Disusun Oleh :
dr. Efin Mirdaningrum
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit demam tifoid (typhoid fever) yang biasa disebut tifus merupakan
penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella, khususnya turunannya yaitu
Salmonella typhi yang menyerang bagian saluran pencernaan. Selama terjadi
infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan
secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah.4
Demam tifoid termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-
undang nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini
merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang
sehingga dapat menimbulkan wabah.5 Penularan Salmonella typhi sebagian besar
melalui minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita
atau pembawa kuman dan biasanya keluar bersama-sama dengan tinja. Transmisi
juga dapat terjadi secara transplasenta dari seorang ibu hamil yang berada dalam
bakteremia kepada bayinya 1
Penyakit ini dapat menimbulkan gejala demam yang berlangsung lama,
perasaan lemah, sakit kepala, sakit perut, gangguan buang air besar, serta
gangguan kesadaran yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang
berkembang biak di dalam sel-sel darah putih di berbagai organ tubuh. Demam
tifoid dikenal juga dengan sebutan Typhus abdominalis, Typhoid fever, atau
enteric fever.1
2.3 Epidemiologi
2.4. Pathogenesis
Gejala klinis demam tifoid seringkali tidak khas dan sangat bervariasi yang
sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas
dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare
yang mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa
gejala sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul
komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini
mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja.1
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding
dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 – 20 hari. Setelah masa
inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu,
nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Gejala-gejala klinis yang timbul
sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimptomatik hingga
gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.7
Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada
semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2
hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septikemia oleh karena
Streptococcus atau Pneumococcus daripada S.typhi. Gejala menggigil tidak biasa
didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis
malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan oleh malaria.7 Demam tifoid dan
malaria dapat timbul secara bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala hebat
yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain
S.typhi juga dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis.
Manifestasi gejala mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi,
stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan dengan
apendisitis. Penderita pada tahap lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat
perforasi usus.7
1. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris
remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh
berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan
meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus
berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh berangsur-
angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
3. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam,
yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.
2.6 Komplikasi
c. Uji Typhidot
Pemeriksaan lain adalah dengan Typhidotyang dapat mendeteksi
IgM dan IgG. Terdeteksinya IgM menunjukkan fase akut demam tifoid,
sedangkan terdeteksinya IgG dan IgM menunjukkan demam tifoid akut
pada fase pertengahan. Antibodi IgG dapat menetap selama 2 tahun
setelah infeksi, oleh karena itu, tidak dapat untuk membedakan antara
kasus akut dan kasus dalam masa penyembuhan.2
Yang lebih baru lagi adalah Typhidot M yang hanya digunakan
untuk mendeteksi IgM saja Typhidot M memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan Typhidot. Pemeriksaan ini
dapat menggantikan Widal, tetapi tetap harus disertai gambaran klinis
sesuai yang telah dikemukakan sebelumnya.2
2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Antimikroba terapi
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam
dan gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Yang juga
tidak kalah penting adalah eradikasi total bakeri untuk mencegah
kekambuhan dan keadaan carrier.1
Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolat Salmonella
typhi setempat. Munculnya galur Salmonella typhi yang resisten terhadap
banyak antibiotik (kelompok MDR) dapat mengurangi pilihan antibiotik yang
akan diberikan. Terdapat 2 kategori resistensi antibiotik yaitu resisten
terhadap antibiotik kelompok chloramphenicol, ampicillin, dan trimethoprim
sulfamethoxazole (kelompok MDR) dan resisten terhadap antibiotik
fluoroquinolone. Nalidixic acid resistant Salmonella typhi (NARST)
merupakan petanda berkurangnya sensitivitas terhadap fluoroquinolone.
Terapi antibiotik yang diberikan untuk demam tifoid tanpa komplikasi
berdasarkan WHO tahun 2003 dapat dilihat pada tabel dibawah ini.2
Antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin, dan
pefloxacin) merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang
disebabkan isolat tidak resisten terhadap fl uoroquinolone dengan angka
kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu penurunan demam 4 hari, dan angka
kekambuhan dan fecal carrier kurang dari 2%.2
Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke jaringan yang sangat baik, dapat
membunuh S. typhi intraseluler di dalam monosit/makrofag, serta mencapai
kadar yang tinggi dalam kandung empedu dibandingkan antibiotik lain.
Berbagai studi telah dilakukan untuk menilai efektivitas fluoroquinolone dan
salah satu fluoroquinolone yang saat ini telah diteliti dan memiliki efektivitas
yang baik adalah levofloxacin. Studi komparatif, acak, dan tersamar tunggal
telah dilakukan untuk levofloxacin terhadap obat standar ciprofl oxacin untuk
terapi demam tifoid tanpa komplikasi. Levofloxacin diberikan dengan dosis
500 mg, 1 kali sehari dan ciprofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 2 kali
sehari masing-masing selama 7 hari.2
Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa pada saat ini levofloxacin lebih
bermanfaat dibandingkan ciprofloxacin dalam hal waktu penurunan demam,
hasil mikrobiologi dan secara bermakna memiliki efek samping yang lebih
sedikit dibandingkan ciprofloxacin. Selain itu, pernah juga dilakukan studi
terbuka di lingkungan FKUI mengenai efikasi dan keamanan levofloxacin
pada terapi demam tifoid tanpa komplikasi. Levofl oxacin diberikan dengan
dosis 500 mg, 1 kali sehari selama 7 hari. Efikasi klinis yang dijumpai pada
studi ini adalah 100% dengan efek samping yang minimal.2
Dari studi ini juga terdapat tabel perbandingan rata-rata waktu penurunan
demam di antara berbagai jenis fluoroquinolone yang beredar di Indonesia di
mana penurunan demam pada levofloxacin paling cepat, yaitu 2,4 hari.
