Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut usus halus yang
disebabkan oleh Salmonella Typhi. Penyakit menular ini masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat di dunia khususnya di negara-negara sedang
berkembang, termasuk Indonesia. WHO memperkirakan terdapat 17 juta
kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insiden 600.000 kasus kematian
tiap tahun. Di negara-negara dengan status endemis demam tifoid, 95%
merupakan kasus rawat jalan sehingga insiden yang sebenarnya 15-25 kali
lebih besar dari laporan rawat inap rumah sakit.
Wilayah Asia menempati urutan tertinggi pada kasus thypoid ini,
dan terdapat 13 juta kasus terjadi tiap tahunnya. Di Indonesia diperkirakan
antara 800-100.000 orang yang terkena penyakit demam tifoid sepanjang
tahun dengan lebih dari 20.000 kematian. Kasus thypoid di derita oleh
anak–anak sebesar 91% berusia 3-19 tahun dengan angka kematian 20.000
per tahunnya (Data WHO, 2013).
Profil Kesehatan Indonesia tahun 2013 menunjukkan gambaran 10
penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit, prevalensi kasus
demam thypoid sebesar 5,13%. Penyakit ini termasuk dalam kategori
penyakit dengan Case Fatality Rate tertinggi sebesar 0,67%. Angka
kematian diperkirakan sekitar 6-5% sebagai akibat dari keterlambatan
mendapat pengobatan serta kurang sempurnanya proses pengobatan. Tifoid
didapatkan sepanjang tahun dengan angka kesakitan pertahun mencapai
157/100.000 populasi pada daerah semi rural dan 810/100.000 populasi pada
daerah urban dan cenderung meningkat setiap tahunnya.
Demam tifoid di Sulawesi Selatan berdasarkan laporan tahunan
Bidang P2PL Dinas Kesehatan Provinsi tahun 2012, tercatat sebanyak 17.287
penderita, dengan 2 kasus kematian. Kasus tertinggi adalah Kota Makassar
(2,379 kasus) dan terendah di Kabupaten Selayar (25 kasus) insiden rate

1
2,08%. Sementara jumlah kasus demam tifoid di wilayah kerja Puskesmas
Dahlia Kecamatan Mariso Kota Makassar pada tahun 2016 adalah sebanyak
301 penderita. Angka ini lebih rendah dari kasus tahun sebelumnya (2015)
dimana jumlah kasusnya sebanyak 400 penderita.
Demam Tifoid erat kaitannya dengan higienitas atau kebersihan.
Bakteri penyebab tifoid senang hidup di makanan kotor ataupun tanah
sehingga bila seseorang mengonsumsi makanan kotor dan saat daya tahan
tubuhnya rendah, bakteri akan menyerang usus orang tersebut. Selanjutnya,
bakteri masuk ke dalam peredaran darah dan menyebabkan terjadinya
penyakit tifoid. Penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan
penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta
standar kebersihan industrri pengolahan makanan yang masih rendah.
Berdasarkan hal tersebut, identifikasi terhadap gambaran kejadian
penyakit demam tifoid perlu dilakukan dalam upaya mengendalikan
peningkatan kasus dan potensi KLB di masa yang akan datang. Dimana
dalam makalah ini akan diidentifikasi berdasarkan grafik pola maksimal dan
minimal kejadian penyakit demam tifoid di wilayah kerja Puskesmas Dahlia
tahun 2013-2016.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengidentifikasi kejadian luar biasa penyakit Demam Tifoid di
Wilayah Kerja Puskesmas Dahlia Kecamatan Mariso Kota Makassar
Tahun 2013-2016 melalui pola maksimal-minimal.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui kejadian penyakit Demam Tifoid menurut waktu, orang
dan tempat di Wilayah Kerja Puskesmas Dahlia Kecamatan Mariso
Kota Makassar Tahun 2016.
b. Mengetahui kejadian luar biasa penyakit Demam Tifoid berdasarkan
grafik pola maksimal - minimal di Wilayah Kerja Puskesmas Dahlia
Kecamatan Mariso Kota Makassar Tahun 2016.

2
C. Manfaat
Menambah pengetahuan dan pengalaman yang sangat berharga bagi
penulis untuk memahami proses identifikasi KLB demam tifoid dengan
pendekatan epidemiologi dan berdasarkan pola maksimal – minimal serta
menganalisinya secara sederhana.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Demam Tifoid


Penyakit demam tifoid (typhoid fever) yang biasa disebut tifus
merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella, khususnya
turunannya yaitu Salmonella typhi yang menyerang bagian saluran
pencernaan. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel
fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah
(Algerina, 2008; Darmowandowo, 2006).
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid
fever. Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat
pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu
atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa
gangguan kesadaran.
Demam tifoid termasuk penyakit menular yang tercantum dalam
Undang- undang nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit
menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang
banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah (Sudoyo A.W., 2010).
Penyakit ini dapat menimbulkan gejala demam yang
berlangsung lama, perasaan lemah, sakit kepala, sakit perut, gangguan
buang air besar, serta gangguan kesadaran yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhi yang berkembang biak di dalam sel-sel darah putih di
berbagai organ tubuh. Demam tifoid dikenal juga dengan sebutan Typhus
abdominalis, Typhoid fever, atau enteric fever. Istilah tifoid ini berasal dari
bahasa Yunani yaitu typhos yang berarti kabut, karena umumnya penderita
sering disertai gangguan kesadaran dari yang ringan sampai yang berat
(Rampengan, 1993).
B. Etiologi Demam Tifoid
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau
Salmonella paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang,

4
gram negatif, tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai
flagela (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai
beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu.
0
Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 60 C) selama 15 – 20 menit,
pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi (Rahayu E., 2013).
Salmonella typhi adalah bakteri batang gram negative yang
menyebabkan demam tifoid. Salmonella typhi merupakan salah satu
penyebab infeksi tersering di daerah tropis, khususnya di tempat-tempat
dengan higiene yang buruk (Brook, 2001).
Manusia terinfeksi Salmonella typhi secara fekal-oral. Tidak selalu
Salmonella typhi yang masuk ke saluran cerna akan menyebabkan infeksi
karena untuk menimbulkan infeksi, Salmonella typhi harus dapat mencapai
usus halus. Salah satu faktor penting yang menghalangi Salmonella typhi
mencapai usus halus adalah keasaman lambung. Bila keasaman lambung
berkurang atau makanan terlalu cepat melewati lambung, maka hal ini akan
memudahkan infeksi Salmonella typhi (Salyers dan Whitt, 2002).
Setelah masuk ke saluran cerna dan mencapai usus halus,
Salmonella typhi akan ditangkap oleh makrofag di usus halus dan
memasuki peredaran darah, menimbulkan bacteremia primer. Selanjutnya,
Salmonella typhi akan mengikuti aliran darah hingga sampai di kandung
empedu. Bersama dengan sekresi empedu ke dalam saluran cerna,
Salmonella typhi kembali memasuki saluran cerna dan akan menginfeksi
Peyer’s patches, yaitu jaringan limfoid yang terdapat di ileum, kemudian
kembali memasuki peredaran darah, menimbulkan bacteremia sekunder.
Pada saat terjadi bakteremia sekunder, dapat ditemukan gejala-gejala klinis
dari demam tifoid (Salyers dan Whitt, 2002).
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu:
1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari
tubuh kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida
atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan
alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.

