PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Penyakit infeksi tropis merupakan salah satu masalah kesehatan yang
penting di negara tropis maupun subtropis, terutama negara-negara dengan
higiene dan sanitasi yang kurang baik. Penyakit infeksi tropis adalah penyakit
menular yang mempunyai angka prevalensi dan mortalitas yang tinggi, serta
menjadi beban kesehatan yang tidak kunjung selesai (WHO, 2015).
Salah satu penyakit infeksi yang menyerang sebagian besar penduduk
Indonesia adalah diare. Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat karena morbiditas dan mortalitas-nya yang masih tinggi. Hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas ) tahun 2007 menunjukkan prevalensi nasional
adalah 9%.Berdasarkan pola penyebab kematian semua umur, diare merupakan
penyebab kematian peringkat ke-13 dengan proporsi 3,5%. Sedangkan
berdasarkan penyakit menular, diare merupakan penyebab kematian peringkat ke3 setelah TB dan pneumonia. Diare terjadi akibat infeksi pada saluran pencernaan
yang dapat disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, dan parasit (Depkes, 2011).
WHO membagi diare menjadi tiga kelompok yaitu diare cair akut, diare
berdarah (disentri) dan diare persisten. Disentri berasal dari bahasa Yunani, yaitu
dys (gangguan) dan enteron (usus) yang berarti radang usus yang ditandai dengan
sakit perut dan buang air besar yang encer secara terus menerus (diare) yang dapat
bercampur lendir maupun darah. Diare berdarah dapat disebbakan disentri basiler
(Shigella) dan amuba, enterokolitis (misalnya cows milk allergy), trichuriasis,
EIEC, dan virus. Penyebab yang paling sering mengakibatkan tingginya angka
kesakitan dan kematian adalah disentri basiler (Tjokroprawiro dan Askandar,
2007; Navianti dan Sinuhaji, 2005).
Disentri merupakan tipe diare
yang
berbahaya
dan
seringkali
menyebabkan kematian dibandingkan dengan tipe diare akut yang lain. Penyakit
ini dapat disebabkan oleh bakteri (disentri basiler) dan amoeba (disentri amoeba).
Penyakit ini tersebar hampir di seluruh dunia terutama di negara berkembang
yang berada di daerah tropis. Hal ini disebabkan karena faktor kepadatan
penduduk, higiene individu yang buruk, sanitasi lingkungan hidup yang kurang
baik, serta kondisi sosial kultural yang kurang menunjang. Amebiasis menjadi
penyakit yang mendapat perhatian dari WHO karena merupakan satu dari tiga
penyebab kematian tersering infeksi parasit. Pada tahun 2010, WHO mencatat
bahwa terdapat 50 juta kasus Amebiasis, dimana 100.000-nya meninggal
(Redaelli et al., 2011). Sedangkan untuk Indonesia sendiri, insidensi Amebiasis
bisa dikatakan cukup tinggi dengan angka 10-18%. Mortatlitas Amebiasis juga
cukup tinggi di Indonesia yaitu 1,9 9,1%, peringkat kedua setelah malaria
(Andayasari, 2011).
Berdasarkan data ini, penulis tertarik untuk membahas penatalaksanaan
Amebiasis, terutama dari segi farmakoterapi. Diharapkan dengan tata laksana
yang baik, angka insidensi dan mortalitas Amebiasis menurun.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau
setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya
lebih dari 200 g atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi,
yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer
tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah.
Diare akut adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan berlangsung
kurang dari 14 hari, sedang diare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih dari
14 hari. Diare dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Dari penyebab diare
yang terbanyak adalah diare infeksi. Diare infeksi dapat disebabkan Virus,
Bakteri, dan Parasit.
Diare akut dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain : infeksi (bakteri,
virus, parasit), keracunan makanan, efek obat dan lain-lain. Menurut World
Gastroenterology Organization, etiologi diare akut dibagi atas empat penyebab :
bakteri, virus, parasit dan non infeksi. Etiologi diare ini dapat masuk ke dalam
tubuh melalui 2 jalur yaitu enteral dan parenteral.
1. Enteral
Bakteri : Shigella sp, E.coli patogen, Salmonella sp, Vibrio cholera,
Yersinia enterocolytica, Campylobacter jejuni, Staphilococcus aureus,
(CMV), echovirus.
Parasit : -protozoa : Entamoeba hystolitica, Giardia lamblia,
Balantidium coli.
