Anda di halaman 1dari 34

PRESKAS FARMASI

AMEBIASIS

Oleh:
Aditya Prima Wardana
G99181004

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Penyakit infeksi tropis merupakan salah satu masalah kesehatan yang
penting di negara tropis maupun subtropis, terutama negara-negara dengan higiene
dan sanitasi yang kurang baik. Penyakit infeksi tropis adalah penyakit menular yang
mempunyai angka prevalensi dan mortalitas yang tinggi, serta menjadi beban
kesehatan yang tidak kunjung selesai (WHO, 2015).
Salah satu penyakit infeksi yang menyerang sebagian besar penduduk
Indonesia adalah diare. Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat karena morbiditas dan mortalitas-nya yang masih tinggi. Hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas ) tahun 2007 menunjukkan prevalensi nasional adalah
9%. Berdasarkan pola penyebab kematian semua umur, diare merupakan penyebab
kematian peringkat ke-13 dengan proporsi 3,5%. Sedangkan berdasarkan penyakit
menular, diare merupakan penyebab kematian peringkat ke-3 setelah TB dan
pneumonia. Diare terjadi akibat infeksi pada saluran pencernaan yang dapat
disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, dan parasit (Depkes, 2011).
Amebiasis (amoebiasis, disentri amoeba, enteritis amoeba, kolitis amoeba)
adalah penyakit infeksi usus besar yang disebabkan oleh parasit usus Entamoeba
hystolica. Sekitar 90% infeksi terjadi asimtomatik, sementara 10% lainnya
menimbulkan berbagai sindrom klinis, mulai dari disentri sampai abses hati atau
organ lain (Soewondo, 2010).
Penyakit ini tersebar hampir di seluruh dunia terutama di negara sedang
berkembang yang berada di daerah tropis. Hal ini disebabkan karena faktor
kepadatan penduduk, higiene individu yang buruk, sanitasi lingkungan hidup yang
kurang baik, serta kondisi sosial kultural yang kurang menunjang. Amebiasis
menjadi penyakit yang mendapat perhatian dari WHO karena merupakan satu dari
tiga penyebab kematian tersering infeksi parasit. Pada tahun 2010, WHO mencatat
bahwa terdapat 50 juta kasus Amebiasis, dimana 100.000-nya meninggal (Redaelli
et al., 2011). Sedangkan untuk Indonesia sendiri, insidensi Amebiasis bisa
dikatakan cukup tinggi dengan angka 10-18%. Mortatlitas Amebiasis juga cukup
tinggi di Indonesia yaitu 1,9 – 9,1%, peringkat kedua setelah malaria (Andayasari,
2011).
Berdasarkan data ini, penulis tertarik untuk membahas penatalaksanaan
Amebiasis, terutama dari segi farmakoterapi. Diharapkan dengan tata laksana yang
baik, angka insidensi dan mortalitas disentri amoeba menurun.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Disentri amoeba atau amebiasis merupakan penyakit infeksi yang
disebabkan oleh parasit Entamoeba histolytica (WHO, 2015). Parasit ini sering
ditemukan di wilayah tropis dan penyakitnya memiliki gambaran klinik yang
ditandai dengan kerusakan jaringan yang luas di lapisan submukosa dan terjadinya
infeksi sekunder. Kemungkinan kerusakan diperparah dengan masuknya parasit ke
dalam pembuluh darah dan kelenjar getah bening yang berada pada lapisan
submukosa dan menyebabkan parasit ini menyebar secara hematogen ke organ
yang jauh (Safar, 2009). Walaupun sebagian besar Amebiasis tanpa gejala, disentri
dan penyakit ekstraintestinal invasif dapat terjadi. Abses liver amebik adalah
manifestasi invasif yang tersering, tetapi sebenarnya beberapa organ lain juga dapat
terkena, seperti pleura pulmo, jantung, otak, ginjal, saluran kemih, peritoneum, dan
daerah kutaneus (Dhawan, 2015).

B. Epidemiologi
Berdasarkan statistik internasional, sekitar 50 juta kasus Amebiasis terjadi
setiap tahunnya, dengan 100.000 orang meninggal (Redaelli et al., 2011). Hal ini
menunjukkan fenomena gunung es karena hanya 10-20% yang menunjukkan gejala
klinis (Valenzuela et al., 2007; van Hal et al., 2007; Ximenez et al., 2009). Insidensi
Amebiasis tertinggi terdapat di negara-negara berkembang (Stauffer et al., 2006).
Amebiasis usus yang simptomatik terjadi pada seluruh kelompok umur.
Sedangkan untuk abses hati sendiri 10 kali lebih sering terjadi pada dewasa
dibandingkan dengan anak-anak. Anak kecil kemungkinan juga memiliki faktor
predisposisi terjadinya kolitis fulminan (Dhawan, 2015).
Kolitis amebik menyerang secara sama, baik laki-laki maupun perempuan
(Stanley, 2003). Namun, Amebiasis invasif lebih sering terjadi pada laki-laki
dewasa dibandingkan wanita (7-12 kali), pada kisaran umur 18-50 tahun. Untuk
Amebiasis asimptomatik juga terjadi secara sama, baik laki-laki maupun
perempuan (Acuna-Soto at al., 2000).
Sedangkan untuk Indonesia sendiri, insidensi Amebiasis bisa dikatakan
cukup tinggi dengan angka 10-18%. Mortatlitas Amebiasis juga cukup tinggi di
Indonesia yaitu 1,9 – 9,1%, peringkat kedua setelah malaria (Andayasari, 2011). Di
Indonesia laporan mengenai abses hati menunjukkan insidensi yang cukup tinggi.
Penularan dapat terjadi melalui beberapa cara, misalnya pencemaran air minum,
pupuk kotoran manusia, juru masak, vektor lalat dan kecoa, serta kontak langsung
seksual oral-anal pada homoseksual. Penyakit ini cenderung endemik, jarang
menimbulkan epidemi. Epidemi sering tejadi lewat air minum yang tercemar
(Soewondo, 2010).

