Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN MINIPROJECT PUSKESMAS ALALAK SELATAN

Gambaran Faktor Risiko Kesehatan Lingkungan pada Kejadian


Balita Stunting di Alalak Selatan

Disusun untuk memenuhi sebagian Prasyarat Kegiatan Program Internsip Dokter


Indonesia di Puskesmas Alalak Selatan

Disusun oleh :
dr.Maya Budiasih

Pembimbing Internsip :
dr. Akhmad Fuadi

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA (PIDI)


2020-2021
Gambaran Faktor Risiko Kesehatan Lingkungan pada Kejadian
Balita Stunting di Alalak Selatan

Disusun untuk memenuhi sebagian Prasyarat Kegiatan Program Internsip Dokter


Indonesia di Puskesmas Alalak Selatan

Telah dipresentasikan dan disahkan pada tanggal :


Februari 2020

Disusun oleh :
dr. Maya Budiasih

Dokter Pembimbing,

dr. Akhmad Fuadi

1
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN............................................................................. 1
DAFTAR ISI ................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 4
A. Latar Belakang........................................................................................ 4
B. Perumusan Masalah ................................................................................ 6
C. Daftar Masalah ....................................................................................... 7
D. Prioritas Masalah .................................................................................... 7
E. Tujuan Penelitian .................................................................................... 7
F. Manfaat Penelitian .................................................................................. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 9
A. Definisi stunting ..................................................................................... 9
B. Epidemiologi stunting............................................................................. 9
C. Penilaian stunting ................................................................................. 11
D. Faktor risiko stunting ........................................................................... 12
E. Dampak stunting ................................................................................... 15
F. Kerangka intervensi stunting di Indonesia............................................. 17
BAB III METODELOGI PENELITIAN ...................................................... 20
A. Jenis Penelitian ..................................................................................... 20
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................ 20
C. Populasi dan Sampel Penelitian ............................................................ 20
D. Metode Pengumpulan Data .................................................................. 21
E. Instrumen Penelitian ............................................................................. 21
F. Variabel Penelitian ................................................................................ 21
G. Definisi Operasional ............................................................................. 21
H. Prosedur Penelitian ............................................................................... 22
I. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data .......................................... 23
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................... 25
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 31

2
LAMPIRAN .................................................................................................. 34

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah Stunting atau anak pendek merupakan salah satu permasalahan gizi

yang sedang dihadapi dunia, khususnya di negara-negara miskin dan berkembang.

Stunting menjadi permasalahan karena berhubungan dengan meningkatnya risiko

terjadinya kesakitan dan kematian, perkembangan otak suboptimal sehingga

perkembangan motorik terlambat dan terhambatnya pertumbuhan mental.

Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2017 menunjukkan 151 juta

anak balita mengalami stunting, 51 juta balita mengalami gizi kurang, dan 38 juta

mengalami overweight. Menurut United Nations Children’s Fund (UNICEF),

pada tahun 2016 terdapat 22,9 persen, atau hampir satu dari empat anak berusia di

bawah lima tahun (balita) mengalami stunting. Lebih dari setengah balita yang

mengalami stunting tersebut tinggal di Benua Asia dan lebih dari sepertiga tinggal

di Benua Afrika. Menurut Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan

(TNP2K) 2017, prevalensi stunting di Indonesia menempati peringkat kelima

terbesar di dunia. Berdasarkan Riskesdas 2013 terjadi peningkatan anak stunting

dari 36,8% pada tahun 2010 menjadi 37,2% pada tahun 2013. Selama 20 tahun

terakhir, penanganan masalah stunting sangat lambat.1,2

Sedangkan menurut hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) 2015, sebesar 29%

balita Indonesia termasuk kategori pendek dengan persentase tiga provinsi

tertinggi angka kejadiannya, yaitu Nusa Tenggara Timur (41,2%), Sulawesi Barat

(38,4%) dan Kalimantan Selatan (37,2%). Pada tahun 2016 di Provinsi

4
Kalimantan Selatan kasus stunting sempat menurun menjadi 31,1% dan

meningkat kembali pada tahun 2017 menjadi 34,1%.3 Puskesmas di kabupaten

Tapin di kelurahan Tapin Selatan data pada Tahun 2019 di Puskesmas

Tambarangan kasus stunting sebanyak 298 kasus dengan desa Rumintin dan Suato

Suato Tatakan dengan kasus terbanyak yaitu 53 kasus, Desa Suato Tatakan

sebanyak 49 kasus dan Desa Tambarangan terbesar ke 3 sebanyak 40 kasus.

Stunting merupakan bentuk kegagalan pertumbuhan (growth faltering)

akibat akumulasi ketidakcukupan nutrisi yang berlangsung lama mulai dari

kehamilan sampai usia 24 bulan. Keadaan pendek (stunting) menurut Keputusan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010

tentang standar antropometri penilaian status gizi anak adalah suatu keadaan

dimana hasil pengukuran Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi

Badan menurut Umur (TB/U) berada di antara -3 Standar Deviasi (SD) sampai

-2 SD. Sangat pendek (severe stunting) adalah keadaan dimana hasil pengukuran

PB/U atau TB/U di bawah -3 SD.4,5

Faktor penyebab stunting menurut WHO (2013) secara komprehensif

diuraikan menjadi faktor langsung dan tidak langsung. 6Chirande et al. (2015)

menguraikan penyebab stunting menjadi beberapa faktor baik dari faktor orang

tua, faktor anak, dan faktor lingkungan rumah tangga. Orang tua memiliki

peranan yang sangat penting dalam memperhatikan perkembangan anak dan

mendukung upaya mengatasi masalah gizi pada anak. Mencegah kekurangan gizi

pada anak dimulai dengan ibu. Kesehatan ibu sangat penting untuk masa depan

kesehatan anaknya. Perkembangan seorang anak dalam rahim dipengaruhi jika ibu

mereka kekurangan gizi.7

5
Banyak faktor yang mempengaruhi stunting¸ di antaranya kurang darah

(anemia) saat kehamilan. Anemia pada ibu hamil, yaitu kadar hemoglobin kurang

dari 11,0 g/dl. Ibu hamil yang menderita anemia defisiensi besi akan berisiko

sembilan kali lebih besar untuk melahirkan BBLR. Anak yang lahir dengan BBLR

akan cenderung mempunyai status gizi kurang yang salah satunya, yaitu status

gizi pendek (stunting).8,9,10 Secara umum faktor yang mempengaruhi tumbuh

kembang anak balita yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor

lingkungan terdiri dari lingkungan pranatal, perinatal, dan lingkungan pascanatal.