Worm : Ascaris lumbricoides, cacing tambang, Trichuris trichuria
Fungus : kandida/moniliasis
2. Parenteral :
Intoksikasi makanan : makanan beracun atau mengandung logam
berat, makanan yang mengandung bakteri/toksin : Clostridium
A. Definisi
Disentri berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (gangguan) dan enteron
(usus) yang berarti radang usus. Disentri basiler / shigellosis merupakan suatu
infeksi akut yang mengakibatkan radang pada kolon, yang disebabkan kuman
genus Shigella, yang ditandai gejala diare, adanya lendir dan darah dalam
tinja, nyeri perut serta tenesmus (Tjokroprawiro dan Askandar, 2007).
B. Epidemiologi
Berdasarkan statistik internasional, sekitar 50 juta kasus Amebiasis
terjadi setiap tahunnya, dengan 100.000 orang meninggal (Redaelli et al.,
2011). Hal ini menunjukkan fenomena gunung es karena hanya 10-20% yang
menunjukkan gejala klinis (Valenzuela et al., 2007; van Hal et al., 2007;
Ximenez et al., 2009). Insidensi Amebiasis tertinggi terdapat di negara-negara
berkembang (Stauffer et al., 2006).
Amebiasis usus yang simptomatik terjadi pada seluruh kelompok
umur. Sedangkan untuk abses hati sendiri 10 kali lebih sering terjadi pada
dewasa dibandingkan dengan anak-anak. Anak kecil kemungkinan juga
memiliki faktor predisposisi terjadinya kolitis fulminan (Dhawan, 2015).
Kolitis amebik menyerang secara sama, baik laki-laki maupun
perempuan (Stanley, 2003). Namun, Amebiasis invasif lebih sering terjadi
pada laki-laki dewasa dibandingkan wanita (7-12 kali), pada kisaran umur 1850 tahun. Untuk Amebiasis asimptomatik juga terjadi secara sama, baik lakilaki maupun perempuan (Acuna-Soto at al., 2000).
Sedangkan untuk Indonesia sendiri, insidensi Amebiasis
bisa
berbulan-bulan
sampai
bertahun-tahun.
Pasien
biasanya
lain
dapat
berupa
ameboma,
amebiasis
11
intrasitoplasmik
Pada sediaan tinja berbentuk : gambaran kista bentuk bulat seperti
mutiara, di dalamnya terdapat badan kromatid bentuk batang dan
ujung tumpul, sedangkan intinya tidak tampak (hanya dapat dilihat
12
Spesimen biopsi harus diambil dari tepi ulkus dan didapatkan adanya
tropozoit yang bergerak aktif. Gambaran histopatologi menunjukan
adanya penebalan mukosa yang nonspesifik, penyebaran ulkus multipel di
antara regio normal, mukosa dengan inflamasi difus, nekrosis. Invasi
mukosa ke dalam mukosa dan submukosa merupakan tanda penting
kolitis amebik (Dhawan, 2015).
e. Pemeriksaan serologi
Pemeriksaan serologi amat mebantu untuk pemeriksaan amebiasis invasif.
Pemeriksaan serologi bisa dilakukan dengan deteksi antigen maupun
deteksi antibodi (menggunakan metode ELISA). Deteksi antigen akan
mendeteksi adanya antigen E.histolyica di sampel feses, sedangakn serum
antibodi akan ditemukan pada individu amebiasis intestinal simptomatik
(70-90%) dan abses hati (99%). Selain dengan ELISA, terdapat metode
IFA (Immunofluorescent Assay), dimana pada pasien dengan abses hati
didaptkan sensitifotas ebesar 93,6% dan spesifisitas 96,7%. IHA (Indirect
Hemagglutination Assay) juga dapat dilakukan untuk deteksi antibodi
spesifik E.histolytica,, namun kurang sensitif jika dibandingkan dengan
ELISA. IHA tidak dapat membedakan infeksi akut maupu infeksi
berulang, serta titernya dapat tetap positif sampai selama 10 tahun
(Dhawan, 2015).
2. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi dengan kontras barium sangat berbahaya bila
dilakukan pada kolitis amebik akut. Pemeriksaan USG, CT-scan, dan MRI
berguna untuk mendeteksi adanya kista hipoekoik yang bundar atau oval
pada abses hati (Reed, 2012).
