Anda di halaman 1dari 17

1.

Memahami dan Mempelajari Salmonella typhi


1.1 Klasifikasi
Salmonella sp. merupakan kingdom Bacteria, phylum
Proteobacteria, class Gamma Proteobacteria, ordo Enterobacteriales,
Salmonella sp. family dari Enterobacteriaceae, genus Salmonella dan
species yaitu e.g. S. enteric (Todar, 2008).
Dalam skema kauffman dan white tatanama Salmonella sp. di
kelompokkan berdasarkan antigen atau DNA yaitu kelompok I enteric, II
salamae, IIIa arizonae, IIIb houtenae, IV diarizonae, V bongori, dan VI
indica. Komposisi dasar DNA Salmonella sp adalah 50-52 mol% G+C,
mirip dengan Escherichia, Shigella, dan Citrobacter (Todar, 2008). Namun
klasifikasi atau penggunaan tatanama yang sering dipakai pada
Salmonella sp. berdasarkan epidemiologi, jenis inang, dan jenis struktur
antigen (misalnya S.typhi, S .thipirium). Jenis atau spesies Salmonella sp.
yang utama adalah S. typhi (satu serotipe), S. choleraesuis, dan S.
enteritidis (lebih dari 1500 serotipe). Sedangkang spesies S. paratyphi A,
S. paratyphi B, S. paratyphi C termasuk dalam S. enteritidis (Jawezt et al,
2008).
1.2 Ciri-ciri (bentuk/morfologi)
salmonella thyposha, memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Hasil gram negatif yang bergerarak dengan bulu getar dan tidak berspora.
2. yang terdiri atas zat kompleks lipopolisakarida), antigen H (flagella), dan
antigen Vi. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratoriun pasien, biasanya terdapat zat anti
(aglutinin) terhadap ketiga macam antigen tersebut.

Mikroskopis dan makroskopis


S. typhiteri yang selnya berbentuk batang berukuran 0, 7-1,5gm x 2,0-5,0 urn,
bersifat Gram-negatip sehingga mempunyai komponen outer layer (lapisan luar) yang
tersusun dari LPS (lipopolisakariada) dan dapat berfungsi sebagai endotoksin, bergerak
dengan flagel peritrik, tidak membentuk spora. Pada media MacConkey koloni transparan
karena bakteri tidak memfermentasikan laktosa, dengan diameter koloni 2-4 mm. Media
MacConkey adalah media yang mengandung garam empedu dan kristal violet yang
fungsinya dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram-positip. Selain itu media
tersebut mengandung laktosa dan indikator neutral red yang dapat untuk menunjukkan
terjadinya perubahan pH pada media sehingga dapat untuk membedakan antara bakteri
yang memfermentasikan laktosa secara cepat, lambat atau tidak memfermentasikan
laktosa. (Koneman, et all. 1992; Holt et al., 1994; Talaro et al., 2002).
Sealain itu bakteri S.typhi juga memiliki pilli atau fimbriae yang berfungsi untuk
adesi pada sel host yang terinfeksi.Pilli merupakan bentukan batang lurus dengan ukuran
lebih pendek dan lebih kaku bila dibandingkan dengan flagella. Pilli tersusun atas unit
protein yang disebut pillin, mempunyai struktur yang berbentuk pipa, mempunyai peran
dalam proses konjugasi, sebagai reseptor bagi bakteriofag dan berperan pula dalam
proses perlekatan (adesi) antara bakteri dengan permukaan sel inang. Oleh karena itu pilli
mempunyai peran dalam proses patogenesis bakteri, selain itu pilli mampu menginduksi
terbentuknya respon imun pada hewan yang terinfeksi.
Suatu bakteri dapat memiliki beberapa tipe pilli yang berbeda dalam panjang dan
tebalnya, spesifisitas reseptornya. Banyak spesies bakteri dari familia Enterobacteriaceae
Enterobacter, Proteus, Providencia, morganella, Yersinea, Serratia) mempunyai pilli tipe
I dan 3. pilli tipe I diklasifikasikan sebagai mannose-sensitive hemaglutinin (MSHA),
yang mengadakan perlekatan pada sel yang mempunyai reseptor mannose-glycoprotein
dan pilli tipe 3 sebagai pilli mannose-resisten hemaglutinin atau MRHA (Hornick, et all.,
1992).

