SINDROM NEFROTIK
Pembimbing:
dr. J Sarwono, Sp.PD, KGH
Disusun oleh:
Rossy Ardhia Pramesti 41191396100005
Ikram Syahrin Akbar 11161030000075
Puji syukur kepada Allah SWT karena atas hidayah dan petunjuk-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah referat dengan tema “Sindrom Nefrotik”. Makalah ini disusun untuk
memenuhi salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik di stase Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit
Umum Pusat Fatmawati Jakarta. Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang
telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini, terutama kepada dr. J
Sarwono, Sp.PD, KGH selaku pembimbing referat ini. Penulis menyadari makalah ini masih
terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun guna penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah referat ini dapat bermanfaat dan
membuka wawasan pembaca.
Penulis
2
DAFTAR ISI
BAB I ………………………………………………………………………………………... 4
BAB II ……………………………………………………………………………………….. 5
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………. 38
3
BAB I
PENDAHULUAN
Ginjal adalah organ yang bertanggung jawab untuk mengontrol kadar elektrolit,
keseimbangan asam-basa, dan tekanan darah. Unit dasar ginjal adalah nefron yang terdiri dari
glomerulus untuk memfiltrasi darah dan tubulus yang selanjutnya memproses filtrat. Glomerulus
adalah sekelompok kapiler yang dikelilingi oleh kapsul Bowman yang membentuk struktur dan
dikenal sebagai sel ginjal. Ada tiga jenis sel yang membentuk glomerulus yaitu sel endotel, sel
epitel (Podosit) dan sel mesangial. Perubahan sel-sel ini menyebabkan proses patologis yang dapat
bermanifestasi sebagai hematuria asimptomatik, proteinuria, glomerulonefritis, sindrom nefritik
atau sindrom nefrotik. Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada anak-anak dibanding dewasa dan
jenis kelamin laki-laki memiliki prevalensi dua kali lipat lebih banyak daripada wanita. Sebanyak
80-90% kasus sindrom nefrotik pada orang dewasa merupakan sindrom nefrotik primer (idiopatik)
Insiden sindrom nefrotik pada dewasa sebanyak tiga kasus baru dari 100.000 tiap tahunnya. 1,2
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Ginjal dewasa pada umumnya memiliki ukuran panjang 10–12 cm, lebar 5-7 cm, dan tebal
3 cm. Bentuknya seperti biji kacang dengan berat sekitar 135-150 gram. Ginjal terletak di
retroperitoneal dalam rongga abdomen, di samping kanan dan kiri kolumna vertebralis dengan
masing-masing setinggi vertebra T12 di superior sampai L3 di inferior. Ginjal kanan terletak
lebih rendah dari pada ginjal kiri karena posisinya terhadap hepar. Ginjal dikelilingi tiga
1. Kapsul ginjal (lapisan dalam) : terdiri atas jaringan ikat transparan yang menyambung
dengan bagian luar lapisan ureter dan berfungsi sebagai penghalang terhadap trauma serta
2. Kapsul adiposa (lapisan tengah) : terdiri atas jaringan lemak yang mengelilingi kapsul
ginjal dan berfungsi untuk melindungi ginjal dari trauma serta mempertahankan dengan
3. Fascia renal (lapisan superfisial) : terdiri dari lapisan tipis jaringan ikat padat tak beraturan
Bagian depan ginjal terdapat dua region berbeda, yaitu korteks ginjal (daerah bagian
dangkal, daerah merah terang) dan medula ginjal (daerah bagian dalam yang lebih gelap, coklat
kemerahan). Medula ginjal terdiri dari beberapa piramida ginjal yang berbentuk kerucut.
