Anda di halaman 1dari 38

REFERAT

SINDROM NEFROTIK

Pembimbing:
dr. J Sarwono, Sp.PD, KGH

Disusun oleh:
Rossy Ardhia Pramesti 41191396100005
Ikram Syahrin Akbar 11161030000075

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT karena atas hidayah dan petunjuk-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah referat dengan tema “Sindrom Nefrotik”. Makalah ini disusun untuk
memenuhi salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik di stase Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit
Umum Pusat Fatmawati Jakarta. Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang
telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini, terutama kepada dr. J
Sarwono, Sp.PD, KGH selaku pembimbing referat ini. Penulis menyadari makalah ini masih
terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun guna penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah referat ini dapat bermanfaat dan
membuka wawasan pembaca.

Jakarta, 13 Juni 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………..…2

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………… 3

BAB I ………………………………………………………………………………………... 4

BAB II ……………………………………………………………………………………….. 5

BAB III …………………………………………………………………………………….. 37

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………. 38

3
BAB I

PENDAHULUAN

Ginjal adalah organ yang bertanggung jawab untuk mengontrol kadar elektrolit,
keseimbangan asam-basa, dan tekanan darah. Unit dasar ginjal adalah nefron yang terdiri dari
glomerulus untuk memfiltrasi darah dan tubulus yang selanjutnya memproses filtrat. Glomerulus
adalah sekelompok kapiler yang dikelilingi oleh kapsul Bowman yang membentuk struktur dan
dikenal sebagai sel ginjal. Ada tiga jenis sel yang membentuk glomerulus yaitu sel endotel, sel
epitel (Podosit) dan sel mesangial. Perubahan sel-sel ini menyebabkan proses patologis yang dapat
bermanifestasi sebagai hematuria asimptomatik, proteinuria, glomerulonefritis, sindrom nefritik
atau sindrom nefrotik. Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada anak-anak dibanding dewasa dan
jenis kelamin laki-laki memiliki prevalensi dua kali lipat lebih banyak daripada wanita. Sebanyak
80-90% kasus sindrom nefrotik pada orang dewasa merupakan sindrom nefrotik primer (idiopatik)
Insiden sindrom nefrotik pada dewasa sebanyak tiga kasus baru dari 100.000 tiap tahunnya. 1,2

Sindrom nefrotik merupakan tanda patognomonik penyakit glomerulus yang ditandai


dengan edema anasarca, proteinuria masif >3,5 gram/hari, hypoalbuminemia <3,5 gram/hari,
hiperkolestrolemia, dan lipiduria. Tidak semua pasien dengan proteinuria >3,5 gram/hari akan
tampil dengan gejala komplit, beberapa diantaranya memiliki kadar albumin yang normal dan
tanpa edema. Umumnya fungsi ginjal pada pasien sindrom nefrotik adalah normal, tetapi pada
sebagian kasus dapat berkembang menjadi gagal ginjal yang progresif. Sindrom nefrotik memiliki
berbagai efek metabolik yang dapat berdampak pada kesehatan individu secara umum. Beberapa
episode dari sindrom nefrotik adalah self-limited, dan sebagian diantaranya merespon baik
terhadap terapi spesifik (misal steroid pada glomerulonefritis lesi minimal), namun untuk sebagian
besar pasien berkembang menjadi kondisi kronik. Jika tidak terdiagnosa atau tidak diterapi,
sindrom ini dapat berakibat kerusakan pada glomeruli hingga menyebabkan penurunan laju filtrasi
glomerulus hingga berakhir gagal ginjal. 1,3,4

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Ginjal

Ginjal dewasa pada umumnya memiliki ukuran panjang 10–12 cm, lebar 5-7 cm, dan tebal

3 cm. Bentuknya seperti biji kacang dengan berat sekitar 135-150 gram. Ginjal terletak di

retroperitoneal dalam rongga abdomen, di samping kanan dan kiri kolumna vertebralis dengan

masing-masing setinggi vertebra T12 di superior sampai L3 di inferior. Ginjal kanan terletak

lebih rendah dari pada ginjal kiri karena posisinya terhadap hepar. Ginjal dikelilingi tiga

lapisan jaringan, yaitu:5,6

1. Kapsul ginjal (lapisan dalam) : terdiri atas jaringan ikat transparan yang menyambung

dengan bagian luar lapisan ureter dan berfungsi sebagai penghalang terhadap trauma serta

membantu mempertahankan bentuk ginjal

2. Kapsul adiposa (lapisan tengah) : terdiri atas jaringan lemak yang mengelilingi kapsul

ginjal dan berfungsi untuk melindungi ginjal dari trauma serta mempertahankan dengan

kuat agar ginjal tetap berada di rongga perut

3. Fascia renal (lapisan superfisial) : terdiri dari lapisan tipis jaringan ikat padat tak beraturan

yang berfungsi untuk mempertahankan posisi ginjal di dinding perut

Bagian depan ginjal terdapat dua region berbeda, yaitu korteks ginjal (daerah bagian

dangkal, daerah merah terang) dan medula ginjal (daerah bagian dalam yang lebih gelap, coklat

kemerahan). Medula ginjal terdiri dari beberapa piramida ginjal yang berbentuk kerucut.

Terdapat papilla ginjal dengan bagian basis setiap piramida menghadap korteks ginjal, dan

puncaknya yang disebut papila ginjal menghadap ke arah hilus ginjal. Korteks ginjal memiliki

area bertekstur halus yang memanjang dari kapsul ginjal ke dasar piramida ginjal serta ke

5
dalam ruang di antara mereka (zona kortikal dan zona juxtamedullary). Bagian dari korteks

ginjal yang memanjang antara piramida ginjal disebut kolumna ginjal. Korteks ginjal dan

piramida medula ginjal inilah yang merupakan parenkim atau bagian fungsional dari ginjal. Di

dalam parenkim terdapat unit fungsional yang disebut nefron. Filtrat yang dibentuk oleh

saluran nefron mengalir ke papiler besar saluran dan meluas melalui papila ginjal. Saluran

papiler ini mengalir ke struktur mirip gelas yang disebut kaliks minor dan kaliks mayor. Setiap

ginjal memiliki 8 hingga 18 kaliks minor dan 2 hingga 3 kaliks mayor. Setelah filtrat memasuki

kaliks, maka akan menjadi urin karena tidak ada reabsorpsi lebih lanjut dan akan dialirkan ke

pelvis ginjal, lalu keluar melalui ureter ke kandung kemih.