5
2. Antigen H (Antigen flagela), yang terletak pada flagela, fimbriae atau
pili dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein
dan tahanterhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan
alkohol yang telah memenuhi kriteria penilaian.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang
dapat melindungi kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh
penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi
yang lazim disebut aglutinin (Sudoyo A.W., 2010).
C. Epidemiologi Demam Tifoid
1. Distribusi dan Frekuensi
a. Orang
Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada
perbedaan yang nyata antara insiden pada laki-laki dan perempuan.
Insiden pasien demam tifoid dengan usia 12 – 30 tahun 70 – 80%, usia
31 – 40 tahun 10 – 20%, usia > 40 tahun 5 – 10%. Menurut penelitian
Simanjuntak, C.H, dkk (1989) di Paseh, Jawa Barat terdapat 77%
penderita demam tifoid pada umur 3 – 19 tahun dan tertinggi pada
umur 10-15 tahun dengan insiden rate 687,9 per 100.000 penduduk.
Insiden rate pada umur 0 – 3 tahun sebesar 263 per 100.000 penduduk.
b. Tempat dan Waktu
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai di
seluruh dunia, secara luas di daerah tropis dan subtropis terutama di
daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan
standar higienis dan sanitasi yang rendah yang mana di Indonesia
dijumpai dalam keadaan endemis (Putra A.,2012).
Dari laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2003
terdapat 17 juta kasus demam tifoid per tahun di dunia dengan
jumlah kematian mencapai 600.000 kematian dengan Case Fatality
Rate (CFR = 3,5%). Insidens rate penyakit demam tifoid di daerah
endemis berkisar antara 45 per 100.000 penduduk per tahun sampai

6
1.000 per 100.000 penduduk per tahun. Tahun 2003 insidens rate
demam tifoid di Bangladesh 2.000 per 100.000 penduduk per tahun.
Insidens rate demam tifoid di negara Eropa 3 per 100.000 penduduk,
di Afrika yaitu 50 per 100.000 penduduk, dan di Asia 274 per 100.000
penduduk (Crump, 2004). Indisens rate di Indonesia masih tinggi yaitu
358 per 100.000 penduduk pedesaan dan 810 per 100.000 penduduk
perkotaan per tahun dengan rata-rata kasus per tahun 600.000 –
1.500.000 penderita. Angka kematian demam tifoid di Indonesia masih
tinggi dengan CFR sebesar 10%. Tingginya insidens rate penyakit
demam tifoid di negara berkembang sangat erat kaitannya dengan
status ekonomi serta keadaan sanitasi lingkungan di negara yang
bersangkutan (Nainggolan R., 2009).
2. Determinan (Faktor-faktor yang Mempengaruhi)
a. Faktor Host
Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi.
Terjadinya penularan Salmonella thypi sebagian besar melalui
makanan/minuman yang tercemar oleh kuman yang berasal dari
penderita atau carrier yang biasanya keluar bersama dengan
tinja atau urine. Dapat juga terjadi trasmisi transplasental dari
seorang ibu hamil yang berada dalam bakterimia kepada bayinya.
Penelitian yang dilakukan oleh Heru Laksono (2009) dengan
desain case control, mengatakan bahwa kebiasaan jajan di luar
mempunyai resiko terkena penyakit demam tifoid pada anak 3,6
kali lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan tidak jajan diluar
(OR=3,65) dan anak yang mempunyai kebiasaan tidak mencuci
tangan sebelum makan beresiko terkena penyakit demam
tifoid 2,7 lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan mencuci
tangan sebelum makan (OR=2,7).

7
b. Faktor Agent
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah
5
kuman yang dapat menimbulkan infeksi adalah sebanyak 10 –
9
10 kuman yang tertelan melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi. Semakin besar jumlah Salmonella thypi yang
tertelan, maka semakin pendek masa inkubasi penyakit demam
tifoid.
c. Faktor Environment
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai
secara luas di daerah tropis terutama di daerah dengan kualitas
sumber air yang tidak memadai dengan standar hygiene dan
sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang mempercepat terjadinya
penyebaran demam tifoid adalah urbanisasi, kepadatan penduduk,
sumber air minum dan standart hygiene industri pengolahan
makanan yang masih rendah.
Berdasarkan hasil penelitian Lubis, R. di RSUD. Dr. Soetomo
(2000) dengan desain case control, mengatakan bahwa higiene
perorangan yang kurang, mempunyai resiko terkena penyakit
demam tifoid 20,8 kali lebih besar dibandingkan dengan yang
hygiene perorangan yang baik (OR=20,8) dan kualitas air minum
yang tercemar berat coliform beresiko 6,4 kali lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan yang kualitas air
minumnya tidak tercemar berat coliform (OR=6,4) .
D. Patogenis Demam Tifoid
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh
manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan
berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang
baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina
propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel
fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di

8
dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan
kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus
torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam
sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) dan
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa.
Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke
dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakteremia yang kedua
kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik,
seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut (Sudoyo A.W.,
2010).
Imunitas humoral pada demam tifoid berperan dalam menegakkan
diagnosis berdasarkan kenaikan titer antibodi terhadap antigen kuman
S.typhi. Imunitas seluler berperan dalam penyembuhan penyakit,
berdasarkan sifat kuman yang hidup intraselluler. Adanya rangsangan
antigen kuman akan memicu respon imunitas humoral melalui sel limfosit
B, kemudian berdiderensiasi menjadi sel plasma yang akan mensintesis
immunoglobulin (Ig). Yang terbentuk pertama kali pada infeksi primer
adalah antibodi O (IgM) yang cepat menghilang, kemudian disusul antibodi
flagela H (IgG). IgM akan muncul 48 jam setelah terpapar antigen,
namun ada pustaka lain yang menyatakan bahwa IgM akan muncul pada
hari ke 3-4 demam (Marleni, 2012; Rustandi 2010).
E. Gejala Klinis Demam Tifoid
Gejala klinis demam tifoid seringkali tidak khas dan sangat
bervariasi yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis
demam tifoid tidak khas dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan
berupa panas disertai diare yang mudah disembuhkan sampai dengan bentuk
klinis yang berat baik berupa gejala sistemik panas tinggi, gejala septik yang
lain, ensefalopati atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa perforasi
usus atau perdarahan. Hal ini mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan
gambaran klinisnya saja (Hoffman, 2002).

9
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika
dibanding dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 – 20 hari.
Setelah masa inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan
tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Gejala-
gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat,
dari asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi
hingga kematian (Sudoyo A.W., 2010).
Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang
timbul pada semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara
tiba-tiba, dalam 1- 2 hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai
septicemia oleh karena Streptococcus atau Pneumococcus daripada
S.typhi. Gejala menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi
pada penderita yang hidup di daerah endemis malaria, menggigil lebih
mungkin disebabkan oleh malaria (Sudoyo A.W., 2010).
Gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
1. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat
febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama,
suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun
pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari.
Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam.
Dalam minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun dan normal
kembali pada akhir minggu ketiga.
2. Gangguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-
pecah (ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue),
ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen
mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati
dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan
konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare.