C. Etiologi
E.histolytica adalah protozoa usus yang sering hidup sebagai
mikroorganisme komensal di usus besar manusia. Apabila keadaan mengizinkan,
protozoa ini bisa berubah menjadi patogen dengan membentuk koloni di dinding
usus dan menembus dinding usus sehingga terbentuk ulserasi. Siklus hidup amoeba
ada 2 bentuk, yaitu stadium tropozoit (komensal <10mm, patogen >10mm) dan
stadium kista (Soewondo, 2010).
Tropozoit komensal dapat dijumpai di lumen usus tanpa menyebabkan
gejala penyakit. Apabila menimbulkan diare, maka tropozoit akan keluar bersama
tinja. Pada pemeriksaan tinja dengan mikroskop, tropozit tampak bergerak aktif
dengan pseudopodianya dan dibatasi oleh ektoplasma yang tampak terang seperti
kaca. Bagian endoplasma berbentuk butir-butir kecil dan sebuah inti di dalamnya.
Sementara tropozit patogen dapat menyebabkan disentri. Diameternya lebih besar
daripasa tropozoit komensal (lebih dari 50mm) dan mengandung eritrosit di
dalamnya karena tropozit patogen menelan eritrosit (hematophagous thropozoite).
Bentuk tropozoit itu bertanggung jawab terhadap timbulnya gejala penyakit.
Namun akan cepat mati bila berada di luar tubuh (Soewondo, 2010).
Bentuk kista ada dua macam yaitu kista muda dan kista dewasa. Kista muda
terdiri dari satu gelembung glikogen dan badan-badan kromatid berbentuk batang
dengan ujung tumpul. Kista dewasa memiliki empat inti. Kista ini hanya terbentuk
dan dijumpai di dalam lumen usus, kista tidak dapat terbentuk di luar tubuh dan
tidak dapat dijumpai di dalam dinding usus atau di jaringan tubuh di luar usus
(Soewondo, 2010).
Kista bertanggung jawab terhadap penularan penyakit, dapat hdiup lama di
luar tubuh manusia, tahan terhadap asam lambung, dan akdar klor standar dalam air
minum. Diduga faktor lekeringan akibat penyerapan air di usus besar,
menyebabkan tropozit berubah menjadi kista (Soewondo, 2010).
Dengan teknik elektroforesis, enzim yang dikandung tropozoit dapat
diketahui. Pola enzim dapat menunjukkan patogenesis amoeba (zymodeme).
Amoeba di dalam tubuh pasien yang memiliki gejala invasif menunjukkan adanya
pola enzim zymodeme (Soewondo, 2010).
Semua tropozoit dan kista E.histolytica memiliki morfologi yang identik,
tetapi secara klinis spektrum penyakitnya yang luas ditentukan oleh virulensi strain
yang menginfeksinya. Isolat E.histolytica dari pasien Amebiasis invasif memiliki
isoenzim yang unik, antigen penanda DNA, dan sifat virulensi (termasuk produksi
proteinase ekstraseluler dan resistensi terhadap lisis yang diperantarai oleh
komplemen) (Reed, 2012).
Imunitas terhadap amoeba sampai saat ini belum diketahui peranannya.
Tetapi ada bukti yang peran imunitas terhadap infeksi amoeba. Pada pasien dengan
tindakan yang menurunkan imunitas, seperti radioterapi, splenektomi, obat-obat
imunosupresif, dan penggunaan steroid, dapat terjadi ulkus amoeba berulang.
Berdasarkan penyelidikan pada manusia dan hewan, dapat dibuktikan bahw
E.histolytica dapat memicu sistem imun humoral dan seluler. Secara in vivo,
imunitas humoral dapat membunuh amoeba, tetapi secara in vitro tidak dapat.
Belum diketahui pasti penyebabnya, tetapi mungkin dikarenakan imunitas tidak
terbentuk sempurna. Imunitas yang terbentuk hanya dapat mengurangi beratnya
gejala, tetapi tidak dapat mencegah terjadinya penyakit. Diduga imunitas seluler
berperan lebih besar dibandingkan imunitas humoral. Antibodi di dalam serum,
terutama IgG, terutama berperan dalam uji serologis (Soewondo, 2010).
E histolytica ditransmisikan umumnya melalui rute fekal-oral. Kista infektif
bisa ditemukan pada minuman dan makanan yang terkontaminasi secara fekal atau
melalui tangan penyaji makanan yang terkontaminasi. Transmisi seksual, secara
oral-anal, juga memungkinkan terjadinya penyebaran penyakit. Nutrisi yang buruk
juga meningkatkan faktor risiko tertular Amebiasis (Soewondo, 2010).

D. Patogenesis

Gambar 2.1 Kista dan Tropozoit E. Histolytica

Baik kista maupun tropozoit ditemukan dalam lumen intestinal, namun


hanya bentuk tropozoit yang menginvasi jaringan. Tropozoit yang mula-mula hidup
sebgaai komensal, dapat berubah menjadi patogen. Sebelum tropozoit melekat pada
epitel interglandularis melalui lektin permukaan (GAL/GaINAc), terjadi deplesi
mukus, inflamasi yang difus, dan disrupsi sawar epitel di mukosa kolon. Lesi
intestinal yang paling awal terjadi adalah mikroulserasi mukosa sekum, kolon,
sigmoid, atau rektum yang melepaskan sel eritrosit, sel radang, dan sel epitel.
Perluasan lesi ke lapisan submukosa menyebabkan gambaran ulkus klasik yaitu
“berbentuk botol labu” yang mengandung tropozoit pada bagian tepi jaringan yang
mati dan masih viabel. Infeksi pada usus manusia ditandai oleh sedikitnya sel
radang yang sebagian mungkin disebabkan karena terbunuhnya neutrofil oleh
tropozoit. Ulkus yang diobati secara khas akan mengalami kesembuhan dengan
sedikit atau tanpa jaringan parut. Namun demikian, nekrosis yang mengenai seluruh
tebal usus dan perforasi kadang-kadang terjadi (Soewondo, 2010; Reed, 2012).
Kadang infeksi intestinal menyebabkan pembentukan suatu lesi yang
berupa massa atau amoeboma di dalam lumen usus. Mukosa yang berada si atas
lesi tersebut biasanya lebih tipis atau mengalami ulserasi, sementara lapisan dinding
usus yang lain akan menebal, edema serta hemoragik, sehingga terjadi
pembentukan jarungan granulasi yang berlebihan dengan respon jaringan ikat
fibrous yang sedikit (Reed, 2012).
Jalur litik dan apoptosis kedua-duanya berperan dalam patofisiologi
Amebiasis. Sitolisis diperantarai oleh amebapores, peptida yang mampu membuat
pori pada lapisan lipid bilayer. Efek sitolitik yang ditimbulkan oleh amoeba ini
memerlukan kontak langsung dengan sel target dan berkaitan dengan pelepasan
fosfolipase A. Amebapores dalam konsentrasi sublitik juga dapat memicu
terjadinya apopotosis (Stanley, 2003; Reed, 2012). Sejumlah faktor virulensi
berhubungan dengan kemampuan amoeba untuk menginvasi lewat epitel
interglandularis. Salah satunya adalah proteinase ekstraseluler yang mampu
menguraikan jaringan kolagen, elastin, dan komponen matriks ekstraseluler.
Sistein proteinase juga berperan dalam proses invasi dan inflamasi di dalam usus,
dengan meningkatkan inflamasi yang dieprantari oleh IL-1 (menyamar menjadi
enzim yang mengkonversi IL-1). Kemudian sistein proteinase juga dapat
menonaktfikan anafilatoxin komplemen C3a dan C5a, IgA, dan IgG. Enzim lainnya
dapat memutuskan ikatan glikoprotein antara sel epitel mukosa di dalam usus.
Amoeba dapat mengancurkan sel neutrofil, monosit, limfosit, dan turunan sel kolon
atau hati. Lisisnya sel neutrofil dapat menyebabkan terjadinya nekrosis (Reed,
2012).
Ulkus yang terjadi dapat menimbulkan perdarahan di semua bagian usus
besar. Dari ulkus di dalam dinding usus besar dapat mengadakan “metastasis” ke
hati lewat cabang vena porta dan dapat menimbulkan abses hati (Soewondo, 2010).
Isolat yang patogen ini bersifat resisten terhadap proses lisis oleh komplemen, yaitu
sifat yang sangat menentukan kelangsungan hidup amoeba di dalam darah. Apabila
hal ini terus terjadi, selain menuju ke hati, embolisasi dapat mencapai jaringan paru,
otak, dan limpa, sheingga menimbulkan abses di sana. Sedangkan untuk strain
nonpatogen, dengan cepat akan dihancurkan oleh komplemen dan dengan demikian
hanya terbatas dalam lumen usus saja (Reed, 2012).
Infeksi klinis tidak menimbulkan imunitas pada kolonisasi rekuren oleh
E.histolytica. Namun, serangan kolitis atau abses hati yang berulang jarang didapat.
Antibodi tidak protektif, titer antibodi lebih berhubungan dengan lamanya sakit
dibandingkan dengan beratnya penyakit (Reed, 2012).

