Anda di halaman 1dari 20

SASARAN BELAJAR

1. Memahami dan Menjelaskan Zoonosis


1.1 Klasifikasi
Berdasarkan agens penyebabnya, zoonosis dibedakan atas zoonosis yang
disebabkan oleh bakteri, virus, parasit, atau yang disebabkan oleh jamur.

1. Zoonosis yang Disebabkan oleh Virus

Rabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit infeksi yang menyerang susunan
syaraf pusat, terutama menular melalui gigitan anjing dan kucing. Penyakit ini
bersifat zoonosik, disebabkan oleh virus Lyssa dari famili Rhabdoviridae. 

2. Zoonosis yang Disebabkan oleh Parasit

Toksoplasmosis disebabkan oleh parasit protozoa bersel tunggal yang dikenal


dengan nama Toxoplasma gondii. Penyakit menimbulkan ensefalitis
(peradangan pada otak) yang serius serta kematian, keguguran, dan cacat
bawaan pada janin/bayi. T. gondii dapat dibedakan dalam tiga bentuk, yaitu
trofozoit, kista, dan oosit dan dapat menular pada berbagai jenis hewan.
Walaupun inang definitifnya sebangsa kucing dan hewan dari famili Felidae,
semua hewan berdarah panas dan mamalia seperti anjing, sapi, kambing, dan
burung juga berperan dalam melanjutkan siklus T. gondii.

 Taeniasis ditularkan secara oral karena memakan daging yang mengandung


larva cacing pita, baik daging babi ( Taenia solium) maupun daging sapi (Taenia
saginata). Penularan taeniasis dapat terjadi karena mengonsumsi makanan yang
tercemar telur cacing pita dan dari kotoran penderita sehingga terjadi infeksi
pada saluran pencernaan (cacing pita dewasa hanya hidup dalam saluran
pencernaan manusia).

3. Zoonosis yang disebabkan oleh bakteri.

Brucellosis merupakan salah satu penyakit zoonosis terutama melalui kontak


langsung dari hewan terinfeksi, minum susu dari hewan yang terinfeksi, dan
menghirup udara yang tercemar oleh bakteri penyebab Brucellosis
yaitu Brucella  sp. Indonesia belum bebas dari penyakit ini dengan prevalensi
Brucellosis pada ternak di Indonesia sekitar 40%. Bakteri penyebab Brucellosis
termasuk bakteri jenis gram negatif, berbentuk coccobacilus,  dan hidup dalam
sel. Terdapat empat spesies Brucella  yang dapat menginfeksi manusia yaitu B.
abortus  yang terdapat di sapi, B. mellitensis  hidup pada kambing dan
domba, B. suis  pada babi, dan B. canis  yang ada pada anjing. Penularan
penyakit ini dapat terjadi dengan mengkonsumsi susu dan daging yang berasal
dari hewan yang mengandung Brucella  sp. Penularan paling banyak terjadi
melalui konsumsi susu dan produk olahannya yang tidak dipasteurisasi secara
sempurna, karena bakteri ini dapat bertahan hingga beberapa bulan di susu dan
produk olahannya.

Menurut Cara Penularan (Transmisi)-nya zoonosis dibagi menjadi empat


golongan,

1. Zoonosis langsung (Direct zoonosis)

Zoonosis itu dapat berlangsung di alam hanya dengan satu jenis vertebrata saja
dan agen penyebab penyakit hanya sedikit berubah atau malahan tidak
mengalami perubahan sama sekali selama penularan. Penyebab penyakit
ditularkan dari satu induk semang vertebrata ke induk semang vertebrata
lainnya yang peka melalui kontak, wahana (vehicle), ataupun dengan vektor
mekanis. Yang termasuk dalam golongan penyakit ini adalah rabies, bruselosis,
leptospirosis, dan lain-lain.

2. Siklo-zoonosis

Siklus penularan diperlukan lebih dari satu jenis vertebrata, tetapi tidak
melibatkan invertebrata, untuk menyempurnakan siklus hidup agen penyebab
penyakit. Contohnya adalah penularan beberapa zoonosis parasiter seperti pada
hidatidosis dan taeniasis.

3. Meta-zoonosis

Penyakit yang digolongkan ke dalam metazoonosis siklus penularannya


memerlukan baik vertebrata maupun invertebrata. Dalam golongan ini
dimasukkan antara lain infeksi oleh arbovirus atau arthropod-borne virus dan
tripanosomiasis.

 Menurut reservoir utamanya ,zoonosis dapat berupa hewan piara atau hewan
domestik, maupun satwa liar, dapat digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu:

1. Antropozoonosis

Merupakan penyakit yang dapat secara bebas berkembang di alam di antara


hewan – hewan liar maupun domestik. Pada zoonosis jenis ini, manusia tidak
dapat menularkannya kepada manusia atau hewan lain. Berbagai penyakit yang
termasuk golongan ini adalah rabies, leptospirosis, tularaemia dan hidatidosis.

2. Zooanthroponosis

Suatu penyakit digolongkan ke dalam grup ini bila penyakit itu berlangsung
secara bebas pada manusia atau merupakan penyakit manusia dan hanya
kadang-kadang saja menyerang hewan.
Zoonosis dapat disebabkan oleh berbagai macam organisme seperti bakteri,
virus serta parasit. Dan penyebarannya dapat dilakukan melalui berbagai macam
hewan perantara baik vertebrata maupun avertebrata. Serta dapat ditularkan
baik secara langsung maupun tidak langsung melalui makanan ataupun gigitan
berbagai jenis organisme.

Suharsono. 2002. Zoonosis Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Penerbit


Kanisius, Yogyakarta. 180 hlm.

Khairiyah. 2011. Zoonoaia dan Upaya Pencegahannya. Jurnal Litbang Pertanian.


30(3).

Clarasinta. Claudia. Anthrax Disease: Threat to Farmers and Cattleman. Lampung.