10
3. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam,
yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau
gelisah (Sudoyo, A. W., 2010).
F. Sumber Penularan (Reservoir)
Penularan penyakit demam tifoid oleh basil Salmonella typhi ke
manusia melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh
feses atau urin dari penderita tifoid. Ada dua sumber penularan
Salmonella typhi, yaitu :
1. Penderita Demam Tifoid
Yang menjadi sumber utama infeksi adalah manusia yang selalu
mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia
sedang menderita sakit maupun yang sedang dalam
penyembuhan. Pada masa penyembuhan penderita pada
umumnya masih mengandung bibit penyakit di dalam kandung
empedu dan ginjalnya.
2. Karier Demam Tifoid.
Penderita tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau
urin) mengandung Salmonella typhi setelah satu tahun pasca demam
tifoid, tanpa disertai gejala klinis. Pada penderita demam tifoid yang
telah sembuh setelah 2 – 3 bulan masih dapat ditemukan kuman
Salmonella typhi di feces atau urin. Penderita ini disebut karier
pasca penyembuhan.
Pada demam tifoid sumber infeksi dari karier kronis adalah kandung
empedu dan ginjal (infeksi kronis, batu atau kelainan anatomi). Oleh
karena itu apabila terapi medika-mentosa dengan obat anti tifoid
gagal, harus dilakukan operasi untuk menghilangkan batu atau
memperbaiki kelainan anatominya.
Karier dapat dibagi dalam beberapa jenis.
a. Healthy carrier (inapparent) adalah mereka yang dalam
sejarahnya tidak pernah menampakkan menderita penyakit

11
tersebut secara klinis akan tetapi mengandung unsur penyebab
yang dapat menular pada orang lain, seperti pada penyakit
poliomyelitis, hepatitis B dan meningococcus.
b. Incubatory carrier (masa tunas) adalah mereka yang masih dalam
masa tunas, tetapi telah mempunyai potensi untuk menularkan
penyakit/ sebagai sumber penularan, seperti pada penyakit cacar
air, campak dan pada virus hepatitis.
c. Convalescent carrier (baru sembuh klinis) adalah mereka yang
baru sembuh dari penyakit menulat tertentu, tetapi masih
merupakan sumber penularan penyakit tersebut untuk masa
tertentu, yang masa penularannya kemungkinan hanya sampai tiga
bulan umpamanya kelompok salmonella, hepatitis B dan pada
dipteri.
d. Chronis carrier (menahun) merupakan sumber penularan yang
cukup lama seperti pada penyakit tifus abdominalis dan pada
hepatitis B.
G. Pencegahan Demam Tifoid
Pencegahan dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan
perjalanan penyakit, yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan
pencegahan tersier.
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang
yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi
sakit. Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan
vaksin yang dibuat dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan,
mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh,
memberikan pendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup
bersih dan sehat dengan cara budaya cuci tangan yang benar dengan
memakai sabun, peningkatan higiene makanan dan minuman berupa
menggunakan cara-cara yang cermat dan bersih dalam pengolahan dan
penyajian makanan, sejak awal pengolahan, pendinginan sampai

12
penyajian untuk dimakan, dan perbaikan sanitasi lingkungan.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit
secara dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat. Untuk
mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium.
Pencegahan sekunder dapat berupa : Penemuan penderita maupun carrier
secara dini melalui penigkatan usaha surveilans tifoid serta perawatan
umum dan nutrisi diet yang sesuai.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi
keparahan akibat komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari
penyakit demam tifoid sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat,
sehingga imunitas tubuh tetap terjaga dan dapat terhindar dari infeksi
ulang demam tifoid. Pada penderita demam tifoid yang carier perlu
dilakukan pemerikasaan laboratorium pasca penyembuhan untuk
mengetahui kuman masih ada atau tidak.

13
BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI

A. Keadaan Geografis
Puskesmas Dahlia merupakan salah satu Puskesmas yang ada di
Kota Makassar yang berada di wilayah kerja Kecamatan Mariso yang
terletak di Jalan Seroja Nomor 3 Makassar. Luas wilayah Puskesmas
Dahlia 0,62 km2 yang meliputi 4 kelurahan, yaitu:
a. Kelurahan Bontorannu, terdiri dari 5 RW dan 17 RT (0,16 km2)
b. Kelurahan Tamarunang, terdiri dari 5 RW dan 17 RT (0,12 km2)
c. Kelurahan Mattoanging, terdiri dari 4 RW dan 17 RT (0,18 km2)
d. Kelurahan Kampung Buyang, terdiri dari 4 RW dan 16 RT (0,16 km2).
Adapun batas batas wilayah kerja Puskesmas Dahlia adalah sebagai
berikut:
a. Sebelah Utara : Kelurahan Mariso Kecamatan Mariso
b. Sebelah Selatan : Kelurahan Sambung Jawa Kecamatan Tamalate
c. Sebelah Timur : Kelurahan Pa’battang Kecamatan Mamajang
d. Sebelah Barat : Selat Makassar
B. Keadaan Demografis
Jumlah penduduk dalam wilayah kerja Puskesmas Dahlia pada
tahun 2016 sebanyak 20.776 jiwa dengan jumlah Kepala keluarga (KK)
4.474. secara rinci diuraikan jumlah penduduk dan KK berdasarkan
kelurahan dalam tabel berikut :

14
Tabel. 3.1
Distribusi Jumlah Penduduk dan KK Berdasarkan Kelurahan
Di Wilayah Kerja PKM Dahlia Tahun 2016

JUMLAH JUMLAH
JUMLAH
NO KELURAHAN RUMAH PENDUDUK
KK
TANGGA (Jiwa)
KAMPUNG
1. 785 580 4338
BUYANG
2. MATTOANGIN 954 695 3897
3. TAMARUNANG 1334 987 6489
4. BONTORANNU 1401 1103 6052
JUMLAH 4.474 3365 20.776

Sumber: Data PKM Dahlia, 2016.