Gambar 1. Anatomi Ginjal 5

6
2.2.Fisiologi Ginjal

Ginjal merupakan organ yang krusial bagi kehidupan manusia. Dapat berfungsi untuk

keadaan sistemik di tubuh seperti menjaga keseimbangan asam basa, mengatur tekanan darah

dan lain sebagainya dengan penjelasan lebih rinci di bawah ini: 5,6

a. Mempertahankan keseimbangan air (H2O) dalam tubuh

b. Mempertahankan osmolaritas cairan tubuh dalam keadaan seimbang terutama dalam

regulasi keseimbangan H2O. Hal ini dimaksudkan untuk mecegah fluks-fluks

osmotik yang dapat masuk atau keluar sel dan dapat menyebabkan pembengkakan

atau penciutan sel

c. Mengatur keseimbangan dan jumlah sebagian besar ion CES seperti natrium, klorida,

kalium, hydrogen, bikarbonat, fosfat, sulfat, magnesium

d. Membantu dalam pertahan keseimbangan asam-basa tubuh dengan penyesuain

pengeluaran ion hydrogen dan bikarbonat di urin

e. Mempertahankan plasma dengan volume yang sesuai. Hal ini berpengaruh pada

tekanan darah dan diregulasi dengan mengendalikan ion Na dan ion H+

f. Mengeksresikan produk-produk sisa metabolisme seperti urea, asam urat dan

kreatinin

g. Mengeluarkan senyawa asing misal obat-obatan, aditif makanan, pestisida dan bahan

eksogen non-nutritif yang masuk ke dalam tubuh

h. Menghasilkan eritropoetin yang merupakan hormon perangsang produksi sel darah

i. Menghasilkan renin yang memicu reaksi dalam penghematan garam oleh ginjal

j. Mengubah vitamin D ke bentuk aktif

7
Nefron merupakan bagian fungsional dari ginjal. Setiap ginjal setidaknya terdiri

dari sekitar satu juta nefron yang disokong oleh jaringan ikat. Fungsi utama ginjal adalah

menghasilkan urine dan juga mempertahankan stabilitas komposisi dari cairan

ekstraseluler dan nefron dapat membantu ginjal dalam membentuk urine. Nefron dibagi

menjadi dua komponen, yaitu komponen vaskular dan komponen tubular.6

2.2.1. Komponen Vaskuler Nefron

Glomerulus adalah komponen vaskuler nefron yang paling dominan. Glomerulus

merupakan suatu berkas kapiler yang berbentuk bola tempat filtrasi atau penyaringan

sebagian air dan zat terlarut dari darah yang melewatinya. Kemudian cairan yang telah

tersaring mengalir melalui komponen tubular nefron.6

Ketika masuk ke ginjal, arteri renalis bercabang dan membentuk banyak pembuluh

halus atau yang dinamakan arteriole aferen. Setiap nefron mempunyai satu arteriole aferen

yang mengeluarkan darah ke glomerulus dan kemudian kapiler-kapiler dari glomerulus

menyatu dan membentuk arteriol lain yang disebut arterioe eferen. Kemudian arteriol

eferen bercabang kembali dan membentuk kapiler yang disebut dengan kapiler peritubulus,

kapiler ini memasok darah ke jaringan ginjal dan berperan penting dalam pertukaran antara

sistem tubulus dan darah sewaktu perubahan cairan filtrasi menjadi urin. Selanjutnya

kapiler ini bersatu dan membentuk venula yang akhirnya kembali ke Vena renalis. 6

2.2.2. Komponen Tubular Nefron

Komponen tubular nefron adalah suatu tabung berongga berisi cairan yang

dibentuk oleh satu lapisan sel epitel. Komponen tubulus bermula dari kapsula Bowman

yang melingkupi glomerulus dan mengumpulkan cairan dari kapiler glomerulus. Setelah

8
dari kapsula Bowman, cairan yang difiltrasi masuk ke tubulus proksimal yang letaknya di

bagian korteks ginjal, berlanjut ke ansa henle yang masuk dari korteks ke dalam medula.

Sel-sel pada tubulus dan vaskular dititik ini mengalami spesialisasi dan membentuk

apparatus juxtaglomerular, yaitu suatu struktur yang terletak disamping glomerulus dan

berfungsi untuk mengatur fungsi ginjal. Selanjutnya setelah dari aparatus juxtaglomerular,

tubulus kembali membentuk tubulus lain yang dinamakan tubulus distal, dimana seluruh

bagiannya terletak di korteks ginjal, dan berlanjut ke duktus atau tubulus koligentes.

Kemudian duktus koligentes mengalirkan lagi kebagian yang selanjutnya. 6

Gambar 2. Nefron Ginjal 5,6

9
Fungsi dari glomerulus adalah menyaring plasma yang bebas protein ke dalam komponen

tubulus nefron selanjutnya di kapsula Bowman akan mengumpulkan filtrat tersebut dan

dilanjutkan ke tubulus proksimal untuk direabsorpsi dan mensekresi bahan-bahan tertentu.

Selanjutnya baru masuk ke ansa henle yang dapat membentuk gradien osmotik di medula ginjal

dan setelahnya lanjut ke tubulus distal dan duktus koligentes untuk mereabsorbsi beragam ion

natrium dan H2O serta sekresi kalium dan hidrogen. Pada duktus koligentes cairan yang

dihasilkan adalah urine yang selanjutnya masuk ke pelvis ginjal.6

2.3. Glomerulus

Kelainan yang mengenai glomerulus mencakup kategori penyakit ginjal yang penting

secara klinis. Glomerulus terdiri atas jaringan kapiler yang beranastomosis dan diselubungi

oleh dua lapis epitel, yaitu epitel visera (podosit) yang merupakan bagian intrinsik dinding

kapiler dan epitel parietal yang melapisi rongga bowman, tempat berkumpulnya ultafitrasi

plasma yang pertama. Dinding kapiler glomerulus terdiri dari struktur berikut: 6,7

a. Dinding kapiler glomerulus yang terdiri dari lapisan tipis sel endotel gepeng. Lapisan ini

mempunyai jendela/fenestrasi besar yang menyebabkan sangat permeabel terhadap air dan

zat terlarut dibandingkan bagian kapiler lain di tubuh

b. Membran basal merupakan lapisan gelatinosa aseluler atau tidak mengandung sel yang

terbentuk dari kolagen dan glikoprotein. Kolagen (Sebagian besar tipe IV) berfungsi

sebagai kekuatan struktural dan glikoprotein menghambat protein plasma yang kecil untuk

difiltrasi. Protein plasma besar tidak dapat melewati pori kapiler, tetapi pori masih dapat

melewatkan albumin yang merupakan protein plasma kecil, namun, glikoprotein menolak

albumin karena bermuatan negatif. Pada bagian ini terdapat lapisan tengah yang tebal,

padat elektron, lamina densa, lapisan perifer yang lebih tipis, dan elektrolusen. Oleh sebab

