Humaniora Kesehatan
Juni 7, 2008 oleh shulhanamokhtar
Tulisan ini merupakan Bahan Ajar untuk mahasiswa Fakultas Kedokteran UMI,
Makassar yang mengambil Blok Bioetik, Humaniora dan Profesionalisme
HUMANIORA KESEHATAN
PENDAHULUAN
Deskripsi
Dari ke-tujuh area kompetensi, memang hanya tiga area saja yang barkaitan
erat dengan pokok bahasan ini. Jika diuraikan, masing-masing area kompetensi
memiliki komponen-komponen kompetensi. Namun, yang menjadi kompetensi
inti dari masing-masing area tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mampu melaksanakan praktik kedokteran yang profesional
sesuai dengan nilai dan prinsip ketuhanan, moral luhur, etika,
disiplin, hukum dan sosial budaya.
2. Melakukan praktik kedokteran dengan menyadari
keterbatasan, mengatasi masalah personal, mengembangkan
diri dan mengikuti penyegaran dan peningkatan pengetahuan
secara berkesinambungan serta mengembangkan
pengetahuan demi keselamatan pasien.
3. Mampu menggali dan bertukar informasi secara verbal dan
non verbal dengan pasien pada semua usia, anggota
keluarga, masyarakat, kolega dan profesi lainnya.
PENYAJIAN
Apakah Anda pernah berpikir, ingin jadi dokter seperti apakah Anda kelak?
Sudahkah Anda memiliki bayangan dokter ideal itu seperti apa? Mungkin, Anda
merasa tertarik melihat dokter yang mempunyai kedudukan yang terhormat
dalam masyarakat. Atau mungkin juga Anda takjub melihat banyak dokter yang
sejahtera dari segi finansial, segala apa yang menjadi standar kemewahan
melekat pada mereka. Atau Anda bangga melihat dokter mampu
mempengaruhi jalan hidup seseorang, menyelamatkan nyawa orang-orang di
dekat Anda, memberi sentuhan keajaiban dalam takdir kehidupan orang lain.
Apapun yang ada dalam bayangan Anda, profesi dokter memiliki sejarah
perjalanan yang lengkap. Pengetahuan humaniora ini berusaha memberi
gambaran pada kita bagaimana menjadi seorang dokter yang sejatinya ideal,
dokter yang manusiawi, yang berperilaku/berakhlak baik, berkepribadian
profesional. Untuk mendapatkan hasil di hilir yang baik, tentu kondisi di hulu
sudah harus dipersiapkan sebelumnya. Karena itu disajikan pengetahuan
mengenai humaniora yang diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk
dapat memahami lebih baik tentang makna kehidupan Anda sebagai seorang
dokter.
Mungkin saja terdapat anggapan bahwa masalah perilaku/akhlak baik dan sifat
belas kasih merupakan bawaan atau sifat lahiriah seseorang, bahkan ia adalah
watak alami yang melekat pada seseorang sejak dia dilahirkan, dan
berkembang sesuai pengaruh lingkungannya. Menganggap sifat belas kasih
atau compassion bukanlah sesuatu yang dapat dipelajari, tetapi suatu materi
yang akan berpindah secara alami –melalui proses yang panjang- dari satu
manusia ke manusia lain. Tapi bila kita kembali kepada jati diri sebagai manusia
yang penuh dengan kekurangan, maka kita tahu bahwa banyak hal yang harus
kita pelajari, cermati, hayati dan amalkan dalam hidup ini, apalagi bila dikaitkan
dengan jati diri kita sebagai seorang muslim. Dalam agama Islam diajarkan
mengenai akhlak secara lengkap dan terperinci. Bedanya, konsep akhlak adalah
konsep akhirat, jadi berimplikasi tidak hanya di dunia ini saja. Sedangkan
konsep humaniora yang akan kita bahas adalah konsep dunia, khususnya dunia
medis, jadi implikasinya jelas di dunia medis juga. Namun, sebagai seorang
muslim kita tentu percaya bahwa semua aspek kehidupan kita di dunia ini pada
akhirnya akan berdampak juga di akhirat kelak.
Seorang anak, jika dia diperlakukan seperti layaknya manusia lain ingin
diperlakukan, maka dia akan tumbuh menjadi seorang yang humanis. Jika dia
diperlakukan dengan akhlak yang baik, niscaya dia pun akan tumbuh dengan
akhlak yang baik. Itulah sebabnya sebelum kita bertindak sebagai seorang
dokter yang menangani manusia, maka kita harus bisa memahami manusia itu
sendiri.
