Anda di halaman 1dari 35

MINI PROJECT

PREVALENSI PASIEN RAWAT INAP DENGAN DEMAM TIFOID DI PUSKESMAS


GOMBONG I PASCA INTERVENSI KIE PHBS
Periode Februari - September 2016

Disusun oleh :
Dokter Internsip Puskesmas Gombong I
Periode November 2015 – November 2016

Pembimbing :
dr. Anastasia Ardiningsih

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


PUSKESMAS GOMBONG I
KEBUMEN – JAWA TENGAH

2016

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. LatarBelakang
Demam tifoid adalah infeksi akut pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh
Salmonella typhi. Demam tifoid juga dikenal sebagai Typhus abdominalis, Typhoid
fever dan Enteric fever. Terdapat dua sumber penularan demam tifoid, yaitu dari pasien
dengan demam tifoid dan karier. Di daerah endemik, transmisi terjadi melalui air yang
tercemar S.typhi sedangkan pada daerah non endemik, sumber penularan tersering
berasal dari makanan yang tercemar oleh karier demam tifoid.
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sulit ditentukan karena
penyakit ini dikenal memiliki gejala klinis dengan spektrum klinis yang luas. Data
World Health Organization (WHO) tahun 2009 memperkirakan terdapat 17 juta kasus
demam tifoid di seluruh dunia dengan insiden 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di
negara-negara dengan status endemis demam tifoid, 95% merupakan kasus rawat jalan
sehingga insiden sebenarnya 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah
sakit.Di Indonesia, insiden demam tifoid masih tinggi, dan didapati sepanjang tahun
dengan angka kesakitan per tahun mencapai 157/100.000 populasi pada daerah semi
rural, dan 810/100.000 populasi pada daerah urban dan cenderung meningkat setiap
tahunnya. Tercatat angka kematian akibat demam tifoid di Indonesia pada tahun 2011
masih tinggi dengan CFR sebesar 10%. Berdasarkan data Dinas Kesehatan provinsi
Jawa Tengah menggunakan sistem surveilans terpadu beberapa penyakit terpilih pada
tahun 2010 penderita demam tifoid ada 44.422 penderita, termasuk urutan ketiga
dibawah penderita diare dan TBC, sedangkan pada tahun 2011 jumlah penderita
demam tifoid meningkat menjadi 46.142 penderita. Berdasarkan Profil Puskesmas
Gombong I tahun 2015, demam tifoid menempati urutan pertama dari 10 besar penyakit
rawat inap dengan jumlah akumulatif sebesar 112 kasus, yang 51 kasus di antaranya
berasal dari wilayah kerja Puskesmas Gombong I.
Penyakit demam tifoid merupakan masalah kesehatan masyarakat yang sering
dikaitkan dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air,
dan sanitasi yang buruk, standar hygiene pengolahan makanan yang masih rendah, dan
perilaku masyarakat yang tidak mendukung pola hidup sehat. Perubahan pemahaman
tentang pengertian sehat dan kesadaran yang semakin meningkat mengenai berbagai
faktor yang mempengaruhi kesehatan telah membawa kesimpulan bahwa pemberian

2
pelayanan yang bersifat kuratif dan rehabilitatif pada pasien demam tifoid tidak akan
mampu menciptakan masyarakat sehat seperti yang diharapkan. Sehingga diperlukan
pendekatan yang bersifat pembinaan dalam jangka panjang yang mampu mendorong
masyarakat untuk mandiri dan mampu menumbuhkan kesadaran mengenai pentingnya
menjaga kesehatan. Hal inilah yang nantinya akan merubah pola pelayanan kesehatan,
yang semula terfokus pada kuratif dan rehabilitatif, secara berangsur berkembang ke
arah promotif dan preventif, sehingga puskesmas akan menjadi ujung tombak dalam
pembangunan kesehatan.

B. RumusanMasalah
Bagaimana prevalensi pasien demam tifoid pada pasien rawat inap di Puskesmas
Gombong I pada periode Februari-September 2016 setelah dilakukan intervensi untuk
meningkatkan kesadaran PHBS?

C. Tujuan
Untuk mengetahui prevalensi pasien rawat inap dengan demam tifoid di wilayah
Puskesmas Gombong 1 setelah dilakukan intervensi untuk meningkatkan kesadaran
PHBS.

D. Manfaat
1. Manfaat Bagi Peneliti
a. Menambah wawasan mengenai prevalensi penyakit Demam Tifoid yang
ada di Puskesmas Gombong I.
b. Mengaplikasikan ilmu kedokteran yang telah dipelajari ke dalam sebuah
penelitian yang berguna bagi masyarakat.

2. Manfaat Bagi Wahana


a. Sebagai bahan acuan dalam peningkatan penanganan penyakit Demam
Tifoid di Pukesmas Gombong I.
b. Memberikan informasi ilmiah guna pengembangan pembelajaran yang
berhubungan dengan pencegahan penyakit Demam Tifoid.
c. Sebagai bahan masukan dan evaluasi terhadap pelaksanaan upaya kesehatan
Puskesmas Gombong I

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Demam Tifoid
1. Definisi
Penyakit demam tifoid (typhoid fever) yang biasa disebut tifus merupakan
penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella, khususnya turunannya yaitu
Salmonella typhi yang menyerang bagian saluran pencernaan. Selama terjadi infeksi,
kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara
berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah.3
Demam tifoid termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-undang
nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan
penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat
menimbulkan wabah.6
Demam tifoid dikenal juga dengan sebutan Typhus abdominalis, Typhoid fever,
atau enteric fever. Istilah tifoid ini berasal dari bahasa Yunani yaitu typhos yang berarti
kabut, karena umumnya penderita sering disertai gangguan kesadaran dari yang ringan
sampai yang berat.4