G. Diagnosis
Diagnosis pasti baru dapat ditegakkan bila sudah ditemukan amoeba
(tropozoit) dalam pemeriksaan tinja. Namun dengan diketemukannya
amoeba, tidak berarti menyingkirkan kemungkinan diagnosis penyakit lain,
karena amebiasis dapat disertai dengan penyakit lain.
Diagnosis banding amebiasis intestinal adalah divertikulitis, IBS
(Irritable
Bowel
Syndrome),
hepatitis,
cholecystitis,
Salmonellosis,
Shigellosis, dan hemorrhoid interna. Sedangkan untuk abses hati amebik sulit
13
Karier (asimptomatik)
Iodoquinol (tab 650mg)
Dosis: 650mg 3 kali sehari selama 20 hari
Paromomycin (tab 250mg)
Dosis: 500mg 3 kali sehari selama 10 hari
Kolitis akut
Metronidazole (tab 250 atau 500 Dosis: 750mg per oral atau IV 3 kali sehari
mg)
14
ditambah
emetin
(1mg/kgbb/hari)
atau
dehidroemetin
(11,5
pada amoeba. Dosis yang dianjurkan adalah 25 mg/kg bb/hari selama 5 hari,
diberikan secara terbagi.
Metronidazol (Nitraomidazol)
Metronidazol merupakan obat pilihan, karena efektif terhadap bentuk
histolytica dan bentuk kista. Efek samping ringan, antara lain, mual, muntah
dan pusing. Dosis untuk orang dewasa adalah 2 gram sehari selama 3 hari
berturut-turut dan diberikan secara terbagi.
Penggantian Cairan dan elektrolit
Aspek paling penting dari terapi diare adalah untuk menjaga hidrasi
yang adekuat dan keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini dilakukan
dengan rehidrasi oral, dimana harus dilakukan pada semua pasien kecuali
yang tidak dapat minum atau yang terkena diare hebat yang memerlukan
hidrasi intavena yang membahayakan jiwa.
Idealnya, cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 g Natrium klorida,
dan 2,5 g Natrium bikarbonat, 1,5 g kalium klorida, dan 20 g glukosa per liter
air.Cairan seperti itu tersedia secara komersial dalam paket-paket yang mudah
disiapkan dengan mencampurkan dengan air. Jika sediaan secara komersial
tidak ada, cairan rehidrasi oral pengganti dapat dibuat dengan menambahkan
sendok teh garam, sendok teh baking soda, dan 2 4 sendok makan gula
per liter air. Dua pisang atau 1 cangkir jus jeruk diberikan untuk mengganti
kalium. Pasien harus minum cairan tersebut sebanyak mungkin sejak mereka
merasa haus pertama kalinya.Jika terapi intra vena diperlukan, cairan
normotonik seperti cairan saline normal atau Ringer Laktat harus diberikan
dengan suplementasi kalium sebagaimana panduan kimia darah. Status
hidrasi harus dimonitor dengan baik dengan memperhatikan tanda-tanda vital,
pernapasan, dan urin, dan penyesuaian infus jika diperlukan. Pemberian harus
diubah ke cairan rehidrasi oral sesegera mungkin.
Menurut keadaan klinisnya dehidrasi dapat dibagi 3, yaitu :
1. Dehidrasi ringan (hilangnya cairan 2 5% dari BB) gambaran klinisnya
turgor kulit kurang, suara serak (vox cholerica), pasien belum jatuh dalam
presyok.
2. Dehidrasi sedang (hilangnya cairan 5 8% dari BB) gambaran klinisnya
turgor kulit buruk, suara serak (vox cholerica), pasien jatuh dalam presyok
atau syok, nadi cepat, nafas cepat dan dalam.
16
3. Dehidrasi berat (hilangnya cairan 8 10% dari BB) tanda klinis dehidrasi
sedang ditambah kesadaran yang menurun (apatis sampai koma), otot
kaku, sianosis.
Metode Daldiyono berdasarkan keadaan klinis yang diberi penilaian/skor :
Klinis
Rasa haus/muntah
Tekanan darah sistolik 60 90 mmHg
Tekanan darah sistolik <60 mmHg
Frekuensi nadi >120 kali/menit
Kesadaran apatis
Kesadaran somnolen, sopor atau koma
Frekuensi nafas >30 kali/menit
Facies cholerica
Vox cholerica (suara serak)
Turgor kulit menurun
Washer womans hand
Ekstremitas dingin
Sianosis
Umur 50 60 tahun
Umur >60 tahun
Kebutuhan cairan =
Skor
1
1
2
1
1
2
1
2
2
1
1
1
2
1
2
Skor
15 x 10% x KgBB x 1 L
Bila skor <3 dan tidak ada syok, maka hanya diberikan cairan peroral
sebanyak mungkin sedikit demi sedikit. Bila skor 3 disertai syok diberikan
cairan per intravena.