1.3 Bentuk apa yang menjadi antigen pada salmonella/ pengaruh pada tubuh
2. Struktur antigen S. typhi terdiri dari 3 macam antigen, yaitu:
1. Antigen O (Antigenik somatik) merupakan bagian terpenting dalam menentukan virulensi
kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida disebut endotoksin dan
terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman. Antigen ini bersifat hidofilik, tahan terhadap
pemanasan suhu 1000C selama 2-5 jam dan tahan alkohol 96 % dan etanol 96% selama 4
jam pada suhu 370C tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen flagella) yang terletak pada flagella dan fimbria (pili) dari kuman.
Flagel ini terdiri dari badan basal yang melekat pada sitoplasma dinding sel kuman, struktur
kimia ini berupa protein yang tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas
dan alkohol pada suhu 60 0C,.Selain itu flagel juga terdiri dari the hook dan filamen yang
terdiri dari komponen protein polimerase yang disebut flagelin dengan BM 51-57 kDa yang
dipakai dalam pemeriksaan asam nukleat kuman S. typhi (WHO, 2003)
3. Antigen Vi (permukaan) yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis. Struktur kimia proteinnya dapat digunakan untuk
mendeteksi adanya karier dan akan rusak jika diberi pemanasan selama 1 jam pada suhu 60
0C dan pada pemberian asam serta fenol (WHO, 2003).
3. Memahami dan Mempelajari Demam Tifoid
3.1 Etiologi
Tertelannya bakteri salmonella tersebut menyebabkan terjadinya infeksi pada usus halus. Bakteri
ini dibawa oleh aliran darah menuju hati dan limfa sehingga berkembang biak disana yang
menyebabkan rasa sakit ketika diraba. BakteriBakteri tifoid ditemukan di dalam tinja dan air
kemih penderita (pasien tifoid & carier). Lalat bisa menyebarkan bakteri secara langsung dari
tinja ke makanan. Bakteri masuk ke dalam saluran pencernaan dan bisa masuk ke dalam
peredaran darah. Hal ini akan diikuti oleh terjadinya peradangan pada usus halus dan usus besar.
Pada kasus yang berat, yang bisa berakibat fatal, jaringan yang terkena bisa mengalami
perdarahan dan perforasi (perlubangan).Sekitar 3% penderita yang terinfeksi oleh Salmonella
typhi dan belum mendapatkan pengobatan, di dalam tinjanya akan ditemukan bakteri ini selama
lebih dari 1 tahun.

3.2 Epidemiologi
1. Distribusi dan Frekwensi
a. Orang
Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan
yang nyata antara insiden pada laki-laki dan perempuan. Insiden pasien
demam tifoid dengan usia 12 – 30 tahun 70 – 80 %, usia 31 – 40 tahun 10
– 20 %, usia > 40 tahun 5 – 10 %. Menurut penelitian Simanjuntak, C.H,
dkk (1989) di Paseh, Jawa Barat terdapat 77 % penderita demam tifoid
pada umur 3 – 19 tahun dan tertinggi pada umur 10 -15 tahun dengan
insiden rate 687,9 per 100.000 penduduk. Insiden rate pada umur 0 – 3
tahun sebesar 263 per 100.000 penduduk.
b. Tempat dan Waktu
Demam tifoid tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2000, insiden rate
demam tifoid di Amerika Latin 53 per 100.000 penduduk dan di Asia
Tenggara 110 per 100.000 penduduk. Di Indonesia demam tifoid dapat
ditemukan sepanjang tahun, di Jakarta Utara pada tahun 2001, insiden rate
demam tifoid 680 per 100.000 penduduk dan pada tahun 2002 meningkat
menjadi 1.426 per 100.000 penduduk.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi (Determinan)
a. Faktor Host
Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi.
Terjadinya penularan Salmonella thypi sebagian besar melalui
makanan/minuman yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita
atau carrier yang biasanya keluar bersama tinja atau urine. Dapat juga
terjadi trasmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam
bakterimia kepada bayinya. Penelitian yang dilakukan oleh Heru Laksono
(2009) dengan desain case control , mengatakan bahwa kebiasaan jajan di
luar mempunyai resiko terkena penyakit demam tifoid pada anak 3,6 kali
lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan tidak jajan diluar (OR=3,65)
dan anak yang mempunyai kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum
makan beresiko terkena penyakit demam tifoid 2,7 lebih besar
dibandingkan dengan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan
(OR=2,7).

b. Faktor Agent
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah kuman
yang dapat menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105– 109kuman yang
tertelan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Semakin
besar jumlah Salmonella thypi yang tertelan, maka semakin pendek masa
inkubasi penyakit demam tifoid.

c. Faktor Environment
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di
daerah tropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang
tidakmemadai dengan standar hygiene dan sanitasi yang rendah. Beberapa
hal yang mempercepat terjadinya penyebaran demam tifoid adalah
urbanisasi, kepadatan penduduk, sumber air minum dan standart hygiene
industri pengolahan makanan yang masih rendah. Berdasarkan hasil
penelitian Lubis, R. di RSUD. Dr. Soetomo (2000) dengan desain case
control , mengatakan bahwa higiene perorangan yang kurang, mempunyai
resiko terkena penyakit demam tifoid 20,8 kali lebih besar dibandingkan
dengan yang higiene perorangan yang baik (OR=20,8) dan kualitas air
minum yang tercemar berat coliform beresiko 6,4 kali lebih besar terkena
penyakit demam tifoid dibandingkan dengan yang kualitas air minumnya
tidak tercemar berat coliform (OR=6,4) .