2. Epidemiologi
Demam tifoid dan demam paratifoid endemik di Indonesia. Penyakit ini
termasuk penyakit menular. Demam tifoid pada umumnya menyerang penderita
kelompok umur 5 – 30 tahun, prevalensi laki – laki sama dengan wanita resikonya
terinfeksi. Jarang pada umur dibawah 2 tahun maupun diatas 60. Kelompok penyakit
menular ini merupakan penyakit-penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang
banyak orang, sehingga dapat menimbulkan wabah.2,3
Ada dua sumber penularan S. Typhi yaitu pasien dengan demam tifoid dan yang
lebih sering adalah pasien karier (pasien karier adalah orang yang sembuh dari demam
tifoid dan masih terus mengekskresi S. typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih
dari satu tahun).Di daerah endemik transmisi terjadi melalui air yang tercemar. Di
daerah nonendemik penyebaran terjadi melalui tinja.2,3

4
Gambar 1. Distribusi Demam Tifoid di Dunia6

Gambar 2. Indonesia Termasuk Wilayah Kasus Demam Tifoid Tertinggi

Di dunia, diperkirakan terdapat 22 juta kasus demam tifoid dengan 200.000


kematian pada tahun 2002. Insidensi tertinggi terdapat di Asia selatan-tengah dan
tenggara. Strain resisten banyak obat muncul pertama kali tahun 1989 di Cina dan Asia
Tenggara dan telah menyebar luas. Obat-obat yang resisten di antaranya adalah
kloramfenikol, ampisilin, dan trimetoprim.6

5
3. Etiologi
S.typhi ialah bakteri gram negatif, berflagela, bersifat anaerobik fakultatif, tidak
berspora, berkemampuan untuk invasi, hidup dan berkembang biak di dalam sel
kariotik. Bakteri ini mudah tumbuh dalam perbenihan biasa, tetapi hampir tidak pernah
meragikan laktosa atau sukrosa. Bakteri ini membentuk asam dan kadang-kadang gas
dari glukosa dan manosa, dan biasanya membentuk H2S.

Gambar 2. Bakteri Salmonella Typhi

Bakteri ini dapat hidup dalam air beku untuk jangka waktu yang cukup lama.
S.typhi mempunyai beberapa antigen: antigen O, antigen H, antigen Vi dan Outer
Membrane Protein terutama porin (OMP).5 Beberapa antigen S.typhi:
a. Antigen O
Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh bakteri.
Struktur kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap
pemanasan 100°C selama 2–5 jam, alkohol dan asam yang encer.4
b. Antigen H
Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae S. typhi dan
berstruktur kimia protein. Antigen ini tidak aktif pada pemanasan di atas suhu
60°C dan pada pemberian alkohol atau asam.
c. Antigen Vi
Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. typhi (kapsul) yang melindungi bakteri
dari fagositosis dengan struktur kimia glikolipid, akan rusak bila dipanaskan
selama 1 jam pada suhu 60°C, dengan pemberian asam dan fenol. Antigen ini
digunakan untuk mengetahui adanya karier.
d. OuterMembrane Protein (OMP)

6
Antigen OMP S typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar
membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel terhadap
lingkungan sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu protein porin dan
protein nonporin. Porin merupakan komponen utama OMP, terdiri atas protein
OMP C, OMP D, OMP F dan merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi untuk
difusi solut dengan BM < 6000. Sifatnya resisten terhadap proteolisis dan
denaturasi pada suhu 85–100°C. Protein nonporin terdiri atas protein OMP A,
protein A dan lipoprotein, bersifat sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya
masih belum diketahui dengan jelas.5

4. Pathogenesis
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia
melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam
lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak. Bila respon
imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel
epitel dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan
difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum
distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus
torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh
organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan
bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi
sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut.3

7
Imunitas humoral pada demam tifoid berperan dalam menegakkan diagnosis
berdasarkan kenaikan titer antibodi terhadap antigen kuman S.typhi. Imunitas seluler
berperan dalam penyembuhan penyakit, berdasarkan sifat kuman yang hidup
intraselluler. Adanya rangsangan antigen kuman akan memicu respon imunitas humoral
melalui sel limfosit B, kemudian berdiderensiasi menjadi sel plasma yang akan
mensintesis immunoglobulin (Ig). Yang terbentuk pertama kali pada infeksi primer
adalah antibodi O (IgM) yang cepat menghilang, kemudian disusul antibodi flagela H
(IgG). IgM akan muncul 48 jam setelah terpapar antigen, namun ada pustaka lain yang
menyatakan bahwa IgM akan muncul pada hari ke 3-4 demam.1

8
5. Gejala Klinis
Gejala klinis demam tifoid seringkali tidak khas dan sangat bervariasi yang sesuai
dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dan sangat
lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare yang mudah
disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa gejala sistemik panas
tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul komplikasi gastrointestinal
berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini mempersulit penegakan diagnosis
berdasarkan gambaran klinisnya saja.3
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding
dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 – 20 hari. Setelah masa inkubasi
maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala,
pusing dan tidak bersemangat. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari
ringan sampai dengan berat, dari asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas
disertai komplikasi hingga kematian.5
Gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
1. Demam
Pada kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten dan
suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur
meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada
sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan
demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun dan normal
kembali pada akhir minggu ketiga.
2. Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah
(ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya
kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan
perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada
perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal
bahkan dapat terjadi diare.
3. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu
apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.7

9
6. Diagnosis
Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang
diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Penelitian yang menggunakan
berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha
penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh masih terus dilakukan
hingga saat ini.7
Diagnosis definitif demam tifoid tergantung pada isolasi S.typhi dari darah,
sumsum tulang atau lesi anatomi tertentu. Adanya gejala klinis dari karakteristik
demam tifoid atau deteksi dari respon antibodi spesifik adalah sugestif demam tifoid
tetapi tidak definitif. Kultur darah adalah gold standard dari penyakit ini.7
Dalam pemeriksaan laboratorium diagnostik, dimana patogen lainnya dicurigai,
kultur darah dapat digunakan. Lebih dari 80% pasien dengan demam tifoid terdapat
Salmonella typhi di dalam darahnya. Kegagalan untuk mengisolasi organisme dapat
disebabkan oleh beberapa faktor: (i) keterbatasan media laboratorium, (ii) penggunaan
antibiotik, (iii) volume spesimen, atau (iv) waktu pengumpulan, pasien dengan riwayat
demam selama 7 sampai 10 hari menjadi lebih mungkin dibandingkan dengan pasien
yang memiliki kultur darah positif.7
Aspirasi sum-sum tulang adalah standar emas untuk diagnosis demam tifoid dan
sangat berguna bagi pasien yang sebelumnya telah diobati, yang memiliki sejarah
panjang penyakit dan pemeriksaan kultur darah yang negatif. Aspirasi duodenum juga
telah terbukti sangat memuaskan sebagai tes diagnostik namun belum diterima secara
luas karena toleransi yang kurang baik pada aspirasi duodenum, terutama pada anak-
anak.7 Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
dibagi dalam empat kelompok, yaitu:
1. Pemeriksaan Darah Tepi
Penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa
menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis
biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia
dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh beberapa
ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap
darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup
tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau
bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat
diagnosis demam tifoid.8

