Anda di halaman 1dari 41

KONJUNGTIVITIS

Disusun Oleh:
Dewa Ayu Putu Bella Ayunda Putri 18710006

PEMBIMBING:

dr. H. M. Tauhid Rafi’i, Sp.M

dr. Hj. Pinky Endriana Heliasanty, Sp.M

dr. Miftakhur Rohmah, Sp.M

LAB/KSM ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA
SURABAYA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SIDOARJO

2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat dan karuniaNya lah penulis mampu menyeselesaikan tugas
referat yang berjudul “Konjungtivitis” dengan tepat pada waktunya. Referat ini
diajukan untuk memenuhi tugas dalam rangka menjalani kepaniteraan klinik di
SMF Ilmu Penyakit Mata di RSUD Sidoarjo. Pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. dr. H. M. Tauhid Rafi’i, Sp.M, dr. Hj. Pinky Endriana Heliasanty, Sp.M dan
dr. Miftakhur Rohmah, Sp.M selaku dokter pembimbing di SMF
Departemen Ilmu Penyakit Mata RSUD Sidoarjo.
2. Kepada tenaga paramedis yang telah membantu penulis selama
menjalankan kepaniteraan klinik di poli Ilmu Penyakit Mata RSUD Sidoarjo
3. Kepada teman-teman sejawat dokter muda yang sudah memberikan
masukan dan membantu dalam menyelesaikan referat ini.
Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu terwujudnya referat ini. Penulis sangat menyadari bahwa referat ini
masih jauh dari sempurna, maka dari itu penulis mengharapkan kritik serta saran
yang membangun guna kemajuan karya penulis dimasa yang akan datang. Semoga
referat ini bermanfaat untuk dokter muda yang melaksanakan kepaniteraan klilnik
di Ilmu Penyakit Mata RSUD Sidoarjo, serta pembaca umum. Akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih.

Sidoarjo, 28 Januari 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Permukaan posterior kelopak mata dan permukaan anterior sclera


dibungkus oleh membran mukosa transparan dan tipis yang disebut Konjungtiva.
Karena lokasinya, konjungtiva terpajan oleh banyak mikroorganisme dan faktor –
faktor lingkungan lain yang mengganggu. Keadaan ini dapat menyebabkan radang
konjungtiva atau Konjungtivitis.
Konjungtivitis adalah keradangan pada selaput lendir yang mengenai bagian
putih mata dan bagian dalam kelopak mata. Peradangan tersebut menyebabkan
timbulnya berbagai macam gejala, salah satunya adalah mata merah. Peradangan
pada konjungtiva merupakan penyakit mata yang paling sering dijumpai di seluruh
dunia. Hal tersebut disebabkan antara lain oleh karena lokasi anatomisnya yang
menyebabkan konjungtiva sering terekspos oleh berbagai macam mikroorganisme
dan faktor stress lingkungan lainnya.
Konjungtivitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi, atau kontak
dengan benda asing, misalnya kontak lensa.Beberapa tipe konjungtivitis dan
penyebabnya antara lain adalah oleh bakteri, klamidia, virus, riketsia, penyebab
yang berkaitan dengan penyakit sistemik, jamur, parasit, imunologis, sebab kimia
atau iritatif lainnya, penyebab yang tidak diketahui dan sekunder oleh karena
dakriosistitis atau kanalikulitis. Diantara penyebab-penyebab tersebut, yang paling
sering diketemukan di masyarakat adalah konjungtivitis disebabkan Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, Neisseria
meningitidis, kebanyakan strain adenovirus manusia, herpes simplex virus tipe 1
dan 2, dan picornaviruses. Dua agen yang ditularkan secara seksual yang dapat
menyebabkan konjungtivitis adalah Chlamydia trachomatis dan Neisseria
gonorrhoeae.
Konjungtivitis virus biasanya mengenai satu mata. Pada konjungtivitis ini,
mata sangat berair. Kotoran mata ada, namun biasanya sedikit. Ciri khasnya adalah
keluar kotoran mata dalam jumlah banyak, berwarna kuning kehijauan.
Konjungtivitis alergi juga mengenai kedua mata. Tandanya, selain mata berwarna
merah, mata juga akan terasa gatal. Gatal ini juga seringkali dirasakan dihidung.
Produksi air mata juga berlebihan sehingga mata sangat berair. Konjungtivitis virus
biasanya tidak diobati, karena akan sembuh sendiri dalam beberapa hari. Walaupun
demikian, beberapa dokter tetap akan memberikan larutan astringen agar mata
senantiasa bersih sehingga infeksi sekunder oleh bakteri tidak terjadi dan air mata
buatan untuk mengatasi kekeringan dan rasa tidak nyaman di mata
Penyakit ini dapat menyerang semua umur. Konjungtivitis yang disebabkan
oleh mikro- organisme (terutama virus dan kuman atau campuran keduanya)
ditularkan melalui kontak dan udara. Dalam waktu 12 sampai 48 jam setelah infeksi
mulai, mata menjadi merah dan nyeri. Jika tidak diobati bisa terbentuk ulkus
kornea, abses, perforasi mata bahkan kebutaan. Untuk mengatasi konjungtivitis bisa
diberikan tablet, suntikan maupun tetes mata yang mengandung antibiotik
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Konjungtivitis merupakan radang konjungtiva atau radang selaput
lendir yang menutupi belakang kelopak dan bola mata dalam bentuk akut
maupun kronis yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, klamidia, alergi,
toksik, iritasi. Penyakit ini bervariasi mulai dari hiperemi ringan dengan
mata berair sampai konjungtivitis berat dengan banyak sekret purulen
kental.

B. Anatomi

Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan


kelopak bagian belakang merupakan membran mukosa tipis yang
membatasi permukaan dalam dari kelopak mata dan melipat ke belakang
membungkus permukaan depan dari bola mata, kecuali bagian jernih di
tengah-tengah mata (kornea). Membran ini berisi banyak pembuluh darah
dan berubah merah saat terjadi inflamasi.. Konjungtiva mengandung
kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel goblet. Musin bersifat membasahi
bola mata terutama kornea.Konjungtiva terdiri dari tiga bagian:
1. Konjungtiva palpebralis : menutupi permukaan posterior dari
palpebra dan dapat dibagi menjadi marginal, tarsal, dan orbital
konjungtiva.
a. Marginal konjungtiva memanjang dari tepi kelopak mata sampai
sekitar 2mm di belakang kelopak mata menuju lengkung dangkal,
sulkus subtarsalis. Sesungguhnya merupakan zona transisi antara
kulit dan konjungtiva sesungguhnya.
b. Tarsal konjungtiva bersifat tipis, transparan, dan sangat vaskuler.
Menempel ketat pada seluruh tarsal plate pada kelopak mata atas.
Pada kelopak mata bawah, hanya menempel setengah lebar tarsus.
Kelenjar tarsal terlihat lewat struktur ini sebagai garis kuning.
c. Orbital konjungtiva berada diantara tarsal plate dan forniks.
2. Konjungtiva bulbaris : menutupi sebagian permukaan anterior bola
mata. Terpisah dari sclera anterior oleh jaringan episklera dan kapsula
Tenon. Tepian sepanjang 3mm dari konjungtiva bulbar disekitar kornea
disebut dengan konjungtiva limbal. Pada area limbus, konjungtiva,
kapsula Tenon, dan jaringan episklera bergabung menjadi jaringan padat
yang terikat secara kuat pada pertemuan korneosklera di bawahnya.
Pada limbus, epitel konjungtiva menjadi berlanjut seperti yang ada pada
kornea, konjungtiva bulbar sangat tipis. Konjungtiva bulbar juga
bersifat dapat digerakkan, mudah melipat ke belakang dan ke depan.
Pembuluh darah dengan mudah dapat dilihat di bawahnya. Di dalam
konjungtiva bulbar terdapat sel goblet yang mensekresi musin, suatu
komponen penting lapisan air mata pre-kornea yang memproteksi dan
memberi nutrisi bagi kornea.
3. Konjungtiva Forniks : bagian transisi yang membentuk hubungan
antara bagian posterior palpebra dan bola mata. Forniks konjungtiva
berganbung dengan konjungtiva bulbar dan konjungtiva palpebra. Dapat
dibagi menjasi forniks superior, inferior, lateral, dan medial forniks.