3.3 Patogenesis
Salmonella Typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia.Manusia yang terinfeksi
bakteri Salmonella Typhi dapat mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin dan
tinja dalam jangka waktu yang bervariasi.Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses
mulai dari penempelan bakteri ke lumen usus, bakteri bermultiplikasi di makrofag Peyer’s
patch, bertahan hidup di aliran darah dan menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan
keluarnya elektrolit dan air ke lumen intestinal. Bakteri Salmonella Typhi bersama makanan
atau minuman masuk ke dalam tubuh melalui mulut. adaa saat melewati lambung dengan
suasana asam banyak bakteri yang mati.Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus,
melekat pada sel mukosa kemudian menginvasi dan menembus dinding usus tepatnya di
ileum dan yeyunum.Sel M, sel epitel yang melapisi Peyer’s patch merupakan tempat
bertahan hidup dan multiplikasi Salmonella Typhi.
Bakteri mencapai folikel limfe usus halus menimbulkan tukak pada mukosa
usus.Tukak dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus.Kemudian mengikuti aliran
ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke
jaringan Reticulo Endothelial System (RES) di organ hati dan limpa.Setelah periode
inkubasi, Salmonella Typhi keluar dari habitatnya melalui duktus torasikus masuk ke
sirkulasi sistemik mencapai hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu dan Peyer’s patch
dari ileum terminal.Ekskresi bakteri di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau
dikeluarkan melalui feses.Endotoksin merangsang makrofag di hati, limpa, kelenjar limfoid
intestinal dan mesenterika untuk melepaskan produknya yang secara lokal menyebabkan
nekrosis intestinal ataupun sel hati dan secara sistemik menyebabkan gejala klinis pada
demam tifoid.
Penularan Salmonella Typhi sebagian besar jalur fekal oral, yaitu melalui makanan
atau minuman yang tercemar oleh bakteri yang berasal dari penderita atau pembawa kuman,
biasanya keluar bersama dengan feses.Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang
ibu hamil yang berada pada keadaan bakterimia kepada bayinya

3.4 Manifestasi klinis / mekanisme penyakit


Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan tidak
memerlukan perawatan khusus sampai gejala klinis berat dan memerlukan
perawatan khusus. Variasi gejala ini disebabkan faktor galur Salmonela, status
nutrisi dan imunologik pejamu serta lama sakit dirumahnya
Pada minggu pertama setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala
penyakit itu pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti
demam tinggi yang berkepanjangan yaitu setinggi 39º C hingga 40º C, sakit
kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara
80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan gambaran
bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak, sedangkan diare dan
sembelit silih berganti. Pada akhir minggu pertama, diare lebih sering terjadi.
Khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta
bergetar atau tremor. Epistaksis dapat dialami oleh penderita sedangkan
tenggorokan terasa kering dan meradang. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi
pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen di salah satu sisi dan tidak merata,
bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan
sempurna. Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat
setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore
atau malam. Mikroorganisme dapat ditemukan pada tinja dan urin setelah 1
minggu demam (hari ke-8 demam). Jika penderita diobati dengan benar, maka
kuman tidak akan ditemukan pada tinja dan urin pada minggu ke-4. Akan tetapi,
jika masih terdapat kuman pada minggu ke-4 melalui pemeriksaan kultur tinja,
maka penderita dinyatakan sebagai carrier. Seorang carrier biasanya berusia
dewasa, sangat jarang terjadi pada anak. Kuman Salmonella bersembunyi dalam
kandung empedu orang dewasa. Jika carrier tersebut mengonsumsi makanan
berlemak, maka cairan empedu akan dikeluarkan ke dalam saluran pencernaan
untuk mencerna lemak, bersamaan dengan mikroorganisme (kuman Salmonella).
Setelah itu, cairan empedu dan mikroorganisme dibuang melalui tinja yang
berpotensi menjadi sumber penularan penyakit.
Pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan
tinggi (demam). Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari
berlangsung. Terjadi perlambatan relatif nadi penderita.Yang semestinya nadi
meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih lambat
dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Umumnya terjadi gangguan pendengaran,
lidah tampak kering, nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, diare
yang meningkat dan berwarna gelap, pembesaran hati dan limpa, perut kembung
dan sering berbunyi, gangguan kesadaran, mengantuk terus menerus, dan mulai
kacau jika berkomunikasi.
Pada minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun, dan normal
kembali di akhir minggu. Hal itu terjadi jika tanpa komplikasi atau berhasil
diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang dan temperatur
mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan
perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus. Sebaliknya
jika keadaan makin memburuk, dimana septikemia memberat dengan terjadinya
tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor, otot-otot bergerak terus,
inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Tekanan abdomen sangat meningkat
diikuti dengan nyeri perut. Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut
nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini
menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat dingin, gelisah,
sukar bernapas, dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran
adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab umum
dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga.
Minggu keempat merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal
minggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena
femoralis. Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga
hanya menghasilkan kekebalan yang lemah, kekambuhan dapat terjadi dan
berlangsung dalam waktu yang pendek. Kekambuhan dapat lebih ringan dari
serangan primer tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi
primer tersebut. Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan
mengakibatkan timbulnya relaps.
Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa
gangguan atau penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis,
delirium,somnolen,spoor,atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan
neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal.
Sindrom klinis seperti ini oleh beberapa peneliti disebut sebagai tifoid toksik,
sedangkan penulis lainnya menyebutnya dengan demam tifoid berat, demam
tifoid ensefalopati atau demam tifoid dengan toksemia. Diduga factor-faktor
social ekonomi yang buruk, tingkat pendidikan yang rendah, ras, kebangsaan,
iklim, nutrisi, kebudayaan dan kepercayaan (adat) yang masih terbelakang ikut
mempermudah terjadinya hal tersebut dan akibatnya meningkatkan angka
kematian.
Semua kasus tifoid toksik, atas pertimbangan klinis sebagai demam tifoid
berat, langsung diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol 4×400 mg
ditambah ampisilin 4×1 gram dan deksametason 3×5 mg.