Sebetulnya, dalam kurikulum kita dikenal pendidikan ilmu budaya dasar yang
menurut Martiatmodjo merupakan juga terjemahan dari istilah Basic
Humanities atau pendidikan humaniora. Hanya saja penyajiannya jarang
dikaitkan dengan kehidupan kita kelak sebagai seorang dokter, jadi
pengetahuan tersebut mengawang-awang, sangat idealis, sehingga mahasiswa
sulit menerapkannya dalam realitas kedokteran yang terkenal praktis. Padahal
bagi komunitas medis, apa saja yang disentuhkan pada kulitnya melalui kata
medis, akan mudah melekat karena ada sekian banyak reseptor yang sensitif
dengan kata tersebut pada kulitnya. Karena itu dibutuhkan pengetahuan yang
lebih integratif agar kita menjadi paham arah dan tujuan pembelajaran kita.
Pengetahuan tentang humaniora sangat luas. Tapi bahasan kita dalam kuliah ini
terbatas pada bidang kehidupan kita sebagai dokter. Pengetahuan ini harus
dapat diterapkan di segala bidang kehidupan Anda kelak sebagai dokter. Bidang
yang dimaksud antara lain:
Praktik kedokteran
Pelayanan kesehatan
Pendidikan kedokteran
Penelitian
Berbicara tentang humaniora, berarti berbicara tentang beberapa aspek yang
memiliki pengertian yang saling berkaitan, di antaranya mengenai humanisme,
etika, kebudayaan dan perilaku. Humaniora memberikan wadah bagi lahirnya
makna intrinsik nilai-nilai humanisme. Humanisme sendiri adalah aliran yang
bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan/mencita-citakan pergaulan
yang lebih baik. Ada juga yang berpendapat humanisme sebagai sikap/tingkah
laku mengenai perhatian manusia dengan menekankan pada rasa belas kasih
serta martabat individu.
Pengertian etika yang dipahami lebih luas di kalangan medis selama ini selalu
menjadi jargon seorang dokter. Etika kedokteran dalam kamus kedokteran
Stedman dirumuskan sebagai principles of correct professional conduct
with regard to the rights of the physician himself, his patients, and his
fellow practitioners. Dengan kata lain etika dalam kedokteran merupakan
prinsip-prinsip mengenai tingkah laku profesional yang tepat berkaitan dengan
hak dirinya sebagai dokter, hak pasiennya, dan hak teman sejawatnya.
Jika kita mengamati sejenak, akan disadari betapa kita telah jauh menyimpang
dari idealisme sebagai dokter. Fenomena ini telah mendunia dan juga telah
menyebar ke dalam negara kita. Bukan hanya praktik medis dan perawatan
pasien yang menyimpang dari idealisme sosial, bahkan konsep humanisme
menjadi sesuatu yang asing dalam pendidikan kedokteran dan dalam bidang
penelitian kedokteran. Benar bahwa etika kedokteran termasuk dalam
kurikulum pada beberapa sekolah kedokteran, namun diduga hal tersebut
hanya sebagai metode resmi untuk menenangkan hati mereka. Kenyataannya,
dibutuhkan lebih dari sekedar memasukkan subjek etika kedokteran ke dalam
kurikulum agar lulusan kedokteran menjadikan humanisme dan perilaku etis
sebagai sifat kedua mereka.
Merawat orang sakit pada level fundamental berakar pada jiwa manusia dan
humanisme. Misalnya seorang ibu yang merawat anak atau bayinya yang
sedang sakit, kenalan/keluarga sekitarnya menawarkan bantuan berupa
saran/nasihat dimanapun diinginkan, sementara seorang wanita tua di antara
para warga merespon permintaan bantuan ibu tadi. Mereka semua tidak
memiliki motif yang berkaitan dengan uang dalam memberikan bantuan, tapi
dilandasi atas dasar belas kasih.
Pada level yang berbeda, sejak jaman dahulu orang-orang suci, pendeta, tabib
dan dukun telah merawat orang-orang sakit karena adanya keyakinan bahwa
penyakit adalah manifestasi dari pengaruh iblis yang dilakukan dengan
perantaraan tuhan atau makhluk supernatural atau manusia lain. Motif mereka
dalam menyembuhkan orang sakit mungkin tidak sepenuhnya untuk
kepentingan orang sakit tersebut karena mereka memperoleh keuntungan
dalam tatanan sosial atas bantuan tersebut, disamping adanya kekuasaan dan
otoritas yang diberikan pada mereka dalam masyarakat.