C. Keadaan Kesehatan
Pelayanan kesehatan yang diberikan Puskesmas adalah pelayanan
kesehatan menyeluruh yang meliputi pelayanan:
1. Kuratif (pengobatan)
2. Preventif (pencegahan)
3. Promotif (peningkatan kesehatan)
4. Rehabilitatif (pemulihan kesehatan)
Pelayanan tersebut ditujukan kepada semua penduduk, tidak
membedakan jenis kelamin dan golongan umur, sejak pembuahan dalam
kandungan sampai tutup usia.
Puskesmas Dahlia memiliki 10 ruangan sebagai sarana/fasilitas
pelayanan yang terdiri dari ruang loket, ruangan Kepala Puskesmas,
ruangan poli umum, ruang poli gigi, ruang tindakan, ruang program, ruang
tata usaha dan keuangan, apotik, laboratorium, ruang KIA dan KB.
Jumlah tenaga medis dan paramedis serta staf lainnya yang bertugas
di Puskesmas Dahlia sebanyak 27 orang yang akan diuraikan dakam tabel di
bawah ini :

15
Tabel. 3.2
Data Sumber Daya Manusia Puskesmas Dahlia
Kota Makassar Tahun 2016

NO PENDIDIKAN JUMLAH

1. SARJANA KEDOKTERAN 3
2. SARJANA KEDOKTERAN GIGI 2
3. SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT 4
4. SARJANA KEPERAWATAN 2
5. SARJANA NON KESEHATAN 1
6. DIII. KEPERAWATAN 2
7. DIII. KEBIDANAN 2
8. DIII.GIZI 1
9. DIII. KESEHATAN LINGKUNGAN 1
10. DIII. ANALIS KESEHATAN 1
11. DIII. FARMASI 1
12. SMF 1
13. D1. KEBIDANAN 2
14. SPK 2
15. PERAWAT GIGI 1
16. SMA/PEKARYA 1
JUMLAH 27
Sumber : Data PKM Dahlia, 2016.

Salah satu progam sebagai upaya kesehatan yang dilakukan di


Puskesmas Dahlia adalah Upaya Pencegahan dan Pemberantasan
Penyakit Menular yang merupakan suatu usaha untuk mencegah
penularan penyakit dan peningkatan kasus yang berpotensi KLB.
Program ini bertujuan untuk mengurangi angka kesakitan (morbiditas)
dan kematian p enduduk (mortalitas) sehingga IMR menurun.

16
Upaya yang telah dilaksanakan yaitu:
1. Mengumpulkan data dan mengalisa data penyakit
2. Penyelidikan langsung ke lapangan sumber penularan penyakit
menular
3. Menyembuhkan penderita agar tidak menjadi sumber infeksi
4. Pemberian Imunisasi
5. Penyuluhan kesehatan tentang pencegahan penyakit menular
6. Pemeriksaan laboratorium
7. Pelatihan kader – kader tentang penyakit menular
8. Kegiatan survey epidemiologi
Upaya kesehatan lainnya yang dilakukan adalah Promosi
Kesehatan Puskesmas dengan melaksanakan pemberdayaan kepada
masyarakat untuk mencegah penyakit dan meningkatkan kesehatan
setiap individu, keluarga serta lingkungannya secara mandiri agar
berPerilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
Kegiatan yang dilaksanakan adalah sebagai berikut :
1. Pelaksanaan PHBS Rumah tangga
2. Penyuluhan ASI Ekslusif
3. Pembinaan desa siaga
Laporan hasil kegiatan PHBS Rumah Tangga PKM Dahlia Tahun
2016 menunjukkan bahwa dari 3.365 RT yang disurvey, terdapat 2.363
RT (70%) yang ber PHBS dan 1002 RT (30%) yang tidak ber PHBS.
Dari 4 kelurahan wilayah kerja PKM Dahlia yg disurvey, Kelurahan
Bontorannu adalah yang terendah cakupan rumah tangga yang ber PHBS
yaitu 62% (686 RT).
Program lain yang sangat penting dilakukan dalam upaya
kesehatan di puskesmas adalah Upaya Kesehatan Lingkungan, adapun
cakupan hasil kegiatan upaya kesling tahun 2016 yang telah dilakukan
(Data Laporan Triwulan IV Kesling 2016) adalah sebagai berikut :

17
1. Cakupan Institusi yang dibina : 100%
2. Cakupan Rumah Sehat : 87,9%
3. Cakupan keluarga dengan sumber air minum terlindung : 77,4%
4. Cakupan rumah yang memiliki jamban sehat : 79,4%
5. Cakupan tempat umum yang memenuhi syarat : 95%
6. Cakupan TPM yang memenuhi syarat : 92,5%
Upaya perbaikan gizi masyarakat adalah merupakan suatu
usaha untuk meningkatkan keadaan gizi masyarakat. Adapun usaha
yang telah dilakukan di Puskesmas Dahlia adalah Pemantauan status
gizi pada bayi/balita yang diperlukan untuk mengetahui prevalensi
kasus gizi buruk atau KEP di wilayah kerja Puskesmas Dahlia. Dari
hasil PSG ini dapat diperoleh informasi mengenai status gizi , sehingga
dapat dijadikan sebagai salah satu indikator masalah kesehatan yang
terjadi di masyarakat. Hasil dari kegiatan PSG Puskesmas Dahlia Tahun
2015, menunjukkan bahwa dari 1.209 Balita yang diukur status gizinya,
terdapat 4 balita gizi buruk dan 108 balita gizi kurang. Wilayah kerja
dengan kasus balita gizi kurang terbanyak adalah Kelurahan Bontorannu
sebesar 39 kasus dengan 1 kasus gizi buruk.

18
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL
Hasil pengambilan data sekunder dari Puskesmas Dahlia Kota
Makassar, maka diperoleh data distribusi penderita penyakit Demam Tifoid
menurut waktu, orang dan tempat kejadian selama 4 tahun (2013-2016). Dan
akan diuraikan dalam bentuk tabel, grafik dan narasi sebagai berikut :
1. Distribusi Penderita Demam Tifoid Menurut Waktu
Distribusi penderita demam tifoid menurut waktu (Bulan per
Tahun) di wilayah kerja Puskesmas Dahlia tahun 2013-2016 dapat dilihat
pada tabel berikut :
Tabel 4.1.
Distribusi Penderita Demam Tifoid Menurut Bulan Kejadian
di Wilayah Kerja Puskesmas Dahlia Kota Makassar
Tahun 2013-2016

Jumlah Penderita Per Tahun


Bulan 2013 2014 2015 2016
n % n % n % n %
Januari 5 4.24 16 5.54 27 6.75 10 3.32
Februari 7 5.93 24 8.30 65 16.25 42 13.95
Maret 7 5.93 12 4.15 59 14.75 55 18.27
April 7 5.93 16 5.54 36 9.00 49 16.28
Mei 6 5.08 21 7.27 38 9.50 19 6.31
Juni 9 7.63 23 7.96 34 8.50 18 5.98
Juli 14 11.86 16 5.54 42 10.50 16 5.32
Agustus 14 11.86 20 6.92 33 8.25 23 7.64
September 24 20.34 52 17.99 28 7.00 17 5.65
Oktober 7 5.93 34 11.76 20 5.00 17 5.65
November 9 7.63 22 7.61 14 3.50 18 5.98
Desember 9 7.63 33 11.42 4 1.00 17 5.65
Total 118 100 289 100 400 100 301 100
Sumber : Rekapitulasi Laporan Bulanan Demam Tifoid PKM Dahlia.