3.5 Pemeriksaan penunjang


1. Pemeriksaan Laboratorium.
a. Pemeriksaan Leukosit.
Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi dalam batas
normal, malahan kadang terdapat leukositosis, walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi
sekunder.
b. Pemeriksaan SGOT dan SGPT.
Jumlah SGOT dan SGPT akan meningkat, tetapi akan kembali normal setelah sembuh dari
demam typhoid.
c. Tes Widal.
Tes widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan anti bodi (aglutinin). Aglutinin
yang spesifik terhadap salmonella terdapat dalam serum pasien demam typhoid, juga pada
orang yang pernah ketularan salmonella dan pada orang yang pernah divaksinasi terhadap
demam typhoid. AntiAnti gen yang digunakan pada tes widal adalah suspensi salmonella
yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud tes widal adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum pasien yang disangka menderita demam typhoid.
AkibatAkibat infeksi oleh kuman salmonella, pasien membuat anti bodi (aglutinin), yaitu:

 Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman).
 Aglutinin H, karena rangsangan antigen H (berasal dari flagelakuman).
 Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman).

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk
diagnosis. Makin tinggi titernya, makin besar kemungkinan pasien menderita demam
typhoid. Pada infeksi yang aktif, titer uji widal akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang
dilakukan selang paling sedikit 5 hari.
d. Biakan Darah.
Biakan darah positif memastikan demam typhoid, tetapi biakan darah negatif tidak
menyingkirkan demam typhoid, karena pada pemeriksaan minggu pertama penyakit
berkurang dan pada minggu-minggu berikutnya pada waktu kambuh biakan akan positif
lagi.

3.6 Tatalaksana
-Non Farmakoterapi

Tirah baring
Tirah baring (bed rest) dilakukan pada pasien yang membutuhkan perawatan akibat
sebuah penyakit atau kondisi tertentu dan merupakan upaya mengurangi aktivitas yang membuat
kondisi pasien menjadi lebih buruk. Petunjuk dari dokter akan diberikan berupa apa saja yang
boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan selama bed rest. Semua itu tergantung pada penyakit
yang diderita pasien. Ada yang hanya diminta untuk mengurangi aktivitas, ada yang memang
benar – benar harus beristirahat di tempat tidur dan tidak boleh melakukan aktivitas
apapun(Kusumastuti,2017). Tirah baring (bed rest) direkomendasikan bagi pasien demam tifoid
untuk mencegah komplikasi perforasi usus atau perdarahan usus. Mobilisasi harus dilakukan
secara bertahap sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien(Sakinah dan Indria, 2016).
Diet Lunak Rendah Serat
Jenis makanan yang harus dijaga adalah diet lunak rendah serat karena pada demam tifoid
terjadi gangguan pada sistem pencernaan. Makanan haruslah cukup cairan, kalori, protein, dan
vitamin. Memberikan makanan rendah serat direkomendasikan, karena makanan rendah serat
akan memungkinkan meninggalkan sisa dan dapat membatasi volume feses agar tidak
merangsang saluran cerna. Demi menghindari terjadinya komplikasi pedarahan saluran cerna
atau perforasi usus direkomendasikan dengan pemberian bubur saring(Sakinah dan Indria, 2016).