10
itu, protein plasma hampir tidak ada dalam filtrat atau bisa dikatakan kurang dari 1%

molekul albumin yang dapat lolos ke kapsula Bowman.

c. Podosit, yaitu sel yang mirip seperti gurita dan mengelilingi glomerulus. Setiap podosit

memiliki banyak foot process (tonjolan) yang memanjang dan saling terjalin dengan foot

process podosit sekitarnya. Pada bagian ini terdapat celah sempit yang dikenal dengan

celah filtrasi yang membentuk jalur tempat cairan meninggalkan kapiler glomerulus

menuju lumen kapsula Bowman. Selanjutnya dalam celah ini juga ada yang disebut

diafragma (slit diaphragm), yang tersusun atas nefrin, merupakan glikoprotein

transmembran yang berikatan di tengah dari celah diafragma dan berfungsi si dalam

mempertahankan permeabilitas selektif filtrasi glomerulus

d. Sel mesangial, bagian yang terletak di antara kapiler. Sel ini berasal dari mesenkim, bersifat

kontraktil, mampu berproliferasi, mampu membentuk kolagen, dan komponen matriks

lainnya, serta mensekresi sejumlah mediator yang aktif secara biologis

Agar dapat di filtrasi, ada beberapa barrier yang harus dilewati, yaitu pori pada sel-sel

endotel kapiler glomerulus, membran basal dan celah filtrasi (slit filtration) diantara foot

process podosit.6,7

Gambar 3. Lapisan Membran Glomerulus6

11
Gambar 4. Gambaran Skematis Glomerulus Normal 7

2.3.1. Mekanisme Kerusakan Glomerulus

Glomerulus mempunyai peran penting dalam nefron. Namun beberapa hal dapat

menjadi penyebab rusaknya glomerulus dan mekanismenya adalah sebagai berikut:7

2.3.1.1. Sirkulasi Kompleks Imun yang Menyebabkan Glomerulonefritis

Sebab dari sirkulasi imun ini dapat terjadi karena faktor endogen seperti pada kasus

glomerulonefritis dengan lupus eritematosa sistemik dan bisa juga disebabkan oleh faktor

eksogen seperti pada infeksi bakteri (streptokokus), virus seperti hepatitis b, parasit

contohnya plasmodium falciparum malaria, spiroketal seperti treponema pallidum.

12
Faktor-faktor tersebut dapat membentuk kompleks antigen antibodi insitu atau pada

sirkulasi dan mereka terperangkap di dalam glomerulus, yang mana bisa menyebabkan

cedera, atau pada bagian yang besar dapat mengaktifkan sistem komplemen dan merekrut

leukosit. Cedera glomerulus juga dapat disebabkan oleh keterkaitan dari reseptor FC pada

lekosit independen dari aktivasi komplemen. Bagaimanapun berdasarkan mekanisme, lesi

glomerulus biasanya terbagi menjadi infiltrasi leukosit yang menyebabkan eksudasi dan

proliferasi yang bervariasi dari endotel, sel mesangial, dan epitel parietal.

Pada pemeriksaan mikroskop immunofluorescence terdapat deposit dari

imunoglobulin dan komplemen. Deposit ini sebenarnya dapat terdegradasi atau

difagositosis oleh leukosit dan sel mesangial yang kemudian inflamasinya dapat berganti.

Hal tersebut dapat terjadi jika paparan dari antigen yang singkat hidupnya dan terbatas

seperti pada kasus post streptokokus atau infeksi akut yang berhubungan dengan

glomerulonephritis, namun jika exposure atau pajanan nya bertahan dalam waktu yang

lama dan menyebabkan adanya suatu siklus dari kompleks imun, deposisi dan cedera akan

menyebabkan glomerulonefritis kronik.

2.3.1.2. Deposisi Antibodi yang Bereaksi In Situ pada Glomerulus

Hal ini dapat terjadi karena faktor antigen intrinsik (Fixed Antigen) maupun antigen

yang menempel pada glomerulus (planted antigen). Antigen intrinsik adalah antigen yang

berasal dari glomerulus atau memang bagian dari glomerulus itu sendiri, sedangkan antigen

yang menempel pada glomerulus adalah antigen yang tidak berasal dari glomerulus, seperti

kompleks nukleosomal pada pasien SLE, infeksi bakterial yang berupa endostroptosin,

yang merupakan protein yang diekskresikan oleh grup a streptokokus. Pada pemeriksaan

imunofluoresensi mikroskop elektron antigen yang menempel pada glomerulus akan

13
tampak seperti corak imunoglobulin yang granuler. Mekanisme setelah adanya reaktan

imun di glomerulus adalah aktivasi komplemen dan rekrutmen leukosit. Aktivasi ini dapat

menyebabkan munculnya kemotaktik (biasanya C5a) yang akan merekrut neutrofil dan

monosit. Netrofil akan merilis protease yang akan mendegradasi GBM dan melepaskan

radikal bebas yang akan menyebabkan kerusakan pada sel. Namun, mekanisme yang

dihasilkan oleh netrofil ini hanya terjadi pada kondisi tertentu. Mekanisme lain itu bisa

dengan mekanisme complement dependent yang yang melibatkan C5b-C9 dalam

membentuk membrane attack complex (MAC) pada GBM serta mengekskresikan berbagai

mediator inflamasi dari sel mesangial dan epitel yang akan menyebabkan kerusakan sel.

Antibodi anti sel glomerular juga dapat menimbulkan kerusakan pada glomerulus.

Selain itu yang dapat menyebabkan kerusakan glomerulus juga dapat disebabkan

oleh kerusakan podosit berupa pemendekan kaki podosit dan hilangnya nefron. Kerusakan

podosit disebabkan oleh antibodi anti podosit, toksin, atau sitokin, dan hal lain lagi yang

belum diketahui secara pasti. Biasanya bentuk kerusakan pada wasit itu adalah

pemendekan dan penipisan kaki podosit (effacement of foot process), retraksi dan lepasnya

sel dari GBM. Hal ini bisa diindikasikan oleh keadaan klinis berupa adanya proteinuria.

Selain itu rusaknya celah diafragma juga berperan dalam timbulnya proteinuria.