Suardana. I Wayan. Buku Ajar Zoonosis : Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. PT
Kanisius. 2015
Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies: Antrax
http://civas.net/2014/02/22/anthrax/4/
https://docquity.com/share/journal/journal-c4755cc4eaacd757f733f310b0db95c8
P E D O M A N PENGENDALIAN DAN PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN MENULAR (PHM):
Seri Penyakit Anthrax. KEMENTERIANKEMENTERIAN PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN 2016

ENY MARTINDAH, S. WIDJAJANTI, S.E. ESWNINGSIH dan


SUHARDONO.IMPROVEMENT OF PUBLIC AWARENESS ON FASCIOLOSIS AS
ZOONOSIS DISEASE. Balai Penelitian Veteriner

https://islam.nu.or.id/post/read/47559/syarat-syarat-sah-qurban-i
Implementasi One Health di Indonesia : Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan

1.2 Cara Penularan


PENYEBARAN ZOONOSIS MELALUI PANGAN

Telah terjadi perubahan pola penyebaran dan penularan penyakit terutama penyebaran penyakit melalui
pangan, karena terjadinya beberapa perubahan perilaku masyarakat secara global yang dengan sendirinya
mempengaruhi perhatian dalam mendapatkan pangan yang aman (MACKENZEI et al., 2004;
SCHLUNDT et al., 2004). Perubahan tersebut antara lain:

Pola makan

Makin banyak orang menginginkan pangan yang segar, atau pangan yang hanya sedikit diolah.
Memperoleh pangan yang tetap segar jelas merupakan masalah apabila makanan tersebut harus
didatangkan dari lokasi yang cukup jauh. Untuk pangan asal ternak, fasilitas pendingin yang baik
diperlukan untuk menjaga pangan tetap segar, selain kecepatan dalam menempuh lokasi yang dituju.
Misalnya, untuk transportasi susu segar diperlukan fasilitas pendingin yang cukup baik dibandingkan
dengan transportasi susu bubuk.
Transportasi

Makin baiknya transportasi telah menyebabkan banyaknya orang bepergian dari satu tempat ke tempat
lain, dan orang mengharapkan pangan yang sama tersedia di setiap tempat. Sehingga bahan pangan yang
sama diharapkan tersedia secara global, akibatnya pencemaran satu bahan pangan dengan cepat tersebar
juga secara global. Kasus BSE dan dioksin yang terjadi di Eropa merupakan contoh cepatnya penyebaran
bahaya dalam pangan, karena produk telah tersebar luas di luar Eropa.

Makanan siap saji


Meningkatnya kecenderungan orang untuk makan di luar rumah atau mendapatkan pangan yang siap
santap atau siap saji, sehingga tanggung jawab dalam memperoleh makanan yang aman di piring
merupakan tanggung jawab kelompok masyarakat yang lebih besar daripada tanggung jawab dalam
rumah tangga. Dengan sendirinya, apabila terjadi kasus pencemaran maka jumlah masyarakat yang
terkena dampaknya akan lebih banyak, tidak terbatas pada anggota keluarga saja (KOMPAS, 2003).
Umumnya infeksi saluran pencernaan yang disebabkan oleh cemaran dalam makanan (foodborne
disease) selalu dikaitkan dengan bakteri Salmonella dan E. coli. Hal ini ada benarnya karena memang
kedua bakteri ini masih merupakan masalah baik di negara yang telah maju ataupun negara
berkembang. Pada bulan Mei 2005, di Amerika dilaporkan kejadian kasus Salmonella pada 272 orang
dengan satu orang yang meninggal. Dari jumlah orang yang terinfeksi, kasus tersebut lebih besar dari
yang terjadi pada tahun 1996 (FOODHACCP, 2005). Selain itu, E. coli sering dianggap sebagai
indikator higienitas dari rantai penyedian pangan, dan dengan sendirinya infeksi oleh bakteri tersebut
akan tinggi di negara-negara dengan tingkat higienitas yang rendah. Kemampuan hampir semua
laboratorium mikrobiologi dalam menentukan bakteri tersebut juga menyebabkan banyaknya laporan
kasus infeksi yang disebabkan kedua bakteri tersebut. Di negara yang telah maju dengan kemampuan
laboratorium yang lebih baik telah melaporkan beberapa bakteri lain sebagai penyebab foodborne
disease, seperti Campylobacter dan Listeria. Di negara berkembang termasuk Indonesia, jumlah
laboratorium yang mampu menentukan bakteri lain penyebab foodborne disease masih terbatas.

1.3 Siklus Hidup


Apabila klasifikasi zoonosis dilakukan berdasar siklus hidup organisme penyebab
infeksi, maka zoonosis dibagi manjadi 4 macam, yaitu.
Zoonosis Langsung (Direct zoonoses)
Yaitu zoonosis yang ditularkan secara langsung dari vertebrata penderita sakit ke
vertebrata yang peka, melalui cairan tubuh atau melalui vektor mekanin. Dalam hal ini
organisme penyebab penyakit tidak mengalami perubahan, baik morfologinya maupun cara
dan sifat hidupnya. Sebagai contoh adalah rabies, trichinosis dan bruselosis.
Cyclozoonosis
Yaitu zoonosis yang organisme penyebab penyakitnya untuk melengkapi siklus
hidupnya membutuhkan lebih dari satu spesies hospes vertebrata, tanpa memerlukan hospes
invertebrata. Sebagai contoh adalah taeniasis dan echinococcosis.

Metazoonosis
Merupakan zoonosis yang penularannya dilakukan secara biologi dengan perantaraan
invertebrata yang menjadi vektor biologinya. Di dalam tubuh vektor, organisme penyebab
penyakit berkembang jumlahnya dan atau berubah morfologinya sebelum mampu
menginfeksi vertebrata yang peka. Dengan demikian terdapat masa inkubasi eksrinsik atau
masa prepaten. Sebagai contoh adalah infeksi oleh arbovirus, pes/sampar dan
schistosomiasis.
Saprozoonosis
Adalah zoonosis yang memerlukan satu jenis hospes vertebrata di samping reservoir
atau lingkungan perkembangan yang bukan merupakan hewan, misalnya, tanah dan
tumbuhan. Termasuk dalam golongan ini adalah berbagai jenis larva migrans dan beberapa
jenis mikosis.
1.4 Etiologi