Gambar 2.2 Siklus hidup E.histolytica

E. Klasifikasi dan manifestasi klinis


Periode inkubasi E.histolytica adalah sekitar 2-4 minggu. Spektrum klinis
amebiasis adalah mulai dari asimptomatik hinggan kolitis fulmina dan peritonitis
ataupun amebiasis ekstraintestinal. Amebiasis terjadi lebih parah pada pasien yang
sangat muda, pasien tua, dan pasien yang sedang dalam terapi kortikosteroid.
1. Karier (cyst passer)
Pasien tidak menunujkkan gejala klinis sama sekali. Hal ini disebabkan karena
amoeba yang berada di usus besar tidak mengadakan invasi ke dinding usus
2. Amebiasis intestinal ringan
Timbulnya penyakit perlaha-lahan. Pednerita biasanya mengeluhkan perut
kembung, kadang-kadang nyeri perut ringan yang bersifat kejang. Dapat timbul
diare 4-5 kali sehari dengantinja berbau busuk. Kadang-kadang tinja
bercampur darah dan lendir. Sedikit nyeri di daerah sigmoid. Jarang nyeri di
daerah epigastrium yang mirip dengan ulkus peptik. Keadaan tersebut
bergantung pada lokasi ulkusnya. Keadaan umum pasien biasanya baik, tanpa
atau disertai demam ringan. Hkadang-kadang terdapat hepatomegali yang tidak
atau sedikit nyeri tekan
3. Amebiasis intestinal sedang
Keluhan pasien dan gejala klinis lebih berat dibandingkan disentri ringan,
tetapi pasien masih mampu melakukan aktivitas segari-hari, tinja disertai darah
dan lendir. Pasien mengeluh perut kram, demam, dan lemah badan, disertai
hepatomgeali yang nyeri ringan.
4. Amebiasis intestinal berat
Keluhan dan gejala klinis lebih hebat lagi. Penderita mengalami diare disertai
darah yang banyak, lebih dari 15 kali sehari, demam tinggi (40-40,50C), disertai
mual dan anemia. Pada saat ini tidak dianjurkan melakukan pemeriksaan
sigmoidoskopi karena dapat menyebabkan perforasi usus
5. Amebiasis intestinal kronis
Gejalanya menyerupai disentri ameba ringan, serangan-serangan diare
diselingi dengan periode normal atau tanpa gejala. Keadaan ini dpaat berjalan
berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Pasien biasanya menunjukkan gejala
neurastenia. Serangan diare biasanya terjadi karena kelelahan, demam, atau
makanan yang sukar dicerna
6. Abses hepar amebik
Amebiasis ekstraintestinal yang paling sering terjadi, dimana gejalanya lebih
parah terjadi pada pria dibandingkan pada wanita. Pasien mengeluhkan nyeri
kuadran kanan atas, tenderness selama sekitar 10 har. Keterlibatan permukaan
diafrgma juga menyebabkan nyeri tumpul menjalar ke bahu. Gejala dan tanda
abdomen akut harus diwaspadi sebagai ruptur intraperitoneal. Selain itu juga
terdapat gejala seperti mual, muntah, distensi abdomen, diare, dan konstipasi.
Diagnosis ini sulit ditegakkan karena gejala dan tanda tidak spesifik
7. Manifestasi lain
Manifestasi klinis yang lain dapat berupa ameboma, amebiasis pleuropulmonal
(penyebaran secara hematogen, melalui ruptur diafragma), amebiasis otak
(mual, muntal, nyeri kepala, perubahan status mental, tampakan CT-scan
sebagai lesi ireguler dengan kapsul atau enhancement), amebiasis saluran
kemih (rasa nyeri di daerah genital dan tuba fallopii), amebiasis appendisitis,
dan amebiasis peritonitis (pasien demam dan distensi abdomen padat)
(Redd, 2012; Dhawan, 2015; Soewondo, 2010)
F. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah
Pada pemeriksaan darah dapat ditemukan adanya leukositosis tanpa
eosinofilia, peningkatan SGPT dan SGOT, peningkatan kadar bilirubin
ringan, penurunan kadar albumin, anemia ringan, peningkatan laju endap
eritrosit (Dhawan, 2015)
b. Pemeriksaan tinja
Pemeriksaan tinja merupakan pemeriksaan laboratorium yang sangat
penting. Pemeriksaan tinja sekali hanya menunjukkan sensitifitas sebesar
33-50%, tetapi apabila dilakukan sebanyak 3 kali dengan tidak lebih dari
10 hari sensitifitasnya meningkat hingga 85-95%. Pada disentri amoeba
biasanya berbau busuk, bercampur darah, dan lendir. Untuk pemeriksaan
mikroskopik, perlu tinja yang masih baru dan kadang-kadang diperlukan
pemeriksaan berulang (minimal 3 kali seminggu) dan sebaiknya dilakukan
sebelum pasien mendapat pengobatan. Apabila direncanakan akan dibuat
foto kolon dengan barium enema, pemeriksaan tinja harus dikerjakan
seblumnya atau minimal 3 hari setelahnya. Pada pemeriksaan tinja pasien
yang tidak diare, yang perlu dicari adalah bentuk kista karena bentuk
tropozoit tidak akan ditemukan
Temuan mikroskopis yang didapatkan :
- Tampak tropozoit yang masih bergerak aktif dengan pseudopodianya
(seperti kaca) dan jika tinja berdarah akan nampak adanya eritrosit
intrasitoplasmik
- Pada sediaan tinja berbentuk : gambaran kista bentuk bulat seperti
mutiara, di dalamnya terdapat badan kromatid bentuk batang dan ujung
tumpul, sedangkan intinya tidak tampak (hanya dapat dilihat dengan
larutan lugol)
(Reed, 2012; Dhawan 2015)
c. Kultur
Kultur dapat dilakukan dengan spesiemen fekal atau rektar atau dengan
aspirasi abses hepar. Tingkat kesuksesan kultur adalah sekitar 50-70%,
tetapi secara teknis sangat sulit dilakukan. Kultur kurang sensitif jika
dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopis. Jika hasil pemeriksaan
tinjanya negatif, sigmoidoskopi demgan biopsi bagian tepi ulkus dapat
meningkatkan diagnosis, tetapi mengandung risiko terjadi perforasi (Reed,
2012; Dhawan 2015)
d. Pemeriksaan histopatologi
Spesimen biopsi harus diambil dari tepi ulkus dan didapatkan adanya
tropozoit yang bergerak aktif. Gambaran histopatologi menunjukan adanya
penebalan mukosa yang nonspesifik, penyebaran ulkus multipel di antara
regio normal, mukosa dengan inflamasi difus, nekrosis. Invasi mukosa ke
dalam mukosa dan submukosa merupakan tanda penting kolitis amebik
(Dhawan, 2015).
e. Pemeriksaan serologi
Pemeriksaan serologi amat mebantu untuk pemeriksaan amebiasis invasif.
Pemeriksaan serologi bisa dilakukan dengan deteksi antigen maupun
deteksi antibodi (menggunakan metode ELISA). Deteksi antigen akan
mendeteksi adanya antigen E.histolyica di sampel feses, sedangakn serum
antibodi akan ditemukan pada individu amebiasis intestinal simptomatik
(70-90%) dan abses hati (99%). Selain dengan ELISA, terdapat metode
IFA (Immunofluorescent Assay), dimana pada pasien dengan abses hati
didaptkan sensitifotas ebesar 93,6% dan spesifisitas 96,7%. IHA (Indirect
Hemagglutination Assay) juga dapat dilakukan untuk deteksi antibodi
spesifik E.histolytica,, namun kurang sensitif jika dibandingkan dengan
ELISA. IHA tidak dapat membedakan infeksi akut maupu infeksi berulang,
serta titernya dapat tetap positif sampai selama 10 tahun (Dhawan, 2015).
2. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi dengan kontrs barium sangat berbahaya bila dilakukan
pada kolitis amebik akut. Pemeriksaan USG, CT-scan, dan MRI berguna untuk
mendeteksi adanya kista hipoekoik yang bundar atau oval pada abses hati
(Reed, 2012).