Saat hal tersebut dikaitkan dengan profesi dokter, kita diyakinkan bahwa
masalah sosialnya berakar pada sikap humanisme, belas kasih terhadap
penderitaan pasien, dan keinginan untuk memberikan pelayanan kesehatan.
Dokter praktik dan spesialis saat ini memiliki hubungan dokter-pasien ’one-to-
one’ yang unik dan sangat pribadi, melibatkan kepatuhan, ketergantungan, dan
kepercayaan yang utuh dari pasien terhadap otoritas, pengetahuan dan
keterampilan dokternya. Dengan otoritas tersebut terciptalah unsur kewajiban
sosial untuk melayani dengan belas kasih kepada mereka yang percaya dan
bergantung kepada kita.
Tetapi martabat dan status profesi dokter dulunya tidak setinggi seperti yang
kita lihat sekarang. Misalnya pada jaman India kuno, hanya dokter kerajaan
yang memiliki status yang tinggi. Dokter pada jaman itu dianggap tidak
berdarah murni dan tidak pernah diundang pada acara-acara sesajian untuk
dewa-dewa. Kasta Brahmana tidak seharusnya menerima makanan dari
seorang dokter karena dianggap najis/kotor (Rao & Radhalaksmi,1960). Pada
masa kekaisaran Roma, dokter adalah pekerja berat, orang liar, orang asing,
dan pengobatan dianggap sebagai pekerjaan rendah. Di Inggris abad ke-18,
dokter bedah dan ahli obat-obatan dianggap seperti pedagang dan termasuk
kelas pinggiran. Bahkan sekurangnya di abad 19, dokter di Perancis sangat
miskin dan statusnya juga rendah (Starr, 1949).
Namun, dengan perkembangan dan kemajuan ilmu kedokteran dan
kemampuan para dokter mempengaruhi perjalanan penyakit secara radikal,
bermula di akhir abad ke-19, secara perlahan kedokteran berubah statusnya
dari sekedar tukang/pekerja berat menjadi sebuah profesi dan bersamaan
dengan itu kekuasaan dan martabat profesi dokter juga meningkat seterusnya
hingga di abad 20 ini.
Dengan tercapainya status profesi itu, segala yang menjadi karakter sebuah
profesi juga didapatkan. Kedokteran memiliki otonomi, mengontrol semua yang
ingin memasuki profesi ini, menetapkan standar kompetensi melalui pelatihan
termasuk teori, bukan hanya keterampilan seperti pada pekerjaan tukang.
Profesi kedokteran selanjutnya menyusun lembaga profesi struktural (asosiasi,
publikasi, sekolah kedokteran yang dapat dikontrol) dan bertujuan memberikan
pelayanan yang humanistik kepada masyarakat untuk kepentingan mereka.
Prinsip-prinsip etika telah menjadi bagian yang mendasar sejak masa awal dan
berkaitan dengan kewajiban dan tanggung-jawab seorang dokter. Namun harus
dicatat, bahwa semua pernyataan tentang etika dapat disesuaikan secara
profesional dengan dunia medis. Dan tidak satupun yang berkenaan dengan
aspek humanistik.
Pola praktik dokter pada awal abad delapanbelas bersifat ‘biaya pelayanan
tunggal’ yaitu seorang dokter memberikan pelayanan medis dan untuk itu dia
dibayar, baik berupa uang maupun berupa hasil-hasil pertanian seperti yang
masih terdapat di negara-negara berkembang di beberapa daerah dan desa
yang miskin. Ini adalah masa dokter pedesaan atau dokter ‘kuno’ atau dokter
keluarga yang mengetahui dengan baik keluarga tersebut, berkeliling ke
rumah-rumah, dan bertindak sebagai ‘teman dan penuntun yang dapat
dipercaya’, di samping merawat orang-orang sakit dalam keluarga itu.
Kalangan bisnis melihat pasar besar dalam lapangan kesehatan, hasilnya adalah
meningkatnya komersialisasi layanan medis dan bertumbuhnya industri medis
yang kompleks. Kedokteran tidak lagi merupakan industri rakyat seperti saat
dokter berpraktik mandiri. Manager di bidang kesehatan ini – ekonom dan CEO
(pejabat eksekutif), yang semakin sering memutuskan jenis praktik pelayanan
dan jenis organisasi dibandingkan para dokter. Harga-harga obat melambung
dan penggunaan peralatan medis yang canggih berkonsekuensi dengan
pembayaran yang tinggi. Telah dikatakan, semakin dokter bergantung pada
teknologi semata, semakin mereka kehilangan rasa kemanusiaannya, yang
berujung pada ‘pelayanan dehumanisasi’. Hal tersebut ditambah dengan
ketakutan akan tuntutan malapraktik, dokter membayar asuransi untuk dirinya,
yang tentu berdampak pada pasien sehingga biaya layanan kesehatan semakin
tinggi.
