Anda di halaman 1dari 23

DEMAM TIFOID

Disusun Oleh :
dr. Efin Mirdaningrum
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella
entericaserovar typhi (S typhi). Salmonella entericaserovar paratyphi A, B,dan C
juga dapat menyebabkan infeksi yang disebut demam paratifoid. Demam tifoid
dan paratifoid termasuk ke dalam demam enterik. Pada daerah endemik, sekitar
90% dari demam enterik adalah demam tifoid. Demam tifoid juga masih menjadi
topik yang sering diperbincangkan.1
Sejak awal abad ke 20, insidens demam tifoid menurun di USA dan Eropa
dengan ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang baik yang sampai
saat ini belum dimiliki oleh sebagian besar negara berkembang. Secara
keseluruhan, demam tifoid diperkirakan menyebabkan 21,6 juta kasus dengan
216.500 kematian pada tahun 2000. Insidens demam tifoid tinggi (>100 kasus per
100.000 populasi per tahun) dicatat di Asia Tengah dan Selatan, Asia Tenggara,
dan kemungkinan Afrika Selatan; yang tergolong sedang (10-100 kasus per
100.000 populasi per tahun) di Asia lainnya, Afrika, Amerika Latin, dan Oceania
(kecuali Australia dan Selandia Baru); serta yang termasuk rendah (<10 kasus per
100.000 populasi per tahun) di bagian dunia lainnya.2
Manusia adalah satu-satunya penjamu yang alamiah dan merupakan reservoir
untuk Salmonella typhi. Bakteri tersebut dapat bertahan hidup selama berhari-hari
di air tanah, air kolam atau air laut dan selama berbulan-bulandalam telur yang
sudah terkontaminasi atau tiram yang dibekukan. Pada daerah endemik, infeksi
paling banyak terjadi pada musim kemarau atau permulaan musim hujan. Dosis
yang infeksius adalah 103-106 organisme yang tertelan secara oral. Infeksi dapat
ditularkan melalui makanan atau air yang terkontaminasi oleh feses. 1 Di
Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang berusia 3-
19 tahun. Selain itu, demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan rumah
tangga, yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak
adanya sabun untuk mencuci tangan, menggunakan piring yang sama untuk
makan, dan tidak tersedianya tempat buang air besar dalam rumah.2
Tifoid dapat menurunkan produktivitas kerja, meningkatkan angka
ketidakhadiran anak sekolah, karena masa penyembuhan dan pemulihannya yang
cukup lama, dan dari aspek ekonomi, biaya yang dikeluarkan tidak sedikit.
Mengingat tingginya angka kesakitan tifoid dan akibat yang ditimbulkan, maka
saya tertarik untuk melakukan kajian. Tujuan kajian adalah untuk membahas
demam tifoid secara lebih lengkap dan jelas.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Demam Tifoid

Penyakit demam tifoid (typhoid fever) yang biasa disebut tifus merupakan
penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella, khususnya turunannya yaitu
Salmonella typhi yang menyerang bagian saluran pencernaan. Selama terjadi
infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan
secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah.4
Demam tifoid termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-
undang nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini
merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang
sehingga dapat menimbulkan wabah.5 Penularan Salmonella typhi sebagian besar
melalui minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita
atau pembawa kuman dan biasanya keluar bersama-sama dengan tinja. Transmisi
juga dapat terjadi secara transplasenta dari seorang ibu hamil yang berada dalam
bakteremia kepada bayinya 1
Penyakit ini dapat menimbulkan gejala demam yang berlangsung lama,
perasaan lemah, sakit kepala, sakit perut, gangguan buang air besar, serta
gangguan kesadaran yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang
berkembang biak di dalam sel-sel darah putih di berbagai organ tubuh. Demam
tifoid dikenal juga dengan sebutan Typhus abdominalis, Typhoid fever, atau
enteric fever.1