Tabel di atas menunjukkan bahwa kasus Demam Tifoid di


Wilayah Kerja Puskesmas Dahlia mengalami peningkatan selama 3 tahun

19
(2013-2015) dan jumlah kasus tertinggi pada tahun 2015 yaitu sebanyak
400 kasus, kemudian mengalami penurunan pada tahun 2016 dengan
jumlah 301 kasus. Insidens penyakit demam tifoid tahun 2016, tertinggi
pada bulan Maret yaitu 59 kasus dan terendah pada bulan Januari yaitu 10
kasus.
Distribusi penderita demam tifoid menurut bulan kejadian
selanjutnya dapat digambarkan secara jelas dalam grafik 4.1 berikut ini :
Grafik. 4.1
Distribusi Penderita Demam Tifoid Menurut Bulan Kejadian
di Wilayah Kerja Puskesmas Dahlia Kota Makassar
Tahun 2013-2016

70

60

50
Jumlah Kasus

40
2013
30 2014
2015
20 2016

10

0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep Okt Nop Des
Bulan Kejadian

2. Distribusi Penderita Demam Tifoid Menurut Orang


a. Distribusi Penderita Menurut Kelompok Umur
Distribusi penderita demam tifoid menurut kelompok umur di
wilayah kerja Puskesmas Dahlia tahun 2013-2016 dapat dilihat pada
tabel berikut :

20
Tabel 4.2
Distribusi Penderita Demam Tifoid Menurut Kelompok Umur
di Wilayah Kerja Puskesmas Dahlia Kota Makassar
Tahun 2013-2016

Jumlah Penderita per Tahun


Klp Total
2013 2014 2015 2016
Umur
n % n % n % n % n %
<1 1 0.8 6 2.1 10 2.5 7 2.3 24 2.2
1-4 17 14.4 74 25.6 113 28.3 73 24.3 277 25.0
5 - 14 43 36.4 102 35.3 132 33.0 95 31.6 372 33.6
15 - 44 53 44.9 86 29.8 121 30.3 96 31.9 356 32.1
≥ 45 4 3.4 21 7.3 24 6.0 30 10.0 79 7.1
Total 118 100 289 100 400 100 301 100 1108 100
Sumber : Rekapitulasi Laporan Bulanan Demam Tifoid PKM Dahlia.

Tabel di atas menunjukkan bahwa kelompok umur yang paling


banyak menderita demam tifoid selama 4 tahun adalah kelompok umur 5-14
tahun (372 kasus) dengan proporsi 0,33 dan kelompok umur 15-44 tahun
(356 kasus) dengan proporsi 0,32. Jumlah kasus terendah pada kelompok
umur < 1 tahun (24 kasus) dengan proporsi 0,02. Sementara jumlah kasus
tertinggi selama 4 tahun terjadi pada tahun 2015 pada kelompok umur 5-14
tahun (132 kasus). Insidens penyakit demam tifoid tahun 2016 terbanyak
pada kelompok umur 15-44 tahun (96 kasus) dan kelompok umur 5-14 tahun
(95 kasus). Insidens terendah pada kelompok umur < 1 tahun (7 kasus).
Distribusi penderita demam tifoid menurut kelompok umur
selanjutnya dapat digambarkan secara jelas dalam grafik 4.2 berikut ini :

21
Grafik. 4.2
Distribusi Penderita Demam Tifoid Menurut Kelompok Umur
di Wilayah Kerja Puskesmas Dahlia Kota Makassar
Tahun 2013-2016

140

120

100
Jumlah Kasus

80
Tahun 2013
60 Tahun 2014
Tahun 2015
40
Tahun 2016
20

0
<1 1-4 5 - 14 15 - 44 ≥ 45
Kelompok Umur

b. Distribusi Penderita Menurut Jenis Kelamin


Distribusi penderita demam tifoid menurut jenis kelamin di wilayah
kerja Puskesmas Dahlia tahun 2013-2016 dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4.3
Distribusi Penderita Demam Tifoid Menurut Jenis Kelamin
di Wilayah Kerja Puskesmas Dahlia Kota Makassar
Tahun 2013-2016

Jumlah Penderita per Tahun


Jenis Total
2013 2014 2015 2016
Kelamin
n % n % n % n % n %
54.
56.8 50.9 52.3 60.8 606
Laki-laki 67 147 209 183 7
Perempua 45.
43.2 49.1 47.8 39.2 502
n 51 142 191 118 3
Total 118 100 289 100 400 100 301 100 1108 100
Sumber : Rekapitulasi Laporan Bulanan Demam Tifoid PKM Dahlia.

22
Tabel 4.3 menunjukkan bahwa berdasarkan jenis kelamin jumlah
penderita demam tifoid selama 4 tahun, terbanyak adalah laki-laki yaitu 606
kasus dengan proporsi 0,54. Kasus tertinggi terjadi pada tahun 2015 pada
laki-laki (209 kasus) dan terendah pada tahun 2013 pada perempuan (51
kasus). Insidens penyakit demam tifoid tahun 2016 terbanyak pada laki-laki
yaitu 183 kasus (60,8%) dan pada perempuan 118 kasus (39,2%).
Distribusi penderita demam tifoid menurut jenis kelamin selanjutnya
dapat digambarkan secara jelas dalam grafik 4.3 berikut ini :
Grafik. 4.3
Distribusi Penderita Demam Tifoid Menurut Jenis Kelamin
di Wilayah Kerja Puskesmas Dahlia Kota Makassar
Tahun 2013-2016

250

200
Jumlah kasus

150

Laki-laki
100
Perempuan

50

0
2013 2014 2015 2016
Tahun Kejadian

3. Distribusi Penderita Demam Tifoid Menurut Tempat


Distribusi penderita demam tifoid menurut tempat kejadian (kelurahan)
di wilayah kerja Puskesmas Dahlia tahun 2013-2016 dapat dilihat pada tabel
berikut :

23
Tabel 4.4
Distribusi Penderita Demam Tifoid Menurut Kelurahan
di Wilayah Kerja Puskesmas Dahlia Kota Makassar
Tahun 2013-2016

Jumlah Penderita per Tahun


Total
Kelurahan 2013 2014 2015 2016
n % n % n % n % n %
Kampung 24. 27.
20 16.9 81 28.0 97 83 281 25.4
Buyang 3 6
19. 17.
23.7 20.1 216 19.5
Mattoangin 28 58 77 3 53 6
29. 34.
31.4 31.5 347 31.3
Bontorannu 37 91 116 0 103 2
19. 14.
19.5 16.3 191 17.2
Tamarunang 23 47 78 5 43 3
Luar
10 8.5 12 4.2 32 8.0 19 6.3 73 6.6
Wilayah
Total 118 100 289 100 400 100 301 100 1108 100
Sumber : Rekapitulasi Laporan Bulanan Demam Tifoid PKM Dahlia.
Tabel di atas menunjukkan bahwa distribusi penderita demam tifoid
selama 4 tahun, terbanyak di Kelurahan Bontorannu dengan proporsi 0,31 dan
terendah di Luar Wilayah (Kelurahan Mariso) dengan proporsi 0,06.
Distribusi penderita demam tifoid menurut kelurahan selanjutnya dapat
digambarkan secara jelas dalam grafik 4.4 berikut ini :
Grafik. 4.4
Distribusi Penderita Demam Tifoid Menurut Kelurahan
di Wilayah Kerja Puskesmas Dahlia Kota Makassar
Tahun 2013-2016