Pemberian cairan rehidrasi terdiri atas :
a) Dua jam pertama (tahap rehidrasi initial) merupakan jumlah total
kebutuhan cairan menurut rumus BJ plasma atau skor Daldiyono diberikan
langsung dalam 2 jam agar tercapai rehidrasi optimal secepat mungkin.
b) Satu jam berikutnya atau jam ke-3 (tahap kedua) pemberian diberikan
berdasarkan kehilangan cairan selama 2 jam pemberian cairan rehidrasi
inisial sebelumnya. Bila tidak ada syok atau skor Daldiyono kurang dari 3
dapat diganti dengan cairan peroral.
c) Jam berikutnya pemberian cairan diberikan berdasarkan kehilangan cairan
melalui feses dan Insensible Water Loss (IWL).
2. Non-farmakoterapi
17
terbukti
lebih
bermanfaat
18
banyak
terjaid
apda
laki-laki,
dapat
timbul
beberapa
J. Prognosis
Prognosis ditentukan oleh berat ringannya penyakit, diagnosis dan
pengobatan dini yang tepat, serta kepekaan amoeba terhadap pengobatan yag
diberikan. Pada umumnya, prognosis Amebiasis adalah baik terutama yang
tanpa komplikasi. Pada asbes hati amoebik, kadang-kadang diperlukan pungsi
untuk mengeluarkan nanah. Demikian pula dengan Amebiasis yang disertai
penyulit efusi pleura. Prognosis yang buruk adalah abses otak amoeba
(Soewondo, 2010).
Keparahan infeksi amoeba dapat menyebabkan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas pada pasien anak-ankak terutama neonatus, wanita
19
penting. Air minum sebaiknya dimasak dulu, karena kista akan mati bila air
dipanaskan 500C selama 5 menit. Pemberian klor dalam jumlah yang biasa
digunakan dalam pembuatan air bersih, ternyata tidak dapat membunuh kista.
Sebelum mengonsumsi buah dan sayur sebaiknya dicuci dengan sabun atau
direndam dalam cuka selama 10-15 menit. Penting sekali adanya jamban
keluarga, isolasi, dan pengobatan terhadap karier. Karier dilarang berkerja
sebagai juru masak atau segala perkerjaan yang berhubungan dengan
makanan. Sampai saat ini belum ada vaksin khusus. Pemberiam
kemoprofilaksis bagi wisatawan yang akan mengunjungi daerah endemis
tidak disarankan. Pengobatan massal dengan metronidazol secara berkala
hanya dikerjakan dalam keadaan tertentu. Di negara nonendemis, transmisi
penyakit dapat dikurangi dengan pengobatan dini pada karier. Menghindari
aktivitas seksul yang melibatkan kontak fekal-oral juga dapat mengurangi
transmisi dari kista infektif (Soewondo, 2010; Dhawan, 2015).
20
BAB III
ILUSTRASI KASUS
A. Identitas pasien
Nama pasien
Usia
Jenis kelamin
Alamat
Agama
Pekerjaan
Status
No. RM
Tanggal masuk
: Tn. B
: 35tahun
: Laki-laki
: Jagalan, Jebres
: Islam
: Karyawan Swasta
: Menikah
: 01 26 3x xx
: 3 November 2015
B. Anamnesis
1. Keluhan utama
BAB cair, lendir, dan darah
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan BAB cair (+) lendir (+)
darah merah gelap (+) sudah sejak 2 hari yang lalu. Keluhan diawali dengan
diare cair (+), ampas (+), kurang lebih sebanyak 4 kali pada 2 hari yang lalu.
Satu hari SMRS, pasien mengeluh demam (+), diare (+), lendir (+), darah
merah gelap (+) kurang lebih lima kali. Pagi hari SMRS, pasien mengalami
BAB cair sebanyak 8 kali. BAB disertai lendir (+), darah merah gelap (+),
dan volume tiap kali BAB sekitar 100-150 cc, dengan lebih banyak cairan
21
daripada ampas. Setiap kali BAB, pasien merasa nyeri dan BAB tidak dapat
ditahan.