1.5 Pencegahan
Upaya untuk mencegah penularan penyakit zoonosis pada manusia meliputi:
• Mengendalikan zoonosis pada hewan dengan eradikasi atau eliminasi hewan yang positif
secara serologis dan melalui vaksinasi.
• Memantau kesehatan ternak dan tata laksana peternakan di tingkat peternak.
• Mensosialisasikan gejala klinis awal penyakit zoonosis di peternakan atau rumah potong hewan
dan sesegera mungkin melaporkan dan mengambil tindakan terhadap ternak maupun pekerja
yang tertular penyakit.
• Memperketat pengawasan lalu lintas ternak dengan menerapkan sistem karantina yang ketat,
terutama dari negara tertular.
• Melarang impor sapi dan produknya, pakan ternak, hormon, tepung tulang, dan gelatin yang
berasal dari sapi dari negara yang belum bebas penyakit menular.
• Menjaga kebersihan kandang dengan menyemprotkan desinfektan.
• Menggunakan alat pelindung seperti sarung tangan, masker hidung, kacamata pelindung,
sepatu boot yang dapat didesinfeksi, dan penutup ke-
pala bila mengurus hewan yang sakit.
• Menjaga kebersihan dengan mencuci tangan sebelum mengolah pangan setelah memegang
daging mentah, menangani karkas atau mengurus ternak.
• Memasak dengan benar daging sapi, daging unggas, dan makanan laut serta menghindari
mengonsumsi makanan mentah atau daging yang kurang masak.
• Menjaga makanan agar tidak terkontaminasi hewan piaraan atau serangga.
• Menggunakan sarung tangan bila berkebun, menghindari feses kucing saat menyingkirkan bak
pasir yang tidak terpakai.
• Memantau nyamuk dan lalat di daerah endemis dan mengawasi lalu lintas
ternak.
• Jika tergigit anjing atau kucing, segera mencuci luka bekas gigitan dengan sabun di bawah
kucuran air mengalir selama 1015 menit agar dinding virus yang terbuat dari lemak rusak oleh
sabun.
• Segera ke dokter atau ke rumah sakit untuk mendapat vaksinasi.
2. Memahami dan Menjelaskan Anthrax
2.1 Definisi
Antrax merupakan salah satu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis.
Sinonim atau nama lain dari anthrax yaitu Malignant carbuncle, wolsorters’ disease, radang
kura, radang limfa, dan malignant edema.
2.2 Penyebab
Antraks disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis yaitu bakteri berbentuk batang, dengan ujung
berbentuk persegi dan sudutsudut yang tampak jelas, tersusun berderet sehingga tampak seperti ruas-
ruas bambu. Bakteri ini merupakan bakteri gram positif yang mempunyai ukuran 1-1,2 um X 3-5 um
serta dapat membentuk spora, non motil dan

kapsul.
Kapsul dan toksin merupakan dua faktor virulen penting yang dimiliki oleh bakteri Bacillus
anthracis. Toksin bakteri akan merusak sel tubuh jika telah berada di dalamnya. Toksin ini terdiri dari:
Protective antigen (PA)/Antigen pelindung; Edema factor (EF)/Faktor edema dan Lethal factor
(LF)/Faktor letal. Kapsul akan menyebabkan gangguan pada proses fagositosis sedangkan exotoksin
komplex berhubungan dengan gejala yang ditimbulkan. Protective Antigen akan mengikat receptor
yang selanjutnya diikuti masuknya Lethal Factor dan Edema Factor ke dalam sel. Sinergi antara PA
dengan EF akan menyebabkan edema sedangkan sinergi antara PA dengan LF akan menyebabkan
kematian.

2.3 Penularan
Pada hewan, penularan terjadi dengan menelan, menghirup spora atau masuk melalui lesi kulit.
Herbivora biasanya terinfeksi saat menelan cukup banyak spora di tanah atau pada tanaman di padang
rumput. Wabah anthrax sering dikaitkan dengan hujan deras, banjir atau kekeringan. Hewan karnivora
biasanya terinfeksi setelah memakan daging yang terkontaminasi. Burung pemakan bangkai dan lalat
dapat menyebarkan antraks secara mekanis. Spora antraks dapat bertahan selama puluhan tahun di
tanah atau produk hewani seperti kulit kering atau olahan dan wol. Spora juga bisa bertahaning selama
dua tahun dalam air, 10 tahun dalam susu dan sampai 71 tahun pada benang itsutera.

Penyakit antraks pada manusia berkembang setelah jaringan tubuh terpapar spora B. anthracis
dari hewan yang terinfeksi. Di sebagian besar negara, antraks manusia jarang terjadi dan tersebar
sporadis, terutama pada kalangan dokter hewan, pekerja peternakan, pertanian dan pekerja yang
mengolah produk kulit, rambut, wol dan tulang. Manusia dapat terinfeksi melalui salah satu dari ketiga
kemungkinan yaitu melalui kulit, melalui inhalasi atau melalui ingesti.

2.4 Gejala
Gejala klinis antraks pada hewan diawali dengan suhu tubuh tinggi sekitar 41-42 °C, kehilangan
nafsu makan yang mengarah kepada terhentinya produksi susu pada sapi perah, edema di sekitar leher,
hidung, kepala dan scrotum, selain itu hewan terlihat sempoyongan, gemetar dan kemudian mati.
Hewan yang lemah biasanya mati dalam waktu 1 - 3 hari. Pada babi dan kuda umumnya lebih tahan,
gejala penyakit berjalan secara kronis dan menyebabkan pembengkakan pada daerah tenggorokan.

 Demam suhu 41 – 420 C, gelisah, lemah, paha gemetar, nafsu makan hilang, kejang dan rubuh
(akut)
 Keluar darah dari dubur, mulut dan lubang hidung. Darah berwarna merah tua seperti kecap
atau ter, agak berbau amis dan busuk serta sulit membeku.
 Pembengkakan di daerah leher, dada dan sisi lambung, pinggang dan alat kelamin luar
 Kematian dalam waktu singkat tanpa disertai tanda-tanda sebelumnya (perakut).
Manifestasi klinis pada manusia tergantung dari jalan masuknya endospora Bacillus anthracis ke dalam
tubuh host. Antraks kutaneus merupakan manifestasi klinis terbanyak pada manusia, dinyatakan sekitar
95% dari kejadian antraks dan jarang berakibat fatal jika diobati antibiotik. Bentuk gastrointestinal
kurang umum namun lebih serius, dan bisa terjadi pada wabah daging yang terkontaminasi. Antraks
inhalasi adalah bentuk yang paling serius, dan memiliki tingkat kematian yang sangat tinggi bahkan saat