10
2. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri
Salmonella typhidalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan
duodenum. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih
mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit,
sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urin dan feses.8
Kultur darah adalah prosedur untuk mendeteksi infeksi sistemik yang
disebabkan oleh bakteri atau jamur. Tujuannya adalah mencari etiologi bakteremi
dan fungemi dengan cara kultur secara aerob dan anerob, identifikasi bakteri dan
tes sensitivitas antibiotik yang diisolasi. Hal ini dimaksudkan untuk membantu
klinisi dalam pemberian terapi antibiotik yang terarah dan rasiona1.9
Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah media
empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan
positivitas hasil karena hanya S.typhidan S.paratyphi yang dapat tumbuh pada
media tersebut.3
Masing-masing koloni terpilih diamati morfologinya, meliputi: warna
koloni, bentuk, diameter 1-2 mm, tepi, elevasi, sifat yaitu berdasarkan
kemampuannya untuk memfermentasikan laktosa, atau kemampuannya untuk
menghemolisa sel darah merah.9
Hasil yang menunjukkan ditemukannya bakteri dalam darah dengan cara
kultur disebut bakteremi, dan merupakan penyakit yang mengancam jiwa, maka
pendeteksiannya dengan segera sangat penting. Indikasi kultur darah adalah jika
dicurigai terjadi bakteremi atau septikemi dilihat dari gejala klinik, mungkin akan
timbul gejala seperti : demam, mual, muntah, menggigil, denyut jantung cepat
(tachycardia), pusing, hipotensi, syok, leukositosis, serta perubahan lain dalam
sistem organ dan atau laboratoris.9
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan
pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-
80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50%
pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita
yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah
dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Pada keadaan tertentu dapat
dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan
memberikan hasil yang cukup baik, akan tetapi tidak digunakan secara luas

11
karena adanya resiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak
menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir
sama dengan kultur sumsum tulang.9
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa
faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi jumlah darah
yang diambil, perbandingan volume darah dari media empedu dan waktu
pengambilan darah.3
3. Uji Serologis
a. Uji Widal
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan
sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi
aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran
berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang
ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi.
Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan
titer antibodi dalam serum. Semakin tinggi titernya, semakin besar
kemungkinan infeksi ini. Di Indonesia pengambilan titer O aglunitin ≥ 1/40
dengan memakai slide test (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 15
menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%.10
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor
antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita
seperti status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi
pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat
(daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen
yang digunakan.11
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas
serta sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya
dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal
yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam
tifoid (penanda infeksi).
Kelemahan lain adalah banyak terjadi hasil negatif palsu dan positif
palsu pada tes ini. Hasil negatif palsu tes Widal terjadi jika darah diambil
terlalu dini dari fase tifoid. Pemberian antibiotik merupakan salah satu

12
peyebab penting terjadinya negatif palsu. Penyebab hasil negatif lainnya
adalah tidak adanya infeksi S. typhi, status karier, inokulum antigen bakteri
pejamu yang tidak cukup untuk melawan antibodi, kesalahan atau kesulitan
dalam melakukan tes dan variabilitas antigen.12
Hasil positif palsu dapat terjadi apabila sudah pernah melakukan tes
demam tifoid sebelumnya, sudah pernah imunisasi antigen Salmonella sp.,
ada reaksi silang sebelumnya dengan antigen selain Salmonella sp.,
variabilitas dan kurangnya standar pemeriksaan antigen, infeksi malaria
atau bakteri enterobacteriaceae lainnya, serta penyakit lain seperti dengue.13
b. Uji Tubex
Uji Tubex merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat
(beberapa menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi
anti-S.typhi O9 pada serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara
IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan
lipopolisakarida S.typhi yang terkonjugasi pada partikel magnetik latex.
Hasil positif uji Tubex ini menunjukkan terdapat infeksi Salmonellae
serogroup D walau tidak secara spesifik menunjuk pada S.typhi. Infeksi
oleh S.paratyphi akan memberikan hasil negative.3
c. Uji Typhidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat
pada protein membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot
didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara
spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen S.typhi seberat 50 kD, yang
terdapat pada strip nitroselulosa.3
4. Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah
mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah
dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara
polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik
untuk S. typhi.3

7. Penatalaksanaan
Tatalakasana Demam TifoidSampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan
demam tifoid yaitu :3

13
a. Istirahat dan perawatan
Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi.
Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum,
mandi, buangair kecil, dan buang air besar akan membantu dan mempercepat
masa penyembuhan
Dalam perawatan perlu sekali di jaga kebersihan tempat tidur,pakaian, dan
perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah
dekubitus dan pneumonia ortostatik serta higiene perorangan tetap perlu
diperhatikan dan dijaga.
b. Diet dan terapi penunjang
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit
demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menyebabkan menurunnya
keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan
akan menjadi lama.3
c. Pemberian antimikroba
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid
adalah :3,12
1) Kloramfenikol
Dosis diberikan 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara per oral atau
intravena.Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas.Penyuntikan
intramuskular tidak di anjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat
diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri.
2) Tiamfenikol
Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan
kloramfenikol,akan tetapi komplikasi hematologi seperti
terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan
kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4 x 500 mg, demamrata-rata
menurun pada hari ke 5 sampai hari ke 6.
3) Kotrimoksazol
Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis
untuk orang dewasa adalah 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung
sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg trimetoprim) diberikan selama 2
minggu.
4) Ampisilin dan amoksisilin