Menjaga Kebersihan
Kebiasaan mencuci tangan sebelum makan cukup berpengaruh pada kejadian demam tifoid,
untuk itu diperlukan kesadaran diri untuk meningkatkan praktik cuci tangan sebelum makan
untuk mencegah penularan bakteri Salmonella typhi ke dalam makanan yang tersentuh tangan
yang kotor dan mencuci tangan setelah buang air besar agar kotoran atau feses yang mengandung
mikroorganisme patogen tidak ditularkan melalui tangan ke makanan(Andayani dan Fibriana,
2018).
-Farmakoterapi
Terapi Antibiotik

Ciprofloxacin
Ciprofloxacin mempunyai mekanisme menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba
(Sandika dan Suwandi, 2017). Fluroquinolones yaitu Ciprofloxacin direkomendasikan sebagai
terapi lini pertama untuk anak – anak dan orang dewasa yang terinfeksi dengan resistensi sensitif
dan multi-obat, Salmonella typhi dan paratyphi (Upadhyay, et al., 2015)

Cefixime
Cefixime mempunyai mekanisme menghambat sintesis dinding sel mikroba (Sandika
dan Suwandi, 2017). Sefalosporin generasi ketiga yaitu Cefixime oral (15-20
mg/kg/hari, untuk orang dewasa, 100-200 mg dua kali sehari) telah banyak digunakan pada anak-
anak dalam berbagai daerah geografis diamati penggunaan Cefixime oral memuaskan. Namun,
dalam beberapa percobaan Cefixime menunjukan tingkat kegagalan dan kekambuhan yang lebih
tinggi daripada fluoroquinolones (Paul, 2017).

Amoksisilin
Amoksisilin mempunyai mekanisme menghambat sintesis dinding sel mikroba (Sandika
dan Suwandi, 2017). Pada percobaan kombinasi Kloramfenikol dan Amoksisilin mempunyai
efek anti bakteri lebih lemah dibandingkan dengan bentuk tunggal Kloramfenikol dalam
menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhi (Friambodo, et al., 2017)
Kloramfenikol
Kloramfenikol mempunyai mekanisme menghambat sintesis protein sel mikroba
(Sandika dan Suwandi, 2017). Kloramfenikol masih merupakan pilihan utama untuk pengobatan
demam tifoid karena efektif, murah, mudah didapat, dan dapat diberikan secara oral
(Rampengan, 2013).

Efek samping yang sangat berat yaitu anemia aplastik atau biasa dikenal dengan depresi
sumsum tulang dan jika diberikan pada bayi < 2 minggu dengan gangguan hepar dan ginjal,
kloramfenikol akan terakumulasi dengan darah pada bayi khususnya pada pemberian dosis tinggi
akan menyebabkan gray baby sindrom, serta dapat menghambat pembentukan selsel darah
(eritrosit,trombosit dan granulosit) yang timbul dalam waktu 5 hari sesudah dimulainya terapi,
dari efek samping yang timbul sehingga kloramfenikol memiliki persentase nomor dua
dibandingkan penggunaan golongan sefalosporin (Tandi dan Joni, 2017).

Walaupun penggunaan kloramfenikol memerlukan kehati-hatian, namun


penggunaannya masih lebih baik pada tifoid dibandingkan antibiotika lain yang dilaporkan
sudah resistensi, seperti ampisilin, amoksisilin, kotrimoksasol, nalidixic acid, ciprofloxacin
(Rampengen, 2013).

Tiamfenikol
Tiamfenikol mempunyai mekanisme menghambat sintesis protein sel mikroba (Sandika
dan Suwandi, 2017). Pilihan lain yang analog dengan kloramfenikol, yang masih digunakan di
Indonesia dan masih dianggap efektif untuk menyembuhkan demam tifoid adalah tiamfenikol.
Efek samping hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang daripada kloramfenikol
(Rampengan, 2013).

