Anda di halaman 1dari 37

PRESENTASI KASUS

SEORANG PEREMPUAN 34 TAHUN DENGAN BENIGN PAROXYSIMAL


POSITIONAL VERTIGO

Disusun oleh:
Meda Mitasari
G99152011

Pembimbing :
dr. Desy Kurniawati Tandiyo, Sp.KFR

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RSUD DR. MOEWARDI
2016
BAB I
STATUS PASIEN
I. ANAMNESIS
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. SM
Umur : 34 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Menggambar batik
Alamat : Semanggi Pasar Kliwon Solo, RT/RW 005/017,
Pasar Kliwon, Surakarta, Jawa Tengah
Status : Menikah
Tanggal Masuk : 5 September 2016
Tanggal Periksa : 7 September 2016
No RM : 01074781
B. Keluhan Utama
Pusing berputar
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan konsulan bangsal dari bagian neurologi RS Dr.
Moewardi Surakarta. Pasien mengeluhkan pusing berputar yang kambuh
sejak 20 jam SMRS saat bangun tidur. Pusing dirasakan seolah lingkungan
sekitarnya berputar. Pusing berputar bertambah jika pasien menoleh ke
kanan atau kiri. Pusing juga memberat dengan perubahan posisi duduk ke
posisi tidur maupun dari posisi tidur ke posisi duduk (saat bangun tidur).
Pusing dirasakan berkurang saat istirahat. Saat pusing pasien sampai sulit
membuka mata sehingga aktivitas sehari – hari terganggu. Pusing disertai
mual muntah. Pasien juga merasakan ketika berjalan merasakan
sempoyongan. Selain itu pasien juga mengeluhkan kepalanya terasa nyeri
dan badan terasa lemas.

2
Keluhan pusing berputar sebenarnya sudah pasien rasakan sejak
awal Juni 2016 dan sudah tiga kali mengalami serangan, menurut pasien
awalnya rasa pusing tidak begitu berat dan dapat sembuh dengan minum
obat dari klinik terdekat, tetapi sekarang ini dirasakan pusing sangat
berat dan badan terasa lemas. Pasien mengatakan keluhan pusing akan
kambuh terutama saat pasien kelelahan atau saat pasien kurang tidur.
Pasien menyangkal adanya demam. Pasien juga menyangkal adanya
keluhan telinga berdenging.

D. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Keluhan Serupa : vertigo (+)
Riwayat Trauma : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes : disangkal
Riwayat Stroke : disangkal
Riwayat Tumor : disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
Riwayat Mondok : disangkal
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Keluhan Serupa : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes : disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
F. Riwayat Kebiasaan dan Gizi
Riwayat merokok : disangkal
Riwayat mengonsumsi alkohol : disangkal
Riwayat olahraga : jarang olahraga
G. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien bekerja sebagai penggambar batik, sudah berkeluarga. Saat ini
pasien mondok di RSUD Dr. Moewardi dengan menggunakan fasilitas
BPJS.

3
II. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Keadaan umum baik, GCS E4V5M6.
B. Tanda Vital
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 768x/ menit, isi cukup, irama teratur, simetris
kanan-kiri
Respirasi : 22x/menit, irama teratur
Suhu : 36,8oC
C. Kulit
Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-), hiperpigmentasi (-),
hipopigmentasi (-).
D. Kepala
Bentuk mesocephal, kedudukan kepala simetris, luka (-), rambut hitam,
tidak mudah rontok, tidak mudah dicabut, atrofi otot (-).
E. Mata
Conjunctiva pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung dan
tak langsung (+/+), pupil isokor (3mm/3mm), oedem palpebra (-/-).
F. Hidung
Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), luka (-/-), sekret (-/-).
G. Telinga
Deformitas (-/-), fistula preaulikuler (-), luka (-/-), sekret (-/-).
H. Mulut
Warna merah muda kecoklatan, kedudukan bibir simetris, bibir kering (-),
sianosis (-), lidah kotor (-), lidah simetris, lidah tremor (-), stomatitis (-),
gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-), kareies dentis (-).
I. Leher
Simetris, JVP tidak meningkat, limfonodi tidak membesar, nyeri tekan (-),
benjolan (-), atrofi otot leher (-).

4
J. Thorax
1. Bentuk dada normochest , retraksi (-), pengembangan dada simetris.
2. Cor
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus Cordis kuat angkat, teraba di SIC IV 1 cm medial
LMCS
Perkusi : Konfigurasi Jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
3. Pulmo
Inspeksi : Pengembangan dinding dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : Sonor/Sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), Suara tambahan (-/-)
K. Trunk
Inspeksi : deformitas (-), skoliosis (-), kifosis (-), lordosis(-)
Palpasi : massa (-), nyeri tekan (-), oedem (-)
Perkusi : nyeri ketok kostovertebra (-)
L. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar lien tidak teraba
M. Ekstremitas
Inspeksi Ekstremitas
Oedem Akral dingin

- -
- -

N. Status Psikiatri

5
Deskripsi Umum
1. Penampilan : Wanita, tampak sesuai umur,
perawatan diri baik
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Perilaku dan Aktivitas Motorik : Normoaktif
4. Pembicaraan : Normal
5. Sikap terhadap pemeriksa : Kooperatif, kontak mata
cukup
Afek dan Mood
Afek : Appropiate
Mood : Eutimik
Gangguan Persepsi
Halusinasi : (-)
Ilusi : (-)
Proses Pikir
Bentuk : realistik
Isi : waham (-)
Arus : koheren
Sensorium dan Kognitif
Daya konsentrasi : baik
Orientasi : Orang : baik
Waktu : baik
Tempat : baik
Daya Ingat : Jangka panjang : baik
Jangka pendek : baik
Daya Nilai : Daya nilai realitas dan sosial baik
Insight : Baik
Taraf Kepercayaan : Dapat dipercaya
O. Status Neurologis
Kesadaran : GCS E4V5M6
Fungsi Luhur : dalam batas normal

6
Meningeal Sign : (-)
Nervus Cranialis :
1)
N.II, III : pupil isokor (3mm/3mm), refleks cahaya (+/+)
2)
N.III, IV, VI : dbn
3)
N. V : refleks kornea (+/+)
4)
N.VII : dbn
5) N.VIII : nistagmus horisontal bidirectional (+/+)
6) N.XII : dbn
Fungsi Otonom : dbn
Fungsi Sensorik :
Rasa Ekseteroseptik Lengan/Tungkai
Suhu tidak dilakukan
Nyeri (+/+) (+/+)
Rabaan (+/+) (+/+)
Rasa Propioseptik Lengan /Tungkai
Rasa Getar tidak dilakukan
Rasa Posisi (+/+) (+/+)
Rasa Nyeri Tekan (+/+) (+/+)
Rasa Nyeri Tusukan (+/+) (+/+)
Fungsi Koordinasi :
1) Finger to Finger : dbn
2) Finger to Nose : dbn
3) Past Pointing test : dbn
4) Diadokinesis : dbn
5) Tapping jari tangan : dbn
6) Heel to Toe : dbn
Fungsi Collumna Vertebralis : dbn
Fungsi Motorik
Kekuatan Tonus Reflek Fisiologis Reflek Patologis
5 5 N N +2/+2 +2/+2 - -
5 5 N N +2/+2 +2/+2 - -

Range of Motion (ROM)

7
Neck Aktif Pasif
Flexi 0-70o 0-70o
Extensi 0-40o 0-40o
Lateral kanan 0-60o 0-60o
Laeral kiri 0-60o 0-60o
Rotasi ke kanan 0-90o 0-90o
Rotasi ke kiri 0-90o 0-90o

Dextra Sinistra
Ektremitas Superior
Aktif Pasif Aktif Pasif
Fleksi 0-180º 0-180º 0-180º 0-180º
Ektensi 0-60º 0-60º 0-60º 0-60º
Abduksi 0-160º 0-160º 0-160º 0-160º
Shoulder
Adduksi 0-75º 0-75º 0-75º 0-75º
Eksternal Rotasi 0-70º 0-70º 0-70º 0-70º
Internal Rotasi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º
Fleksi 0-150º 0-150º 0-150º 0-150º
Ekstensi 0º 0º 0º 0º
Elbow
Pronasi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º
Supinasi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º
Fleksi 0-80º 0-80º 0-80º 0-80º
Ekstensi 0-70º 0-70º 0-70º 0-70º
Wrist
Ulnar Deviasi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º
Radius deviasi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º
Finger MCP I Fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º
MCP II-IV Fleksi 0-90º 0-90º 0-90º 0-90º
DIP II-IV Fleksi 0-90o 0-90o 0-90o 0-90o
PIP II-IV Fleksi 0-90o 0-90o 0-90o 0-90o
o
MCP I Ekstensi 0-90 0-90o 0-90 o
0-90o

Trunk Pasif Aktif


Fleksi 0-900 0-900
Ekstensi 0-300 0-300
Rotasi 0-350 0-350

Dextra Sinistra
Ektremitas Inferior
Aktif Pasif Aktif Pasif
Hip Fleksi 0-120º 0-120º 0-120º 0-120º
Ektensi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º
Abduksi 0-45º 0-45º 0-45º 0-45º
Adduksi 0-45º 0-45º 0-45º 0-45º
Eksorotasi 0-40º 0-40º 0-40º 0-40º

8
Endorotasi 0-40º 0-40º 0-40º 0-40º
Fleksi 0-120º 0-120º 0-120º 0-120º
Knee
Ekstensi 0º 0º 0º 0º
Dorsofleksi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º
Plantarfleksi 0-30º 0-30º 0-30º 0-30º
Ankle
Eversi 0-50º 0-50º 0-50º 0-50º
Inversi 0-40º 0-40º 0-40º 0-40º

Manual Muscle Testing (MMT)


Neck
Fleksor M. Sternocleidomastoideum 5
Ekstensor M. Sternocleidomastoideum 5

Ektremitas Superior Dekstra Sinistra


M. Deltoideus anterior 5 5
Fleksor
M. Bisepss anterior 5 5
M. Deltoideu 5 5
Ekstensor
M. Teres Mayor 5 5
M. Deltoideus 5 5
Abduktor
M. Biseps 5 5
Shoulder M. Latissimus dorsi 5 5
Adduktor
M. Pectoralis mayor 5 5
M. Latissimus dorsi 5 5
Internal Rotasi
M. Pectoralis mayor 5 5
Eksternal M. Teres mayor 5 5
M. Infra supinatus 5 5
Rotasi
M. Biseps 5 5
Fleksor
M. Brachilais 5 5
Elbow Eksternsor M. Triseps 5 5
Supinator M. Supinatus 5 5
Pronator M. Pronator teres 5 5
Fleksor M. Fleksor carpi 5 5
radialis
Ekstensor M. Ekstensor 5 5
digitorum
Wrist
Abduktor M. Ekstensor carpi 5 5
radialis
Adduktor M. Ekstensor carpi 5 5
ulnaris

9
Otot Hipotenar M. Abduktor Digiti 5 5
Minimi
M. Flexor Digiti 5 5
Minimi Brevis
M. Opponens Digiti 5 5
Minimi
M. Palmaris Brevis 5 5
Otot Telapak M. Lumbricalis 5 5
M. Interossei palmares 5 5
Tangan
Finger
I-III
M. Interossei palmares 5 5
I-IV
Otot Thenar M. Opponen Pollicis 5 5
M. Abductor Pollicis 5 5
Brevis
M. Adduktor Pollicis 5 5
M. Flexor Pollicis 5 5
Brevis

Trunk
Fleksor M. Rectus Abdominis 5
Thoracic group 5
Ektensor
Lumbal group 5
Rotator M. Obliquus Eksternus Abdominis 5
Pelvic Elevation M. Quadratus Lumbaris 5

Ektremitas Inferior Dekstra Sinistra


Hip Fleksor M. Psoas mayor 5 5
Ekstensor M. Gluteus maksimus 5 5
Abduktor M. Gluteus medius 5 5
Adduktor M. Adduktor longus 5 5
Knee Fleksor Hamstring muscle 5 5
Ekstensor Quadriceps femoris 5 5
Ankle Fleksor M. Tibialis 5 5
Ekstensor M. Soleus 5 5

10
P. Status Ambulasi
Indeks Barthel
Activity Score
Feeding
0 = unable 10
5 = butuh bantuan memotong, mengoleskan mentega, dll, atau
membutuhkan modifikasi diet
10 = independen
Bathing
0 = dependen 5
5 = independen (atau menggunakan shower)
Grooming
0 = membutuhkan bantuan untuk perawatan diri 5
5 = independen dalam perawatan muka, rambut, gigi, dan bercukur
Dressing
0 = dependen 10
5 = membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan sebagian pekerjaan
sendiri
10 = independen (termasuk mengancingkan resleting, menalikan pita,
dll.
Bowel
0 = inkontinensia (atau membutuhkan enema) 10
5 = occasional accident
10 = kontinensia
Bladder
0 = inkontinensia atau memakai kateter dan tidak mampu menangano 10
sendiri
5 = occasional accident
10 = kontinensia
Toilet use
0 = dependen 10
5 = membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan beberapa hal
sendiri
10 = independen (on and off, dressing)
Transfer
0 = unable, tidak ada keseimbangan duduk 10
5 = butuh bantuan besar (satu atau dua orang, fisik), dapat duduk
10 = bantuan kecil (verbal atau fisik)
15 = independen
Mobility
0 = immobile atau < 50 yard 10
5 = wheelchair independen, > 50 yard
10 = berjalan dengan bantuan satu orang (verbal atau fisik) > 50 yard
15 = independen (tapi dapat menggunakan alat bantu apapun,
tongkat) > 50 yard

11
Stairs
0 = unable 5
5 = membutuhkan bantuan (verbal, fisik, alat bantu)
10 = independen
Total (0-100) 90
Total Skor ADL : 90
Status Ambulasi : Ketergantungan ringan
Skor Resiko Jatuh dengan Morse Fall Scale
Activity Score
1. Riwayat jatuh 0
2. Mempunyai diagnosis sekunder 15
3. Menggunakan alat bantu 0
4. Pemakaian obat-obatan tertentu 0
5. Gaya berjalan 0
6. Status mental 0
Total 15
Skor 15 (risiko rendah)
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium Darah 5 September 2016
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
SITOLOGI
Hb 8.3 g/dl 12 –15,6
Hct 29 % 33 – 45
3 
AL 9.4 10 / L 4,5 – 11,0
AT 431 103 /  L 150–450
AE 5.00 103/  L 4.10 – 5.10
KIMIA KLINIK
GDS 101 mg/dL 60-140
SGOT 15 u/l <31
SGPT 15 u/l <34
Kreatinine 0.5 mg/dl 0.6-1.1
Ureum 14 mg/dl <50
ELEKTROLIT
Natrium Darah 138 mmol/ L 136-145
Kalium Darah 3.6 mmol/ L 3.3-5.1
Ion Kalsium 1.26 mmol/ L 1.17-1.29
SEROLOGI HEPATITIS
HBsAg Rapid Nonreaktif Nonreaktif

Pemeriksaan Laboratorium Darah 6 September 2016


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
SITOLOGI

12
Hb 8.3 g/dl 12 –15,6
Hct 29 % 33 – 45
AL 6.8 103/  L 4,5 – 11,0
AT 206 103 /  L 150–450
AE 4.69 103/  L 4.10 – 5.10
KIMIA KLINIK
GDP 85 mg/dL 70-110
Glukosa 2 Jam PP 76 mg/dl 80-140
Kolesterol total 141 mg/dl 50-200
Kolesterol LDL 87 mg/dl 70-156
Kolesterol HDL 33 mg/dl 36-77
Trigliserida 125 mg/dl <150
Kesimpulan : Anemia hipokromik mikrositik susp. Ec. Defisiensi besi

Pemeriksaan Laboratorium Darah 7 September 2016


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hb 9.8 g/dl 12 –15,6
Hct 33 % 33 – 45
AL 8.2 103/  L 4,5 – 11,0
AT 368 103 /  L 150–450
AE 5.29 103/  L 4.10 – 5.10

IV. RESUME
Pasien mengeluhkan pusing berputar yang kambuh sejak 20 jam
SMRS saat bangun tidur. Pusing dirasakan seolah lingkungan sekitarnya
berputar. Pusing berputar bertambah jika pasien menoleh ke kanan atau
kiri. Pusing juga memberat dengan perubahan posisi duduk ke posisi tidur
maupun dari posisi tidur ke posisi duduk (saat bangun tidur). Pusing
dirasakan berkurang saat istirahat. Saat pusing pasien sampai sulit
membuka mata sehingga aktivitas sehari – hari terganggu. Pusing disertai
mual muntah. Pasien juga merasakan ketika berjalan merasakan
sempoyongan. Selain itu pasien juga mengeluhkan kepalanya terasa nyeri
dan badan terasa lemas.
Keluhan pusing berputar sebenarnya sudah pasien rasakan sejak awal
Juni 2016 dan sudah tiga kali mengalami serangan, menurut pasien
awalnya rasa pusing tidak begitu berat dan dapat sembuh dengan minum
obat dari klinik terdekat, tetapi sekarang ini dirasakan pusing sangat berat

13
dan badan terasa lemas. Pasien mengatakan keluhan pusing akan kambuh
terutama saat pasien kelelahan atau saat pasien kurang tidur. Pasien
menyangkal adanya demam. Pasien juga menyangkal adanya keluhan
telinga berdenging.
Dalam pemeriksaan fisik, ditemukan nistagmus horizontal N.VIII (+/
+). Dan dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia
hipokromik mikrositik.

V. ASSESSMENT
Klinis : Vertigo posisional (BPPV)
Anemia
Fungsional :
Impairment : Pusing berputar memberat dengan perubahan posisi
disertai mual muntah, dan badan lemas
Disability : Gangguan ADL (perubahan sikap dari berbaring,
menaiki tangga)
Handicap : Penurunan produktifitas pekerjaan dan sosial
VI. DAFTAR MASALAH
A. Problem Medis
Benign Paroxysimal Positional Vertigo
Anemia Hipokromik Mikrositik
B. Problem Rehabilitasi Medik
1. Fisioterapi : Pusing berputar saat perubahan posisi
kepala
2. Terapi Wicara : (-)
3. Okupasi Terapi : Keterbatasan ringan melakukan
kegiatan sehari-hari karena pusing berputar, resiko jatuh
4. Sosiomedik : Membutuhkan bantuan untuk
melakukan kegiatan sehari-hari
5. Ortesa-protesa : (-)

14
6. Psikologi : Beban pikiran karena keterbatasan
melakukan aktivitas sehari-hari
VII. PENATALAKSANAAN
A. Terapi Medikamentosa
1. Infus RL 20 tpm
2. Diet nasi biasa 1800 kkal/hari
3. Injeksi Diphenhidramin 10 mg/12jam iv
4. Injeksi Metoclopramide 10 mg/12jam iv
5. Injeksi Ranitidin 50 mg/12 jam iv
6. Flunarizin 10 mg/24 jam po
7. Amitriptilin 12.5 mg/12 jam po
8. Transfusi 2 colf PRC
B. Terapi Non medikamentosa
Memperbaiki keadaan umum pasien dengan mengatur diet pasien
Mempertahankan posisi head up 300
Mencegah resiko jatuh pada pasien dengan cara memasang
penghalang tempat tidur dan mengunci roda bed, memposisikan
tempat tidur pada posisi terendah, mendekatkan kebutuhan pasien
seperti bel, telpon, lampu, dan biarkan pintu terbuka.
Membatasi pekerjaan yang berat-berat seperti mencuci, memasak,
atau yang lain.
Memberikan edukasi kepada keluarga mengenai penyakit pasien,
dan edukasi agar membantu aktivitas pasien sehari-hari
C. Rehabilitasi Medik:
1. Fisioterapi : Brand Daroff Therapy
2. Terapi wicara: (-)
3. Okupasi terapi : teknis relaksasi dan
Jacobson relaksasi di Instalasi Rehabilitasi Medik, latihan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari
4. Sosiomedik : edukasi kepada pasien dan keluarga
mengenai penyakit pasien dan dampak kepada aktivitas sehari-
harinya.

15
5. Ortesa-Protesa : (-)
6. Psikologi : Psikoterapi suportif

VIII. IMPAIRMENT, DISABILITAS, HANDICAP


Impairment: Pusing berputar memberat dengan perubahan posisi disertai
mual muntah, dan badan lemas
Disabilitas: Gangguan ADL ketergantungan ringan dalam melaksanakan
aktivitas sehari-hari.
Handicap: Penurunan produktifitas kegiatan dan sosial dikarenakan
kekhawatiran pusing berputarnya kambuh dan semakin bertambah berat.
IX. PLANNING
Planning Edukasi :
- Penjelasan penyakit dan komplikasi yang
bisa terjadi
- Penjelasan tujuan pemeriksaan dan tindakan
yang dilakukan
- Edukasi taat melakukan terapi
Planning Monitoring
- Evaluasi hasil terapi

X. TUJUAN
Jangka Pendek
a. Perbaikan keadaan umum
b. Mencegah terjadinya komplikasi yang lebih parah pada pasien
Jangka Panjang
a. Mengurangi impairment, disabilitas, dan handicap yang dialami pasien
b. Meningkatkan ADL
c. Mengatasi masalah psikososial yang timbul akibat penyakit yang
diderita pasien
XI. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. LATAR BELAKANG
Vertigo adalah halusinasi gerakan lingkungan sekitar serasa berputar
mengelilingi pasien atau pasien serasa berputar mengelilingi lingkungan
sekitar. Vertigo tidak selalu sama dengan dizziness. Dizziness adalah sebuah
istilah non spesifik yang dapat dikategorikan ke dalan 4 subtipe tergantung
gejala yang digambarkan oleh pasien (Sura, 2010).
Terdapat empat tipe dizziness yaitu vertigo, lightheadedness,
presyncope, dan disequilibrium. Yang paling sering adalah vertigo yaitu
sekitar 54% dari keluhan dizziness yang dilaporkan pada primary care
(Lempert,2009).

17
Diagnosis banding vertigo meliputi penyebab perifer vestibular (berasal
dari system saraf perifer), dan sentral vestibular (berasal dari system saraf
pusat) dan kondisi lain. 93% pasien pada Iprimary care mengalami BPPV,
acute vestibular neuronitis, atau menire disease (Lempert,2009).
Karena pasien dengan dizziness seringkali sulit menggambarkan gejala
mereka, menetukan penyebab akan menjadi sulit. Penting untuk membuat
sebuah pendekatan menggunakan pengetahuan dari kunci anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan temuan radiologis akan membantu dokter unutk
menegakkan diagnosis dan member terapi yang tepat untu pasien (Labuguen,
2006).

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI ALAT KESEIMBANGAN TUBUH


Terdapat tiga sistem yang mengelola pengaturan keseimbangan tubuh
yaitu : sistem vestibular, sistem proprioseptik, dan sistem optik. Sistem
vestibular meliputi labirin (aparatus vestibularis), nervus vestibularis dan
vestibular sentral. Labirin terletak dalam pars petrosa os temporalis dan dibagi
atas koklea (alat pendengaran) dan aparatus vestibularis (alat keseimbangan).
Labirin yang merupakan seri saluran, terdiri atas labirin membran yang berisi
endolimfe dan labirin tulang berisi perilimfe, dimana kedua cairan ini
mempunyai komposisi kimia berbeda dan tidak saling berhubungan
(Mardjono, 2008).
Aparatus vestibularis terdiri atas satu pasang organ otolith dan tiga
pasang kanalis semisirkularis. Otolith terbagi atas sepasang kantong yang
disebut sakulus dan utrikulus. Sakulus dan utrikulus masing-masing
mempunyai suatu penebalan atau makula sebagai mekanoreseptor khusus.
Makula terdiri dari sel-sel rambut dan sel penyokong. Kanalis semisirkularis
adalah saluran labirin tulang yang berisi perilimfe, sedang duktus
semisirkularis adalah saluran labirin selaput berisi endolimfe. Ketiga duktus
semisirkularis terletak saling tegak lurus (Mardjono, 2008).
Sistem vestibular terdiri dari labirin, bagian vestibular nervus kranialis
kedelapan (yaitu,nervus vestibularis, bagian nervus vestibulokokhlearis), dan
nuklei vestibularis di bagian otak, dengan koneksi sentralnya. Labirin terletak

18
di dalam bagian petrosus os tempolaris dan terdiri dari utrikulus, sakulus, dan
tigan kanalis semisirkularis. Labirin membranosa terpisah dari labirin tulang
oleh rongga kecil yang terisi dengan perilimf; organ membranosa itu sendiri
berisi endolimf. Urtikulus, sakulus, dan bagian kanalis semisirkularis yang
melebar (ampula) mengandung organ reseptor yang berfungsi untuk
mempertahankan keseimbangan (Mardjono, 2008).

Gambar 1. Organ pendengaran dan keseimbangan (Mardjono, 2008)

Tiga kanalis semisirkularis terletak di bidang yang berbeda. Kanalis


semisirkularis lateral terletak di bidang horizontal, dan dua kanalis
semisirkularis lainnya tegak lurus dengannya dan satu sama lain. Kanalis
semisirkularis posterior sejajar dengan aksis os petrosus, sedangkan kanalis
semisirkularis anterior tegak lurus dengannya. Karena aksis os petrosus
terletak pada sudut 450 terhadap garis tengah, kanalis semisirkularis anterior
satu telinga pararel dengan kanalis semisirkularis posterior telinga sisi lainnya,
dan kebalikannya. Kedua kanalis semisirkularis lateralis terletak di bidang
yang sama (bidang horizontal).
Masing-masing dari ketiga kanalis semisirkularis berhubungan dengan
utrikulus. Setiap kanalis semisirkularis melebar pada salah satu ujungnya
untuk membentuk ampula, yang berisi organ reseptor sistem vestibular, krista

19
ampularis. Rambut-rambut sensorik krista tertanam pada salah satu ujung
massa gelatinosa yangmemanjang yang disebut kupula, yang tidak
mengandung otolit. Pergerakan endolimf di kanalis semisirkularis
menstimulasi rambut-rambut sensorik krista, yang dengan demikian,
merupakan reseptor kinetik (reseptor pergerakan) (Mardjono, 2008).

Gambar 2. Krista ampularis

Utrikulus dan sakulus mengandung organ resptor lainnya, makula


utrikularis dan makula sakularis. Makula utrikulus terletak di dasar utrikulus
paralel dengan dasar tengkorak, dan makula sakularis terletak secara vertikal
di dinding medial sakulus. Sel-sel rambut makula tertanam di membrana
gelatinosa yang mengandung kristal kalsium karbonat, disebut statolit. Kristal
tersebut ditopang oleh sel-sel penunjang (Mardjono, 2008).
Reseptor ini menghantarkan implus statik, yang menunjukkan posisi
kepala terhadap ruangan, ke batang otak. Struktur ini juga memberikan
pengaruh pada tonus otot. Implus yang berasal dari reseptor labirin
membentuk bagian aferen lengkung refleks yang berfungsi untuk
mengkoordinasikan otot ekstraokular, leher, dan tubuh sehingga keseimbangan
tetap terjaga pada setiap posisi dan setiap jenis pergerakan kepala (Mardjono,
2008).
Stasiun berikutnya untuk transmisi implus di sistem vestibular adalah
nervus vestibulokokhlearis. Ganglion vestibulare terletak di kanalis auditorius
internus; mengandung sel-sel bipolar yang prosesus perifernya menerima
input dari sel resptor di organ vestibular, dan yang proseus sentral membentuk

20
nervus vestibularis. Nervus ini bergabung dengan nervus kokhlearis, yang
kemudian melintasi kanalis auditorius internus, menmbus ruang subarakhnoid
di cerebellopontine angle, dan masuk ke batang otak di taut pontomedularis.
Serabut-serabutnya kemudian melanjutkan ke nukleus vestibularis, yang
terletak di dasar ventrikel keempat (Mardjono, 2008).

Gambar 3. Makula Statika

Kompleks nuklear vestibularis terbentuk oleh (Mardjono, 2008):


1. Nukleus vestibularis superior (Bekhterev)
2. Nukleus vestibularis lateralis (Deiters)
3. Nukleus vestibularis medialis (Schwalbe)
4. Nukleus vestibularis inferior (Roller)

21
Gambar 4. Kompleks nuklear vestibularis dan hubungan sentralnya. A.
Komponen nulkeus vestibularis. B. Hubungan sentral masing-masing komponen
nukleus vestibularis.

Serabut-serabut nervus vestibularis terpisah menjadi beberapa cabang


sebelum memasuki masing-masing kelompok sel di kompleks nuklear
vestibularis, tempat mereka membentuk relay sinaptik dengan neuron kedua.
Anatomi hubungan aferen dan eferen nuklei vestibularis saat ini belum
diketahui secara pasti. Teori yang berlaku saat ini adalah sebagai berikut :
1. Sebagian serabut yang berasal dari nervus vestibularis menghantarkan impuls
langsung ke lobus flokulonodularis serebeli (arkhiserebelum) melalui traktus
juxtarestiformis, yang terletak di dekat pedunkulus serebelaris inferior.
Kemudian, lobus flokulonodularis berproyeksi ke nukleus fastigialis dan melalui
fasikulus unsinatus (Russell), kembali ke nukleus vestibularis; beberapa serabut
kembali melalui nervus vstibularis ke sel-sel rambut labirin, tempat mereka
mengeluarkan efek regulasi inhibitorik utama. Selain itu, arkhi serebelum
mengandung serabut-serabut ordo kedua dari nukleus vestibularis superior,
medialis, dan inferior dan mengirimkan serabut eferen langsung kembali ke
kompleks nuklear vestibularis, serta ke neuron motorik medula spinalis, melalui
jaras serebeloretikularis dan retikulospinalis.
2. Traktus vestibulospinalis lateralis yang penting berasal dari nukleus vestibularis
lateralis (Deiters) dan berjalan turun pada sisi ipsilateral di dalam fasikulus
anterior ke motor neuron ɤ dan α medula spinalis, turun hingga ke level sakral.
Impuls yang dibawa di traktus vestibularis lateralis berfungsi untuk memfasilitasi
refleks ekstensor dan mempertahankan tingkat tonus otot seluruh tubuh yang
diperlukan untuk keseimbangan.
3. Serabut nukleus vestibularis medialis memasuki fasikulus longitudinalis medialis
bilateral dan berjalan turun di dalamnya ke sel-sel kornu anterius medula spinalis
servikalis, atau sebagai traktus vestibulospinalis medialis ke medula spinalis
torasika bagian atas. Serabut-serabut ini berjalan turun di bagian anterior medula
spinalis servikalis, di dekat fisura mediana anterior, sebagai fasikulus
sulkomarginalis, dan mendistribusikan dirinya ke sel-sel kornu anterior setinggi
servikal dan torakal bagian atas. Serabut ini mempengaruhi tonus otot leher

22
sebagai respon terhadap posisi kepala dan kemungkinan juga berpapartisipasi
dalam refleks yang menjaga ekuilibrium dengan gerakan lengan untuk
keseimbangan.
4. Semua nukleus vestibularis berproyeksi ke nuklei yang mempersarafi otot-otot
ekstraokular melalui fasikulus longitudinalis medialis.

Gambar 5. Hubungan sentral nervus vestibularis


Alur perjalanan informasi berkaitan dengan fungsi AKT menurut Marril
(2011) melewati tahapan sebagai berikut:
1. Tahap Transduksi.
Rangsangan gerakan diubah reseptor (R) vestibuler (hair ceel), R. visus
(rod dan cone cells) dan R proprioseptik, menjadi impuls saraf. Dari ketiga
R tersebut, R vestibuler menyumbang informasi terbesar disbanding dua R
lainnya, yaitu lebih dari 55%. Mekanisme transduksi hari cells vestibulum
berlangsung ketika rangsangan gerakan membangkitkan gelombang pada

23
endolyimf yang mengandung ion K (kalium). Gelombang endolimf akan
menekuk rambut sel (stereocilia) yang kemudian membuka/menutup kanal
ion K bila tekukan stereocilia mengarah ke kinocilia (rambut sel terbesar)
maka timbul influks ion K dari endolymf ke dalam hari cells yang
selanjutnya akan mengembangkan potensial aksi. Akibatnya kanal ion Ca
(kalsium) akan terbuka dan timbul ion masuk ke dalam hair cells. Influks
ion Ca bersama potensial aksi merangsangn pelepasan neurotransmitter
(NT) ke celah sinaps untuk menghantarkan (transmisi) impuls ke neuron
berikutnya, yaitu saraf aferen vestibularis dan selanjutnya menuju ke pusat
AKT.
2. Tahap Transmisi
Impuls yang dikirim dari haircells dihantarkan oleh saraf aferen
vestibularis menuju ke otak dengan peantara neurotransmiter glutamate
(Normal synoptic transmition dan Induction of longtem potentiation).
3. Tahap Modulasi
Modulasi dilakukan oleh beberapa struktur di otak yang diduga pusat
AKT, antara lain:
a. Inti vestibularis
b. Vestibulo-serebelum
c. Inti okulo motorius
d. Hiptotalamus
e. Formasio retikularis
f. Korteks prefrontal dan limbik
Struktur tersebut mengolah informasi yang masuk dan memberi respons
yang sesuai. Manakala rangsangan yang masuk sifatnya berbahaya maka
akan disensitisasi. Sebaliknya, bila bersifat biasa saja maka responsnya
adalah habituasi.
4. Tahap Persepsi
Tahap ini belum diketahui lokasinya.