Gambar 1.1. Anatomi Konjungtiva


C. Histologi
1. Lapisan epitel konjungtiva
Terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel silinder bertingkat, superficial
dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, di atas karunkula, dan
di dekatpersambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri dari sel-
sel epitel skuamosa bertingkat.
2. Sel-sel epitel superficial
Mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus. Mukus
mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air
mata secara merata diseluruh prekornea. Sel-sel epitel basal berwarna lebih
pekat daripada sel-sel superficial dan di dekat limbus dapat mengandung
pigmen.
3. Stroma konjungtiva
Dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superficial) dan satu lapisan fibrosa
(profundus):
a. Lapisan adenoid
Mengandung jaringan limfoid dan dibeberapa tempat dapat
mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum.
Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau
3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa konjungtivitis inklusi pada
neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian
menjadi folikuler.
b. Lapisan fibrosa
Tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus.
Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papiler pada radang konjungtiva.
Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata.
Gambar 2. Epitel Knjungtiva

D. Fisiologi

Fungsi dari konjungtiva adalah memproduksi air mata, menyediakan


kebutuhan oksigen ke kornea ketika mata sedang terbuka dan melindungi
mata, dengan mekanisme pertahanan nonspesifik yang berupa barier epitel,
aktivitas lakrimasi, dan menyuplai darah. Selain itu, terdapat pertahanan
spesifik berupa mekanisme imunologis seperti sel mast, leukosit, adanya
jaringan limfoid pada mukosa tersebut dan antibodi dalam bentuk IgA.
Pada konjungtiva terdapat beberpa jenis kelenjar yang dibagi
menjadi 2 grup besar, yaitu:
1. Penghasil musin
a. Sel goblet, terletak dibawah epitel dan paling banyak ditemukan
pada daerah inferonasal.
b. Crypts of henle, terletak sepanjang sepertiga atas dari konjungtiva
tarsalis superior dan sepanjang sepertiga bawah dari konjungtiva
tarsalis inferior.
c. Kelenjar Manz, mengelilingi daerah limbus.
2. Kelenjar assesoris lakrimalis. Kelenjar asesoris ini termasuk kelenjar
krause dan kelenjar wolfering. Kedua kelenjar ini terletak dibawah
substansi propia.
Pada sakus konjungtiva tidak pernah bebas dari mikroorganisme
namun karena suhunya yang cukup rendah, evaporasi dari cairan lakrimal
dan suplai darah yang rendah menyebabkan bakteri kurang mampu
berkembang biak. Selain itu, air mata bukan merupakan medium yang baik.
E. Gambaran Klinik Konjungtivitis
1. Hiperemi
Mata merah adalah tanda tipikal dari konjungtivitis. Injeksi konjungtival
diakibatkan karena meningkatnya pengisisan pembuluh darah
konjuntival,yang muncul sebagian besar di fornix dan menghilang
dalam perjalanannya menuju ke limbus. Hiperemi tampak pada semua
bentuk konjungtivitis, tetapi penampakan/ visibilitas dari pembuluh
darah yang hiperemi, lokasi mereka,dan ukurannya merupakan kriteria
penting untuk differensial diagnosa. Seseorang juga dapat membedakan
konjungtivitis dari kelainan lain seperti skleritis atau keratitis berdasar
pada injkesinya. Tipe-tipe injeksi dibedakan menjadi:
INJEKSI INJEKSI INJEKSI
KONJUNGTIVA SILIAR/PERIKORNEAL EPISKLERAL
(CVI) (PCVI)

Asal Arteri Arteri Siliar Arteri siliar


Konjungtiva longus
posterior
Memperdarahi Konjungtiva bulbi Kornea, segmen anterior Intraocular
Lokasi Konjungtiva bulbi Dasar konjungtiva Episklera
Warna Merah Ungu Merah Gelap
Arah Aliran/ Ke Perifer Ke Sentral Ke Sentral
Lebar
Konjungtiva Ikut bergerak Tidak ikut bergerak Tidak ikut
digerakan bergerak
Dengan Menciut Tidak menciut Tidak menciut
epinefrin
1:1000
Penyakit Konjungtiva Kornea, iris, glaucoma Glaucoma,
endoftalmitis,
panoftalmitis
Secret + - -
Pengelihatan Normal Menurun Sangat turun
Gambar 3. Perbedaan injeksi konjungtiva, hiperemi konjungtiva
2. Sekret (discharge)
Berasal dari eksudasi sel-sel radang. Kualitas dan sifat alamiah
eksudat(mukoid, purulen, berair, ropy, atau berdarah) tergantung dari
etiologinya. Sekret merupakan produk kelenjar, yang pada konjungtiva
bulbi dikeluarkan oleh sel goblet. Sekret konjungtiva bulbi pada
konjungtivis dapat bersifat:
a. Air, disebabkan infeksi virus atau alergi
b. Purulen, oleh bakteri atau klamidia.
c. Hiperpurulen, disebabkan oleh gonokok atau meningokok
d. Mukoid, oleh alergi atau vernal.
e. Serous, oleh adenovirus.
Bila pada sekret konjungtiva bulbi dilakukan pepemriksaan
sitologik dengan pulasan gram (mengidentifikasi organisme bakteri)
pulasan Giemsa (menetapkan jenis dan morfologi sel) maka didapatkan
kemungkinan penyebab sekret seperti terdapatnya:
a. Limfosit, monosit, sel berisi nukleus sedikit plasma, maka infeksi
disebabkan virus.
b. Leukosit, PMN oleh bakteri.
c. Eosinofil, basofil oleh alergi.
d. Sel epitel dengan badan inklusi basofil sitoplasma oleh klamidia
e. Sel raksasa MN oleh trakoma.
f. Keratinisasi dengan filamen oleh pemfigus atau dry eye, dan
g. Badan Guarneri eosinofilik oleh vaksin.
Virus Bakteri Fungi & Alergi
Purulen Nonpurulen Parasit
Sekret Sedikit Banyak Sedikit Sedikit Sedikit
Air Mata Banyak Sedang Sedang Sedikit Sedang
Gatal Sedikit Sedikit - - Hebat
Injeksi Umum Umum Local Local Umum
Nodul Sering Jarang Sering Sering -
preaurikular
Pewarnaan Monosit. Bakteri Bakteri Biasanya Eosinophil
usapan Limfosit negative
PMN PMN
Sakit Kadang Kadang - - -
tenggorokan
& demam

3. Epifora
Lakrimasi yang tidak normal(illacrimation) harus dapat dibedakan dari
eksudasi. Lakrimasi biasanya mencerminkan lakrimasi sebagai reaksi
dari badan asing pada konjungtiva atau kornea atau merupakan iritasi
toksik. Juga dapat berasal dari sensasi terbakar atau garukan atau juga
dari gatal. Transudasi ringan juga ditemui dari pembuluh darah yang
hiperemia dan menambah aktifitas pengeluaran air mata. Jumlah
pengeluaran air mata yang tidak normal dan disertai dengan sekresi
mucus menandakan keratokonjungtivitis sika.
4. Pseudoptosis
Pseudoptosis adalah turunnya palpebra superior karena infiltrasi sel-sel
radang ke muskulus muller (M. Tarsalis superior). Keadaan ini dijumpai
pada konjungtivitis berat. Misalnya Trachoma dan keratokonjungtivitis
epidemika.
Gambar 4. Pseudoptosis
5. Khemosis (Edema Konjungtiva)
Adanya kemosis mengarahkan kita secara kuat pada konjungtivitis
alergik akut, tetapi dapat muncul juga pada konjungtivitis gonokokkal
akut atau konjungtivitis meningokokkal, dan terutama pada
konjungtivitis adenoviral. Kemosis dari konjungtiva bulbar dapat dilihat
pada pasien dengan trikinosis. Meskipun jarang, kemosis mungkin
timbul sebelum adanya infiltrat atau eksudasi seluler gross.

