Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Penyakit infeksi tropis merupakan salah satu masalah kesehatan yang
penting di negara tropis maupun subtropis, terutama negara-negara dengan
higiene dan sanitasi yang kurang baik. Penyakit infeksi tropis adalah penyakit
menular yang mempunyai angka prevalensi dan mortalitas yang tinggi, serta
menjadi beban kesehatan yang tidak kunjung selesai (WHO, 2015).
Salah satu penyakit infeksi yang menyerang sebagian besar penduduk
Indonesia adalah diare. Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat karena morbiditas dan mortalitas-nya yang masih tinggi. Hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas ) tahun 2007 menunjukkan prevalensi nasional
adalah 9%.Berdasarkan pola penyebab kematian semua umur, diare merupakan
penyebab kematian peringkat ke-13 dengan proporsi 3,5%. Sedangkan
berdasarkan penyakit menular, diare merupakan penyebab kematian peringkat ke3 setelah TB dan pneumonia. Diare terjadi akibat infeksi pada saluran pencernaan
yang dapat disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, dan parasit (Depkes, 2011).
WHO membagi diare menjadi tiga kelompok yaitu diare cair akut, diare
berdarah (disentri) dan diare persisten. Disentri berasal dari bahasa Yunani, yaitu
dys (gangguan) dan enteron (usus) yang berarti radang usus yang ditandai dengan
sakit perut dan buang air besar yang encer secara terus menerus (diare) yang dapat
bercampur lendir maupun darah. Diare berdarah dapat disebbakan disentri basiler
(Shigella) dan amuba, enterokolitis (misalnya cows milk allergy), trichuriasis,
EIEC, dan virus. Penyebab yang paling sering mengakibatkan tingginya angka
kesakitan dan kematian adalah disentri basiler (Tjokroprawiro dan Askandar,
2007; Navianti dan Sinuhaji, 2005).
Disentri merupakan tipe diare

yang

berbahaya

dan

seringkali

menyebabkan kematian dibandingkan dengan tipe diare akut yang lain. Penyakit
ini dapat disebabkan oleh bakteri (disentri basiler) dan amoeba (disentri amoeba).
Penyakit ini tersebar hampir di seluruh dunia terutama di negara berkembang
yang berada di daerah tropis. Hal ini disebabkan karena faktor kepadatan

penduduk, higiene individu yang buruk, sanitasi lingkungan hidup yang kurang
baik, serta kondisi sosial kultural yang kurang menunjang. Amebiasis menjadi
penyakit yang mendapat perhatian dari WHO karena merupakan satu dari tiga
penyebab kematian tersering infeksi parasit. Pada tahun 2010, WHO mencatat
bahwa terdapat 50 juta kasus Amebiasis, dimana 100.000-nya meninggal
(Redaelli et al., 2011). Sedangkan untuk Indonesia sendiri, insidensi Amebiasis
bisa dikatakan cukup tinggi dengan angka 10-18%. Mortatlitas Amebiasis juga
cukup tinggi di Indonesia yaitu 1,9 9,1%, peringkat kedua setelah malaria
(Andayasari, 2011).
Berdasarkan data ini, penulis tertarik untuk membahas penatalaksanaan
Amebiasis, terutama dari segi farmakoterapi. Diharapkan dengan tata laksana
yang baik, angka insidensi dan mortalitas Amebiasis menurun.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau
setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya
lebih dari 200 g atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi,

yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer
tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah.
Diare akut adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan berlangsung
kurang dari 14 hari, sedang diare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih dari
14 hari. Diare dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Dari penyebab diare
yang terbanyak adalah diare infeksi. Diare infeksi dapat disebabkan Virus,
Bakteri, dan Parasit.
Diare akut dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain : infeksi (bakteri,
virus, parasit), keracunan makanan, efek obat dan lain-lain. Menurut World
Gastroenterology Organization, etiologi diare akut dibagi atas empat penyebab :
bakteri, virus, parasit dan non infeksi. Etiologi diare ini dapat masuk ke dalam
tubuh melalui 2 jalur yaitu enteral dan parenteral.
1. Enteral
Bakteri : Shigella sp, E.coli patogen, Salmonella sp, Vibrio cholera,
Yersinia enterocolytica, Campylobacter jejuni, Staphilococcus aureus,

streptcoccus, Klebsiella, Pseudomonas, Aeromonas, Proteus dll.


Virus : Rotavirus, Adenovirus, Norwalk virus, cytomegalovirus

(CMV), echovirus.
Parasit : -protozoa : Entamoeba hystolitica, Giardia lamblia,

Balantidium coli.
Worm : Ascaris lumbricoides, cacing tambang, Trichuris trichuria
Fungus : kandida/moniliasis

2. Parenteral :
Intoksikasi makanan : makanan beracun atau mengandung logam
berat, makanan yang mengandung bakteri/toksin : Clostridium

perfringens, B. Cereus, S.aureus.


Alergi : susu sapi, makanan tertentu
Malabsorbsi/maldigesti : karbohidrat : monosakarida (galaktosa,
glukosa, laktosa), diskarida, lemak, protein intolerance, vitamin dan
mineral.

A. Definisi

Disentri berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (gangguan) dan enteron
(usus) yang berarti radang usus. Disentri basiler / shigellosis merupakan suatu
infeksi akut yang mengakibatkan radang pada kolon, yang disebabkan kuman
genus Shigella, yang ditandai gejala diare, adanya lendir dan darah dalam
tinja, nyeri perut serta tenesmus (Tjokroprawiro dan Askandar, 2007).
B. Epidemiologi
Berdasarkan statistik internasional, sekitar 50 juta kasus Amebiasis
terjadi setiap tahunnya, dengan 100.000 orang meninggal (Redaelli et al.,
2011). Hal ini menunjukkan fenomena gunung es karena hanya 10-20% yang
menunjukkan gejala klinis (Valenzuela et al., 2007; van Hal et al., 2007;
Ximenez et al., 2009). Insidensi Amebiasis tertinggi terdapat di negara-negara
berkembang (Stauffer et al., 2006).
Amebiasis usus yang simptomatik terjadi pada seluruh kelompok
umur. Sedangkan untuk abses hati sendiri 10 kali lebih sering terjadi pada
dewasa dibandingkan dengan anak-anak. Anak kecil kemungkinan juga
memiliki faktor predisposisi terjadinya kolitis fulminan (Dhawan, 2015).
Kolitis amebik menyerang secara sama, baik laki-laki maupun
perempuan (Stanley, 2003). Namun, Amebiasis invasif lebih sering terjadi
pada laki-laki dewasa dibandingkan wanita (7-12 kali), pada kisaran umur 1850 tahun. Untuk Amebiasis asimptomatik juga terjadi secara sama, baik lakilaki maupun perempuan (Acuna-Soto at al., 2000).
Sedangkan untuk Indonesia sendiri, insidensi Amebiasis

bisa

dikatakan cukup tinggi dengan angka 10-18%. Mortatlitas Amebiasis juga


cukup tinggi di Indonesia yaitu 1,9 9,1%, peringkat kedua setelah malaria
(Andayasari, 2011). Di Indonesia laporan mengenai abses hati menunjukkan
insidensi yang cukup tinggi. Penularan dapat terjadi melalui beberapa cara,
misalnya pencemaran air minum, pupuk kotoran manusia, juru masak, vektor
lalat dan kecoa, serta kontak langsung seksual oral-anal pada homoseksual.
Penyakit ini cenderung endemik, jarang menimbulkan epidemi. Epidemi
sering tejadi lewat air minum yang tercemar (Soewondo, 2010).
C. Etiologi

E.histolytica adalah protozoa usus yang sering hidup sebagai


mikroorganisme komensal di usus besar manusia. Apabila keadaan
mengizinkan, protozoa ini bisa berubah menjadi patogen dengan membentuk
koloni di dinding usus dan menembus dinding usus sehingga terbentuk
ulserasi. Siklus hidup

amoeba ada 2 bentuk, yaitu stadium tropozoit

(komensal <10mm, patogen >10mm) dan stadium kista (Soewondo, 2010).