Pasien mengeluh perut terasa nyeri (+) dan demam (+) sejak 2 hari yang
lalu. Pasien juga mengeluh sempat lemas karena mual (+) dan muntah (+)
sebanyak 3 kali 1 hari SMRS. Pasien saat ini mengaku sudah tidak muntah,
tapi masih mengeluh mual (+). BAK pasien diakui masih normal, namun
nafsu makan pasien dirasakan sedikit menurun. Pasien minum lebih banyak
daripada biasanya. Pasien mengaku sekitar hampir seminggu yang lalu
sempat jajan sembarangan beberapa kali di dekat tempatnya bekerja dan
pasien mengaku bahwa tempat jajannya tidak bersih. Pasien mengatakan
belum pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya
3. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit serupa
: disangkal
Riwayat hipertensi
: disangkal
Riwayat DM
: disangkal
Riwayat penyakit jantung
: disangkal
Riwayat batuk lama
: disangkal
Riwayat alergi makan atau obat : disangkal
Riwayat mondok
: disangkal
4. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit serupa
Riwayat hipertensi
Riwayat DM
Riwayat penyakit jantung
: disangkal
: (+) ayah pasien
: disangkal
: (+) ayah pasien
Keadaan Umum
22
Status gizi
cukup
BB : 58 kg
TB : 160 cm
BMI : 22,65 kg/m2
Tanda Vital
Kulit
Suhu : 38,7 0C
Warna sawo matang, petechie (-), ikterik (-),
turgor cukup, hiperpigmentasi (-), turgor agak
Kepala
lambat (+)
Bentuk mesocephal, rambut warna hitam,uban
(-),
Mata
mudah
rontok
(-),
luka
(-),
atrofi
m.temporalis(-).
Konjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-),
perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor
dengan diameter 3 mm/3 mm, reflek cahaya (+/
+), edema palpebra (-/-), strabismus (-/-), cekung
Mulut
(+/+)
Trismus (-), sianosis (-), gusi berdarah (-),
kering (+), pucat (-), lidah tifoid (-), papil lidah
Leher
Thorax
sela
iga
melebar
(-),
23
parasternalis dextra
Batas jantung kanan bawah : SIC IV linea
parasternalis dekstra
Batas jantung kiri atas : SIC II linea parasternalis
sinistra
Batas jantung kiri bawah : SIC V 1 cm medial
linea medioklavicularis sinistra
Pinggang jantung : SIC II-III lateral parasternalis
sinistra
Auskultasi
Pulmo :
Depan
Inspeksi
Statis
Dinamis
Statis
Dinamis
Perkusi
Kiri
Kanan
Auskultasi
Kanan
Palpasi
Belakang
Inspeksi
Palpasi
Statis
Dinamis
mendatar
Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela
Statis
24
Perkusi
Auskultasi
Dinamis
Kanan
Kiri
krepitasi (-)
Suara dasar
vesikuler
intensitas
normal,
Punggung
11
Abdomen
Inspeksi
Auscultasi
Perkusi
Palpasi
12
Genitourinaria
13
Ekstremitas
Superior
dekstra
Superior
sinistra
Inferior
dekstra
Inferior
Sinistra
D. Diagnosis banding
Amebiasis (disentri amoeba)
Disentri basiller
Demam thypoid
Irritable Bowel Syndrome
E. Diagnosis kerja
Amebiasis (Disentri amoeba)
F. Planning
Diagnostik
Terapi
G. Terapi
1. Non farmakologis
a. Tirah baring
b. Diet makanan lunak, porsi kecil tapi sering (hingga frekuensi BAB< 5
kali/hari), diet tinggi protein dan mikronutrien (kebutuhan kalori
menyesuaikan), diet rendah serat (terutama hindari jus buah hiperosmolar)
c. Monitoring KU/VS dan keluhan pasien
2. Farmakologis
a. Infus Ringer Laktat 20 tpm
b. Metronidazole oral 750 mgtiap 8 jam selama 7 hari
c. Paracetamol oral 500 mg tiap 8 jam selama demam
d. Ranitidin injeksi 50 mg tiap 8 jam
H. Tujuan terapi
1. Melakukan tatalaksana sesuai dengan penyebab penyakit
2. Memperbaiki keadaan umum pasien