Terdapat papilla ginjal dengan bagian basis setiap piramida menghadap korteks ginjal, dan
puncaknya yang disebut papila ginjal menghadap ke arah hilus ginjal. Korteks ginjal memiliki
area bertekstur halus yang memanjang dari kapsul ginjal ke dasar piramida ginjal serta ke
5
dalam ruang di antara mereka (zona kortikal dan zona juxtamedullary). Bagian dari korteks
ginjal yang memanjang antara piramida ginjal disebut kolumna ginjal. Korteks ginjal dan
piramida medula ginjal inilah yang merupakan parenkim atau bagian fungsional dari ginjal. Di
dalam parenkim terdapat unit fungsional yang disebut nefron. Filtrat yang dibentuk oleh
saluran nefron mengalir ke papiler besar saluran dan meluas melalui papila ginjal. Saluran
papiler ini mengalir ke struktur mirip gelas yang disebut kaliks minor dan kaliks mayor. Setiap
ginjal memiliki 8 hingga 18 kaliks minor dan 2 hingga 3 kaliks mayor. Setelah filtrat memasuki
kaliks, maka akan menjadi urin karena tidak ada reabsorpsi lebih lanjut dan akan dialirkan ke
6
2.2.Fisiologi Ginjal
Ginjal merupakan organ yang krusial bagi kehidupan manusia. Dapat berfungsi untuk
keadaan sistemik di tubuh seperti menjaga keseimbangan asam basa, mengatur tekanan darah
dan lain sebagainya dengan penjelasan lebih rinci di bawah ini: 5,6
osmotik yang dapat masuk atau keluar sel dan dapat menyebabkan pembengkakan
c. Mengatur keseimbangan dan jumlah sebagian besar ion CES seperti natrium, klorida,
e. Mempertahankan plasma dengan volume yang sesuai. Hal ini berpengaruh pada
kreatinin
g. Mengeluarkan senyawa asing misal obat-obatan, aditif makanan, pestisida dan bahan
i. Menghasilkan renin yang memicu reaksi dalam penghematan garam oleh ginjal
7
Nefron merupakan bagian fungsional dari ginjal. Setiap ginjal setidaknya terdiri
dari sekitar satu juta nefron yang disokong oleh jaringan ikat. Fungsi utama ginjal adalah
ekstraseluler dan nefron dapat membantu ginjal dalam membentuk urine. Nefron dibagi
merupakan suatu berkas kapiler yang berbentuk bola tempat filtrasi atau penyaringan
sebagian air dan zat terlarut dari darah yang melewatinya. Kemudian cairan yang telah
Ketika masuk ke ginjal, arteri renalis bercabang dan membentuk banyak pembuluh
halus atau yang dinamakan arteriole aferen. Setiap nefron mempunyai satu arteriole aferen
menyatu dan membentuk arteriol lain yang disebut arterioe eferen. Kemudian arteriol
eferen bercabang kembali dan membentuk kapiler yang disebut dengan kapiler peritubulus,
kapiler ini memasok darah ke jaringan ginjal dan berperan penting dalam pertukaran antara
sistem tubulus dan darah sewaktu perubahan cairan filtrasi menjadi urin. Selanjutnya
kapiler ini bersatu dan membentuk venula yang akhirnya kembali ke Vena renalis. 6
Komponen tubular nefron adalah suatu tabung berongga berisi cairan yang
dibentuk oleh satu lapisan sel epitel. Komponen tubulus bermula dari kapsula Bowman
yang melingkupi glomerulus dan mengumpulkan cairan dari kapiler glomerulus. Setelah
8
dari kapsula Bowman, cairan yang difiltrasi masuk ke tubulus proksimal yang letaknya di
bagian korteks ginjal, berlanjut ke ansa henle yang masuk dari korteks ke dalam medula.
Sel-sel pada tubulus dan vaskular dititik ini mengalami spesialisasi dan membentuk
apparatus juxtaglomerular, yaitu suatu struktur yang terletak disamping glomerulus dan
berfungsi untuk mengatur fungsi ginjal. Selanjutnya setelah dari aparatus juxtaglomerular,
tubulus kembali membentuk tubulus lain yang dinamakan tubulus distal, dimana seluruh
bagiannya terletak di korteks ginjal, dan berlanjut ke duktus atau tubulus koligentes.
9
Fungsi dari glomerulus adalah menyaring plasma yang bebas protein ke dalam komponen
tubulus nefron selanjutnya di kapsula Bowman akan mengumpulkan filtrat tersebut dan
Selanjutnya baru masuk ke ansa henle yang dapat membentuk gradien osmotik di medula ginjal
dan setelahnya lanjut ke tubulus distal dan duktus koligentes untuk mereabsorbsi beragam ion
natrium dan H2O serta sekresi kalium dan hidrogen. Pada duktus koligentes cairan yang
2.3. Glomerulus
Kelainan yang mengenai glomerulus mencakup kategori penyakit ginjal yang penting
secara klinis. Glomerulus terdiri atas jaringan kapiler yang beranastomosis dan diselubungi
oleh dua lapis epitel, yaitu epitel visera (podosit) yang merupakan bagian intrinsik dinding
kapiler dan epitel parietal yang melapisi rongga bowman, tempat berkumpulnya ultafitrasi
plasma yang pertama. Dinding kapiler glomerulus terdiri dari struktur berikut: 6,7
a. Dinding kapiler glomerulus yang terdiri dari lapisan tipis sel endotel gepeng. Lapisan ini
mempunyai jendela/fenestrasi besar yang menyebabkan sangat permeabel terhadap air dan