Tropozoit komensal dapat dijumpai di lumen usus tanpa menyebabkan
gejala penyakit. Apabila menimbulkan diare, maka tropozoit akan keluar
bersama tinja. Pada pemeriksaan tinja dengan mikroskop, tropozit tampak
bergerak aktif dengan pseudopodianya dan dibatasi oleh ektoplasma yang
tampak terang seperti kaca. Bagian endoplasma berbentuk butir-butir kecil
dan sebuah inti di dalamnya. Sementara tropozit patogen dapat menyebabkan
disentri. Diameternya lebih besar daripasa tropozoit komensal (lebih dari
50mm) dan mengandung eritrosit di dalamnya karena tropozit patogen
menelan eritrosit (hematophagous thropozoite). Bentuk tropozoit itu
bertanggung jawab terhadap timbulnya gejala penyakit. Namun akan cepat
mati bila berada di luar tubuh (Soewondo, 2010).
Bentuk kista ada dua macam yaitu kista muda dan kista dewasa. Kista
muda terdiri dari satu gelembung glikogen dan badan-badan kromatid
berbentuk batang dengan ujung tumpul. Kista dewasa memiliki empat inti.
Kista ini hanya terbentuk dan dijumpai di dalam lumen usus, kista tidak dapat
terbentuk di luar tubuh dan tidak dapat dijumpai di dalam dinding usus atau
di jaringan tubuh di luar usus (Soewondo, 2010).
Kista bertanggung jawab terhadap penularan penyakit, dapat hdiup
lama di luar tubuh manusia, tahan terhadap asam lambung, dan akdar klor
standar dalam air minum. Diduga faktor lekeringan akibat penyerapan air di
usus besar, menyebabkan tropozit berubah menjadi kista (Soewondo, 2010).
Dengan teknik elektroforesis, enzim yang dikandung tropozoit dapat
diketahui. Pola enzim dapat menunjukkan patogenesis amoeba (zymodeme).
Amoeba di dalam tubuh pasien yang memiliki gejala invasif menunjukkan
adanya pola enzim zymodeme (Soewondo, 2010).
Semua tropozoit dan kista E.histolytica memiliki morfologi yang
identik, tetapi secara klinis spektrum penyakitnya yang luas ditentukan oleh
5

virulensi strain yang menginfeksinya. Isolat E.histolytica dari pasien


Amebiasis invasif memiliki isoenzim yang unik, antigen penanda DNA, dan
sifat virulensi (termasuk produksi proteinase ekstraseluler dan resistensi
terhadap lisis yang diperantarai oleh komplemen) (Reed, 2012).
Imunitas terhadap amoeba sampai saat ini belum diketahui
peranannya. Tetapi ada bukti yang peran imunitas terhadap infeksi amoeba.
Pada pasien dengan tindakan yang menurunkan imunitas, seperti radioterapi,
splenektomi, obat-obat imunosupresif, dan penggunaan steroid, dapat terjadi
ulkus amoeba berulang. Berdasarkan penyelidikan pada manusia dan hewan,
dapat dibuktikan bahw E.histolytica dapat memicu sistem imun humoral dan
seluler. Secara in vivo, imunitas humoral dapat membunuh amoeba, tetapi
secara in vitro tidak dapat. Belum diketahui pasti penyebabnya, tetapi
mungkin dikarenakan imunitas tidak terbentuk sempurna. Imunitas yang
terbentuk hanya dapat mengurangi beratnya gejala, tetapi tidak dapat
mencegah terjadinya penyakit. Diduga imunitas seluler berperan lebih besar
dibandingkan imunitas humoral. Antibodi di dalam serum, terutama IgG,
terutama berperan dalam uji serologis (Soewondo, 2010).
E histolytica ditransmisikan umumnya melalui rute fekal-oral. Kista
infektif bisa ditemukan pada minuman dan makanan yang terkontaminasi
secara fekal atau melalui tangan penyaji makanan yang terkontaminasi.
Transmisi seksual, secara oral-anal, juga memungkinkan terjadinya
penyebaran penyakit. Nutrisi yang buruk juga meningkatkan faktor risiko
tertular Amebiasis (Soewondo, 2010).
D. Patogenesis

Gambar 2.1 Kista E. Histolytica


(Dhawan, 2015)

Gambar 2.2 Tropozoit E.histolytica


(Dhawan, 2015)

Baik kista maupun tropozoit ditemukan dalam lumen intestinal,


namun hanya bentuk tropozoit yang menginvasi jaringan. Tropozoit yang
mula-mula hidup sebgaai komensal, dapat berubah menjadi patogen. Sebelum
tropozoit melekat pada epitel interglandularis melalui lektin permukaan
(GAL/GaINAc), terjadi deplesi mukus, inflamasi yang difus, dan disrupsi
sawar epitel di mukosa kolon. Lesi intestinal yang paling awal terjadi adalah
mikroulserasi mukosa sekum, kolon, sigmoid, atau rektum yang melepaskan
sel eritrosit, sel radang, dan sel epitel. Perluasan lesi ke lapisan submukosa
menyebabkan gambaran ulkus klasik yaitu berbentuk botol labu yang
mengandung tropozoit pada bagian tepi jaringan yang mati dan masih viabel.
Infeksi pada usus manusia ditandai oleh sedikitnya sel radang yang sebagian
mungkin disebabkan karena terbunuhnya neutrofil oleh tropozoit. Ulkus yang
diobati secara khas akan mengalami kesembuhan dengan sedikit atau tanpa
jaringan parut. Namun demikian, nekrosis yang mengenai seluruh tebal usus
dan perforasi kadang-kadang terjadi (Soewondo, 2010; Reed, 2012).
Kadang infeksi intestinal menyebabkan pembentukan suatu lesi yang
berupa massa atau amoeboma di dalam lumen usus. Mukosa yang berada si
atas lesi tersebut biasanya lebih tipis atau mengalami ulserasi, sementara
lapisan dinding usus yang lain akan menebal, edema serta hemoragik,
sehingga terjadi pembentukan jarungan granulasi yang berlebihan dengan
respon jaringan ikat fibrous yang sedikit (Reed, 2012).
Jalur litik dan apoptosis kedua-duanya berperan dalam patofisiologi
Amebiasis. Sitolisis diperantarai oleh amebapores, peptida yang mampu
membuat pori pada lapisan lipid bilayer. Efek sitolitik yang ditimbulkan oleh
amoeba ini memerlukan kontak langsung dengan sel target dan berkaitan
dengan pelepasan fosfolipase A. Amebapores dalam konsentrasi sublitik juga
dapat memicu terjadinya apopotosis (Stanley, 2003; Reed, 2012). Sejumlah
faktor virulensi berhubungan dengan kemampuan amoeba untuk menginvasi
lewat epitel interglandularis. Salah satunya adalah proteinase ekstraseluler
yang mampu menguraikan jaringan kolagen, elastin, dan komponen matriks
ekstraseluler.Sistein proteinase juga berperan dalam proses invasi dan
inflamasi di dalam usus, dengan meningkatkan inflamasi yang dieprantari
7

oleh IL-1 (menyamar menjadi enzim yang mengkonversi IL-1). Kemudian


sistein proteinase juga dapat menonaktfikan anafilatoxin komplemen C3a dan
C5a, IgA, dan IgG. Enzim lainnya dapat memutuskan ikatan glikoprotein
antara sel epitel mukosa di dalam usus. Amoeba dapat mengancurkan sel
neutrofil, monosit, limfosit, dan turunan sel kolon atau hati. Lisisnya sel
neutrofil dapat menyebabkan terjadinya nekrosis (Reed, 2012).
Ulkus yang terjadi dapat menimbulkan perdarahan di semua bagian
usus besar. Dari ulkus di dalam dinding usus besar dapat mengadakan
metastasis ke hati lewat cabang vena porta dan dapat menimbulkan abses
hati (Soewondo, 2010). Isolat yang patogen ini bersifat resisten terhadap
proses lisis oleh komplemen, yaitu sifat yang sangat menentukan
kelangsungan hidup amoeba di dalam darah. Apabila hal ini terus terjadi,
selain menuju ke hati, embolisasi dapat mencapai jaringan paru, otak, dan
limpa, sheingga menimbulkan abses di sana. Sedangkan untuk strain
nonpatogen, dengan cepat akan dihancurkan oleh komplemen dan dengan
demikian hanya terbatas dalam lumen usus saja (Reed, 2012).
Infeksi klinis tidak menimbulkan imunitas pada kolonisasi rekuren
oleh E.histolytica. Namun, serangan kolitis atau abses hati yang berulang
jarang didapat. Antibodi tidak protektif, titer antibodi lebih berhubungan
dengan lamanya sakit dibandingkan dengan beratnya penyakit (Reed, 2012).

Gambar 2.3 Siklus hidup E.histolytica (CDC, 2013)


E. Klasifikasi dan manifestasi klinis
Masa tunas dari beberapa jam hingga 3 hari, jarang lebih dari 3 hari.
Mulai gejala awal sampai timbulnya gejala khas biasanya cepat. Gejala yang
khas adalah defekasi sedikit-sedikit, terus menerus, sakit perut kolik,
tenesmus, muntah-muntah. Suhu badan tinggi, sakit kepala, nadi cepat. Sakit
perut dirasakan di sebelah kiri. Tinja biasanya encer, berlendir, warna
kemerah-merahan atau lendir bening, dan berdarah. Pada pemeriksaan
mikroskopis tinja dijumpai sel darah putih, sel darah merah, sel makrofag, selsel pus, kadang-kadang dijumpai Entamoeba coli. Pemeriksaan fisik pada saat
ini menunjukkan kembung perut dan nyeri, suara usus hiperaktif, dan nyeri
rektum pada pemeriksaan (Tjokroprawiro dan Askandar, 2007; Syaroni,
2009).
Pada bentuk yang berat fulminan dijumpai tanda dehidrasi dan bisa
terjadi renjatan septik. Daerah anus terdapat luka, nyeri, kadang-kadang