Gambar 5. Khemosis Kongjungtiva


6. Hipertrofi papil
Hipetropi papil merupakan reaksi konjungtiva non spesifik yang
muncul karena konjungtiva terikat pada tarsus atau limbus di dasarnya
oleh fibril. Ketika pembuluh darah yang membentuk substansi dari
papila (bersama dengan elemen selular dan eksudat) mencapai membran
basement epitel, pembuluh darah tersebut akan bercabang menutupi
papila seperti kerangka dari sebuah payung. Eksudat inflamasi akan
terakumulasi diantara fibril, membenetuk konjungtiva seperti sebuah
gundukan.pada kelainan yang menyebabkan nekrosis (contoh:trakoma),
eksudat dapat digantikan oleh jaringan granulasi atau jaringan ikat.
Ketika papila berukuran kecil, konjungtiva biasanya mempunyai
penampilan yang halus dan merah normal. Konjungtiva dengan papilla
berwarna merah sekali menandakan kelainan disebabkan bakteri atau
klamidia (contoh: konjungtiva tarsal yang berwarna merah sekali
merupakan karakteristik dari trakoma akut). Injeksi yang ditandai pada
tarsus superior, menandakan konjungtivitis vernal dan konjungtivitis
giant papillary dengan sensitifitas terhadap lensa kontak/ pada tarsal
inferior, gejala tersebut menandakan keratokonjungtivitis atopik. Papila
yang berukuran besar juga dapat muncul pada limbus, terutama pada
area yang secara normal dapat terekspos ketika mata sedang terbuka.
Disitu gejala nampak sebagai gundukan gelatin yang dapat mencapai
kornea. Papila limbal adalah tanda khas dari keratokonjungtivitis vernal
tapi langka pada keratokonjungtivitis atopik.

Gambar 6. Hipertrofi Papil

7. Hipertrofi folikel
Terdiri dari hiperplasia limfoid lokal dengan lapisan limfoid dari
konjungtiva yang biasanya mengandung germinal center. Secara klinis,
folikel dapat dikenali sebagai struktur bulat, avaskuler putih atau
abuabu. Pada pemeriksaan menggunakan slit lamp, pembuluh darah
kecil dapat naik pada tepi folikel dan mengitarinya. Terlihat paling
banyak pada kasus konjungtivitis viral dan pada semua kasus
konjungtivitis klamidial kecuali konjungtivitis inklusi neonatal, pada
beberapa kasus konjungtivitis parasit, dan pada beberapa kasus
konjungtiitis toksis diinduksi oleh medikasi topical seperti
idoxuriridine, dipiverin, dan miotik. Folikel pada fornix inferior dan
pada batas tarsal mempunyai nilai diagnostik yang terbatas, tetapi ketika
diketemukan terletak pada tarsus (terutama tarsus superior), harus
dicurigai adanya konjungtivitis klamidial, viral, atau toksik (mengikuti
medikasi topikal).

Gambar 7. Hipertrofi Folikel

8. Pseudomembran
Merupakan reaksi konjungtiva terhadap infeksi berat atau konjungtivitis
toksik. Terjadi oleh karena proses koagulasi kuman atau bahan toksik.
Bentukan ini terbentuk dari jaringan epithelial yang nekrotik dan kedua-
duanya dapat diangkat dengan mudah, baik yang tanpa perdarahan
(pseudomembran) karena hanya merupakan koagulum pada permukaan
epitelial atau yang meninggalkan permukaan dengan perdarahan saat
diangkat (membran) karena merupakan koagulum yang melibatkan
seluruh epitel.
Gambar 8. Pseudomembran

9. Pannus
Pertumbuhan konjungtiva atau pembuluh darah diantara lapisan
bowman dan epitel kornea atau pada stroma yang lebih dalam. Edema
stroma, yang mana menyebabkan pembengkakan dan memisahkan
lamela kolagen, memfasilitasi terjadinya invasi pembuluh darah.
Infiltrasi dari perifer ke limbus kornea.

Gambar 9. Pannus

10. Phlyctenules
Menggambarkan manifestasi lokal pada limbus karena alergi terhadap
toxin yang dihasilkan mikroorganisme. Phlyctenules dari konjungtiva
pada mulanya terdiri dari perivaskulitis ulserasi dari konjungtiva, dasar
ulkus mempunyai banyak leukosit polimorfonuklear.
Gambar 10. Phlyctenules

11. Granuloma
Granuloma adalah nodus stroma konjungtiva yang meradang dengan
area bulat merah dan terdapat injeksi vaskular. Tanda ini dapat muncul
pada kelainan sistemik seperti tuberculosis atau sarkoidosis atau
mungkin faktor eksogen seperti granuloma jahitan postoperasi atau
granuloma benda asing lainnya. Granuloma muncul bersamaan dengan
bengkaknya nodus limfatikus preaurikular dan submandnibular pada
kelainan seperti sindroma okuloglandular parinaud.

Gambar 11. Granuloma

12. Adenopati Preaurikuler


Beberapa jenis konjungtivitis akan disertai adenopoti preaurikular.
Dengan demikian setiap ada radang konjungtiva harus diperiksa adalah
pembebasan dan rasa sakit tekan kelenjar limfe preaurikuler
F. Patofisiologi Kongjungtivitis
Konjungtiva mengandung epitel skuamosa yang tidak berkeratin
dan substansia propria yang tipis, kaya pembuluh darah. Konjungtiva juga
memiliki kelenjar lakrimal aksesori dan sel goblet. Konjungtivitis alergika
disebabkan oleh respon imun tipe 1 terhadap alergen. Alergen terikat
dengan sel mast dan reaksi silang terhadap IgE terjadi, menyebabkan
degranulasi dari sel mast dan permulaan dari reaksi bertingkat dari
peradangan. Hal ini menyebabkan pelepasan histamin dari sel mast, juga
mediator lain termasuk triptase, kimase, heparin, kondroitin sulfat,
prostaglandin, tromboksan, dan leukotrien. histamin dan bradikinin dengan
segera menstimulasi nosiseptor, menyebabkan rasa gatal, peningkatan
permeabilitas vaskuler, vasodilatasi, kemerahan, dan injeksi konjungtiva.
Konjungtivitis infeksi timbul sebagai akibat penurunan daya imun
penjamu dan kontaminasi eksternal. Patogen yang infeksius dapat
menginvasi dari tempat yang berdekatan atau dari jalur aliran darah dan
bereplikasi di dalam sel mukosa konjungtiva. Kedua infeksi bakterial dan
viral memulai reaksi bertingkat dari peradangan leukosit atau limfositik
meyebabkan penarikan sel darah merah atau putih ke area tersebut. Sel
darah putih ini mencapai permukaan konjungtiva dan berakumulasi di sana
dengan berpindah secara mudahnya melewati kapiler yang berdilatasi dan
tinggi permeabilitas. Pertahanan tubuh primer terhadap infeksi adalah
lapisan epitel yang menutupi konjungtiva. Rusaknya lapisan ini
memudahkan untuk terjadinya infeksi. Pertahanan sekunder adalah system
imunologi (tear-film immunoglobulin dan lisozyme) yang merangsang
lakrimasi.
G. Klasifikasi Konjungtivitis
I. Konjungtivitis karena agen infeksi
a. Konjungtivitis Bakteria
b. Konjungtivitis Klamidia. (Trakoma)
c. Konjungtivitis Virus
1) Konjungtivitis Folikuler Virus Akut
a. Demam Faringokonjungtival
b. Keratokonjungtivitis Epidemika
c. Konjungtivitis Virus Herpes Simpleks
d. Konjungtivitis Hemoragika Akut
2) Konjungtivitis Virus Kronik
a. Blefarokonjungtivitis
b. Blefarokonjungtivitis Varicella-Zoster
c. Keratokonjungtivitis Morbilli
II. Konjungtivitis Imunologik (Alergi)
a. Reaksi Hipersensitifitas tipe cepat
1) Konjungtivitis demam jerami (hay fever)
2) Konjungtivitis vernalis
3) Konjungtivitis atopic
b. Reaksi Hipersensitifitas tipe lambat
1) Phlyctenulosis
III. Konjungtivitis akibat kelaianan autoimun
a. Keratokonjungtivitis sicca
IV. Konjungtivitis Kimia atau Iritatif
a. Konjungtivitis iatrogenik pemberian obat topikal
b. Konjungtivitis pekerjaan oleh bahan kimia dan iritans