Faktor prenatal berasal dari faktor ibu selama hamil (ibu anemia, ibu KEK, gizi

ibu). Faktor perinatal berasal dari faktor anak. Faktor lingkungan pascanatal

meliputi faktor biologi (ras/suku budaya, jenis kelamin, umur, gizi, perawatan

kesehatan, hormon), faktor lingkungan fisik (cuaca, sanitasi, keadaan rumah,

radiasi), faktor keluarga (pekerjaan/pendapatan keluarga, pendidikan ayah/ibu,

jumlah saudara, kepribadian ayah/ibu, pola pengasuhan, agama, kehidupan

politik).11

Karena tinggi nya kasus stunting di wilayah kerja Puskesmas Tambarangan .

sehingga kami mengambil topik ini menjadi topik miniproject kami untuk

membahas lebih jauh mengenai faktor risiko yang menjadi penyebab stunting di

Puskesmas Tambarangan wilayah Tapin Selatan.

B. Perumusan Masalah
Bagaimana gambaran faktor risiko kesehatan lingkungan pada kejadian

balita stunting di alalak selatan ?

6
C. Daftar Masalah
Berdasarkan data dari Bagian Program Gizi Puskesmas alalak selatan pada

Tahun 2019 didapatkan total kasus stunting 298 kasus dengan alalak selatan dan

pangeran dengan kasus terbanyak yaitu 53 kasus, Desa Suato Tatakan sebanyak

49 kasus dan Desa Tambarangan terbesar ke 3 sebanyak 40 kasus. Hal ini

menunjukan masih banyak kejadian stunting di Wilayah Kerja Puskesmas

Tambarangan.

D. Prioritas Masalah
Masih banyak kejadian balita stunting di Puskesmas Tambarangan

menunjukkan adanya berbagai penyebab atau fakor risiko yang harus di temukan

dan diselesaikan.

E. Tujuan Penelitian
Mengetahui gambaran faktor risiko kesehatan lingkungan pada kejadian

balita stunting di Desa Suato Suato Tatakan.

F. Manfaat Penelitian
1. Bagi Instansi Puskesmas dan Dinas Kesehatan

Menambah informasi dan memberikan pemecahan masalah terhadap program

kesehatan di bidang gizi khususnya mengenai stunting. Informasi dan

pemecahan masalah yang diberikan diharapkan dapat digunakan untuk

kegiatan monitoring serta evaluasi program stunting khususnya di wilayah

Tapin Selatan.

7
2. Bagi Masyarakat

Menambah informasi mengenai gambaran faktor risiko kesehatan lingkungan

pada kejadian balita stunting dengan tujuan dapat mencegah faktor risiko

tersebut.

3. Bagi Peneliti

Menambah pengetahuan dan dapat dijadikan sebagai data dasar untuk

melakukan penelitian selanjutnya mengenai gambaran faktor risiko kesehatan

lingkungan pada kejadian balita stunting.

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi stunting
Stunting merupakan bentuk kegagalan pertumbuhan (growth faltering)

akibat akumulasi ketidakcukupan nutrisi yang berlangsung lama mulai dari

kehamilan sampai usia 24 bulan. Keadaan pendek (stunting) menurut Keputusan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010

tentang standar antropometri penilaian status gizi anak adalah suatu keadaan

dimana hasil pengukuran Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi

Badan menurut Umur (TB/U) berada di antara -3 Standar Deviasi (SD) sampai

-2 SD. Sangat pendek (severe stunting) adalah keadaan dimana hasil

pengukuran PB/U atau TB/U di bawah -3 SD.4,5

B. Epidemiologi stunting
Stunting merupakan masalah gizi utama yang terjadi pada negara-negara

berkembang. UNICEF mengemukakan sekitar 80% anak stunting terdapat di 24

negara berkembang di Asia dan Afrika.3Indonesia merupakan negara urutan

kelima yang memiliki prevalensi anak stunting tertinggi setelah India, China,

Nigeria dan Pakistan. Saat ini, prevalensi anak stunting di bawah 5 tahun di Asia

Selatan sekitar 38%.11

Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting merupakan salah

satu masalah gizi yang dialami oleh balita di dunia saat ini. Pada tahun 2017

22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami stunting. Namun angka

ini sudah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan angka stunting pada

9
tahun 2000 yaitu 32,6%. Pada tahun 2017, lebih dari setengah balita stunting di

dunia berasal dari Asia (55%) sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) tinggal di

Afrika. Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia

Selatan (58,7%) dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah (0,9%). Data

prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health Organization (WHO),

Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional

Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR). Rata-rata prevalensi balita

stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4%.12

Kejadian balita stunting (pendek) merupakan masalah gizi utama yang

dihadapi Indonesia. Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga

10
tahun terakhir, pendek memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan

masalah gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan gemuk. Prevalensi balita

pendek mengalami peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada

tahun 2017.12

Gambar 3 Masalah Gizi di Indonesia Tahun 2015-2017

C. Penilaian stunting

Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian

yaitu antropometri, klinis, biokimia dan biofisik. Antropometri gizi adalah

pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan

tingkat gizi. Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain: berat badan, tinggi badan,

lingkar lengan, dan tebal lemak di bawah kulit. Indeks Antropometri adalah

BB/U (berat badan/umur), TB/U (tinggi badan/umur). BB/TB (berat badan/tinggi

badan), LLA/U (lingkar lengan atas/umur), LLA/TB (lingkar lengan atas/tinggi

badan). Status gizi diklasifikasikan menurut antropometri Depkes (2010)

berdasarkan panjang badan menurut umur (PB/U) atau tinggi badan menurut umur

(TB/U):5

a. Sangat pendek : ambang batas (z score = < -3 SD)