diobati.13
Pada manusia, antraks kutaneus bermula dari infeksi oleh endospora bakteri melalui lesi kulit (abrasi,
luka, atau gigitan serangga). Dalam waktu 12 -36 jam setelah infeksi akan timbul jerawat atau papula
kecil dan akan berkembang dalam dua sampai tiga hari. 24 jam berikutnya papula berubah menjadi
vesikula yang berisi cairan berwarna biru gelap dan membentuk cincin vesikula, diikuti oleh ulserasi
papula sentral, yang mengering dan membekas berupa eschar kehitaman pada bagian pusat lesi
(pathognomonik) disekitar ulkus, sering didapatkan eritema dan edema. Jika lesi terinfeksi bakteri
Staphylococcus aureus akan terbentuk pus pada daerah radang. 3,14
Lesi pada antraks kutaneus tak disertai rasa nyeri dan selalu dikelilingi oleh edema. Biasanya, pada hari
kelima atau enam eschar kehitaman akan menebal dan melekat erat pada jaringan dasarnya. Terdapat
limfadenopati regional dan juga terjadi pembengkakan di wajah atau leher yang bisa berkembang
menjadi meningitis. Demam, nanah dan nyeri terjadi jika infeksi sekunder. 14
Antraks gastrointestinal terjadi setelah mengonsumsi daging yang terkontaminasi. Spora di saluran
usus mengalami germinasi dan menyebabkan terbentuknya lesi ulseratif. Lesi ini bisa terjadi di mana
saja dan mungkin, pada kasus yang parah, mengakibatkan perdarahan, obstruksi atau perforasi.
Gastrointestinal antraks dibagi menjadi dua sindrom: abdominal dan oropharyngeal anthrax. Gejala
awal dari bentuk abdominal bisa berupa malaise, demam dan gejala gastrointestinal ringan seperti
mual, muntah, diare dan anoreksia. Dapat pula diikuti oleh gejala onset akut dari gastrointestinal berat
seperti sakit perut parah, hematemesis, diare berdarah dan asites masuf. Selain itu, mungkin ada
demam tinggi, dyspnea, sianosis, disorientasi dan tanda-tanda septikemia lainnya. Gastrointestinal
antraks yang parah dengan cepat berkembang menjadi syok, koma dan

kematian.15
Bentuk oropharyngeal anthrax hanya sedikit diketahui. Gejala awal berupa sakit tenggorokan, disfagia,
demam, suara serak dan bengkak pada leher. Pembengkakan leher disebabkan oleh edema dan
limfadenopati servikal, dan bisa mengakibatkan gangguan jalan nafas. Lesi mulut terjadi pada amandel,
pharynx dan palatum keras, berbentuk edematous dan padat serta terdapat daerah keputihan, yang
disebabkan oleh nekrosis dan ulserasi pada akhir minggu pertama. Pada minggu kedua sebuah
pseudomembran berkembang di atas ulkus. 15 Antraks inhalasi terjadi setelah manusia menghirup
spora. Tanda klinis berkembang secara bertahap dan nonspesifik. Awal gejala berupa demam,
menggigil, malaise, batuk yang tidak produktif dan nyeri dada ringan. Gejalanya terkadang membaik
selama beberapa jam sampai tiga hari. Periode prodromal berakhir dengan onset akut dari gangguan
pernafasan berat, takikardia, diaphoresis, stridor dan sianosis, diikuti oleh septikemia yang fatal dan
syok dalam satu sampai dua hari. Penyebaran hematogen B. anthracis juga dapat menyebabkan lesi
dan gejala antraks

gastrointestinal.3, 8
Antraks meningitis bisa menjadi komplikasi dari salah satu dari tiga bentuk anthrax. Setelah periode
prodromal 1-6 hari, tanda khas meningoencephalitis berkembang dengan cepat seperti radang otak
maupun selaput otak yaitu demam, sakit kepala hebat, kejang, penurunan kesadaran dan kaku kuduk
Pasien dalam waktu kurang dari 24 jam dapat kehilangan kesadaran dan meninggal. 8,9
Diagnosis antraks yaitu dengan deskripsi klinis dan melihat hubungan epidemiologis dengan kasus atau
diduga kasus hewan atau produk hewani yang terkontaminasi. Diagnosis retrospektif yaitu tes
hipersensitivitas kulit menggunakan AnthraxinT yang menghasilkan reaksi positif terhadap tes kulit alergi
(tidak divaksinasi individu).14

2.5 Pemeriksaan
Pengujian Laboratorium

Pemeriksaan mikroskopis sediaan ulas darah perifer adalah cara yang sederhana dan tepat,
bilamana hewan masih dalam keadaan sakit atau baru saja mati, selama belum terjadi
pembusukan. Kumannya berbentuk batang besar, Gram positif, biasanya tersusun tunggal,
berpasangan atau berantai pendek. Tidak terdapat spora. Dengan pewarnaan yang baik dapat
dilihat adanya selubung (kapsel). Pemeriksaan dengan pemupukan, bahan mengandung Anthrax
berupa darah atau jaringan lain yang berasal dari hewan sakit atau baru saja mati, dengan mudah
dapat dipupuk pada media buatan. Jika bahan berasal dari jaringan yang telah membusuk, maka
akan timbul kesulitan-kesulitan karena bakteri Anthrax mudah mati oleh pembusukan. Kuman-
kuman anthrakoid akan ikut hadir dan tumbuh.

Pemeriksaan biologik
Hewan percobaan yang terbaik adalah marmut. Meskipun mencit cukup baik, tetapi mencit
sangat rentan terhadap kontamin lain.

 Setelah disuntik secara subkutan, marmot biasanya mati dalam waktu 36-48 jam, paling lama
pada hari kelima. Jaringan marmut tersebut penuh dengan kuman Anthrax dan di bawah kulit
tempat suntikan terjadi infiltrasi gelatin.
 Penyuntikan hewan percobaan adalah cara yang paling tepat untuk membedakan kuman
anthraks dari kuman anthrakoid.
Pemeriksaan serologik

Uji Ascoli
Uji termopresipitasi Ascoli sangat berguna untuk menentukan jaringan tercemar Anthrax. Untuk
uji Ascoli diperlukan serum presipitasi bertiter tinggi. Jaringan tersangka di-ekstrasi dengan air
dengan cara perebusan, atau dengan penambahan kloroform. Cairan jernih yang diperoleh
mengandung protein Anthrax, jika jaringan tersebut mengandung kuman Anthrax. Cairan
tersebut disebut presiptinogen yang dipertemukan secara pelan-pelan dengan serum presipitasi
(presipitin) dalam tabung sempit. Reaksi positif akan ditandai dengan terbentuknya cincin putih
pada batas pertemuan antara kedua cairan tersebut.

Enzyme linked immunosorbent assay (ELIZA)

Sebanyak 3-5 g/ml komponen protective antigen (PA) toxin B. anthracis digunakan sebagai
antigen pada pH tinggi (9,5) menggunakan carbonate-coating buffer.