G. Diagnosis
Diagnosis pasti baru dapat ditegakkan bila sudah ditemukan amoeba
(tropozoit) dalam pemeriksaan tinja. Namun dengan diketemukannya amoeba,
tidak berarti menyingkirkan kemungkinan diagnosis penyakit lain, karena
amebiasis dapat disertai dengan penyakit lain.
Diagnosis banding amebiasis intestinal adalah divertikulitis, IBS (Irritable
Bowel Syndrome), hepatitis, cholecystitis, Salmonellosis, Shigellosis, dan
hemorrhoid interna. Sedangkan untuk abses hati amebik sulit dibedakan dengan
abses piogenik, neoplasma, dan kista hidatidosa (Soewondo, 2010; Dhawan, 2015).
H. Tata laksana
1. Farmakoterapi
Klasifikasi amebisid :
a. Amebisid luminal
Amebisid yang bekerja di lumen usus atau obat-obat yang aktif terhadap
amoeba intestinal
Contoh : diiodo hidroksiquin, chiniofon, carbasone, tetrasiklin,
clephamide, paramomysin, glikobiarsol
b. Amebisid jaringan
Amebisis yang bekerja pada jaringan intestinum atau organ lainnya
Contoh : emetin, dehydroemetin, klorokuin
c. Amebisis kombinasi
Contoh : metronidazol
Pemilihan amebisid bergantung pada :
a. Berat ringannya penyakit ini
b. Tempat terinfeksi (lumen atau ekstraintestinal)
c. Beberapa faktor lain, seperti keadaan hamil (hindari metronidazole)
d. Alergi obat atau toleransi
Karier (asimptomatik)
Iodoquinol (tab 650mg) Dosis: 650mg 3 kali sehari selama 20 hari
Paromomycin (tab 250mg) Dosis: 500mg 3 kali sehari selama 10 hari
Kolitis akut
Metronidazole (tab 250 atau 500 Dosis: 750mg per oral atau IV 3 kali sehari
mg) selama 5-10 hari, ditambah dengan bahan
luminal dengan dosis yang sama
Abses hati amoeba
Metronidazole
Tinidazole Dosis: 2 g per oral
Omidazole Dosis: 2 g per oral ditambah bukan luminal
dengan jumlah sama
Tabel 2.1 Rekomendasi pengobatan Amebiasis
Pada pasien dengan amebiasis ringan-sedang akan mengalami diare
atau disentri, tetapi tidak berat, sehingga biasanya tidak memerlukan infus
cairan elektrolit atau transfusi darah. Tetapi bila disertai dengan diare dan
muntah, cairan elektrolit sebaiknya diberikan. Obat pilihannya adalah
metronidazol dengan dosis 3x750 mg sehari selama 5-10 hari, atau dapat juga
diberikan tinidazol atau omidazol. Karena pada pasien dengan pengobatan
metronidazole dapat timbul abses hati, maka dianjurkan menambah dengan
obat tropozoit di dalam lumen usus. Dapat digunakan obat seperti
diyohidrosikin, kliokinol, atau diloksanid furoat. Dapat pula diberi tetrasiklin
dengan dosis 4x500mg selama 5 hari (Soewondo, 2010).
Pada pasien dengan disentri amoeba yang berat, tidak hanya
memerlukan obat amebisid, tetapi juga memerlukan infus cairan elektrolit atau
transfusi darah. Selain seperti pengobatan pada kasus ringan-sedang, perlu
ditambah emetin (1mg/kgbb/hari) atau dehidroemetin (11,5 mg/kgbb/hari)
selama 3-5 hari, diberikan secara IM atau SC. Pasien sebaiknya dirawat di
rumah sakit dan tirah baring selama pengobatan. Hal ini dikarenakan bahaya
efek emetin tehadap jantung (Soewondo, 2010).
2. Non-farmakoterapi
Intervensi bedah dibutuhkan apabila ada tanda dan gejala acute
abdomen (kolitis amebik perforasi, perdarahan saluran cerna masif, toxic
megacolon). Intervensi bedah biasanya juga diindikasi bila diagnosis belum
jelas, kemungkinan adanya superinfeksi bakteri karena abses hati amebik, tidak
responsif tehadap terapi metronidazole setelah 4 hari, empyema setelah ruptur
abses hati, dan kemungkinan adanya ruptur pericardium. Selain tindakan
bedah, dapat dilakukan pula drainage menggunakan kateter perkutaneus yang
akan meningkatkan hasil terapi empyema amebik (Dhawan, 2015).
Pemberian diet khusus tidak terbukti lebih bermanfaat dibandingkan
dengan hidrasi oral pada penelitian dengan kontrol. Akan tetapi, pemberian
nutrisi yang adekuat selama episode diare amat berguna untuk memfasilitasi
perbaikan enterosit. Bila pasien anorektik, hanya mengkonsumsi cairan dalam
waktu yang tidak lama tidak akan membahayakan. Tepung dan biji-bijian rebus
(misalnya, kentang, beras, terigu, dan gandum) dengan garam diindikasikan
pada pasien dengan watery diarrhea. Biskuit, pisang, yoghurt, sop, dan sayuran
rebus boleh juga diberikan (Tjandrawinata et al., 2009).
Dalam prakteknya, menghindari makanan selama >4 jam adalah tidak
tepat. Makanan sebaiknya mulai diberikan 4 jam sesudah pemberian ORT atau
cairan intravena. Diet diberikan tanpa memperhatikan cairan yang digunakan
untuk terapi rehidrasi oral atau rumatan. Diet diberikan dalam porsi kecil dan
sering (6 kali/hari). Perlu juga diberikan makanan tinggi protein dan
mikronutrien. Peningkatan kalori disesuaikan dengan perbaikan episode
diarenya. Perlu dihindari pemberian jus buah pekat karena hiperosmolar dan
dapat memperberat diare (Tjandrawinata et al., 2009).