11
b. Pendek : ambang batas (z score = -3 SD sampai <-2 SD)

c. Normal : ambang batas (z score = -2 SD sampai 2 SD)

d. Tinggi : ambang batas (z score = > 2 SD)

D. Faktor Risiko stunting


Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan

oleh faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita. Intervensi

yang paling menentukan untuk dapat mengurangi prevalensi stunting oleh

karenanya perlu dilakukan pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak

balita. (Kementerian Kesehatan RI, 2018) Menurut Prendergast, A. J., &

Humphrey, J.H (2014), faktor risiko stunting dapat dikategorikan ke dalam

beberapa kondisi yakni keadaan ibu/wanita usia subur, keadaan bayi, dan

keadaan lingkungan. Kondisi tersebut secara singkat dijelaskan sebagai berikut:13

a. Ibu hamil yang Kurang Energi Kronis (KEK) dan menderita anemia,

b. Bayi yang tidak mendapat Air Susu Ibu (ASI) eksklusif,

c. Makanan Pendamping ASI (MPASI) yang tidak tepat,

d. Pertumbuhan yang tidak dipantau,

e. Penyediaan air bersih dan sanitasi yang tidak layak

12
Gambar 4 Bagan Faktor Risiko yang mempengaruhi kejadian stunting14

Gambar 4 tersebut menjelaskan bahwa faktor risiko stunting disebabkan

banyak faktor yaitu faktor lingkungan,faktor keluarga dan anak. Secara garis besar

dapat disimpulkan faktor risiko stunting terdiri dari faktor kehamilan ibu, faktor

anak, faktor keluarga dan faktor lingkungan.

Faktor kehamilan ibu adalah faktor risiko stunting fase pertama terjadi pada

saat masa prenatal. Faktor prenatal yang mempengaruhi kejadian stunting meliputi

status gizi ibu yang diukur melalui LILA, penambahan berat badan trimester III,

kadar HB selama kehamilan, serta tinggi badan ibu yang pendek. Kondisi

kesehatan dan status KEK ibu saat hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan dan

perkembangan janin selama dikandungan, ibu dengan asupan energy yang rendah

saat hamil, dapat diikuti pula dengan supan yang di terima janin. Status KEK yang

diukur dengan LILA ini perlu di perhatikan dan dicermati pada masa sebelum

kehamilan dan usia subur agar proses kehamilan aman dan tidak beresiko.

13
Penambahan berat badan saat hamil merupakan faktor penting dalam

perkembangan fisik janin, karna hal tersebut berhubungan dengan jumlah asupan

makanan yang diterima janin. Penelitian yang dilakukan oleh Y.Jiang, (2014)

dimana usia diatas 35 tahun saat hamil memiliki resiko melahirkan anak stunting

2,74 kali dibanding ibu yang melahirkan pada usia 25-35 tahun. Kehamilan

dengan umur kehamilan 20-35 tahun merupakan masa aman karena kematangan

organ reproduksi dan mental untuk menjalani kehamilan serta persalinan

sudah siap . .15,16

Faktor anak meliputi kondisi pada bayi yang lahir dengan BBLR, sejak

dalam kandungan telah mengalami retardasi pertumbuhan interauterin dan akan

berlanjut sampai usia selanjutnya setelah dilahirkan yaitu mengalami

pertumbuhan dan perkembangan yang lebih lambat dari bayi yang dilahirkan

normal dan sering gagal menyusul tingkat pertumbuhan yang seharusnya dicapai

pada usianya setelah lahir. Bayi berat lahir rendah merupakan masalah penting

dalam pengelolaannya karena mempunyai kecenderungan ke arah peningkatan

terjadinya infeksi, kesukaran mengatur nafas tubuh sehingga mudah untuk

menderita hipotermia. Tumbuh kembang anak yang mium ASI lebih baik, karena

komposisi ASI yang sangat menunjang pertumbuhan anak.17,18

Faktor keluarga yaitu pertumbuhan ekonomi dan adanya peningkatan

penghasilan yang berkaitan dengan kejadianm stunting, maka perbaikan gizi akan

tercapai dengan sendirinya. Pendidikan tinggi dapat mencerminkan pendapatan

yang lebih tinggi dan ayah akan lebih mendapat perhatian gizi anak. Ibu yang

berpendiidkan diketahui lebih luas pengetahuannya tentang praktik perawatan

14
anak. Pekerjaan merupakan faktor penting dalam menentukan kualitas dan

kuantitas pangan, karena pekerjaan berhubungan dengan pendapatan dengan

demikian terdapat asosiasi antara pendapatan dengan gizi. Pola makan pada balita

sangat berperan penting dalam proses pertumbuhan pada balita, karena dalam

makanan banyak mengandung gizi. Jumlah anak pada keluarga yang mampu atau

berkecukupan dapat menyebabkan berkurangnya perhatian dan kasih sayang yang

diterima anak terlebih lagi jika jarak terlalu dekat. Asuhan anak atau interaksi ibu

dan anak terlihat erat sebagai indikator kualitas dan kuantitas peranan ibu dalam

mengasuh anak. Peran ibu dalam keluarga mempunyai peranan besar dalam

menanamkan kebiasaan makan anak. Pola asuh pada anak merupakan salah satu

kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang.17,18

Faktor lingkungan meliputi sanitasi lingkungan memiliki peran yang cukup

dominan terhadap kesehatan anak dan tumbuh kembangnya. Kebersihan, baik

kebersihan perorangan maupun lingkungan, memegang peranan yang penting

dalam menimbulkan penyakit. Akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi

yang buruk dapat meningkatkan kejadian penyakit infeksi yang dapat membuat

energi untuk pertumbuhan teralihkan kepada perlawanan tubuh menghadapi

infeksi. Penelitian Van der Hoek, (2002), yang menyatakan bahwa anak-anak

yang berasal dari keluarga yang mempunyai fasilitas air bersih memiliki

prevalensi diare dan stunting lebih rendah dari pada anak-anak dari keluarga yang