Sebuah meta-analisis yang dipublikasikan pada tahun 2009 menyimpulkan
bahwa pada demam enterik dewasa, fluoroquinolone lebih baik dibandingkan
chloramphenicol untuk mencegah kekambuhan. Namun, fluoroquinolone
tidak diberikan pada anak-anak karena dapat mengakibatkan gangguan
pertumbuhan dan kerusakan sendi.2
Chloramphenicol sudah sejak lama digunakan dan menjadi terapi standar
pada demam tifoid namun kekurangan dari chloramphenicol adalah angka
kekambuhan yang tinggi (5-7%), angka terjadinya carrier juga tinggi, dan
toksis pada sumsum tulang. Azithromycin dan cefi xime memiliki angka
kesembuhan klinis lebih dari 90% dengan waktu penurunan demam 5-7 hari,
durasi pemberiannya lama (14 hari) dan angka kekambuhan serta fecal
carrier terjadi pada kurang dari 4%. Pasien dengan muntah yang menetap,
diare berat, distensi abdomen, atau kesadaran menurun memerlukan rawat
inap dan pasien dengan gejala klinis tersebut diterapi sebagai pasien demam
tifoid yang berat.2
Terapi antibiotik yang diberikan pada demam tifoid berat menurut WHO
tahun 2003 dapat dilihat di tabel dibawah. Walaupun di tabel ini tertera
cefotaxime untuk terapi demam tifoid tetapi sayangnya di Indonesia sampai
saat ini tidak terdapat laporan keberhasilan terapi demam tifoid dengan
cefotaxime. Selain pemberian antibiotik, penderita perlu istirahat total serta
terapi suportif. Yang diberikan antara lain cairan untuk mengkoreksi
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dan antipiretik. Nutrisi yang adekuat
melalui TPN dilanjutkan dengan diet makanan yang lembut dan mudah
dicerna.2
2.8.2 Pencegahan
Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu menyediakan
makanan dan minuman yang tidak terkontaminasi, higiene perorangan
terutama menyangkut kebersihan tangan dan lingkungan, sanitasi yang baik,
dan tersedianya air bersih sehari-hari. Strategi pencegahan ini menjadi
penting seiring dengan munculnya kasus resistensi. Selain strategi di atas,
dikembangkan pula vaksinasi terutama untuk para pendatang dari negara
maju ke daerah yang endemik demam tifoid. Vaksin-vaksin yang sudah ada
yaitu: 2,11
1.Vaksin Vi Polysaccharide (inactive-shot)
Vaksin ini diberikan pada anak dengan usia di atas 2 tahun dengan
dinjeksikan secara subkutan atau intra-muskuler. Vaksin ini efektif
selama 3 tahun dan direkomendasikan untuk revaksinasi setiap 3
tahun. Vaksin ini memberikan efikasi perlindungan sebesar 70-80%.
2. Vaksin Ty21a (live-mouth)
Vaksin oral ini tersedia dalam sediaan salut enterik dan cair yang
diberikan pada anak usia 6 tahun ke atas. Vaksin diberikan 3 dosis
yang masing-masing diselang 2 hari. Antibiotik dihindari 7 hari
sebelum dan sesudah vaksinasi. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan
memberikan efi kasi perlindungan 67-82%.
3. Vaksin Vi-conjugate
Vaksin ini diberikan pada anak usia 2-5 tahun di Vietnam dan
memberikan efikasi perlindungan 91,1% selama 27 bulan setelah
vaksinasi. Efikasi vaksin ini menetap selama 46 bulan dengan efi kasi
perlindungan sebesar 89%.
BAB III
KESIMPULAN
1. Demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan yang penting di negara yang
sedang berkembang di Asia, termasuk Indonesia. Juga di Afrika Selatan dan
Amerika Latin.
2. Diagnosis demam tifoid ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan
pemeriksaan tambahan dari laboratorium.
3. Terapi yang diberikan adalah istirahat, diet lunak, dan antimikroba. Pada saat
ini, antimikroba dengan waktu penurunan demam cepat, pemberian praktis 1
kali sehari selama 7 hari, dan efek samping minimal adalah levofloxacin.
4. Diagnosis demam tifoid yang ditegakkan secara dini dan disertai pemberian
terapi yang tepat mencegah terjadinya komplikasi, kekambuhan, pembawa
kuman (carrier), dan kemungkinan kematian.
5. Strategi pencegahan diarahkan pada ketersediaan air bersih, menghindari
makanan yang terkontaminasi, higiene perorangan, sanitasi yang baik, dan
pemberian vaksin sesuai kebutuhan.
DAFTAR PUSTAKA
5. Rahayu, E. (20fj.13). Sensitivitas uji widal dan tubex untuk diagnosis demam
tifoid berdasarkan kultur darah. Semarang: Universitas Muhammadiyah
Semarang.
7. Setiati, S. dkk. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi Ke 6.
Departemen Ilmu Penyakit Dalarn FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Pusat:
InternaPublishing h: 549-57