I. Komplikasi
Beberapa penyulit dapat terjadi pada disentri amoeba, baik berat maupun
ringan. Sering sumber penyakit di usus tidak menunjukkan gejala lagiatau hanya
menunjukkan gejala ringan,sehingga yang menonjol adalah gejala penyulitnya.
Keadaan ini sering terjadi pada penyulit ekstraintestinal. Berdasarkan lokasi,
penyulit tersebut dibagi menjadi:
1. Komplikasi intestinal
a. Perdarahan usus : apabila amoeba mengadakan invasi ke dinding usus
besar dan merusak pembuluh darah, perdarahan hebat berakibat fatal
b. Perforasi usus : terjadi bila abses menembus jaringan muskular
dinding usus besar, sering menyebabkan peritonitis yang mortalitasnya
tinggi, peritonitis dapat terjadi akrena pecahnya abses hati
c. Intususepsi : terjadi di daerah sekum, butuh tindakan operasi
segera
d. Penyempitan usus : dapat terjadi karena disentri kronik, akibat terbentuk
jaringan ikat atau akibat amoeboma (massa jaringan granulasi)
2. Komplikasi ekstraintestinal
a. Amebiasis hati : penyulit ekstraintestinal yang paling sering terjadi,
lebih banyak terjaid apda laki-laki, dapat timbul beberapa minggu/bulan,
terjadi karena ada embolisasi amoeba lewat vena porta
b. Amebiasis pleuropulmonal : dapat terjadi akibat ekspansi langsung abses
hati, dapat timbul cairan pleura, penumonia, atau abses paru
c. Abses otak, limpa, dan organ lain
d. Amebiasis kulit : akibat invasi ampeba langsung dari dinding usus
besar dengan membentuk fistel
J. Prognosis
Prognosis ditentukan oleh berat ringannya penyakit, diagnosis dan
pengobatan dini yang tepat, serta kepekaan amoeba terhadap pengobatan yag
diberikan. Pada umumnya, prognosis Amebiasis adalah baik terutama yang tanpa
komplikasi. Pada asbes hati amoebik, kadang-kadang diperlukan pungsi untuk
mengeluarkan nanah. Demikian pula dengan Amebiasis yang disertai penyulit efusi
pleura. Prognosis yang buruk adalah abses otak amoeba (Soewondo, 2010).
Keparahan infeksi amoeba dapat menyebabkan meningkatkan morbiditas
dan mortalitas pada pasien anak-ankak terutama neonatus, wanita hamil dan
postpartum, pasien pengguna kortikosteroid, pasien dengan penyakit keganasa, dan
pasien malnutrisi. Perlu diingan bahwa infeksi yang seblumnya tidak memberikan
proteksi untuk infeksi invasif berikutnya (Dhawan, 2015).

K. Pencegahan
Makanan, minuman, dan keadaan lingkungan hidup yang memenuhi syarat
kesehatan merupakan sarana pencegahan penyakit yang sangat penting. Air minum
sebaiknya dimasak dulu, karena kista akan mati bila air dipanaskan 500C selama 5
menit. Pemberian klor dalam jumlah yang biasa digunakan dalam pembuatan air
bersih, ternyata tidak dapat membunuh kista. Sebelum mengonsumsi buah dan
sayur sebaiknya dicuci dengan sabun atau direndam dalam cuka selama 10-15
menit. Penting sekali adanya jamban keluarga, isolasi, dan pengobatan terhadap
karier. Karier dilarang berkerja sebagai juru masak atau segala perkerjaan yang
berhubungan dengan makanan. Sampai saat ini belum ada vaksin khusus.
Pemberiam kemoprofilaksis bagi wisatawan yang akan mengunjungi daerah
endemis tidak disarankan. Pengobatan massal dengan metronidazol secara berkala
hanya dikerjakan dalam keadaan tertentu. Di negara nonendemis, transmisi
penyakit dapat dikurangi dengan pengobatan dini pada karier. Menghindari
aktivitas seksul yang melibatkan kontak fekal-oral juga dapat mengurangi transmisi
dari kista infektif (Soewondo, 2010; Dhawan, 2015).
BAB III
ILUSTRASI KASUS

A. Identitas pasien
Nama pasien : Tn. Y
Usia : 50 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Sragen
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Status : Menikah
No. RM : 01 46 67 xx
Tanggal masuk : 24 Juli 2019

B. Anamnesis
1. Keluhan utama
BAB cair, lendir, dan darah
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan BAB cair (+) lendir (+) darah
merah gelap (+) sudah sejak 1 hari yang lalu. Diare diawali dengan BAB cair
(+) lendir(+) darah merah gelap (+) sebanyak 3 kali pada pagi hari kemarin, 4
kali pada siang hari, dan selama malam hari kemarin sebanyak 4 kali. Pagi ini
pasien sudah BAB sebanyak 5 kali. BAB pasien cair, disertai darah dan lendir,
serta berbau busuk. BAB tidak bisa ditahan. Volume tiap kali BAB sekitar 100-
150cc, dengan lebih banyak cairan daripada ampas. Pasien juga mengeluhkan
nyeri perut melilit dan demam sejak keluhan dirasakan. Pasien juga mengaku
sempat lemas karena pasien mual dan sempat muntah (+) sebanyak 2 kali
kemarin, tetapi sekarang sudah tidak mual dan tidak muntah. BAK pasien
diakui masih normal, namun nafsu makan pasien dirasakan sedikit menurun.
Pasien minum lebih banyak daripada biasanya. Pasien mengaku sekitar hampir
seminggu yang lalu sempat makan beberapa kali di dekat tempatnya bekerja
dan pasien mengaku bahwa tempat makan tidak bersih dan pasien tidak
mencuci tangan terlebih dahulu. Pasien mengatakan belum pernah mengalami
hal seperti ini sebelumnya
3. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat batuk lama : disangkal
Riwayat alergi makan atau obat : disangkal
Riwayat mondok : disangkal
4. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
5. Riwayat sosial ekonomi
Pasien adalah seorang petani, tinggal bersama istri dan kedua anaknya. Biaya
pengobatan ditanggung oleh BPJS.
6. Riwayat kebiasaan
Riwayat makan sembarangan : (+)
Riwayat mengolah makanan sendiri : (+)
Riwayat minum obat-obatan : disangkal
Riwayat makan pedas : disangkal
Riwayat minum alkohol : disangkal
Riwayat merokok : (+)
C. Pemeriksaan fisik