Hilangnya nefron dapat menurunkan laju fitrasi glomerulus (LFG) sebanyak 30

sampai 50% dari keadaan normalnya. Hal ini bermakna secara klinis dengan tanda

proteinuria dan ginjal nya terdapat glomerulosklerosis. Sklerosis yang terjadi merupakan

progresif berlanjut secara bertahap. Jadi tidak semua nefron terkena dan dapat

menimbulkan reaksi adaptif pada nefron yang masih normal. Nefron yang masih normal

tersebut akan mengalami hipertrofi untuk mempertahankan fungsi ginjal. Namun hipertrofi

14
tersebut dapat menyebabkan perubahan aliran darah sehingga terjadi hipertensi kapiler dan

perubahan ini lama-kelamaan akan menyebabkan proses maladaptif yang menyebabkan

kerusakan pada endotel dan podosit lebih lanjut, disertai adanya peningkatan permeabilitas

glomelurus terhadap protein, akumulasi protein dan lipid di matriks mesangial. Kemudian

kapiler mengalami kerusakan dan terjadi peningkatan deposisi matriks mesangial dan

protein plasma yang juga menyebabkan terjadinya sklerosis pada glomelurus, baik

segmental maupun total. Proses skelrosis ini akan menyebabkan nefron mengalami

kerusakan atau hilang.

Gambar 5. Mekanisme Kerusakan Glomerulus 7

2.4. Sindrom Nefrotik

2.4.1. Definisi

Sindrom nefrotik (SN) adalah tanda patognomonik penyakit glomerulus yang

ditandai dengan edema anasarca, proteinuria masif >3,5 gram/hari, hypoalbuminemia <3,5

gram/hari, hiperkolestrolemia, dan lipiduria. Namun, tidak semua pasien dengan

proteinuria >3,5 gram/hari akan tampil dengan gejala komplit, beberapa diantaranya

15
memiliki kadar albumin yang normal dan tanpa edema. Umumnya fungsi ginjal pada

pasien sindrom nefrotik adalah normal, tetapi pada sebagian kasus dapat berkembang

menjadi gagal ginjal yang progresif.3

2.4.2. Epidemiologi

Sindrom nefrotik lebih umum diderita oleh anak-anak dibandingkan dewasa. Pada

orang dewasa, insidensi kasus ini sebanyak 3 per 100, dengan Nefropati Membranosa lebih

sering terjadi pada kulit putih dan Glomerulosklerosis Fokal (GSFS) lebih sering terjadi

pada ras kulit hitam.Insidensi Sedangkan sindrom nefrotik pada anak untuk catatan

Amerika Serikat dan Inggris adalah sebanyak 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun

dan prevalensi 12-16 kasus per 100.000 anak. Pada negara berkembang jumlahnya lebih

tinggi, di Indonesia prevalensinya 6 per 100.000 anak per tahun pada rentang usia kurang

dari 14 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Pada anak, sebagian

besar SN idiopatik adalah kasus Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM) sebesar

80%, lainnya ada Glomerulosklerosis Fokal Segmental (GSFS) sebanyak 7-8%,

Glomerulnefritis Membranoproliferatif (GNMP) sebanyak 4-6%, Mesangial Proliferatif

Difus (MPD) sebanyak 2-5%, dan nefropati membranose (GNM) sebanyak 1,5%. Pada

pengobatan skortikosteroid insial, Sebagian besar SNKM (94%) mengalami remisi total

(responsive), sedangkan pada GSFS sekitar 80-85% tidak responsif (resisten steroid). Pada

kasus dewasa, 80-90% kasus disebabkan oleh idiopatik. Prognosis jangka panjang SNKM

selama pengamatan 20 tahun menunjukkan hanya 4-5% menjadi gagal ginjal terminal,

sedangkan pada GSFS 25% menjadi gagal ginjal terminal dalam 5 tahun, serta pada

Sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi ginjal. 2,8

16
2.4.3. Etiologi

Penyebab sindrom nefrotik (SN) beragam tergantung usia dari penderitanya. Untuk

kasus anak biasanya disebabkan oleh kasus kongenital maupun idiopatik. Sedangkan pada

dewasa, kasus SN biasanya didahului oleh penyakit sistemik yang mempunyai dampak

panjang kepada ginjal seperti diabetes mellitus, keganasan, amilodisis, Sistemik Lupus

Eritematosa (SLE).7

Tabel 1. Klasifikasi Etiologi Penyakit Glomerulus 7

2.4.4. Klasifikasi

2.4.4.1. Sindrom Nefrotik Primer

a. Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM) 2,3,7

SN tipe ini banyak diderita oleh anak-anak mencapai 70-90%, namun pada

dewasa hanya berkisar 10-15%. Pada dewasa dapat terjadi sebagai suatu kondisi

idiopatik yang berhubungan dengan pemakaian OAINS atau efek paraneoplastik dari

17
suatu keganasan (paling sering Limfoma Hodgkin). Pada pemeriksaan mikroskop

cahaya tampak glomerulus normal atau ditemukan adanya proliferasi ringan dari sel

mesangial. Pada pemeriksaan imunofluoresens tidak menunjukkan adanya deposit

kompleks imun, namun kadang ditemukan sedikit Ig M pada mesangial. Temuan khas

pada pemeriksaan mikroskop electron didapatkan adanya penghapusan foot process

dari podosit. Patogenesis dari SN tipe ini masih banyak yang belum diketahui namun

proteinurianya kemungkinan disebabkan oleh adanya sitokin berupa T-cell derived

yang menyebabkan kerusakan pada podosit serta penghapusan atau effacement dari

foot process podosit juga dapat menimbulkan perubahan muatan pada kapiler.

Pada tipe ini biasanya didapatkan manifestasi klinis berupa edema anasarca

yang muncul tiba-tiba dengan sedimen urin aselular. Fungsi ginjal kemungkinan masih

bisa normal pada anak dan protein yang keluar pada urin biasanya berupa proteinuria

selektif yaitu albumin. Rata-rata eksresi protein pada urin yaitu sebanyak 10 gr/24 Jam

dengan hipoalbumenia berat. Dapat pula ditemukan hipertensi (30% anak, 50%

dewasa), penurunan fungsi ginjal (<5% anak, 30% pada dewasa) dan hematuria

mikroskopis (20% anak dan 33% pada orang dewasa).

Gambar 6. Gambaran mikroskop cahaya dan skema SNKM7


18
b. Glomerulosklerosis Fokal Segmental (GSFS) 2,3,7

GSFS merupakan lesi tersering yang ditemukan pada SN dewasa yang idiopatik.

Di Amerika Serikat sebanyak 35% dari keseluruhan kasus dan 50% diantaranya adalah

kulit hitam. Glomerulus mengalami peningkatan matriks mesangial, obliterasi kapiler,

disertai adanya deposisi hialin dan busa makrofag (lipid-laden). Pada mikroskop

immunofluoresen sering didapatkan adanya immunoglobulin non spesifik, biasanya Ig

M dan meningkatkan faktor terjadinya hyalinosis. Pada mikroskop electron didapatkan

pemendekan podosit. Dengan seiring berjalan waktu, penyakit ini dapat berprogres

menyebabkan global sclerosis pada glomerulus, atrofi tubular, dan fibrosis interstitial.