24
140
120
100
80
Jumlah Kasus

60
40 Tahun 2013
20 Tahun 2014
0 Tahun 2015
g n nu g h
an n gi an an ya Tahun 2016
Bu
y
oa or un ila
g at
t nt ar r W
m
p un M Bo Ta Lu
a
m
Ka
Kelurahan

Kelurahan Bontorannu merupakan wilayah kerja Puskesmas Dahlia


dengan tingkat kepadatan penduduk kedua tertinggi yaitu 32, 417 km2.
Berdasarkan laporan pengelola program kesehatan lingkungan dan promkes
PKM Dahlia tahun 2016, Kelurahan Bontorannu adalah wilayah dengan
cakupan rumah sehat dan rumah tangga ber PBHS terendah dari kelurahan
lainnya. Berikut akan diuraikan secara rinci dalam tabel di bawah ini :
Tabel 4.5
Cakupan Akses Jamban Sehat, Akses Air Minum, Rumah Sehat
dan Rumah Tangga Ber PHBS Menurut Kelurahan
di Wilayah Kerja PKM Dahlia Kota Makassar
Tahun 2016

Akses
Akses Air
Jamban Rumah RT Ber
Jml Minum
Jml Jml Sehat Sehat PHBS
No Kelurahan Rumah (Pddk)
Pddk KK (Pddk)
Tangga
Cak Cak Cak Cak
n n n n
(%) (%) (%) (%)
Kampung 42
1 4338 785 580 2257 52.0 2275 52.4 541 85.9 72.9
Buyang 3

51
2 Mattoangin 3897 954 695 2679 68.7 2615 67.1 626 95.1 74.7
9
82.1 62.2
Bontorann 68
3 6052 1401 1103 4247 70.2 4545 75.1 794
u 6

73
4 Tamarunang 6489 1334 987 5482 84.5 3595 55.4 878 90.1 74.5
5
Sumber : Data Kesling dan Promkes PKM Dahlia, 2016.

25
Tabel 4.5 menunjukkan bahwa Kelurahan Bontorannu merupakan
kelurahan dengan cakupan rumah sehat terendah yaitu 82%, dimana cakupan
penduduk yang memiliki akses air minum hanya 75,09% dan memiliki akses
jamban sehat 70,2%. Sedangkan cakupan rumah tangga yang ber PHBS hanya
62,2%. Secara lebih jelas akan digambarkan pada grafik 4.5 sebagai berikut :

Grafik. 4.5
Persentase Cakupan Akses Jamban Sehat, Akses Air Minum,
Rumah Sehat dan Rumah Tangga Ber PHBS Menurut Kelurahan
di Wilayah Kerja PKM Dahlia Kota Makassar
Tahun 2016

100.0%
90.0%
80.0%
70.0%
60.0%
Kampung Buyang
Persentase

50.0%
Mattoangin
40.0% Bontorannu
30.0% Tamarunang

20.0%
10.0%
0.0%
Cak. Akses Cak. Akses Cak. Rumah Cak. RT Ber
Jamban Air Minum Sehat PHBS
Sehat

4. Perbandingan Pola Maksimal dan Minimal Demam Tifoid (Tahun 2013-2015)


dengan Tahun 2016.
Salah satu cara untuk mengidentifikasi terjadinya kejadian luar biasa
(KLB) adalah dengan melihat grafik pola maksimal dan minimal. Data

26
kejadian 3 (Tiga) tahun terakhir dikumpul dan dipilah berdasarkan kejadian
penderita yaitu jumlah penderita yang paling tinggi dan paling rendah menurut
bulan kejadian. Kemudian Data tersebut dibandingkan dengan kejadian
penyakit di tahun terakhir.
Perbandingan pola maksimal dan minimal demam tifoid di wilayah
kerja Puskesmas Dahlia tahun 2013-2016, selengkapnya dapat dilihat pada
tabel berikut :

Tabel 4.6
Distribusi Penderita Demam Tifoid
Menurut Pola Maksimal-Minimal (2013-2015) dan Tahun 2016
di Wilayah Kerja Puskesmas Dahlia Kota Makassar

Bulan Kejadian
Tahun
Fe Ap Ju No
Jan Mar Mei Jul Agt Sep Okt Des
b r n v
Minimal 5 7 7 7 6 9 14 14 24 7 9 4
Maksima
27 65 59 36 38 34 42 33 52 34 22 33
l
2016 10 42 55 49 19 18 16 23 17 17 18 17

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa pada bulan April 2016


telah terjadi kejadian luar biasa (KLB) penyakit Demam Tifoid di Wilayah
Kerja Puskesmas Dahlia Kota Makassar. Jumlah penderita sebanyak 49 orang
(kasus) atau 16,27% dari seluruh kejadian kasus Demam Tifoid selama tahun
2016. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik 4.5 berikut ini :
Grafik. 4.5
Pola Maksimal-Minimal (2013-2015) dengan Tahun 2016
pada Kejadian Demam Tifoid di Puskesmas Dahlia
Kota Makassar Tahun 2013-2016

27
70

60

50

40
Minimal
Maksimal
30
Tahun 2016
20

10

0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
Pada bulan April selama tahun 2013-2016 jumlah penderita demam
tifoid tertinggi pada tahun 2016 dengan jumlah kasus 49 orang kemudian
tahun 2015 dengan jumlah kasus 36 orang. Jumlah kasus terendah pada
tahun 2013 dengan jumlah penderita 7 orang. Melalui pola maksimal dan
minimal dapat diketahui bahwa ternyata pada tahun 2016 terjadi kejadian
luar biasa (KLB) penyakit demam tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas Dahlia
Kota Makassar.

B. Pembahasan
1. Distribusi Penderita Demam Tifoid Menurut Waktu
Distribusi penderita demam tifoid berdasarkan bulan kejadian di
wilayah kerja Puskesmas Dahlia selama 4 (empat) tahun terakhir (2013-
2016) berfluktuasi. Berdasarkan grafik 4.1, terlihat adanya kasus di setiap
bulan pada setiap tahunnya dan ada peningkatan kasus di bulan februari -
april pada tahun 2015 dan tahun 2016, sementara pada tahun 2013 dan
tahun 2014 kasus meningkat pada bulan september. Hal ini menunjukkan
bahwa kejadian demam tifoid cenderung terjadi setiap waktu dan tidak
terpengaruh oleh musim. Namun pada bulan-bulan tersebut (kasus
meningkat) perlu peningkatan kewaspadaan dini dan upaya pencegahan
yang lebih efektif.