Klasifikasi konjungtivitis akan dijelaskan lebih rinci sebagai berikut ini :

1. Konjungtivitis karena agen infeksi


a. Konjungtivitis Bakteri
Suatu konjungtivitis yang disebabkan bakteri dapat saja akibat
infeksi gonokok, meningokok, staphylococcus aereus, streptococcus
pneumoniae, hemophilus influenzae dan escherichia coli.
Memberikan gejala sekret mukopurulen dan pupulen, kemosis
konjungtiva, edema kelopak, kadang kadang disertai keratis dan
blefaritis. Terdapat papil pada konjungtiva dan mata merah.
Konjungtivitis bakteri ini mudah menular.
a) Tanda dan gejala
Tanda dan gejala pada konjungtivitis bakterial ini dibagi
berdasarkan gejala klinis dan onsetnya, yaitu:
1) Konjungtivitis Mukopurulen Akut
Konjungtivitis ini ditandai dengan adanya hiperemi
konjungtiva dan adanya secret mukopurulen. Bakteri yang
biasanya menyebabkan penyakit ini yaitu StaphylococcuS
aureus, Pneumococcus, Streptococcus
pneumoniae,Haemophilus aegypticus, dan Koch-Weeks
bacillus.
2) Konjungtivitis Purulen Akut
Konjungtivitis ini disebut juga konjungtivitis hiperakut, dan
ditandai dengan respon inflamasi yang lebih berat. Penyakit
ini disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae, StaphylococcuS
aureus, dan Streptococcus pneumoniae. Penyebaran
penyakit ini biasanya melalui saluran genital yang terinfeksi
N gonorrheae dan menular ke mata melalui tangan yang
terkontaminasi.
3) Konjngtivitis Membranosa Akut
Konjungtivitis ini ditandai dengan pembentukan membran
pada konjungtiva. Penyakit ini disebabkan oleh
Corynebacterium diphteriae dan Streptococcus
haemolyticus. Pembentukan membran pada konjungtiva
tersebut diakibatkan oleh adanya deposisi eksudat fibrinosa
pada permukaan konjungtiva akibat inflamasi yang berat.
Membran ini kemudian dapat mengalami nekrosis yang
menghasilkan jaringan granulasi pada konjungtiva.
4) Konjngtivitis Pseudomembran
Konjungtivitis ini ditandai dengan pembentukan
pseudomembran pada konjungtiva. Pseudomembran
tersebut terbentuk karena adanya koagulasi eksudat fibrinosa
pada permukaan konjungtiva. Penyakit ini ditandai dengan
adanya konjungtivitis mukopurulen akut dan pembentukan
pseudomembran pada fornix dan konjungtiva palpebra.
5) Konjungtivitis Kronik
Konjungtivitis ini ditandai dengan adanya inflamasi yang
ringan pada konjungtiva. Salah satu etiologi konjungtivitis
ini yaitu adanya infeksi oleh bakteri Staphylococcus aureus
dan bakteri gram negatif lainnya.
b) Pemeriksaan
Pemeriksaan pada konjungtivitis dilakukan dengan identifikasi
bakteri yang menggunakan pewarnaan Gram atau Giemsa.
Selain itu, dapat dilakukan kultur terhadap bakteri patogen
tersebut. Spesimen yang digunakan berupa usapan pada
konjungtiva. Pemeriksaan sensitivitas antibiotik dapat
dilakukan, sehingga dapat ditentukan jenis terapi antibiotik yang
sesuai. Namun, sebelum hasil pemeriksaan sensitivitas tersebut
diketahui, terapi antibiotik empiris harus diberikan.
c) Komplikasi
 Pembentukan jaringan parut konjungtiva, yang kemudian
dapat menimbulkan simblefaron, trichiasis, entropion, dan
xerosis konjungtiva
 Ulkus kornea, dapat menyebabkan infeksi N gonorrhoeae, N
kochii, N meningitidis, dan S aureus secara sistemik
 Iridosiklitis
 Komplikasi sistemik, seperti arthritis gonorrhoea,
endokarditis, dan septisemia
d) Penatalaksaan
 Terapi antibakterial broad-spectrum yang diberikan secara
topikal, yaitu kloramfenikol 1%, gentamisin 0,3%, dan tetes
mata framisetin. Penggunaan salep mata sebelum tidur dapat
mengurangi perlengketan kelopak mata pada pagi hari. Jika
penggunaan antibiotik tersebut tidak menimbulkan
kesembuhan, dapat digunakan antibiotik topical lain seperti
ciprofloxacin, ofloxacin, dan gatifloxacin.
 Terapi antibiotik sistemik, yang digunakan pada
konjungtivitis yang disebabkan n gonorrhoeae dan n
meningitidis. Beberapa obat tersebut yaitu norfloxacin,
cefoxitim, ceftriaxon, dan spectinomycin.
 Pada konjungtivitis purulen akut dan mukopurulen, perlu
dilakukan irigasi pada kantung konjungtiva dengan cairan
salin untuk membersihkan sekret pada konjungtiva. Namun,
irigasi mata ini tidak boleh dilakukan secara rutin karena
dapat merusak kandungan lisozim air mata.
 Pemberian atropin topikal, jika konjungtivitis tersebut
melibatkan kornea sehingga terjadi ulkus kornea.
 Pemberian tetes mata astringen seperti tetes mata asam zins-
boric pada konjungtivitis bakteri kronik, yang dapat
meringankan gejala-gejalanya.
 Edukasi terhadap kebersihan di rumah dan lingkungan
sekitar untuk mencegah penularan penyakit.
 Penggunaan kacamata hitam, yang dapat mengurangi
fotofobia
 Pada konjungtivitis mukopurulen, tidak boleh digunakan
balut mata karena dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri
 Terapi antiinflamasi dan analgesik, yang dapat digunakan
untuk menyembuhkan gejala nyeri. Pada konjungtivitis
purulen akut, terapi tersebut juga diberikan pada pasangan
seksual pasien.
e) Prognosis
Konjungtivitis bakteri akut hampir selalu sembuh sendiri, infeksi
dapat berlangsung selama 10-14 hari; jika diobati dengan
memadai, 1-3 hari, kecuali konjungtivitis stafilokokus (yang
dapat berlanjut menjadi blefarokonjungtivitis dan memasuki
tahap mnehun) dan konjungtivitis gonokokus (yang bila tidak
diobati dapat berakibat perforasi kornea dan endoftalmitis).
Karena konjungtiva dapat menjadi gerbang masuk bagi
meningokokus ke dalam darah dan meninges, hasil akhir
konjungtivitis meningokokus adalah septicemia dan meningitis
2. Konjungtivitis Klamidial Trakoma
Trakoma adalah suatu bentuk konjungtivitis folikular kronik
yang disebabkan oleh Chlamydia trachomatis. Cara penularan penyakit
ini adalah melalui kontak langsung dengan sekret penderita trakoma
atau melalui alat-alat kebutuhan sehari-hari seperti handuk, alat-alat
kecantikan, dan lain-lain. Masa inkubasi rata 7 hari (berkisar 5-14 hari).
Penyebabnya adalah virus dari golongan P.L.T (psitacosis
lymphogranuloma trachoma) yang disebut klamidozoa trakoma
(chlamis = mantel, zoa = binatang).
Secara histopatologik pada pemeriksaan kerokan konjungtivitis
dengan pewarnaan Giemsa terutama terlihat reaksi sel-sel
polimorfonuklear, tetapi sel plasma, sel Leber, dan sel folikel
(limfoblas) dapat juga ditemukan. Sel Leber menyokong suatu diagnosis
trakoma tetapi sel limfoblas adalah tanda diagnostik yang penting bagi
trakoma. Terdapat badan inklusi Halber Statter-Prowazeck yang
letaknya intraseluler tapi ekstranuklear di dalam sel epitel konjungtiva
yang bersifat basofil berupa granula, biasanya berbentuk cungkup
(mantel) seakan-akan menggenggam nukleus. Kadang kadang
ditemukan lebih dari satu badan inklusi dalam satu sel.
Jika terjadi invasi kuman, bakteri ataupun virus, maka akan
terjadi beberapa reaksi di dalam jaringan tersebut diantaranya infiltrasi,
eksudasi, nekrose, pembentukan jaringan parut. Reaksi ini didapat juga
di konjungtiva dan kornea, jika virus trakoma memasuki jaringan ini
a. Gejala
Keluhan pasien menyerupai konjungtivitis bakteri adalah fotofobia,
gatal, berair, eksudasi, edema palpebra, kemosis konjungtiva
bulbaris, hipertrofi papil.
b. Klasifikasi
Menurut klasifikasi Mac Callan, penyakit ini berjalan melaui empat
stadium :
1. Stadium insipien.
2. Stadium established ( dibedakan atas dua bentuk )
3. Stadioum parut
4. Stadium sembuh.
Stadium 1 (hiperplasi limfoid) : Terdapat hipertropi papil dengan
folikel yang kecil – kecil pada konjungtiva tartus superior, yang
memperlihattkan penebalan dan kongesti pada pembuluh darah
konjungtiva. Secret yang sedikit dan jernih bila tidak ada infeksi
sekunder Kelainan kornea sukar diteukan tetapi kadang –kadang
dapat ditemukan neovaskularisasi dan keratitis epitelial ringan.
Stadium 2 : Terdapat hipertrofi papiler dan polikel yang matang (
besar ) pada konjujngtiva tarsus superior.pada stadium ini dapat
ditemukan pannus Trachoma yang jelas. Terdapat hipertrofi papil
yang berat yang seolah – olah mengalahkan gambaran folikel pada
konjungtiva superior. Pannus adalah pembuluh darah yang terletak
didaerah limbus atas dengan infiltrate.
Stadium 3 : terdapat parut pada konjungtiva tartus suprrior yang
terlihat sebagai garis putih yang halus sejajar dengan margo
palpebra. Parut folikel pada limbus kornea disebut cekungan
Herbert. Gambaran papil mulai berkurang .
Stadium 4 : Suatu pembentukan parut yang sempurna pada
konjungtiva yang dapat menyebabkan perubahan bentuk pada tartus
yang menyebabkan enteropion dan trikiasis
STADIUM NAMA GEJALA