2.2 Etiologi Demam Tifoid

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella


paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif,
tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagela (bergerak
dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam
bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan
pemanasan (suhu 60°C) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan
khlorinisasi.5 Salmonella typhi adalah bakteri batang gram negatif yang
menyebabkan demam tifoid. Salmonella typhi merupakan salah satu penyebab
infeksi tersering di daerah tropis, khususnya di tempat-tempat dengan higiene
yang buruk1
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu:1,6
1. Antigen O (Antigen somatik),
Terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman. Bagian ini mempunyai
struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan
terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
1. Antigen H (Antigen flagela)
Terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari kuman. Antigen ini
mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi
tidak tahan terhadap panas dan alkohol yang telah memenuhi kriteria penilaian.
2. Antigen Vi
Terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi kuman
terhadap fagositosis. Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh
penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim
disebut aglutinin.
Ada dua sumber penularan Salmonella typhi, yaitu :7
A. Penderita Demam Tifoid
Yang menjadi sumber utama infeksi adalah manusia yang selalu
mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia sedang
menderita sakit maupun yang sedang dalam penyembuhan. Pada masa
penyembuhan penderita pada umumnya masih mengandung bibit penyakit di
dalam kandung empedu dan ginjalnya.
B. Karier Demam Tifoid.
Penderita tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin)
mengandung Salmonella typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid, tanpa
disertai gejala klinis. Pada penderita demam tifoid yang telah sembuh setelah 2
– 3 bulan masih dapat ditemukan kuman Salmonella typhi di feces atau urin.
Penderita ini disebut karier pasca penyembuhan.
Pada demam tifoid sumber infeksi dari karier kronis adalah kandung empedu
dan ginjal (infeksi kronis, batu atau kelainan anatomi). Oleh karena itu apabila
terapi medika-mentosa dengan obat anti tifoid gagal, harus dilakukan operasi
untuk menghilangkan batu atau memperbaiki kelainan anatominya.
Karier dapat dibagi dalam beberapa jenis.7
a. Healthy carrier (inapparent)
Adalah mereka yang dalam sejarahnya tidak pernah menampakkan
menderita penyakit tersebut secara klinis akan tetapi mengandung unsur
penyebab yang dapat menular pada orang lain, seperti pada penyakit
poliomyelitis, hepatitis B dan meningococcus.
b. Incubatory carrier (masa tunas)
Adalah mereka yang masih dalam masa tunas, tetapi telah mempunyai
potensi untuk menularkan penyakit/ sebagai sumber penularan, seperti pada
penyakit cacar air, campak dan pada virus hepatitis.
c. Convalescent carrier (baru sembuh klinis)
Adalah mereka yang baru sembuh dari penyakit menulat tertentu, tetapi
masih merupakan sumber penularan penyakit tersebut untuk masa tertentu,
yang masa penularannya kemungkinan hanya sampai tiga bulan umpamanya
kelompok salmonella, hepatitis B dan pada dipteri.
d. Chronis carrier (menahun)
Merupakan sumber penularan yang cukup lama seperti pada penyakit
tifus abdominalis dan pada hepatitis B.