Uji hipersensitivitas (Anthraxin)

Uji ini dilakukan dengan cara menyuntikan 0,1 ml anthraxin secara intradermal pada hewan.
Dilakukan pengamatan kulit 24 – 48 jam setelah penyuntikan, apakah timbul erythema atau
tidak. Uji ini sebagai refleksi adanya cell-mediated immunity.

2.6 Pengobatan

Obat pilihan utama untuk infeksi antraks adalah Penicillin. Pengobatan


dibagi berdasarkan berat ringannya penyakit :

Penicillin G 500 – 600 mg IM setiap 12-24 jam selama 3-7 hari

Jika pasien menolak :

Anak :

Penicillin G 2400 mg IV setiap 4-6 jam (4 juta unit; total per hari 20 – 24
juta unit)

hingga gejala hilang / demam turun

Anak :

Penicillin G 300-400 ribu unit/kg/hari IV terbagi dalam 4-6 dosis

1. Kasus Ringan Tanpa Komplikasi (Antraks kulit) (6)

o Penicillin V 500 mg PO setiap 6 jam atau


o Amoxicillin 500 mg PO setiap 8 jam selama 3-7 hari
BB >20 kg : 500 mg PO setiap 8 jam selama 3-7 hari

BB <20 kg : 40 mg/kg PO setiap 8 jam selama 3-7 hari

o Penicillin V 25-50mg/kg/hari PO terbagi dalam 3-4 dosis atau


o Procaine Penicillin 25-50 ribu unit/kg/hari IM terbagi dalam
1-2 dosis selama 3-7 hari atau
o Amoxicillin :
2. Kasus Berat / Berpotensi Mengancam Nyawa (6)

o Inhalasi : Penicillin G dapat dikombinasikan dengan


klindamisin / klaritromisin
o Gastrointestinal : Penicillin G dapat dikombinasikan dengan
aminoglikosid (streptomisin)
o Meningoensefalitis : Penicillin G dikombinasikan dengan
fluorokuinolon (levofloksasin)
Selain antibiotik, terdapat pula antitoxin yang dapat digunakan bersamaan
dengan antibiotik. Antitoxin yang saat ini tersedia adalah Raxibacumab
dan Anthrax Immune Globulin Intravenous (AIGIV). (7)
2.7 Pencegahan

Pada orang yang telah terpapar tetapi belum menunjukkan gejala,


profilaksis antibiotik dapat diberikan selama 60 hari guna mencegah spora
berkembang dalam tubuh. Antibiotik yang digunakan adalah
ciprofloksasin dan doksisiklin. (5)
Vaksinasi dapat digunakan untuk pencegahan infeksi antraks pada orang
yang belum pernah mendapatkan vaksinasi usia 18 – 65 tahun dan
pada orang yang berisiko terpapar bakteri antraks , yaitu : pekerja
laboratorium dan orang berpotensi kontak langsung dengan hewan yang
terinfeksi. (8)
Terdapat dua jenis vaksin, yaitu vaksin hidup (Russian Vaccine dan PR
China Vaccine) dan vaksin rekombinan ( Anthrax Vaccine Adsorbed /AVA
dan Anthrax Vaccine Precipitated / AVP  ).(9) Vaksinasi
sebaiknya tidak diberikan pada pasien yang memiliki alergi terhadap
komponen vaksin, sedang hamil (atau kemungkinan hamil), tidak dalam
kondisi sehat. (8)
Vaksin hewan Anthrax yang digunakan adalah vaksin Anthravet kemasan
125 ml perbotol dengan kandungan setiap ml adalah
10 juta Spora Bacillus anthracis Galur 34 F2-Weybridge
avirulen non kapsula dengan pelarut garam faali dan
gliserin sama banyak dan mengandung 0,05 % saponin. Dosis pemakaian untuk hewan
besar 1 ml/ekor pemberian SC dan untuk hewan kecil 0,5
ml S
3. Memahami dan Menjelaskan Infeksi Cacing Hati
3.1 Definisi
3. Memahami dan Menjelaskan Infeksi Cacing Hati
3.1 Definisi
Fasciolosis atau infeksi cacing hati merupakan penyakit pada ternak disebabkan oleh cacing daun
(trematoda) genus Fasciola spp., seperti Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica. Pada umumnya F.
hepatica ditemukan di negara empat musim atau subtropis seperti Amerika Selatan, Amerika Utara,
Eropa, Afrika Selatan, Rusia, Australia dan New Zealand. Fasciola gigantica umumnya ditemukan di
negara tropis dan subtropis, seperti India, Indonesia, Jepang, Filipina, Malaysia, dan Kamboja
Fascioliasis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit
Fasciola. Dua spesies Fasciola (tipe) menginfeksi manusia. Spesies utama
adalah Fasciola hepatica, yang juga dikenal sebagai “cacing hati yang umum”
dan “cacing hati domba.” Spesies terkait, Fasciola gigantica, juga dapat
menginfeksi manusia. Ini adalah penyakit parasityangumumterjadi dan
terdistribusi secara kosmopolitan.

3.2 Penyebab

Fasciolosis disebabkan oleh cacing hemaprodit yang cukup besar, berbentuk seperti daun dengan
kutikula berduri. Fasciola gigantica secara eksklusif terdapat di daerah tropis, berukuran 25-27x
3-12 mm. Fasciola hepatica ditemukan di daerah yang beriklim sedang dengan ukuran 20-30x10
mm. Kedua spesies cacing tersebut bersifat hematopagus/pemakan darah.
Fgigantica mempunyai pundak sempit, ujung posterior tumpul, ovarium lebih panjang dengan
banyak cabang. Sedangkan F.hepatica mempunyai pundak lebar dan ujung posterior lancip.
Telur Fgigantica berukuran 160-196x90-100 mm, dan telur F.hopatica berukuran 130-148x60-90
mm.

