Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Demam Tyfoid

2.1.1 Definisi

Penyakit Typus Abdomenalis (typhoid fever)yang biasa disebut tifus

merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella, khususnya

turunannya yaitu Salmonella typi yang menyerang bagian saluran

pencernaan.Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel

fagositik monuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah

(Algerina, 2012; Darmowandowo, 2016).

Demam tifoid termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-

undang nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah.Kelompok penyakit menular ini

merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang

sehingga dapat menimbulkan wabah (Sudoyo, 2014).Penularan Salmonella typi

sebagian besar melalui minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang

berasal dari penderita atau pembawa kuman dan biasanya keluar bersama-sama

dengan tinja.Transmisi juga dapat terjadi secara transplasenta dari seorang ibu

hamil yang berada dalam bakterimia kepada bayinya (Soedarno et al, 2014).

Istilah typhoid ini berasal dari bahasa Yunani yaitu typhos yang berarti

kabut, karena umumnya penderita sering disertai gangguan kesadaran dari yang

ringan sampai yang berat (Rampengan, 2013).

7
8

2.1.2 Epidemiologi Demam Tyfoid

Demam typhoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai di seluruh

dunia, secara luas di daerah tropis dan subtropis terutama di daerah dengan

kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar higienis dan sanitasi yang

rendah yang mana di Indonesia dijumpai dalam keadaan endemis (Putra, 2012).

Dari laporan World Healt Organization(WHO) pada tahun 2003 terdapat

17 juta kasus demam typhoid per tahun di dunia dengan jumlah kematian

mencapai 600.000 kematian dengan Case Fatality Rate (CFR = 3,5%). Insidens

rate penyakit demam typhoid di daerah endemis berkisar antara 45 per 100.000

penduduk per tahun sampai 1.000 per 100.000 penduduk per tahun. Tahun 2003

insidens rate demam typhoid di Bangladesh 2.000 per 100.000 penduduk per

tahun. Insidens rate demam typhoid di Negara Eropa 3 per 100.000 penduduk,

(Crump, 2004). Insidens rate di Indonesia masih tinggi yaitu 358 per 100.000

penduduk pedesaan dan 810 per 100.000 penduduk perkotaan per tahun dengan

rata-rata kasus per tahun 600.000-1.500.000 penderita. Angka kematian demam

typhoid di Indonesia masih tinggi dengan CFR sebesar 10%. Tingginya insidens

rate penyakit demam typhoid di Negara berkembang sangat erat kaitannya dengan

status ekonomi serta keadaan sanitasi lingkungan di Negara yang bersangkutan

(Nainggolan, 2012).

2.1.3. Etiologi Typhus Abdominalis

Demam typhoid disebabkan oleh bakteri salmonella typhi atau salmonella

paratyphi dari genus salmonella.Bakteri ini berbentuk batang, gram negative,

tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak


9

dengan rambut getar).Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam

bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu.Bakteri ini dapat mati dengan

pemanasan (suhu 600C) selama 15-20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan

kholorinisasi (Rahayu, 2013).

Salmonela typhi adalah bakteri batang gram negative yang menyebabkan

demam typhoid.Salmonella typhi merupakan salah satu penyebab tersering yang

terjadi di daerah tropis, khususnya di tempat-tempat dengan hygiene yang buruk

(Brook, 2012).Manusia terinfeksi salmonella typhi secara fekal-oral.Tidak selalu

salmonella typhiharus dapat mencapai usus halus.Salah satu factor penting yang

menghalangi salmonella typhimencapai usus halus adalah keasaman lambung.

Bila keasaman lambung berkurang atau makanan terlalu cepat melewati lambung,

maka hal ini akan memudahkan infeksi salmonella typhi(Salyers dan Whitt,

2012).

Setelah masuk kesaluran cerna dan mencapai usus halus, salmonella

typhiakan ditangkap oleh makrofag di usus halus dan memasuki peredaran darah,

menimbulkan bacteremia primer. Selanjutnya, salmonella typhiakan mengikuti

aliran darah hingga sampai di kandung empedu. Bersama dengan sekresi empedu

ke dalam saluran cerna, salmonella typhi kembali memasuki saluran cerna dan

akan menginfeksi Peyer’s patches, yaitu jaringan limfoid yang terdapat di ileum,

kemudian kembali memasuki peredaran darah, menimbulkan bacteremia

sekunder. Pada saat terjadi bacteremia sekunder, dapat ditemukan gejala-gejala

klinis dari demam tifoid (Salyers dan Whitt, 2012).


10

2.1.4. Faktor yang Mempengaruhi Typus Abdominalis

a. Faktor Host

Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman salmonella typhi.Terjadinya

penularan salmonella typhi sebagian besar melalui makanan/minuman yang

tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau carrier yang biasanya keluar

bersama dengan tinja atau urine.Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari

seorang ibu hamil yang berada dalam bakterimia kepada bayinya.

Penelitian yang dilakukan oleh Laksono (2012) dengan desain case

control, mengatakan bahwa kebiasaan jajan di luar mempunyai risiko terkena

penyakit demam tifoid pada anak 3,6 kali lebih besar dibandingkan dengan

kebiasaan tidak jajan diluar (OR=3,65) dan anak yang mempunyai kebiasaan tidak

mencuci tangan sebelum makan beresiko terkena penyakit demam tifoid 2,7 lebih

besar dibandingkan dengan kebiasaan mancuci tangan sebelum makan (OR-2,7)

b. Faktor Agen

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri salmonella typhi.Jumlah kuman

yang dapat menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105-109 kuman yang tertelan

melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi .semakin besar jumlah

salmonella typhi yang tertelan, maka semakin pendek masa inkubasi penyakit

demam tifoid.

c. Faktor Environment

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang sering dijumpai secara

luas di daerah tropis terutama daerah dengan kualitas sumber air yang tidak

memadai dengan standar hygiene dan sanitasi yang rendah.Beberapa hal yang
11

mempercepat terjadinya penyebaran demam tifoid adalah urbanisasi, kepadatan

penduduk, sumber air minum dan standar hygiene industri pengolahan makanan

yang masih rendah.

2.1.5. Sumber Penularan (Reservior)

Menurut Sodikin (2014) penularan penyakit demam tifoid oleh basil

salmonella typhi ke manusia melalui makanan dan minuman yang telah tercemar

oleh feses dan urine dari penderita tifoid. Ada dua sumber penularan Salmonella

typhi, yaitu:

a. Penderita Demam Tifoid

Yang menjadi sumber utama infeksi adalah manusia yang selalu

mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia sedang

menderita sakit maupun yang sedang dalam penyembuhan. Pada masa

peyembuhan penderita pada umumnya masih mengandung bibit penyakit di dalam

kandung empedu dan ginjalnya.

b. Karier Demam Tifoid

Penderita tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin)

mengandung salmonella typhi setelsh sssatu tahun pasca demam tifoid, tanpa

disertai gejala klinis.Pada penderita demam tifoid yang telah sembuh setelah 2-3

bulan masih dapat ditemukan kuman salmonella typhi di feces atau urin.Penderita

ini disebut karier pasca penyembuhan.

Pada demam tifoid sumber infeksi dari karier kronis adalah kandung

empedu dan ginjal (infeksi kronis, batu atau kelainan anatomi).Oleh karena
12

ituapabila terapi medika-mentosa dengan obat anti tifoid gagal, harus dilakukan

operasi untuk menghilangkan batu atau memperbaiki kelainan anatominya.

Karier dapat dibagi dalam beberapa jenis, yaitu:

1) Healty carrier (innaparent) adalah mereka yang dalam sejarahnya

tidak pernah menampakkan menderita penyakit tersebut secara klinis

akan tetapi mengandung unsur penyebab yang dapat menular pada

orang lain, seperti pada penyakit poliomyelitis, hepatitis B dan

meningococcus.

2) Incubatory carrier (masa inkubasi) adalah mereka yang masih dalam

masa tunas, tetapi telah mempunyai potensi untuk menularkan

penyakit/sebagai sumber penularan, seperti pada penyakit cacar air,

campak dan pada virus hepatitis.

3) Convalescent carrier (baru sembuh klinis) adalah mereka yang baru

sembuh dari penyakit menular tertentu, tetapi masih sumber penularan

penyakit tersebut untuk masa tertentu, yang masa penularannya

kemungkinan hanya sampai tiga bulan umpamanya kelompok

salmonella, hepatitis B dan pada dipteri.

4) Chronis carrier (menahun) merupakan sumber penularan yang cukup

lama seperti pada penyakit tifus abdominalis dan pada hepatitis B.

2.1.6. Pathogenesis Typus Abdominalis

Salmonella typhi dan salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia

melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh

asam lambung dan sebagian lagi masuk kedalam usus halus dan berkembang biak.
13

Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan

menembussel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina propia. Dilamina propia kuman

berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofak.

Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofak dan selanjutnya

dibawa ke plaque peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening

mesentarika.

Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat didalam

makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah (mengakibatkan bacteremia pertama

yang asimptomatik) dan menyebar keseluruh organ retikuloendotelial tubuh

terutama hati dan limpa. Di organ-oran ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit

dan kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya

masuk kedalam sirkulasi darah lagi yangmengakibatkan bekteremia kedua kalinya

dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik, seperti demam,

malaise, myalgia, sakit kepala dan sakit perut (Sudoyo, 2014).

Imunitas humoral pada demam tifoid berperan dalam menegakkan

diagnosis berdasarkan kenaikan titer antibody terhadap antigen kuman salmonella

.typhiimunitas seluler berperan dalam penyembuhan penyakit, berdasarkan sifat

kuman yang hidup intraselluler. Adanya rangsangan antigen kuman akan memicu

respon imunitas humoral melalui sel limfosit B, kemudian berdiferensiasi menjadi

sel plasma yang akan mensintesis immunoglobin (Ig). Yang cepat menghilang,

kemudian disusul antibody flagella G (igG). IgM akan muncul 48 jam setelah

terpapar antigen, namun ada pustaka lain yang meyatakan bahwa IgM akan

muncul pada hari ke 3-4 demam (Marleni, 2012).


14

2.1.7 Gejala Klinis Typus Abdominalis

Gejala klinis demam tifoid sering kali tidak khas dan sangat bervariasi

yang sesuai dengan pathogenesis demam tifoid.Spectrum klinis demam tifoid

tidak khas dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas

disertai diare yang mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat

baik berupa gejala sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau

timbul komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini

mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja (Hoffman,

2012).

Menurut Sudoyo (2014) gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu:

a. Demam

Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu.Bersifat febris

remiten dan suhu tidak berupa tinggi.Selama minggu pertama, suhu tubuh

berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan

meningkat lagi pada sore dan malam hari.Dalam minggu kedua, penderita terus

berada dalam keadaan demam.Dalam minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur

turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.

b. Gangguan pada saluran pencernaan

Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap.Bibir kering dan pecah-pecah

(ragaden).Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepi

kemerahan, jarang disertai tremor.Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan

perut kembang (meteorismus).Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada


15

perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal

bahkan dapat terjadi diare.

c. Gangguan kesadaran

Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa

dalam,yaitu apatis sampai somnolen.Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.

2.1.8. Komplikasi demam tifoid

Menurut Sudoyo (2014), komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua

bagian, yaitu:

a. Komplikasi Intestinal

1). Perdarahan Usus

Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor

yang tidak membutuhkan tranfusi darah.Perdarahan hebat dapat terjadi hingga

penderita mengalami syok.Secara klinis perdarahan akut darurat akut darurat

bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam.

2). Perforasi Usus

Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat.Biasanya timbul pada

minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama.Penderita

demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama

didaerah kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh

perut.Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan

bahkan sampai syok.


16

b.Komplikasi Ekstraintestinal

1. Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis),

miokarditis, thrombosis dan tromboflebitis.

2. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, koagulasi

intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.

3. Komplikasi paru: pneumoni, empyema, dan pleuritis.

4. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.

5. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.

6. Komplikasi tulang: osteomyelitis, periostitis, spondylitis, dan artritis.

7. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, meningismus, meningitis,

polyneuritis perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.

2.1.9 Pemeriksaan Penunjang Diagnosis Typus Abnominalis

Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang

diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang.Penelitian yang

menggunakan berbagai metode diagnostic untuk mendapatkan metode terbaik

dalam usaha penatalaksaan penderita dema tifoid secara menyeluruh masih

terusdilakukan hingga saat ini (Sudoyo, 2014).

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam

tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu:

a. Pemeriksaan Darah Tepi

Penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal,

bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung


17

jenis biasanya normal atau sedikit bergeser kekiri, mungkin didapatkan

aneosinofilia dan limfositosis relative, terutama pada fase lanjut.

Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan

jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas,

spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam

membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan terapi adanya

leukopenia dan limfositosis relative menjadi dugaan kuat diagnosis demam

tifoid (Hoffman, 2012).

b. Pemeriksaan Bakteriologis dengan Isolasi dan Biakan Kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri

Salmonella typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan

duodenum. Berkaitan dengan pathogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih

mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit,

sedangkan pada stadium berikutnya didalam urin dan feses (Hardi et al, 2012).

Kultur darah adalah prosedur untuk mendeteksi infeksi sistemik yang

disebabkan oleh bakteri atau jamur. Tujuannya adalah mencari etiologi

bakteremi dan fungemi dengan cara kultur secara aerob dan anerob, identifikasi

bakteri dan tes sensitivita antibiotic yang diisolasi. Hal ini dimaksudkan untuk

membantu klinisi dalam pembaerian terapi antibiotic yang terarah dan rasional

(Provan, 2015).Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi dan

S.paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut (Sudoyo, 2014).

Masing-masing koloni terpilih diamati morfologinya, meliputi: warna

koloni, bentuk, diameter 1-2 mm, tepi, elevasi, sifat yaitu berdasarkan
18

kemampuannya untuk memfermentasikan laktosa, atau kemampuannya untuk

menghemolisa sel darah merah (Bourbeau dan Pohlman, 2013).

Hasil yang menunjukkan ditemukannya bakteri dalam darah dengan cara

kultur disebut bakteremi, dan merupakan penyakit yang mengancam jiwa,

maka pendeteksiannya dengan segera sangat penting. Indikasi kultur darah

adalah jika dicurigai terjadi bakteremi atau septikemi dilihat dari gejala klinik,

mungkin akan timbul gejala seperti demam, mual, muntah, menggigil, denyut

jantung cepat (tachycardia), pusing, hipotensi, syok, leukosotosis, serta

perubahan lain dalam system organ dan atau laboratoris (Provan, 2015).

Biakan darah terhadap salmonella juga jantung dari saat pengambilan pada

perjalanan penyakit.Beberapa peneliti melaporkan biakan darah psotif 40-80%

atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50%

pada akhir mingguketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita

yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume

darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Pada keadaan tertentu

dapat dilakukan kultur pada specimen empedu yang diambil dari duodenum

dan memberikan hasil yang cukup baik, akan tetapi tidak digunakan secara luas

karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada

anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum

hamper sama dengan kultur sumsum tulang (Wain et al, 2012).

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil

negative tidak menyingkirkan dema tifoid, karena hasilnya tergantung pada

beberapa factor. Factor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi


19

jumlah darah yang diambil, perbandingan volume darah dari media empedu

dan waktu pengambilan darah (Sudoyo, 2014).

c. Uji Serologis

1) Uji Widal

Uji widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan

sejak tahun 1896. Prinsip uji widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi

aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-

beda terhadap antigen somatic (O) dan flagella (H) yang ditambahkan dalam

jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang

masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam

serum.Semakintinggi titernya, semakin besar kemungkinan infeksi ini.uji widal

ini dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman salmonella typhi. Pada uji

ini terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman salmonella typhi dengan

antibodi yang disebut aglutinin.Antigen yang digunakan pada uji widal adalah

suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah dilaboratorium.Maksud

uji widal adalah menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka

demam tifoid (Sudoyo, 2014).

2) Uji tubex

Uji tubex merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa

menit) an mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi ant-s.typhi 09

pada serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara igM anti-09 yang

terkonjugasi pada partikel magnetik latex. Hasil positif uji tubex ini

menunjukkan terdapat infeksi salmonella serogroup D walau tidak secara


20

spesifik menunjukkan pada S.typhi.infeksi oleh S.paratyphi akan memberikan

hasil negatif (Sudoyo, 2014).

Secara imunologi, antigen 09 bersifat imunodominan sehingga dapat

merangsang respon imun secara independen terhadap timus dan merangsang

mitosos sel B tanpa bantuan dari sel T. Karena sifat-sifat tersebut, respon

terhadap antigen 09 berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap antigen 09

dapat dilakukan lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari

ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Perlu diketahui bahwa uji tubex hanya dapat

mendeteksi IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat

dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi lampau (Sudoyo,

2014).Interpretasi hasil dilakukan berdasarkan warna larutan campuran yang

dapat bervatiasi dari kemerahan hingga kebiruan.Berdasarkan warna inilah

ditentukan skor, yang interpretasinya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Interpretasi skor pemeriksaan tubex

Skor Interpretasi
<2 Negatif Tidak menunjuk infeksi tifoid aktif
3 Bordeline Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Ulangi
pengujian, apabila masih meragukan lakukan
pengulangan beberapa hari kemudian.
4-5 Positif Menunjukkan infeksi tifoid aktif.
>6 Positif Indikasi kuat infeksi tifoid
Sumber: Sudoyo, 2014

3) Uji Typhidot

Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada

protein membayar luar salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot

didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik

antbodi IgM dan IgG terhadap antigen s.typhi seberat 50 kD, yamg tedapat
21

pada strip nitroselulosa (Sudoyo, 2014). Pada penelitian Gopalakhrisnan dkk

2002, didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76,6%

dan efisiensi uji sebesar 84%. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Olsen

dkk,didapatka sensifitas dan spesifisitas uji ini hampir sama dengan uji tubex

yaitu 79% dan 89% dan 78% dan 89% (Sudoyo, 2014).

4) Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode ini untuk identifikasi bakteri S.typhi yang ukurat adalah

mendeteksi NA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S.typhi dalam darah

dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplikasi DNA dengan cara

polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik

untuk S.typhi (wain dan Hosoglu, 2012).

Penelitian oleh Haque et al. (2013) mendapatkkan spesifisitas PCR sebesar

100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik dari pada penelitian

sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/ml darah. Penelitian lain

oleh Massi et al (2003) mendapatkan sensitiivitas sebesar 63% pada tes tubex

bila dibandingkan dengan uji widal (35.6%).

2.1.10 Pencegahan Demam Tifoid

Pencegahan dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan

penyakit, yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier.

a) Pencegahan primer

Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat

agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Pencegahan

primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari
22

strain salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin

tifoid, yaitu:

a. Vaksin oral Typa Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang

diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini

kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang

mengkonsumsi antibiotik dimana lama proteksi yaitu 5 tahun.

b. Vaksin parenteral sel utuh Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K

vaccine (Acitone in actived) and L vaccine (heat in activated-phenol

preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6-12 tahun 0,25 ml dan anak 1-

5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek

samping adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat

suntikan. Kontraindikasi demam, hamil dan riwayat demam pada pemberian

pertama.

c. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan

secara intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada

hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam dan anak umur 2

tahun.Indikasi vaksinisasi adalah apabila hendak mengunjungi daerah

endemim, orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid dan petugas

laboratorium/mikrobiologi kesehatan.

Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh,

memberikan pendidikan kesehatan untuk menerapkan perilaku hidup bersih dan

sehat dengan cara budaya cuci tangan yang benar dengan memakai sabun,

peningkatan higiene makanan dan minuman berupa menggunakan cara-cara yang


23

cermat dan bersih dalam pengolahan dan penyajian makanan, sejak awal

pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk dimakan, dan perbaikan sanitasi

lingkungan.

b) Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mengdiagnosa penyakit

secara dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat. Untuk

mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Ada tiga

metode untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid, yaitu:

1) Diagnosis klinik

Diagnosis klinik penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala klinis yang khas

pada demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga ditemukan

pada penyakit lain. Diagnosis klinis demam tifoid sering kali terlewatkan karena

pada penyakit dengan demam beberapa hari tidak diperkirakan kemungkinan

diagnosis demam tifoid.

2) Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman

Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan

lebih dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positif dalam minggu

pertama. Hasil ini menurun drastis setelah pemakaian obat antibiotika, dimana

hasil positif menjadi 40%. Meskipun demikian kultur sum-sum tulang tetap

memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90% positif. Pada minggu-minggu

selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur urin meningkat yaitu 85%

dan 25% berturut-turut positif pada minggu ke-3 dan ke-4, organisme dalam tinja

masih dapat ditemukan selama 3 bulan dari 90% penderita dan kira-kira 3%
24

penderita tetap mengeluarkan kuman salmonella typhi dalam tinjanya untuk

jangka waktu yang lama.

3) Diagnosis Serologik

a) Uji Widal

Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).

Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella typhi terdapat dalam serum pada

penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular salmonella typhi dan

pada orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid.

b) Uji Enzym-Linked Immunosorbent Assay(ELISA)

Uji ELISA untuk melacak antibodi terhadap antigen salmonella typhi belakangan

ini mulai dipakai.Prinsip dasar uji ELISA yang dipakai umumnya uji ELISA tidak

langsung.Antibodi yang dilacak dengan uji ELISA ini tergantung dari jenis

antigen yang dipakai.Uji ELISA untuk melacak salmonella typhi.Eteksi antigen

spesifik dari salmonella typhi dalam spesimen klinik (darah atau urine) secara

teoritis dapat menegakkan diagnosis demam tifoid secara dini dan cepat. Uji

ELISA yang sering dipakai untuk melacak adanya antigen salmonella typhi dalam

spesimen klinis, yaitu double antibody sandwich ELISA.

c) Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan

akibat komplikasi.Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit demam tifoid

sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat, sehimgga imunitras tubuh tetap

terjaga dan apat terhindar dari infeksi ulang demam tifoid.Pada penderita demam
25

tifoid yang carier perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium pasca penyembuhan

untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak.

2.1.11. Pengobatan

Kloramfenikol merupakan salah satu obat piliihan untuk demam

tifoid.Obat ini bersifat bakteriostatik, dia dapat mengikat 50 subunit dari ribosom

dan menghambat sintesa protein bakteri.Obat ini memiliki spektrum yang luas,

dapat menyerang bakteri gram positif dan gram negatif termasuk bakteri aneorob

dan ricketsia.Kloramfenikol baik diabsorbsi secara oral dan juga tersedia dalam

bentuk intravena.Kloramfenikol dimetabolisme didalam hati (Ismail dalam

Zulfadli, 2013).

Kloramfenikol diberikan dengan dosis 100 mg/kg BB/hari dibagi dalam

empat kali pemberian. Studi yang dilakukan di Malaysia terhadap anak-anak yang

menderita demam tifoid menempatkan 97% anak tersebut sembuh, setelah diobati

dengan kloramfenikol dosis 40.5 mg/kg BB/hari untuk neonatus, dan 75.5 mg/kg

BB/hari untuk anak-anka, dosis dibagi dalam empat kali pemberian selama 14

hari. Saat ini diketahui ada beberapa negara yang telah mengalami resisten

terhadap kloramfenikol untuk pengobatan demam tifoid, diantaranya adalah Kairo

dan India.Alternatif lain untuk pengobatan demam tifoid adalah pemberian

sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson 100 mg/kg BB/hari dalam 1 atau 2

dosis, atau sefitaksim 150-200 mg/kg/hari dalam 3-4 dosis.Efikasi kuinolon baik

tetapi tidak dianjurkan untuk anak.Sefiksim oral 10-15 mg/kg BB/hari selama 10

hari dapat diberikan sebagai terapi untuk demam tifoid.(Soedarmono, dkk, 2012).
26

2.2 Lama Hari Riwayat

2.2.1 Definisi

Lama rawat inap adalah istilah yang umum digunakan untuk mengukur

durasi satu episode rawat inap. Lama rawat inap dinilai dengan mengekstraksi

durasi tinggal dirumah sakit yang diukur dalam jam atau hari (Rotter, et al, 2014).

LOS (Length of Stay=Lama Hari Rawat) adalah menunjukkan beberapa

hari lamanya seorang pasien dirawat inap pada satu periode perawatan. Satuan

untuk lama rawat adalah hari, sedangkan cara menghitung lama rawat adalah

dengan menghitung selisih antara tanggal pulang (keluar rumah sakit, baik hidup

ataupun meninggal) dengan tanggal masuk rumah sakit. Umumnya data tersebut

tercantum dalam formulir ringkasan masuk dan keluar di Rekam Medik (Fema,

2013).

Lama hari rawat merupakan salah satu unsur atau aspek asuhan dan

pelayanan dirumah sakit yang dapat dinilai atau diukur. Bila seorang dirawat

dirumah sakit, maka yang diharapkan tentunya ada perubahan akan derajat

kesehatannya. Bila yang diharapkan baik oleh tenaga medis maupun oleh

penderita itu sudah tercapai maka tentunya tidak ada seorang pun yang ingin

berlama-lama dirumah sakit. Lama hari rawat secara signifikan berkurang sejak

adanya pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan diagnosa yang tepat.

Untuk menentukan apakah penurunan lama hari rawat itu meningkatkan efisiensi

atau perawatan yang tidak tepat, dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut

berhubungan dengan keparahan atas penyakit dan hasil dari perawatan (Indradi,

2012).
27

Dalam perhitungan statistik pelayanan rawat inap dirumah sakit dikenal

istilah yang lama dirawat (LD) yang memiliki karakteristik cara pencatatan,

perhitungan, dan penggunaan yang berbeda. LD menunjukkan beberapa hari

lamanya seorang pasien dirawat inap pada satu episode perawatan.Satuan untuk

LD adalah hari.Cara menghitung LD yaitu dengan menghitung selisih antara

tanggal pulang (keluar dari rumah sakit, hidup maupun mati) dengan tanggal

masuk rumah sakit.Dalam hal ini untuk pasien yang masuk dan keluar pada hari

yang sama-lama dirawatnya dihitung lama rawatnya (Indradi, 2012; Fema, 2013).

Lama rawatan rata-rata penderita demam tipoid diRumah Sakit Pamela PPTPN 3

Tebing Tinggi Tahun 2004-2008 addalah 5,44 hari dengan standar devidasi (SD)

2,123 hari. Lama rawatan yang paling singkat adalah selama 3 hari, sedangkan

yang paling lama adalah selama 13 hari. Berdasarkan 95% confidence interval

didapatkan bahwa lama rawatan rata-rata selama 5,17-5,72 hari (Nainggolan,

2012).

Lama hari rawat merupakan salah satu indikator mutu pelayanan medis

yang diberikan oleh rumah sakit kepada pasien (quality of patient care).

Sedangkan cara perhitungan rata-rata lama hari rawat menurut Departemen

Kesehatan RI (2005), adalah sebagai berikut:

Rata-rata lama hari rawat (Average Length of Stay)=X : Y

Dimana:

X : jumlah hari perawatan pasien rawat inap (hidup dan mati) di

rumah sakit pada suatu periode tertentu


28

Y : jumlah pasien rawat inap yang keluar (hidup dan mati) dirumah

sakit pada periode waktu yang sama

2.2.2 Faktor yang Berpengaruh Terhadap Lama Rawat (LOS)

Beberapa faktor baik yang berhubungan dengan keadaan klinis pasien,

tindakan medis, pengelolaan pasien diruangan maupun masalah administrasi

rumah sakit bisa mempengaruhi terjadinya penundaan pulang pasien. Ini akan

mempengaruhi LOS. Terutama untuk pasien yang memerlukan tindakan medis

atau pembedahan, faktor-faktor yang berpengaruh tersebut antara lain:

1. Komplikasi penyakit

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi luka operasi dan

komplikasi pada umumnya, yaitu (Razi, Fakhrul, 2013); (1) waktu, makin lama

waktu yang dibutuhkan untuk operasi maka akan mempengaruhi terhadap

penyembuhan luka operasi dan juga akan meningkatkan terjadinya infeksi luka

operasi, sehingga lama hari rawat akan lebih panjang, (2) tehnik operasi, operasi

yang menyebabkan kerusakan jaringan lebih luas akan mempunyai resiko

terjadinya infeksi luka operasi yang lebih besar.

2. Jenis kasus atau penyakit

Kasus yang akut dan kronis akan memerlukan lama hari rawat yang berbeda,

dimana kasus yang kronis akan memerlukan lama hari rawat lebih lama dari pada

kasus-kasus yang bersifat akut. Demikian juga penyakit yang tunggal pada satu

penderita akan mempunyai lama hari rawat lebih pendek dari pada penyakit ganda

pada satu penderita (Barbara J., Krzysztof, 2014).


29

3. Hari masuk rumah sakit

Pasien yang masuk rumah sakit menjelang hari sabtu dan minggu akan

memperpanjang lama hari rawat, hal ini disebabkan kesibukan menjelang hari

libur dimana pemeriksaan oleh dokter dan pemeriksaan penunjang diunur sampai

hari kerja biasa dimana semua pegawai rumah sakit sudah bekerja seperti biasa.

Perpanjangan lama hari rawat juga terjai apabila pasien masuk diluar jam kerja

rumah sakit atau saat terjadi pergantian jaga. Perpanjangan lama hari rawat terjadi

karena adanya perpanjangan dari lama hari rawat pra bedah, yang berampak pada

perpanjangan jumlah keseluruhan lama hari rawat (Barbara, 2013).

4. Hari Pulang dari rumah sakit

Pernyataan beberapa praktisi rumah sakit mengemukakan bahwa pasien yang

pulang dari rumah sakit yang jatuh hari senin mempunyai lama hari rawat lebih

panjang dari pada pasien yang pulang pada hari lain, ini lantaran banyak dari

pasien tersebut sebenarnya sudah bisa pulang diakhir pekan sebelumnya yang

terhambat oleh urusan administrasi karena tidak pada hari kerja (Barbara, 2013).

5. Umur Penderita

Usia dalam kamus bahasa Indonesia adalah waktu hidup atau sejak dilahirkan.

Menurut pertimbangan pembedahan pengelompokan umur dibagi menjadi:

1. Usia anak-anak, adalah umur antara 0 sampai 12 tahun.

2. Usia dewasa, umur antara 13 sampai 45 tahun.

3. Usia tua adalah usia yang lebih dari 45 tahun.

Usia mempunyai hubungan dengan tingkat keterpaparan, besarnya resiko, serta

sifat resistensi tertentu. Disamping itu, usia juga mempunyai hubungan yang erat
30

dengan beragam sifat yang dimiliki oleh seseorang. Perbedaan penyakit menurut

umur mempunyai pengaruh yang akan berhubungan dengan:

1. Perbedaan tingkat keterpaparan dan kerentanan menurut umur.

2. Perbedaan dalam proses pathogenesis.

3. Perbedaan dalam hal pengalaman terhadap penyakit tertentu makin besar umur

penderita maka akan memerlukan lama hari rawat lebih lama. Pada beberapa

penelitian, faktor umur mempengaruhi panjang lama hari rawat pasien bedah.

Pasien yang sudah lanjut usia (diatas 45 tahun) cenderung lebih panjang lama

hari rawatnya dibandingkan dengan pasien usia muda. Afif & Ahma (2008)

menemukan bahwa pasien usia 65 tahun keatas berpotensi memiliki lama hari

rawat yang lebih panjang.

6. Jenis Penanggung biaya

Dari hasil penelitian Adriani (2012) dan Angraini (2012), disimpulkan bahwa

penderita yang biaya perawatannya dibayar oleh perusahaan atau asuransi

kesehatan akan mempunyai lama hari rawat lebih lama dari pada penderita yang

biaya perawatannya dibayar sendiri. Hal ini dikarenakan proses penyelesaian

administrasi pembayaran dengan pihak penjamin akan memakan waktu terutama

jika pasien belum melengkapi syarat-syarat administrasinya. Kondisi

sosioekonomi yang rendah akan berdampak terhadap lama hari rawat. Dinegara

yang sedang berkembang dan bagi masyarakat yang kurang beruntung dan

biasanya dengan jumlah anak yang cukup banyak, biaya untuk perawatan atau

pengobatan anaknya yang sakit tentunya sangat memberatkan, sehingga mereka

berusaha untuk mempercepat lama hari rawatnya.


31

7. Alasan keluar dari rumah sakit

Secara legeartis pasien akan pulang/keluar dari rumah sakit apabila telah

mendapat persetujuan dari dokter yang merawatnya. Tetapi ada beberapa

penderita walaupun telah dinyatakan sembuh dan boleh pulang, oleh karena masih

menunggu pengurusan pembayaran oleh pihak penanggung jawab biaya

(perusahaan/asuransi kesehatan) atau surat keterangan tidak mampu, jamkesmas

dari pihak yang berwenang khususnya untuk pasien-pasien yang tiak mampu

membayar, sehingga kepulangan pasien juga tertunda yang mengakibatkan lama

hari rawat menjadi lebih lama. Sebaliknya ada beberapa pasien yang pulang atas

permintaan sendiri/keluarga (pulang paksa) hal ini akan memperpendek lama hari

rawat.

2.3 Rawat Inap

2.3.1 Pengertian

Pelayanan rawat inap adalah suatu kelompok pelayanan kesehatan yang

terdapat dirumah sakit yang merupakan gabungan dari beberapa fungsi

pelayanan.Kategori pasien yang masuk rawat inap adalah pasien yang perlu

perawatan intensif atau observasi ketat karena penyakitnya. Menurut Revans

(2014) bahwa pasien yang masuk pada pelayanan rawat inap mengalami tingkat

proses revormasi, yaitu:

a. Tahap Admission, yaitu pasien dengan penuh kesabaran dan keyakinan

dirawat tinggal dirumah sakit.

b. Tahap diagnosis, yaitu pasien diperiksa dan ditegakkan diagnosisnya.


32

c. Tahap treatment, yaitu berdasarkan diagnosis pasien dimasukkan dalam

program perawatan dan terapi.

d. Tahap Inspection, yaitu secara terus-menerus diobservasi dandibandingkan

pengaruh serta respon pasien terhadap pengobatan.

e. Tahap Control, yaitu setelah dianalisa kondisinya, pasien dipulangkan.

Pengobatan diubah atau diteruskan, namun dapat juga kembali keproses

untuk diagnosa ulang.

2.3.2. Kualitas Layanan Rawat Inap

Jacobalis (2002) menyampaikan bahwa kualitas pelayanan kesehatan

diruang rawat inap rumah sakit dapat diuraikan dari beberapa aspek, diantaranya

adalah:

a. Penampilan keprofesian atau aspek klinis

Aspek ini menyangkut pengetahuan, sikap dan perilaku dokter dan

perawat dan tenaga profesi lainnya

b. Efisiensi dan efektivitas

Aspek ini menyangkut pemanfaatan semua sumber daya dirumah sakit

agar dapat berdaya guna dan berhasil guna

c. Keselamatan pasien

Aspek ini menyangkut keselamatan dan keamanan pasien

d. Kepuasan pasien

Aspek ini menyangkut kepuasan fisik, mental dan sosial pasien terhadap

lingkungan rumah sakit, kebersihan, kenyamanan, kecepatan pelayanan,

keramahan, perhatian, biaya yang diperlukan dan sebagainya


33

Menurut Imbalo (2012), mutu asuhan pelayanan rawat inap dikatakan baik,

apabila: (1) memberikan rasa tentram kepada pasiennya yang biasanya orang

sakit, (2) menyediakan pelayanan yang benar-benar profesional dari setiap strata

pengelola rumah sakit. Pelayanan bermula sejak masuknya pasien kerumah sakit

sampai pulangnya pasien.

Dari kedua aspek ini dapat diartikan sebagai berkut:

a. Petugas menerima pasien dalam melakukan pelayanan terhadap pasien

harus mampu melayani dengan cepat karena mungkin pasien memerlukan

penanganan segera

b. Penanganan pertama dari perawat harus mampu membuat menumbuhkan

kepercayaan pasien bahwa pengobatan yang diterima dimulai secara benar

c. Penanganan oleh para dokter dan perawat yang profesional akan

menimbulkan kepercayaan pasien bahwa mereka tidak salah memilih

rumah sakit

d. Ruangan yang bersih dan nyaman, memberikan nilai tambah kepada

rumah sakit

e. Peralatan yang memadai dengan operator yang profesional

f. Lingkungan rumah sakit yang nyaman.


34

2.4 Kerangka Konsep Penelitian

Adapun kerangka konsep pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

Variabel Independent Variabel Dependent

Faktor yang mempengaruhi


1. Komplikasi penyakit
2. Jenis kasus/penyakit
3. Hari masuk rumah
sakit Lama Hari Rawat
4. Hari pulang dari
rumah sakit
5. Jenis penggunaan
biaya

Skema 2.1 Skema Kerangka Konsep Faktor Yang Mempengaruhi


Lama Hari Rawat Pasien Demam Tifoid

2.5 Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian pada penelitian ini adalah:

1. Ada pengaruh antara komplikasi penyakit dengan lama rawat inap

2. Ada pengaruh antara jenis kasus atau penyakit dengan lama rawat inap

3. Ada pengaruh antara hari masuk rumah sakit dengan lama rawat inap

4. Ada pengaruh antara hari pulang dari rumah sakit dengan lama rawat inap

5. Ada pengaruh antara jenis penanggung biaya dengan lama rawat inap

Anda mungkin juga menyukai