Stadium I Trakoma insipient Folikel imatur, hipertrofi


papiler minimal

Stadium II Trakoma Folikel matur pada dataran


tarsal atas

Stadium IIA Dengan hipertrofi folikular Keratitis, folikel limbal


menonjol
Stadium IIB Dengan hipertrofi folikular Aktifitas kuat dengan folikel
menonjol matur, tertimbun dibawah
hipertrofi papilar yang hebat

Stadium III Trakoma memarut (sikatriks) Parut pada konjungtiva tarsal


atas, permulaan trikiasis,
entropion

Stadium IV Trakoma sembuh Tak aktif, taka da hipertrofi


papilar atau folikular.

Parut dalam bermacam variasi

Pemeriksaan yang dilakukan pertama kali yaitu menemukan tanda


dan gejala dari trakoma. Untuk mengetahui adanya infeksi trakoma,
dapat ditentukan jika sedikitnya dua dari empat gejala ini terpenuhi:
 Terdapat lima atau lebih folikel pada tarsal konjungtiva
superior
 Pembentukan jaringan parut pada tarsal konjungtiva superior
 Terdapat keratitis epitel pada limbus superioe
 Adanya pannus
c. Penatalaksanaan
Pengobatan trakoma dengan tetrasiklim 1-1,5 gr/hari peroral
diberikan dalam 4 dosis selama 3-4 minggu, doxysiklin 100mg
peroral 2x sehari selama 3 minggu atau erytromicin 1g/hari peroral
dibagi dalam 4 dosis selama 3-4 minggu.
3. Konjungtivitis Virus
a) Konjungtivitis Folikuler Virus Akut
1) Demam Faringokonjungtival
Demam Faringokonjungtival ditandai oleh demam 38,3-
40 ⁰C, sakit tenggorokan, dan konjungtivitis folikuler pada satu
atau dua mata. Folikuler sering sangat mencolok pada kedua
konjungtiva dan pada mukosa faring. Mata merah dan berair
mata sering terjadi, dan kadang-kadang sedikit kekeruhan daerah
subepitel. Yang khas adalah limfadenopati preaurikuler (tidak
nyeri tekan).
Demam faringokonjungtival umumnya disebabkan oleh
adenovirus tipe 3 dan kadang – kadang oleh tipe 4 dan 7. Virus
itu dapat dibiakkan dalam sel HeLa dan ditetapkan oleh tes
netralisasi. Dengan berkembangnya penyakit, virus ini dapat
juga didiagnosis secara serologic dengan meningkatnya titer
antibody penetral virus. Diagnosis klinis adalah hal mudah dan
jelas lebih praktis. Kerokan konjungtiva terutama mengandung
sel mononuclear, dan tak ada bakteri yang tumbuh pada biakan.
Keadaan ini lebih sering pada anak-anak daripada orang dewasa
dan sukar menular di kolam renang berchlor.
Tidak ada pengobatan spesifik. Konjungtivitisnya
sembuh sendiri, umumnya dalam sekitar 10 hari.

2) Keratokonjungtivitis Epidemika
Keratokonjungtivitis epidemika umumnya bilateral.
Awalnya sering pada satu mata saja, dan biasanya mata pertama
lebih parah. Pada awalnya pasien merasa ada infeksi dengan
nyeri sedang dan berair mata, kemudian diikuti dalam 5-14 hari
oleh fotofobia, keratitis epitel, dan kekeruhan subepitel bulat.
Sensai kornea normal. Nodus preaurikuler yang nyeri tekan
adalah khas. Edema palpebra, kemosis, dan hyperemia
konjungtiva menandai fase akut. Folikel dan perdarahan
konjungtiva sering muncul dalam 48 jam. Dapat membentuk
pseudomembran dan mungkin diikuti parut datar atau
pembentukan symblepharon. Konjungtivitis berlangsung paling
lama 3-4 minggu. Kekeruhan subepitel terutama terdapat di
pusat kornea, bukan di tepian, dan menetap berbulan-bulan
namun menyembuh tanpa meninggalkan parut.
Keratokonjungtiva epidemika pada orang dewasa
terbatas pada bagian luar mata. Namun, pada anak-anak
mungkin terdapat gejala sistemik infeksi virus seperti demam,
sakit tenggorokan, otitis media, dan diare.
Keratokonjungtiva epidemika disebabkan oleh
adenovirus tipe 8, 19, 29, dan 37 (subgroub D dari adenovirus
manusia). Virus-virus ini dapat diisolasi dalam biakan sel dan
diidentifikasi dengan tes netralisasi. Kerokan konjungtiva
menampakkan reaksi radang mononuclear primer; bila terbentuk
pseudomembran, juga terdapat banyak neutrofil.
Transmisi nosokomial selama pemeriksaan mata sangat
sering terjadi melalui jari-jari tangan dokter, alat-alat
pemeriksaan mata yang kurang steril, atau pemakaian larutan
yang terkontaminasi. Larutan mata, terutama anestetika topical,
mungkin terkontaminasi saat ujung penetes obat menyedot
materi terinfeksi dari konjungtiva atau silia. Virus itu dapat
bertahan dalam larutan itu, yang menjadi sumber penyebaran.
Bahaya kontaminasi botol larutan dapat dihindari dengan
dengan memakai penetes steril pribadi atau memakai tetes mata
dengan kemasan unit-dose. Cuci tangan secara teratur di antara
pemeriksaan dan pembersihan serta sterilisasi alat-alat yang
menyentuh mata khususnya tonometer juga suatu keharusan.
Tonometer aplanasi harus dibersihkan dengan alcohol atau
hipoklorit, kemudian dibilas dengan air steril dan dikeringkan
dengan hati-hati.
Sekarang ini belum ada terapi spesifik, namun kompres
dingin akan mengurangi beberapa gejala. kortikosteroid selama
konjungtivitis akut dapat memperpanjang keterlibatan kornea
sehingga harus dihindari. Agen antibakteri harus diberikan jika
terjadi superinfeksi bacterial
3) Konjungtivitis Virus Herpes Simpleks
Konjungtivitis virus herpes simplex biasanya merupakan
penyakit anak kecil, adalah keadaan yang luar biasa yang
ditandai pelebaran pembuluh darah unilateral, iritasi, bertahi
mata mukoid, sakit, dan fotofobia ringan. Pada kornea tampak
lesi-lesi epithelial tersendiri yang umumnya menyatu
membentuk satu ulkus atau ulkus-ulkus epithelial yang
bercabang banyak (dendritik). Konjungtivitisnya folikuler.
Vesikel herpes kadang-kadang muncul di palpebra dan tepian
palpebra, disertai edema hebat pada palpebra. Khas terdapat
sebuah nodus preaurikuler yang terasa nyeri jika ditekan
Tidak ditemukan bakteri di dalam kerokan atau dalam
biakan. Jika konjungtivitisnya folikuler, reaksi radangnya
terutama mononuclear, namun jika pseudomembran, reaksinya
terutama polimorfonuklear akibat kemotaksis dari tempat
nekrosis. Inklusi intranuklear tampak dalam sel konjungtiva dan
kornea, jika dipakai fiksasi Bouin dan pulasan Papanicolaou,
tetapi tidak terlihat dengan pulasan Giemsa. Ditemukannya sel –
sel epithelial raksasa multinuclear mempunyai nilai diagnostic.
Virus mudah diisolasi dengan mengusapkan sebuah
aplikator berujung kain kering di atas konjungtiva dan
memindahkan sel-sel terinfeksi ke jaringan biakan.
Jika konjungtivitis terdapat pada anak di atas 1 tahun atau
pada orang dewasa, umunya sembuh sendiri dan mungkin tidak
perlu terapi. Namun, antivirus local maupun sistemik harus
diberikan untuk mencegah terkenanya kornea. Untuk ulkus
kornea mungkin diperlukan debridemen kornea dengan hati-hati
yakni dengan mengusap ulkus dengan kain kering, meneteskan
obat antivirus, dan menutupkan mata selama 24 jam. Antivirus
topical sendiri harus diberikan 7 – 10 hari: trifluridine setiap 2
jam sewaktu bangun atau salep vida rabine lima kali sehari, atau
idoxuridine 0,1 %, 1 tetes setiap jam sewaktu bangun dan 1 tetes
setiap 2 jam di waktu malam. Keratitis herpes dapat pula diobati
dengan salep acyclovir 3% lima kali sehari selama 10 hari atau
dengan acyclovir oral, 400 mg lima kali sehari selama 7 hari.
Untuk ulkus kornea, debridmen kornea dapat dilakukan.
Lebih jarang adalah pemakaian vidarabine atau idoxuridine.
Antivirus topical harus dipakai 7-10 hari. Penggunaan
kortikosteroid dikontraindikasikan, karena makin memperburuk
infeksi herpes simplex dan mengkonversi penyakit dari proses
sembuh sendiri yang singkat menjadi infeksi yang sangat
panjang dan berat.
4) Konjungtivitis Hemoragika Akut
Mata terasa sakit, fotofobia, sensasi benda asing, banyak
mengeluarkan air mata, merah, edema palpebra, dan hemoragi
subkonjungtival. Kadang-kadang terjadi kemosis. Hemoragi
subkonjungtiva umumnya difus, namun dapat berupa bintik-
bintik pada awalnya, dimulai di konjungtiva bulbi superior dan
menyebar ke bawah. Kebanyakan pasien mengalami
limfadenopati preaurikuler, folikel konjungtiva, dan keratitis
epithelial. Uveitis anterior pernah dilaporkan, demam, malaise,
mialgia, umum pada 25% kasus.
Pertama kali diketahui di Ghana dalam tahun 1969.
Konjungtivitis ini disebabkan oleh coxackie virus A24. Masa
inkubasi virus ini pendek (8-48 jam) dan berlangsung singkat (5-
7 hari).
Virus ini ditularkan melalui kontak erat dari orang ke
orang dan oleh fomite seperti sprei, alat-alat optic yang
terkontaminasi, dan air. Penyembuhan terjadi dalam 5-7 hari.
Tidak ada pengobatan yang pasti.
b. Konjungtivitis Virus Kronik
1) Blefarokonjungtivitis Molluscum Contagiosum
Sebuah nodul molluscum pada tepian atau kulit palpebra
dan alis mata dapat menimbulkan konjungtivitis folikuler
menahun unilateral, keratitis superior, dan pannus superior, dan
mungkin menyerupai trachoma. Reaksi radang yang
mononuclear (berbeda dengan reaksi pada trachoma), dengan
lesi bulat, berombak, putih mutiara, non-radang dengan bagian
pusat, adalah khas molluscum kontagiosum. Biopsy
menampakkan inklusi sitoplasma eosinofilik, yang memenuhi
seluruh sitoplasma sel yang membesar, mendesak inti ke satu
sisi.
Eksisi, insisi sederhana nodul yang memungkinkan
darah tepi memasukinya, atau krioterapi akan menyembuhkan
konjungtivitisnya.
2) Blefarokonjungtivitis Varicella-Zoster
Hyperemia dan konjungtivitis infiltrate disertai dengan
erupsi vesikuler khas sepanjang penyebaran dermatom nervus
trigeminus cabang oftalmika adalah khas herpes zoster.
Konjungtivitisnya biasanya papiler, namun pernah ditemukan
folikel, pseudomembran, dan vesikel temporer, yang kemudian
berulserasi. Limfonodus preaurikuler yang nyeri tekan terdapat
pada awal penyakit. parut pada palpebra, entropion, dan bulu
mata salah arah adalah sekuele.
Pada zoster maupun varicella, kerokan dari vesikel
palpebra mengandung sel raksasa dan banyak leukosit
polimorfonuklear; kerokan konjungtiva pada varicella dan zoster
mengandung sel raksasa dan monosit. Virus dapat diperoleh dari
biakan jaringan sel – sel embrio manusia.
Acyclovir oral dosis tinggi (800 mg oral lima kali sehari
selama 10 hari), jika diberi pada awal perjalanan penyakit,
agaknya akan mengurangi dan menghambat penyakit.
3) Keratokonjungtivitis Morbilli
Pada awal penyakit, konjungtiva tampak mirip kaca yang
aneh, yang dalam beberapa hari diikuti pembengkakan lipatan
semiluner. Beberapa hari sebelum erupsi kulit, timbul
konjungtivitis eksudatif dengan secret mukopurulen, dan saat
muncul erupsi kulit, timbul bercak-bercak Koplik pada
konjungtiva dan kadang-kadang pada carunculus. Pada pasien
imunokompeten, keratokonjungtivitis campak hanya
meninggalkan sedikit atau sama sekali tanpa sekuel, namun pada
pasien kurang gizi atau imunokompeten, penyakit mata ini
seringkali disertai infeksi HSV atau infeksi bacterial sekunder
oleh S pneumonia, H influenza, dan organism lain. Agen ini
dapat menimbulkan konjungtivitis purulen yang disertai ulserasi
kornea dan penurunan penglihatan yang berat. Infeksi herpes
dapat menimbulkan ulserasi kornea berat dengan perforasi dan
kehilangan penglihatan pada anak-anak kurang gizi di Negara
berkembang.
Kerokan konjungtivitis menunjukkan reaksi sel
mononuclear, kecuali jika ada pseudomembran atau infeksi
sekunder. Sedian terpulas giemsa mengandung sel-sel raksasa.
Karena tidak ada terapi spesifik, hanya tindakan penunjang saja