14
Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah
dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan antara 50-
150 mg/KgBB dan digunakan selama 2 minggu.
5) Sefalosporin generasi ketiga
Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke 3 yang tebukti efektif
untuk demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang dianjurkan antara 3-4
gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama ½ jam per infus sekali
sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari.
6) Golongan fluorokuinolon
a) Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
b) Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
c) Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
d) Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
e) Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
Demam pada umumnya mengalami lisis pada hari ke 3 atau menjelang hari
ke 4.Hasil penurunan demam sedikit lambat pada penggunaan norfloksasin
yang merupakan fluorokuinolon pertama yang memiliki bioavailabilitas
tidak sebaik fluorokuinolon yang dikembangkan kemudian.
7) Kombinasi obat antimikroba
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan
tertentu saja antara laintoksik tifoid, peritonitis atau perforasi, septik syok,
dimana pernah terbukti ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah
selain kuman salmonella.
8) Kortikosteroid
Penggunaan steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam
tifoid yang mengalami syok septik dengan dosis 3 x 5 mg.

15
Pemberian antimikroba menurut sumber lain :
Tabel 1. Tatalaksana Demam tifoid 13

Tatalaksana Pengidap Tifoid (Karier)


Tabel 2. Terapi Antibiotik Tifoid Karier 3
Tidak Disertai dengan kasus kolelitiasis
Pilihan regimen terapi selama 3 bulan :
- Ampisilin 100mg/kgBB/hari + probenesid 30 mg/kgBB/hari
- Amoksisilin 100mg/kgBB/hari + probenesid 30mg/kgBB/hari
- Trimetoprin-sulfametoksazol 2 tablet/2 kali/hari
Disertai dengan kasus kolelitiasis
Kolesistektomi + regimen tersebut di atas selama 28 hari, kesembuhan 80%
atau kelosistektomi + salah satu regimen terapi di bawah ini:
- Siprofloksasin 750 mg/2 kali/hari
- Norfloksasin 400mg/2 kali/hari
Disertai infeksi Schistosoma Haematobium pada traktus urinarius
Lakukan eradikasi S. Haematobium
-Prazikuantel 40mg/kgBB dosis tunggal
-metrifonat 7,5 10mg/kgBB bila diberikan 3 dosis, interval 2 minggu.

16
8. Komplikasi
Komplikasi intestinal
a. Perdarahan Intestinal
Pada plak peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat terbentuk
tukak / luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus.Bila luka
menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi
perdarahan.Selain karena faktor luka perdarahan juga dapat terjadi karena
gangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan kedua faktor.Sekitar 25%
penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak
membutuhkan transfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga pasien
mengalami syok.3,10 Tanda dan gejala perdarahan intestinal dapat berupa keluhan
nyeri perut melilit dengan adanya perdarahan massif yang ditandai dengan BAB
bercampurna warna hitam atau merah gelap, didapatkan pula tanda-tanda syok
seperti tensi tidak terukur nadi cepat lebih dari 100 kali per menit atau nadi tidak
teraba, kulit pucat, akral dingin.
b. Perforasi usus
Biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu
pertama. Selain gejala umum demam tifoid yang biasa terjadi maka penderita
demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di
daerah kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan
disertai dengan tanda-tanda ileus yang meliputi nyeri perut kolik, mual muntah,
distensi abdomen (kembung), bising usus melemah pada 50 % penderita dan
pekak hati terkadang tidak ditemukan karenaadanya udara bebas di abdomen.
Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat,tekanan darah turun, dan bahkan
dapat syok. Leukositosis dengan pergeseran ke kiridapat menyokong adanya
perforasi.Bila pada gambaran foto polos abdomen 3 posisi ditemukan udara
pada rongga peritoneum, maka hal ini merupakan nilai yang cukup untuk
menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid.3
c. Komplikasi ekstra-intestinal
1) Miokarditis :
Kelainan jantung pada pasien tifoid dapat terjadi miokarditis.Miokarditis
yaitu adanya peradangan pada otot jantung yang ditandai dengan gejala
demam, nyeri dada, sesak nafas, aritmia.

17
2) Hepatitis tifosa : ditandai dengan mata kuning dan pembesaran hepar.
Dapat terjadi pada pasien dengan system imun yang kurang dan malnutrisi.
Biasanya pada demam tifoid kenaikanenzim tranaminasse (SGOT dan
SGPT) tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin (untuk
membandingkan dengan hepatitis akibat virus).
3) Tifoid toksik : keadaan demam tifoid yang disertai gangguan kesadaran
dengan atau tanpa kelainan neurologis lainnya dan hasil pemeriksaan cairan
otak masih dalam batas normal.

9. Pencegahan
Pencegahan dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan
penyakit, yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier.
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat
agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Pencegahan
primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari
strain Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin
tifoid, yaitu :
a. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang
diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin
ini kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang
mengkonsumsi antibiotik . Lama proteksi 5 tahun.
b. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni,
K vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol
preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 – 12 tahun 0,25 ml dan anak
1 – 5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek
samping adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat
suntikan. Kontraindikasi demam,hamil dan riwayat demam pada pemberian
pertama.
c. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan
secara intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada
hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam dan anak umur 2 tahun.
Indikasi vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik, orang