3.3 Penularan
Cacing hati menular pada ternak melalui siklus hidup yang berpindah. Cacing Fasciola dewasa
bertahan hidup di dalam hati ternak antara 1-3 tahun. Telur cacing akan keluar dari tubuh ternak
bersama feses. Pada lingkungan lembab, telur tersebut dapat bertahan antara 2-3 bulan. Telur
Fasciola hepatica menetas dalam 12 hari pada suhu 26°C, sementara telur Fasciola gigantica
menetas dalam 14-17 hari pada suhu 28°C. Penetasan yang umumnya terjadi pada siang hari itu
mengeluarkan mirasidium.
Mirasidium memiliki rambut getar yang sangat aktif berenang di dalam air. Ia akan mencari
induk semang yang sesuai, yaitu siput. Setelah mirasidium menemukan siput, rambut getarnya
akan terlepas dan mirasidium menembus masuk ke tubuh siput. Dalam waktu 24 jam,
mirasidium berubah menjadi sporosis. Delapan hari kemudian, sporosis tersebut akan
berkembang menjadi redia.
Selanjutnya, redia akan menghasilkan serkaria dan keluar dari tubuh siput. Serkaria dapat
berenang saat berada di luar tubuh siput, kemudian menempel pada benda di dalam air.
Termasuk di antaranya rumput, jerami, sayuran, atau tumbuhan air lainnya. Hewan ternak akan
terinfeksi ketika memakan tumbuhan atau meminum air yang terkontaminasi serkaria.
Di dalam tubuh ternak, serkaria menjadi cacing muda. Dampak infeksi ini cukup buruk. Ia bisa
membuat pertumbuhan ternak terhambat, kurus, produktivitas ternak menurun, bahkan
menyebabkan kematian.
Menular pada Manusia
Meskipun selama ini hati daging ternak yang terinfeksi cacing hati aman dikonsumsi, manusia
tak otomatis terhindar dari penyakit fasciolosis. Penularan penyakit ini dapat terjadi akibat
penggunaan air yang tercemar serkaria Fasciola. Jika air yang terinfeksi itu diminum dalam
keadaan mentah .
Penularan fasciolosis oleh Fasciola hepatica dapat terjadi jika Anda mengkonsumsi hati mentah
seperti dilakukan sebagian masyarakat Eropa. Hal ini ditunjukkan dalam penelitian oleh Taira N
dkk yang memberi makan tikus dengan hati terkontaminasi Fasciola hepatica. Hasilnya, cacing
tersebut dapat berkembang menjadi dewasa di dalam tubuh tikus. Mereka juga menerapkan
penelitian yang sama pada 10 ekor anak babi, dan kesemuanya mati saat cacing berumur 14 hari
di tubuh babi.
Di Indonesia, kejadian fasciolosis bisa dikatakan jarang. Masyarakat negeri ini kurang menyukai
hati serta sayuran mentah. Namun, masyarakat daerah tertentu seperti Jawa Barat harus berhati-
hati. Sebab, orang Sunda terbiasa makan lalapan mentah. Sayuran yang terkontaminasi serkaria
dapat menjadi media penularan cacing hati.
“Hati hewan yang terkontaminasi tak akan menularkan fasciolosis karena penularan penyakit ini
melalui siklus tak langsung,” jelas dokter hewan Fadjar Satrija, Drh. Msc., Ph. D.
Fasciolosis, terang Fadjar, tak akan menular ke manusia dengan mudah lewat konsumsi hati
hewan yang terinfeksi. Hati hewan terinfeksi dibuang lebih karena masalah kepatutan. Hati
hewan menjadi keras tentu tak layak dimakan. Ia berpasir karena mengalami sirosis.
Fasciolosis bisa menjangkiti manusia apabila penularannya dimulai dari serkaria yang keluar dari
tubuh siput. Serkaria bisa menempel dari pupuk kandang yang diberikan ke tanaman, atau
penyiraman tanaman menggunakan air sungai terkontaminasi.
Masa inkubasi fasciolosis pada manusia sangat bervariasi. Ia dapat berlangsung dalam 6 minggu
hingga 3 bulan. Gejala klinis paling menonjol adalah anemia, demam dengan suhu badan antara
40-42° C, nyeri di bagian perut, dan gangguan pencernaan. Dalam kasus kronis, fasciolosis dapat
mengakibatkan terbentuknya batu empedu, sirosis hati, dan kanker hati.
3.4 Gejala
Gejala klinis yang paling menonjol adalah adanya gejala anemia (BORAY, 1969; DAWES dan HUGHES,
1970). Selain itu dapat pula terjadi demam dengan suhu badan antara 40—42 0C, nyeri di bagian perut dan
gangguan pencernaan. Bila penyakit berlanjut, dapat terjadi hepatomegali, asites di rongga perut, sesak nafas dan
gejala kekuningan (jaundice) (CHEN dan MOTT, 1990, FACEY dan MARSDEN, 1960; ARJONA et al., 1995).
Selain itu, dalam kasus fasciolosis kronis, menurut VALERO et al. (2003), dapat mengakibatkan terbentuknya
batu empedu, sirosis hati dan kanker hati.

Berat ringannya fasciolosis tergantung pada jumlah metaserkaria yang tertelan dan
infektifitasnya. Bila metaserkaria yang tertelan sangat banyak akan mengakibatkan kematian
pada ternak sebelum cacing tersebut mencapai dewasa. Selain itu, tergantung pula pada stadium
infestasi yaitu migrasi cacing muda dan perkembangan cacing dewasa dalam saluran empedu,
serta infestasi Fasciola sp. dapat bersifat akut maupun kronis. Infestasi Fgigantica pada domba
dan kambing biasanya bersifat akut dan fatal,
Bentuk akut: Bentuk ini disebabkan adanya migrasi cacing muda di dalam jaringan hati,
sehingga menyebabkan kerusakan jaringan hati. Temak menjadi lemah, nafas cepat dan pendek,
perut membesar dan rasa sakit.
Bentuk kronis: F.gigantiga mencapai dewasa 4-5 bulan setelah infestasi, gejala yang nampak
adalah anemia, sehingga menyebabkan temak lesu, lemah, nafsu makan menurun, cepat
mengalami kelelahan, membrana mukosa pucat, diare dan edema di antara sudut dagu dan bawah
perut, ikterus dan kematian dapat terjadi dalam waktu 1-3 bulan.

3.5 Pemeriksaan
Deteksi telur cacino
Deteksi telur cacing Fasciola spp. dalam tinja merupakan cara diagnosa yang umum dilakukan untuk
mengetahui adanya penyakit fasciolosis. Metode yang biasa digunakan adalah uji sedimentasi
(SUHARDONO et al., 1991). Metode tersebut merupakan metode konvensional dan hanya bisa
digunakan untuk hewan/penderita yang infeksinya sudah kronis dan sudah mengandung cacing dewasa
dalam saluran empedunya. Biasanya cacing Fasciola spp. dewasa mulai memproduksi telur pada umur
10—18 minggu. Metode tersebut masih ada juga kekurangannya karena telur cacing diekskresikan
dalam waktu yang tidak beraturan dan jumlah telur cacing yang terlalu sedikit dalam tinja akan
mempengaruhi hasil diagnosa.