prolaps. Hemoroid yang ada sebelumnya mungkin muncul keluar. Kematian


dapat terjadi karena gangguan sirkulasi perifer, anuria, koma uremikum, dan
sering pada malnutrisi, kelaparan (Tjokroprawiro dan Askandar, 2007;
Syaroni, 2009).
Pada lebih dari setengah kasus pada orang dewasa, demam dan diare
menghilang spontan dalam 2-5 hari. Namun, pada anak-anak dan lanjut usia,
kehilangan air dan elektrolit dapat menimbulkan dehidrasi, asidosis dan
bahkan

kematian. Penyakit yang disebabkan oleh S. dysenteriae kadang-

kadang dapat sangat parah, berjangkitnya cepat, berak-berak seperti air,


muntah-muntah, suhu badan abnormal, cepat terjadi dehidrasi, renjatan septik
dan dapat meninggal bila tidak segera ditolong (Syaroni, 2009).
Pada pemulihan, kebanyakan orang mengeluarkan basil disentri dalam
waktu singkat, tetapi beberapa orang tetap menjadi carrier usus kronik dan
dapat mengalami serangan penyakit secara berulang (Jawetz et Adelbergs ,
2008). Berdasarkan gejala klinisnya, disentri amoeba juga dibagi dalam
beberapa jenis, antara lain sebagai berikut:
1. Karier (cyst passer)
Pasien tidak menunujkkan gejala klinis sama sekali. Hal ini disebabkan
karena amoeba yang berada di usus besar tidak mengadakan invasi ke
dinding usus
2. Amebiasis intestinal ringan
Timbulnya penyakit perlaha-lahan. Penderita biasanya mengeluhkan perut
kembung, kadang-kadang nyeri perut ringan yang bersifat kejang. Dapat
timbul diare 4-5 kali sehari dengan tinja berbau busuk. Kadang-kadang tinja
bercampur darah dan lendir. Sedikit nyeri di daerah sigmoid. Jarang nyeri di
daerah epigastrium yang mirip dengan ulkus peptik. Keadaan tersebut
bergantung pada lokasi ulkusnya. Keadaan umum pasien biasanya baik,
tanpa atau disertai demam ringan. Kadang-kadang terdapat hepatomegali
yang tidak atau sedikit nyeri tekan
3. Amebiasis intestinal sedang
Keluhan pasien dan gejala klinis lebih berat dibandingkan disentri ringan,
tetapi pasien masih mampu melakukan aktivitas segari-hari, tinja disertai
darah dan lendir. Pasien mengeluh perut kram, demam, dan lemah badan,
disertai hepatomgali yang nyeri ringan.
10

4. Amebiasis intestinal berat


Keluhan dan gejala klinis lebih hebat lagi. Penderita mengalami diare
disertai darah yang banyak, lebih dari 15 kali sehari, demam tinggi (4040,50C), disertai mual dan anemia. Pada saat ini tidak dianjurkan melakukan
pemeriksaan sigmoidoskopi karena dapat menyebabkan perforasi usus
5. Amebiasis intestinal kronis
Gejalanya menyerupai disentri amoeba ringan, serangan-serangan diare
diselingi dengan periode normal atau tanpa gejala. Keadaan ini dapat
berjalan

berbulan-bulan

sampai

bertahun-tahun.

Pasien

biasanya

menunjukkan gejala neurastenia. Serangan diare biasanya terjadi karena


kelelahan, demam, atau makanan yang sukar dicerna
6. Abses hepar amebik
Amebiasis ekstraintestinal yang paling sering terjadi, dimana gejalanya
lebih parah terjadi pada pria dibandingkan pada wanita. Pasien
mengeluhkan nyeri kuadran kanan atas, tenderness selama sekitar 10 har.
Keterlibatan permukaan diafrgma juga menyebabkan nyeri tumpulmenjalar
ke bahu. Gejala dan tanda abdomen akut harus diwaspadi sebagai ruptur
intraperitoneal. Selain itu juga terdapat gejala seperti mual, muntah, distensi
abdomen, diare, dan konstipasi. Diagnosis ini sulit ditegakkan karena gejala
dan tanda tidak spesifik
7. Manifestasi lain
Manifestasi klinis yang

lain

dapat

berupa

ameboma,

amebiasis

pleuropulmonal (penyebaran secara hematogen, melalui ruptur diafragma),


amebiasis otak (mual, muntal, nyeri kepala, perubahan status mental,
tampakan CT-scan sebagai lesi ireguler dengan kapsul atau enhancement),
amebiasis saluran kemih (rasa nyeri di daerah genital dan tuba fallopii),
amebiasis appendisitis, dan amebiasis peritonitis (pasien demam dan
distensi abdomen padat)
(Redd, 2012; Dhawan, 2015; Soewondo, 2010)
F. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah
Pada pemeriksaan darah dapat ditemukan adanya leukositosis tanpa
eosinofilia, peningkatan SGPT dan SGOT, peningkatan kadar bilirubin

11

ringan, penurunan kadar albumin, anemia ringan, peningkatan laju endap


eritrosit (Dhawan, 2015)
b. Pemeriksaan tinja
Pemeriksaan tinja merupakan pemeriksaan laboratorium yang sangat
penting. Pemeriksaan tinja sekali hanya menunjukkan sensitifitas sebesar
33-50%, tetapi apabila dilakukan sebanyak 3 kali dengan tidak lebih dari
10 hari sensitifitasnya meningkat hingga 85-95%. Pada disentri amoeba
biasanya berbau busuk, bercampur darah, dan lendir. Untuk pemeriksaan
mikroskopik, perlu tinja yang masih baru dan kadang-kadang diperlukan
pemeriksaan berulang (minimal 3 kali seminggu) dan sebaiknya
dilakukan sebelum pasien mendapat pengobatan. Apabila direncanakan
akan dibuat foto kolon dengan barium enema, pemeriksaan tinja harus
dikerjakan seblumnya atau minimal 3 hari setelahnya. Pada pemeriksaan
tinja pasien yang tidak diare, yang perlu dicari adalah bentuk kista karena
bentuk tropozoit tidak akan ditemukan
Temuan mikroskopis yang didapatkan :
- Tampak tropozoit yang masih bergerak aktif dengan pseudopodianya
(seperti kaca) dan jika tinja berdarah akan nampak adanya eritrosit
-

intrasitoplasmik
Pada sediaan tinja berbentuk : gambaran kista bentuk bulat seperti
mutiara, di dalamnya terdapat badan kromatid bentuk batang dan
ujung tumpul, sedangkan intinya tidak tampak (hanya dapat dilihat

dengan larutan lugol)


(Reed, 2012; Dhawan 2015)
c. Kultur
Kultur dapat dilakukan dengan spesiemen fekal atau rektar atau dengan
aspirasi abses hepar. Tingkat kesuksesan kultur adalah sekitar 50-70%,
tetapi secara teknis sangat sulit dilakukan. Kultur kurang sensitif jika
dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopis. Jika hasil pemeriksaan
tinjanya negatif, sigmoidoskopi demgan biopsi bagian tepi ulkus dapat
meningkatkan diagnosis, tetapi mengandung risiko terjadi perforasi
(Reed, 2012; Dhawan 2015)
d. Pemeriksaan histopatologi

12

Spesimen biopsi harus diambil dari tepi ulkus dan didapatkan adanya
tropozoit yang bergerak aktif. Gambaran histopatologi menunjukan
adanya penebalan mukosa yang nonspesifik, penyebaran ulkus multipel di
antara regio normal, mukosa dengan inflamasi difus, nekrosis. Invasi
mukosa ke dalam mukosa dan submukosa merupakan tanda penting
kolitis amebik (Dhawan, 2015).
e. Pemeriksaan serologi
Pemeriksaan serologi amat mebantu untuk pemeriksaan amebiasis invasif.
Pemeriksaan serologi bisa dilakukan dengan deteksi antigen maupun
deteksi antibodi (menggunakan metode ELISA). Deteksi antigen akan
mendeteksi adanya antigen E.histolyica di sampel feses, sedangakn serum
antibodi akan ditemukan pada individu amebiasis intestinal simptomatik
(70-90%) dan abses hati (99%). Selain dengan ELISA, terdapat metode
IFA (Immunofluorescent Assay), dimana pada pasien dengan abses hati
didaptkan sensitifotas ebesar 93,6% dan spesifisitas 96,7%. IHA (Indirect
Hemagglutination Assay) juga dapat dilakukan untuk deteksi antibodi
spesifik E.histolytica,, namun kurang sensitif jika dibandingkan dengan
ELISA. IHA tidak dapat membedakan infeksi akut maupu infeksi
berulang, serta titernya dapat tetap positif sampai selama 10 tahun
(Dhawan, 2015).
2. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi dengan kontras barium sangat berbahaya bila
dilakukan pada kolitis amebik akut. Pemeriksaan USG, CT-scan, dan MRI
berguna untuk mendeteksi adanya kista hipoekoik yang bundar atau oval
pada abses hati (Reed, 2012).
G. Diagnosis
Diagnosis pasti baru dapat ditegakkan bila sudah ditemukan amoeba
(tropozoit) dalam pemeriksaan tinja. Namun dengan diketemukannya
amoeba, tidak berarti menyingkirkan kemungkinan diagnosis penyakit lain,
karena amebiasis dapat disertai dengan penyakit lain.
Diagnosis banding amebiasis intestinal adalah divertikulitis, IBS
(Irritable

Bowel

Syndrome),

hepatitis,

cholecystitis,

Salmonellosis,

Shigellosis, dan hemorrhoid interna. Sedangkan untuk abses hati amebik sulit
13

dibedakan dengan abses piogenik, neoplasma, dan kista hidatidosa


(Soewondo, 2010; Dhawan, 2015).
H. Tata laksana
1. Farmakoterapi
Klasifikasi amebisid :
a. Amebisid luminal
Amebisid yang bekerja di lumen usus atau obat-obat yang aktif
terhadap amoeba intestinal
Contoh : diiodo hidroksiquin, chiniofon, carbasone, tetrasiklin,
clephamide, paramomysin, glikobiarsol
b. Amebisid jaringan
Amebisis yang bekerja pada jaringan intestinum atau organ lainnya
Contoh : emetin, dehydroemetin, klorokuin
c. Amebisis kombinasi
Contoh : metronidazol
Pemilihan amebisid bergantung pada :
a.
b.
c.
d.