2.3 Epidemiologi

Penyakit menular ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan


jumlah kasus sebanyak 22 juta per tahun di dunia dan menyebabkan 216.000–
600.000 kematian.1 Studi yang dilakukan di daerah urban di beberapa negara Asia
pada anak usia 5–15 tahun menunjukkan bahwa insidensi dengan biakan darah
positif mencapai 180–194 per 100.000 anak, di Asia Selatan pada usia 5–15 tahun
sebesar 400–500 per 100.000 penduduk, di Asia Tenggara 100–200 per 100.000
penduduk, dan di Asia Timur Laut kurang dari 100 kasus per 100.000 penduduk.3
Komplikasi serius dapat terjadi hingga 10%, khususnya pada individu yang
menderita tifoid lebih dari 2 minggu dan tidak mendapat pengobatan yang
adekuat. Case Fatality Rate (CFR) diperkirakan 1–4% dengan rasio 10 kali lebih
tinggi pada anak usia lebih tua (4%) dibandingkan anak usia ≤4 tahun (0,4%).
Pada kasus yang tidak mendapatkan pengobatan, CFR dapat meningkat hingga
20%.3
Di Indonesia, tifoid harus mendapat perhatian serius dari berbagai pihak,
karena penyakit ini bersifat endemis dan mengancam kesehatan masyarakat.
Permasalahannya semakin kompleks dengan meningkatnya kasus-kasus karier
(carrier) atau relaps dan resistensi terhadap obat-obat yang dipakai, sehingga
menyulitkan upaya pengobatan dan pencegahan. Pada tahun 2008, angka
kesakitan tifoid di Indonesia dilaporkan sebesar 81,7 per 100.000 penduduk,
dengan sebaran menurut kelompok umur 0,0/100.000 penduduk (0–1 tahun),
148,7/100.000 penduduk (2–4 tahun), 180,3/100.000 (5-15 tahun), dan
51,2/100.000 (≥16 tahun). Angka ini menunjukkan bahwa penderita terbanyak
adalah pada kelompok usia 2-15 tahun. Hasil telaahan kasus di rumah sakit besar
di Indonesia menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan jumlah kasus tifoid
dari tahun ke tahun dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dan
kematian diperkirakan sekitar 0,6–5%. 3

2.4. Pathogenesis

Manusia terinfeksi Salmonella typhi secara fekal-oral. Tidak selalu


Salmonella typhi yang masuk ke saluran cerna akan menyebabkan infeksi karena
untuk menimbulkan infeksi, Salmonella typhi harus dapat mencapai usus halus.
Salah satu faktor penting yang menghalangi Salmonella typhi mencapai usus
halus adalah keasaman lambung. Bila keasaman lambung berkurang atau
makanan terlalu cepat melewati lambung, maka hal ini akan memudahkan infeksi
Salmonella typhi.1,7
Setelah masuk ke saluran cerna dan mencapai usus halus, Salmonella typhi
akan ditangkap oleh makrofag di usus halus dan memasuki peredaran darah,
menimbulkan bakteremia primer. Selanjutnya, Salmonella typhi akan mengikuti
aliran darah hingga sampai di kandung empedu. Bersama dengan sekresi empedu
ke dalam saluran cerna, Salmonella typhi kembali memasuki saluran cerna dan
akan menginfeksi Peyer’s patches, yaitu jaringan limfoid yang terdapat di ileum,
kemudian kembali memasuki peredaran darah, menimbulkan bakteremia
sekunder. Pada saat terjadi bakteremia sekunder, dapat ditemukan gejala-gejala
klinis dari demam tifoid. 7
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia
melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh
asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak. Bila
respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan
menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia
kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah
bening mesenterika.6,7
Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag
ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang
asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama
hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan
kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk
ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya
dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik, seperti demam,
malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut.6,7
Imunitas humoral pada demam tifoid berperan dalam menegakkan diagnosis
berdasarkan kenaikan titer antibodi terhadap antigen kuman S.typhi. Imunitas
seluler berperan dalam penyembuhan penyakit, berdasarkan sifat kuman yang
hidup intraselluler. Adanya rangsangan antigen kuman akan memicu respon
imunitas humoral melalui sel limfosit B, kemudian berdiderensiasi menjadi sel
plasma yang akan mensintesis immunoglobulin (Ig). Yang terbentuk pertama kali
pada infeksi primer adalah antibodi O (IgM) yang cepat menghilang, kemudian
disusul antibodi flagela H (IgG). IgM akan muncul 48 jam setelah terpapar
antigen, namun ada pustaka lain yang menyatakan bahwa IgM akan muncul pada
hari ke 3-4 demam.8

2.5 Gejala Klinis

Gejala klinis demam tifoid seringkali tidak khas dan sangat bervariasi yang
sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas
dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare
yang mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa
gejala sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul
komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini
mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja.1
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding
dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 – 20 hari. Setelah masa
inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu,
nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Gejala-gejala klinis yang timbul
sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimptomatik hingga
gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian.7
Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada
semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2
hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septikemia oleh karena
Streptococcus atau Pneumococcus daripada S.typhi. Gejala menggigil tidak biasa
didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis
malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan oleh malaria.7 Demam tifoid dan
malaria dapat timbul secara bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala hebat
yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain
S.typhi juga dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis.
Manifestasi gejala mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi,
stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan dengan
apendisitis. Penderita pada tahap lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat
perforasi usus.7

Gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :6

1. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris
remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh
berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan
meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus
berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh berangsur-
angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.

