedokteran termasuk dalam
kurikulum pada beberapa sekolah kedokteran, namun diduga hal tersebut
hanya sebagai metode resmi untuk menenangkan hati mereka. Kenyataannya,
dibutuhkan lebih dari sekedar memasukkan subjek etika kedokteran ke dalam
kurikulum agar lulusan kedokteran menjadikan humanisme dan perilaku etis
sebagai sifat kedua mereka.

Seorang dokter bernama Assi Ba’l mengemukakan kerisauannya tentang profesi


dokter saat ini. Menurutnya ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya
fenomena tersebut, antara lain:
 Pemisahan antara jasad dan jiwa
 Pemisahan antara pencegahan dan pengobatan
 Penghambaan diri terhadap teknologi modern
 Berlebihan dalam mengejar spesialisasi
 Perbedaan dalam tingkat pelayanan kesehatan

Karena tuntutan akan kompetensi profesi yang semakin meningkat, dokter-


dokter berlomba dalam menyempurnakan sisi keilmuannya. Kegamangan
menghadapi masyarakat yang gemar menggugat, ketakutan melakukan
malapraktik, peningkatan kejahatan moral oleh praktisi medis, semua hal-hal
tersebut menyebabkan para dokter sangat fokus pada keahlian medis mereka.
Mereka menjadi sangat perhatian dalam menangani keluhan fisik pasien, yang
penting pasien sembuh dari derita fisiknya. Mereka tidak perlu repot-repot
menangani jiwa pasien mereka, yang penting pasien itu belum masuk kategori
gila (silakan ke ahli jiwa kalau jiwa anda terganggu).

Untuk urusan pencegahan penyakit, diserahkan dengan hormat kepada teman-


teman mereka, ahli kesehatan masyarakat. ”Kami cukup mengobati mereka
yang sakit. Kalau ikut-ikutan dalam program pencegahan, bisa-bisa kita
dituding mengambil lahan kerja mereka”. Begitu barangkali yang ada dalam
benak para dokter. Padahal sangat jelas bahwa para dokter pun diharapkan
partisipasi aktifnya dalam program pencegahan penyakit, bahkan mulai pada
tahap awal dari five level prevention, yaitu promosi kesehatan.
Perkembangan teknologi dalam dunia kesehatan begitu menggila belakangan
ini. Seorang dokter tentu tidak mau ketinggalan dalam bidang teknologi atau
akan dicemoohkan oleh masyarakat -yang sudah semakin kritis- tentang jati
dirinya sebagai seorang profesional. Tidak ada istilah, dokter tidak mengerti
tentang perkembangan jaman, walaupun dokter itu baru saja kembali dari
daerah terpencil yang harus didiaminya selama dua-tiga tahun. Teknologi
modern adalah suatu keharusan. Salah satu hal yang dapat memfasilitasi
kebutuhan itu adalah dengan  bersekolah kembali, dan yang menjadi prioritas
tentunya pendidikan spesialisasi. Ikut pendidikan dokter spesialis tentunya akan
membuat para dokter akan terus-menerus berhubungan dengan perkembangan
teknologi karena pusat pendidikan berada di kota-kota besar. Tentu saja kita
tidak dapat menyalahkan dokter yang berniat meneruskan minatnya pada ilmu
tertentu. Ditopang oleh kecenderungan masyarakat yang selalu mengandalkan
dokter spesialis dan bertindak merujuk dirinya sendiri langsung kepada seorang
ahli, serta adanya jaminan income yang lebih menjanjikan, membuat mereka
berlomba-lomba meraih gelar tersebut.
Menurut Anda, apakah semua ini tidak cukup membuat seorang dokter merasa
terbebani sehingga punya waktu lagi untuk memikirkan perasaan pasiennya?
Tidak cukupkah dia dapat menghilangkan keluhan pasien-pasiennya dan
meringankan derita fisik mereka? Dan ada apa dengan orang-orang di
sekelilingnya, toh mereka mempunyai kehidupan masing-masing yang tidak
memerlukan campur tangan batinnya, selama dia tidak merugikan mereka. This
is our own life, marilah kita jalani sendiri-sendiri tanpa saling mengganggu. Kita
sendiri yang akan mempertanggungjawabkan kehidupan kita kelak. Ini betul.
Tapi apakah memang semuanya harus berjalan demikian? Betulkah semata-
mata tangan dingin sang dokter saja yang dibutuhkan dalam menyelesaikan
masalah pasiennya? Mari kita lihat bagaimana humaniora memandang
kehidupan seorang dokter.
Humanisme dan etika dalam praktik kedokteran

Merawat orang sakit pada level fundamental berakar pada jiwa manusia dan
humanisme. Misalnya seorang ibu yang merawat anak atau bayinya yang
sedang sakit, kenalan/keluarga sekitarnya menawarkan bantuan berupa
saran/nasihat dimanapun diinginkan, sementara seorang wanita tua di antara
para warga merespon permintaan bantuan ibu tadi. Mereka semua tidak
memiliki motif  yang berkaitan dengan uang dalam memberikan bantuan, tapi
dilandasi atas dasar belas kasih.

Pada level yang berbeda, sejak jaman dahulu orang-orang suci, pendeta, tabib
dan dukun telah merawat orang-orang sakit karena adanya keyakinan bahwa
penyakit adalah manifestasi dari pengaruh iblis yang dilakukan dengan
perantaraan tuhan atau makhluk supernatural atau manusia lain. Motif mereka
dalam menyembuhkan orang sakit mungkin tidak sepenuhnya untuk
kepentingan orang sakit tersebut karena mereka memperoleh keuntungan
dalam tatanan sosial atas bantuan tersebut, disamping adanya kekuasaan dan
otoritas yang diberikan pada mereka dalam masyarakat.

Saat hal tersebut dikaitkan dengan profesi dokter, kita diyakinkan bahwa
masalah sosialnya berakar pada sikap humanisme, belas kasih terhadap
penderitaan pasien, dan keinginan untuk memberikan pelayanan kesehatan.
Dokter praktik dan spesialis saat ini memiliki hubungan dokter-pasien ’one-to-
one’ yang unik dan sangat pribadi, melibatkan kepatuhan, ketergantungan, dan
kepercayaan yang utuh dari pasien terhadap otoritas, pengetahuan dan
keterampilan dokternya. Dengan otoritas tersebut terciptalah unsur kewajiban
sosial untuk melayani dengan belas kasih kepada mereka yang percaya dan
bergantung kepada kita.

Tetapi martabat dan status profesi dokter dulunya tidak setinggi seperti yang
kita lihat sekarang. Misalnya pada jaman India kuno, hanya dokter kerajaan
yang memiliki status yang tinggi. Dokter pada jaman itu dianggap tidak
berdarah murni dan tidak pernah diundang pada acara-acara sesajian untuk
dewa-dewa. Kasta Brahmana tidak seharusnya menerima makanan dari
seorang dokter karena dianggap najis/kotor (Rao & Radhalaksmi,1960). Pada
masa kekaisaran Roma, dokter adalah pekerja berat, orang liar, orang asing,
dan pengobatan dianggap sebagai pekerjaan rendah. Di Inggris abad ke-18,
dokter bedah dan ahli obat-obatan dianggap seperti pedagang dan termasuk
kelas pinggiran. Bahkan sekurangnya di abad 19, dokter di Perancis sangat
miskin dan statusnya juga rendah (Starr, 1949).
Namun, dengan perkembangan dan kemajuan ilmu kedokteran dan
kemampuan para dokter mempengaruhi perjalanan penyakit secara radikal,
bermula di akhir abad ke-19, secara perlahan kedokteran berubah statusnya
dari sekedar tukang/pekerja berat menjadi sebuah profesi dan bersamaan
dengan itu kekuasaan dan martabat profesi dokter juga meningkat seterusnya
hingga di abad 20 ini.

Dengan tercapainya status profesi itu, segala yang menjadi karakter sebuah
profesi juga didapatkan. Kedokteran memiliki otonomi, mengontrol semua yang
ingin memasuki profesi ini, menetapkan standar kompetensi melalui pelatihan
termasuk teori, bukan hanya keterampilan seperti pada pekerjaan tukang.
Profesi kedokteran selanjutnya menyusun lembaga profesi struktural (asosiasi,
publikasi, sekolah kedokteran yang dapat dikontrol) dan bertujuan memberikan
pelayanan yang humanistik kepada masyarakat untuk kepentingan mereka.

Prinsip-prinsip etika telah menjadi bagian yang mendasar sejak masa awal dan
berkaitan dengan kewajiban dan tanggung-jawab seorang dokter. Namun harus
dicatat, bahwa semua pernyataan tentang etika dapat disesuaikan secara
profesional dengan dunia medis. Dan tidak satupun yang berkenaan dengan
aspek humanistik.

Pola praktik dokter pada awal abad delapanbelas bersifat ‘biaya pelayanan
tunggal’ yaitu seorang dokter memberikan pelayanan medis dan untuk itu dia
dibayar, baik berupa uang maupun berupa hasil-hasil pertanian seperti yang
masih terdapat di negara-negara berkembang di beberapa daerah dan desa
yang miskin. Ini adalah masa dokter pedesaan atau dokter ‘kuno’ atau dokter
keluarga yang mengetahui dengan baik keluarga tersebut, berkeliling ke
rumah-rumah, dan bertindak sebagai ‘teman dan penuntun yang dapat
dipercaya’, di samping merawat orang-orang sakit dalam keluarga itu.

Perkembangan kota-kota besar dan rumah-rumah sakit di abad 18 dan 19


membuat dokter-dokter desa perlahan menghilang dan semakin banyak dokter
menetap di daerah kota untuk berpraktik. Hilangnya dokter pedesaan atau
dokter keluarga memulai timbulnya ‘pelayanan dehumanisasi’ di rumah-rumah
sakit.
Dalam dekade terakhir abad 20, pola praktik di negara-negara industri berubah
sama sekali dengan ekonomi berorientasi pasar. Dari praktik mandiri, sekarang
kebanyakan dokter praktik berkelompok di bawah persetujuan formal
penggunaan fasilitas dan peralatan medis bersama-sama dan pendapatan
didistrubusikan sesuai perjanjian awal dengan melibatkan personalia kesehatan.

Kalangan bisnis melihat pasar besar dalam lapangan kesehatan, hasilnya adalah
meningkatnya komersialisasi layanan medis dan bertumbuhnya industri medis
yang kompleks. Kedokteran tidak lagi merupakan industri rakyat seperti saat
dokter berpraktik mandiri. Manager di bidang kesehatan ini – ekonom dan CEO
(pejabat eksekutif), yang semakin sering memutuskan jenis praktik pelayanan
dan jenis organisasi dibandingkan para dokter. Harga-harga obat melambung
dan penggunaan peralatan medis yang canggih berkonsekuensi dengan
pembayaran yang tinggi. Telah dikatakan, semakin dokter bergantung pada
teknologi semata, semakin mereka kehilangan rasa kemanusiaannya, yang
berujung pada ‘pelayanan dehumanisasi’. Hal tersebut ditambah dengan
ketakutan akan tuntutan malapraktik, dokter membayar asuransi untuk dirinya,
yang tentu berdampak pada pasien sehingga biaya layanan kesehatan semakin
tinggi.

Perubahan ini mewarnai sikap dan tingkah laku profesi yang menekankan pada
aspek finansial dan teknologi dalam terapi dan merusak panggilan altruistik dan
humanistik sang dokter.