b. Membran basal merupakan lapisan gelatinosa aseluler atau tidak mengandung sel yang
terbentuk dari kolagen dan glikoprotein. Kolagen (Sebagian besar tipe IV) berfungsi
sebagai kekuatan struktural dan glikoprotein menghambat protein plasma yang kecil untuk
difiltrasi. Protein plasma besar tidak dapat melewati pori kapiler, tetapi pori masih dapat
melewatkan albumin yang merupakan protein plasma kecil, namun, glikoprotein menolak
albumin karena bermuatan negatif. Pada bagian ini terdapat lapisan tengah yang tebal,
padat elektron, lamina densa, lapisan perifer yang lebih tipis, dan elektrolusen. Oleh sebab
10
itu, protein plasma hampir tidak ada dalam filtrat atau bisa dikatakan kurang dari 1%
c. Podosit, yaitu sel yang mirip seperti gurita dan mengelilingi glomerulus. Setiap podosit
memiliki banyak foot process (tonjolan) yang memanjang dan saling terjalin dengan foot
process podosit sekitarnya. Pada bagian ini terdapat celah sempit yang dikenal dengan
celah filtrasi yang membentuk jalur tempat cairan meninggalkan kapiler glomerulus
menuju lumen kapsula Bowman. Selanjutnya dalam celah ini juga ada yang disebut
transmembran yang berikatan di tengah dari celah diafragma dan berfungsi si dalam
d. Sel mesangial, bagian yang terletak di antara kapiler. Sel ini berasal dari mesenkim, bersifat
Agar dapat di filtrasi, ada beberapa barrier yang harus dilewati, yaitu pori pada sel-sel
endotel kapiler glomerulus, membran basal dan celah filtrasi (slit filtration) diantara foot
process podosit.6,7
11
Gambar 4. Gambaran Skematis Glomerulus Normal 7
Glomerulus mempunyai peran penting dalam nefron. Namun beberapa hal dapat
Sebab dari sirkulasi imun ini dapat terjadi karena faktor endogen seperti pada kasus
glomerulonefritis dengan lupus eritematosa sistemik dan bisa juga disebabkan oleh faktor
eksogen seperti pada infeksi bakteri (streptokokus), virus seperti hepatitis b, parasit
12
Faktor-faktor tersebut dapat membentuk kompleks antigen antibodi insitu atau pada
sirkulasi dan mereka terperangkap di dalam glomerulus, yang mana bisa menyebabkan
cedera, atau pada bagian yang besar dapat mengaktifkan sistem komplemen dan merekrut
leukosit. Cedera glomerulus juga dapat disebabkan oleh keterkaitan dari reseptor FC pada
glomerulus biasanya terbagi menjadi infiltrasi leukosit yang menyebabkan eksudasi dan
proliferasi yang bervariasi dari endotel, sel mesangial, dan epitel parietal.
difagositosis oleh leukosit dan sel mesangial yang kemudian inflamasinya dapat berganti.
Hal tersebut dapat terjadi jika paparan dari antigen yang singkat hidupnya dan terbatas
seperti pada kasus post streptokokus atau infeksi akut yang berhubungan dengan
glomerulonephritis, namun jika exposure atau pajanan nya bertahan dalam waktu yang
lama dan menyebabkan adanya suatu siklus dari kompleks imun, deposisi dan cedera akan
Hal ini dapat terjadi karena faktor antigen intrinsik (Fixed Antigen) maupun antigen
yang menempel pada glomerulus (planted antigen). Antigen intrinsik adalah antigen yang
berasal dari glomerulus atau memang bagian dari glomerulus itu sendiri, sedangkan antigen
yang menempel pada glomerulus adalah antigen yang tidak berasal dari glomerulus, seperti
kompleks nukleosomal pada pasien SLE, infeksi bakterial yang berupa endostroptosin,
yang merupakan protein yang diekskresikan oleh grup a streptokokus. Pada pemeriksaan
13
tampak seperti corak imunoglobulin yang granuler. Mekanisme setelah adanya reaktan
imun di glomerulus adalah aktivasi komplemen dan rekrutmen leukosit. Aktivasi ini dapat
menyebabkan munculnya kemotaktik (biasanya C5a) yang akan merekrut neutrofil dan
monosit. Netrofil akan merilis protease yang akan mendegradasi GBM dan melepaskan
radikal bebas yang akan menyebabkan kerusakan pada sel. Namun, mekanisme yang
dihasilkan oleh netrofil ini hanya terjadi pada kondisi tertentu. Mekanisme lain itu bisa
membentuk membrane attack complex (MAC) pada GBM serta mengekskresikan berbagai
mediator inflamasi dari sel mesangial dan epitel yang akan menyebabkan kerusakan sel.
Antibodi anti sel glomerular juga dapat menimbulkan kerusakan pada glomerulus.
Selain itu yang dapat menyebabkan kerusakan glomerulus juga dapat disebabkan
oleh kerusakan podosit berupa pemendekan kaki podosit dan hilangnya nefron. Kerusakan
podosit disebabkan oleh antibodi anti podosit, toksin, atau sitokin, dan hal lain lagi yang
belum diketahui secara pasti. Biasanya bentuk kerusakan pada wasit itu adalah
pemendekan dan penipisan kaki podosit (effacement of foot process), retraksi dan lepasnya
sel dari GBM. Hal ini bisa diindikasikan oleh keadaan klinis berupa adanya proteinuria.