Berat ringannya penyakit ini


Tempat terinfeksi (lumen atau ekstraintestinal)
Beberapa faktor lain, seperti keadaan hamil (hindari metronidazole)
Alergi obat atau toleransi

Karier (asimptomatik)
Iodoquinol (tab 650mg)
Dosis: 650mg 3 kali sehari selama 20 hari
Paromomycin (tab 250mg)
Dosis: 500mg 3 kali sehari selama 10 hari
Kolitis akut
Metronidazole (tab 250 atau 500 Dosis: 750mg per oral atau IV 3 kali sehari
mg)

selama 5-10 hari,ditambah dengan bahan


luminal dengan dosis yang sama

Abses hati amoeba


Metronidazole
Tinidazole
Omidazole

Dosis: 2 g per oral


Dosis: 2 g per oral ditambah bukan luminal

dengan jumlah sama


Tabel 2.1 Rekomendasi pengobatan Amebiasis
Pada pasien dengan amebiasis ringan-sedang akan mengalami diare
atau disentri, tetapi tidak berat, sehingga biasanya tidak memerlukan infus
cairan elektrolit atau transfusi darah. Tetapi bila disertai dengan diare dan
muntah, cairan elektrolit sebaiknya diberikan. Obat pilihannya adalah
metronidazol dengan dosis 3x750 mg sehari selama 5-10 hari, atau dapat juga

14

diberikan tinidazol atau omidazol. Karena pada pasien dengan pengobatan


metronidazole dapat timbul abses hati, maka dianjurkan menambah dengan
obat tropozoit di dalam lumen usus. Dapat digunakan obat seperti
diyohidrosikin, kliokinol, atau diloksanid furoat. Dapat pula diberi tetrasiklin
dengan dosis 4x500mg selama 5 hari (Soewondo, 2010).
Pada pasien dengan disentri amoeba yang berat, tidak hanya
memerlukan obat amebisid, tetapi juga memerlukan infus cairan elektrolit
atau transfusi darah. Selain seperti pengobatan pada kasus ringan-sedang,
perlu

ditambah

emetin

(1mg/kgbb/hari)

atau

dehidroemetin

(11,5

mg/kgbb/hari) selama 3-5 hari, diberikan secara IM atau SC. Pasien


sebaiknya dirawat di rumah sakit dan tirah baring selama pengobatan. Hal ini
dikarenakan bahaya efek emetin tehadap jantung (Soewondo, 2010).
Keterangan mengenai obat-obat yang dapat digunakan pada amebiasis
antara lain:
Emetin Hidroklorida
Obat ini berkhasiat terhadap bentuk histolitika. Pemberian emetin ini
hanya efektif bila diberikan secara parenteral karena pada pemberian secara
oral absorpsinya tidak sempurna. Toksisitasnya relatif tinggi, terutama
terhadap otot jantung. Dosis maksimum untuk orang dewasa adalah 65 mg
sehari. Lama pengobatan 4 sampai 6 hari. Pada orang tua dan orang yang
sakit berat, dosis harus dikurangi. Pemberian emetin tidak dianjurkan pada
wanita hamil, pada penderita dengan gangguan jantung dan ginjal.
Dehidroemetin relatif kurang toksik dibandingkan dengan emetin dan dapat
diberikan secara oral. Dosis maksimum adalah 0,1 gram sehari, diberikan
selama 46 hari. Emetin dan dehidroemetin efektif untuk pengobatan abses
hati (amoebiasis hati).
Klorokuin
Obat ini merupakan amoebisid jaringan, berkhasiat terhadap bentuk
histolytica. Efek samping dan efek toksiknya bersifat ringan antara lain, mual,
muntah, diare, sakit kepala. Dosis untuk orang dewasa adalah 1 gram sehari
selama 2 hari, kemudian 500 mg sehari selama 2 sampai 3 minggu.
Antibiotik
Tetrasiklin dan eritomisin bekerja secara tidak langsung sebagai
amebisid dengan mempengaruhi flora usus. Peromomisin bekerja langsung
15

pada amoeba. Dosis yang dianjurkan adalah 25 mg/kg bb/hari selama 5 hari,
diberikan secara terbagi.
Metronidazol (Nitraomidazol)
Metronidazol merupakan obat pilihan, karena efektif terhadap bentuk
histolytica dan bentuk kista. Efek samping ringan, antara lain, mual, muntah
dan pusing. Dosis untuk orang dewasa adalah 2 gram sehari selama 3 hari
berturut-turut dan diberikan secara terbagi.
Penggantian Cairan dan elektrolit
Aspek paling penting dari terapi diare adalah untuk menjaga hidrasi
yang adekuat dan keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan
dengan rehidrasi oral, dimana harus dilakukan pada semua pasien kecuali
yang tidak dapat minum atau yang terkena diare hebat yang memerlukan
hidrasi intavena yang membahayakan jiwa.
Idealnya, cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 g Natrium klorida,
dan 2,5 g Natrium bikarbonat, 1,5 g kalium klorida, dan 20 g glukosa per liter
air.Cairan seperti itu tersedia secara komersial dalam paket-paket yang mudah
disiapkan dengan mencampurkan dengan air. Jika sediaan secara komersial
tidak ada, cairan rehidrasi oral pengganti dapat dibuat dengan menambahkan
sendok teh garam, sendok teh baking soda, dan 2 4 sendok makan gula
per liter air. Dua pisang atau 1 cangkir jus jeruk diberikan untuk mengganti
kalium. Pasien harus minum cairan tersebut sebanyak mungkin sejak mereka
merasa haus pertama kalinya.Jika terapi intra vena diperlukan, cairan
normotonik seperti cairan saline normal atau Ringer Laktat harus diberikan
dengan suplementasi kalium sebagaimana panduan kimia darah. Status
hidrasi harus dimonitor dengan baik dengan memperhatikan tanda-tanda vital,
pernapasan, dan urin, dan penyesuaian infus jika diperlukan. Pemberian harus
diubah ke cairan rehidrasi oral sesegera mungkin.
Menurut keadaan klinisnya dehidrasi dapat dibagi 3, yaitu :
1. Dehidrasi ringan (hilangnya cairan 2 5% dari BB) gambaran klinisnya
turgor kulit kurang, suara serak (vox cholerica), pasien belum jatuh dalam
presyok.
2. Dehidrasi sedang (hilangnya cairan 5 8% dari BB) gambaran klinisnya
turgor kulit buruk, suara serak (vox cholerica), pasien jatuh dalam presyok
atau syok, nadi cepat, nafas cepat dan dalam.
16

3. Dehidrasi berat (hilangnya cairan 8 10% dari BB) tanda klinis dehidrasi
sedang ditambah kesadaran yang menurun (apatis sampai koma), otot
kaku, sianosis.
Metode Daldiyono berdasarkan keadaan klinis yang diberi penilaian/skor :
Klinis
Rasa haus/muntah
Tekanan darah sistolik 60 90 mmHg
Tekanan darah sistolik <60 mmHg
Frekuensi nadi >120 kali/menit
Kesadaran apatis
Kesadaran somnolen, sopor atau koma
Frekuensi nafas >30 kali/menit
Facies cholerica
Vox cholerica (suara serak)
Turgor kulit menurun
Washer womans hand
Ekstremitas dingin
Sianosis
Umur 50 60 tahun
Umur >60 tahun
Kebutuhan cairan =

Skor
1
1
2
1
1
2
1
2
2
1
1
1
2
1
2

Skor
15 x 10% x KgBB x 1 L

Bila skor <3 dan tidak ada syok, maka hanya diberikan cairan peroral
sebanyak mungkin sedikit demi sedikit. Bila skor 3 disertai syok diberikan
cairan per intravena.
Pemberian cairan rehidrasi terdiri atas :
a) Dua jam pertama (tahap rehidrasi initial) merupakan jumlah total
kebutuhan cairan menurut rumus BJ plasma atau skor Daldiyono diberikan
langsung dalam 2 jam agar tercapai rehidrasi optimal secepat mungkin.
b) Satu jam berikutnya atau jam ke-3 (tahap kedua) pemberian diberikan
berdasarkan kehilangan cairan selama 2 jam pemberian cairan rehidrasi
inisial sebelumnya. Bila tidak ada syok atau skor Daldiyono kurang dari 3
dapat diganti dengan cairan peroral.
c) Jam berikutnya pemberian cairan diberikan berdasarkan kehilangan cairan
melalui feses dan Insensible Water Loss (IWL).
2. Non-farmakoterapi
17