Azitromisin
Azitromisin mempunyai mekanisme menghambat sintesis protein sel mikroba (Sandika
dan Suwandi, 2017). Golongan kuinolon dan azitromisin hampir sama efikasinya dan aman
untuk demam tifoid. Namun azitromisin bisa digunakan sebagai alternatif, karena kuinolon
memiliki kontraindikasi seperti pada anak-anak, wanita hamil, dan kejadian resisten kuinolon.
Namun penggunaanya jika lebih dari 7 hari tidak diperbolehkan karena penetrasi jaringan lebih
kuat dan terakumulasi di kantung empedu. Penggunaan azitromisin selama 5 hari ekuivalen
dengan penggunaan antibiotik lain selama 10 hari, penggunaan 7 hari sama optimalnya dengan
penggunaan antibiotik lain selama 14 hari (Upadhyay, et al., 2015).

Ceftriaxone
Ceftriaxone mempunyai mekanisme menghambat sintesis dinding sel mikroba (Sandika
dan Suwandi, 2017). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364 Tahun 2006
Tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid, penggunaan Ceftriaxone untuk terapi demam
tifoid disarankan digunakan selama 5 hari (Handayani, 2017). Sifat dari obat ini yang
menguntungkan yaitu dapat merusak spektrum kuman dan tidak mengganggu sel manusia,
bakteri spektrum luas, penetrasi jaringan cukup baik, dan resistensi kuman masih terbatas.
Sementara pengobatan dengan golongan sefalosporin khususnya ceftriaxon hanya membutuhkan
10 hari rawat inap di rumah sakit dibandingkan dengan kloramfenikol selama 21 hari, sehingga
obat antibiotik sefalosporin ini lebih banyak digunakan (Tandi dan Joni, 2017).

Terapi Kortikosteroid Dexamethasone


Dexamethasone merupakan salah satu obat kortikosteroid yang masuk ke dalam
kelompok glukokortikoid sintetik yang memiliki efek anti inflamasi dan imunosupresif, yang
mana hal tersebut mendorong semakin dikembangkannya berbagai steroid sintetik dengan
aktivitas anti inflamasi dan imunosupresif (Katzung, et al., 2013). Pemberian glukokortikoid
direkomendasikan pada kasus demam tifoid berat (halusinasi, perubahan kesadaran atau
pendarahan usus). Hasil penelitian menunjukan penurunan yang signifikan dalam mortalitas pada
pasien demam tifoid berat (Sharma dan Gandhi, 2015). Penggunaan kortikosteroid seperti
Dexamethasone yang tidak sesuai dengan indikasi yang jelas dapat menyebabkan munculnya
efek samping. Pemberian Dexamethasone pada ibu hamil dapat beresiko kelahiran prematur,
meningkatkan aliran darah arteri uterina (Katzung, et al., 2013).

Penggunaan kortikosteroid memiliki cakupan yang luas, akibatnya menyebabkan ketidaksesuaian


dengan indikasi maupun dosis serta lama pemberian. Penggunaan berlebih akan berakibat fatal
bagi tubuh, khususnya kerusakan organ dalam rentang waktu tertentu. Organ yang dalam
kerjanya banyak berhubungan dengan proses penyaringan darah kemungkinan besar akan
mengalami kerusakan seperti halnya hepar dan ginjal. Jika jumlah Dexametasone sudah melebihi
jumlah maksimal, maka akan membuat hepar bekerja lebih keras. Kerja hepar yang berlebihan
akan merusak hepar dan menurunkan kinerjanya serta menyebabkan nekrosis sel(Indayani, et al.,
2015).
3.7 Komplikasi
Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir semua organ tubuh dapat diserang dan berbagai
komplikasi serius dapat terjadi. Menurut Sudoyo (2010), komplikasi demam tifoid dapat dibagi
atas dua
bagian, yaitu:
1. Komplikasi intestinal. Perdarahan, perforasi, ileus paralitik dan pankreatitis.
2. Komplikasi ekstra-intestinal.
 Komplikasi kardiovaskular : gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis.
 Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, KID, trombosis.
 Komplikasi paru :pneumonia, empiema, pleuritis.
 Komplikasi hepatobilier: hepatitis, kolesistitis.
 Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis.
 Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, artritis.
 Komplikasi neuropsikiatrik/tiroid toksik.