Selain itu rusaknya celah diafragma juga berperan dalam timbulnya proteinuria.
sampai 50% dari keadaan normalnya. Hal ini bermakna secara klinis dengan tanda
proteinuria dan ginjal nya terdapat glomerulosklerosis. Sklerosis yang terjadi merupakan
progresif berlanjut secara bertahap. Jadi tidak semua nefron terkena dan dapat
menimbulkan reaksi adaptif pada nefron yang masih normal. Nefron yang masih normal
tersebut akan mengalami hipertrofi untuk mempertahankan fungsi ginjal. Namun hipertrofi
14
tersebut dapat menyebabkan perubahan aliran darah sehingga terjadi hipertensi kapiler dan
kerusakan pada endotel dan podosit lebih lanjut, disertai adanya peningkatan permeabilitas
glomelurus terhadap protein, akumulasi protein dan lipid di matriks mesangial. Kemudian
kapiler mengalami kerusakan dan terjadi peningkatan deposisi matriks mesangial dan
protein plasma yang juga menyebabkan terjadinya sklerosis pada glomelurus, baik
segmental maupun total. Proses skelrosis ini akan menyebabkan nefron mengalami
2.4.1. Definisi
ditandai dengan edema anasarca, proteinuria masif >3,5 gram/hari, hypoalbuminemia <3,5
proteinuria >3,5 gram/hari akan tampil dengan gejala komplit, beberapa diantaranya
15
memiliki kadar albumin yang normal dan tanpa edema. Umumnya fungsi ginjal pada
pasien sindrom nefrotik adalah normal, tetapi pada sebagian kasus dapat berkembang
2.4.2. Epidemiologi
Sindrom nefrotik lebih umum diderita oleh anak-anak dibandingkan dewasa. Pada
orang dewasa, insidensi kasus ini sebanyak 3 per 100, dengan Nefropati Membranosa lebih
sering terjadi pada kulit putih dan Glomerulosklerosis Fokal (GSFS) lebih sering terjadi
pada ras kulit hitam.Insidensi Sedangkan sindrom nefrotik pada anak untuk catatan
Amerika Serikat dan Inggris adalah sebanyak 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun
dan prevalensi 12-16 kasus per 100.000 anak. Pada negara berkembang jumlahnya lebih
tinggi, di Indonesia prevalensinya 6 per 100.000 anak per tahun pada rentang usia kurang
dari 14 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Pada anak, sebagian
besar SN idiopatik adalah kasus Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM) sebesar
Difus (MPD) sebanyak 2-5%, dan nefropati membranose (GNM) sebanyak 1,5%. Pada
pengobatan skortikosteroid insial, Sebagian besar SNKM (94%) mengalami remisi total
(responsive), sedangkan pada GSFS sekitar 80-85% tidak responsif (resisten steroid). Pada
kasus dewasa, 80-90% kasus disebabkan oleh idiopatik. Prognosis jangka panjang SNKM
selama pengamatan 20 tahun menunjukkan hanya 4-5% menjadi gagal ginjal terminal,
sedangkan pada GSFS 25% menjadi gagal ginjal terminal dalam 5 tahun, serta pada
16
2.4.3. Etiologi
Penyebab sindrom nefrotik (SN) beragam tergantung usia dari penderitanya. Untuk
kasus anak biasanya disebabkan oleh kasus kongenital maupun idiopatik. Sedangkan pada
dewasa, kasus SN biasanya didahului oleh penyakit sistemik yang mempunyai dampak
panjang kepada ginjal seperti diabetes mellitus, keganasan, amilodisis, Sistemik Lupus
Eritematosa (SLE).7
2.4.4. Klasifikasi
SN tipe ini banyak diderita oleh anak-anak mencapai 70-90%, namun pada
dewasa hanya berkisar 10-15%. Pada dewasa dapat terjadi sebagai suatu kondisi
idiopatik yang berhubungan dengan pemakaian OAINS atau efek paraneoplastik dari
17
suatu keganasan (paling sering Limfoma Hodgkin). Pada pemeriksaan mikroskop
cahaya tampak glomerulus normal atau ditemukan adanya proliferasi ringan dari sel
kompleks imun, namun kadang ditemukan sedikit Ig M pada mesangial. Temuan khas
dari podosit. Patogenesis dari SN tipe ini masih banyak yang belum diketahui namun
yang menyebabkan kerusakan pada podosit serta penghapusan atau effacement dari
foot process podosit juga dapat menimbulkan perubahan muatan pada kapiler.
Pada tipe ini biasanya didapatkan manifestasi klinis berupa edema anasarca
yang muncul tiba-tiba dengan sedimen urin aselular. Fungsi ginjal kemungkinan masih
bisa normal pada anak dan protein yang keluar pada urin biasanya berupa proteinuria
selektif yaitu albumin. Rata-rata eksresi protein pada urin yaitu sebanyak 10 gr/24 Jam
dengan hipoalbumenia berat. Dapat pula ditemukan hipertensi (30% anak, 50%
dewasa), penurunan fungsi ginjal (<5% anak, 30% pada dewasa) dan hematuria
GSFS merupakan lesi tersering yang ditemukan pada SN dewasa yang idiopatik.