28
2. Distribusi Penderita Demam Tifoid Menurut Orang
a. Kelompok Umur
Kejadian demam tifoid di wilayah kerja Puskesmas Dahlia dapat
ditemui pada semua kelompok umur, ini terlihat pada grafik 4.2.
Namun insidens tertinggi pada kelompok umur 5-14 tahun kemudian
umur 15-44 tahun dan umur 1-4 tahun. Sedangkan insidens terendah
pada kelompok umur < 1 tahun.
Tingginya prevalensi demam tifoid pada kelompok umur 1-44
tahun disebabkan karena pada usia tersebut orang-orang cenderung
memiliki aktivitas fisik yang banyak, sehingga kurang memperhatikan
pola makannya, akibatnya mereka cenderung lebih memilih makan di
luar rumah, yang sebagian besar kurang memperhatikan higienitas.
Insidensi demam tifoid khususnya banyak terjadi pada anak usia
sekolah. Frekuensi sering jajan sembarangan yang tingkat
kebersihannya masih kurang, merupakan faktor penularan penyakit
demam tifoid. Bakteri Salmonella thypi banyak berkembang biak
dalam makanan yang kurang dijaga higienitasnya. Menurut Muh. Zul
Azhri Rustam, pada usia anak sekolah, mereka cenderung kurang
memperhatikan kebersihan atau hygiene perseorangannya yang
mungkin diakibatkan karena ketidaktahuannya bahwa dengan jajan
makanan sembarang dapat menyebabkan tertular penyakit demam
tifoid. (Robert BSW dkk. 2005; Anggarani H. 2012; Nurvina WA.
2012; Rustam MZ. 2010).
Penelitian yang dilakukan oleh Heru Laksono (2009) dengan
desain case control, mengatakan bahwa kebiasaan jajan di luar
mempunyai resiko terkena penyakit demam tifoid pada anak 3,6 kali
lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan tidak jajan diluar
(OR=3,65) dan anak yang mempunyai kebiasaan tidak mencuci
tangan sebelum makan beresiko terkena penyakit demam tifoid 2,7
lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan mencuci tangan sebelum
makan (OR=2,7).

29
Prevalensi demam tifoid yang rendah pada kelompok umur < 1
tahun disebabkan karena anak-anak pada usia ini masih dalam
pengawasan orangtua baik dalam hal pemberian makanan dan
minuman serta belum banyak melakukan aktifitas di luar rumah.
b. Jenis Kelamin
Grafik 4.3 menunjukkan bahwa distribusi penderita demam tifoid
berdasarkan jenis kelamin selama 4 tahun di wilayah kerja puskesmas
dahlia, terbanyak adalah laki-laki dengan total kasus sebanyak 606
orang dengan proporsi 0,54. Insidens penyakit demam tifoid tahun
2016 terbanyak pada laki-laki yaitu 183 kasus (60,8%) dan pada
perempuan 118 kasus (39,2%). Perbandingan kasus demam tifoid
antara laki-laki dan perempuan sebesar 54,69%. Hal ini sejalan dengan
penelitian oleh Okky (2012) dimana dalam penelitiannya Okky
menemukan bahwa laki-laki jauh lebih beresiko dengan terjadinya
demam tifoid dibandingkan perempuan (p value = 0,002) disebabkan
karena laki-laki memiliki aktivitas yang lebih tinggi dari perempuan.
Brusch (2006) mengatakan bahwa beberapa penelitian di seluruh
dunia menemukan bahwa laki-laki lebih sering terkena demam tifoid,
karena laki-laki lebih sering bekerja dan makan di luar rumah yang
tidak terjamin kebersihannya. Tetapi berdasarkan dari daya tahan
tubuh, wanita lebih berpeluang untuk terkena dampak yang lebih berat
atau mendapat komplikasi dari demam tifoid. Salah satu teori yang
menunjukkan hal tersebut adalah ketika Salmonella typhi masuk ke
dalam sel-sel hati, maka hormon estrogen pada wanita akan bekerja
lebih berat karena menangani dua hal sekaligus.
Faktor lain yang mempengaruhi kejadian demam tifoid yaitu
status gizi. Status gizi yang kurang dapat menurunkan daya tahan
tubuh anak, sehingga anak mudah terserang penyakit, bahkan status
gizi buruk dapat menyebabkan angka mortilitas demam tifoid semakin
tinggi. (Anggarani H. 2012; Nurvina WA. 2012; Sugondo S. 2006;
Hartiyanti Y dkk. 2007).

30
Riwayat demam tifoid juga dipengaruhi oleh faktor imun,
sehingga bila dalam kondisi imun yang menurun, pertahanan tubuh
anak menurun dan tubuh mudah terserang penyakit kemudian sakit.
Daya tahan tubuh 80% dibangun di usus, sehingga kesehatan
pencernaan mendukung daya tahan tubuh. (Dina M. 2009).
Hasil dari kegiatan PSG Puskesmas Dahlia Tahun 2015,
menunjukkan bahwa dari 1.209 Balita yang diukur status gizinya,
terdapat 4 balita gizi buruk dan 108 balita gizi kurang. Wilayah kerja
dengan kasus balita gizi kurang terbanyak adalah Kelurahan
Bontorannu sebesar 39 kasus (proporsi ; 0,36) dengan 1 kasus gizi
buruk (proporsi : 0,25). Data ini menunjukkan bahwa tingginya
kejadian kasus demam tifoid di kelurahan Bontorannu dipengaruhi
pula oleh status gizi balita yang ada diwilayah tersebut.
3. Distribusi Penderita Demam Tifoid Menurut Tempat
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai di seluruh
dunia, secara luas di daerah tropis dan subtropis terutama di daerah
dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar
higienis dan sanitasi yang rendah yang mana di Indonesia dijumpai
dalam keadaan endemis (Putra A.,2012).
Indisens rate di Indonesia masih tinggi yaitu 358 per 100.000
penduduk pedesaan dan 810 per 100.000 penduduk perkotaan per tahun
dengan rata-rata kasus per tahun 600.000 – 1.500.000 penderita. Angka
kematian demam tifoid di Indonesia masih tinggi dengan CFR sebesar
10%. Tingginya insidens rate penyakit demam tifoid di negara
berkembang sangat erat kaitannya dengan status ekonomi serta keadaan
sanitasi lingkungan di negara yang bersangkutan (Nainggolan R., 2009).
Pada grafik 4.4 menunjukkan bahwa distribusi penderita demam
tifoid menurut kelurahan di wilayah kerja puskesmas dahlia selama 4
tahun berturut-turut kasus terbanyak adalah di Kelurahan Bontorannu
(total penderita : 347 orang) dengan perbandingan 31,3% dengan
kelurahan lainnya. Berdasarkan tabel 4.5 menunjukkan bahwa cakupan

31
rumah tangga ber PHBS Kelurahan Bontorannu adalah yang terendah
yaitu 62% dan cakupan rumah sehat terendah yaitu 82%, dimana cakupan
penduduk yang memiliki akses air minum hanya 75,09% dan memiliki
akses jamban sehat 70,2%. Sarana MCK yang ada 2 unit yang digunakan
oleh 160 KK atau 1.120 jiwa penduduk, WC pribadi 672 unit yang
digunakan oleh 1.120 KK atau 4.247 jiwa penduduk, artinya masih ada
sekitar 121 KK atau 687 Jiwa penduduk yang tidak memiliki akses
jamban sehat dan kemungkinan BAB di sembarang tempat. Kondisi
pemukiman yang padat dengan higine perorangan dan sanitasi lingkungan
yang tidak sehat menjadi faktor risiko penularan dan penyebaran penyakit
demam tifoid di Kelurahan Bontorannu.
4. Kejadian Luar Biasa Penyakit Demam Tifoid
Hasil analisis yang dilakukan oleh penulis dengan pendekatan pola
maksimal dan minimal sesuai grafik 4.5 di atas menunjukkan bahwa telah
terjadi KLB Demam Tifoid di wilayah kerja Puskesmas Dahlia Kota
Makassar pada bulan April 2016 dengan jumlah penderita sebanyak 49
orang (kasus) atau 16,27% dari seluruh kejadian kasus demam tifoid
selama tahun 2016. Namun pihak puskesmas dahlia tidak menyadari hal
tersebut. Ini disebabkan karena kurangnya pemahaman petugas surveilans
dalam menganalisis laporan bulanan setiap tahun dari pengelola program
terkait dan menganggap bahwa di bulan februari sampai april kasus sering
meningkat.
Kenaikan jumlah penderita demam tifoid pada bulan April 2016
adalah yang tertinggi selama bulan April kurun waktu 4 tahun (2013-
2016). Namun berdasarkan bulan kejadian, kasus tertinggi pernah terjadi
di bulan Februari dan Maret 2015 dengan jumlah penderita masing-
masing sebanyak 65 orang dan 59 orang, sementara pada tahun 2013 dan
tahun 2014 kasus meningkat pada bulan September. Hal ini menunjukkan
bahwa distribusi penderita demam tifoid berdasarkan bulan kejadian di
wilayah kerja Puskesmas Dahlia selama 4 (empat) tahun terakhir (2013-

32
2016) berfluktuasi, cenderung terjadi setiap waktu dan tidak terpengaruh
oleh musim.
Faktor risiko yang sangat berpengaruh dengan kejadian demam tifoid
di wilayah kerja Puskesmas Dahlia adalah kondisi pemukiman yang padat
dengan higine perorangan dan sanitasi lingkungan yang tidak sehat. Hal
ini terlihat dari cakupan rumah tangga ber PHBS yang masih rendah dan
akses air minum serta akses dan kepemilikan jamban sehat yang masih
kurang.
Penelitian yang dilakukan oleh Dian Herliani, dkk (2015) di RS Al-
Islam Bandung menemukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
faktor risiko personal hygene dengan kejadian demam tifoid (P<0,005).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Nadyah (2013) di Kelurahan Samata
Kecamatan Somba Opu Kabupaten Gowa memperoleh hasil bahwa faktor
resiko yang paling dominan dan signifikan untuk terjadinya penyakit
Demam Tifoid di Kelurahan Samata Kecamatan Somba Opu adalah
faktor lingkungan yaitu adanya vektor penyakit yaitu lalat dimana p value
= 0,01 < p = 0,05, dan juga faktor pengolahan sumber makanan
responden yang menunjukkan bahwa, responden dengan gejala demam
kebanyakan membeli makanan (58%), sebaliknya pada responden dengan
demam dan gejala lainnya mengolah sendiri makanannya (14%) dimana
diperoleh signifikansi (p<0,05).
Upaya yang harus di lakukan untuk mencegah terjadinya KLB dan
penyebaran kasus demam tifoid yang lebih luas di wilayah kerja
Puskesmas Dahlia adalah dengan meningkatkan upaya preventif dan
promotif seperti peningkatan KIE terkait dengan hygene perorangan,
sanitasi lingkungan dan status gizi masyarakat.

33
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Berdasarkan analisis dengan pola maksimal dan minimal, diketahui
bahwa telah terjadi kejadian luar biasa (KLB) penyakit demam tifoid di
Wilayah Kerja Puskesmas Dahlia Kota Makassar, yaitu pada bulan April
tahun 2016.
2. Distribusi Penderita demam tifoid di wilayah kerja Puskesmas Dahlia
berfluktuasi setiap bulannya selama kurun waktu 2013-2016, namun
kasus meningkat pada tahun 2015 dan 2016. Kasus terbanyak terjadi pada
kelompok umur 1-4 tahun, 5-14 tahun dan 14-44 tahun dan pada jenis
kelamin laki-laki dengan lokasi kejadian kasus tertinggi di Kelurahan
Bontorannu.
3. Kejadian demam tifoid di wilayah kerja Puskesmas Dahlia mengalami
peningkatan kasus pada bulan Februari-April selama 2 tahun terakhir
(2015-2016) dan bulan September pada tahun 2013 dan 2014. Perlu
peningkatan kewaspadaan dini pada bulan-bulan tersebut.

34
B. Saran
1. Peningkatan kerjasama dan koordinasi lintas Program dan lintas Sektor
terkait dalam upaya penanggulangan dan pencegahan kasus penyakit
potensial KLB.
2. Peningkatan upaya preventif dan promotif dari tingkat puskesmas ke
masyarakat, berupa penyuluhan PHBS dan kesehatan lingkungan secara
rutin dan pemberdayaan kader kesehatan.
3. Peningkatan pengetahuan dan pemahaman petugas surveilans dalam
mengidentifikasi kejadian KLB dan mengaktifkan PWS di setiap pustu
dan posyandu.
4. Pencatatan dan pelaporan kasus yang rutin dan tepat waktu.

DAFTAR PUSTAKA

Chin James. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. CV. Infomedika.


Jakarta.
Elizabeth Purba, et al. 2015. Program Pengendalian Demam Tifoid di Indonesia:
tantangan dan peluang Typhoid Fever Control Program in Indonesia:
Challenges and Opportunities. tony_wdr2009@yahoo.com Submitted: 11-
11-2015, Revised: 28-01-2016, Accepted: 05-04-2016.
Herliani Dian, dkk. 2015. Hubungan Antara Faktor Risiko Dengan Kejadian
Demam Tifoid Pada Pasien Yang Di Rawat Di RS Al-Islam Bandung
Periode Februari-Juni 2015. Fakultas Kedokteran Universitas Islam
Bandung.
Kemenkes RI. 2006. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
365/MENKES/SK/V/2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid.
Jakarta.
Kemenkes RI. 2015. Petunjuk Teknis Pengamatan Karier Tifoid. Jakarta.
Puskesmas Dahlia. 2015. Profil Puskesmas Dahlia 2015. Makassar.
Puskesmas Dahlia. 2016. Laporan Bulanan Program Puskesmas Dahlia Tahun
2016. Makassar.

35
Rois Kurnia, dkk. 2017. Hubungan Pengetahuan, Sikap Dan Kebiasaan Makan
Dengangejalademam Thypoid Pada Mahasiswa Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Halu Oleo Tahun 2017. Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Kesehatan Masyarakat Vol. 2/No.6/ Mei2017; Issn 250-731x.
Ramaningrum G, dkk. 2014. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian
Demam Tifoid pada Anak di RSUD Tugurejo Semarang. Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang.
Zulkifli Andi. 2008. Pola Maksimal-Minimal Penyakit Diare di Puskesmas
Pattingalloang Kota Makassar Tahun 2007. FKM Unhas. Makassar.

36

Anda mungkin juga menyukai