Deteksi antibodi dalam serum


Uji serologi untuk deteksi antibodi terhadap Fasciola spp, umumnya dilakukan dengan uji Enzyme
Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Uji ELISAantibodi telah berhasil mendeteksi adanya infeksi
awal F. hepatica pada ternak ruminansia pada minggu ke-2— 4 setelah infeksi (HILL YER et al., 1985;
ZIMMERMAN et al., 1982). Antibodi F. hepatica dengan uji ELISA dapat dideteksi antara minggu ke-
3—6 setelah infeksi pada saat larva cacing migrasi ke hati. Uji ELISAantibodi dengan menggunakan
antigen Excretory/ Secrelocv (ES) F. gigantica telah digunakan untuk diagnosa fasciolosis pada sapi di
Indonesia dengan sensitifitas 91% dan spesiflsitasnya 88% (ESTUNINGSIH et al., 2004a).
Pada kasus fasciolosis yang terjadi pada manusia di Melbourne, Australia, uji ELISA dengan antigen
rekombinan F. hepatica Cathepsin-L, digunakan untuk deteksi antibodi IgG4, hasilnya menunjukkan
positif kuat sebelum telur cacing dapat terdeteksi dalam tinja (HUGHES et al., 2003).

Deteksi antigen dalam serum dan tinja


Sandwich-ELISA merupakan diagnosa yang dapat mendeteksi adanya infeksi aktif dan bisa mendeteksi
adanya antigen dalam serum atau dalam tinja yang dikeluarkan oleh cacing Fasciola. Tingkat infeksi
fasciolosis pada penderita dapat diketahui dengan mengukur banyaknya antigen Fasciola yang berada
dalam serum atau dalam tinja (FAGBEMI dan GUOBADIA, 1995). Deteksi sirkulasi antigen dalam
serum dengan s•andwich-ELlSA telah diterapkan untuk mendiagnosa penyakit fasciolosis pada manusia,
sapi dan domba (ESPINO et al., 1990; LANGLEY dan HILLYER, 1989; RODRIGUE-PEREZ dan
HILLYER, 1995). Antigen F. hepatica dalam serum domba dapat terdeteksi antara minggu ke-4—6
setelah infeksi (RODRIGUE-PEREZ dan HILLYER, 1995) sedangkan dalam serum sapi dapat terdeteksi
antara minggu ke-2— 3 setelah infeksi (FAGBEMI et al., 1995; DUMENIGO et al., 1996).
Diagnosa fasciolosis pada manusia untuk deteksi antigen dalam tinja dengan sandwich-ELISA telah
dikembangkan oleh ESPINO dan FINLAY (1994) dan perangkat ujinya telah diperdagangkan secara
komersiai di Kuba. Sensitivitas dan spesifisitas uji Sandwich-ELISA tersebut pada sapi masing-masing
adalah 95% dan (ESTUNINGSIH et al., 2004b). Selanjutnya, pada domba yang diinfeksi F. gigantica,
diperoleh bahwa 57—70% domba-domba tersebut menunjukkan positif antigen dalan tinja dalam waktu
5—9 minggu setelah domba diinfeksi. Untuk deteksi antigen F. gigantica dalam serum sapi yang
dilakukan oleh ESTUNINGSIH et al. (2004b) hasilnya tidak sebagus deteksi antigen dalam tinja. Hasil
tersebut sama dengan hasil yang telah dilaporkan oleh ABDEL-RAHMAN et al. (1998) bahwa deteksi
antigen F. gigantica dalam tinja lebih sensitif dibandingkan deteksi antigen dalam serum.
Dari uraian di atas dapat dikatakan, deteksi antigen dalam tinja dengan sandwich-ELISA merupakan
cara diagnosa fasciolosis yang lebih tepat dan akurat karena mampu mendeteksi adanya infeksi aktif.

3.6 Pengobatan
a. Pada manusia digunakan triclabendazole dengan dosis 10-12 mg/kg bb dan nitazoxanide.
b. Nitroxinil dengan dosis 10 mg/kg untuk sapi, kerbau dan domba, dengan ounuh sangat efektif
(100%) pada infestasi setelah 6 minggu. Namun pengobatan dengan obat ini perlu diulang 8-12
minggu setelah pengobatan pertama.
c. Rafoxanide dengan dosis 10 mg/kg untuk domba, 10-15 mg/kg untuk sapi. Obat ini efektif
untuk mengobati cacing trematoda dan nematoda, baik cacing muda maupun dewasa.
d. Mebendazol dengan dosis 100 mg/kg efektif (94 %) untuk membunuh cacing hati dan cacing
nematoda. Pemberian obat cacing secara periodik dan diberikan minimal 2 kali dalam 1 tahun.
Pengobatan pertama dilakukan pada akhir musim hujan dengan tujuan untuk mengeliminasi
migrasi cacing dewasa, sehingga selama musim kemarau ternak dalam kondisi yang baik dan
juga menjaga lingkungan, terutama kolam air, agar selama musim kemarau tidak terkontaminasi
oleh larva cacing. Pengobatan kedua dilakukan pada akhir musim kemarau dengan tujuan untuk
mengeliminasi cacing muda yang bermigrasi ke dalam parenkim hati. Pada pengobatan kedua ini
perlu dipilih obat cacing yang dapat membunuh cacing muda.

3.7 Pencegahan
a.Limbah kandang hanya digunakan sebagai pupuk pada tanaman padi apabila sudah
dikomposkan terlebih dahulu sehingga telur Fasciola sp. sudah mati.
b. Pengambilan jerami dari sawah sebagai pakan ternak dilakukan dengan pemotongan sedikit di
atas tinggi galengan atau 1-1.5 jengkal dari tanah.
c. Jerami dijemur selama 2-3 hari berturut-turut dibawah sinar matahari dan dibolak-balik selama
penjernuran sebelum diberikan untuk pakan.
d. Penyisiran jerami agar daun padi yang kering terlepas untuk mengurangi pencemaran
metaserkaria.
e. Tidak melakukan penggembalaan ternak di daerah berair atau yang tercemar oleh metaserkaria
cacing hati, misalnya di sawah sekitar kandang ternak atau dekat pemukiman.
f. Mengandangkan sapi dan itik secara bersebelahan sehingga kotorannya tercampur saat
kandang dibersihkan (pengendalian secara biologis).
g. Gabungan dari cara-cara tersebut di atas.