Di Amerika Serikat sebanyak 35% dari keseluruhan kasus dan 50% diantaranya adalah
disertai adanya deposisi hialin dan busa makrofag (lipid-laden). Pada mikroskop
pemendekan podosit. Dengan seiring berjalan waktu, penyakit ini dapat berprogres
menyebabkan global sclerosis pada glomerulus, atrofi tubular, dan fibrosis interstitial.
Selain itu, terdapat risiko kolaps glomerulus disertai hyperplasia sel epitel. Penyebab
GSFS dapat disebabkan oleh sindrom idiopati (GSFS primer) atau dapat disebabkan
juga oleh GSFS sekunder, seperti infeksi HIV, nefropati refluks, bekas lesi glomerulus
19
c. Nefropati Membranosa 2,3,7
pada rentang usia 30 dan 50 tahun kasus ini mencapai angka tertinggi dengan laki-laki
lebih dominan dibanding perempuan dengan rasio 2:1. Gambaran yang nampak di
mikroskop elektron adalah adanya lesi disertai penebalan membran basalis dengan
minimal atau tidak ditemukannya proliferasi atau infiltrasi selular, serta terdapat
deposit disepanjang membran basal glomerulus. Lesi ini dapat disebabkan juga oleh
OAINS.
sepanjang GBM. Pada awal penyakit, glomerulus dapat terlihat normal di mikroskop
cahaya, namun biasanya dapat juga menunjukkan adanya penebalan difusi dinding
kapiler. Sebagian besar kasus ini merupakan akibat dari masalah primer dengan reaksi
autoantibodi terhadap antigen podosit, 80% kasus primer pada NM ini merupakan
oleh podosit yang membentuk kompleks imun in situ. Kasus lain disebabkan oleh
podosit juga. Adapun sebab sekunder dapat terjadi karena keganasan, infeksi, peyakit
20
Gambar 8. Gambaran mikroskop cahaya dan skema NM7
d. Membranoproliferatif Glomerulonefritis 7
histologis, serta danya proliferasi sel glomerulus. Kasus SN akibat MPGN sekitar 5-
10% idiopatik, baik pada anak dan orang dewasa. Beberapa pasien hanya memiliki
keluhan hematuria atau proteinuria. Terdapat dua jenis MPGN, namun sekitar 80%
kasus merupakan MPGN tipe I, yang disebabkan akibat adanya deposit kompleks
imun. Pada penelitian didapatkan bahwa prevalensi yang menunjukan remisi komplit
tidak mencapai 60 pasien, 40% berkembang jadi gagal ginjal, 30% mengalami
insufisiensi ginjal, dan 30% mengalami sindrom nefrotik tanpa gagall ginjal. MPGN
tipe I juga berhubungan dengan penyakit lain (MPGN sekunder), seperti SLE,
21
2.4.4.2.Sindrom Nefrotik Sekunder
10-20% kasus SN pada dewasa dapat terjadi karena sebab sekunder. Sindrom
Nefrotik Sekunder paling sering terjadi disebabkan oleh keadaan diabetes mellitus yang
Amiloidosis 3
meningkat pada populasi usia lanjut. Terdapat dua tipe amiloidosis, yaitu amiloid
primer yang pada prosesnya terjadi diskrasia light chain, dimana fragmen dari light
chain monoclonal dapat membentuk fibril amyloid, dan amyloid sekunder, dimana
plasma amiloid A pada reaksi akut membentuk fibril amyloid. Amiolid ini biasa terjadi
akibat proses infeksi yang kronik seperti tuberkulosis, rheumatoid artritis, osteomielitis
dan lain-lain.
22
2.4.5. Respon Klinik
obat kortikosteroid. Diantaranya 80-90% anak diatas 1 tahun menunjukan respon terapi dengan
steroid dalam waktu 4 minggu (Steroid-sensitive nephrotic syndrome - SSNS) dan 10-20%
tidak merespon terapi dengan steroid dengan istilah steroid-resistance nephrotic syndrome
(SRNS). Adapun batasan definisi dalam pengklasifikasian respon klinik adalah sebagai
berikut: 8,9
sau minggu
c. Relaps Jarang : relaps kurang dari 2x dalam 6 bulan pertama setelah respon awal atau
d. Relaps Sering (frequent relaps) : relaps > 2x dalam 6 bulan pertama setelah respon
f. Resisten Steroid : tidak terjadi remisi pada pengobatan predison dosis penuh
23
2.4.6. Patogenesis dan Patofisiologi
Podosit adalah sel yang berdiferensiasi tinggi dan berfungsi untuk menyokong serta
menjaga mekanisme filtrasi membran basalis glomerulus. Sel ini terdiri dari badan sel yang
terinterdigitasi dengan sel khusus yaitu sel junction yang disebut slit diafragma yang
mendukung atau menyokong podosit serta berperan dalam membuat perubahan tekanan
hidrostatis.