Lagi menurut Profesor Tu, seorang dokter di Myanmar menelaah sebuah film
bergenre kedokteran, berjudul “Patch Adam”. Dia tertarik pada kritik sang
pemain, yang berperan sebagai dr. Hunter Adam:  “Anda bahkan tidak melihat
kepada pasien saat Anda berbicara pada mereka” dan saat dia berbicara
melawan Badan Medis: “Kematian bukanlah musuh, saudara-saudara, tapi
sebuah kelalaian. Anda menangani penyakit, hasilnya kalah atau menang. Anda
menangani pasien, anda akan menang bagaimanapun hasil akhirnya”.

Keadaan ini pun sudah terlihat di negara kita. Ada berapa banyak dokter yang
betul-betul menangani pasiennya dengan rasa belas kasih? Saya tidak
menyatakan bahwa tidak ada dokter yang memiliki rasa belas kasih karena
saya mengenal beberapa dokter yang betul-betul menangani pasiennya dengan
penuh perasaan. Tapi, pemandangan seperti itu sangat jarang kita saksikan.
Banyak dokter melayani pasiennya dengan senyum, ramah, sopan dan penuh
tatakrama, tapi yang kita bicarakan dalam kaitannya dengan humanisme adalah
dokter melayani pasiennya dengan melihat ke dalam perasaan pasiennya.
Menampakkan pengertian akan derita pasiennya dan tidak semata-mata
memburu apa yang menjadi diagnosis  agar pengobatannya tepat dan pasien ini
segera menyingkir dari kehidupannya yang cukup sibuk. Dengan kata lain,
hubungan yang tercipta berlatar ‘patient-oriented’, bukan ‘disease-oriented’
sehingga dokter bisa memberikan penanganan yang bersifat holistik.

Anda keliru jika menyangka pasien tidak membutuhkan sentuhan humanisme,


dan tepat jika menduga bahwa mereka akan lebih nyaman dengan dokter yang
menatap mereka saat melakukan anamnesis dan memperlihatkan sikap
menerima dan mengerti akan segala keluhannya. Itu tidak sulit dilakukan.
Tempatkan saja diri Anda pada posisi mereka. Lalu nilai, situasi mana yang
lebih Anda sukai, ditangani oleh dokter yang berwajah dingin yang sibuk
meneliti penyakit Anda atau oleh dokter yang menunjukkan perasaan kasih
akan tiap keluhan Anda.

Humanisme dan etika dalam pelayanan kesehatan

Sejak jaman dulu, pemegang kekuasaan bertanggung-jawab terhadap


kesehatan rakyatnya. Raja pada jaman Indis kuno membangun tempat untuk
orang-orang sakit dan cacat, bahkan tempat khusus semacam rumah sakit
untuk kebidanan dan bedah. Kerajaan Romawi mengatur tempat layanan
kesehatan untuk orang-orang miskin yang akan dikunjungi oleh dokter-dokter
umum untuk memberikan pemeriksaan kesehatan yang dibutuhkan.

Pada saat Abad Kegelapan baru saja terangkat dari Eropa, kedokteran di
negara-negara Arab sangat berkembang. Terdapat rumah-rumah sakit yang
besar di Damascus, Kordoba, dan Kairo yang memperhatikan segala aspek dari
layanan kesehatan termasuk aspek humanistik seperti sisi spiritualnya
(memperdengarkan Al-Quran sepanjang saat tanpa henti), aspek-aspek
estetika (seperti memainkan musik lembut di malam hari untuk membantu
mereka yang sulit tidur), dan aspek-aspek yang dapat meningkatkan semangat
mereka (seperti membacakan kisah-kisah yang menggugah jiwa pasien).
Bahkan pasien diberikan sejumlah uang yang dapat menutupi kekurangan
semasa sakit, hingga mereka mampu kembali bekerja (Guthrie, 1958). Ini
adalah pendekatan yang betul-betul manusiawi.

Pelayanan kesehatan di Eropa, khususnya Inggris relatif terlambat. Butuh


terjadinya suatu epidemi (kolera) untuk terbentuknya Badan Kesehatan sebagai
badan resmi walaupun sebelumnya negara telah megambil alih langkah darurat
jika terjadi penyakit epidemik. Perkembangan spektakuler di dunia medis pada
masa-masa setelahnya mengubah pola tingkah dokter dan pelayanan
kesehatan.

Namun teknologi tersebut membutuhkan biaya yang mahal sehingga tidak


mampu digapai oleh masyarakat miskin. Ditambah lagi dengan dokter-dokter
yang terlatih di rumah sakit yang sangat sedikit dibekali dengan kemampuan
untuk menghadapi masalah kesehatan dalam masyarakat dan perkembangan
baru dalam pelayanan kesehatan.

Masih menurut Profesor Tu, dalam era pasar ekonomi, kedokteran telah
menjadi bisnis besar hingga di negara-negara berkembang. Karena bisnis
bersifat mengejar keuntungan, biaya pelayanan kesehatan akhirnya meningkat.
Dan akibatnya pelayanan terhadap masyarakat miskin terabaikan. Idealnya,
dokter mampu melakukan praktik hingga menyentuh seluruh lapisan
masyarakat, agar nilai-nilai humanisme tetap terjaga. Tentu, secara pribadi hal
tersebut sulit dilaksanakan. Tapi, jika penentu kebijakan terutama dalam bidang
kesehatan memperhatikan masalah ini dan berangkat dengan keikhlasan untuk
berbuat demi kemanusiaan, maka teknologi yang tercanggih sekalipun dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat banyak. Sekarang ini, dikembangkan filosofi
baru mengenai pelayanan kesehatan berbasis persamaan dan keadilan sosial
yang berakhir pada gerakan Pelayanan Kesehatan Primer dan Kesehatan untuk
Semua (World Health Organisation, 1981).

Humanisme dan etika dalam pendidikan kedokteran

Lantas, apa yang bisa menjadikan seorang dokter memiliki kemampuan teknis
sekaligus sikap humanistik dalam perilaku profesinya? Apakah itu bagian dari
pelatihan dan pendidikan mahasiswa kedokteran dengan melihat contoh dari
para dosennya? Mari kita lihat bagaimana humanisme dalam pendidikan
kedokteran.

Baik di dunia barat maupun dalam budaya timur, pelatihan untuk menjadi
seorang dokter bermula dari sistem magang, yaitu suatu sistem pelatihan yang
bersifat desentralisasi di mana murid dan gurunya terikat dalam suatu
hubungan pribadi. Sejak jaman dulu, murid kedokteran di India misalnya,
tinggal di rumah gurunya dan bahkan menjadi anggota keluarga yang ikut
mengerjakan segala pekerjaan rumah sang guru. Karena kontak yang sangat
dekat dengan gurunya, seorang murid tidak hanya belajar dari guru, tapi
menyerap filosofi, sikap, tingkah laku moral, nilai-nilai dan metode hidupnya
serta cara guru menghadapi pasiennya, singkatnya ‘bedside manner’ sang guru
tadi.

Karena kebutuhan akan dokter dan ahli bedah semakin meningkat, perubahan
sistem pelatihan mengalami perubahan. Kerajaan Romawi mengambil alih
pelatihan dokter dengan menunjuk guru-gurunya. Di negara-negara Islam,
pendidikan kedokteran telah berjalan dengan baik. Mereka ditempatkan di
rumah sakit untuk pendidikan kedokteran. Warga yang kaya membangun
rumah-rumah sakit yang mempekerjakan dokter-dokter handal yang
bertanggung-jawab dalam penanganan pasien sekaligus mengajar murid-murid
kedokteran.

Sekolah-sekolah kedokteran di Eropa pada abad 9 hingga 13  menjadikan


pendidikan kedokteran sebagai basis dan memberikan gelar dokter setelah
melalui suatu pendidikan dan ujian tertentu. Fakultas kedokteran ini tidak
hanya melatih para dokter tetapi juga mengontrol tindakan mereka. Dengan
semakin banyaknya mahasiswa yang dilatih di rumah sakit, keadaan pasien
yang sebenarnya terabaikan. Metode pengajaran klinis dengan jumlah
mahasiswa yang besar berdampak buruk pada pasien. Dan metode ini
diadaptasi oleh semua sentra pendidikan kedokteran di dunia.