tanpa fasilitas air bersih dan kepemilikan jamban.13,17,18

E. Dampak stunting

Stunting pada balita perlu mendapatkan perhatian khusus karena dapat

menyebabkan terhambatnya pertumbuhan fisik, perkembangan mental dan status

15
kesehatan pada anak. Studi terkini menunjukkan anak yang mengalami stunting

berkaitan dengan prestasi di sekolah yang buruk, tingkat pendidikan yang rendah

dan pendapatan yang rendah saat dewasa. Anak yang mengalami stunting

memiliki kemungkinan lebih besar tumbuh menjadi individu dewasa yang tidak

sehat dan miskin. Stunting pada anak juga berhubungan dengan peningkatan

kerentanan anak terhadap penyakit, baik penyakit menular maupun Penyakit

Tidak Menular (PTM) serta peningkatan risiko overweight dan obesitas. Keadaan

overweight dan obesitas jangka panjang dapat meningkatkan risiko penyakit

degeneratif. Kasus stunting pada anak dapat dijadikan predictor rendahnya

kualitas sumber daya manusia suatu negara.19

Keadaan stunting menyebabkan buruknya kemampuan kognitif, rendahnya

produktivitas, serta meningkatnya risiko penyakit mengakibatkan kerugian jangka

panjang bagi ekonomi Indonesia. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak

yang pada masa balitanya mengalami stunting memiliki tingkat kognitif rendah,

prestasi belajar dan psikososial buruk.Anak yang mengalami severe stunting di

dua tahun pertama kehidupannya memiliki hubungan sangat kuat terhadap

keterlambatan kognitif di masa kanak-kanak nantinya dan berdampak jangka

panjang terhadap mutu sumberdaya (Brinkman et al. 2010; Martorell et al. 2010).

Kejadian stunting yang berlangsung sejak masa kanak-kanak memiliki hubungan

terhadap perkembangan motorik lambat dan tingkat intelegensi lebih rendah

(Martorell et al. 2010). Penelitian lain menunjukkan anak (9-24 bulan) yang

stunting selain memiliki tingkat intelegensi lebih rendah, juga memiliki penilaian

lebih rendah pada lokomotor, koordinasi tangan dan mata, pendengaran,berbicara,

maupun kinerja jika dibandingkan dengan anak normal.19

16
F. Kerangka intervensi stunting di Indonesia

Pada 2010, gerakan global yang dikenal dengan Scaling-Up Nutrition

(SUN) diluncurkan dengan prinsip dasar bahwa semua penduduk berhak untuk

memperoleh akses ke makanan yang cukup dan bergizi. Pada 2012, Pemerintah

Indonesia bergabung dalam gerakan tersebut melalui perancangan dua kerangka

besar Intervensi Stunting. Kerangka Intervensi Stunting tersebut kemudian

diterjemahkan menjadi berbagai macam program yang dilakukan oleh

Kementerian dan Lembaga (K/L) terkait. Kerangka Intervensi Stunting yang

dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu Intervensi Gizi

Spesifik dan Intervensi Gizi Sensitif. Kerangka pertama adalah Intervensi Gizi

Spesifik. Ini merupakan intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1.000 Hari

Pertama Kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada 30% penurunan stunting.

Kerangka kegiatan intervensi gizi spesifik umumnya dilakukan pada sektor

kesehatan. Intervensi ini juga bersifat jangka pendek dimana hasilnya dapat

dicatat dalam waktu relatif pendek. Kegiatan yang idealnya dilakukan untuk

melaksanakan Intervensi Gizi Spesifik dapat dibagi menjadi beberapa intervensi

utama yang dimulai dari masa kehamilan ibu hingga melahirkan balita:20

I. Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Hamil. Intervensi ini meliputi

kegiatan memberikan makanan tambahan (PMT) pada ibu hamil untuk

mengatasi kekurangan energi dan protein kronis, mengatasi kekurangan zat

besi dan asam folat, mengatasi kekurangan iodium, menanggulangi

kecacingan pada ibu hamil serta melindungi ibu hamil dari Malaria.

II. Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 0-6

Bulan. Intervensi ini dilakukan melalui beberapa kegiatan yang mendorong

17
inisiasi menyusui dini/IMD terutama melalui pemberian ASI

jolong/colostrum serta mendorong pemberian ASI Eksklusif.

III. Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 7-

23 bulan. Intervensi ini meliputi kegiatan untuk mendorong penerusan

pemberian ASI hingga anak/bayi berusia 23 bulan. Kemudian, setelah bayi

berusia diatas 6 bulan didampingi oleh pemberian MP-ASI, menyediakan

obat cacing, menyediakan suplementasi zink, melakukan fortifikasi zat besi

ke dalam makanan, memberikan perlindungan terhadap malaria, memberikan

imunisasi lengkap, serta melakukan pencegahan dan pengobatan diare.

Kerangka Intervensi Stunting yang direncanakan oleh Pemerintah yang

kedua adalah Intervensi Gizi Sensitif. Kerangka ini idealnya dilakukan melalui

berbagai kegiatan pembangunan diluar sector kesehatan dan berkontribusi pada

70% Intervensi Stunting. Sasaran dari intervensi gizi spesifik adalah masyarakat

secara umum dan tidak khusus ibu hamil dan balita pada 1.000 Hari Pertama

Kehidupan/HPK. Kegiatan terkait Intervensi Gizi Sensitif dapat dilaksanakan

melalui beberapa kegiatan yang umumnya makro dan dilakukan secara lintas

Kementerian dan Lembaga. Ada 12 kegiatan yang dapat berkontribusi pada

penurunan stunting melalui Intervensi Gizi Sensitif sebagai berikut:20

1) Menyediakan dan memastikan akses terhadap air bersih.

2) Menyediakan dan memastikan akses terhadap sanitasi.

3) Melakukan fortifikasi bahan pangan.

4) Menyediakan akses kepada layanan kesehatan dan Keluarga Berencana (KB).

5) Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

6) Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal).

18
7) Memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua.

8) Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Universal.

9) Memberikan pendidikan gizi masyarakat.

10) Memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi, serta gizi pada

remaja.

11) Menyediakan bantuan dan jaminan sosial bagi keluarga miskin.

12) Meningkatkan ketahanan pangan dan gizi.

Kedua kerangka Intervensi Stunting diatas sudah direncanakan dan

dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia sebagai bagian dari upaya nasional untuk

mencegah dan mengurangi pervalensi stunting.

BAB III
METODE PENELITIAN

19
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan rancangan

studi cross-sectional, yaitu pengumpulan data sekaligus dalam satu waktu.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Alalak selatan yang berada di wilayah kerja

Puskesmas Alalak selatan. Puskesmas ini beralamat di Jalan A. Yani KM 103,

Desa Rumintin yang memiliki wilayah kerja 11 desa, yaitu Tambarangan,

Lawahan, Rumintin, Suato Suato Tatakan, Suato Tatakan, Sawang, Harapan

Masa, Timbaan, Cempaka, Tandui dan Desa Hatiwin. Waktu Penelitian ini

dilakukan dari tanggal 12 dan 15 Februari 2020.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi penelitian ini semua pasien yang menderita stunting di Alalak

Selatan. Kriteria populasi adalah menderita stunting dengan standar antropometri

penilaian status gizi anak hasil pengukuran Panjang Badan menurut Umur (PB/U)

atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) berada di antara -3 Standar Deviasi

(SD) sampai -2 SD. Sangat pendek (severe stunting) adalah keadaan dimana

hasil pengukuran PB/U atau TB/U di bawah -3 SD.

2. Sampel

Sampel penelitian ini diambil dari populasi dengan besar sampel minimal 30

orang. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini diambil secara Purposive

Sampling, sehingga sampel pada penelitian ini ialah balita penderita stunting.

20
D. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan pendekatan individu dengan

pembagian kuesioner untuk mengetahui faktor risiko kehamilan ibu pada

kejadian stunting. Adapun jenis data dalam penelitian ini adalah data primer

yang diperoleh dari pengisian kuesioner.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah hasil kuesioner yang

didapat dari sampel di wilayah kerja Puskesmas Alalak selatan.

F. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah faktor risiko kebersihan

lingkungan.

2. Variabel terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kejadian balita stunting.

G. Definisi Operasional

Adapun definisi operasional untuk penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Sanitasi lingkungan adalah tingkat pemenuhan syarat kesehatan aspek


lingkungan rumah dan pemukiman tempat tinggal anak balita. Pengukuran
dilakukan dengan sistem skoring dan pembobotan. Jumlah pertanyaan ada 7
buah. Jawaban A diberi nilai 2 dan jawaban B diberi nilai 1. Berdasarkan
jumlah pertanyaan maka skor tertinggi adalah 14 dan skor terendah adalah 7.
Bila keluarga responden tidak memiliki saluran air limbah maka responden
mendapat skor terendah yaitu 7. Berdasarkan skoring maka sanitasi
lingkungan dikategorikan menjadi : 1. Buruk : jika responden mendapat nilai
≤10; 2. Baik : jika responden mendapat nilai >10.

21
2. Higiene perorangan adalah tingkat kebersihan individu/responden dalam
menjalankan aktivitas sehari-hari. Pengukuran dilakukan dengan sistem
skoring dan pembobotan. Jumlah pertanyaan ada 7 buah. Jawaban A diberi
nilai 3, jawaban B diberi nilai 2 dan jawaban C diberi nilai 1. Berdasarkan
jumlah pertanyaan maka skor tertinggi adalah 21 dan skor terendah adalah 7.
Berdasarkan skoring maka sanitasi lingkungan dikategorikan menjadi : 1.
Buruk : jika responden mendapat nilai ≤13; 2. Baik : jika responden mendapat
nilai >13.
3. Penyediaan air bersih adalah keadaan penggunaan dan pengolahan air bersih
untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari. Pengukuran dilakukan dengan sistem
skoring dan pembobotan. Jumlah pertanyaan ada 7 buah. Jawaban A diberi
nilai 2 dan jawaban B diberi nilai 1. Berdasarkan jumlah pertanyaan maka
skor tertinggi adalah 14 dan skor terendah adalah 7. Berdasarkan scoring
maka sanitasi lingkungan dikategorikan menjadi : 1. Buruk : jika responden
mendapat nilai ≤10; 2. Baik : jika responden mendapat nilai >10.
4. Ketersediaan Jamban adalah ada tidaknya sarana pembuangan air besar bagi
keluarga yang memenuhi syarat kesehatan. Pengukuran dilakukan dengan
sistem skoring dan pembobotan. Jumlah pertanyaan ada 7 buah. Jawaban A
diberi nilai 2 dan jawaban B diberi nilai 1. Berdasarkan jumlah pertanyaan
maka skor tertinggi adalah 14 dan skor terendah adalah 7. Bila keluarga
responden tidak memiliki jamban maka responden mendapat skor terendah
yaitu 7. Berdasarkan scoring maka sanitasi lingkungan dikategorikan menjadi
: 1. Buruk : jika responden mendapat nilai ≤10; 2. Baik : jika responden
mendapat nilai >10.
H. Prosedur Penelitian
1. Pengumpulan data mengenai masalah apa saja yang terjadi di Puskesmas

Tambarangan.

2. Pemilihan masalah yang akan dijadikan topik pada miniproject kali ini.

3. Pengumpulan data dan penyusunan kuesioner untuk faktor risiko kesehatan

lingkungan terhadap kejadian balita stunting.

22
4. Persiapan penelitian dengan pengurusan perizinan di Puskesmas

Tambarangan Tapin Selatan.

5. Pelaksanaan penelitian, pengambilan data dilakukan di setiap Posyandu Nusa

Indah dan Posyandu Melati dan di wilayah kerja Puskesmas Tambarangan.

Pencatatan data penelitian sesuai dengan blanko kuesioner penelitian.