Perubahan ini mewarnai sikap dan tingkah laku profesi yang menekankan pada
aspek finansial dan teknologi dalam terapi dan merusak panggilan altruistik dan
humanistik sang dokter.
Lagi menurut Profesor Tu, seorang dokter di Myanmar menelaah sebuah film
bergenre kedokteran, berjudul “Patch Adam”. Dia tertarik pada kritik sang
pemain, yang berperan sebagai dr. Hunter Adam: “Anda bahkan tidak melihat
kepada pasien saat Anda berbicara pada mereka” dan saat dia berbicara
melawan Badan Medis: “Kematian bukanlah musuh, saudara-saudara, tapi
sebuah kelalaian. Anda menangani penyakit, hasilnya kalah atau menang. Anda
menangani pasien, anda akan menang bagaimanapun hasil akhirnya”.
Keadaan ini pun sudah terlihat di negara kita. Ada berapa banyak dokter yang
betul-betul menangani pasiennya dengan rasa belas kasih? Saya tidak
menyatakan bahwa tidak ada dokter yang memiliki rasa belas kasih karena
saya mengenal beberapa dokter yang betul-betul menangani pasiennya dengan
penuh perasaan. Tapi, pemandangan seperti itu sangat jarang kita saksikan.
Banyak dokter melayani pasiennya dengan senyum, ramah, sopan dan penuh
tatakrama, tapi yang kita bicarakan dalam kaitannya dengan humanisme adalah
dokter melayani pasiennya dengan melihat ke dalam perasaan pasiennya.
Menampakkan pengertian akan derita pasiennya dan tidak semata-mata
memburu apa yang menjadi diagnosis agar pengobatannya tepat dan pasien ini
segera menyingkir dari kehidupannya yang cukup sibuk. Dengan kata lain,
hubungan yang tercipta berlatar ‘patient-oriented’, bukan ‘disease-oriented’
sehingga dokter bisa memberikan penanganan yang bersifat holistik.
Pada saat Abad Kegelapan baru saja terangkat dari Eropa, kedokteran di
negara-negara Arab sangat berkembang. Terdapat rumah-rumah sakit yang
besar di Damascus, Kordoba, dan Kairo yang memperhatikan segala aspek dari
layanan kesehatan termasuk aspek humanistik seperti sisi spiritualnya
(memperdengarkan Al-Quran sepanjang saat tanpa henti), aspek-aspek
estetika (seperti memainkan musik lembut di malam hari untuk membantu
mereka yang sulit tidur), dan aspek-aspek yang dapat meningkatkan semangat
mereka (seperti membacakan kisah-kisah yang menggugah jiwa pasien).
Bahkan pasien diberikan sejumlah uang yang dapat menutupi kekurangan
semasa sakit, hingga mereka mampu kembali bekerja (Guthrie, 1958). Ini
adalah pendekatan yang betul-betul manusiawi.
Masih menurut Profesor Tu, dalam era pasar ekonomi, kedokteran telah
menjadi bisnis besar hingga di negara-negara berkembang. Karena bisnis
bersifat mengejar keuntungan, biaya pelayanan kesehatan akhirnya meningkat.
Dan akibatnya pelayanan terhadap masyarakat miskin terabaikan. Idealnya,
dokter mampu melakukan praktik hingga menyentuh seluruh lapisan
masyarakat, agar nilai-nilai humanisme tetap terjaga. Tentu, secara pribadi hal
tersebut sulit dilaksanakan. Tapi, jika penentu kebijakan terutama dalam bidang
kesehatan memperhatikan masalah ini dan berangkat dengan keikhlasan untuk
berbuat demi kemanusiaan, maka teknologi yang tercanggih sekalipun dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat banyak. Sekarang ini, dikembangkan filosofi
baru mengenai pelayanan kesehatan berbasis persamaan dan keadilan sosial
yang berakhir pada gerakan Pelayanan Kesehatan Primer dan Kesehatan untuk
Semua (World Health Organisation, 1981).
Lantas, apa yang bisa menjadikan seorang dokter memiliki kemampuan teknis
sekaligus sikap humanistik dalam perilaku profesinya? Apakah itu bagian dari
pelatihan dan pendidikan mahasiswa kedokteran dengan melihat contoh dari
para dosennya? Mari kita lihat bagaimana humanisme dalam pendidikan
kedokteran.