18
yang terpapar dengan penderita karier tifoid dan petugas
laboratorium/mikrobiologi kesehatan.
Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh,
memberikan pendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih
dan sehat dengan cara budaya cuci tangan yang benar dengan memakai
sabun, peningkatan higiene makanan dan minuman berupa menggunakan
cara-cara yang cermat dan bersih dalam pengolahan dan penyajian
makanan, sejak awal pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk
dimakan, dan perbaikan sanitasi lingkungan.
2. Pencegahan Sekunder
a. Penemuan penderita maupun carriersecara dini melalui peningkatan usaha
surveilans demam tifoid. Penderita demam tifoid akan mengekskresikan
Salmonella Typhi selama 3 bulan melalui feses maupun air kemih, dan rata-
rata akan berhenti setelah 3 bulan. Sedangkan penderita yang tetap
mengekskresikan Salmonella Typhi setelah 3 bulan namun tidak
menunjukkan keluhan dan gejala demam tifoid maka disebut dengan
carrier demam tifoid.
b. Perawatan umum dan nutrisi
Penderita demam tifoid, dengan gambaran klinis jelas sebaiknya
dirawat di Puskesmas atau sarana kesehatan lain yang ada fasilitas
perawatan. Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna
untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis
berat seperti syok yang dapat terjadi pada penemuan klinis demam tifoid
dengan komplikasi, penderita harus istirahat total. Bila penyakit membaik,
maka dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya
kekuatan penderita.
Nutrisi pada penderita demam tifoid dengan pemberian cairan dan
diet. Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada
komplikasi penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus
mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.
Sedangkan diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup.
Sebaiknya rendah serat untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet

19
untuk penderita tifoid biasanya diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak,
tim dan nasi biasa.
c. Pemberian antimikroba (antibiotik)
Anti mikroba (antibiotik) segera diberikan bila diagnosa telah dibuat.
Kloramfenikol masih menjadi pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan
harga. Kekurangannya adalah jangka waktu pemberiannya yang lama
kurang lebih 10 hari, serta cukup sering menimbulkan karier dan relaps.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi
keparahan akibat komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit
demam tifoid sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas
tubuh tetap terjaga dan dapat terhindar dari infeksi ulang demam tifoid. Pada
penderita demam tifoid yang carier perlu dilakukan pemerikasaan laboratorium
pasca penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak.

10. Indikasi Rawat Jalan dan Rawat Inap


Pasien dengan demam dicurigai menderita demam tifoid apabila didapatkan
tanda dan gejala antara lain demam yang menetap lebih dari 7 hari dengan pola
demam terus menerus dan suhu meningkat pada sore hari, terdaoat gangguan
pencernaan seperti mual muntah nyeri ulu hati, diare, maupun konstipasi, dapat pula
ditandai dengan gangguan kesadaran seperti gelisah hingga koma. Pasien dengan
klinis demam tifoid perlu dilakukan cek laboraturium darah guna menegakkan
diagnosis pasti demam tifoid, pada pelayanan di puskesmas dapat dilakukan
pemeriksaan widal, yang akan memiliki nilai interpretasi demam tifoid bila titer O
diatas 1/160.
Pasien dengan tifoid dapat dilakukan rawat inap apabiladisertai dengan
komplikasi atau bila dipertimbangkan perawatan dirumah oleh keluarga tidak
adekuat. Komplikasi yang bisa terjadi: dehidrasi, perdarahan saluran cerna,
perforasi usus, hepatisis tifosa, meningitis, pneumonia, pyelonephritis, endokarditis.
Pasien dengan rawat inap dapat dipulangkan apabila telah bebas demam lebih
dari 24 jam, tidak didapatkan keluhan demam tifoid secara nyata.

20
B. Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS)
1. Definisi
Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) adalah semua perilaku kesehatan yang
dilakukan atas kesadaran semua anggota keluarga dan masyarakat, sehingga keluarga
dan masyarakat itu dapat menolong dirinya sendiri dan berperan aktif dalam kegiatan-
kegiatan kesehatan di masyarakat.

2. Strategi PHBS
Menyadari bahwa perilaku adalah sesuatu yang rumit. Perilaku tidak hanya
menyangkut dimensi kultural yang berupa sistem nilai dan norma, melainkan juga
dimensi ekonomi, yaitu hal-hal yang mendukung perilaku, maka promosi kesehatan dan
PHBS diharapkan dapat melaksanakan strategi yang bersifat paripurna (komprehensif),
khususnya dalam menciptakan perilaku baru.
Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan telah menetapkan tiga strategi dasar
promosi kesehatan dan PHBS yaitu :
a. Gerakan Pemberdayaan
Pemberdayaan adalah proses pemberian informasi secara terus-menerus dan
berkesinambungan mengikuti perkembangan sasaran, serta proses membantu
sasaran agar sasaran tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar
(aspek knowledge), dari tahu menjadi mau (aspek attitude), dan dari mau menjadi
mampu melaksanakan perilaku yang diperkenalkan (aspek practice). Sasaran
utama dari pemberdayaan adalah individu dan keluarga, serta kelompok
masyarakat.
Bilamana sasaran sudah akan berpindah dari mau ke mampu melaksanakan,
boleh jadi akan terkendala oleh dimensi ekonomi. Dalam hal ini kepada yang
bersangkutan dapat diberikan bantuan langsung, tetapi yang seringkali
dipraktikkan adalah dengan mengajaknya ke dalam proses pengorganisasian
masyarakat (community organisation) atau pembangunan masyarakat
(community development). Untuk itu sejumlah individu yang telah mau,
dihimpun dalam suatu kelompok untuk bekerjasama memecahkan kesulitan yang
dihadapi.
b. Binasuasana
Binasuasana adalah upaya menciptakan lingkungan sosial yang mendorong
individu anggota masyarakat untuk mau melakukan perilaku yang diperkenalkan.