3. Mencegah peningkatan keparahan penyakit
26
27
I. Resep
PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. MOEWARDI
Jl. Kolonel Sutarto No 132, Surakarta. Tlp 634634
Nama Dokter : Anisa Rahmatia, dr
Unit
: Penyakit Dalam
Tanggal
: 3 November 2015
R/ Ringer Laktat infus No. I
Infus set No. I
IV catheter No. I
Three way No. I
IV 3000 No. I
i.m.m
R/ Metronidazole mg 750
f.l.a pulv da in cap dtd No. XXI
3 dd cap I p.c
R/ Paracetamol tab mg 500 No. XV
p.r.n (1-3) dd tab 1
R/ Ranitidine inj mg 50 No. X
Cum disposable syringe 3cc No. X
i.m.m
Pro:
Nama Pasien : Tn. B
Usia
: 35 tahun
No. RM
: 01 26 3x xx
28
J. Prognosis
Ad vitam
Ad sanam
Ad fungsionam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
29
BAB IV
PEMBAHASAN OBAT
A. Ringer laktat
RL merupakan cairan yang paling fisiologis yang dapat diberikan pada
kebutuhan volume dalam jumlah besar. RL banyak digunakan sebagai
replacement therapy, antara lain untuk syok hipovolemik, diare, trauma, dan luka
bakar. Laktat yang terdapat di dalam larutan RL akan dimetabolisme oleh hati
menjadi bikarbonat yang berguna untuk memperbaiki keadaan seperti asidosis
metabolik. Kalium yang terdapat di dalam RL tidak cukup untuk pemeliharaan
sehari-hari, apalagi untuk kasus defisit kalium.
Larutan RL tidak mengandung glukosa, sehingga bila akan dipakai sebagai
cairan rumatan, dapat ditambahkan glukosa yang berguna untuk mencegah
terjadinya ketosis.Kemasan larutan kristaloid RL yang beredar di pasaran
memiliki komposisi elektrolit Na+ (130 mEq/L), Cl- (109 mEq/L), Ca+ (3
mEq/L), dan laktat (28 mEq/L).Osmolaritasnya sebesar 273 mOsm/L. Sediaannya
adalah 500 ml dan 1.000 ml.
Pemberian Ringer Laktat pada kasus ini bertujuan untuk menyeimbangkan
cairan dan rehidrasi tubuh yang optimal, sehingga dapat mengganti air dan
elektrolit yang hilang akibat diare. Pada kasus amebiasis dengan muntah pasien
biasanya akankehilangan cairan tubuh yang disebabkan karena output cairan lebih
dari biasanya (Tjandrawinata, 2009)
Bila larutan RL tidak tersedia maka dapat digunakan larutan NaCL0,9%,
akan tetapi kehilangan bikarbonat dan kalium tidak terganti.Larutan dekstrosa
sebaiknya tidak digunakan karena tidak mengandungelektrolit, sehingga tidak
dapat mengganti kehilangan elektrolitdan mengkoreksi asidosis. Selain itu, larutan
dekstrosa juga kurangefektif untuk mengatasi hipovolemia (Tjandrawinata, 2009)
30
B. Metronidazole
Obat ini merupakan suatu komponen sintetis 5-nitromidazol yang bersifat sebagai
amebisid intestinal maupun ekstraintestinal
Mekanisme kerja
Kerja obat ini direfleksikan pada toksisitas selektif terhadap mikororganisme
anaerob atau mikroaerofilik dan untuk sel anoksia ataupun hipoksia. Namun, para
ahli lain menyatakn bahwa obat ini bekerja dengan memutuskan rantai heliks
DNA sehingga mengganggu fungsi DNA mikroorganisme
Aktivitas amebisid
Obat ini selain efektif terhadap E.histolytica, juga digunakan sebagai obat
alternatif pada pengobatan giardiasis dan balantidiasis. Obat ini juga merupakan
obat pilihan terhadap Trichomoniasis vaginalis. Selain itu, obat ini juga efektif
terhadap Gardnerella vaginalis dan infeksi yang disebabkan oleh bakteri anaerob.
Farmakokinetik
Obat ini diabsorbsi dengan baik di saluran cerna dan hampir komplit setelah
pemberian per oral. Obat ini sedikit sekali berikatan dengan protein palsma.