rentan terkena cedera. Podosit yang rusak dapat menyebabkan kerusakan glomerulus yang
glomerulosklerosis dan kehilangan fungsi ginjal yang progresif. Selain itu, mutasi genetik
pada struktur podosit dan fungsinya menyebabkan disfungsi ginjal, hal tersebut sering
disebabkan akibat masalah kongenital atau resisten steroid. Salah satu kelainan genetik
yang diketahui meliputi gen pengkode slit diaphragm protein nephrin (NPHS1) dan
podosin (NPHS2). Mutasi juga dapat terjadi pada gen pengkode sitoskeleton aktin podosit,
meliputi CD2AP dan INF2. Sedangkan protein nuklir podosit (WT1), protein membran
kerusakan filtrasi glomerulus yang menyebabkan bentuk yang lebih parah ah atau
podositipati progresif.9
24
b. Disregulasi imun
Hal ini dapat terjadi akibat terapi dari sindrom nefrotik, yaitu kortikosteroid.
Hipotesis dari disregulasi imun ini didasari oleh observasi klinis kejadian sindrom nefrotik
pasca paparan alergen. Hodgkin's dan sel T limfoma lainnya dapat memicu sindrom
nefrotik sebagai bukti adanya kejadian rekurensi proteinuria setelah transplantasi ginjal.
tambahan meliputi cardiotrophin-like cytokine 1 (CLC-1) yang diisolasi dari serum pasien
juga menurunkan ekspresi nefrin. Lebih lagi ada soluble urokinase-type plasminogen
activator receptor (suPAR) yang perlu mendapatkan perhatian lebih. Hal ini dapat
d. Proteinuria
Proteinuria terbagi dalam tiga jenis yaitu glomerular, tubular, dan overflow. Pada
sindrom nefrotik proteinurianya adalah glomerular. Proteinuria jenis ini disebabkan oleh
diakibatkan oleh kelainan podosit glomerular, dapat berupa retraksi dari foot process dan
atau reorganisasi dari slit diaphragm. Sistem filtrasi glomerulus terdiri dari tiga bagian,
yakni lapisan endotel, membran basal glomelurus serta lapisan sel epitel atau podosit. Pada
25
kondisi yang tidak normal, podosit dapat mengalami berbagai perubahan bentuk seperti
foot process effacement, pseudocyst formation, hipertrofi, terpisah dari membran basal
glomelurus serta apoptosis. Foot process effacement merupakan kasus tersering pada
dalam mencegah kebocoran protein mekanisme pertama itu berdasarkan ukuran molekul
dan yang kedua muatan listrik titik pada sindrom nefrotik kedua mekanisme tersebut dapat
terganggu. Proteinuria sendiri dibedakan menjadi dua yakni selektif dan non selektif hal
tersebut didasarkan pada ukuran molekul yang lewat pada proses filtrasi dan keluar melalui
urine. Proteinuria selektif adalah keluarnya protein yang berukuran kecil seperti albumin.
Sedangkan proteinuria non selektif adalah keluarnya molekul besar protein melalui urine
seperti imunoglobulin. Pada sindrom nefrotik yang disebabkan oleh glomerulonefritis lesi
minimal dapat ditemukan proteinuria selektif. Hal tersebut dapat disebabkan oleh
pada membran basal glomerulus menurun dan albumin dapat lolos ke urine. Pada
pemeriksaan mikroskop elektron memperlihatkan fusi FP sel epitel viseral glomerulus dan
Pada GSFS patogenesis utama yang terjadi adalah kerusakan atau kehilangan
podosit. Cedera pada porosnya terjadi melalui 4 mekanisme, yaitu dengan perubahan
komponen dari strukturnya atau slit diaphragm, disregulasi sitoskeleton aktin, perubahan
pada membran basal glomelurus atau interaksinya dengan podosit, atau mungkin
perubahan muatan listrik negatif pada permukaan podosit. Rusaknya podosit akan memicu
apoptosis dan terlepasnya podosit dari membran basalis glomerulus. Selanjutnya hal
26
tersebut dapat merusak lebih lanjut melalui ekskresi sitokin stres mekanik, dan polaritas
yang semakin menurun sehingga membentuk sklerosis dan jaringan parut pada glomerulus.