21
Seseorang akan terdorong untuk mau melakukan sesuatu apabila lingkungan
sosial dimana pun ia berada (keluarga di rumah, orang-orang yang menjadi
panutan/idolanya, kelompok arisan, majelis agama, dan lain-lain, dan bahkan
masyarakat umum) menyetujui atau mendukung perilaku tersebut. Oleh karena
itu, untuk mendukung proses pemberdayaan masyarakat,khususnya dalam upaya
meningkatkan para individu dari fase tahu ke fase mau, perlu dilakukan Bina
Suasana.
Terdapat tiga pendekatan dalam Bina Suasana, yaitu :
1) Pendekatan Individu
2) Pendekatan Kelompok
3) Pendekatan Masyarakat Umum
c. Advokasi
Advokasi adalah upaya atau proses yang strategis dan terencana untuk
mendapatkan komitmen dan dukungan dari pihak-pihak yang terkait
(stakeholders). Pihak-pihak yang terkait ini bisa berupa tokoh masyarakat formal
yang umumnya berperan sebagai penentu kebijakan pemerintahan dan
penyandang dana pemerintah. Juga dapat berupa tokoh-tokoh masyarakat
informal seperti tokoh agama, tokoh pengusaha, dan lain-lain yang umumnya
dapat berperan sebagai penentu ”kebijakan” (tidak tertulis) dibidangnya dan atau
sebagai penyandang dana non pemerintah.
Perlu disadari bahwa komitmen dan dukungan yang diupayakan melalui
advokasi jarang diperoleh dalam waktu singkat. Pada diri sasaran advokasi
umumnya berlangsung tahapan-tahapan, yaitu (1) mengetahui atau menyadari
adanya masalah, (2) tertarik untuk ikut mengatasi masalah, (3) peduli terhadap
pemecahan masalah dengan mempertimbangkan berbagai alternatif pemecahan
masalah, (4) sepakat untuk memecahkan masalah dengan memilih salah satu
alternatif pemecahan masalah, dan (5) memutuskan tindak lanjut kesepakatan.
Dengan demikian, maka advokasi harus dilakukan secara terencana, cermat, dan
tepat.

3. Manajemen PHBS
Promosi kesehatan dan PHBS di Kabupaten/Kota dikoordinasikan melalui tiga
sentra, yaitu Puskesmas, Rumah Sakit dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Puskesmas merupakan pusat kegiatan promosi kesehatan dan PHBS di tingkat

22
kecamatan dengan sasaran baik individu yang datang ke Puskesmas maupun keluarga
dan masyarakat di wilayah Puskesmas. Rumah Sakit bertugas melaksanakan promosi
kesehatan dan PHBS kepada individu dan keluarga yang datang ke Rumah Sakit. Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota melaksanakan promosi kesehatan untuk mendukung
promosi kesehatan dan PHBS yang dilaksanakan oleh Puskesmas dan Rumah Sakit
serta sarana pelayanan kesehatan lainnya yang ada di Kabupaten/Kota.
Penanggung jawab dari semua kegiatan promosi kesehatan dan PHBS di daerah
adalah Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus
dapat mengkoordinasikan dan menyusun kegiatan promosi kesehatan dan PHBS di
wilayahnya dengan melibatkan sarana-sarana kesehatan yang ada di Kabupaten/Kota
tersebut
Manajemen PHBS di Puskesmas dilaksanakan melalui penerapan fungsi-fungsi
menejemen secara sederhana untuk memudahkan petugas promosi kesehatan atau
petugas lintas program di Puskesmas dalam pelaksanaan program PHBS di Puskesmas.
Manajemen PHBS di Puskesmas dilaksanakan melalui empat fungsi tahapan yakni :
a. Pengkajian
Pengkajian dilakukan terhadap masalah kesehatan, masalah perilaku (PHBS) dan
sumber daya. Luaran pengkajian adalah pemetaan masalah PHBS yang
dilanjutkan dengan rumusan masalah
b. Perencanaan
Perencanaan berbasis data akan menghasilkan rumusan tujuan, rumusan
intervensi dan jadwal kegiatan
c. Penggerakan dan pelaksanaan
Penggerakan pelaksanaan, merupakan inplementasi dari intervensi masalah
terpilih, yang penggerakannya dilakukan oleh petugas promosi kesehatan,
sedangkan pelaksanaannya bisa oleh petugas promosi kesehatan atau lintas
program dan lintas sektor terkait
d. Pemantauan dan penilaian
Pemantauan dilakukan secara berkala dengan menggunakan format pertemuan
bulanan, sedangkan penilaian dilakukan pada enam bulan pertama atau akhir
tahun berjalan.

Secara singkat, tahapan Manajemen PHBS di Puskesmas/Desa/Keluarahan dan


luarannya adalah sebagai berikut :

23
TAHAPAN MANAJEMEN LUARAN

1. Pengkajian 10 penyakit terbanyak, pemetaan


• Pengkajian masalah kesehatan masalah PHBS pada tiap tatanan,
• Pengkajian masalah PHBS masalah strata kesehatan tatanan dan
• Pemetaan wilayah ketersediaan sumber daya
• Pengkajian sumber daya
Rumusan tujuan, rumusan intervensi
2. Perencanaan
dan jadwal kegiatan
Daftar kegiatan dan penanggung
3. Penggerakan dan Pelaksanaan jawab masing-masing kegiatan dan
intervensi masalah PHBS terpilih
Evaluasi dan penilaian hasil kegiatan
4. Pemantauan dan Penilaian
melalui kunjungan rumah.

4. PHBS Rumah Tangga


Kondisi sehat dapat dicapai dengan mengubah perilaku dari yang tidak sehat
menjadi perilaku sehat, dan menciptakan lingkungan sehat di rumah tangga.Olehkarena
itu kesehatan perlu dijaga, dipelihara dan ditingkatkan oleh setiap anggotarumah tangga
serta diperjuangakan oleh semua pihak secara keseluruhan (totalitas).
Dalam lingkup rumah tangga, untuk ber-PHBS kegiatannya cukup banyak seperti
tidak merokok dalam rumah, memberi ASI, menimbang balita secara rutin,
memberantasjentik nyamuk, dll. Khusus dalam program PAMSIMAS, sebagaimana
tercakupdalam Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), ada 5 pilar ber-PHBS,
yaitu:
a. Stop Buang Air Besar Sembarangan (STOP BABS),
b. Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS)
c. Pengamanan Air Minum Rumah Tangga
d. Pengelolaan Sampah Rumah Tangga
e. Pengelolaan Air Limbah Rumah Tangga

Indikator PHBS adalah suatu alat ukur untuk menilai keadaan atau permasalahan
kesehatan di rumah tangga. Indikator mengacu pada Standar Pelayanan Minimal (SPM)