Konsentrasi puncak plasma dicapai dalam waktu 1 jam dan waktu paruhnya
berkisar 8 jam. Lebih kurang 20% obat ini diekskresikan melalui urine dalam
bentuk utuh dan metabolitnya
Kontraindikasi
Wanita hamil trimester I, gangguan sistem saraf pusat, ketergantungan
alkohol,pasien dengan gangguan fungsi hati dan ginjal
Efek samping
Efek samping yang paling sering terjadi adalah gejala mual dan diare, nyeri
epigastrik, muntah, dan kadang-kadang urin berwarna gelap. Obat ini menekan
aktivitas sumsum tulang. Gejala berat dapat berupa ataksia dan kejang epileptik
Sediaan
Tablet (250mg, 500mg), Injeksi (500mg/100ml)
Dosis
Amebiasis : Dewasa 3x 750 mg/hari selama 5-10 hari
(Rahardjo et al., 2004).
Uraian
Nama Obat
Obat Pilihan
Obat Alternatif
Metronidazole
Tinidazole
BSO
Tablet (250mg, 500mg), Tablet (250mg, 500 mg)
Injeksi (500mg/100ml)
BSO yang diberikan dan Tablet
Tablet
Pasien
dewasa,
tidak
ada
Pasien dewasa, tidak ada
alasan
31
C. Ranitidin
Ranitidin merupakan golongan obat antihistamin reseptor 2 (AH2). Mekanisme
kerja ranitidin adalah menghambat reseptor histamin 2 secara selektif dan
reversibel sehingga dapat menghambat sekresi cairan lambung. Ranitidin
mengurangi volume dan kadar ion hidrogen dai sel parietal akan menurun sejalan
dengan penurunan volume cairan lambung.
Farmakokinetik
Pemberian ranitidin dengan cara injeksi intramuskular menyebabkan absorpsi
yang lebih cepat dan mencapai kadar puncak plasma dalam waktu 15 menit
setelah pemberian. Bioavailabilitas ranitidin mencapai 90 - 100%, waktu paruh
plasma sekitar 2-3 jam. Ranitidin memiliki ikatan plasma yang lemah, dimana
hanya sekitar 15% yang berikatan dengan protein plasma.
Interaksi Obat
Ranitidin tidak seperti simetidin, karena ranitidin tidak terlalu mempengaruhi
sitokrom P450, ranitidin dengan kadar obat dalam darah yang sesuai dengan dosis
standar tidak mengganggu sitokrom P450 pada hati yang berhubungan dengan
gangguan pada sistem oksigenase.
Indikasi
tukak lambung dan tukak duodenum, refluks esofagitis, dispepsia episodik kronis,
tukak akibat AINS, tukak duodenum karena H.pylori, sindrom Zollinger-Ellison,
kondisi lain dimana pengurangan asam lambung akan bermanfaat.
Peringatan:
32
tidak
kurang
dari
menit;
dapat
diulang
setiap
6-8
jam.
(PIONAS, 2015)
Uraian
Nama Obat
Obat Pilihan
Ranitidine
BSO
Tablet (150 mg), Injeksi (25 mg/ml)
BSO yang diberikan dan Injeksi
Pada pasien tersebut diperlukan durasi atau
alasan
kadar obat ranitidine bertahan lebih lama (6-8
jam) dalam darah
Dosis referensi
50 mg
Dosis dalam kasus
50 mg
33
Farmakodinamik
nyeri
(analgesik)
dan
menurunkan
demam
(antipiretik).