1 Keadaan Umum Compos mentis, tampak sakit sedang, gizi kesan


cukup
2 Status gizi BB : 50 kg
TB : 155 cm
BMI : 20,81 kg/m2
Kesan : Status Gizi Normoweight
3 Tanda Vital Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi :100x/menit, isi dan tegangan cukup
Frekuensi Respirasi : 22 x/menit
Suhu : 38,7 0C
4 Kulit Warna sawo matang, petechie (-), ikterik (-),
turgor cukup, hiperpigmentasi (-), turgor agak
lambat (+)
5 Kepala Bentuk mesocephal, rambut warna hitam,uban
(+), mudah rontok (-), luka (-), atrofi
m.temporalis(-).
6 Mata Konjunctiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-),
perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor
dengan diameter 3 mm/3 mm, reflek cahaya (+/+),
edema palpebra (-/-), strabismus (-/-), cekung
(+/+)
7 Mulut Trismus (-), sianosis (-), gusi berdarah (-), kering
(+), pucat (-), lidah tifoid (-), papil lidah atrofi (-
) stomatitis (-), luka pada sudut bibir (-)
8 Leher JVP (R+2), trakea di tengah, simetris, pembesaran
tiroid (-), pembesaran limfonodi cervical (-), leher
kaku (-)
9 Thorax Bentuk normochest, simetris, retraksi intercostal
(-), atrofi m. Pectoralis (-), ginecomasti (-), spider
nevi (-) regio infra clavicula, pernafasan
torakoabdominal, sela iga melebar (-),
pembesaran KGB axilla (-/-)
Jantung :
Inspeksi Iktus kordis tidak tampak
Palpasi Iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi Batas jantung kanan atas : SIC II linea
parasternalis dextra
Batas jantung kanan bawah : SIC IV linea
parasternalis dekstra
Batas jantung kiri atas : SIC II linea parasternalis
sinistra
Batas jantung kiri bawah : SIC V 1 cm medial
linea medioklavicularis sinistra
Pinggang jantung : SIC II-III lateral parasternalis
sinistra
Konfigurasi jantung kesan tidak melebar
Auskultasi HR : 88x/menit reguler. Bunyi jantung I-II murni,
intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-).

Pulmo :
Depan
Inspeksi Statis Normochest, simetris, sela iga tidak melebar
Dinamis Pengembangan dada kanan = kiri, sela iga tidak
melebar, retraksi intercostal (-)
Palpasi Statis Simetris
Dinamis Pergerakan dada ka = ki, penanjakan dada ka = ki,
fremitus raba kanan = kiri
Perkusi Kiri Sonor
Kanan Sonor
Auskultasi Kanan Suara dasar vesikuler intensitas normal, suara
tambahan wheezing (-), ronchi basah kasar (-)
basal paru, ronchi basah halus (-), krepitasi (-)
Kiri Suara dasar vesikuler intensitas meningkat, suara
tambahan wheezing (-), ronchi basah kasar (-),
ronchi basah halus (-), krepitasi (-)

Belakang
Inspeksi Statis Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga
mendatar
Dinamis Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela
iga tidak melebar, retraksi interkostal (-)
Palpasi Statis Dada kanan dan kiri simetris, sela iga tidak
melebar, retraksi (-),
Dinamis Pergerakan kanan = kiri, simetris, fremitus raba
kanan = kiri, penanjakan dada kanan = kiri
Perkusi Sonor /Sonor
Auskultasi Kanan Suara dasar vesikuler meningkat, wheezing(-),
ronchi basah kasar (-), ronchi basah halus (-),
krepitasi (-)
Kiri Suara dasar vesikuler intensitas normal,
wheezing(-), ronchi basah kasar (-), ronchi basah
halus (-), krepitasi (-)
10 Punggung kifosis (-), lordosis (-), skoliosis (-), nyeri ketok
kostovertebra (-),
11 Abdomen
Inspeksi Dinding perut sejajar dinding thorak, bekas luka
operasi (-), venektasi (-), sikatrik (-), stria (-),
caput medusae (-)
Auskultasi Peristaltik (+) meningkat, bruit hepar (-), bising
epigastrium (-)
Perkusi Perut keras seperti papan (-), timpani, pekak sisi
(-), pekak alih (-),undulasi (-), area trobe
tymphani, NKCV (-/-)
Palpasi Perut keras seperti papan (-), nyeri tekan (+) perut
sebelah kiri, hepar/ lien sulit dievaluasi, turgor
perut kembali agak lambat (+)
12 Genitourinaria Ulkus (-), sekret (-), tanda-tanda radang (-), nyeri
(-)
13 Ekstremitas
Superior Edema (-), kaku (-), sianosis (-), pucat (-), akral
dekstra dingin (-), luka (-), deformitas (-), ikterik (-)
petechie (-), Spoon nail (-)kuku pucat (-),clubing
finger (-), hiperpigmentasi (-), palmar eritema (-)
Superior Edema (-), kaku (-), sianosis (-), pucat (-), akral
sinistra dingin (-), luka (-), deformitas (-), ikterik (-),
petechie (-), Spoon nail (-) kuku pucat (-
),clubing finger (-), hiperpigmentasi (-), palmar
eritema (-), CRT< 2 detik
Inferior dekstra Edema(-), kaku (-), sianosis (-), pucat (-), akral
dingin (-), luka (-), deformitas (-), ikterik (-),
petechie (-), Spoon nail (-), kuku pucat (-),
clubing finger (-), hiperpigmentasi (-), nyeri
tekan (-), CRT< 2 detik
Inferior Edema(-), kaku (-), sianosis (-), pucat (-), akral
Sinistra dingin (-), luka (-), deformitas (-), ikterik (-),
petechie (-), Spoon nail (-), kuku pucat (-
),clubing finger (-), hiperpigmentasi (-), nyeri
tekan (-),CRT< 2 detik
D. Diagnosis banding
- Disentri amoeba (amebiasis)
- Disentri basiller
- Demam thypoid
- Irritable Bowel Syndrome
E. Diagnosis kerja
Disentri amoeba (amebiasis)
F. Planning
Diagnostik : Cek lab lengkap, pemeriksaan feses rutin dan mikroskopis
Terapi : Rawat inap, perbaikan KU
G. Terapi
1. Non farmakologis
a. Tirah baring
b. Diet makanan lunak, porsi kecil tapi sering (hingga frekuensi BAB < 5
kali/hari), diet tinggi protein dan mikronutrien (kebutuhan kalori
menyesuaikan), diet rendah serat (terutama hindari jus buah hiperosmolar)
c. Monitoring keadaan umum dan tanda-tanda vital pasien
2. Farmakologis
a. Infus Ringer Laktat 20 tpm
b. Ranitidin injeksi 50 mg tiap 12 jam
c. Metronidazole oral 750 mg tiap 8 jam selama 7 hari
d. Paromomycin 500 mg tiap 8 jam selama 7 hari
e. Buscopan oral 10 mg kalau perlu
f. Paracetamol oral 500 mg tiap 8 jam selama demam
H. Tujuan terapi
1. Melakukan tatalaksana sesuai dengan penyebab penyakit
2. Memperbaiki keadaan umum pasien
3. Mencegah peningkatan keparahan penyakit
4. Meningkatkan kualitas hidup pasien
5. Meminimalisasi hingga menghilangkan gejala penyakit
I. Resep
R/ Ringer Laktat infus No. I
Infus set No. I
IV catheter No. I
Three way No. I
IV 3000 No. I
∫ i.m.m
Pro: Tn.Y (50th)
R/ Ranitidine inj mg 50 No. III
Cum disposable syringe 3cc No. III
∫ i.m.m 50mg/8jam
Pro: Tn. Y (50th)
R/ Metronidazole mg 750
f.l.a pulv da in cap dtd No. III
∫ 3 dd cap I p.c
Pro: Tn.Y (50th)
R/ Paromomycin tab mg 500 No. III
∫ 3 dd tab 1 a.c
Pro: Tn.Y (50th)
R/ Buscopan dragee mg 10 No. IV
∫ p.r.n (1-4) dd tab 1
Pro: Tn.Y (50th)
R/ Paracetamol tab mg 500 No. III
∫ p.r.n (1-3) dd tab 1
Pro: Tn.Y (50th)
J. Prognosis

Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
BAB IV
PEMBAHASAN OBAT

A. Ringer laktat
Pemberian Ringer Laktat pada kasus ini bertujuan untuk menyeimbangkan cairan
dan rehidrasi tubuh yang optimal. Pada kasus amebiasis dengan muntah pasien
biasanya akan kehilangan cairan tubuh yang disebabkan karena output cairan
lebih dari biasanya
Komposisi
(mmol/100ml):Na = 130-140, K = 4-5, Ca = 2-3, Cl = 109-110, Basa = 28-30 mEq/l.
Kemasan :500, 1000 ml.
Cara Kerja Obat :
keunggulan terpenting dari larutan Ringer Laktat adalah komposisi elektrolit dan
konsentrasinya yang sangat serupa dengan yang dikandung cairan ekstraseluler.
Natrium merupakan kation utama dari plasma darah dan menentukan tekanan
osmotik. Klorida merupakan anion utama di plasma darah. Kalium merupakan
kation terpenting di intraseluler dan berfungsi untuk konduksi saraf dan otot.
Elektrolit-elektrolit ini dibutuhkan untuk menggantikan kehilangan cairan pada
dehidrasi dan syok hipovolemik termasuk syok perdarahan.
Indikasi :
Mengembalikan keseimbangan elektrolit pada keadaan dehidrasi dan syok
hipovolemik. Ringer laktat menjadi kurang disukai karena menyebabkan
hiperkloremia dan asidosis metabolik, karena akan menyebabkan penumpukan
asam laktat yang tinggi akibat metabolisme anaerob.
Kontraindikasi :
Hypernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati, asidosis laktat.
Adverse Reaction :
Edema jaringan pada penggunaan volume yang besar, biasanya paru-paru.
Peringatan dan Perhatian :
”Not for use in the treatment of lactic acidosis”. Hati-hati pemberian pada penderita
edema perifer pulmoner, heart failure/impaired renal function & pre-eklamsia.
B. Metronidazole
Obat ini merupakan suatu komponen sintetis 5-nitromidazol yang bersifat sebagai
amebisid intestinal maupun ekstraintestinal
Mekanisme kerja
Kerja obat ini direfleksikan pada toksisitas selektif terhadap mikororganisme
anaerob atau mikroaerofilik dan untuk sel anoksia ataupun hipoksia. Namun, para
ahli lain menyatakan bahwa obat ini bekerja dengan memutuskan rantai heliks DNA
sehingga mengganggu fungsi DNA mikroorganisme
Aktivitas amebisid
Obat ini selain efektif terhadap E.histolytica, juga digunakan ssebagai obat
alternatif pada pengobatan giardiasis dan balantidiasis. Obat ini juga merupakan
obat pilihan terhadap Trichomoniasis vaginalis. Selain itu, obat ini juga efektif
terhadap Gardnerella vaginalis dan infeksi yang disebabkan oleh bakteri anaerob.
Farmakokinetik
Obat ini diabsorbsi dengan baik di saluran cerna dan hampir komplit setelah
pemberian per oral. Obat ini sedikit sekali berikatan dengan protein palsma.
Konsentrasi puncak plasma dicapai dalam waktu 1 jam dan waktu paruhnya
berkisar 8 jam. Lebih kurang 20% obat ini diekskresikan melalui urine dalam
bentuk utuh dan metabolitnya
Kontraindikasi
Wanita hamil trimester I, gangguan sistem saraf pusat, ketergantungan
alkohol,pasien dengan gangguan fungsi hati dan ginjal
Efek samping
Efek samping yang paling sering terjadi adalah gejala mual dan diare, nyeri
epigastrik, muntah, dan kadang-kadang urin berwarna gelap. Obat ini menekan
aktivitas sumsum tulang. Gejala berat dapat berupa ataksia dan kejang epileptik
Sediaan
Tablet (250mg, 500mg), Injeksi (500mg/100ml)
Dosis
Amebiasis : Dewasa 3x 750 mg/hari selama 5-10 hari
(Rahardjo et al., 2004).
C. Paromomycin
Paromomycin merupakan antibiotik golongan aminoglikosida, bersifat amoebicida
secara in vitro maupun invivo. Obat ini bersifat anti bacterial terhadap organisme
normal maupun patogen dalam usus.
Mekanisme kerja
Golongan aminoglikosida ini mengintervensi sintesis protein bakteri dengan cara
mengikat ribosomal subunit 30S bakteri tersebut sehingga mengganggu fungsi
DNA bakteri tersebut.
Indikasi
Amebiasis, diantomoeba fragilis, hepatic coma, infeksi kecacingan, leishmaniasis
kutaneus
Peringatan
gangguan fungsi ginjal dan ibu hamil lebih baik tidak diberikan
Efek Samping
Diare, kram perut, mual, muntah, rasa terbakar di dada sering timbul sekitar 1 – 10
% dan sakit kepala, vertigo kadang dijumpai juga.
Dosis
oral: 3x500 mg tiap 8 jam atau 25-35 mg/KgBB/hari selama 5-10 hari (dewasa)
(Medscape, 2019)

D. Buscopan
Komposisi
Hyoscine-N-butylbromide 10 mg
Indikasi
Gangguan spastik pada saluran cerna, kandung empedu, saluran kemih dan saluran
kelamin wanita.
Kontraindiskasi
Miastenia gravis, megakolon
Perhatian
Glaukoma sudut sempit, takiaritmia, penderita obstruksi saluran kemih dan usus
kecil.
Efek samping
Xerostomia, dishidrosis, retensi urin reaksi alergi, reaksi pada kulit, dispneu (pada
pasien dengan riwayat asma bronkial atau alergi). Injeksi : gangguan akomodasi
penglihatan, nyeri pada tempat suntikan setelah pemberian IM, reaksi anafilaksis
dan syok.
Inetraksi obat
Antagonis dopamin dapat mengurangi efek obat. Efek antikolinergik intensif dari
antidepresan trisiklik, antihistamin, kuinidin, amantadin dan disopiramid.
Meningkatkan efek takikardi dari Beta-adrenergik.
Dosis
Tablet salut gula 10 mg , 4 kali sehari 1-2 tablet