Intervensi bedah dibutuhkan apabila ada tanda dan gejala acute


abdomen (kolitis amebik perforasi, perdarahan saluran cerna masif, toxic
megacolon). Intervensi bedah biasanya juga diindikasi bila diagnosis
belum jelas, kemungkinan adanya superinfeksi bakteri karena abses hati
amebik, tidak responsif tehadap terapi metronidazole setelah 4 hari,
empyema setelah ruptur abses hati, dan kemungkinan adanya ruptur
pericardium. Selain tindakan bedah, dapat dilakukan pula drainage
menggunakan kateter perkutaneus yang akan meningkatkan hasil terapi
empyema amebik (Dhawan, 2015).
Pemberian diet khusus tidak

terbukti

lebih

bermanfaat

dibandingkan dengan hidrasi oral pada penelitian dengan kontrol. Akan


tetapi, pemberian nutrisi yang adekuat selama episode diare amat berguna
untuk memfasilitasi perbaikan enterosit. Bila pasien anorektik,hanya
mengkonsumsi cairan dalam waktu yang tidak lama tidak akan
membahayakan. Tepung dan biji-bijian rebus (misalnya, kentang, beras,
terigu, dan gandum) dengan garam diindikasikan pada pasien dengan
watery diarrhea. Biskuit, pisang, yoghurt, sop, dan sayuran rebus boleh
juga diberikan (Tjandrawinata et al., 2009).
Dalam prakteknya, menghindari makanan selama >4 jam adalah
tidak tepat. Makanan sebaiknya mulai diberikan 4 jam sesudah
pemberianORT atau cairan intravena. Diet diberikan tanpa memperhatikan
cairan yang digunakan untuk terapi rehidrasi oral atau rumatan. Diet
diberikan dalam porsi kecil dan sering (6 kali/hari). Perlu juga diberikan
makanan tinggi protein dan mikronutrien. Peningkatan kalori disesuaikan
dengan perbaikan episode diarenya. Perlu dihindari pemberian jus buah
pekatkarena hiperosmolar dan dapat memperberat diare (Tjandrawinata et
al., 2009).
I. Komplikasi
Beberapa penyulit dapat terjadi pada disentri amoeba, baik berat
maupun ringan. Sering sumber penyakit di usus tidak menunjukkan gejala
lagiatau hanya menunjukkan gejala ringan,sehingga yang menonjol adalah

18

gejala penyulitnya. Keadaan ini sering terjadi pada penyulit ekstraintestinal.


Berdasarkan lokasi, penyulit tersebut dibagi menjadi:
1. Komplikasi intestinal
a. Perdarahan usus : apabila amoeba mengadakan invasi ke dinding
usus besar dan merusak pembuluh darah, perdarahan hebat berakibat
fatal
b. Perforasi usus

: terjadi bila abses menembus jaringan muskular

dinding usus besar, sering menyebabkan peritonitis yang mortalitasnya


tinggi, peritonitis dapat terjadi akrena pecahnya abses hati
c. Intususepsi
: terjadi di daerah sekum, butuh tindakan operasi
segera
d. Penyempitan usus : dapat terjadi karena disentri kronik, akibat
terbentuk jaringan ikat atau akibat amoeboma (massa jaringan
granulasi)
2. Komplikasi ekstraintestinal
a. Amebiasis hati
: penyulit ekstraintestinal yang paling sering terjadi,
lebih

banyak

terjaid

apda

laki-laki,

dapat

timbul

beberapa

minggu/bulan, terjadi karena ada embolisasi amoeba lewat vena porta


b. Amebiasis pleuropulmonal: dapat terjadi akibat ekspansi langsung
abses hati, dapat timbul cairan pleura, penumonia, atau abses paru
c. Abses otak, limpa, dan organ lain
d. Amebiasis kulit
: akibat invasi ampeba langsung dari dinding usus
besar dengan membentuk fistel

J. Prognosis
Prognosis ditentukan oleh berat ringannya penyakit, diagnosis dan
pengobatan dini yang tepat, serta kepekaan amoeba terhadap pengobatan yag
diberikan. Pada umumnya, prognosis Amebiasis adalah baik terutama yang
tanpa komplikasi. Pada asbes hati amoebik, kadang-kadang diperlukan pungsi
untuk mengeluarkan nanah. Demikian pula dengan Amebiasis yang disertai
penyulit efusi pleura. Prognosis yang buruk adalah abses otak amoeba
(Soewondo, 2010).
Keparahan infeksi amoeba dapat menyebabkan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas pada pasien anak-ankak terutama neonatus, wanita

19

hamil dan postpartum, pasien pengguna kortikosteroid, pasien dengan


penyakit keganasa, dan pasien malnutrisi. Perlu diingan bahwa infeksi yang
seblumnya tidak memberikan proteksi untuk infeksi invasif berikutnya
(Dhawan, 2015).
K. Pencegahan
Makanan, minuman, dan keadaan lingkungan hidup yang memenuhi
syarat

kesehatan merupakan sarana pencegahan penyakit yang sangat

penting. Air minum sebaiknya dimasak dulu, karena kista akan mati bila air
dipanaskan 500C selama 5 menit. Pemberian klor dalam jumlah yang biasa
digunakan dalam pembuatan air bersih, ternyata tidak dapat membunuh kista.
Sebelum mengonsumsi buah dan sayur sebaiknya dicuci dengan sabun atau
direndam dalam cuka selama 10-15 menit. Penting sekali adanya jamban
keluarga, isolasi, dan pengobatan terhadap karier. Karier dilarang berkerja
sebagai juru masak atau segala perkerjaan yang berhubungan dengan
makanan. Sampai saat ini belum ada vaksin khusus. Pemberiam
kemoprofilaksis bagi wisatawan yang akan mengunjungi daerah endemis
tidak disarankan. Pengobatan massal dengan metronidazol secara berkala
hanya dikerjakan dalam keadaan tertentu. Di negara nonendemis, transmisi
penyakit dapat dikurangi dengan pengobatan dini pada karier. Menghindari
aktivitas seksul yang melibatkan kontak fekal-oral juga dapat mengurangi
transmisi dari kista infektif (Soewondo, 2010; Dhawan, 2015).

20

BAB III
ILUSTRASI KASUS

A. Identitas pasien
Nama pasien
Usia
Jenis kelamin
Alamat
Agama
Pekerjaan
Status
No. RM
Tanggal masuk

: Tn. B
: 35tahun
: Laki-laki
: Jagalan, Jebres
: Islam
: Karyawan Swasta
: Menikah
: 01 26 3x xx
: 3 November 2015

B. Anamnesis
1. Keluhan utama
BAB cair, lendir, dan darah
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan BAB cair (+) lendir (+)
darah merah gelap (+) sudah sejak 2 hari yang lalu. Keluhan diawali dengan
diare cair (+), ampas (+), kurang lebih sebanyak 4 kali pada 2 hari yang lalu.
Satu hari SMRS, pasien mengeluh demam (+), diare (+), lendir (+), darah
merah gelap (+) kurang lebih lima kali. Pagi hari SMRS, pasien mengalami
BAB cair sebanyak 8 kali. BAB disertai lendir (+), darah merah gelap (+),
dan volume tiap kali BAB sekitar 100-150 cc, dengan lebih banyak cairan

21

daripada ampas. Setiap kali BAB, pasien merasa nyeri dan BAB tidak dapat
ditahan.
Pasien mengeluh perut terasa nyeri (+) dan demam (+) sejak 2 hari yang
lalu. Pasien juga mengeluh sempat lemas karena mual (+) dan muntah (+)
sebanyak 3 kali 1 hari SMRS. Pasien saat ini mengaku sudah tidak muntah,
tapi masih mengeluh mual (+). BAK pasien diakui masih normal, namun
nafsu makan pasien dirasakan sedikit menurun. Pasien minum lebih banyak
daripada biasanya. Pasien mengaku sekitar hampir seminggu yang lalu
sempat jajan sembarangan beberapa kali di dekat tempatnya bekerja dan
pasien mengaku bahwa tempat jajannya tidak bersih. Pasien mengatakan
belum pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya
3. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit serupa
: disangkal
Riwayat hipertensi
: disangkal
Riwayat DM
: disangkal
Riwayat penyakit jantung
: disangkal
Riwayat batuk lama
: disangkal
Riwayat alergi makan atau obat : disangkal
Riwayat mondok
: disangkal
4. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit serupa
Riwayat hipertensi
Riwayat DM
Riwayat penyakit jantung