Baik di dunia barat maupun dalam budaya timur, pelatihan untuk menjadi
seorang dokter bermula dari sistem magang, yaitu suatu sistem pelatihan yang
bersifat desentralisasi di mana murid dan gurunya terikat dalam suatu
hubungan pribadi. Sejak jaman dulu, murid kedokteran di India misalnya,
tinggal di rumah gurunya dan bahkan menjadi anggota keluarga yang ikut
mengerjakan segala pekerjaan rumah sang guru. Karena kontak yang sangat
dekat dengan gurunya, seorang murid tidak hanya belajar dari guru, tapi
menyerap filosofi, sikap, tingkah laku moral, nilai-nilai dan metode hidupnya
serta cara guru menghadapi pasiennya, singkatnya ‘bedside manner’ sang guru
tadi.
Karena kebutuhan akan dokter dan ahli bedah semakin meningkat, perubahan
sistem pelatihan mengalami perubahan. Kerajaan Romawi mengambil alih
pelatihan dokter dengan menunjuk guru-gurunya. Di negara-negara Islam,
pendidikan kedokteran telah berjalan dengan baik. Mereka ditempatkan di
rumah sakit untuk pendidikan kedokteran. Warga yang kaya membangun
rumah-rumah sakit yang mempekerjakan dokter-dokter handal yang
bertanggung-jawab dalam penanganan pasien sekaligus mengajar murid-murid
kedokteran.
Dalam pendidikan tentang bioetik dan humaniora ini, Anda akan banyak
dibekali dengan pengetahuan tentang etika terutama saat Anda telah menjadi
dokter. Sebenarnya, prinsip-prinsip etika telah tertuang secara lengkap dalam
Islam, yaitu dalam ilmu tentang akhlak. Bahkan ilmu ini tidak terbatas kepada
profesi dokter saja, tapi memayungi semua insan yang mengaku sebagai
muslim. Jadi, saat sekarang pun prinsip-prinsip etika sudah harus kita jalankan
karena akhlak -yang sumbernya jelas dari Allah SWT- berimplikasi pada akhirat
yang mengikat muslim yang berakal dan dewasa, yaitu kita semua.
Belum lagi jika menghadapi persoalan yang berbeda, adanya beban tugas dari
dosen yang tidak habis-habis (walaupun alasan bahwa hal tersebut untuk
kepentingan mahasiswa sendiri kadang sulit diterima), dan waktu yang terasa
sangat menghimpit, tentu akan sulit bagi kita untuk tetap bersikap stabil.
Masalahnya, kita tidak punya pilihan selain menghadapinya. Kita menerima
pengakuan sebagai pribadi dewasa, jadi sudah seharusnya kita menyadari
konsekuensi dari suatu pilihan. Anda memilih untuk menjadi dokter, berarti
sedikit banyaknya Anda tahu seperti apa profesi ini.
Kesadaran sosial, tanggung jawab sosial dan akuntabilitas sosial telah menjadi
ciri profesi dokter, dan karakteristik ini dapat diterapkan juga kepada para
peneliti di bidang kedokteran. Etika dan humanisme dapat diaplikasikan ke
dalam seluruh spektrum kegiatan penelitian, mulai dari pemilihan topik
penelitian, hingga pada cara penelitian yang dilakukan dan pada aplikasi hasil
penelitian dan pengembangan.
Misalnya dalam memilih topik penelitian, harus disadari bahwa peneliti memiliki
tanggung jawab sosial untuk mencoba mencari solusi dari masalah-masalah
yang paling banyak menyebabkan munculnya penyakit dan penderitaan dalam
masyarakat.
The humanities tell us about our lives, our cultures, and our societies. They
provide the traditions, interpretations, and visions that define our existence and
shape our future.
Rujukan
Assi Ba’I, Z.A.: Dokter-dokter, Bagaimana Akhlakmu?, Gema
Insani Press, Jakarta, 1992
Jacob, T.: Islam, Etika dan Kemajuan Teknologi Kedokteran, CV
Rajawali, Jakarta, 1986
Buku Panduan Kerja Mahasiswa, Modul EBP3KH, MEU, FKUI, 2005
Tu, U.M., Humanism and Ethics in Medical Practice, Health Service,
Medical Education and Medical Research, dalam First Myanmar
Academy of Medical Science Oration, 2001
Prasetya, J.T., Ilmu Budaya Dasar,Rineka Cipta, Jakarta, 1998