Pada nefropati membranosa, rusaknya struktur membran basalis glomerulus terjadi akibat
adanya kompleks imun pada subepitel. Hal tersebut dapat meningkatkan permeabilitas
membran basal glomerulus walaupun mekanismenya masih belum diketahui secara pasti.3
e. Hipoalbuminemia
Kadar albumin plasma diperoleh dari asupan protein, sintesis albumin hati dan
kehilangan protein melalui urin. Pada sindrom nefrotik kekurangan albumin pada darah
dapat disebabkan oleh proteinuria masif akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Sintesis
albumin yang yang terjadi di hati dapat mempertahankan tekanan onkotik plasma namun
pada keadaan proteinuria pasif hal tersebut tidaklah efektif. Pada keadaan normal hati bisa
memproduksi atau mensintesis albumin total hingga 25 gram per hari. Namun masih belum
jelas alasan terkait hati tidak mampu meningkatkan sintesis albumin secara adekuat untuk
menormalkan kadar albumin plasma dengan proteinuria 4 sampai 6 gram per hari. Diet
tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati, tetapi dapat mendorong
peningkatan ekskresi albumin melalui urin. Hipoalbuminemia bisa juga terjadi akibat
f. Edema
Pada sindrom nefrotik edema dapat terjadi dengan penjelasan teori underfill dan
onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskuler ke jaringan interstitium yang
27
tekanan osmotik plasma dan bergesernya cairan plasma dapat terjadi hipovolemia. Akibat
hal tersebut ginjal melakukan kompensasi dengan merangsang sistem renin angiotensin
yang menyebabkan retensi natrium dan air di tubulus ginjal bagian distal. Mekanisme ini
memang menyebabkan perbaikan volume intravaskular tapi di lain hal dapat menyebabkan
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek utama pada ginjal.
terjadinya defek primer pada kemampuan nefron distal untuk mengekskresikan natrium
pada keadaan proteinuria masif. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan volume darah,
onkotik rendah memicu transudasi cairan ke ruang ekstraseluler yang menyebabkan edema.
28
Menurunnya laju filtrasi glomerulus atau LFG dapat menambah retensi natrium dan
membuat cairan tertarik sehingga terjadi edema. Kedua mekanisme tersebut dapat terjadi
pada pasien sindrom nefrotik secara bersamaan. Faktor seperti konsumsi natrium, efek
diuretik, atau terapi steroid derajat gangguan fungsi ginjal, jenis lesi glomerulus, dan
keterkaitan penyakit jantung atau hati dapat menentukan mekanisme mana yang lebih
29
2.4.7. Diagnosis
edema/bengkak. Edema biasanya berawal pada area dengan tekanan hidrostatik intravaskular
yang tinggi, seperti pada ekstremitas bawah (kedua kaki dan ankle), hal ini merupakan hal
tersering pada gejala dari SN. Bila lebih berat, edema juga bisa terjadi pada area dengan
tekanan hidrostatik intravaskular yang rendah, seperti periorbital dan skrotum, dan bila
bengkak hebat bisa menyebabkan edema anasarca. Keluhan lainnya adalah oliguria, BAK
berbusa, dipsnea saat beraktivitas, kelelahan, gejala infeksi, nafsu makan menurun dan diare.
Pada SNKM kadang ditemukan hematuria, hipertensi dan lebih sering dengan peningkatan
kadar ureum dan kreatinin darah yang temporer. Gejala lain juga dapat muncul sebagai
Selain melihat kriteria diagnosis, terdapat bebera pemeriksaan penunjang lain yang
harus dilakukan, yaitu urinalisis untuk melihat kemungkinan Infeksi saluran kemih, protein
urin kuantitatif, (menggunakan urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin pertama
30
pagi hari, dan pemeriksaan darah seperti darah tepi lengkap, albumin, kolesterol serum,
ureum, kreatinin, klirens kreatinin, adar komplemen C3 (curiga SLE) ditambah C4, ANA
31
2.4.8. Diagnosis Banding
Sindrom Nefrotik mempunyai diagnosis banding seperti edema dan asites akibat
penyakit hati, malnutrisi, gagal jantung kongesti, glomerulonephritis akut, lupus sistemik
eritematosus. 4,11
2.4.9. Tatalaksana
Penatalaksaan umum pada awal pajanan dengan menifestasi klinis SN, sebaiknya
pasien di rawat inap di RS dengan tujuan mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan
diet, tatalaksana edema, serta memulai pengobatan steroid. Sebelum memulai pengobatan
steroid, baiknya melakukan pemeriksaan-pemeriksaan awal terlebih dahulu, seperti: 8
a. Pengukuran BB dan TB
b. Pengukuran tekanan darah
c. Pemeriksaan fisik untuk melihat faktor sekunder seperti SLE, purpura Henoch-
Schonlein dan lainnya.
d. Mencari fokus infeksi. Setiap infeksi harus ditangani terlebih dahulu sebelum terapi
steroid dimulai
e. Melakukan tes mantoux, hal ini dimaksudkan jika hasil positif diberikan profilaksis
INH selama 6 bulan bersama dengan steroid, jika ditemukan tuberculosis maka
diberikan terapi OAT
a. Istirahat
b. Diet protein 0,8 gram/kgBB ideal/hari serta melihat ekskresi protein dalam urin per
24 jam. Bila fungsi ginjal menurun, diet protein disesuaikan hingga 0,6 gram/kgBB
ideal/hari. Diet tinggi protein dilarang karena akan memperberat beban glomerulus
dalam mengeluarkan zat sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan
32
sclerosis glomerulus. Pada anak, diet normal protein dengan sesuai RDA
(recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 gr/kgBB/hari.