yang dilakukan, kecuali jika ada infeksi sekunder.
4. Konjungtivitis Imunologik (Alergik)
a. Reaksi Hipersensitivitas Humoral Langsung
1) Konjungtivitis Demam Jerami (Hay Fever)
Radang konjungtivitis non-spesifik ringan umumnya
menyertai demam jerami (rhinitis alergika). Bianya ada riwayat
alergi terhadap tepung sari, rumput, bulu hewan, dan lainnya.
Pasien mengeluh tentang gatal-gatal, berair mata, mata merah,
dan sering mengatakan bahwa matanya seakan-akan “tenggelam
dalam jaringan sekitarnya”. Terdapat sedikit penambahan
pembuluh pada palpebra dan konjungtiva bulbi, dan selama
serangan akut sering terdapat kemosis berat (yang menjadi sebab
“tenggelamnya” tadi). Mungkin terdapat sedikit tahi mata,
khususnya jika pasien telah mengucek matanya. Sulit ditemukan
eosinofil dalam kerokan konjungtiva
Meneteskan vasokonstriktor local pada tahap akut
(epineprin, larutan 1:1000 yang diberikan secara topical, akan
menghilangkan kemosis dan gejalanya dalam 30 menit).
Kompres dingin membantu mengatasi gatal-gatal dan
antihistamin hanya sedikit manfaatnya. Respon langsung
terhadap pengobatan cukup baik, namun sering kambuh kecuali
anti-gennya dapat dihilangkan.
2) Konjungtivitis Vernalis
Penyakit ini, juga dikenal sebagai “catarrh musim semi”
dan “konjungtivitis musiman” atau “konjungtivitis musim
kemarau”, adalah penyakit alergi bilateral yang jarang.
Penyakit ini lebih jarang di daerah beriklim sedang
daripada di daerah dingin. Penyakit ini hamper selalu lebih parah
selama musim semi, musim panas dan musim gugur daripada
musim gugur.
Pasien mengeluh gatal-gatal yang sangat dan bertahi
mata berserat-serat. Biasanya terdapat riwayat keluarga alergi
(demam jerami, eczema, dan lainnya). Konjungtiva tampak
putih seperti susu, dan terdapat banyak papilla halus di
konjungtiva tarsalis inferior. Konjungtiva palpebra superior
sering memiliki papilla raksasa mirip batu kali. Setiap papilla
raksasa berbentuk polygonal, dengan atap rata, dan mengandung
berkas kapiler.
Pada eksudat konjungtiva yang dipulas dengan Giemsa
terdapat banyak eosinophil dan granula eosinofilik bebas.
Penyakit ini sembuh sendiri tetapi medikasi yang dipakai
terhadap gejala hanya member hasil jangka pendek, berbahaya
jika dipakai untuk jangka panjang. Steroid sisremik, yang
mengurangi rasa gatal, hanya sedikit mempengharuhi penyakit
kornea ini, dan efek sampingnya (glaucoma, katarak, dan
komplikasi lain) dapat sangat merugikan. Crmolyn topical
adalah agen profilaktik yang baik untuk kasus sedang sampai
berat. Vasokonstriktor, kompres dingin dan kompres es ada
manfaatnya, dan tidur di tempat ber AC sangat menyamankan
pasien. Agaknya yang paling baik adalah pindah ke tempat
beriklim sejuk dan lembab. Pasien yang melakukan ini sangat
tertolong bahkan dapat sembuh total.
3) Konjungtivitis Atopik
Sensasi terbakar, bertahi mata berlendir, merah, dan
fotofobia. Tepian palpebral eritemosa, dan konjungtiva tampak
putih seperti susu. Terdapat papilla halus, namun papilla raksasa
tidak berkembang seperti pada keratokonjungtivitis vernal, dan
lebih sering terdapat di tarsus inferior. Berbeda dengan papilla
raksasa pada keratokonjungtivitis vernal, yang terdapat di tarsus
superior. Tanda-tanda kornea yang berat muncul pada perjalanan
lanjut penyakit setelah eksaserbasi konjungtivitis terjadi
berulangkali. Timbul keratitis perifer superficial yang diikuti
dengan vaskularisasi. Pada kasus berat, seluruh kornea tampak
kabur dan bervaskularisasi, dan ketajaman penglihatan.
Biasanya ada riwayat alergi (demam jerami, asma, atau
eczema) pada pasien atau keluarganya. Kebanyakan pasien
pernah menderita dermatitis atopic sejak bayi. Parut pada
lipatan-lipatan fleksura lipat siku dan pergelangan tangan dan
lutut sering ditemukan. Seperti dermatitisnya,
keratokonjungtivitis atopic berlangsung berlarut-larut dan sering
mengalami eksaserbasi dan remisi. Seperti keratokonjungtivitis
vernal, penyakit ini cenderung kurang aktif bila pasien telah
berusia 50 tahun.
Kerokan konjungtiva menampakkan eosinofil, meski
tidak sebanyak yang terlihat sebanyak pada keratokonjungtivitis
vernal Antihistamin oral termasuk terfenadine (60-120 mg 2x
sehari), astemizole (10 mg empat kali sehari), atau hydroxyzine
(50 mg waktu tidur, dinaikkan sampai 200 mg) ternyata
bermanfaat. Obat-obat antiradang non-steroid yang lebih baru,
seperti ketorolac dan iodoxamid, ternyata dapat mengatasi gejala
pada pasien-pasien ini. Pada kasus berat, plasmaferesis
merupakan terapi tambahan. Pada kasus lanjut dengan
komplikasi kornea berat, mungkin diperlukan transplantasi
kornea untuk mengembalikan ketajaman penglihatannya.
b. Reaksi Hipersensitivitas Tipe Lambat
1) Phlyctenulosis
Keratokonjungtivitis phlcytenularis adalah respon
hipersensitivitas lambat terhadap protein mikroba, termasuk
protein dari basil tuberkel, Staphylococcus spp, Candida
albicans, Coccidioides immitis, Haemophilus aegyptus, dan
Chlamydia trachomatis serotype L1, L2, dan L3.
Phlyctenule konjungtiva mulai berupa lesi kecil yang
keras, merah, menimbul, dan dikelilingi zona hyperemia. Di
limbus sering berbentuk segitiga, dengan apeks mengarah ke
kornea. Di sini terbentuk pusat putih kelabu, yang segera
menjadi ulkus dan mereda dalam 10-12 hari. Phlyctenule
pertama pada pasien dan pada kebanyakan kasus kambuh terjadi
di limbus, namun ada juga yang di kornea, bulbus, dan sangat
jarang di tarsus.
Phlyctenule konjungtiva biasanya hanya menimbulkan
iritasi dan air mata, namun phlyctenule kornea dan limbus
umumnya disertai fotofobia hebat. Phlyctenulosis sering dipicu
oleh blefaritis aktif, konjungtivitis bacterial akut, dan defisiensi
diet.
Phlyctenulosis yang diinduksi oleh tuberkuloprotein dan
protein dari infeksi sistemik lain berespon secara dramatis
terhadap kortikosteroid topical. Terjadi reduksi sebagian besar
gejala dalam 24 jam dan lesi hilang dalam 24 jam berikutnya.
Antibiotika topical hendaknya ditambahkan untuk
blefarikonjungtivitis stafilokokus aktif. Pengobatan hendaknya
ditujukan terhadap penyakit penyebab, dan steroid bila efektif,
hendaknya hanya dipakai untuk mengatasi gejala akut dan parut
kornea yang menetap. Parut kornea berat mungkin memerlukan
tranplantasi.
2) Konjungtivitis Ringan Sekunder terhadap Blefaritis kontak
Blefaritis kontak yang disebabkan oleh atropine,
neomycin, antibiotika spectrum luas, dan medikasi topical lain
sering diikuti oleh konjungtivitis infiltrate ringan yang
menimbukan hyperemia, hipertropi papiler ringan, bertahi mata
mukoid ringan, dan sedikit iritasi. Pemeriksaan kerokan berpulas
giemsa sering hanya menampakkan sedikit sel epitel matim,
sedikit sel polimorfonuklear dan mononuclear tanpa eosinofil.
Pengobatan diarahkan pada penemuan agen penyebab
dan menghilangkannya. Blefaritis kontak dengan cepat
membaik dengan kortikosteroid topical, namun pemakaiannya
harus dibatasi. Penggunaan steroid jangka panjang pada
palpebra dapat menimbulkan glaucoma steroid dan atropi kulit
dengan telangiektasis yang menjelekkan.
5. Konjungtivitis Akibat Penyakit Autoimun
Berkaitan dgn. Sindrom Sjorgen (trias: keratokonj. sika, xerostomia,
artritis).
a. Gejala:
 khas: hiperemia konjungtivitis bulbi dan gejala iritasi yang tidak
sebanding dengan tanda-tanda radang.
 Dimulai dengan konjungtivitis kataralis
 Pada pagi hari tidak ada atau hampir tidak ada rasa sakit, tetapi
menjelang siang atau malam hari rasa sakit semakin hebat.
 Lapisan air mata berkurang (uji Schirmer: abnormal)
 Pewarnaan Rose bengal Ù uji diagnostik.
b. Pengobatan:
 air mata buatan vitamin A topical
 obliterasi pungta lakrimal.
6. Konjungtivitis Kimia atau Iritatif
a. Konjungtivitis Iatrogenik Pemberian Obat Topikal
Konjungtivitis folikular toksik atau konjungtivitis non-
spesifik infiltrate, yang diikuti pembentukan parut, sering kali terjadi
akibat pemberian lama dipivefrin, miotika, idoxuridine, neomycin,
dan obat-obat lain yang disiapkan dalam bahan pengawet atau
vehikel toksik atau yang menimbulakan iritasi. Perak nitrat yang
diteteskan ke dalam saccus conjingtiva saat lahir sering menjadi
penyebab konjungtivitis kimia ringan. Jika produksi air mata
berkurang akibat iritasi yang kontinyu, konjungtiva kemudian akan
cedera karena tidak ada pengenceran terhadap agen yang merusak
saat diteteskan kedalam saccus conjungtiva.
Kerokan konjungtiva sering mengandung sel-sel epitel
berkeratin, beberapa neutrofil polimorfonuklear, dan sesekali ada sel
berbentuk aneh. Pengobatan terdiri atas menghentikan agen
penyebab dan memakai tetesan yang lembut atau lunak, atau sama
sekali tanpa tetesan. Sering reaksi konjungtiva menetap sampai
berminggu-minggu atau berbulan-bulan lamanya setelah
penyebabnya dihilangkan.
H. Diagnosa Banding Mata Merah