Sekarang kita mungkin dapat melihat di rumah-rumah sakit, beberapa pasien


-terurama dari golongan menengah ke atas- mengeluh jika terlalu banyak
disentuh oleh mahasiswa (ko-ass). Mereka menghindar untuk dirawat di rumah
sakit pendidikan karena merasa dijadikan orang coba oleh para ko-ass.
Sebetulnya keadaan ini dapat kita hindari bersama. Pasien tentu tidak akan
mengeluh jika tidak merasa dirinya hanya dijadikan objek pembelajaran.
Caranya tentu dengan menanamkan kepercayaan kepada pasien dan
masyarakat umumnya. Dan itu dapat dimulai dari Anda, sebagai calon dokter.

Sebagai mahasiswa, Anda harus betul-betul memahami semua yang Anda


pelajari selama proses pendidikan dan menguasai seluruh kompetensi yang
sudah ditetapkan. Jika kelak Anda dipercayakan untuk memegang pasien pada
saat kepanitraan klinik dan dapat menunjukkan bahwa sebagai mahasiswa
kedokteran Anda cukup handal, maka pasien akan dengan senang hati
mempercayakan penanganan penyakitnya pada Anda . Apalagi jika dibarengi
dengan tindakan yang etis dan penuh sentuhan manusiawi, tidak akan ada
pasien yang menolak Anda. Kita harus benar-benar tulus menghadapi mereka,
mendengar keluhan mereka dengan sabar, memperhatikan apa yang menjadi
persoalan sesungguhnya bagi mereka. Ingatlah pepatah bijak orang tua kita
bahwa apa yang dilakukan dari hati sampainya ke hati juga.

Dengan begitu, Anda dapat melalui proses pendidikan di bidang kedokteran


dengan baik karena sebenarnyalah hubungan yang terjadi antara Anda dengan
pasien tadi adalah hubungan kerjasama. Anda, sebagai mahasiswa,
membutuhkan mereka. Maka buatlah mereka pun membutuhkan Anda.

Dalam pendidikan tentang bioetik dan humaniora ini, Anda akan banyak
dibekali  dengan pengetahuan tentang etika terutama saat Anda telah menjadi
dokter.  Sebenarnya, prinsip-prinsip etika telah tertuang secara lengkap dalam
Islam, yaitu dalam ilmu tentang akhlak. Bahkan ilmu ini tidak terbatas kepada
profesi dokter saja, tapi memayungi semua insan yang mengaku sebagai
muslim. Jadi, saat sekarang pun prinsip-prinsip etika sudah harus kita jalankan
karena akhlak -yang sumbernya jelas dari Allah SWT- berimplikasi pada akhirat
yang mengikat muslim yang berakal dan dewasa, yaitu kita semua.

Selama masa pendidikan, Anda akan berhubungan dengan dosen, sesama


mahasiswa, pegawai di lingkungan Anda, dan orang-orang dalam lingkungan
kampus. Sekarang ini adalah masa yang tepat bagi Anda untuk melatih diri
bagaimana bersikap menjadi dokter yang baik. Betul bahwa setiap orang
memiliki karakter yang berbeda, tapi sikap dan perilaku yang baik bukannya
tidak dapat diamalkan. Sebagai contoh, dalam berdiskusi dengan teman-teman
Anda, seringkali terjadi benturan pendapat. Walaupun Anda yakin bahwa
pendapat Andalah yang benar, dan didukung oleh beberapa teman yang lain,
sangat tidak bijak jika Anda langsung menyalahkan dan mematahkan pendapat
teman Anda. Apalagi jika yang Anda serang adalah pribadinya, bukan opininya.