4. Memahami dan Menjelaskan Konsep One Health


4.1 Definisi
Konsep One Health adalah strategi di seluruh dunia untuk memperluas kolaborasi interdisipliner
dan komunikasi dalam semua aspek pelayanan kesehatan bagi manusia, hewan dan lingkungan
4.2 Tujuan
 Menurunkan insidensi zoonosis pada hewan dan manusia
 Perlindungan dan memperluas wilayah bebas zoonosis
 Menggurangi dampak KLB/Wabah zoonosis
4.3 Sasaran/Ruang Lingkup
Sasaran konsep one health yaitu terhadap interaksi manusia dengan hewan serta produknya untuk
memenuhi kebutuhan dasarnya
a. pemburu kelas dunia, peternak suksess, sosialita, ect
b. Bekerja sebagai : dokter hewan, dokter, paramedis,paramedic, peternak,
pedagang, peneliti, teknisi lab, pemburu, perawat hewan, pekerja rumah potong
hewan
c. Memiliki hewan kesayangan, bergabung dengan komunitas pecinta hewan atau
aktivis kesrawan, wisata alam
d. Memiliki : anjing penjaga, anjing pemburu atau anjing pelacak
e. Mengonsumsi makanan dari hewan : daging, telur, sosis, nugget , minum : susu,
yoghurt, kefir
4.4 Program

B
5. Memahami dan Menjelaskan Hewan Kurban
Standar sah hewan kurban :
Pertama, hewan kurban harus dari hewan ternak; yaitu unta, sapi, kambing atau domba.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala, ‫َولِ ُك ِّل أ ُ َّم ٍة َج َع ْل َنا َم ْن َس ًكا لِ َي ْذ ُكرُوا اسْ َم هَّللا ِ َعلَى َما َر َز َق ُه ْم مِنْ َب ِهي َم ِة اأْل َ ْن َع ِام‬
"Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka
menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada
mereka." (QS. Al-Hajj: 34) Bahimatul An'am: unta, kambing dan sapi, Ini yang dikenal oleh
orang Arab sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hasan, Qatadah, dan selainnya. Atau
sejenis hewan sapi seperti kerbau karena hakikatnya sama dengan sapi juga diperbolehkan
untuk berkurban, dengan demikian maka tidak sah berkurban dengan 100 ekor ayam, atau
500 ekor bebek dikarenakan tidak termasuk kategori Bahimatul An’am.
Kedua, usianya sudah mencapai umur minimal yang ditentukan syari'at. Umur hewan
ternak yang boleh dijadikan hewan kurban adalah seperti berikut ini; Unta minimal berumur
5 tahun dan telah masuk tahun ke 6. Sapi minimal berumur 2 tahun dan telah masuk tahun
ke 3. Kambing jenis domba atau biri-biri berumur 1 tahun, atau minimal berumur 6 bulan
bagi yang sulit mendapatkan domba yang berumur 1 tahun. Sedangkan bagi kambing biasa
(bukan jenis domba atau biri-biri, semisal kambing jawa), maka minimal berumur 1 tahun
dan telah masuk tahun ke 2. Sebagaimana terdapat dalam kitab Kifayatul Akhyar, ‫ويجزئ فيها‬
‫ الجذع من الضأن والثني من المعز والثني من اإلبل والثني من البقر‬Umur hewan kurban adalah Al-Jadza’u
(Domba yang berumur 6 bulan-1 tahun), dan Al-Ma’iz (Kambing jawa yang berumur 1-2
tahun), dan Al-Ibil (Unta yang berumur 5-6 tahun), dan Al-Baqar (Sapi yang berumur 2-3
tahun). Maka tidak sah melaksanakan kurban dengan hewan yang belum memenuhi kriteria
umur sebagaimana disebutkan, entah itu unta, sapi maupun kambing. Karena syari’at telah
menentukan standar minimal umur dari masing-masing jenis hewan kurban yang dimaksud,
jika belum sampai pada umur yang telah ditentukan maka tidak sah berkurban dengan
hewan tersebut, jika telah sampai pada umur atau bahkan lebih maka tidaklah mengapa,
asalkan tidak terlalu tua sehingga dagingnya kurang begitu empuk untuk dimakan.   (Pen.
Fuad H. Basya/Red. Ulil H.) 

Hewan yang Tidak Sah untuk Berkurban


Tidak semua kambing, domba, sapi, kerbau, atau onta lantas dapat dijadikan hewan kurban.
Hewan-hewan yang hendak dikurbankan tetap mesti memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.

1. Hewan yang matanya buta.


2. Hewan yang salah satu kakinya pincang.
3. Hewan yang sedang sakit.
4. Hewan yang sangat kurus.
5. Hewan yang mempunyai telinga terputus sebagian atau seluruhnya.
6. Hewan yang ekornya terputus sebagian atau seluruhnya. 

Sebagai catatan, ada kalanya hewan kurban memiliki tanduk patah atau pecah, atau bahkan
tidak memiliki tanduk. Dalam hal ini, hewan tersebut dapat digunakan sebagai hewan kurban.
Pedoman Penyembelihan Hewan oleh MUI
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Fatwa Nomor 12 Tahun 2009 tentang Standar Sertifikasi
Penyembelihan Halal, memberikan pedoman umum terkait hewan yang disembelih,
penyembelih, alat yang digunakan, dan proses penyembelihan.
Standar Hewan yang Disembelih
1. Hewan yang disembelih adalah hewan yang boleh dimakan.
2. Hewan harus dalam keadaan hidup ketika disembelih.
3. Kondisi hewan harus memenuhi standar kesehatan hewan yang ditetapkan oleh lembaga
yang memiliki kewenangan.
Standar Penyembelih
1. Beragama islam dan sudah akil baligh.
2. Memahami tata cara penyembelihan secara syar'i.
3. Memiliki keahlian dalam penyembelihan.
Standar Alat Penyembelihan
1. Alat penyembelihan harus tajam
2. Alat dimaksud bukan kuku, gigi/taring, atau tulang.
Standar Proses Penyembelihan
1. Penyembelihan dilaksanakan dengan niat menyembelih dan menyebut asma Allah.
2. Penyembelihan dilakukan dengan mengalirkan darah melalui pemotongan saluran makanan,
saluran pernapasan/tenggorokan, dan dua pembuluh darah.
3. Penyembelihan dilakukan dengan satu kali dan secara cepat.
4. Memastikan adanya aliran darah dan/atau gerakan hewan sebagai tanda hidupnya hewan.
5. Memastikan matinya hewan disebabkan oleh penyembelihan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai