Anak lelaki dengan kejang demam kompleks, tonsilofaringitis akut, dan gizi baik
Oleh :
Irizki Tisna Setiowati
S5918080004
PROGRAM PENDIDIKAN
DOKTER SPESIALIS I ILMU KESEHATAN ANAK
0
STATUS PASIEN KASUS UJIAN INFEKSI
Oleh : Irizki Tisna Setiowati
I. IDENTITAS
Nama : An. F Nama ayah : Tn. S
Umur : 2 tahun 7 bulan Umur : 30 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki Pendidikan : SMA
Alamat : Surakarta Pekerjaan : Wiraswasta
Masuk RS : 6 Juli 2019 Nama ibu : Ny. W
No. CM : 01463901 Umur : 24 tahun
Dijadikan kasus : 10 Juli 2019 Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis kepada ibu dan ayah pasien serta data dari
rekam medik dengan izin orang tua pasien.
1. Keluhan utama: Kejang
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Tiga hari sebelum masuk rumah sakit, pasien didapatkan keluhan batuk dan
pilek. Batuk disertai dahak, setelah batuk terkadang disertai muntah disertai dahak
yang keluar, tidak didapatkan sesak napas. Batuk tidak dipengaruhi oleh cuaca. Pada
pasien tidak didapatkan demam maupun kejang. Pasien masih mau makan dan minum
dan mampu menghabiskan porsi makan seperti biasanya. Pasien tidak mengeluhkan
adanya masalah pada saat buang air besar atupun buang air kecil.
Pada sepuluh jam sebelum masuk rumah sakit, didapatkan demam pada pasien.
Demam yang dirasakan muncul mendadak tinggi. Orang tua pasein tidak mengukur
suhu tubuh anaknya karena tidak memiliki termometer di rumah. Demam dapat turun
dengan pemberian sirup penurun demam yang diberikan oleh orang tua kepada pasien.
Demam dapat turun, namun hanya bertahan satu sampai dua jam, kemudian suhu
tubuh pasein naik kembali. Pada pasien juga didapatkan batuk dan pilek. Pasien tidak
didapatkan sesak napas, keluar cairan dari telinga, nyeri saat BAK, maupun diare
3
maupun konstipasi. Pasien tidak mengeluhkan mual, muntah, nyeri sendi, dan tidak
ada kejang. Anak tampak lebih rewel dan tidak mau makan, hanya mau minum susu
sedikit. Orang tua pasien memutuskan untuk membawa pasien ke rumah sakit dr,
Moewardi karena panas pada pasien tidak turun.
Pada tiga puluh menit sebelum masuk rumah sakit, saat dalam perjalanan
menuju rumah sakit, didapatkan kejang. Kejang satu kali yang berlangsung selama ± 5
menit. Kejang seluruh tubuh dengan kedua mata melirik ke atas, kedua tangan dan
kaki kaku, kedua tangan melakukan gerakan yang sama dan berulang, serta gigi geligi
tampak seperti menggigit. Mulut tidak berbusa. Kejang dapat berhenti sendiri. Setelah
kejang pasien mampu memanggil orang tua dan menangis kuat.
Pada sekitar lima menit sebelum tiba di rumah sakit, pasien kembali kejang.
Kejang terus berlangsung sampai pada IGD RSDM. Kejang seluruh tubuh dengan
kedua mata melirik ke atas, kedua tangan dan kaki kaku, kedua tangan melakukan
gerakan yang sama dan berulang, serta gigi geligi tampak seperti menggigit. Kejang
dapat berhenti setelah pemberian stesolid suppositoria dengan dosis 5 mg saat di
Triase. Setelah kejang, pasien sadar penuh, menangis kuat, dan tampak rewel. Pada
pasien masih didapatkan demam dan keluhan batuk pilek. BAB terakhir satu hari
sebelum masuk rumah sakit. BAK terakhir ketika di rumah sebelum berangkat ke
rumah sakit.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat kejang : disangkal
Riwayat trauma kepala : disangkal
Riwayat opname : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat kejang dalam keluarga: disangkal
Riwayat alergi dalam keluarga : disangka
Kesan: tidak terdapat faktor risiko penyakit yang diturunkan.
4
5. Pohon Keluarga
II
2. Dada
Bentuk normal, simetris dalam keadaan statis dan dinamis, tidak didapatkan retraksi,
tidak didapatkan iga gambang.
Jantung
Palpasi : iktus kordis teraba di sela iga IV linea midklavikula kiri, tidak
kuat angkat
Perkusi :
3. Paru
Palpasi Fremitus raba kanan tidak Fremitus raba kiri tidak dapat
dapat dinilai dinilai
Belakang
4. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dengan dinding dada
Auskultasi : suara bising usus normal
Perkusi : timpani (+)
Palpasi : supel, turgor kulit kembali cepat, hepar dan lien tidak teraba membesar,
nyeri tekan tidak didapatkan
Kesimpulan : tidak didapatkan kelainan pada pemeriksaan abdomen
5. Inguinal
Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening regio inguinal.
Kesimpulan: dalam batas normal
6. Anogenital
Lelaki, ostium urethrae externum (OUE) tidak hiperemis, phimosis (-)
Kesimpulan: dalam batas normal
7. Anggota gerak : akral hangat, waktu pengisisan kapiler kurang dari 2 detik, pulsasi
arteri dorsalis pedis teraba kuat dan regular, edema pada extremitas tidak didapatkan,
didapatkan skar bekas vaksin BCG di lengan atas kanan.
Kesimpulan : dalam batas normal
- - 5555 5555
Nervus cranialis :
Nervus I : sulit dievaluasi
Nervus II : mengikuti gerakan benda di depan matanya
Nervus III, IV, VI : pergerakan bola mata ke semua arah dalam batas normal
Nervus V, VII, XII : wajah simetris saat menangis, dapat menelan dengan baik
Nervus VIII : menoleh ke arah sumber suara
Nervus IX : terdapat refleks muntah, uvula di tengah
Nervus X : terdapat reflek muntah,1berbicara dan menelan dengan baik
Nervus XI : kepala dapat menoleh ke kanan dan ke kiri dengan baik
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah tanggal 6 Juli 2019
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hb 11.9 g/dl 11.5 – 13.5
Hct 37 % 34 – 40
AL 10.3 ribu/ul 5.5 – 17.0
AT 227 ribu/ul 150 – 450
AE 4.11 juta/ul 3.90 – 5.30
Elektrolit
Natrium 138 mmol/L 132 – 145
Kalium 3.9 mmol/L 3.1 – 5.1
Chlorida 100 mmol/L 98 – 106
Calsium 1.16 mmol/L 1.17 – 1.29
VI. RESUME
Tiga hari sebelum masuk rumah sakit, pasien didapatkan keluhan batuk dan pilek.
Batuk disertai dahak, setelah batuk terkadang disertai muntah disertai dahak yang keluar,
tidak didapatkan sesak napas. Batuk tidak dipengaruhi oleh cuaca.
Pada sepuluh jam sebelum masuk rumah sakit, didapatkan demam pada pasien.
Demam yang dirasakan muncul mendadak tinggi. Pada pasien juga didapatkan batuk dan
pilek. Anak tampak lebih rewel dan tidak mau makan, hanya mau minum susu sedikit.
Orang tua pasien memutuskan untuk membawa pasien ke rumah sakit dr, Moewardi
karena panas pada pasien tidak turun.
Pada tiga puluh menit sebelum masuk rumah sakit, saat dalam perjalanan menuju
rumah sakit, didapatkan kejang. Kejang satu kali yang berlangsung selama ± 5 menit.
Kejang seluruh tubuh dengan kedua mata melirik ke atas, kedua tangan dan kaki kaku,
kedua tangan melakukan gerakan yang sama dan berulang, serta gigi geligi tampak
seperti menggigit. Mulut tidak berbusa. Kejang dapat berhenti sendiri. Setelah kejang
pasien mampu memanggil orang tua dan menangis kuat.
Pada sekitar lima menit sebelum rumah sakit, pasien kejang kembali. Kejang terus
berlangsung sampai pada IGD RSDM. Kejang seluruh tubuh dengan kedua mata melirik
ke atas, kedua tangan dan kaki kaku, kedua tangan melakukan gerakan yang sama dan
berulang, serta gigi geligi tampak seperti menggigit. Kejang dapat berhenti setelah
pemberian stesolid suppositoria dengan dosis 5 mg saat di Triase. Setelah kejang, pasien
sadar penuh, menangis kuat, dan tampak rewel. Pada pasien masih didapatkan demam
dan keluhan batuk pilek. BAB terakhir satu hari sebelum masuk rumah sakit. BAK
terakhir ketika di rumah sebelum berangkat ke rumah sakit.
Pada riwayat penyakit sebelumnya tidak didapatkan riwayat dengan keluhan
serupa. Riwayat trauma disangkal. Riwayat kejang pada keluarga juga disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang,
kesadaran composmentis, GCS E4V5M6, gizi kesan baik. Tanda vital didapatkan laju
nadi 143 kali/menit, laju napas 28 kali/menit, suhu tubuh 40.2°C per aksila, tekanan darah
90/60 mmHg, saturasi oksigen 99%. Pada pemeriksaan antropometri didapatkan status
gizi baik, normoweight, normoheight. Pemeriksaan kepala didapatkan bentuk normosefal,
lingkar kepala 51 cm (-2 SD < LK < 0 SD; Nellhause); mata didapatkan pupil isokor
dengan diameter 2 mm / 2 mm, refleks cahaya (+/+); pada mulut didapatkan faring
hiperemis, tonsil T2-T2, hiperemis, kripte tidak melebar dan tidak didapatkan detritus.
Pemeriksaan neurologis tidak didapatkan kelainan. Pemeriksaan refleks fisiologis antara
lain refleks biceps, triceps, patella dan achilles didapatkan hasil negatif. Pemeriksaan
refleks patologis antara lain refleks Babinski, Chaddock, Gordon, Oppenheim, Schaeffer,
dan Hoffman didapatkan hasil negatif. Pemeriksaan tanda rangsang meningeal antara lain
kaku kuduk, Kernig, Brudzinski I dan II didapatkan hasil negatif. Pasien tidak didapatkan
spastik. Kekuatan motorik pasien baik dengan skor 5 pada semua ekstremitas.
Pemeriksaan nervus kranialis yakni nervus I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X, XI dan
XII masih dalam batas normal.
Pemeriksaan laboratorium darah didapatkan hasil hemoglobin 11,9 g/dL,
hematokrit 37%, eritrosit 4.110.000/uL, leukosit 10.300/uL, dan trombosit 227.000/uL,
MCV 85.1/um, MCH 28.5 pg, MCHC 35,3 g/dl, hitung jenis leukosit dengan eosinofil
0,10%, basofil 0,10%, netrofil 85,90%, limfosit 7,10%, dan monosit 6,80%, gula darah
sewaktu 98 mg/dl, natrium 138 mmol/L, kalium 3,9 mmol/L, klorida 100 mmol/L,
kalsium 1,16 mmol/L, kesan didapatkan netrofilia, limfositopenia dan monositosis.
VII. DIAGNOSIS BANDING
1. Kejang demam kompleks DD meningitis, ensefalitis, epilepsi
2. Tonsilofaringitis akut DD rhinofaringitis akut, tonsilitis akut
3. Gizi baik
VIII. DIAGNOSIS KERJA
1. Kejang demam kompleks
2. Tonsilofaringitis akut
3. Gizi baik
IX. PERMASALAHAN
A. Kejang demam kompleks
1. Pencegahan
Pencegahan kejang berulang
2. Tatalaksana
Penanganan demam
3. Prognosis
Ad vitam : ad bonam
Ad functionam : ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
B. Tonsilofaringitis akut
1. Penegakan diagnosis etiologi
Pemeriksaan fisis telinga hidung tenggorokan secara menyeluruh untuk
mengetahui adanya sumber infeksi penyebab demam
2. Tatalaksana
Pemberian medikamentosa infeksi penyebab demam dari infeksi tonsilofaringitis
akut.
3. Prognosis
Ad vitam : ad bonam
Ad functionam : ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
4. Pencegahan
Pencegahan infeksi berulang penyebab demam pada pasien.
X. RENCANA PENGELOLAAN.
Rencana tindakan diagnosis :
Penegakan diagnosis dengan pemeriksaan kultur swab tenggorok, urinalisa, dan feses
rutin untuk mencari penyebab demam lainnya.
Rencana terapi medikamentosa :
1. Infus D5-1/4 NS 56 ml/jam.
2. Injeksi diazepam (0,3 mg/kgBB/kali) = 3,5 mg i.v bolus pelan diberikan jika pasien
kejang.
3. Injeksi ampisilin sulbaktam (50mg/kgBB/6jam) = 600mg/6 jam intravena.
4. Injeksi parasetamol (15 mg/kgBB/8jam) = 180 mg/8 jam intravena.
Asuhan nutrisi pediatrik
1. Diagnosis masalah nutrisi: status gizi pada pasien ini adalah gizi baik, normoweight,
normoheight. Pada saat ini pasien kehilangan nafsu makan, maka harus dilakukan
pengawasan terhadap cakupan kalori/hari.
2. Kebutuhan zat gizi sesuai dengan recommended dietary allowances (RDA) BB ideal
menurut BB/TB x RDA menurut height age : BB ideal 12 kg, TB aktual 91 cm, RDA
sesuai anak laki-laki usia 1-3 tahun :
• Kebutuhan kalori : 102 kkal x 12 kg = 1224 kkal/hari 1200 kkal/hari
• Kebutuhan protein : 1,8 gr x 12 kg = 21,6 gr/hari
• Kebutuhan cairan : Darrow : 1100 ml/hari
3. Cara pemberian nutrisi secara per oral
4. Jenis makanan : diet nasi lauk 600 kkal + susu 6x100 ml
5. Evaluasi respon dan toleransi terhadap pemberian diet, monitoring cakupan kalori/hari.
Rencana pemantauan
1. Pemantauan keadaan umum, kesadaran, dan tanda vital terutama suhu tubuh.
2. Pemantauan klinis infeksi
3. Pemantauan kejang berulang
4. Pemantauan keseimbangan cairan, dan diuresis setiap 8 jam.
5. Pemantauan nutrisi setiap hari yaitu monitoring apakah pasien menghabiskan diet
yang sudah diberikan, kemudian apakah ada mual, muntah, ataupun diare selama
pemberian diet tersebut.
6. Pemantauan pemberian terapi, evaluasi respon terapi dan efek samping terapi
Komunikasi, informasi dan edukasi (KIE)
1. Menjelaskan kepada keluarga pasien tentang kemungkinan penyakit yang diderita
pasien, kemungkinan penyebabnya, rencana perawatan, rencana pemeriksaan yang
akan dilakukan, rencana pengobatan serta efek samping yang mungkin timbul akibat
pengobatan, prognosis, komplikasi penyakit.
2. Menjelaskan cara pemberian diet dan pemantauan cakupan kalori selama perawatan.
3. Menjelaskan prosedur tindakan dan evaluasi yang akan dilakukan setelah anak
dipulangkan (saat kontrol).
4. Memotivasi orang tua dan pasien untuk melanjutkan terapi dan kontrol.
XI. RIWAYAT PERAWATAN DI RUMAH SAKIT
Pemeriksaan Darah lengkap, elektrolit, gula darah sewaktu : dalam batas normal
penunjang
Assessment 1. Kejang demam kompleks
2. Tonsilofaringitis akut
3. Gizi baik, normoweight, normoheight
Medikamentosa IVFD D5-1/4 NS 56 ml/jam
Ampisilin sulbaktam (5omg/kgBB/^jam) = 600mg/6jam iv
Parasetamol (15mg/kgBB/8 jam) = 180 mg/8 jam iv
Diazepam (0,3 mg/kgBB/kali) = 3,5 mg iv jika kejang
Plan
Pemeriksaan
-
penunjang
Tindakan Urinalisa
Feses rutin
Kultur swab tenggorok
Monitoring
KUVS/BCD/8 jam
Subyektif Perawatan Hari Ke -3 (9 Juli 2019)
06.00
Tidak kejang, demam masih didapatkan (+), satu kali pengukuran
pada malam hari, batuk (-), pilek (-), mual(-), muntah (-)
Keadaan umum Tampak sakit sedang, kompos mentis, GCS E4V5M6,
kesan gizi baik
Tanda vital Laju nadi: 115 x/menit, laju napas: 28 x/menit, suhu: 37°C (37-
38.6°C per aksilar), Tekanan darah 90/60 mmHg (normotensi)
Pemeriksaan Tenggorokan : faring hiperemis (-), tonsil T2-T2 hiperemis (-)
fisis Pemeriksaan fisis lain dalam batas normal
Intake Capaian kalori: kalori masuk 1000 kkal (70%)
Tindakan -
Monitoring
KUVS/8 jam
Subyektif Perawatan Hari Ke -5 (11 Juli 2019)
06.00
Tidak kejang, demam sudah tidak didapatkan, batuk (-), pilek (-),
mual(-), muntah (-), nafsu makan sudah kembali baik.
Keadaan umum Tampak sakit ringan, kompos mentis, GCS E4V5M6, kesan gizi baik
Tanda vital Laju nadi: 115 x/menit, laju napas: 28 x/menit, suhu: 37°C (37-
38.6°C per aksilar), Tekanan darah 90/60 mmHg (normotensi)
Objektif
Pemeriksaan
-
penunjang
Assessment 1. Kejang demam kompleks
2. Tonsilofaringitis akut (perbaikan)
3. Gizi baik, normoweight, normoheight
Medikamentosa IVFD D5-1/4 NS 56 ml/jam
Ampisilin sulbaktam (5omg/kgBB/^jam) = 600mg/6jam iv
Parasetamol (15mg/kgBB/8 jam) = 180 mg/8 jam iv
Plan
Tindakan BLPL
XII.PROGNOSIS
Prognosis pada pasien ini adalah :
Ad vitam : bonam
Ad functionam : bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
XII. ANALISIS KASUS
Anamnesis : :Pada 10 hari SMRS, batuk(+), pilek (+). 10 jam Kejang demam kompleks
SMRS pasien demam tinggi, nafsu makan berkurang. Kejang 2x Antikonvulsi
saat perjalanan ke RS, seluruh tubuh dengan kedua tangan dan Komplikasi:
kaki kaku, kedua mata melirik ke atas serta gigi geligi tampak Infeksi, efek samping
seperti menggigit. Kejang berhenti sendiri. Kejang tidak disertai obat, psikososial,
muntah. Setelah kejang, anak sadar penuh, dan menangis kuat. tumbuh kembang
Riwayat kejang sebelumnya (-) dan tidak didapatkan riwayat
kejang pada keluarga. Tonsilofaringitis
akut Antibiotik
Klinis : Suhu 40,2°C, faring hiperemis (+), Tonsil T2-T2
hiperemis (+). Pemeriksaan neurologis tidak didapatkan
kelainan.
19
ANALISA KASUS
Kejang merupakan suatu manifestasi klinis yang sering dijumpai di ruang gawat darurat.
Hampir 5% anak berumur di bawah 16 tahun setidaknya pernah mengalami sekali kejang
selama hidupnya.1 Kejang penting sebagai suatu tanda adanya gangguan neurologis. Keadaan
tersebut merupakan keadaan darurat. Kejang mungkin sederhana, dapat berhenti sendiri dan
sedikit memerlukan pengobatan lanjutan, atau merupakan gejala awal dari penyakit berat, atau
cenderung menjadi status epileptikus.2 Tatalaksana kejang seringkali tidak dilakukan secara
baik. Karena diagnosis yang salah atau penggunaan obat yang kurang tepat dapat
menyebabkan kejang tidak terkontrol, depresi nafas dan rawat inap yang tidak perlu. Langkah
awal dalam menghadapi kejang adalah memastikan apakah gejala saat ini kejang atau bukan.
Selanjutnya melakukan identifikasi kemungkinan penyebabnya.1,2
Diagnosis kejang ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan penunjang,
sangat penting membedakan apakah serangan yang terjadi adalah kejang atau serangan yang
menyerupai kejang.
Tabel 1. Perbedaan kejang dan bukan kejang1
Keadaan Kejang Menyerupai kejang
Onset Tiba-tiba Mungkin gradual
Lama serangan Detik/menit Beberapa menit
Kesadaran Sering terganggu Jarang terganggu
Sianosis Sering Jarang
Gerakan ekstremitas Sinkron Asinkron
Stereotipik serangan Selalu Jarang
Lidah tergigit atau luka lain Sering Sangat jarang
Gerakan abnormal bola mata Selalu Jarang
Fleksi pasif ekstremitas Gerakan tetap ada Gerakan hilang
Dapat diprovokasi Jarang Hampir selalu
Tahanan terhadap gerakan pasif Jarang Selalu
Bingung pasca serangan Hampir selalu Tidak pernah
Iktal EEG abnormal Selalu Hampir tidak pernah
Pasca iktal EEG abnormal Selalu Jarang
Kejang adalah lepasnya aktivitas listrik abnormal dan berlebihan dari jaringan
neuroglia.2 Kejang merupakan manifestasi klinis disebabkan oleh lepasnya muatan listrik
secara sinkron dan berlebihan dari sekelompok neuron di otak yang bersifat transien.
Aktivitas berlebihan tersebut dapat menyebabkan disorganisasi paroksismal pada satu atau
beberapa fungsi otak yang dapat bermanifestasi eksitasi positif (motorik, sensorik, psikis),
bermanifestasi negatif (hilangnya kesadaran, tonus otot, kemampuan bicara) atau gabungan
keduanya.2 Berbagai gangguan fungsi otak atau homeostasis dapat menyebabkan kejang.1
Gambar 1. Bagan P
enyebab Kejang2
Pada tahun 1981, ILAE membagi kejang menjadi kejang umum dan fokal (parsial)
berdasarkan tipe bangkitan (yang diobservasi secara klinis maupun hasil pemeriksaan
elektrofisiologi), apakah aktivitas kejang dimulai dari satu bagian otak, melibatkan banyak
area, atau melibatkan hedua hemisfer otak, dengan definisi sebagai berikut:2
1. Kejang umum: gejala awal kejang dan/atau gambaran EEG menunjukkan keterlibatan
kedua hemisfer.
2. Kejang parsial (fokal): gejala awal kejang dan/atau gambaran EEG menunjukkan aktivasi
pada neuron terbatas pada satu hemisfer saja.
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan sampai 5
tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38°C, dengan metode pengukuran
suhu apapun) yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial. Kejang terjadi karena kenaikan
suhu tubuh, bukan karena gangguan elektrolit atau metabolik lainnya. Bila ada riwayat kejang
tanpa demam sebelumnya maka tidak disebut sebagai kejang demam. Anak berumur antara 1-
6 bulan masih dapat mengalami kejang demam, namun jarang sekali. National Institute of
Health (1980) menggunakan batasan lebih dari 3 bulan, sedangkan Nelson dan Ellenberg
(1978), serta ILAE (1993) menggunakan batasan usia lebih dari 1 bulan. Bila anak berumur
kurang dari 6 bulan mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain,
terutama infeksi susunan saraf pusat. Bayi berusia kurang dari 1 bulan termasuk dalam kejang
neonatus.3
Kejang demam diklasifikasikan menjadi kejang demam sederhana dan kejang demam
kompleks. Kejang demam sederhana adalah kejang yang berlangsung singkat (kurang dari 15
menit), bentuk kejang umum (tonik dan atau klonik), serta tidak berulang dalam 24 jam.
Kejang demam sederhana merupakan 80% diantara seluruh kejang demam. Sedangkan kejang
demam disebut kompleks jika kejang berlangsung lama (lebih dari 15 menit atau berulang
lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar), kejang fokal (parsial satu sisi
atau kejang umum didahului kejang parsial), dan berulang (kejang 2 kali atau lebih dalam 24
jam, dan diantara 2 bangkitan kejang anak sadar).3
Namun, ada pula yang membagi kejang demam menjadi 3 subtipe yakni kejang demam sederhana,
kejang demam kompleks, dan status epileptikus demam.
Kejang demam merupakan kejang yang paling sering terjadi pada anak. Sebanyak 2%
sampai 5% anak yang berumur kurang dari 5 tahun pernah mengalami kejang disertai demam
dan kejadian terbanyak adalah pada usia 17- 23 bulan. Secara umum kejang demam memiliki
prognosis yang baik, namun sekitar 30 sampai 35% anak dengan kejang demam pertama akan
mengalami kejang demam berulang.6 Kejang demam terjadi pada 2-5% anak di Amerika
Serikat. Angka kejadian kejang demam di Indonesia sendiri mencapai 2-4 % tahun 2008 dan
terjadi pada anak antara usia 6 bulan dan 7 tahun, dan setengahnya yang terjadi antara usia 1
dan 2 tahun 80% disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan.7
Berdasarkan hasil penelitian terhadap kasus kejang demam di Bagian Ilmu Kesehatan
Anak RSUP Prof. DR. R.D. Kandou Manado periode Januari 2014 – Juni 2016, kejang
demam lebih banyak ditemukan pada usia 1 - 2 tahun, jenis kelamin laki-laki, tanpa riwayat
keluarga, suhu badan >38oC, riwayat penyakit yang mendasari infeksi saluran pernapasan
akut, tipe kejang demam kompleks, status gizi normal, riwayat berat badan lahir normal, serta
riwayat jenis persalinan normal.7 Sedangkan menurut Kimia et al, kejang demam terjadi pada
2-5% anak-anak usia 6 bulan hingga 5 tahun, dengan puncak insidensi pada usia 18 bulan dan
jarang terjadi sebelum 6 bulan atau setelah berusia 3 tahun. Tidak ada perbedaan jenis
kelamin. Insidensi kejang demam juga lebih tinggi di populasi Asia.8
Penyebab kejang demam adalah multifaktorial. Secara umum diyakini bahwa kejang
demam diakibatkan oleh kerentanan sistem saraf pusat yang sedang berkembang (SSP)
terhadap efek demam, dalam kombinasi dengan kecenderungan genetik dan faktor lingkungan
yang mendasarinya. Kejang demam adalah respons yang bergantung pada imaturitas otak
untuk demam. Selama proses maturitas, ada peningkatan rangsangan saraf yang menyebabkan
anak menjadi kejang demam. Anak-anak yang lahir prematur rentan terhadap kejang demam
dan perawatan pascanatal dengan kortikosteroid meningkatkan risiko lebih lanjut. Paparan
rumah terhadap kebisingan lalu lintas dan polusi udara adalah faktor risiko lainnya. Zat besi
sangat penting untuk fungsi neurotransmitter tertentu, seperti monoamin oksidase (MAO) dan
aldehida oksidase sehingga anemia defisiensi besi dapat menjadi predisposisi kejang demam.
Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa defisiensi zinc, vitamin B12, asam
folat, selenium, kalsium, dan magnesium juga meningkatkan risiko kejang demam. Faktor
risiko lain termasuk riwayat kejang demam, kejang demam dalam kerabat tingkat pertama,
retardasi pertumbuhan intrauterin dan keterlambatan perkembangan saraf.9
Meskipun patofisiologi kejang demam belum jelas, penelitian pada hewan percobaan
menunjukkan beberapa hal. Pertama, peningkatan suhu otak mengubah banyak fungsi saraf,
termasuk beberapa kanal ion yang sensitif terhadap suhu. Hal ini mempengaruhi terpicunya
neuron dan meningkatkan kemungkinan menghasilkan aktivitas neuron masif, yaitu kejang.
Di samping itu, proses inflamasi termasuk sekresi sitokin di perifer dan di otak juga
merupakan bagian dari mekanisme kejang. Kedua, ditemukan bahwa demam dan hipertermia
memiliki mekanisme yang sama dalam memprovokasi kejang: pirogen interleukin-1β yang
menyebabkan demam berkontribusi terhadap pembentukan demam dan sebaliknya, demam
menyebabkan sintesis sitokin ini dalam hippocampus. Selain itu, interleukin-1β telah terbukti
meningkatkan rangsangan saraf melalui glutamat dan GABA. In vivo, aksi interleukin-1β ini
meningkatkan aksi agen pemicu kejang. Pentingnya interleukin-1β endogen dalam terjadinya
kejang demam didukung oleh penelitian pada tikus yang tidak memiliki reseptor untuk
sitokin ini.
Pada kasus ini, dari anamnesis didapatkan seorang anak lelaki berusia 2 tahun 7 bulan
dengan keluhan utama kejang yang didahului demam 38,5°C disertai batuk dan pilek,
terkadang muntah setelah batuk yang disertai dengan dahak yang keluar. Kejang seluruh
tubuh dengan mata melirik ke atas dan gigi geligi tampak seperti menggigit. Kejang selama 5
menit. Tidak didapatkan muntah. Kejang berulang dalam 24 jam, yakni sebanyak dua kali.
Pasien sadar setelah kejang berhenti. Gerakan aktif, dapat berkomunikasi dengan baik, dan
tidak ditemukan adanya tanda defisit neurologis pasca kejang. Pada pasien tidak didapatkan
riwayat kejang pada keluarga. Berdasarkan gejala, ciri, dan lamanya kejang, pada pasien
masuk dalam kriteria kejang demam kompleks.
Pemeriksaan fisis kejang demam dengan menilai kesadaran: apakah terdapat penurunan
kesadaran; suhu tubuh: apakah terdapat demam; tanda rangsang meningeal: kaku kuduk,
Bruzinski I dan II, Kerniq, Laseque; pemeriksaan nervus kranial; tanda peningkatan tekanan
intrakranial : ubun ubun besar (UUB) membonjol, papil edema; tanda infeksi di luar SSP :
ISPA, OMA, ISK, dan lain-lain; pemeriksaan neurologi: tonus, motorik, reflex fisiologis,
reflex patologis.5,11,13
Tonsilofaringitis akut digunakan untuk menunjukkan semua infeksi faring dan tonsil
yang berlangsung hingga 14 hari. Tonsilofaringitis merupakan peradangan membran mukosa
faring dan struktur lain di sekitarnya. Tonsilofaringitis biasanya terjadi pada anak, meskipun
jarang terjadi pada anak di bawah usia 1 tahun. Insiden meningkat sesuai dengan
beratambahnya usia, mencapai puncak pada umur 4-7 tahun, dan berlanjut hingga dewasa.
Insiden tonsilofaringitis streptokokus tertinggi pada usia 5-18 tahun, jarang di bawah usia 3
tahun dan sebanding antara laki-laki dengan perempuan.15
Berbagai bakteri dan virus dapat menjadi penyebab tonsilofaringitis, baik sebagai
penyakit tunggal maupun sebagai bagian dari penyakit lain. Virus merupakan etiologi
terbanyak tonsilofaringitis akut, terutama pada anak berusia ≤3 tahun (pra sekolah). Virus
penyebab penyakit respiratori seperti Adenovirus, Rhinovirus, Parainfluenza virus, dapat
menjadi penyebab tonsilofaringitis. Virus Epstein Barr (EBV) dapat menyebabkan
tonsilofaringitis, tetapi disertai dengan gejala infeksimononukleosis seperti splenimegali dan
limfadenopati generalisata. Infeksi sistemik seperti infeksi virus campak, virus Rubella,
Citomegalovirus (CMV), dan berbagai virus lainnya juga dapat menyebabkan gejala
tonsilofaringitis akut. Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA) adalah penyebab
terbanyak tonsilofaringitis akut. Bakteri tersebut mencakup 15-30% dari tonsilofaringitisakut
pada anak, sedangkan pada dewasa hanya sekitar 5-10% kasus. Strptokokus grup A biasanya
bukan penyebab yang umum pada anak usia prasekolah, tetapi pernah dilaporkan terjadi di
tempat penitipan anak.15 Diagnosis ditegakkan berdasar gejala klinis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan laboratorium. Sulit untuk membedakan antara tonsilofaringitis streptokokus dan
tonsilofaringitis virus berdasar anamnesa dan pemeriksaan fisik. Baku emas penegakan
diagnosis tonsilofaringitis bakteri atau virus adalah melalui pemeriksaan kultur dari apusan
tenggorok.
Pada pasien ini pemeriksaan tanda vital menunjukkan adanya peningkatan suhu tubuh
sebelum terjadinya kejang, mencapai 38,5°C. Pemeriksaan fisis kepala dalam ukuran yang
normal (normocephal), pupil mata yang isokor dengan diameter 2mm/2mm, dan reflek cahaya
yang baik. Pemeriksaan mulut didapatkan faring hiperemis, Tonsil T2-T2, hiperemis. Pada
pasien juga dilakukan pemeriksaan neurologis, dimana reflek fisiologis, tonus otot, dan
kekuatan motorik dalam batas normal, tidak ditemukan munculnya reflek patologis ataupun
spastisitas, serta tidak didapatkan adanya abnormalitas pada pemeriksaan saraf kranialis.
Tidak didapatkan adanya tanda infeksi SSP maupun peningkatan tekanan intrakranial.
Didapatkan tanda tonsilofaringitis akut yang kemungkinan besar menjadi penyebab demam
pada pasien ini.
Pemeriksaan penunjang pada pasien kejang demam dilakukan sesuai indikasi untuk
mencari penyebab demam atau kejang. Pemeriksaan dapat meliputi darah perifer lengkap,
gula darah, elektrolit, urinalisis dan pemeriksaan feses rutin. Pemeriksaan laboratorium tidak
dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi
sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain. Setiap pengujian laboratorium lebih
lanjut harus dilakukan seperlunya sesuai dengan kondisi klinis dan tujuan diagnostik. 3,11,13
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6%-6,7%.
Berdasarkan bukti-bukti terbaru, saat ini pemeriksaan pungsi lumbal tidak dilakukan secara
rutin pada anak berusia <12 bulan yang mengalami kejang demam sederhana dengan keadaan
umum baik.3 Pungsi lumbal diindikasikan pada anak-anak usia < 18 bulan dengan tanda-tanda
klinis menunjukkan meningitis atau kondisi klinis yang berat. Pada bayi kecil seringkali sulit
untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya
tidak jelas. Jika yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.11
Indikasi pungsi lumbal (level of evidence 2, derajat rekomendasi B):3
1. Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
2. Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis
3. Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya telah
mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut dapat mengaburkan tanda dan gejala
meningitis.
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak diperlukan untuk kejang demam, kecuali
apabila bangkitan bersifat fokal. EEG hanya dilakukan pada kejang fokal untuk menentukan
adanya fokus kejang di otak yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut.3 Pada pasien ini tidak
didapatkan adanya tanda rangsang meningeal sehingga tidak dilakukan pemeriksaan ini.
Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala) tidak rutin dilakukan pada anak
dengan kejang demam sederhana (level of evidence 2, derajat rekomendasi B). Pemeriksaan
tersebut dilakukan bila terdapat indikasi, seperti kelainan neurologis fokal yang menetap,
misalnya hemiparesis atau paresis nervus kranialis. 3 Pencitraan (CT-Scan atau MRI kepala)
dilakukan hanya jika ada indikasi, misalnya: kelainan neurologi fokal yang menetap
(hemiparesis) atau kemungkinan adanya lesi struktural di otak (mikrosefali, spastisitas); serta
terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial (kesadaran menurun, muntah berulang, UUB
membonjol, paresis nervus VI, edema papil).12 Pada pasien tidak didapatkan defisit neurologis
yang nyata dan tidak didapatkan mikrosefali sehingga tidak ada indikasi untuk melakukan
MRI maupun CT scan.
Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah
lengkap, urinalisa dan feses rutin serta kultur swab tenggorok untuk mencari penyebab
demam dari kecurigaan sumber infeksi. Dari hasil pemeriksaan darah lengkap didapatkan
netrofilia, limfositopenia dan monositosis dimana menunjukkan ke arah infeksi virus dengan
kemungkinan tumpangan infeksi sekunder. Hasil urinalisa dan pemeriksaan feses rutin
didapatkan hasil dalam batas normal. Dari hasil kultur swab tenggorok didapatkan hasil no
growth.
Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada waktu pasien
datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien datang dalam keadaan kejang, obat yang
paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam intravena. Dosis diazepam
intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau dalam
waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg.
Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya
normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian
kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang
Edukasi sangat diperlukan guna mengurangi kekhawatiran orang tua pasien. Pada pasien
ini, orang tua diedukasi dan diyakinkan bahwa kejang bukanlah sebuah hal yang menakutkan.
Namun, pasien memiliki kemungkinan untuk terjadi kejang berulang dan menjadi epilepsi.
Orang tua juga perlu diberikan informasi tentang cara penanganan jika kejang berulang,
penanganan pada keadaan yang memungkinkan dapat terjadinya demam (post vaksinasi,
mulai muncul gejala infeksi saluran napas, batuk, pilek, dll), serta pemberian obat untuk
mencegah berulangnya kejang dengan tetap memperhatikan efek sampingnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lewis DW. Kejang (Serangan Paroksismal). Dalam: Marcdante KJ, Kliegman RM,
Jenson HB, Behrman RE. Nelson Textbook of Paediatric. 20th ed. Philadelphia: Elsevier;
2018. h 738-45.
2. Mangunatmaja I, Handryastuti S, Risan NA, penyunting. Epilepsi. Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2016. h 5-12.
3. Pusponegoro H, Widodo DP, Ismael S, Mangunatmadja I, Handryastuti S, penyunting.
Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam. Cetakan pertama. Jakarta: Balai Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2016. h 1- 14.
4. Seinfeld SA, Pellock JM, Kjeldsen MJ, et al. Epilepsy after Febrile Seizure: Twins
suggest genetic influence. Pediatr Neurol. 2016; 55: 14-6.
5. Children’s Health Queensland Hospital and Health Service. Febrile convulsions-
Emergency management in children. Statewide Paediatric Guideline. 2018; 1-7.
6. Yunita V, Afdal, Syarif I. Gambaran Faktor yang Berhubungan dengan Timbulnya
Kejang Demam Berulang pada Pasien yang Berobat di Poliklinik Anak RS. DR. M.
Djamil Padang Periode Januari 2010 – Desember 2012. JKA. 2016; 5(3): 1-5.
7. Kakalang JP, Masloman N, Manoppo JIC. Profil kejang demam di Bagian Ilmu
Kesehatan Anak RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari 2014 – Juni
2016. Jurnal e-Clinic (eCl). 2016; 4(2): 1-6.
8. Kimia A, Bachura RG, Torresb A, Harper MB. Febrile seizures: emergency medicine
perspective. Curr Opin Pediatr. 2015; 27: 292–7.
9. Leung AKC, Hon KL, Leung TNH. Febrile seizures: an overview. Drugs in Context.
2018; 7: 1-12.
10. Chung S. Febrile Seizures. Korean J Pediatr. 2014; 57(9): 384-95.
11. Siqueira LFM. Febrile Seizures: Update on Diagnosis and Management. Rev Assoc Med
Bras. 2010; 56(4): 489-92.
12. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, et al, penyunting.
Kejang Demam. Dalam: Pedoman Pelayanan Medis. Edisi pertama. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2010. h 150-3.
13. Murata S, Okasora K, Tanabe T, Ogino M, Yamazaki S, et al.Acetaminophen and Febrile
Seizure Recurrences During the Same Fever Episode. Pediatrics. 2018; 142(5): 1-9.
14. Soetomenggolo TS. Kejang Demam. Dalam: Soetomenggolo TS, Ismael S, penyunting.
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 1999. h 244-51.
15. Nastiti, NR. Tonsilofaringitis Akut. Dalam: Buku Ajar Respirologi Anak. Nastiti, NR,
Bambang S, Dermawan, BS penyunting. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2018. h 266-72.
16. Emalia D, Yulia I, Yuwono. Ketepatan Skoring McIsaac untuk Mengidentifikasi Faringitis Group
A Streptococcus pada Anak. Sari Pediatri, Vol. 15, No. 5; 2014. h 302-6.
23
27
28
29