: disangkal
: (+) ayah pasien
: disangkal
: (+) ayah pasien

5. Riwayat sosial ekonomi


Pasien adalah seorang karyawan swasta, tinggal bersama orangtua, istri dan
kedua anaknya. Biaya pengobatan ditanggung oleh BPJS non PBI.
6. Riwayat kebiasaan
Riwayat makan sembarangan
: (+)
Riwayat mengolah makanan sendiri
: disangkal
Riwayat minum obat-obatan
: disangkal
Riwayat makan pedas
: disangkal
Riwayat minum alkohol
: disangkal
Riwayat merokok
: (+) perokok aktif
C. Pemeriksaan fisik
1

Keadaan Umum

Compos mentis, tampak sakit sedang, gizi kesan

22

Status gizi

cukup
BB : 58 kg
TB : 160 cm
BMI : 22,65 kg/m2

Tanda Vital

Kesan : Status Gizi Normoweight


Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 88x/menit, isi dan tegangan cukup
Frekuensi Respirasi : 22 x/menit

Kulit

Suhu : 38,7 0C
Warna sawo matang, petechie (-), ikterik (-),
turgor cukup, hiperpigmentasi (-), turgor agak

Kepala

lambat (+)
Bentuk mesocephal, rambut warna hitam,uban
(-),

Mata

mudah

rontok

(-),

luka

(-),

atrofi

m.temporalis(-).
Konjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-),
perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor
dengan diameter 3 mm/3 mm, reflek cahaya (+/
+), edema palpebra (-/-), strabismus (-/-), cekung

Mulut

(+/+)
Trismus (-), sianosis (-), gusi berdarah (-),
kering (+), pucat (-), lidah tifoid (-), papil lidah

Leher

atrofi (-) stomatitis (-), luka pada sudut bibir (-)


JVP (R+2), trakea di tengah, simetris,
pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi

Thorax

cervical (-), leher kaku (-)


Bentuk normochest, simetris, retraksi intercostal
(-), atrofi m. Pectoralis (-), ginecomasti (-),
spider nevi (-) regio infra clavicula, pernafasan
torakoabdominal,

sela

iga

melebar

(-),

pembesaran KGB axilla (-/-)


Jantung :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi

Iktus kordis tidak tampak


Iktus kordis tidak kuat angkat
Batas jantung kanan atas : SIC II linea

23

parasternalis dextra
Batas jantung kanan bawah : SIC IV linea
parasternalis dekstra
Batas jantung kiri atas : SIC II linea parasternalis
sinistra
Batas jantung kiri bawah : SIC V 1 cm medial
linea medioklavicularis sinistra
Pinggang jantung : SIC II-III lateral parasternalis
sinistra
Auskultasi

Konfigurasi jantung kesan tidak melebar


HR : 88x/menit reguler. Bunyi jantung I-II
murni, intensitas normal, reguler, bising (-),
gallop (-).

Pulmo :
Depan
Inspeksi

Statis
Dinamis

Normochest, simetris, sela iga tidak melebar


Pengembangan dada kanan = kiri, sela iga tidak

Statis
Dinamis

melebar, retraksi intercostal (-)


Simetris
Pergerakan dada ka = ki, penanjakan dada ka =

Perkusi

Kiri
Kanan

ki, fremitus raba kanan = kiri


Sonor
Sonor

Auskultasi

Kanan

Suara dasar vesikuler intensitas normal, suara

Palpasi

tambahan wheezing (-), ronchi basah kasar (-)


Kiri

basal paru, ronchi basah halus (-), krepitasi (-)


Suara dasar vesikuler intensitas meningkat, suara
tambahan wheezing (-), ronchi basah kasar (-),
ronchi basah halus (-), krepitasi (-)

Belakang
Inspeksi

Palpasi

Statis

Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga

Dinamis

mendatar
Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela

Statis

iga tidak melebar, retraksi interkostal (-)


Dada kanan dan kiri simetris, sela iga tidak

24

Perkusi
Auskultasi

Dinamis

melebar, retraksi (-),


Pergerakan kanan = kiri, simetris, fremitus raba

Kanan

kanan = kiri, penanjakan dada kanan = kiri


Sonor /Sonor
Suara dasar vesikuler meningkat, wheezing(-),
ronchi basah kasar (-), ronchi basah halus (-),

Kiri

krepitasi (-)
Suara dasar

vesikuler

intensitas

normal,

wheezing(-), ronchi basah kasar (-), ronchi basah


10

Punggung

11

Abdomen
Inspeksi

halus (-), krepitasi (-)


kifosis (-), lordosis (-), skoliosis (-), nyeri ketok
kostovertebra (-),
Dinding perut sejajardinding thorak, bekas luka
operasi (-), venektasi (-), sikatrik (-), stria (-),

Auscultasi

caput medusae (-)


Peristaltik (+) meningkat, bruit hepar (-),

Perkusi

bising epigastrium (-)


Perut keras seperti papan (-), timpani, pekak sisi
(-), pekak alih (-),undulasi (-), area trobe

Palpasi

tymphani, NKCV (-/-)


Perut keras seperti papan (-), nyeri tekan (+)
perut sebelah kiri, hepar/ lien sulit dievaluasi,

12

Genitourinaria

turgor perut kembali agak lambat (+)


Ulkus (-), sekret (-), tanda-tanda radang (-), nyeri
(-)

13

Ekstremitas
Superior

Edema (-), kaku (-), sianosis (-), pucat (-), akral

dekstra

dingin (-), luka (-), deformitas (-), ikterik (-)


petechie (-), Spoon nail (-)kuku pucat (-),clubing

Superior

finger (-), hiperpigmentasi (-), palmar eritema (-)


Edema (-), kaku (-), sianosis (-), pucat (-), akral

sinistra

dingin (-), luka (-), deformitas (-), ikterik (-),


petechie (-), Spoon nail (-) kuku pucat
(-),clubing finger (-), hiperpigmentasi (-), palmar
eritema (-), CRT< 2 detik
25

Inferior

Edema(-), kaku (-), sianosis (-), pucat (-), akral

dekstra

dingin (-), luka (-), deformitas (-), ikterik (-),


petechie (-), Spoon nail (-), kuku pucat (-),
clubing finger (-), hiperpigmentasi (-), nyeri

Inferior

tekan (-), CRT< 2 detik


Edema(-), kaku (-), sianosis (-), pucat (-), akral

Sinistra

dingin (-), luka (-), deformitas (-), ikterik (-),


petechie (-), Spoon nail (-), kuku
pucat(-),clubing finger (-), hiperpigmentasi (-),
nyeri tekan (-),CRT< 2 detik

D. Diagnosis banding
Amebiasis (disentri amoeba)
Disentri basiller
Demam thypoid
Irritable Bowel Syndrome
E. Diagnosis kerja
Amebiasis (Disentri amoeba)
F. Planning
Diagnostik
Terapi

: Cek lab lengkap, pemeriksaan feses rutin dan mikroskopis


: Rawat inap, perbaikan KU

G. Terapi
1. Non farmakologis
a. Tirah baring
b. Diet makanan lunak, porsi kecil tapi sering (hingga frekuensi BAB< 5
kali/hari), diet tinggi protein dan mikronutrien (kebutuhan kalori
menyesuaikan), diet rendah serat (terutama hindari jus buah hiperosmolar)
c. Monitoring KU/VS dan keluhan pasien
2. Farmakologis
a. Infus Ringer Laktat 20 tpm
b. Metronidazole oral 750 mgtiap 8 jam selama 7 hari
c. Paracetamol oral 500 mg tiap 8 jam selama demam
d. Ranitidin injeksi 50 mg tiap 8 jam
H. Tujuan terapi
1. Melakukan tatalaksana sesuai dengan penyebab penyakit
2. Memperbaiki keadaan umum pasien
3. Mencegah peningkatan keparahan penyakit

26

4. Meningkatkan kualitas hidup pasien


5. Meminimalisasi hingga menghilangkan gejala penyakit

27

I. Resep
PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. MOEWARDI
Jl. Kolonel Sutarto No 132, Surakarta. Tlp 634634
Nama Dokter : Anisa Rahmatia, dr
Unit
: Penyakit Dalam
Tanggal
: 3 November 2015
R/ Ringer Laktat infus No. I
Infus set No. I
IV catheter No. I
Three way No. I
IV 3000 No. I
i.m.m
R/ Metronidazole mg 750
f.l.a pulv da in cap dtd No. XXI
3 dd cap I p.c
R/ Paracetamol tab mg 500 No. XV
p.r.n (1-3) dd tab 1
R/ Ranitidine inj mg 50 No. X
Cum disposable syringe 3cc No. X
i.m.m