2. Gangguan pada saluran pencernaan


Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-
pecah (ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan
tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan
keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri
pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula
normal bahkan dapat terjadi diare.

3. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam,
yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.
2.6 Komplikasi

2.6.1 Komplikasi Intestinal


1. Perdarahan Usus
Sekitar 25 % penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan
minor yang tidak membutuhkan transfuse darah. Perdarahan hebat juga
dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Perdarahan saluran
cerna dapat terjadi karena akibat erosi pembuluh darah sekitar plak
peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat
akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Selain faktor luka
perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah (DIC)
atau gabungan kedua faktor tersebut. 9
2. Perforasi Usus
Perforasi usus terjadi pada sekitar 3% pasien yang dirawat.
Perforasi ini dapat terjadi karena roses patologi jaringan limfoid plak
peyeri dapat berkembang hingga ke lapisan otot, hingga ke serosa usus.
Perforasi ini menyebabkan iritasi dan peradangan pada rongga abdomen
yang sering kita kenal dengan istilah peritonitis. Peritonitis ini sering
menjadi fatal. Komplikasi didahului dengan penurunan suhu, tekanan
darah, dan peningkatan frekuensi nadi. Perforasi usus ditandai oleh
nyeri abdomen, kemudian diikuti muntah, defans muskular, bising usus
yang menurun, dan tanda-tanda peritonitis lain.9
2.6.2 Komplikasi Ekstraintestinal
Tabel.1 Komplikasi demam tifoid ekstraintestinal yang disebabkan oleh
Salmonella enteric Serotype Typhi.10
2.7 Diagnosis

Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang


diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Penelitian yang
menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik
dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh masih
terus dilakukan hingga saat ini. Kultur darah adalah gold standard dari penyakit
ini.1,6 Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu:1

2.7.1 Pemeriksaan Darah Tepi


Penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit
normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan
trombositopenia, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis
relatif.

2.7.2 Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman


Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan
bakteri Salmonella typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum
tulang, cairan duodenum. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka
bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang
pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urin
dan feses.
Kultur organisme penyebab merupakan prosedur yang paling
efektif dalam menduga demam enterik, dimana kultur untuk demam
tifoid dapat menjelaskan dua pertiga dari kasus septikemia yang
diperoleh dari komunitas yang dirawat di rumah sakit. Biakan sumsum
tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas
paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95%.
Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam
praktek sehari-hari. kultur sumsum tulang. Volume 5-10 ml dianjurkan
untuk orang dewasa, sedangkan pada anak-anak dibutuhkan 2-4 ml,
sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya
sekitar 0.5-1 ml. Bakteri dalam sumsum tulang juga lebih sedikit
dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini
dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume
sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika
sebelumnya. Spesifisitasnya walaupun tinggi, pemeriksaan kultur
mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa
lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat
untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan
penderita.

2.7.3 Uji Serologis


A. Uji Widal
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin
digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa
reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah
mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O)
dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga
terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan
aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Semakin tinggi
titernya, semakin besar kemungkinan infeksi ini. Uji Widal ini
dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman Salmonella typhi.
Pada uji ini terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman
Salmonella typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang
digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah
dimatikan dan diolah di laboratorium.6
Maksud uji Widal adalah menentukan adanya aglutinin dalam
serum penderita tersangka demam tifoid. Kelemahan uji Widal yaitu
rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan
interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan
penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan
memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda
infeksi).6
Uji Widal saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh
dunia, namun manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan
pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi
(cut-off point). Upaya untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya
ditentukan titer dasar (baseline titer) pada orang sehat di populasi
dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan
peningkatan titer antibodi O dan H pada orang-orang sehat.6
Kelemahan lain adalah banyak terjadi hasil negatif palsu dan
positif palsu pada tes ini. Hasil negatif palsu tes Widal terjadi jika
darah diambil terlalu dini dari fase tifoid. Pemberian antibiotik
merupakan salah satu peyebab penting terjadinya negatif palsu.
Penyebab hasil negatif lainnya adalah tidak adanya infeksi S. typhi,
status karier, inokulum antigen bakteri pejamu yang tidak cukup untuk
melawan antibodi, kesalahan atau kesulitan dalam melakukan tes dan
variabilitas antigen.6
Hasil positif palsu dapat terjadi apabila sudah pernah melakukan
tes demam tifoid sebelumnya, sudah pernah imunisasi antigen
Salmonella sp., ada reaksi silang sebelumnya dengan antigen selain
Salmonella sp., variabilitas dan kurangnya standar pemeriksaan
antigen, infeksi malaria atau bakteri enterobacteriaceae lainnya, serta
penyakit lain seperti dengue.6
B. Uji Tubex
Uji Tubex merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat
(beberapa menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi
antibodi anti-S.typhi O9 pada serum pasien, dengan cara menghambat
ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada partikel latex yang
berwarna dengan lipopolisakarida S.typhi yang terkonjugasi pada
partikel magnetik latex. Hasil positif uji Tubex ini menunjukkan
terdapat infeksi Salmonellae serogroup D walau tidak secara spesifik
menunjuk pada S.typhi. Infeksi oleh S.paratyphi akan memberikan
hasil negatif.2

c. Uji Typhidot
Pemeriksaan lain adalah dengan Typhidotyang dapat mendeteksi
IgM dan IgG. Terdeteksinya IgM menunjukkan fase akut demam tifoid,
sedangkan terdeteksinya IgG dan IgM menunjukkan demam tifoid akut
pada fase pertengahan. Antibodi IgG dapat menetap selama 2 tahun
setelah infeksi, oleh karena itu, tidak dapat untuk membedakan antara
kasus akut dan kasus dalam masa penyembuhan.2
Yang lebih baru lagi adalah Typhidot M yang hanya digunakan
untuk mendeteksi IgM saja Typhidot M memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan Typhidot. Pemeriksaan ini
dapat menggantikan Widal, tetapi tetap harus disertai gambaran klinis
sesuai yang telah dikemukakan sebelumnya.2

2.7.4 Diagnosis banding


A. Penyakit infeksi: Malaria, infeksi saluran kemih, meningitis, pneumonia,
tb paru, pleuritis.
B. Penyakit keganasan : Leukomia, karsinoma.
C. Penyakit kolagen: Demam reumatik, Eritematosus lupus sisternik