34
35
Uraian
Nama Obat
Obat Pilihan
Obat Alternatif
Asetaminofen
Asam Asetilsalisilat
Generik : Parasetamol
Generik : Asetosal
BSO : tablet 325 mg, 500 BSO : tablet 250 mg dan
mg, 650 mg
500 mg
BSO
Dosis referensi
Saat pemberian
alasannya
Lama pemberian
dan
Paten : Pamol
BSO : tablet 500 mg,
sirup 120 mg/5 ml
Tablet
Pasien dewasa, tidak ada
gangguan menelan, dan
mudah diminum sendiri
500-1000 mg per kali,
setiap
4-6
jam,
maksimum 4 g/hari
500 mg
3x sehari sesuai dengan
waktu paruhnya
Peroral
Pasien dewasa, tidak ada
gangguan menelan, dan
mudah diminum sendiri
Tidak ada aturan khusus,
karena tidak dipengaruhi
makanan
Selama demam
Paten : Aspirin
BSO : tablet 100 mg dan
500 mg
Tablet
Pasien dewasa, tidak ada
gangguan menelan, dan
mudah diminum sendiri
300-1000 mg per kali,
maksimum 6 g/hari,
maksimal 6 kali/hari
500 mg
3x sehari sesuai dengan
waktu paruhnya
Peroral
Pasien dewasa, tidak ada
gangguan menelan, dan
mudah diminum sendiri
Sesudah makan, agar
tidak
mengiritasi
lambung
Selama demam
36
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Amebiasis adalah penyakit infeksi parasit yang seringkali asimptomatik, tetapi
membutuhkan tata laksana yang segera dan tepat, yang disesuaikan dengan tingkat
keparahan infeksi. Tata laksana tersebut mencakup farmakoterapi (simptomatis
dan kausatif) dan non-farmakoterapi (seperti program diet, bed rest, maupun
pembedahan). Prognosis sangat ditentukan oleh rangkaian tata laksana
B. Saran
Sebagai seroang tenaga medis, sebaiknya tidak hanya memberikan tatalaksana
dari aspek kuratif saja untuk kasus Amebiasis ini karena sebenarnya kasus ini bisa
dicegah dengan menjaga higienitas makanan, minuman, dan lingkungan tempat
tinggal.
37
DAFTAR PUSTAKA
Acuna-Soto R, Maguire JH, Wirth DF. Gender distribution in asymptomatic and
invasive amebiasis. Am J Gastroenterol. 2000 May. 95(5):1277-83
Andayasari L (2011). Kajian epidemiiologi penyakit infeksi saluran pencernaan
yang disebabkan oleh amuba di Indonesia. MEDIA penelitian dan
pengembangan kesehatan, 21: 1-8.
CDC (2013). Amebiasis. http://www.cdc.gov/dpdx/amebiasis/
Dhawan VK (2015). Amebiasis. http://emedicine.medscape.com/article/212029overview - Diakses Oktober 2015
Jawetz M, Adelbergs. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi kedua. Alih Bahasa:
Huriwati Hartanto, et al. Jakarta : EGC. 2008.
Navianti S, Sinuhaji AB. Resisten Trimetropim-Sulfametoksazol terhadap
Shigellosis. Sari Pediatri. 2005; 7 (1): 39-44.
Pusat Informasi Obat Nasional (2015). http://pionas.pom.go.id/- Diakses Oktober
2015
Rahardjo R et al (2004). Kumpulan kuliah farmakologi.Ed.2. Jakarta: EGC
Redaelli M, Mahmoohdzad J, Lang R, Schencking M (2013). Globalised world,
globalised diseases: A case report on an amoebiasis-associated colon
perforation. World J Clin Cases, 16; 1(2): 7981.
Reed SL (2012). Amebiasis. Dalam: Isselbacher KJ, Wilson JD, Fauci AS, Kasper
D (2012). Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam Harrisons. Singapura: McGraw Hill
Rosdiana Safar (2009). Parasitologi Kedokteran. Jakarta:Yrama Widya
Soewondo ES (2010). Amebiasis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Setiati S (2010). Buku Ajar Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi 4. Jakarta:
InternaPublishing
Stanley SL Jr. Amebiasis. Lancet. 2003 Mar 22. 361(9362):1025-34.
Stauffer W, Abd-Alla M, Ravdin JI. Prevalence and incidence of Entamoeba
histolytica infection in South Africa and Egypt. Arch Med Res. 2006 Feb.
37(2):266-9
38
Syaroni A. Disentri Basiler dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid III. Edisi
kelima. Jakarta : FKUI. 2009. 2857-2860p.
Tanyuksell M, Petri WA (2003). Laboratory Diagnosis of Amebiasis. Clin
Microbiol Rev,16(4): 713729
Tjokroprawiro, Askandar. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: Airlangga
University Press. 2007.
Van Hal SJ, Stark DJ, Fotedar R, Marriott D, Ellis JT, Harkness JL. Amebiasis:
current status in Australia. Med J Aust. 2007 Apr 16. 186(8):412-6
Valenzuela O, Morn P, Gmez A, Cordova K, Corrales N, Cardoza J, et al.
Epidemiology of amoebic liver abscess in Mexico: the case of Sonora. Ann
Trop Med Parasitol. 2007 Sep. 101(6):533-8
Ximnez C, Morn P, Rojas L, Valadez A, Gmez A. Reassessment of the
epidemiology of amebiasis: state of the art. Infect Genet Evol. 2009 Dec.
9(6):1023-32
39