Pro:
Nama Pasien : Tn. B
Usia
: 35 tahun
No. RM
: 01 26 3x xx

28

J. Prognosis
Ad vitam
Ad sanam
Ad fungsionam

: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam

29

BAB IV
PEMBAHASAN OBAT
A. Ringer laktat
RL merupakan cairan yang paling fisiologis yang dapat diberikan pada
kebutuhan volume dalam jumlah besar. RL banyak digunakan sebagai
replacement therapy, antara lain untuk syok hipovolemik, diare, trauma, dan luka
bakar. Laktat yang terdapat di dalam larutan RL akan dimetabolisme oleh hati
menjadi bikarbonat yang berguna untuk memperbaiki keadaan seperti asidosis
metabolik. Kalium yang terdapat di dalam RL tidak cukup untuk pemeliharaan
sehari-hari, apalagi untuk kasus defisit kalium.
Larutan RL tidak mengandung glukosa, sehingga bila akan dipakai sebagai
cairan rumatan, dapat ditambahkan glukosa yang berguna untuk mencegah
terjadinya ketosis.Kemasan larutan kristaloid RL yang beredar di pasaran
memiliki komposisi elektrolit Na+ (130 mEq/L), Cl- (109 mEq/L), Ca+ (3
mEq/L), dan laktat (28 mEq/L).Osmolaritasnya sebesar 273 mOsm/L. Sediaannya
adalah 500 ml dan 1.000 ml.
Pemberian Ringer Laktat pada kasus ini bertujuan untuk menyeimbangkan
cairan dan rehidrasi tubuh yang optimal, sehingga dapat mengganti air dan
elektrolit yang hilang akibat diare. Pada kasus amebiasis dengan muntah pasien
biasanya akankehilangan cairan tubuh yang disebabkan karena output cairan lebih
dari biasanya (Tjandrawinata, 2009)
Bila larutan RL tidak tersedia maka dapat digunakan larutan NaCL0,9%,
akan tetapi kehilangan bikarbonat dan kalium tidak terganti.Larutan dekstrosa
sebaiknya tidak digunakan karena tidak mengandungelektrolit, sehingga tidak
dapat mengganti kehilangan elektrolitdan mengkoreksi asidosis. Selain itu, larutan
dekstrosa juga kurangefektif untuk mengatasi hipovolemia (Tjandrawinata, 2009)

30

B. Metronidazole
Obat ini merupakan suatu komponen sintetis 5-nitromidazol yang bersifat sebagai
amebisid intestinal maupun ekstraintestinal
Mekanisme kerja
Kerja obat ini direfleksikan pada toksisitas selektif terhadap mikororganisme
anaerob atau mikroaerofilik dan untuk sel anoksia ataupun hipoksia. Namun, para
ahli lain menyatakn bahwa obat ini bekerja dengan memutuskan rantai heliks
DNA sehingga mengganggu fungsi DNA mikroorganisme
Aktivitas amebisid
Obat ini selain efektif terhadap E.histolytica, juga digunakan sebagai obat
alternatif pada pengobatan giardiasis dan balantidiasis. Obat ini juga merupakan
obat pilihan terhadap Trichomoniasis vaginalis. Selain itu, obat ini juga efektif
terhadap Gardnerella vaginalis dan infeksi yang disebabkan oleh bakteri anaerob.
Farmakokinetik
Obat ini diabsorbsi dengan baik di saluran cerna dan hampir komplit setelah
pemberian per oral. Obat ini sedikit sekali berikatan dengan protein palsma.
Konsentrasi puncak plasma dicapai dalam waktu 1 jam dan waktu paruhnya
berkisar 8 jam. Lebih kurang 20% obat ini diekskresikan melalui urine dalam
bentuk utuh dan metabolitnya
Kontraindikasi
Wanita hamil trimester I, gangguan sistem saraf pusat, ketergantungan
alkohol,pasien dengan gangguan fungsi hati dan ginjal
Efek samping
Efek samping yang paling sering terjadi adalah gejala mual dan diare, nyeri
epigastrik, muntah, dan kadang-kadang urin berwarna gelap. Obat ini menekan
aktivitas sumsum tulang. Gejala berat dapat berupa ataksia dan kejang epileptik
Sediaan
Tablet (250mg, 500mg), Injeksi (500mg/100ml)
Dosis
Amebiasis : Dewasa 3x 750 mg/hari selama 5-10 hari
(Rahardjo et al., 2004).
Uraian
Nama Obat

Obat Pilihan
Obat Alternatif
Metronidazole
Tinidazole
BSO
Tablet (250mg, 500mg), Tablet (250mg, 500 mg)
Injeksi (500mg/100ml)
BSO yang diberikan dan Tablet
Tablet
Pasien
dewasa,
tidak
ada
Pasien dewasa, tidak ada
alasan

31

gangguan menelan, dan


mudah diminum sendiri
Dosis referensi
750 mg 3x sehari selama
5-10 hari
Dosis dalam kasus
750 mg
Frekuensi
pemberian 3x sehari sesuai dengan
dan alasan
waktu paruhnya
Cara pemberian dan Peroral
Pasien dewasa, tidak ada
alasan
gangguan menelan, dan
mudah diminum sendiri
Saat pemberian dan Tidak ada aturan khusus,
alasannya
karena tidak dipengaruhi
makanan
Lama pemberian
7 hari

gangguan menelan, dan


mudah diminum sendiri
2 g/ hari selama 5-7 hari
2 gram
Dosis tunggal
Peroral
Pasien dewasa, tidak ada
gangguan menelan, dan
mudah diminum sendiri
Tidak ada aturan khusus,
karena tidak dipengaruhi
makanan
7 hari

C. Ranitidin
Ranitidin merupakan golongan obat antihistamin reseptor 2 (AH2). Mekanisme
kerja ranitidin adalah menghambat reseptor histamin 2 secara selektif dan
reversibel sehingga dapat menghambat sekresi cairan lambung. Ranitidin
mengurangi volume dan kadar ion hidrogen dai sel parietal akan menurun sejalan
dengan penurunan volume cairan lambung.
Farmakokinetik
Pemberian ranitidin dengan cara injeksi intramuskular menyebabkan absorpsi
yang lebih cepat dan mencapai kadar puncak plasma dalam waktu 15 menit
setelah pemberian. Bioavailabilitas ranitidin mencapai 90 - 100%, waktu paruh
plasma sekitar 2-3 jam. Ranitidin memiliki ikatan plasma yang lemah, dimana
hanya sekitar 15% yang berikatan dengan protein plasma.
Interaksi Obat
Ranitidin tidak seperti simetidin, karena ranitidin tidak terlalu mempengaruhi
sitokrom P450, ranitidin dengan kadar obat dalam darah yang sesuai dengan dosis
standar tidak mengganggu sitokrom P450 pada hati yang berhubungan dengan
gangguan pada sistem oksigenase.
Indikasi
tukak lambung dan tukak duodenum, refluks esofagitis, dispepsia episodik kronis,
tukak akibat AINS, tukak duodenum karena H.pylori, sindrom Zollinger-Ellison,
kondisi lain dimana pengurangan asam lambung akan bermanfaat.
Peringatan:
32

hindarkan pada porfiria


Kontraindikasi:
penderita yang diketahui hipersensitif terhadap ranitidin
Efek Samping:
takikardi (jarang), agitasi, gangguan penglihatan, alopesia, nefritis interstisial
(jarang sekali)
Dosis:
Oral, untuk tukak peptik ringan dan tukak duodenum 150 mg 2 kali sehari atau
300 mg pada malam hari selama 4-8 minggu, sampai 6 minggu pada dispepsia
episodik kronis, dan sampai 8 minggu pada tukak akibat AINS (pada tukak
duodenum 300 mg dapat diberikan dua kali sehari selama 4 minggu untuk
mencapai laju penyembuhan yang lebih tinggi); Untuk Gastroesophageal Reflux
Disease (GERD), 150 mg 2 kali sehari atau 300 mg sebelum tidur malam selama
sampai 8 minggu, atau bila perlu sampai 12 minggu (sedang sampai berat, 600 mg
sehari dalam 2-4 dosis terbagi selama 12 minggu); pengobatan jangka panjang
GERD, 150 mg 2 kali sehari. Sindrom Zollinger-Ellison , 150 mg 3 kali sehari;
dosis sampai 6 g sehari dalam dosis terbagi. Pengurangan asam lambung
(profilaksis aspirasi asam lambung) pada obstetrik, oral, 150 mg pada awal
melahirkan, kemudian setiap 6 jam; prosedur bedah, dengan cara injeksi
intramuskuler atau injeksi intravena lambat, 50 mg 45-60 menit sebelum induksi
anestesi (injeksi intravena diencerkan sampai 20 mL dan diberikan selama tidak
kurang dari 2 menit), atau oral: 150 mg 2 jam sebelum induksi anestesi, dan juga
bila mungkin pada petang sebelumnya. Injeksi intramuskuler: 50 mg setiap 6-8
jam. Injeksi intravena lambat: 50 mg diencerkan sampai 20 mL dan diberikan
selama

tidak

kurang

dari

menit;

dapat

diulang

setiap

6-8

jam.

(PIONAS, 2015)
Uraian
Nama Obat

Obat Pilihan
Ranitidine
BSO
Tablet (150 mg), Injeksi (25 mg/ml)
BSO yang diberikan dan Injeksi
Pada pasien tersebut diperlukan durasi atau
alasan
kadar obat ranitidine bertahan lebih lama (6-8
jam) dalam darah
Dosis referensi
50 mg
Dosis dalam kasus
50 mg

33

Frekuensi pemberian dan Tiap 12 jam


alasan
Cara pemberian dan alasan
Injeksi IV lambat; 50 mg diencerkan sampai
20 mL dan diberikan selama tidak kurang dari
2 menit.
Pada pasien tersebut diperlukan durasi atau
kadar obat ranitidine bertahan lebih lama (6-8
jam) dalam darah
Saat
pemberian
dan Tidak ada aturan khusus
alasannya
Lama pemberian
Selama masih ada keluhan mual dan muntah
D. Paracetamol
Farmakokinetik

Absorpsi : diberikan peroral, absorpsi bergantung pada kecepatan pengosongan


lambung, dan kadar puncak dalam darah biasanya tercapai dalam waktu 30-60
menit.