Selain itu, terdapat risiko kolaps glomerulus disertai hyperplasia sel epitel. Penyebab

GSFS dapat disebabkan oleh sindrom idiopati (GSFS primer) atau dapat disebabkan

juga oleh GSFS sekunder, seperti infeksi HIV, nefropati refluks, bekas lesi glomerulus

sebelumnya, reaksi idiosinkrasi akibat OAINS bahkan obesitas berat.

Gambar 7. Gambaran GSFS di bawah mikroskop7

19
c. Nefropati Membranosa 2,3,7

NM ini merupakan penyebab SN primer tersering pada orang dewasa. Terutama

pada rentang usia 30 dan 50 tahun kasus ini mencapai angka tertinggi dengan laki-laki

lebih dominan dibanding perempuan dengan rasio 2:1. Gambaran yang nampak di

mikroskop elektron adalah adanya lesi disertai penebalan membran basalis dengan

minimal atau tidak ditemukannya proliferasi atau infiltrasi selular, serta terdapat

deposit disepanjang membran basal glomerulus. Lesi ini dapat disebabkan juga oleh

penyakit seperti hepatitis B antigenemia, autoimun, tiroiditis, keganasan, dan

pemakaian beberapa obat-obatan seperti preparat emas, kaptopril, penisilamin, dan

OAINS.

Karakteristik SN ini adalah adanya deposit immunoglobulin di subepitelial

sepanjang GBM. Pada awal penyakit, glomerulus dapat terlihat normal di mikroskop

cahaya, namun biasanya dapat juga menunjukkan adanya penebalan difusi dinding

kapiler. Sebagian besar kasus ini merupakan akibat dari masalah primer dengan reaksi

autoantibodi terhadap antigen podosit, 80% kasus primer pada NM ini merupakan

reaksi autoantibodi terhadap phospholipase A2 receptor (PLAR2) yang diekspresikan

oleh podosit yang membentuk kompleks imun in situ. Kasus lain disebabkan oleh

thrombospondin type-1 domain containing 7A (THSD7A) yang diekspresikan oleh

podosit juga. Adapun sebab sekunder dapat terjadi karena keganasan, infeksi, peyakit

autoimun, paparan zat kimia seperti merkuri dan konsumsi obat-obatan.

20
Gambar 8. Gambaran mikroskop cahaya dan skema NM7

d. Membranoproliferatif Glomerulonefritis 7

MPGN ditandai dengan adanya perubahan GBM dan mesangium secara

histologis, serta danya proliferasi sel glomerulus. Kasus SN akibat MPGN sekitar 5-

10% idiopatik, baik pada anak dan orang dewasa. Beberapa pasien hanya memiliki

keluhan hematuria atau proteinuria. Terdapat dua jenis MPGN, namun sekitar 80%

kasus merupakan MPGN tipe I, yang disebabkan akibat adanya deposit kompleks

imun. Pada penelitian didapatkan bahwa prevalensi yang menunjukan remisi komplit

tidak mencapai 60 pasien, 40% berkembang jadi gagal ginjal, 30% mengalami

insufisiensi ginjal, dan 30% mengalami sindrom nefrotik tanpa gagall ginjal. MPGN

tipe I juga berhubungan dengan penyakit lain (MPGN sekunder), seperti SLE,

hepatitis B dan C, infeksi.

Gambar 9. Gambaran mikroskop cahaya dan skema MPGN 7

21
2.4.4.2.Sindrom Nefrotik Sekunder

10-20% kasus SN pada dewasa dapat terjadi karena sebab sekunder. Sindrom

Nefrotik Sekunder paling sering terjadi disebabkan oleh keadaan diabetes mellitus yang

berkomplikasi menjadi nefropati diabetikum.2

Tabel 2. Penyebab Sindrom Nefrotik Sekunder 2

Amiloidosis 3

Amiloidosis terjadi pada 4-17% kasus dengan SN idiopatik dan kejadiannya

meningkat pada populasi usia lanjut. Terdapat dua tipe amiloidosis, yaitu amiloid

primer yang pada prosesnya terjadi diskrasia light chain, dimana fragmen dari light

chain monoclonal dapat membentuk fibril amyloid, dan amyloid sekunder, dimana

plasma amiloid A pada reaksi akut membentuk fibril amyloid. Amiolid ini biasa terjadi

akibat proses infeksi yang kronik seperti tuberkulosis, rheumatoid artritis, osteomielitis

dan lain-lain.

22
2.4.5. Respon Klinik

Klasifikasi sindrom nefrotik dapat diklasifikasikan berdasarkan respon terapi dengan

obat kortikosteroid. Diantaranya 80-90% anak diatas 1 tahun menunjukan respon terapi dengan

steroid dalam waktu 4 minggu (Steroid-sensitive nephrotic syndrome - SSNS) dan 10-20%

tidak merespon terapi dengan steroid dengan istilah steroid-resistance nephrotic syndrome

(SRNS). Adapun batasan definisi dalam pengklasifikasian respon klinik adalah sebagai

berikut: 8,9

a. Remisi : Protenuria (-) / trace (proteinuria < 4mg/m2LPB/jam) 3 hari berturut-turut

dalam satu minggu

b. Relaps : Proteinuria ≥ 2+ (proteinuria > 40mg/m2LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam

sau minggu

c. Relaps Jarang : relaps kurang dari 2x dalam 6 bulan pertama setelah respon awal atau

< 4x dalam periode setahun

d. Relaps Sering (frequent relaps) : relaps > 2x dalam 6 bulan pertama setelah respon

awal atau ≥ 4x dalam setahun pengamatan.

e. Dependen Steroid : relaps 2x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan

(alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan.

f. Resisten Steroid : tidak terjadi remisi pada pengobatan predison dosis penuh

2mh/kgBB/hari selama 4 minggu

g. Sensitive Steroid : terjadi remisi pada pengobatan prednisone dosis penug

2mg/kgBB/hari selama 4 minggu.

23
2.4.6. Patogenesis dan Patofisiologi

a. Kelainan podosit dan barrier filtrasi glomerulus

Podosit adalah sel yang berdiferensiasi tinggi dan berfungsi untuk menyokong serta

menjaga mekanisme filtrasi membran basalis glomerulus. Sel ini terdiri dari badan sel yang

mengekstensikan banyak FP yang membungkus di sekitaran kapiler glomerulus. FP ini

terinterdigitasi dengan sel khusus yaitu sel junction yang disebut slit diafragma yang

kemudian membentuk filter glomerulus. Kompleks sitoskeleton berfungsi untuk

mendukung atau menyokong podosit serta berperan dalam membuat perubahan tekanan

hidrostatis.

Podosit mempunyai batasan kemampuan untuk terbelah dan beregenerasi sehingga

rentan terkena cedera. Podosit yang rusak dapat menyebabkan kerusakan glomerulus yang

ireversibel. Penipisan podosit lebih dari 20% dapat meningkatkan risiko

glomerulosklerosis dan kehilangan fungsi ginjal yang progresif. Selain itu, mutasi genetik

pada struktur podosit dan fungsinya menyebabkan disfungsi ginjal, hal tersebut sering

disebabkan akibat masalah kongenital atau resisten steroid. Salah satu kelainan genetik

yang diketahui meliputi gen pengkode slit diaphragm protein nephrin (NPHS1) dan

podosin (NPHS2). Mutasi juga dapat terjadi pada gen pengkode sitoskeleton aktin podosit,

meliputi CD2AP dan INF2. Sedangkan protein nuklir podosit (WT1), protein membran

basalis glomerulus (LAMBS2), dan protein mitokondria (COQ2) berperan dalam

kerusakan filtrasi glomerulus yang menyebabkan bentuk yang lebih parah ah atau

podositipati progresif.9

24
b. Disregulasi imun

Hal ini dapat terjadi akibat terapi dari sindrom nefrotik, yaitu kortikosteroid.

Hipotesis dari disregulasi imun ini didasari oleh observasi klinis kejadian sindrom nefrotik

pasca paparan alergen. Hodgkin's dan sel T limfoma lainnya dapat memicu sindrom

nefrotik, dan kemoterapi dapat menginduksi remisi.9

c. Faktor sirkulasi sistemik

Faktor-faktor mobilitas sirkulasi dapat berperan dalam patogenesis sindrom

nefrotik sebagai bukti adanya kejadian rekurensi proteinuria setelah transplantasi ginjal.

Vascular permeability factor (VPF) dan haemopexin berperan dalam perubahan

permeabilitas glomerulus. Hemopexin mengubah sitoskeleton podosit, kemudian

meningkatkan difusi albumin melewati membran glomerulus.Pada GSFS, faktor sirkulasi

tambahan meliputi cardiotrophin-like cytokine 1 (CLC-1) yang diisolasi dari serum pasien

dengan GSFS aktif menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap albumin

juga menurunkan ekspresi nefrin. Lebih lagi ada soluble urokinase-type plasminogen

activator receptor (suPAR) yang perlu mendapatkan perhatian lebih. Hal ini dapat

menyebabkan deformitas sitoskeleton podosit.9

d. Proteinuria

Proteinuria terbagi dalam tiga jenis yaitu glomerular, tubular, dan overflow. Pada

sindrom nefrotik proteinurianya adalah glomerular. Proteinuria jenis ini disebabkan oleh

peningkatan filtrasi makro molekul melewati dinding kapiler glomerulus. Seringnya

diakibatkan oleh kelainan podosit glomerular, dapat berupa retraksi dari foot process dan

atau reorganisasi dari slit diaphragm. Sistem filtrasi glomerulus terdiri dari tiga bagian,

yakni lapisan endotel, membran basal glomelurus serta lapisan sel epitel atau podosit. Pada

25
kondisi yang tidak normal, podosit dapat mengalami berbagai perubahan bentuk seperti

foot process effacement, pseudocyst formation, hipertrofi, terpisah dari membran basal

glomelurus serta apoptosis. Foot process effacement merupakan kasus tersering pada

sindrom nefrotik dan penyakit glomerulus lainnya yang terdapat proteinuria.3

Pada keadaan normal membran basal glomerulus mempunyai mekanisme inhibisi

dalam mencegah kebocoran protein mekanisme pertama itu berdasarkan ukuran molekul

dan yang kedua muatan listrik titik pada sindrom nefrotik kedua mekanisme tersebut dapat

terganggu. Proteinuria sendiri dibedakan menjadi dua yakni selektif dan non selektif hal

tersebut didasarkan pada ukuran molekul yang lewat pada proses filtrasi dan keluar melalui

urine. Proteinuria selektif adalah keluarnya protein yang berukuran kecil seperti albumin.

Sedangkan proteinuria non selektif adalah keluarnya molekul besar protein melalui urine

seperti imunoglobulin. Pada sindrom nefrotik yang disebabkan oleh glomerulonefritis lesi

minimal dapat ditemukan proteinuria selektif. Hal tersebut dapat disebabkan oleh

berkurangnya kandungan heparan sulfat proteoglikan yang menyebabkan muatan negatif

pada membran basal glomerulus menurun dan albumin dapat lolos ke urine. Pada

pemeriksaan mikroskop elektron memperlihatkan fusi FP sel epitel viseral glomerulus dan

terlepas sel dari struktur membran basal glomerulus.3

Pada GSFS patogenesis utama yang terjadi adalah kerusakan atau kehilangan

podosit. Cedera pada porosnya terjadi melalui 4 mekanisme, yaitu dengan perubahan

komponen dari strukturnya atau slit diaphragm, disregulasi sitoskeleton aktin, perubahan

pada membran basal glomelurus atau interaksinya dengan podosit, atau mungkin

perubahan muatan listrik negatif pada permukaan podosit. Rusaknya podosit akan memicu

apoptosis dan terlepasnya podosit dari membran basalis glomerulus. Selanjutnya hal

26
tersebut dapat merusak lebih lanjut melalui ekskresi sitokin stres mekanik, dan polaritas

yang semakin menurun sehingga membentuk sklerosis dan jaringan parut pada glomerulus.

Pada nefropati membranosa, rusaknya struktur membran basalis glomerulus terjadi akibat

adanya kompleks imun pada subepitel. Hal tersebut dapat meningkatkan permeabilitas

membran basal glomerulus walaupun mekanismenya masih belum diketahui secara pasti.3

e. Hipoalbuminemia

Kadar albumin plasma diperoleh dari asupan protein, sintesis albumin hati dan

kehilangan protein melalui urin. Pada sindrom nefrotik kekurangan albumin pada darah

dapat disebabkan oleh proteinuria masif akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Sintesis

albumin yang yang terjadi di hati dapat mempertahankan tekanan onkotik plasma namun

pada keadaan proteinuria pasif hal tersebut tidaklah efektif. Pada keadaan normal hati bisa

memproduksi atau mensintesis albumin total hingga 25 gram per hari. Namun masih belum

jelas alasan terkait hati tidak mampu meningkatkan sintesis albumin secara adekuat untuk

menormalkan kadar albumin plasma dengan proteinuria 4 sampai 6 gram per hari. Diet

tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati, tetapi dapat mendorong

peningkatan ekskresi albumin melalui urin. Hipoalbuminemia bisa juga terjadi akibat

meningkatnya reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus proksimal ginjal. 3

f. Edema

Pada sindrom nefrotik edema dapat terjadi dengan penjelasan teori underfill dan

overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan kunci pada

kejadian edema sindrom nefrotik. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan

onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskuler ke jaringan interstitium yang

menyebabkan penumpukan cairan dan kemudian terjadi edema. Akibat menurunnya

27
tekanan osmotik plasma dan bergesernya cairan plasma dapat terjadi hipovolemia. Akibat

hal tersebut ginjal melakukan kompensasi dengan merangsang sistem renin angiotensin

yang menyebabkan retensi natrium dan air di tubulus ginjal bagian distal. Mekanisme ini

memang menyebabkan perbaikan volume intravaskular tapi di lain hal dapat menyebabkan

eksaserbasi hipoalbuminemia dan lebih lanjut lagi menyebabkan edema. 3

Gambar 10. Teori underfill dan overfill pada edema

Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek utama pada ginjal.