c. Diet rendah garam (1-2 gr/hari) hanya ketika mengalami edema
d. Diet rendah kolestrol <600 mg/hari
e. Hindari kebiasaan sosial yang dapat memperburuk Kesehatan, seperti merokok
Pembatasan caran dianjurkan pada kondisis edema berat. Pada pasien anak,
dapat diberikan furosemide 1-3 mg/kgbb/hari, dan bila perlu dibarengi dengan
pemebrian spironolakton (antagonis aldosterone, diuretic hemat kalium) 2-4
mg/kgbb/hari. Namun sebelum memberikan diuretic perlu diperhatikan ada tidaknya
hypovolemia. Pemakaian lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit
kalium dan natrium darah. Bila terapi gagal (edema refrakter), dapat terjadi karena
hypovolemia/hypoalbuminemia berat, dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan
dosis 1g/kgbb selama 2-4 jamuntuk menarik cairandari jaringan interstitial dan
kemudian diberikan furosemide IV 1-2 mg/kgbb.jika terdapat asites apat dilakukan
pungsi asites berulang.
33
b. Pengobatan proteinuria, hipertensi, hipokalsemia dan dislipidemia (bila terdapat
keluhan)
c. Pengobatan kausal seperti dengan inisiasi pemberian steroid
2.4.10. Komplikasi
a. Keseimbangan nitrogen menjadi negative, yang diukur melalui kadar albumin plasma.
Biasanya terdpat wasting illness yang tertutupi oleh edema dan baru tampak setelah
edema menghilang. Diet tinggi protein tidak memperbaiki metabolism karena
peningkatan tekanan glomerulus menyebabkan kehilangan protein dalam urin yang
semakin banyak, sedangkan diet rendah protein dapat mengurangi kecepatan sintesis
albumin
34
b. Hiperlipidemia dan lipiduria, yang merupakan akibat penurunan tekanan onkotik
plasma dan menstimulasi transkripsi gen apoprotein B di hepar, serta penurunan
aktivitas LCAT (lechitin cholesterol acyltransferase) yang berfungsi membentuk HDL
c. Hipokalemia, yang disebabkan vitamin D yang terikat protein akan diekskresikan
melalui urin sehingga dapat mengganggu metabolism kalsium
d. Hiperkoagulasi, yang disebabkan oleh terganggunya kaskade koagulasi dan
peningkatan agregasi platelet. Keadaan hiperkoagulasi dapat diperberat dengan adanya
imobilisasi, infeksi, dan hemokonsentrasi
35
2.4.11. Prognosis
Prognosis SN tipe lesi minimal umumnya baik, pada anak yang diterapi steroid
jangka pendek dapat mengalami remisi hingga 95%, begitupula pada dewasa setelah
diterapi steroid dengan jangka waktu yang lebih lama maka dapat terjadi remisi sebesar
85%. Hanya pada pasien yang tidak merespon dengan terapi steroid perlu dilakukan biopsi
untuk mengetahui jenis lesinya. Relaps lebih jarang ditemukan pada kasus dewasa namun
lebih sering resisten terhadap terapi, dan bila resisten maka dipikirkan bahwa tipe lesi yang
terjadi adalah fokal segmental glomerulosklerosis. Hanya sekitar 20% pasien yang
menderita fokal glomerulosklerosis mengalami remisi dari proteinuria, 10% membaik tapi
masih mengalami proteinuria. Stadium akhir penyakit ginjal berkembang pada 25-20%
pasien dengan fokal segmental glomerulosklerosis dalam waktu 5 tahun, dan 30-40%
dalam 10 tahun.11,12
Tetapi prognosis jangka panjang untuk fungsi ginjal baik dengan sedikit risiko gagal ginjal.
Respon pasien yang buruk terhadap steroid dapat menyebabkan hasil yang buruk. Pada
36
BAB III
SIMPULAN
ditandai dengan edema anasarca, proteinuria masif >3,5 gram/hari, hypoalbuminemia <3,5
proteinuria >3,5 gram/hari akan tampil dengan gejala komplit, beberapa diantaranya
memiliki kadar albumin yang normal dan tanpa edema. Umumnya fungsi ginjal pada
pasien sindrom nefrotik adalah normal, tetapi pada sebagian kasus dapat berkembang
menjadi gagal ginjal yang progresif. Sindrom nefrotik lebih umum diderita oleh anak-anak
dibandingkan dewasa. Klasifikasi sindrom nefrotik dapat dibedakan berdasar etiologi dann
untuk menghindari risiko komplikasi. Setiap penyebab sindrom nefrotik memiliki tingkat
37
DAFTAR PUSTAKA
38