24
bidang kesehatan. Ada 10 indikator PHBS yang terdiri dari 6 indikator perilaku dan 4
indikator lingkungan. Dengan rincian sebagai berikut :
a. Ibu bersalin ditolong oleh tenaga kesehatan

b. Ibu hanya memberikan ASI kepada bayinya

c. Keluarga mempunyai Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPKM)

d. Anggota keluarga tidak merokok

e. Olah raga atau melakukan aktifitas fisik secara teratur

f. Makan dengan menu gizi seimbang (makan sayur dan buah setiap hari)

g. Tersedia air bersih

h. Tersedia Jamban

i. Kesesuaian luas lantai dengan jumlah penghuni

j. Lantai rumah bukan dari tanah

Manfaat PHBS
a. Setiap rumah tangga meningkat kesehatannya dan tidak mudah sakit.
b. Rumah tangga sehat dapat meningkat produktivitas kerja anggota keluarga
c. Dengan meningkatnya kesehatan anggota rumah tangga maka biaya yang tadinya
dialokasikan untuk kesehatan dapat dialihkan untuk biaya investasi seperti biaya
pendidikan dan usaha lain yang dapat meningkatkan kesejahteraan anggota rumah
tangga
d. Salah satu indikator menilai keberhasilan Pemerintah Daerah Kabupaten /Kota
dibidang kesehatan
e. Meningkatnya citra pemerintah daerah dalam bidang kesehatan Dapat menjadi
percontohan rumah tangga sehat bagi daerah lain.14

25
BAB III
METODE KEGIATAN

A. Bentuk Kegiatan
Kegiatan ini berbentuk 2 macam, yaitu:
1. Penyuluhan mengenai PHBS terkait demam tifoid di wilayah kerja Puskesmas
Gombong I
2. Klinik sanitasi dengan dibantu petugas puskesmas untuk melakukan pendekatan
individual terhadap pasien yang telah terkena demam tifoid di Puskesmas
Gombong I

B. Waktu Pelaksanaan Kegiatan


1. Penyuluhan PHBS terkait demam tifoid dilakukan rutin setiap kegiatan Posyandu
di wilayah kerja Puskesmas Gombong I dan juga edukasi terhadap setiap pasien
rawat jalan maupun rawat inap yang terdiagnosis dengan demam tifoid.
Penyuluhan khusus PHBS terkait demam tifoid dilaksanakan pada bulan Maret
dan bulan Juni 2016.
2. KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) dengan petugas puskesmas di Klinik
Sanitasi oleh pasien-pasien yang telah terdiagnosis dengan demam tifoid di
Puskesmas Gombong I pada jam pelayanan puskesmas.

C. Tempat Pelaksanaan Kegiatan


Puskesmas Gombong I

D. Peserta Kegiatan
Warga di wilayah Puskesmas Gombong I dan pasien rawat inap dan rawat jalan
dengan kasus Demam Tifoid periode bulan Februari hingga September 2016.

E. Ketercapaian Kegiatan
Untuk mengukur ketercapaian maksud dan tujuan kegiatan ini, maka dilakukan
pendataan angka kejadian demam tifoid mulai Februari hingga September 2016.

26
F. Alat yang Digunakan
1. Penyuluhan: materi mengenai demam tifoid dan PHBS, laptop, dan projector.
2. Simulasi cuci tangan : peragaan dan pamphlet

27
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Demam Tifoid merupakan penyakit yang menduduki peringkat pertama dari kasus rawat inap
di Puskesmas Gombong I sepanjang tahun 2015, meskipun bukan termasuk 10 besar penyakit
di kasus rawat jalan. Hal yang sama juga terjadi di tahun 2016. Oleh karena itu, perlu
dilakukan upaya pencegahan terhadap demam tifoid. Dari beberapa upaya preventif lain yang
telah dibahas pada bab sebelumnya seperti vaksin, pencegahan sekunder, atau pencegahan
tersier, maka pendekatan PHBS merupakan upaya yang diharapkan dapat menurunkan kasus
demam tifoid dengan efektif dan efisien.

Pada laporan ini, data yang diperbandingkan adalah data pada bulan yang sama pada tahun
2015 dan 2016, yaitu data bulan Februari-September. Oleh karena itu, dilakukan intervensi
dengan melakukan penyuluhan mengenai PHBS dan sosialisasi serta simulasi mencuci tangan
yang diharapkan dapat mencegah demam tifoid. Akan tetapi, penyuluhan dan sosialisasi ini
hanya bisa dilakukan pada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Gombong I.

Kasus demam tifoid di tahun 2016 mengalami kenaikan sebanding dengan jumlah pasien
rawat inap yakni total 176 kasus dibandingkan tahun 2015 sejumlah 80 kasus. Akan tetapi,
persentase pasien demam tifoid di tahun 2016 yang berasal dari area kerja Puskesmas
Gombong I yang meliputi 5 desa yaitu Banjarsari, Kedungpuji, Patemon, Panjangsari, dan
Wero, mengalami penurunan, yakni sebesar 38% dibandingkan data pada tahun sebelumnya
di bulan yang sama di mana pasien yang berasal dari kelima desa tersebut mencapai 41%. Hal
ini dimungkinkan karena yang diberikan penyuluhan sasarannya adalah warga di wilayah
kerja Puskesmas Gombong I, sedangkan daerah lain tidak dilakukan penyuluhan.

Tahun Jumlah Total Jumlah Pasien Ranap Demam % Pasien dari


Pasien Ranap Tifoid yang berasal dari Area Area Kerja
Demam Tifoid Kerja Puskesmas Gombong 1 Puskesmas
Gombong 1
2015 80 33 41%
2016 176 67 38%

28
Dari data rekam medis juga diketahui bahwa tidak ada kasus yang berulang dalam kurun
waktu tahun 2015-2016. Hal ini bisa merupakan manfaat dari klinik sanitasi, di mana setiap
pasien ditanyakan secara personal mengenai PHBS di rumah, sehingga diharapkan tidak
terkena penyakit serupa dan terhindar dari penyakit lain yang terkait dengan kebersihan diri
dan lingkungan.

Distribusi pasien demam tifoid pada kelima desa tersebut, dapat dilihat pada grafik di bawah
ini. Desa Wero masih menempati peringkat tertinggi daripada pasien dari desa lain baik pada
tahun 2015 maupun 2016, sedangkan 4 desa lain cukup bervariatif.