terjadinya defek primer pada kemampuan nefron distal untuk mengekskresikan natrium

pada keadaan proteinuria masif. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan volume darah,

penekanan sistem renin angiotensin dan vasopresin, serta kecenderungan terjadinya

hipertensi dibandingkan hipotensi. Meningkatnya volume darah yang disebabkan tekanan

onkotik rendah memicu transudasi cairan ke ruang ekstraseluler yang menyebabkan edema.

28
Menurunnya laju filtrasi glomerulus atau LFG dapat menambah retensi natrium dan

membuat cairan tertarik sehingga terjadi edema. Kedua mekanisme tersebut dapat terjadi

pada pasien sindrom nefrotik secara bersamaan. Faktor seperti konsumsi natrium, efek

diuretik, atau terapi steroid derajat gangguan fungsi ginjal, jenis lesi glomerulus, dan

keterkaitan penyakit jantung atau hati dapat menentukan mekanisme mana yang lebih

berperan dalam hal ini.7

Gambar 11. Patofisiologi dan Manifestasi Sindrom Nefrotik 10

29
2.4.7. Diagnosis

Dalam mendiagnosis SN perlu diperhatikan pasien bisa datang dengan adanya

edema/bengkak. Edema biasanya berawal pada area dengan tekanan hidrostatik intravaskular

yang tinggi, seperti pada ekstremitas bawah (kedua kaki dan ankle), hal ini merupakan hal

tersering pada gejala dari SN. Bila lebih berat, edema juga bisa terjadi pada area dengan

tekanan hidrostatik intravaskular yang rendah, seperti periorbital dan skrotum, dan bila

bengkak hebat bisa menyebabkan edema anasarca. Keluhan lainnya adalah oliguria, BAK

berbusa, dipsnea saat beraktivitas, kelelahan, gejala infeksi, nafsu makan menurun dan diare.

Pada SNKM kadang ditemukan hematuria, hipertensi dan lebih sering dengan peningkatan

kadar ureum dan kreatinin darah yang temporer. Gejala lain juga dapat muncul sebagai

manifestasi penyakit penyebab SN sekunder, seperti diabetes mellitus, riwayat keganasan,

riwayat obat-obatan, atau amyloidosis. 2,8,11

Tabel 3. Kriteria diagnosis Sindrom Nefrotik 2

Selain melihat kriteria diagnosis, terdapat bebera pemeriksaan penunjang lain yang

harus dilakukan, yaitu urinalisis untuk melihat kemungkinan Infeksi saluran kemih, protein

urin kuantitatif, (menggunakan urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin pertama

30
pagi hari, dan pemeriksaan darah seperti darah tepi lengkap, albumin, kolesterol serum,

ureum, kreatinin, klirens kreatinin, adar komplemen C3 (curiga SLE) ditambah C4, ANA

(anti nuclear antibody) dan anti ds-DNA

Gambar 12. Algoritma diagnosis Sindrom Nefrotik 2

31
2.4.8. Diagnosis Banding

Sindrom Nefrotik mempunyai diagnosis banding seperti edema dan asites akibat

penyakit hati, malnutrisi, gagal jantung kongesti, glomerulonephritis akut, lupus sistemik

eritematosus. 4,11

2.4.9. Tatalaksana
Penatalaksaan umum pada awal pajanan dengan menifestasi klinis SN, sebaiknya
pasien di rawat inap di RS dengan tujuan mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan
diet, tatalaksana edema, serta memulai pengobatan steroid. Sebelum memulai pengobatan
steroid, baiknya melakukan pemeriksaan-pemeriksaan awal terlebih dahulu, seperti: 8

a. Pengukuran BB dan TB
b. Pengukuran tekanan darah
c. Pemeriksaan fisik untuk melihat faktor sekunder seperti SLE, purpura Henoch-
Schonlein dan lainnya.
d. Mencari fokus infeksi. Setiap infeksi harus ditangani terlebih dahulu sebelum terapi
steroid dimulai
e. Melakukan tes mantoux, hal ini dimaksudkan jika hasil positif diberikan profilaksis
INH selama 6 bulan bersama dengan steroid, jika ditemukan tuberculosis maka
diberikan terapi OAT

Perawatan di RS pada SN relaps hanya dilakukan jika terdapat edema anasarka


yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal atau syok. Bila
edema tidak parah maka dapat beraktivitas biasa.Tatalaksana dibagi menjadi dua, yaitu
tatalaksana non farmakologi dan tatalaksana farmakologi. Untuk tatalaksana non
farmakologi yang dapat disarankan untuk pasien adalah: 8,11

a. Istirahat
b. Diet protein 0,8 gram/kgBB ideal/hari serta melihat ekskresi protein dalam urin per
24 jam. Bila fungsi ginjal menurun, diet protein disesuaikan hingga 0,6 gram/kgBB
ideal/hari. Diet tinggi protein dilarang karena akan memperberat beban glomerulus
dalam mengeluarkan zat sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan

32
sclerosis glomerulus. Pada anak, diet normal protein dengan sesuai RDA
(recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 gr/kgBB/hari.
c. Diet rendah garam (1-2 gr/hari) hanya ketika mengalami edema
d. Diet rendah kolestrol <600 mg/hari
e. Hindari kebiasaan sosial yang dapat memperburuk Kesehatan, seperti merokok

Terapi farmakologi yang dapat disarankan untuk pasien adalah: 8,11

a. Pengobatan edema dengan diuretik

Pembatasan caran dianjurkan pada kondisis edema berat. Pada pasien anak,
dapat diberikan furosemide 1-3 mg/kgbb/hari, dan bila perlu dibarengi dengan
pemebrian spironolakton (antagonis aldosterone, diuretic hemat kalium) 2-4
mg/kgbb/hari. Namun sebelum memberikan diuretic perlu diperhatikan ada tidaknya
hypovolemia. Pemakaian lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit
kalium dan natrium darah. Bila terapi gagal (edema refrakter), dapat terjadi karena
hypovolemia/hypoalbuminemia berat, dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan
dosis 1g/kgbb selama 2-4 jamuntuk menarik cairandari jaringan interstitial dan
kemudian diberikan furosemide IV 1-2 mg/kgbb.jika terdapat asites apat dilakukan
pungsi asites berulang.