KOMPLIKASI INTESTINAL
• Perdarahan intestinal
Pada plak peyeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan
memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh
darah maka terjadi perdarahan. Bila tukak menembus dinding usus, perforasi dapat terjadi. Selain
karena faktor luka, perdarahan juga terjadi karna gangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan
kedua faktor. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak
membutuhkan transfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi karena penderita mengalami syok.
Secara klinis, perdarahan akut sebanyak 5ml/kgbb/jam dengan faktor hemostatis dalam
batas normal. Jika penangan terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 10-32%, bahkan ada yang
melaporkan sampai 80%. Bila transfusi yang diberikan tidak dapat mengimbangi perdarahan
yang terjadi, maka tindakan bedah perlu dipertimbangkan.
• Perforasi usus
Terjadi sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga
namun bisa juga pada minggu pertama. Selain gejala umum yang biasa terjadi pada penderita
demam tifoid dengan perforasi, mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran
kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus.
Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun, bahkan dapat syok
leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya perforasi. Faktor yang
meningkatkan perforasi adalah umur (20-30 tahun) , lama demam, modalitas pengobatan,
beratnya penyakit, dan mobilitas penderita.
KOMPLIKASI EKSTRA-INTESTINAL
• Komplikasi hematologi
Komplikasi hematologi berupa trombositopena, hipofibrino-genemia, peningkatan
protombin, peningkatan partial tromboplastin time, peningkatan fibrin degradation products
sampai koagulasi intravaskular diseminata (KID) dapat ditemukan pada kebanyakan pasien
demam tifoid. Trombositopena sering ditemukan, mungkin terjadi karena menurunnya produksi
trombosit sumsum tulang selama proses infeksi atau meningkatnya destruksi trombosit di sistem
retikuloendotelial. Obat-obatan juga menyebabkan penurunan trombosit.
PenyebabPenyebab KID pada demam tifoid masih belum jelas. Hal yang sering
dikemukakan adalah endotoksin mengaktifkan sistem koagulasi dan fibrinolisis. Pelepasan kinin,
prostaglandin dan histamin menyebabkan vasokontriksi dan kerusakan endotel pembuluh darah
dan selanjutnya mengakibatkan perangsangan koagulasi (KID kompensata maupun
dekompensata). Bila terjadi KID dekompensata dapat diberikan transfusi darah, substitusi
trombosit atau faktor koagulasi bahkan heparin, meskipun ada yang tidak sependapat dengan
pemberian heparin pada demam tifoid.

• Hepatitis tifosa
Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus dengan demam
tifoid dan lebih banyak di jumpai pada Salmonella thypi daripada Salmonella parathypi. Untuk
membedakan apakah hepatitis ini karena tifoid, virus, malaria atau amuba maka perlu
diperhatikan kelainan fisik, parameter laboratorium, dan bila perlu histolatologik hati. Pada tifoid
kenaikan senzim transaminase tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin (untuk
membedakan dengan hepatitis oleh karna virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien
malnutrisi dan sistem imun yang kurang. Meskipun sangat jarang, komplikasi hepatoenselopati
dapat terjadi.
• Pankreatitis tifosa
Komplikasi ini dijumpai pada demam tifoid. Pankreatitis dapat disebabkan oleh mediator
pro inflamasi, virus, bakteri, cacing, zat-zat farmakologik. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase
serta ultrasonografi/CT-Scan dapat membantu diagnosis penyakit ini dengan akurat.
Penatalaksaan pankreatitis tifosa sama seperti penanganan pankreatitis pada umumnya, yaitu
dengan memberikan antibotik intravena seperti seftriakson atau kuinolon.
• Miokarditis
Terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid sedangkan kelainan elektrokardiografi dapat
terjadi pada 10-15% penderita. Pasien dengan miokarditis biasanya tanpa gejala kardiovaskular
atau dapat berupa keluhan sakit dada, gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik.
Sedangkan perikarditis sangat jarang terjadi.
• Manifestasi neuropsikiatrik/toksik tifoid
Manifestasi neuropsikiatrik berupa delirium dengan atau tanpa kejang, semi-koma atau
koma, parkinson rigidity/transient parkinsonism, sindrom otak akut, mioklonus generalisata,
meningismus, skizofreniasitotoksik, mania akut, hipomania, ensefalomielitis, meningitis,
polineuritisperifer, sindrom guillain-barre, dan psikosis.
Gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau penurunan
kesadaran akut, kesadaran berkabut, apatis, delirium, somnolen, sopor, atau koma, dengan atau
tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam atas
normal. Sindrom ini disebut sebagai toksik tifoid, sedangkan ada juga yang menyebutnya dengan
demam tifoid berat, demam tifoid ensefalopati atau demam tifoid dengan toksemia.
Semua kasus toksik tifoid, dianggap sebagai demam tifoid berat, langsung diberikan. Pengobatan
kombinasi kloramfenikol 4x500 mg ditambah ampisilin 4x1 gram dan deksametason 3x5 mg.