2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Antimikroba terapi
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam
dan gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Yang juga
tidak kalah penting adalah eradikasi total bakeri untuk mencegah
kekambuhan dan keadaan carrier.1
Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolat Salmonella
typhi setempat. Munculnya galur Salmonella typhi yang resisten terhadap
banyak antibiotik (kelompok MDR) dapat mengurangi pilihan antibiotik yang
akan diberikan. Terdapat 2 kategori resistensi antibiotik yaitu resisten
terhadap antibiotik kelompok chloramphenicol, ampicillin, dan trimethoprim
sulfamethoxazole (kelompok MDR) dan resisten terhadap antibiotik
fluoroquinolone. Nalidixic acid resistant Salmonella typhi (NARST)
merupakan petanda berkurangnya sensitivitas terhadap fluoroquinolone.
Terapi antibiotik yang diberikan untuk demam tifoid tanpa komplikasi
berdasarkan WHO tahun 2003 dapat dilihat pada tabel dibawah ini.2
Antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin, dan
pefloxacin) merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang
disebabkan isolat tidak resisten terhadap fl uoroquinolone dengan angka
kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu penurunan demam 4 hari, dan angka
kekambuhan dan fecal carrier kurang dari 2%.2
Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke jaringan yang sangat baik, dapat
membunuh S. typhi intraseluler di dalam monosit/makrofag, serta mencapai
kadar yang tinggi dalam kandung empedu dibandingkan antibiotik lain.
Berbagai studi telah dilakukan untuk menilai efektivitas fluoroquinolone dan
salah satu fluoroquinolone yang saat ini telah diteliti dan memiliki efektivitas
yang baik adalah levofloxacin. Studi komparatif, acak, dan tersamar tunggal
telah dilakukan untuk levofloxacin terhadap obat standar ciprofl oxacin untuk
terapi demam tifoid tanpa komplikasi. Levofloxacin diberikan dengan dosis
500 mg, 1 kali sehari dan ciprofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 2 kali
sehari masing-masing selama 7 hari.2
Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa pada saat ini levofloxacin lebih
bermanfaat dibandingkan ciprofloxacin dalam hal waktu penurunan demam,
hasil mikrobiologi dan secara bermakna memiliki efek samping yang lebih
sedikit dibandingkan ciprofloxacin. Selain itu, pernah juga dilakukan studi
terbuka di lingkungan FKUI mengenai efikasi dan keamanan levofloxacin
pada terapi demam tifoid tanpa komplikasi. Levofl oxacin diberikan dengan
dosis 500 mg, 1 kali sehari selama 7 hari. Efikasi klinis yang dijumpai pada
studi ini adalah 100% dengan efek samping yang minimal.2
Dari studi ini juga terdapat tabel perbandingan rata-rata waktu penurunan
demam di antara berbagai jenis fluoroquinolone yang beredar di Indonesia di
mana penurunan demam pada levofloxacin paling cepat, yaitu 2,4 hari.
Sebuah meta-analisis yang dipublikasikan pada tahun 2009 menyimpulkan
bahwa pada demam enterik dewasa, fluoroquinolone lebih baik dibandingkan
chloramphenicol untuk mencegah kekambuhan. Namun, fluoroquinolone
tidak diberikan pada anak-anak karena dapat mengakibatkan gangguan
pertumbuhan dan kerusakan sendi.2
Chloramphenicol sudah sejak lama digunakan dan menjadi terapi standar
pada demam tifoid namun kekurangan dari chloramphenicol adalah angka
kekambuhan yang tinggi (5-7%), angka terjadinya carrier juga tinggi, dan
toksis pada sumsum tulang. Azithromycin dan cefi xime memiliki angka
kesembuhan klinis lebih dari 90% dengan waktu penurunan demam 5-7 hari,
durasi pemberiannya lama (14 hari) dan angka kekambuhan serta fecal
carrier terjadi pada kurang dari 4%. Pasien dengan muntah yang menetap,
diare berat, distensi abdomen, atau kesadaran menurun memerlukan rawat
inap dan pasien dengan gejala klinis tersebut diterapi sebagai pasien demam
tifoid yang berat.2
Terapi antibiotik yang diberikan pada demam tifoid berat menurut WHO
tahun 2003 dapat dilihat di tabel dibawah. Walaupun di tabel ini tertera
cefotaxime untuk terapi demam tifoid tetapi sayangnya di Indonesia sampai
saat ini tidak terdapat laporan keberhasilan terapi demam tifoid dengan
cefotaxime. Selain pemberian antibiotik, penderita perlu istirahat total serta
terapi suportif. Yang diberikan antara lain cairan untuk mengkoreksi
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dan antipiretik. Nutrisi yang adekuat
melalui TPN dilanjutkan dengan diet makanan yang lembut dan mudah
dicerna.2
2.8.2 Pencegahan
Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu menyediakan
makanan dan minuman yang tidak terkontaminasi, higiene perorangan
terutama menyangkut kebersihan tangan dan lingkungan, sanitasi yang baik,
dan tersedianya air bersih sehari-hari. Strategi pencegahan ini menjadi
penting seiring dengan munculnya kasus resistensi. Selain strategi di atas,
dikembangkan pula vaksinasi terutama untuk para pendatang dari negara
maju ke daerah yang endemik demam tifoid. Vaksin-vaksin yang sudah ada
yaitu: 2,11
1.Vaksin Vi Polysaccharide (inactive-shot)
Vaksin ini diberikan pada anak dengan usia di atas 2 tahun dengan
dinjeksikan secara subkutan atau intra-muskuler. Vaksin ini efektif
selama 3 tahun dan direkomendasikan untuk revaksinasi setiap 3
tahun. Vaksin ini memberikan efikasi perlindungan sebesar 70-80%.
2. Vaksin Ty21a (live-mouth)
Vaksin oral ini tersedia dalam sediaan salut enterik dan cair yang
diberikan pada anak usia 6 tahun ke atas. Vaksin diberikan 3 dosis
yang masing-masing diselang 2 hari. Antibiotik dihindari 7 hari
sebelum dan sesudah vaksinasi. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan
memberikan efi kasi perlindungan 67-82%.
3. Vaksin Vi-conjugate
Vaksin ini diberikan pada anak usia 2-5 tahun di Vietnam dan
memberikan efikasi perlindungan 91,1% selama 27 bulan setelah
vaksinasi. Efikasi vaksin ini menetap selama 46 bulan dengan efi kasi
perlindungan sebesar 89%.
BAB III
KESIMPULAN

1. Demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan yang penting di negara yang
sedang berkembang di Asia, termasuk Indonesia. Juga di Afrika Selatan dan
Amerika Latin.
2. Diagnosis demam tifoid ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan
pemeriksaan tambahan dari laboratorium.
3. Terapi yang diberikan adalah istirahat, diet lunak, dan antimikroba. Pada saat
ini, antimikroba dengan waktu penurunan demam cepat, pemberian praktis 1
kali sehari selama 7 hari, dan efek samping minimal adalah levofloxacin.
4. Diagnosis demam tifoid yang ditegakkan secara dini dan disertai pemberian
terapi yang tepat mencegah terjadinya komplikasi, kekambuhan, pembawa
kuman (carrier), dan kemungkinan kematian.
5. Strategi pencegahan diarahkan pada ketersediaan air bersih, menghindari
makanan yang terkontaminasi, higiene perorangan, sanitasi yang baik, dan
pemberian vaksin sesuai kebutuhan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Harrison, T. R. (2015) . Harrison's Principles of Internal Medicine. Edisi ke 19.


McGraw-Hi11 Companies, Inc. h: 1418–22.

2. Nelwan, R.H.H. (2012). Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. Jakarta:Divisi


Penyakit Tropik fdan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam: FKUI/RSCM.

3. Purba, I.E. dkk. (2016). Program Pengendalian Demam Tifoid di Indonesia.


Medan: Universitas Sari Mutiara Indonesia. Sumatera Utara.

4. Algerina,A. (2008) .Demam Tifoid dan lnfeksi Lain dari Bakteri


Salmonella.Web.23Januari2018.http://medicastore.com/penyakit/10/Demam_T
ifoid.html.

5. Rahayu, E. (20fj.13). Sensitivitas uji widal dan tubex untuk diagnosis demam
tifoid berdasarkan kultur darah. Semarang: Universitas Muhammadiyah
Semarang.

6. Sudoyo, A. W. (2010). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Jakarta:


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

7. Setiati, S. dkk. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi Ke 6.
Departemen Ilmu Penyakit Dalarn FKUI/RSUPN-CM, Jakarta Pusat:
InternaPublishing h: 549-57

8. Marleni M. (2012). Ketepatan Uji Tubex TF dibandingkan Nested-PCR dalam


Mendiagnosis Demam Tifoid pada Anak pada Demam Hari ke-4. Palembang:
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
9. Widodo, Dj. 2009. Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi
V .jilid III. Jakarta: Internal Publishing. 2797-805.

10. Zulfiqar,A.B. (2008) Chapter 195- infectious disease-gram negative bacteria


salmonella infections. Kliegman: Nelson Textbook of Pediatrics, 18th Edition.

11. Centers for Disease Control and Prevention .(2010).Typhoid Vaccines


What You Need to Know. Web. 24 Januari 2018. https:// www.cdc.
gov/vaccine /hcp/vis/vis-statements /typhoid.pdf

Anda mungkin juga menyukai