Gambar 13. Algoritma pemberian diuretik pada anak8

33
b. Pengobatan proteinuria, hipertensi, hipokalsemia dan dislipidemia (bila terdapat
keluhan)
c. Pengobatan kausal seperti dengan inisiasi pemberian steroid

Gambar 14. Algoritma pemberian steroid pada sindrom nefrotik 8

2.4.10. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi akibat sindrom nefrotik adalah: 3

a. Keseimbangan nitrogen menjadi negative, yang diukur melalui kadar albumin plasma.
Biasanya terdpat wasting illness yang tertutupi oleh edema dan baru tampak setelah
edema menghilang. Diet tinggi protein tidak memperbaiki metabolism karena
peningkatan tekanan glomerulus menyebabkan kehilangan protein dalam urin yang
semakin banyak, sedangkan diet rendah protein dapat mengurangi kecepatan sintesis
albumin

34
b. Hiperlipidemia dan lipiduria, yang merupakan akibat penurunan tekanan onkotik
plasma dan menstimulasi transkripsi gen apoprotein B di hepar, serta penurunan
aktivitas LCAT (lechitin cholesterol acyltransferase) yang berfungsi membentuk HDL
c. Hipokalemia, yang disebabkan vitamin D yang terikat protein akan diekskresikan
melalui urin sehingga dapat mengganggu metabolism kalsium
d. Hiperkoagulasi, yang disebabkan oleh terganggunya kaskade koagulasi dan
peningkatan agregasi platelet. Keadaan hiperkoagulasi dapat diperberat dengan adanya
imobilisasi, infeksi, dan hemokonsentrasi

Gambar 15. Gambaran gangguan koagulasi pada sindrom nefrotik3

35
2.4.11. Prognosis

Prognosis SN tipe lesi minimal umumnya baik, pada anak yang diterapi steroid

jangka pendek dapat mengalami remisi hingga 95%, begitupula pada dewasa setelah

diterapi steroid dengan jangka waktu yang lebih lama maka dapat terjadi remisi sebesar

85%. Hanya pada pasien yang tidak merespon dengan terapi steroid perlu dilakukan biopsi

untuk mengetahui jenis lesinya. Relaps lebih jarang ditemukan pada kasus dewasa namun

lebih sering resisten terhadap terapi, dan bila resisten maka dipikirkan bahwa tipe lesi yang

terjadi adalah fokal segmental glomerulosklerosis. Hanya sekitar 20% pasien yang

menderita fokal glomerulosklerosis mengalami remisi dari proteinuria, 10% membaik tapi

masih mengalami proteinuria. Stadium akhir penyakit ginjal berkembang pada 25-20%

pasien dengan fokal segmental glomerulosklerosis dalam waktu 5 tahun, dan 30-40%

dalam 10 tahun.11,12

Prognosis pasien dengan perubahan nefropati minimal memiliki risiko kambuh.

Tetapi prognosis jangka panjang untuk fungsi ginjal baik dengan sedikit risiko gagal ginjal.

Respon pasien yang buruk terhadap steroid dapat menyebabkan hasil yang buruk. Pada

sindroma nefrotik sekunder, mortalitas dan morbiditas tergantung pada penyakit

primernya. Pada nefropati diabetic tingkat proteinuria berhubungan langsung dengan

mortalitas. Pada amyloidosis primer memiliki prognosis buruk, meskipun dengan

kemoterapi. Pada amyloidosis sekunder, penyakit penyebab diikuti oleh

perbaikan amyloidosis dan sindroma nefrotik yang mengikuti. 11

36
BAB III

SIMPULAN

Sindrom nefrotik (SN) adalah tanda patognomonik penyakit glomerulus yang

ditandai dengan edema anasarca, proteinuria masif >3,5 gram/hari, hypoalbuminemia <3,5

gram/hari, hiperkolestrolemia, dan lipiduria. Namun, tidak semua pasien dengan

proteinuria >3,5 gram/hari akan tampil dengan gejala komplit, beberapa diantaranya

memiliki kadar albumin yang normal dan tanpa edema. Umumnya fungsi ginjal pada

pasien sindrom nefrotik adalah normal, tetapi pada sebagian kasus dapat berkembang

menjadi gagal ginjal yang progresif. Sindrom nefrotik lebih umum diderita oleh anak-anak

dibandingkan dewasa. Klasifikasi sindrom nefrotik dapat dibedakan berdasar etiologi dann

berdasarkan respon terhadap pengobatan steroid. Sindrom nefrotik membutuhkan

penatalaksanaan segera, baik tatalaksana non farmakologi ataupun tatalaksana farmokologi

untuk menghindari risiko komplikasi. Setiap penyebab sindrom nefrotik memiliki tingkat

prognosis yang berbeda.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Alalwan Y, Alawainati M. Nephrotic syndrome in an adult patient with minimal change


disease. J Case Rep Images Med 2017;3:33–38
2. Kodner C. Diagnosis and management of Nephrotic syndrome in adults. Am Fam
Physician. 2016; 93(6) : 479-85
3. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam edisi keenam jilid 1. Jakarta : Interna Publishing. 2014.
4. Lydia A, Marbun MB. Sindrom Nefrotik. Dalam: ed. Sudoyo, Ari W dkk. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi VI. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2014. h. 2080-7
5. Tortora, GJ, Derrickson, B. Principles of Anatomy & Physiology 15th Edition. United
States of America: John Wiley & Sons. 2017
6. Sherwood, L. Human Physiology : from cells to systems 9th edition. USA : Cengange
Learning. 2016.
7. Kumar V, Abbas AK, Aster JC, Robbins SL, editor. Robbins basic pathology 10 th ed.
Philadelphia: Elsevier. 2018
8. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus Tata Laksana
SIndrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak 2nd ed. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia. 2012
9. Downie ML, Gallibois, Parekh RS, et al. Paeditrics and International Child Health
Nephrotic Syndrome in Infants and Children : Pathophysiology an Management. Paediatr
Int Child Health. 2017;9047:1-11
10. Calgary Guide to Understanding Disease. Nephrotic syndrome: pathogenesis and clinical
finding. 2020
11. PAPDI. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam : Panduan Praktis Klinis.
Jakarta: Interna Publishing. 2019
12. Jameson JL, editor. Harrison’s principles of internal medicine 20th edition. New York:
McGraw-Hill Education. 2018

38

Anda mungkin juga menyukai