6. Pelaporan penelitian, semua hasil penelitian dan analisis data dilaporkan

sesuai format laporan penelitian.

I. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data

Setelah kuesioner diisi, maka dapat dilakukan pengolahan data dengan

langkah-langkah sebagai berikut :

1. Editing, yaitu meneliti kembali apakah pertanyaan dalam lembar kuesioner

sudah ditanyakan semua atau belum. Editing dilakukan ditempat

pengumpulan data sehingga jika ada kekurangan data dapat segera

dikonfirmasi kepada responden.

2. Coding, yaitu mengklasifikasikan jawaban-jawaban yang ada menurut

jenisnya. Klasifikasi dilakukan dengan menandai masing-masing jawaban

dengan kode berupa angka kemudian dimasukan dalam lembaran tabel kerja

guna mempermudah pembacaan.

3. Tabulating, yaitu langkah memasukkan data-data hasil penelitian ke dalam

tabel-tabel sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan.

4. Entry data, yaitu proses memasukkan data dengan Microsoft Excel.

5. Cleaning, yaitu memeriksa kembali data yang sudah di entry apakah ada

kesalahan atau tidak, atau membuang data yang sudah tidak dipakai.

23
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Telah dilakukan penelitian untuk gambaran Faktor Risiko Kebersihan

Lingkungan pada Kejadian Balita Stunting di Desa Suato Tatakan pada Bulan

Februari 2020. Jumlah sampel penelitian sebanyak 32 sampel. Penyajian data

dalam penelitian ini dengan analisis univariat. Analisis univariat digunakan untuk

menilai distribusi dari setiap faktor risiko kesehatan lingkungan.

A. Faktor Risiko Sanitasi Lingkungan

Tabel 4.1 Presentasi Faktor Risiko Sanitasi Lingkungan


Faktor Sanitasi Frekuensi (n) Persentase (%)
Lingkungan
Buruk 3 9,4
Baik 29 90,6
Total 32 100

Dari hasil penelitian di Desa Suato Tatakan didapatkan persentasi faktor


sanitasi lingkungan yang buruk sebanyak 9,4% dan sanitasi lingkungan yang baik
sebanyak 90,6%. Sanitasi merupakan faktor penting dalam menciptakan
lingkungan yang sehat. Banyaknya penyakit ditularkan karena tidak dilakukan
cara-cara penanganan sanitasi yang benar. Rendahnya mutu sanitasi lingkungan
merupakan keadaan yang potensial untuk menjadi sumber penularan penyakit.
Akan tetapi dalam penelitian ini sanitasi lingkungan di Desa Suato Tatakan dalam
kondisi baik.

24
B. Faktor Risiko Higiene Perorangan

Tabel 4.2 Presentasi Faktor Higiene Perorangan


Faktor Higiene Frekuensi (n) Persentase (%)
Perorangan
Buruk 0 0
Baik 32 100
Total 32 100

Dari hasil penelitian di Desa Suato Tatakan didapatkan persentasi faktor

hiegene perorangan yang buruk sebanyak 0% dan hiegene perorangan yang baik

sebanyak 100%. Hal ini menunjukan bahwa faktor hiegene perorangan di Desa

Suato Tatakan tergolong baik.

C. Faktor Risiko Penyediaan Air Bersih

Tabel 4.3 Presentasi Faktor Penyediaan Air Bersih


Faktor Higiene Frekuensi (n) Persentase (%)
Perorangan
Buruk 18 56.2
Baik 14 43.8
Total 32 100

Dari hasil penelitian di Desa Suato Tatakan didapatkan persentasi faktor

penyediaan air bersih yang buruk sebanyak 56,2% dan penyediaan air bersih yang

baik sebanyak 43,8%. Untuk mencegah terjadinya penyakit maka air bersih harus

diambil dari sumber yang terlindungi/tidak terkontaminasi. Sumber air bersih

harus jauh dari kandang ternak dan kakus paling sedikit sepuluh meter dari

sumber air. Air harus ditampung dalam wadah yang bersih dan pengambilan air

dalam wadah dengan menggunakan gayung yang bersih, dan untuk minum air

harus di masak. Pada penelitian kali ini penyediaan air bersih di desa suato tatakan

termasuk buruk. Hal ini sesuai dengan penelitian Titaley et al, yang menyatakan

25
akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi yang buruk dapat meningkatkan

kejadian penyakit infeksi yang dapat membuat energi untuk pertumbuhan

teralihkan kepada perlawanan tubuh menghadapi infeksi dan menurut penelitian

Van der Hoek, menyatakan bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga yang

mempunyai fasilitas air bersih memiliki prevalensi stunting lebih rendah dari pada

anak-anak dari keluarga yang tanpa fasilitas air bersih.13,14,17,18

D. Faktor Risiko Ketersediaan Jamban

Tabel 4.4 Presentasi Faktor Ketersediaan Jamban


Faktor Ketersediaan Frekuensi (n) Persentase (%)
Jamban
Buruk 3 9,4
Baik 29 90,6
Total 30 100

Dari hasil penelitian di Desa Suato Tatakan didapatkan persentasi faktor

ketersediaan jamban yang buruk sebanyak 9,4% dan ketersediaan yang baik

sebanyak 90,6%. Pembuangan tinja yang tidak tepat dapat berpengaruh langsung

terhadap penyakit. Untuk mencegah kontaminasi tinja terhadap lingkungan, maka

pembuangan kotoran manusia harus dikelola dengan baik pada jamban memenuhi

syarat kesehatan. Akan tetapi ketersediaan jamban di Desa Suato Tatakan masih

tergolong baik.

Berdasarkan jurnal yang ditulis oleh Jovana Dodos dkk pada tahun 2017,

membahas bahwa adanya hubungan antara ketersediaan air bersih, sanitasi

lingkungan dan perilaku higiene memengaruhi kejadian stunting sebesar 24,5%,

nilai tersebut berpengaruh besar dibandingkan dengan faktor-faktor yang lain.