Informasi yang berguna untuk alat keseimbangan tubuh akan ditangkap


oleh respetor vestibuler visual dan propioseptik. Dan ketiga jenis reseptor
tersebut, reseptor vestibuler yang punya kontribusi paling besar, yaitu lebih

24
dari 50% disusul kemudian reseptor visual dan yang paling kecil
konstibusinya adalah propioseptik (Lempert, 2009).
Arus informasi berlangusng intensif bila ada gerakan atau perubahan
gerakan dari kepala atau tubuh, akibat gerakan ini menimbulkan perpindahan
cairan endolimfe di labirin dan selanjutnya bulu (cilia) dari sel rambut ( hair
cells) akan menekuk. Tekukan bulu menyebabkan permeabilitas membran sel
berubah sehingga ion Kalsium menerobos masuk kedalam sel (influx). Influx
Ca akan menyebabkan terjadinya depolarisasi dan juga merangsang pelepasan
NT eksitator (dalam hal ini glutamat) yang selanjutnya akan meneruskan
impul sensoris ini lewat saraf aferen (vestibularis) ke pusat-pusat alat
keseimbangan tubuh di otak (Mardjono, 2008).
Pusat Integrasi alat keseimbangan tubuh pertama diduga di inti
vertibularis menerima impuls aferen dari propioseptik, visual dan vestibuler.
Serebellum selain merupakan pusat integrasi kedua juga diduga merupakan
pusat komparasi informasi yang sedang berlangsung dengan informasi
gerakan yang sudah lewat, oleh karena memori gerakan yang pernah dialami
masa lalu diduga tersimpan di vestibuloserebeli. Selain serebellum, informasi
tentang gerakan juga tersimpan di pusat memori prefrontal korteks serebri
(Lempert, 2009).

C. VERTIGO
1. Definisi
Vertigo adalah sebuah gejala yang mengacu pada adanya sensasi
bergerak baik gerakan rotasional maupun gerakan linear yang sebenarnya tidak
ada. Ilusi dapat berupa gerakan rotasi sejati diri pasien maupun lingkungan
sekitarnya. Kelainan ini berkaitan erat dengan gangguan sistem keseimbangan
tubuh dan sangat sering dijumpai pada instalasi gawat darurat (Wiranita et al.,
2010; Vanni et al., 2014).

2. Klasifikasi vertigo
a. Pola Serangan:

25
1. Paroksismal: epilepsy, migren, BPPV, syndrome menier, multiple
sclerosis
2. Kronis: arteriosclerosis serebri, multiple sclerosis, baciller inpresien,
tumor serebello pontin, kontusio serebri, kelainan endokrin
3. Akut: labirintitis akut, herpes zoster otikus, oklusi arteria auditiva
interna, multiple sclerosis, trauma labirin perdarahan/infark serebellum
b. Hubungan dengan telinga: tuli, tinnitus, perasaan tak enak di telinga:
serumen, OMA/OMC, labirintitis akut, sindroma menier, BPPV, tumor
serebello pontin, multiple sclerosis
c. Bentuk serangan:
1. Rotational: TIA, vertebro basilaris, perdarahan serebellum
2. Non rotational:
 Dizziness: TIA vertebra basilaris, muscle contraction headache,
hipotensi
 Gangguan keseimbangan: akustik neuroma
 Perasaan mau pingsan: ortostatik hipotensi, sindrom hiperventilasi
d. Hubungan dengan posisi/ gerakan kepala
1. Gerakan kepala: BPPV
2. Posisi kepala tertentu: hipotensi ortostatik, spondilosis servikalis, oklusi
AICA
3. Etiologi
a. Penyakit sistem vestibuler perifer
Telinga bagian luar (serumen/benda asing), telinga bagian tengah (retraksi
timpani, OMA/OMP, kolesteatom), telinga bagian dalam (labirintis akut,
sindrom meniere, BPPV), nervus vestibularis, infeksi, trauma, tumor,
nucleus vestibuler, stroke, multiple sklerosis.
b. Penyakit susunan saraf pusat
1. Hipoksia atau iskemia otak, hipertensi kronis, arteriosklerosis, anemia,
fibrilasi atrium paroksismal, sindrom sinus karotis, sinkop, hipotensi
ortostatik, dan blok jantung
2. Infeksi : meningitis/ensefalitis
3. Trauma kepala
4. Tumor
5. Migren
6. Epilepsi
c. Kelainan endokrin
1. Hipotiroid, hipoglikemia
2. Keadaan hamil/menstruasi/monopause
3. Kelainan psikiatri
4. Kelainan mata (sering karena kelainan refraksi)
5. Intoksikasi (Suratno, 2014)
4. Patofisiologi

26
Vertigo timbul jika terdapat gangguan alat keseimbangan tubuh
yang mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh (informasi
aferen) yang sebenarnya dengan apa yang dipersepsi oleh susunan saraf
pusat (pusat kesadaran). Jika ada kelainan pada lintasan informasi dari
indera keseimbangan yang dikirim ke sistem saraf pusat, atau kelainan
pada pusat keseimbangan, maka proses adaptasi yang normal tidak akan
terjadi tetapi akan menimbulkan reaksi alarm. Keadaan ini berhubungan
dengan serat-serat di formasio retikularis batang otak yang berhubungan
dengan aktivitas sistem kolinergik dan adrenergic.
Peningkatan kegawatan ini sesuai dengan peningkatan aktivitas
kolinergik dan menurunkan tanda kegawatan sesuai dengan aktivitas
sistem adrenergic (Kembuan, 2009).
Ada beberapa teori yang berusaha menerangkan kejadian tersebut :
1. Teori rangsang berlebihan (overstimulation)
Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan
menyebabkan hiperemi kanalis semisirkularis sehingga fungsinya
terganggu; akibatnya akan timbul vertigo, nistagmus, mual dan
muntah.
2. Teori konflik sensorik
Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang
berasal dari berbagai reseptor sensorik perifer yaitu antara mata/visus,
vestibulum dan proprioseptik, atau ketidakseimbangan/asimetri
masukan sensorik dari sisi kiri dan kanan. Ketidakcocokan
tersebut menimbulkan kebingungan sensorik di sentral sehingga
timbul respons yang dapat berupa nistagmus (usaha koreksi bola
mata), ataksia atau sulit berjalan (gangguan vestibuler, serebelum)
atau rasa melayang, berputar (yang berasal dari sensasi kortikal).
Berbeda dengan teori rangsang berlebihan, teori ini lebih
menekankan gangguan proses pengolahan sentral sebagai penyebab.
3. Teori neural mismatch