Konjungtivitis Keratitis/ Iritis akut Glaucoma


ulkus akut
Kornea

Sakit Kesat Sedang Sedang Hebat dan


sampai menyebar
hebat

Kotoran Sering purulent Hanya reflex Ringan -


epifora

Fotofobia Ringan Sedang- Hebat Sedang


Hebat

Kornea Jernih Fluoresin Presipitat Edema


+++/-

Iris Normal Normal “Muddy” Abu-abu-


hijau-hijau

Pengelihatan Normal <Normal <Normal <Normal


Secret (+) (-) (-) (-)

Suar/flare = -/+ ++ -/+

Pupil fixed Normal <normal <normal >normal


oval

Tekanan Normal Normal <n>pegal >n sangat


pegal

Vaskularisasi a.Konjungtiva Siliar Pleksus Episkleral


posterior siliar

Injeksi Konjungtiva Siliar Siliar Episkleral

Pengobatan Antibiotik Antibioatik Steroid, Miotika


siklopegik siklopegik
Diamox
+bedah

Uji Bakteri Sensibilitas Infeksi local Tonometry


BAB III
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS
1. NAMA : An. Nabila M
2. UMUR : 11 tahun
3. JENIS KEKLAMIN : Perempuan
4. SUKU BANGSA : jawa
5. AGAMA : islam
6. PENDIDIKAN : SD
7. PEKERJAAN : Pelajar
8. ALAMAT : Sidoarjo
9. TANGGAL PEMERIKSAAN : 27 Januari 2020
B. ANAMNESA
1. KELUHAN UTAMA : mata kanan merah
2. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :
Pasien datang ke poli mata rsud sidoarjo dengan keluhan mata kanan
berwarna merah, ganjel, gatal, mengeluarkan banyak air, terasa kemeng,
dan kadang keluar kotoran. Penglihatan kedua mata tidak kabur dan bila
melihat cahaya tidak dirasakan silau.
3. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU : -
4. RIWAYAT PENGOBATAN : -
5. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA : -
6. RIWAYAT SOSIAL : -
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. STATUS GENERAL
a. KEADAAN UMUM : Cukup
b. KESADARAN : Compos mentis
c. GIZI : Cukup
d. VITAL SIGN :
TENSI : 120/80
NADI : 80 x/menit
RR : 20x/menit
SUHU : 36,5˚C
e. KEPALA LEHER : A/I/C/D : -/-/-/-
PEMERIKSAAN KGB (-)
THORAX : cor dan pulmo dbn
ABDOMEN : dbn
EKSTREMITAS : dbn
D. STATUS LOKALIS

Oculi Dextra (OD) Oculi Sinistra (OS)

Fluoresin Test - -

Palpebra Superior Edema (-) Edema (-)

Ekimosis (-) Ekimosis (-)

Pseudoptosis (-) Pseudoptosis (-)

Palpebra Inferior Edema (-) Edema (-)

Kimosis (-) Kimosis (-)

Konjungtiva Tarsus Hiperemi (-) Hiperemi (-)


Superior
Hipertrofi Papiler (-) Hipertrofi Papiler (-)

Hipertrofi Folikel (-) Hipertrofi Folikel (-)

Hordeolum (-) Hordeolum (-)

Chalazion (-) Chalazion (-)

Edema (-) Edema (-)

Secret (-) Secret (-)

Pseudomembran (-) Pseudomembran (-)

Konjungtiva Tarsus Hiperemi (-) Hiperemi (-)


Inferior
Hipertrofi Papiler (-) Hipertrofi Papiler (-)

Hipertrofi Folikel (-) Hipertrofi Folikel (-)

Hordeolum (-) Hordeolum (-)


Chalazion (-) Chalazion (-)

Edema (-) Edema (-)

Secret (-) Secret (-)

Pseudomembran (-) Pseudomembran (-)

Konjungtiva Bulbi CVI (+) CVI (-)

PCVI (-) PCVI (-)

Bleeding (-) Bleeding (-)

Pterigium (-) Pterigium (-)

Sklera Hiperemi (-) Hiperemi (-)

Kornea Keruh (-) Keruh (-)

Infiltrat (-) Infiltrat (-)

Ulkus (-) Ulkus (-)

Pannus (-) Pannus (-)

KP (-) KP (-)

Limbus Horner trantas dots (+) Horner trantas dots (+)

Kamera Okuli Anterior Flare (-) Flare (-)

Iris Hipopion (-) Hipopion (-)

Edema (-) Edema (-)

Refleks pupil Refleks pupil

Lensa Katarak (-) Katarak (-)

E. RESUME
Seorang anak Perempuan berusia 11 tahun datang ke poli mata rsud sidoarjo
dengan keluhan Pasien datang ke poli mata rsud sidoarjo dengan keluhan
mata kanan berwarna merah, ganjel, gatal, mengeluarkan banyak air, terasa
kemeng, dan kadang keluar kotoran. Penglihatan kedua mata tidak kabur
dan bila melihat cahaya tidak dirasakan silau.
VOS/VOD= 5/5 ; 5/5
OD:
 Hiperemi (-) konjungtiva tarsus superior et inferior
 CVI (-), PCVI (-)
 Hipertrofi papiler (-)
OS:
 Hiperemi (+) konjungtiva tarsus superior et inferior
 CVI (+), PCVI (-)
 Hipertrofi papiler (+) konjungtiva superior
F. DIAGNOSA
OD konjungtivitis
G. PENATALAKSANAAN
 Edukasi pasien mengenai penyakit pasien dan penanganan.
 Antihistamin topikal,
 Bila terasa gatal dan panas kompres mata dengan kompres dingin
 Kontrol dalam 5-7 hari.
DAFTAR PUSTAKA
A.Khurana. 2015. Comprehensive Ophthalmology. Jaypee Brothers Medical
Publishers (P) Ltd
Brad Bowling. 2016. Kanski’s Clinical Ophthalmology: A SYSTEMATIC
APPROACH. 8th Edition. Elsevier Limited. All rights reserved.
Ilyas, H. Sidarta Prof. dr. SpM. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: FKUI; 2003, hal 2,
134.
Pedoman Diagnosis dan Terapi, SMF Ilmu Penyakit Mata, Edisi III, 2006 ,Rumah
Sakit Umum Dokter Soetomo, Surabaya

Anda mungkin juga menyukai