Pada penelitian di Desa Suato Tatakan faktor penyediaan air bersih yang buruk

memiliki nilai 56,2%, dan menurut jurnal tersebut pengaruh dari ketersediaan air

26
bersih sebesar 40%, sanitasi lingkunan sebesar 16,7%, higiene lingkungan sebesar

6,7%, dan untuk perilaku higiene berpengaruh sebesar 36,7%. Pengelolaan limbah

yang tidak memadai, akses air yang kurang aman, pasokan air yang tidak

memadai, dan perilaku higiene yang buruk secara konsisten diidentifikasi sebagai

salah satu penyebab utama kekurangan gizi di 12 studi yang dilakukan oleh

Nutrition Causal Analysis (NCA). 21

Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Lisa Cameron,

Manisha Shah dan Susan Olivia di 8 kabupaten di Jawa Timur yaitu Probolinggo,

Bondowoso, Situbondo, Banyuwangi, Ngawi, Madiun, Jombang, dan Blitar pada

tahun 2013 yang melakukan intervensi dengan membangun jamban sehat dan

meningkatkan akses air bersih. Penelitian mereka menunjukkan adanya

peningkatan angka pertumbuhan berat badan dan tinggi badan anak pada

kelompok yang mendapatkan intervensi sanitasi lingkungan dibandingkan dengan

kelompok kontrol yang tidak dilakukan intervensi.22

Berdasarkan jurnal Maternal & Child Nutrition pada tahun 2016 yang

ditulis oleh Oliver Cumming dan Sandy Cairncross, akses air, sanitasi lingkungan,

dan higiene yang baik memberikan pengaruh yang besar terhadap kesehatan.

Penelitian-penelitian yang telah dilakukan juga membuktikan bahwa air, sanitasi

lingkungan, dan higiene membawa dampak positif yang signifikan terhadap anak-

anak dengan gizi kurang. Ketersediaan air bersih, sanitasi lingkungan, dan

perilaku higiene sendiri tidak bisa menghapuskan angka stunting, namun

berpotensi untuk mempercepat penurunan angka stunting dengan strategi yang

komprehensif.23

27
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan

bahwa :

1. Persentasi faktor sanitasi lingkungan yang

buruk di Desa Suato Tatakan sebanyak 9,4% dan sanitasi lingkungan yang

baik sebanyak 90,6%.

2. Persentasi faktor hiegene perorangan yang

buruk di Desa Suato Tatakan sebanyak 0% dan hiegene perorangan yang

baik sebanyak 100%.

3. Persentasi faktor penyediaan air bersih yang

buruk di Desa Suato Tatakan sebanyak 56,2% dan penyediaan air bersih

yang baik sebanyak 43,8%.

4. Persentasi faktor ketersediaan jamban yang

buruk di Desa Suato Tatakan sebanyak 9,4% dan ketersediaan yang baik

sebanyak 90,6%.

5. Faktor penyediaan air bersih yang buruk

mempengaruhi kejadian stunting di Desa Suato Tatakan.

B. Saran

1. Peneliti

a. Lebih sering dan aktif dalam menganalisa permasalahan kesehatan

terutama pada faktor kesehatan lingkungan.

28
b. Lebih sering berinteraksi dengan masyarakat untuk menindak lanjuti

suatu penyakit yang dialami oleh komunitas masyarakat tertentu.

2. Puskesmas

a. Perlu dilakukan penyuluhan, penempelan poster, serta pembagian

brosur mengenai faktor risiko stunting.

b. Perlunya evaluasi secara berkala program stunting.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Keuangan. Penanganan stunting terpadu tahun 2018.


Republik Indonesia; 2018.

2. Unicef. Improving child nutrition the achievable imperative for global


progress. New York: 2013.

3. Kemenkes RI. Riset kesehatan dasar. 2018

4. Bloem MW, Pee SD, Hop LT, Khan NC, Laillou A. et al. Key
strategies to further reduce stunting in Southeast Asia: Lessons from the
ASEAN countries workshop. Food and utrition Bulletin: 2013:34:2.

5. Kementerian Kesehatan RI. Standar antropometri penilaian status gizi


anak. Republik Indonesia; 2011.
PBLSUNGAI BILU 15,16,17,18,19
6. WHO. Childhood Stunting: Context, Causes and Consequences. WHO
Conceptual Framework; 2013.

7. Chirande L. Charwe D. Mbwana H. Victor R. Kimboka S. Issaka AI.


Baines SK. Dibley MJ. Agho KE. Determinants of Stunting And Severe
Stunting Among Under-Fives In Tanzania: Evidence From The 2010
Cross-Sectional Household Survey. BMC Pediatrics 2015; 15:165.

8. Bora R. Sable C. Wolfson J. Prevalence of anemia in pregnant women and


its effect on neonatal outcomes in Northeast India. Journal of Maternal
Fetal and Neonatal Medicine. 2013; 27(9) : 887-91.

9. Rosha B. Hardinsyah C. Baliwati YF. Analisis Determinan Stunting Anak


0-23 Bulan Pada Daerah Miskin Di Jawa Tengah Dan Jawa Timur. Penel
Gizi Makan.2013; 35(1): 34-41.

10. Sutan, Rosnah. Mazlina M. Mahat AN. Tamil AM. Determinant of Low
Birth Weight Infants: A Matched Case Control Study. Open Journal of
Preventive Medicine. 2014; 4: 91-9.
11. UNICEF. 2014. The State of the World‟s Children 2014 in Numbers.
Everychild Counts: Revealing Disparities, Advancing Children‟s Rights.
New York. USA www.unicef.org/publications. Diakses 2 Februari 2020.

30
12. Kementerian Kesehatan. Buletin Jendela Data dan informasi kesehatan
Situasi Balita pendek (stunting) di Indonesia. Pusat Data dan Informasi.
2018.

13. Hasan A, Kadarusman H. Akses ke Sarana Sanitasi Dasar sebagai Faktor


Risiko Kejadian Stunting pada Balita Usia 6-59 Bulan. Jurnal Kesehatan.
2019; 10(3): 413-421.