27
Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik;
menurut teori ini otak mempunyai memori/ingatan tentang pola
gerakan tertentu; sehingga jika pada suatu saat dirasakan gerakan
yang aneh/tidak sesuai dengan pola gerakan yang telah tersimpan,
timbul reaksi dari susunan saraf otonom. Jika pola gerakan yang
baru tersebut dilakukan berulang-ulang akan terjadi mekanisme
adaptasi sehingga berangsur-angsur tidak lagi timbul gejala.
4. Teori otonomik
Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom
sebagai usaha adaptasi gerakan/perubahan posisi, gejala klinis
timbul jika sistim simpatis terlalu dominan, sebaliknya hilang jika
sistim parasimpatis mulai berperan.
5. Teori neurohumoral
Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl)
dan teori serotonin (Lucat) yang masing-masing menekankan
peranan neurotransmiter tertentu dalam mempengaruhi sistim saraf
otonom yang menyebabkan timbulnya gejala vertigo.
6. Teori sinap
Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjau
peranan neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang
terjadi pada proses adaptasi, belajar dan daya ingat. Rangsang
gerakan menimbulkan stres yang akan memicu sekresi CRF
(corticotropin releasing factor), peningkatan kadar CRF
selanjutnya akan mengaktifkan susunan saraf simpatik yang
selanjutnya mencetuskan mekanisme adaptasi berupa meningkatnya
aktivitas sistim saraf parasimpatik. Teori ini dapat menerangkan
gejala penyerta yang sering timbul berupa pucat, berkeringat di
awal serangan vertigo akibat aktivitas simpatis, yang berkembang
menjadi gejala mual, muntah dan hipersalivasi setelah beberapa saat
akibat dominasi aktivitas susunan saraf parasimpatis (Wreksoatmojo,
2004).

28
5. Manifestasi Klinis
Berdasarkan keluhan yang sering ditemukan adalah:
a. Perasaan tidak seimbang (unsteadiness) imbalance. Hal ini disebabkan
gangguan pada sistem vestibulospinal (proprioseptik).
b. Perasaan ringan di kepala (lightheadness) disebabkan penurunan aliran
darah ke serebrum/otak.
c. Oscillopsia atau penglihatan kabur/ganda dengan mata berkedip-kedip.
Hal ini berhubungan dengan gangguan refleks vestibulo-okuler.
Penglihatan dobel/ganda ini dihubungkan dengan skew deviation pada
raksi otolith yang bersifat abnormal.
d. Perasaan melayang yang dihubungkan dengan adaptasi pada otolith
terhadap rangsang.
e. Terdapat perasaan bahwa dirinya atau sekitarnya berputar yang kurang
nyata dan sering dihubungkan dengan gangguan aliran darah sistem
vertebro-basilaris (perasaan melayang).
f. Terdapat perasaan bahwa dirinya atau sekelilingnya berputar
linier/sirkuler yang jelas terganggu dihubungkan dengan reaksi
abnormal dari kanalis vestibuler (jaras vestibuler sampai korteks
serebri) yang dinyatakan sebagai vertigo.
g. Vertigo rotasional merupakan representasi dari disfungsi kanalis semi
sirkularis horizontal.
h. Vertigo pada gerakan ke lateral dari kepala terjadi karena adanya
disfungsi utrikulus.
i. Mual, muntah, pucat akibat gangguan fungsi otonom karena stimulasi
nukleus vagus dan solitarius (Suratno, 2014).
6. Penegakan diagnosis
Evaluasi gejala dan klinik vertigo meliputi:
a. Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas
penderita saat serangan, gejala seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa
berputar, kejang, gangguan visual, dan penurunan kesadaran.
b. Pemeriksaan fisik, Hal-hal yang harus diperhatikan pada saat
pemeriksaan pasien vertigo adalah kesadaran, nervi kraniali, sistem

29
saraf motorik, sistem saraf sensorik, serta fungsi serebellum.
Pemeriksaan spesifik yang dapat membantu menentukan diagnosis
penyebab vertigo antara lain heart rate, palpasi arteri karotis,
auskultasi arteri karotis, tes romberg serta tandem gait. (Wiranita et al.,
2010). Untuk menstimulasi timbulnya vertigo perlu dilakukan tes
provokasi, antara lain (Suroto et al., 2014):
1. Pemeriksaan hipotensi ortostatik
Pemeriksaan hipotensi otostatik dilakukan dengan mengukur
tekanan darah waktu berbaring/berdiri, dimana pada hipotensi
ortostatik akan didapatkan perbedaan ± 20 mmHg dan penderita
mengalami sinkop.
2. Manuver valsava
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara penderita disuruh jongkok
selama 30 detik lalu diikuti berdiri dan mengejan sambil menutup
glotis. Dengan adanya gangguan kardiovaskular akan terjadi
sinkop.
3. Stimulasi sinus karotikus
Penekanan sinus karotikus sesisi menyebabkan sinkop bila ada
arteriosclerosis serebral difus.
4. Manipulasi leher
Menggerakkan leher atau mempertahankan ke posisi tengadah
selama 15 menit menyebabkan pusing hal ini dapat kita simpulkan
bahwa sudah ada arteriosklerosis arteri vertebralis.
5. Berjalan berputar atau berbalik mendadak akan menyebabkan
pusing dan ketidakseimbangan posisi tubuh bila terdapat gangguan
somatosensorik.
6. Tes hiperventilasi, dengan menarik napas dalam selama 3 menit
akan ,terjadi pusing akibat insufisiensi karena adanya
vasokonstriksi arteri serebral apalagi bila diperberat oleh adanya
arterosklerosis.
Vanni et al. (2014) mengusulkan sebuah alogritma pemeriksaan fisik
sederhana (Sensitivitas 100%, Spesifitas 94,3%) untuk membedakan
vertigo akut sentral dan non sentral sebagai berikut:
1. Pertama – tama, dilakukan deteksi adanya nistagmus menggunakan
kacamata Frenzel pada posisi supinasi (terlentang) setidaknya

30
setelah 5 menit istirahat. Ketika ditemukan adanya nistagmus
spontan, kehadiran nystagmus posisional dinilai dengan
menggunakan manuver Pagnini-McClure dilanjutkan dengan
manuver Dix-Hallpike. Adanya nystagmus posisional tipe
paroksismal dianggap khas sebagai BPPV.

Gambar 6. Manuver Pagnini-Mcclosure

31
Gambar 7. Manuver Dix-Hallpike

2. Sebaliknya, ketika nistagmus spontan sudah didapatkan pada posisi


supinasi dan tampak persisten, arahnya diamati: nystagmus
multidireksional, yaitu nystagmus dua arah (nistagmus kanan
didapatkan pada tatapan kearah kanan, nystagmus kiri didapatkan
pada tatapan kearah kiri) dan nistagmus vertikal murni (atas –
bawah) atau nistagmus torsional dianggap tanda – tanda vertigo
sentral
3. Ketika nistagmus yang didapatkan searah (nistagmus pada sisi
independen yang sama dengan arah tatapan dan posisi kepala)

32
dilakukan Head Impulse Test. Ketika lesi akut terjadi dalam satu
labirin, input dari sisi berlawanan tidak dilawan dan sebagai
hasilnya, ketika kepala dengan cepat bergerak ke arah sisi yang
terkena, mata akan awalnya didorong ke arah sisi itu dan, segera
setelahnya, mata korektif gerakan (korektif "saccade") kembali ke
titik acuan terlihat. Ketika korektif "saccade" didapatkan, HIT
dianggap positif dan menunjukkan vertigo akut non sentral,
sedangkan HIT negatif menunjukkan vertigo sentral.

Gambar 8. Head Impulse Test

4. Pasien yang tidak menunjukkan nistagmus baik spontan maupun


posisional untuk melakukan pemeriksaan berdiri dan cara berjalan.
Ketika didapatkan ketidakmampuan untuk mempertahankan sikap
tegak tanpa bantuan, mereka diduga memiliki penyakit sentral.

33
c. Pemeriksaan penunjang, beberapa uji klinis untuk membedakan
vertigo sentral dan non sentral telah diteliti, tetapi tidak mencapai
sensitivitas dan spesifisitas yang memadai untuk dapat digunakan
sebagai tes yang berdiri sendiri. Oleh karena itu, evaluasi klinis pasien
dengan vertigo sering ditemukan kesulitan dan jarang konklusif,
biasanya diarahkan dengan melalukan tes neuroimaging. Computed
Tomography (CT-Scan) otak merupakan tes yang paling umum
dilakukan di IGD pada pasien dengan pusing, namun pemeriksaan ini
memiliki kelemahan yaitu sensitivitas yang rendah, khususnya di fossa
posterior. Magnetic resonance imaging (MRI) otak memiliki
sensitifitas yang lebih baik, namun pemeriksaan ini tidak selalu
tersedia dan kurang praktis dalam keadaan darurat (Vanni et al., 2014)

34
Pemeriksaan penunjang lain dapat berupa pemeriksaan neuro-
oftamologi, pemeriksaan otologi, audiometri, dan BERA (Wiranita et
al., 2010).
7. Penatalaksanaan
1. Terapi simtomatik
a. Fase akut
 Entry blocker: Flunarizin
 Anti kolinergik: Sulfas atropine 0.4 mg i.m
 Simpatomimetika/monoaminergik: ephedrine 1.5mg i.v
 Golongan antihistamin: diphenhidramin 1.5mg i.m atau dimenhidrinat
50-100mg/8jam oral, betahistin dihidrokhlorida
 Sedative tranquilizer pada penderita gelisah: phenobarbital 15ml/6jam
oral, diazepam 5mg/8jam oral/injeksi, chlorpromazine 25mg/8jam
oral/injeksi
 Antidepresan: tricyclic amine
 Kombinasi obat-obat tertentu
b. Fase rehabilitasi vestibuler
 Metode Brand Daroff/Epley Manuver terutama untuk BPPV

Gambar 8. Terapi fisik Brand-Daroff

Keterangan:
1. Ambil posisi duduk.
2. Arahkan kepala ke kiri, jatuhkan badan ke posisi kanan, kemudian
balik posisi duduk.
3. Arahkan kepala ke kanan lalu jatuhkan badan ke sisi kiri. Masing-
masing gerakan lamanya sekitar satu menit, dapat dilakukan berulang
kali.
4. Untuk awal cukup 1-2 kali kiri kanan, makin lama makin bertambah

35
Gambar 9. Epley Manuver

 Latihan visual vestibuler


 Melihat gambar bergerak
 Latihan gerakan leher kepala, posisi terlentang duduk
 Latihan koordinasi kepala/tubuh vestibulo okuler
 Latihan berjalan (Gait exercise)
 Stabilisasi sikap tubuh dengan gerakan memutar tubuh (berjalan
membelok)
2. Terapi kausatif
Tergantung penyebab:
 Anti migren dengan Ca Channel Blocker pada migren batang otak
 Anti platelet agregasi pada TIA atau stroke batang otak
 Anti epilepsy untuk epilepsy lobus temporalis
 Diuretik dan diet rendah garam pada Meniere’s syndrome
 Betahistine pada Meniere’s syndrome
 SSRI pada phobic postural vertigo
 Baclofen pada Down beat/Upbeat nystagmus
3. Terapi operatif
 Spondilosis servikalis bila ada penekanan pada arteria vertebralis
 Tumor/perdarahan serebellum
 Tumor serebelo pontin
 Tumor ventrikel 4
 BPPV dengan cara posterior canal occlusion

36
DAFTAR PUSTAKA

Kembuan N (2009). Patofisiologi Vertigo. Jurnal Tumou Tou. 1(1): 33-


35.Wreksoatmodjo, BR (2004).
Labuguen, RH (2006). Initial Evaluation of Vertigo. Journal American Family
Physician. 73(2): 244-251.
Lempert T, Neuhauser H (2009). Epidemiology of Vertigo, Migraine and
Vestibular Migraine. Journal Nerology. 25: 333-338.
Mardjono M, Sidharta P (2008). Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.
Marril KA (2011). Central Vertigo.
http://emedicine.medscape.com/article/794789-clinical#a0217 – Diakses
Agustus 2016.
PERDOSSI (2012). Pedoman Tatalaksana Vertigo.
Suratno (2014). Vertigo. Dalam: Subandi, Danuaji R (eds). Neurologi untuk
Dokter Umum. Surakarta: Sebelas Maret University Press, pp: 133-140.
Suroto, Hartanto OS, Risono, Soedomo A, Suratno, Widjojo FXS, Mirawati DK,
Widhowati I, Subandi, Danuaji R (2014). Neurologi untuk Dokter Umum.
Surakarta: Sebelas Maret University Press
Vanni S, Pecci R, Casati C, Moroni F, Risso M, Ottaviani M, Nazerian P et al.
(2014). STANDING, a four-step bedside algorithm for differential diagnosis
of acute vertigo in the Emergency Department. Acta Otorhinolaryngologica
Italica. 34, pp: 419 – 426.
Wreksoatmodjo BR (2004). Vertigo: Aspek Neurologi. Cermin Dunia Kedokteran.
144: 42.
Wiranita HA et al. (2010). Hubungan antara Otitis Media Supuratif Kronis dengan
Terjadinya Vertigo di RSUD Dr. Moewadi Surakarta. Universitas Sebelas
Maret. Thesis.
Sura DJ, Newell S (2010). Vertigo- Diagnosis and management in primary care.
BJMP. 3(4); a351.

37

Anda mungkin juga menyukai