25

20

Banjarsari
15
Kedungpuji
Panjangsari
10
Patemon
Wero
5

0
2015 2016

Kasus demam tifoid tidak terkait dengan usia. Mulai dari usia anak-anak sampai dewasa
dapat terkena penyakit ini, apalagi Indonesia yang merupakan daerah tropis sehingga kasus
demam tifoid tidak sulit ditemukan. Di tahun 2015, usia paling muda yang terdiagnosis
demam tifoid adalah anak usia 4 tahun, sedangkan pada tahun 2016 pasien termuda dengan
demam tifoid berusia 2 tahun. Usia 73 tahun merupakan usia paling tua pada pasien demam
tifoid di tahun 2015, sedangkan pada tahun 2016, pasien demam tifoid yang paling tua
berusia 85 tahun.

Demam tifoid dapat menyerang laki-laki maupun perempuan. Pada tahun 2015 dari pasien di
wilayah kerja Puskesmas Gombong I, pasien laki-laki sejumlah 13 orang dan pasien
perempuan sebanyak 20 orang, sedangkan pada tahun 2016, selisih pasien lali-laki dan
perempuan hanya 2 orang lebih banyak laki-laki, yaitu pasien laki-laki sebanyak 38 orang
dan perempuan 36 orang.

29
2015 2016

Laki-Laki
Perempuan

Masih tingginya angka kejadian demam tifoid di Puskesmas Gombong I, bisa disebabkan
banyak faktor. Salah satunya bisa disebabkan kesadaran masyarakat yang meningkat
mengenai penyakit demam tifoid setelah dilakukan beberapa intervensi, sehingga masyarakat
memilih mendatangi tempat layanan kesehatan yang disertai dengan laboratorium klinik
seperti di puskesmas. Akan tetapi, anjuran melakukan PHBS belum sepenuhnya dilaksanakan
karena sulitnya mengubah kebiasaan dan perilaku dalam waktu singkat. Oleh karena itu,
perlu dilakukan evaluasi dan perbaikan terus menerus dalam melakukan upaya ini.

30
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada penelitian ini didapatkan angka demam tifoid periode Februari hingga September 2016
sebanyak 176, dan sebanyak 67 pasien berasal dari wilayah kerja Puskesmas Gombong I. Jika
dibandingkan dengan tahun 2015, angka tersebut bertambah tinggi. Namun presentase
demam tifoid di wilayah kerja Puskesmas Gombong I dibandingkan dengan daerah lain
menurun.

Masih tingginya angka kejadian demam tifoid di Puskesmas Gombong I, bisa disebabkan
banyak faktor. Salah satunya bisa disebabkan kesadaran masyarakat yang meningkat
mengenai penyakit demam tifoid setelah dilakukan beberapa intervensi, sehingga masyarakat
memilih mendatangi tempat layanan kesehatan yang disertai dengan laboratorium klinik
seperti di puskesmas. Akan tetapi, anjuran melakukan PHBS belum sepenuhnya dilaksanakan
karena sulitnya mengubah kebiasaan dan perilaku dalam waktu singkat.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes RI. 2007. Informasi Pengendalian Penyakit Menular dan Penyehatan


Lingkungan. Depkes RI 2007. Jakarta.

2. James Chin, 2006, Manual Pemberantasan Penyakit Menular. C.V Info Medika.
Jakarta.

3. Widodo D, Hasan I. 1999. Perkembangan Diagnosis Laboratorium Demam Tifoid.


Majalah Kedokteran Indonesia. 49:25-62.

4. Theodore Curtis, MD. 2006. Typhoid Fever.eMedicine Clinical Reference.

5. Koes, Irianto. 2007. Gizi dan Pola Hidup Sehat. Yrama Widya. Bandung.

6. Koes, Irianto. 2014. Ilmu Kesehatan Masyarakat (Public Health). Bandung.

7. Soedarto, 2009, Penyakit Menular di Indonesia, Jakarta: CV Sagung Seto

8. Sjaifoellah Noer, dkk., 1999, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1, Jakarta: Balai
Penerbit FKUI

9. Sumarmo, dkk, 2002, Infeksi & Penyakit Tropis, Jakarta: FKUI.

10. T.H Rampengan. 2007. Penyakit Infeksi T ropik pada Anak Jakarta: EGC.

11. Widodo, Agus. 2012. Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Upaya Pencegahan
Kekambuhan Demam Tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas Jatiyoso Karanganyar.
Skripsi Program SI FKM Universitas Muhamadiyah. Surakarta.

12. Widoyono. 2011. Penyakit Tropis. Erlangga. Jakarta.

32
13. World Health Organization. 2003. Backround Document: The Diagnosis Treatment
and Prevention of Typhoid Fever, WHO/V&B/03.07, Geneva : World Health
Organization, 2003:7-18.
14. Taufik, Muhammad dkk. 2013. Gambaran Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
Masyarakat di Kelurahan Parangloe Kecamatan Tamalanrea Kota Makassar. Skripsi
Prgram SI FKM Universitas Hasanuddin Makassar. Ujung pandang.

33
LAMPIRAN

REKAPITULASI PASIEN RAWAT INAP DEMAM


TIFOID
PUSKESMAS GOMBONG 1
PERIODE JANUARI SD SEPTEMBER 2016

NO BULAN WANITA PRIA TOTAL


1 FEBRUARI 31 12 43
2 MARET 22 16 38
3 APRIL 10 12 22
4 MEI 8 5 13
5 JUNI 7 4 11
6 JULI 8 6 16
7 AGUSTUS 10 5 15
8 SEPTEMBER 11 7 18
JUMLAH 107 67 176

REKAPITULASI PASIEN RAWAT INAP DEMAM


TIFOID
AREA KERJA PUSKESMAS GOMBONG 1
PERIODE FEBRUARI SD SEPTEMBER 2016

NO BULAN WANITA PRIA JUMLAH


1 FEBRUARI 5 8 13
2 MARET 9 9 18
3 APRIL 4 3 7
4 MEI 4 4 8
5 JUNI 3 6 5
6 JULI 2 5 4
7 AGUSTUS 5 2 7
8 SEPTEMBER 4 1 5
JUMLAH 36 38 67

34
35

Anda mungkin juga menyukai