Distribusi : Asetaminofen sedikit terikat dengan protein plasma

Metabolisme : dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati dan diubah menjadi


asetaminofen sulfat dan glukuronida, yang secara farmakologi tidak efektif.

Ekskresi : diekskresikan ke dalam urin dalam bentuk tidak berubah.

Farmakodinamik

Paracetamol atau acetaminophen adalah obat yang mempunyai efek


mengurangi

nyeri

(analgesik)

dan

menurunkan

demam

(antipiretik).

Parasetamol mengurangi nyeri dengan cara menghambat impuls/rangsang nyeri


di perifer. Parasetamol menurunkan demam dengan cara menghambat pusat
pengatur panas tubuh di hipotalamus.

Parasetamol merupakan penghambat COX-1 dan COX-2 yang lemah di


jaringan perifer dan hampir tidak memiliki efek anti-inflamasi/anti-radang.
Hambatan biosintesis Prostaglandin (PG) hanya terjadi bila lingkungan yang
rendah kadar peroksid seperti di hipotalamus sedangkan lokasi inflamasi
biasanya mengandung banyak peroksid yang dihasilkan leukosit, hal ini lah
yang menjelaskan efek antiinflamasi parasetamol tidak ada. Studi terbaru

34

menduga parasetamol juga menghambat COX-3 di Susunan Saraf Pusat yang


menjelaskan cara kerjanya sebagai anti piretik.
Indikasi:
nyeri ringan sampai sedang, nyeri sesudah operasi cabut gigi, pireksia
Peringatan:
gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal, ketergantungan alkohol
Interaksi:
lihat lampiran 1, peningkatan risiko kerusakan fungsi hati pada pengunaan
bersama alkohol
Kontraindikasi:
gangguan fungsi hati berat, hipersensitivitas.
Efek Samping:
jarang terjadi efek samping, tetapi dilaporkan terjadi reaksi hipersensitivitas, ruam
kulit, kelainan darah (termasuk trombositopenia, leukopenia, neutropenia),
hipotensi juga dilaporkan pada infus, PENTING: Penggunaan jangka panjang dan
dosis berlebihan atau overdosis dapat menyebabkan kerusakan hati, lihat
pengobatan pada keadaan darurat karena keracunan.
Dosis:
Oral 0,51 gram setiap 46 jam hingga maksimum 4 gram per hari., anakanak
umur 2 bulan 60 mg untuk pasca imunisasi pireksia, sebaliknya di bawah umur 3
bulan (hanyadengan saran dokter) 10 mg/kg bb (5 mg/kg bb jika jaundice), 3
bulan1 tahun 60 mg120 mg, 1-5 tahun 120250 mg, 612 tahun 250 500 mg,
dosis ini dapat diulangi setiap 46 jam jika diperlukan (maksimum 4 kali
dosisdalam 24 jam), infus intravena lebih dari 15 menit, dewasa dan anakanak
dengan berat badan lebih dari 50 kg, 1 gram setiap 46 jam, maksimum 4 gram
per hari, dewasa dan anakanak dengan berat badan 10 -50 kg, 15 mg/kg bb setiap
46 jam, maksimum 60 mg/kg bb per hari.
(PIONAS, 2015).

35

Uraian
Nama Obat

Obat Pilihan
Obat Alternatif
Asetaminofen
Asam Asetilsalisilat
Generik : Parasetamol
Generik : Asetosal
BSO : tablet 325 mg, 500 BSO : tablet 250 mg dan
mg, 650 mg
500 mg

BSO

BSO yang diberikan dan


alasan

Dosis referensi

Dosis dalam kasus


Frekuensi
pemberian
dan alasan
Cara pemberian dan
alasan

Saat pemberian
alasannya
Lama pemberian

dan

Paten : Pamol
BSO : tablet 500 mg,
sirup 120 mg/5 ml
Tablet
Pasien dewasa, tidak ada
gangguan menelan, dan
mudah diminum sendiri
500-1000 mg per kali,
setiap
4-6
jam,
maksimum 4 g/hari
500 mg
3x sehari sesuai dengan
waktu paruhnya
Peroral
Pasien dewasa, tidak ada
gangguan menelan, dan
mudah diminum sendiri
Tidak ada aturan khusus,
karena tidak dipengaruhi
makanan
Selama demam

Paten : Aspirin
BSO : tablet 100 mg dan
500 mg
Tablet
Pasien dewasa, tidak ada
gangguan menelan, dan
mudah diminum sendiri
300-1000 mg per kali,
maksimum 6 g/hari,
maksimal 6 kali/hari
500 mg
3x sehari sesuai dengan
waktu paruhnya
Peroral
Pasien dewasa, tidak ada
gangguan menelan, dan
mudah diminum sendiri
Sesudah makan, agar
tidak
mengiritasi
lambung
Selama demam

36

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Amebiasis adalah penyakit infeksi parasit yang seringkali asimptomatik, tetapi
membutuhkan tata laksana yang segera dan tepat, yang disesuaikan dengan tingkat
keparahan infeksi. Tata laksana tersebut mencakup farmakoterapi (simptomatis
dan kausatif) dan non-farmakoterapi (seperti program diet, bed rest, maupun
pembedahan). Prognosis sangat ditentukan oleh rangkaian tata laksana
B. Saran
Sebagai seroang tenaga medis, sebaiknya tidak hanya memberikan tatalaksana
dari aspek kuratif saja untuk kasus Amebiasis ini karena sebenarnya kasus ini bisa
dicegah dengan menjaga higienitas makanan, minuman, dan lingkungan tempat
tinggal.

37

DAFTAR PUSTAKA
Acuna-Soto R, Maguire JH, Wirth DF. Gender distribution in asymptomatic and
invasive amebiasis. Am J Gastroenterol. 2000 May. 95(5):1277-83
Andayasari L (2011). Kajian epidemiiologi penyakit infeksi saluran pencernaan
yang disebabkan oleh amuba di Indonesia. MEDIA penelitian dan
pengembangan kesehatan, 21: 1-8.
CDC (2013). Amebiasis. http://www.cdc.gov/dpdx/amebiasis/
Dhawan VK (2015). Amebiasis. http://emedicine.medscape.com/article/212029overview - Diakses Oktober 2015
Jawetz M, Adelbergs. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi kedua. Alih Bahasa:
Huriwati Hartanto, et al. Jakarta : EGC. 2008.
Navianti S, Sinuhaji AB. Resisten Trimetropim-Sulfametoksazol terhadap
Shigellosis. Sari Pediatri. 2005; 7 (1): 39-44.
Pusat Informasi Obat Nasional (2015). http://pionas.pom.go.id/- Diakses Oktober
2015
Rahardjo R et al (2004). Kumpulan kuliah farmakologi.Ed.2. Jakarta: EGC
Redaelli M, Mahmoohdzad J, Lang R, Schencking M (2013). Globalised world,
globalised diseases: A case report on an amoebiasis-associated colon
perforation. World J Clin Cases, 16; 1(2): 7981.
Reed SL (2012). Amebiasis. Dalam: Isselbacher KJ, Wilson JD, Fauci AS, Kasper
D (2012). Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam Harrisons. Singapura: McGraw Hill
Rosdiana Safar (2009). Parasitologi Kedokteran. Jakarta:Yrama Widya
Soewondo ES (2010). Amebiasis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Setiati S (2010). Buku Ajar Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi 4. Jakarta:
InternaPublishing
Stanley SL Jr. Amebiasis. Lancet. 2003 Mar 22. 361(9362):1025-34.
Stauffer W, Abd-Alla M, Ravdin JI. Prevalence and incidence of Entamoeba
histolytica infection in South Africa and Egypt. Arch Med Res. 2006 Feb.
37(2):266-9

38

Syaroni A. Disentri Basiler dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid III. Edisi
kelima. Jakarta : FKUI. 2009. 2857-2860p.
Tanyuksell M, Petri WA (2003). Laboratory Diagnosis of Amebiasis. Clin
Microbiol Rev,16(4): 713729
Tjokroprawiro, Askandar. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: Airlangga
University Press. 2007.
Van Hal SJ, Stark DJ, Fotedar R, Marriott D, Ellis JT, Harkness JL. Amebiasis:
current status in Australia. Med J Aust. 2007 Apr 16. 186(8):412-6
Valenzuela O, Morn P, Gmez A, Cordova K, Corrales N, Cardoza J, et al.
Epidemiology of amoebic liver abscess in Mexico: the case of Sonora. Ann
Trop Med Parasitol. 2007 Sep. 101(6):533-8
Ximnez C, Morn P, Rojas L, Valadez A, Gmez A. Reassessment of the
epidemiology of amebiasis: state of the art. Infect Genet Evol. 2009 Dec.
9(6):1023-32

39

Anda mungkin juga menyukai