3.8 Pencegahan
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat
agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Pencegahan
primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari
strain Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin
tifoid, yaitu :
a. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang
diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin
ini kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang
mengkonsumsi antibiotik . Lama proteksi 5 tahun.
b. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni,
K vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol
preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 – 12 tahun 0,25 ml dan anak
1 – 5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek
samping adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat
suntikan. Kontraindikasi demam,hamil dan riwayat demam pada pemberian
pertama.
c. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin
diberikan secara intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi
pada hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam dan anak umur 2
tahun. Indikasi vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik,
orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid dan petugas
laboratorium/mikrobiologi kesehatan. Mengkonsumsi makanan sehat agar
meningkatkan daya tahan tubuh, memberikan pendidikan kesehatan untuk
menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat dengan cara budaya cuci tangan
yang benar dengan memakai sabun, peningkatan higiene makanan dan
minuman berupa menggunakan cara-cara yang cermat dan bersih dalam
pengolahan dan penyajian makanan, sejak awal pengolahan, pendinginan
sampai penyajian untuk dimakan, dan perbaikan sanitasi lingkungan.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit
secara dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat. Untuk
mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Ada 3
metode untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid, yaitu :
a. Diagnosis klinik
Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala kilinis yang
khas pada demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga
ditemukan pada penyakit lain. Diagnosis klinis demam tifoid sering kali
terlewatkan karena pada penyakit dengan demam beberapa hari tidak
diperkirakan kemungkinan diagnosis demam tifoid.
b. Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman
Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan
lebih dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positif dalam
minggu pertama. Hasil ini menurun drastis setelah pemakaian obat
antibiotika, dimana hasil positif menjadi 40%. Meskipun demikian kultur
sum-sum tulang tetap memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90% positif.
Pada minggu-minggu selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur
urin meningkat yaitu 85% dan 25% berturut-turut positip pada minggu ke-3
dan ke-4. Organisme dalam tinja masih dapat ditemukan selama 3 bulan
dari 90% penderita dan kira-kira 3% penderita tetap mengeluarkan kuman
Salmonella typhi dalam tinjanya untuk jangka waktu yang lama.
c. Diagnosis serologik
 Uji Widal
 Uji Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)12
Uji ELISA untuk melacak antibodi terhadap antigen Salmonella typhi
belakangan ini mulai dipakai. Prinsip dasar uji ELISA yang dipakai
umumnya uji ELISA tidak langsung. Antibodi yang dilacak dengan uji
ELISA ini tergantung dari jenis antigen yang dipakai. Uji ELISA
untuk melacak Salmonella typhi. Deteksi antigen spesifik dari
Salmonella typhi dalam spesimen klinik (darah atau urine) secara
teoritis dapat menegakkan diagnosis demam tifoid secara dini dan
cepat. Uji ELISA yang sering dipakai untuk melacak adanya antigen
Salmonella typhi dalam spesimen klinis, yaitu double antibody
sandwich ELISA.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan
akibat komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit demam
tifoid sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas tubuh
tetap terjaga dan dapat terhindar dari infeksi ulang demam tifoid. Pada
penderita demam tifoid yang carier perlu dilakukan pemerikasaan laboratorium
pasca penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak.

Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu:


1. Daerah non-endemik. Tanpa ada kejadian outbreak atau epidemic
 Sanitasi air dan kebersihan lingkungan
 Penyaringan pengelola pembuatan/distributor/penjualan makanan-
minuman
 Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier

Bila ada kejadian epidemic tifoid


 Pencarian dan eliminasi sumber penularan
 Pemeriksaan air minum dan mandi-cuci-kakus
 Penyuluhan hygiene dan sanitasi pada populasi umum daerah tersebut.

2. Daerah endemic
 Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minumanyang
memenuhi standar prosedur kesehatan (perebusan > 570oC, iodisasi, dan
klorinisasi)
 Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan,
menjauhi makanan segar (sayur/buah)
 Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun
pengunjung.

3.9 Prognosis
 Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatansebelumnya, 
dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yangadekuat, angka morta
litas < 1%.Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan dia
gnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnyakomplikasi seperti perforasi gastrointestinal atau 
pendararahan hebat, meningitis,endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mo
rtalitas yang tinggi.Angka kematian pada anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa 7,4%, rata-rata 
5,7%.Prognosis demam tifoid umumnya baik asal penderita cepat berobat.Mortalitas pada pender
ita yang dirawat adalah 6%. Prognosis menjadi kurang baik atau buruk bilaterdapat gejala klinis 
yang berat seperti:
1. Panas tinggi (hiperpireksia) atau febris continual.
2. Kesadaran menurun sekali.
3. Terdapat komplikasi yang berat misalnya dehidrasi dan asidosis, peritonitis
4. Keadaan gizi penderita buruk (malnutrisi protein)

DAFTAR PUSTAKA
Buku ajar IPD Jilid 1 Edisi V
Rahmasari, Vani. MANAJEMEN TERAPI DEMAM TIFOID: KAJIAN TERAPI
FARMAKOLOGIS DAN NON FARMAKOLOGIS. 2018
Darmawati, s. t Keanekaragaman Genetik Salmonella Typhi. 2015.

Anda mungkin juga menyukai