14. Titaley CR, Ariawan I, Hapsari D, Muasyaroh A, Dibley MJ.


Determinants of the Stunting of Children Under Two Years Old in
Indonesia: A Multilevel Analysis of the 2013 Indonesia Basic Health
Survey. Nutrients. 2019; 11: 1-13.

15. Apriningtyas VN, Kristini TD. Faktor Prenatal yang Berhubungan dengan
Kejadian Stunting Anak Usia 6-24 Bulan. Jurnal Kesehatan MAsyrakat
Indonesia. 2019; 14(2): 13-17.

16. Y. Jiang, X. Su, C. Wang, L. Zhang, X. Zhang, L. Wang and Y. Cui.


((2014). Prevalence and risk factors for stunting and severe stunting
among children under three years old in mid-western rural areas of China

17. Putri TA. Faktor Risiko Kejadian Stunting Pada Balita Usia 25-59 Bulan
Di Wilayah Puskesmas Kotagede I Kota Yogyakarta Tahun 2018[skripsi].
Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Yogyakarta. 2018.

18. Nurjanah LU. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian


Stunting Di Wilayah Kerja Upt Puskesmas Klecorejo Kabupaten Madiun
Tahun 2018[skripsi]. Stikes Bhakti Husada Mulia Madiun.2018.

19. Setiawan E, Machmud R, Masrul. Faktor-Faktor yang Berhubungan


dengan Kejadian Stunting pada Anak Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja
Puskesmas Andalas Kecamatan Padang Timur Kota Padang Tahun 2018.
Jurnal Kesehatan Anadalas. 2018; 7(2): 275-284

20. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. 100


Kabupaten/Kota Prioritas Untuk Intervensi Anak Kerdil (Stunting.)
Jakarta; TNP2K. 2017.

31
21. Dodos J, Blanche M, Jean L, Mathias A, Myriam A. Relationship between
water, sanitation, hygiene and nutrition: what do NCA links say nutrition
causal analysis?. Waterlines, Vol. 36 (4). 2017; 286-287.

22. Cameron, Lisa, Manisha S, Susan O. Impact Evaluation of a Large-Scale


Rural Sanitation Project in Indonesia. Policy Research Working Paper,
6360 (83). 2013; 31.

23. Cumming O, Sandy C. Can Water, Sanitation, and Hygene help eliminate
stunting? Current Evidence and Policy Implications. Maternal & Child
Nutrition, Vol. 12 (1), 2016; 91-105.

32
LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuesioner Gambaran Faktor Risiko Kesehatan Lingkungan pada


Kejadian Balita di Desa Suato Suato Tatakan

Sanitasi Lingkungan
1. Dimanakah Ibu dan keluarga A. Tong sampah/lobang sampah
membuang sampah? B. sembarang tempat
2. Apakah rumah Ibu memiliki A. Ya
saluran air limbah? B. Tidak

3. Bagaimana keadaan saluran air A. Tertutup


tersebut? B. Terbuka
4. Apakah aliran air pada saluran air A. Ya
limbah berjalan lancar? B. Tidak
5. Apakah pekarangan Ibu sering A. Tidak
dikotori ternak atau hewan yang B. Ya
buang kotoran?
6. Apakah pekarangan rumah Ibu A. Ya
sering dibersihkan? B. Tidak
7. Berapa meterkah jarak rumah A. ≥10 m
dengan kandang ternak? B. <10 m
Higiene Perorangan
8. Apakah setiap sebelum makan apa A. Ya, selalu
saja ibu selalu mencuci tangan? B. Kadang-kadang
C. Tidak pernah
9. Apakah setiap selesai membuang A. Ya, selalu
air besar ibu selalu mencuci B. Kadang-kadang
tangan? C. Tidak pernah
10. Apakah ibu selalu mencuci tangan A. Ya selalu
sebelum menyuapi anak balita? B. Kadang-kadang
C. Tidak pernah
11. Apakah tangan anak balita juga A. Ya, selalu
selalu dibersihkan? B. Kadang-kadang
C. Tidak pernah
12. Apakah ibu selalu mencuci A. Ya, selalu
peralatan yang digunakan oleh B. Kadang-kadang
anak balita (dot/gelas minum)? C. Tidak pernah
13. Apakah ibu selalu menutup A. Ya, selalu
makanan yang sudah dimasak B. Kadang-kadang
sebelum makan? C. Tidak pernah
14. Apakah ibu dan balita selalu A. Ya, selalu
menggunting kuku bila sudah B. Kadang-kadang
terlihat agak panjang? C. Tidak pernah
Penyediaan Air Bersih

33
15. Darimanakah ibu memperoleh air A. Air PAM/sumur pompa
untuk keperluan masak? B. Sumur gali
16. Apakah sumber air tersebut juga A. Tidak
dipergunakan oleh keluarga lain? B. Ya
17. Apakah air yang dikonsumsi A. Tidak (jernih)
berwarna? B. Ya (agak keruh)
18. Apakah air yang dikonsumsi A. Tidak (tawar)
berasa? B. Ya
19. Apakah air yang dikonsumsi A. Tidak
berbau? B. Ya

20. Apakah air minum yang diberikan A. Ya


kepada anak balita dimasak hingga B. Tidak
mendidih?
21. Berapa meterkah jarak septic tank A. ≥ 10 m
dengan sumber air minum? B. < 10 m
Ketersediaan Jamban
22. Apakah di rumah ibu tersedia A. Ya
jamban? B. Tidak
23. Jenis jamban apa yang Ibu A. Leher angsa
pergunakan? B. Cemplung,cupluk
24. Apakah Ibu dan balita A. Ya
menggunakan jamban jika buang B. Tidak
air besar
25. Apakah jamban tersebut memiliki A. Ya
septic tank B. Tidak
26. Adakah air tersedia untuk A. Ya
keperluan jamban? B. Tidak
27. Bagaiman keadaan jamban yang A. Bersih
dimiliki? B. Kotor
28. Bagaimana keadaan jamban yang A. Tertutup
ibu miliki? B. Terbuka

34
Lampiran 2. Dokumentasi Kegiatan

35
36

Anda mungkin juga menyukai