E. Ranitidin
Indikasi
tukak lambung dan tukak duodenum, refluks esofagitis, dispepsia episodik kronis,
tukak akibat AINS, tukak duodenum karena H.pylori, sindrom Zollinger-Ellison,
kondisi lain dimana pengurangan asam lambung akan bermanfaat.
Peringatan:
hindarkan pada porfiria
Kontraindikasi:
penderita yang diketahui hipersensitif terhadap ranitidin
Efek Samping:
takikardi (jarang), agitasi, gangguan penglihatan, alopesia, nefritis interstisial
(jarang sekali)
Dosis:
Oral, untuk tukak peptik ringan dan tukak duodenum 150 mg 2 kali sehari atau 300
mg pada malam hari selama 4-8 minggu, sampai 6 minggu pada dispepsia episodik
kronis, dan sampai 8 minggu pada tukak akibat AINS (pada tukak duodenum 300
mg dapat diberikan dua kali sehari selama 4 minggu untuk mencapai laju
penyembuhan yang lebih tinggi); Untuk Gastroesophageal Reflux Disease
(GERD), 150 mg 2 kali sehari atau 300 mg sebelum tidur malam selama sampai 8
minggu, atau bila perlu sampai 12 minggu (sedang sampai berat, 600 mg sehari
dalam 2-4 dosis terbagi selama 12 minggu); pengobatan jangka panjang GERD,
150 mg 2 kali sehari. Sindrom Zollinger-Ellison , 150 mg 3 kali sehari; dosis
sampai 6 g sehari dalam dosis terbagi. Pengurangan asam lambung (profilaksis
aspirasi asam lambung) pada obstetrik, oral, 150 mg pada awal melahirkan,
kemudian setiap 6 jam; prosedur bedah, dengan cara injeksi intramuskuler atau
injeksi intravena lambat, 50 mg 45-60 menit sebelum induksi anestesi (injeksi
intravena diencerkan sampai 20 mL dan diberikan selama tidak kurang dari 2
menit), atau oral: 150 mg 2 jam sebelum induksi anestesi, dan juga bila mungkin
pada petang sebelumnya. Injeksi intramuskuler: 50 mg setiap 6-8 jam. Injeksi
intravena lambat: 50 mg diencerkan sampai 20 mL dan diberikan selama tidak
kurang dari 2 menit; dapat diulang setiap 6-8 jam.
(PIONAS, 2019)

F. Paracetamol
Indikasi:
nyeri ringan sampai sedang, nyeri sesudah operasi cabut gigi, pireksia
Peringatan:
gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal, ketergantungan alkohol
Interaksi:
peningkatan risiko kerusakan fungsi hati pada pengunaan bersama alkohol
Kontraindikasi:
gangguan fungsi hati berat, hipersensitivitas.
Efek Samping:
jarang terjadi efek samping, tetapi dilaporkan terjadi reaksi hipersensitivitas, ruam
kulit, kelainan darah (termasuk trombositopenia, leukopenia, neutropenia),
hipotensi juga dilaporkan pada infus, PENTING: Penggunaan jangka panjang dan
dosis berlebihan atau overdosis dapat menyebabkan kerusakan hati, lihat
pengobatan pada keadaan darurat karena keracunan.
Dosis:
Oral 0,5–1 gram setiap 4–6 jam hingga maksimum 4 gram per hari., anak–anak
umur 2 bulan 60 mg untuk pasca imunisasi pireksia, sebaliknya di bawah umur 3
bulan (hanya dengan saran dokter) 10 mg/kg bb (5 mg/kg bb jika jaundice), 3
bulan–1 tahun 60 mg–120 mg, 1-5 tahun 120–250 mg, 6–12 tahun 250– 500 mg,
dosis ini dapat diulangi setiap 4–6 jam jika diperlukan (maksimum 4 kali dosis
dalam 24 jam), infus intravena lebih dari 15 menit, dewasa dan anak–anak dengan
berat badan lebih dari 50 kg, 1 gram setiap 4–6 jam, maksimum 4 gram per hari,
dewasa dan anak–anak dengan berat badan 10 -50 kg, 15 mg/kg bb setiap 4–6 jam,
maksimum 60 mg/kg bb per hari.
(PIONAS, 2019).
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Amebiasis adalah penyakit infeksi parasit yang seringkali asimptomatik, tetapi
membutuhkan tata laksana yang segera dan tepat, yang disesuaikan dengan tingkat
keparahan infeksi. Tata laksana tersebut mencakup farmakoterapi (simptomatis dan
kausatif) dan non-farmakoterapi (seperti program diet, bed rest, maupun
pembedahan). Prognosis sangat ditentukan oleh rangkaian tata laksana

B. Saran
Pemberian obat pada pasien geriatri perlu diperhatikan juga mengenai efek samping
yang dapat terjadi pada tubuh orangtua. Penting bagi penyelenggara jasa kesehatan
untuk terus memonitor keadaan pasien secara komperhensif agar kesembuhan
pasien dapat tercapai dalam waktu yang tepat sesuai dengan perjalan penyakitnya.
Untuk itu diperlukan pengobatan yang rasional agar pasien dengan amebiasis cepat
mendapatkan pertolongan.
DAFTAR PUSTAKA

Acuna-Soto R, Maguire JH, Wirth DF. Gender distribution in asymptomatic and


invasive amebiasis. Am J Gastroenterol. 2000 May. 95(5):1277-83

Andayasari L (2011). Kajian epidemiiologi penyakit infeksi saluran pencernaan


yang disebabkan oleh amuba di Indonesia. MEDIA penelitian dan
pengembangan kesehatan, 21: 1-8.

Dhawan VK (2015). Amebiasis. http://emedicine.medscape.com/article/212029-


overview - Diakses Juli 2019

Pusat Informasi Obat Nasional (2019). http://pionas.pom.go.id/- Diakses Juli 2019

Rahardjo R et al (2004). Kumpulan kuliah farmakologi. Ed.2. Jakarta: EGC

Redaelli M, Mahmoohdzad J, Lang R, Schencking M (2013). Globalised world,


globalised diseases: A case report on an amoebiasis-associated colon
perforation. World J Clin Cases, 16; 1(2): 79–81.

Reed SL (2012). Amebiasis. Dalam: Isselbacher KJ, Wilson JD, Fauci AS, Kasper
D (2012). Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam Harrison’s. Singapura: Mc-
Graw Hill

Rosdiana Safar (2009). Parasitologi Kedokteran. Jakarta:Yrama Widya

Soewondo ES (2010). Amebiasis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,


Setiati S (2010). Buku Ajar Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi 4. Jakarta:
InternaPublishing

Stanley SL Jr. Amebiasis. Lancet. 2003 Mar 22. 361(9362):1025-34.

Stauffer W, Abd-Alla M, Ravdin JI. Prevalence and incidence of Entamoeba


histolytica infection in South Africa and Egypt. Arch Med Res. 2006 Feb.
37(2):266-9

Tanyuksell M, Petri WA (2003). Laboratory Diagnosis of Amebiasis. Clin


Microbiol Rev,16(4): 713–729

van Hal SJ, Stark DJ, Fotedar R, Marriott D, Ellis JT, Harkness JL. Amebiasis:
current status in Australia. Med J Aust. 2007 Apr 16. 186(8):412-6
Valenzuela O, Morán P, Gómez A, Cordova K, Corrales N, Cardoza J, et al.
Epidemiology of amoebic liver abscess in Mexico: the case of Sonora. Ann
Trop Med Parasitol. 2007 Sep. 101(6):533-8

Ximénez C, Morán P, Rojas L, Valadez A, Gómez A. Reassessment of the


epidemiology of amebiasis: state of the art. Infect Genet Evol. 2009 Dec.
9(6):1023-32

Anda mungkin juga menyukai