Belum lagi jika menghadapi persoalan yang berbeda, adanya beban tugas dari
dosen yang tidak habis-habis (walaupun alasan bahwa hal tersebut untuk
kepentingan mahasiswa sendiri kadang sulit diterima), dan waktu yang terasa
sangat menghimpit, tentu akan sulit bagi kita untuk tetap bersikap stabil.
Masalahnya, kita tidak punya pilihan selain menghadapinya. Kita menerima
pengakuan sebagai pribadi dewasa, jadi sudah seharusnya kita menyadari
konsekuensi dari suatu pilihan. Anda memilih untuk menjadi dokter, berarti
sedikit banyaknya Anda tahu seperti apa profesi ini.

Dari segi keterampilan, kompetensi yang dikehendaki dijelaskan oleh masing-


masing sub divisi pendidikan kedokteran. Dengan sistem integrasi yang baru
diterapkan, Anda diharapkan memiliki keterampiln klinis yang lebih terarah.
Keaktifan dari Anda sebagai mahasiswa diharapkan karena pembelajaran ini
memang dipusatkan pada Anda (student-centered learning). Para pendidik di
bidang kedokteran sepakat bahwa tujuan pembelajaran yang baru ini adalah
mengarahkan pendidikan kedokteran  kepada pengalaman berbasis komunitas,
model yang berpusat pada pembelajar sehingga memungkinkan dokter untuk
menjadi pembelajar sepanjang hayat sekaligus berpraktik dengan berbekal
pengetahuan dan keterampilan yang memasukkan aspek-aspek psikososial dan
biologi dalam pelayanan kesehatan.
Humanisme dan etika dalam penelitian dan pengembangan ilmu
kedokteran

Kesadaran sosial, tanggung jawab sosial dan akuntabilitas sosial telah menjadi
ciri profesi dokter, dan karakteristik ini dapat diterapkan juga kepada para
peneliti di bidang kedokteran. Etika dan humanisme dapat diaplikasikan ke
dalam seluruh spektrum kegiatan penelitian, mulai dari pemilihan topik
penelitian, hingga pada cara penelitian yang dilakukan dan pada aplikasi hasil
penelitian dan pengembangan.
Misalnya dalam memilih topik penelitian, harus disadari bahwa peneliti memiliki
tanggung jawab sosial untuk mencoba mencari solusi dari masalah-masalah
yang paling banyak menyebabkan munculnya penyakit dan penderitaan dalam
masyarakat.

Dalam melakukan percobaan yang melibatkan manusia sebagai relawan,


peneliti haruslah dibawah kontrol etis yang ketat. Dan seperti halnya seorang
dokter harus memiliki perilaku medis yang baik dengan hubungan manusiawi
dengan pasiennya, begitu juga seharusnya seorang peneliti.

Tanggung jawab dan akuntabilitas sosial dalam penelitian dimaksudkan agar


penelitian tersebut dilakukan bukan hanya untuk kepentingannya saja. Peneliti
diwajibkan melihat kegunaan hasil penelitiannya. Jadi hasilnya tidak hanya
berakhir di kertas jurnal saja, tapi harus mencapai ke penentu kebijakan,
pembuat keputusan dalam pelayanan kesehatan, dan para profesi di bidang
kesehatan serta para konsumen.

The humanities tell us about our lives, our cultures, and our societies.  They
provide the traditions, interpretations, and visions that define our existence and
shape our future.

Rujukan
 Assi Ba’I, Z.A.: Dokter-dokter, Bagaimana Akhlakmu?, Gema
Insani Press, Jakarta, 1992
 Jacob, T.: Islam, Etika dan Kemajuan Teknologi Kedokteran, CV
Rajawali, Jakarta, 1986
 Buku Panduan Kerja Mahasiswa, Modul EBP3KH, MEU, FKUI, 2005
 Tu, U.M., Humanism and Ethics in Medical Practice, Health Service,
Medical Education and Medical Research, dalam First Myanmar
Academy of Medical Science Oration, 2001
 Prasetya, J.T., Ilmu Budaya Dasar,Rineka Cipta, Jakarta, 1998

Anda mungkin juga menyukai