Disusun Oleh:
Dewa Ayu Putu Bella Ayunda Putri 18710006
PEMBIMBING:
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat dan karuniaNya lah penulis mampu menyeselesaikan tugas
referat yang berjudul “Konjungtivitis” dengan tepat pada waktunya. Referat ini
diajukan untuk memenuhi tugas dalam rangka menjalani kepaniteraan klinik di
SMF Ilmu Penyakit Mata di RSUD Sidoarjo. Pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. dr. H. M. Tauhid Rafi’i, Sp.M, dr. Hj. Pinky Endriana Heliasanty, Sp.M dan
dr. Miftakhur Rohmah, Sp.M selaku dokter pembimbing di SMF
Departemen Ilmu Penyakit Mata RSUD Sidoarjo.
2. Kepada tenaga paramedis yang telah membantu penulis selama
menjalankan kepaniteraan klinik di poli Ilmu Penyakit Mata RSUD Sidoarjo
3. Kepada teman-teman sejawat dokter muda yang sudah memberikan
masukan dan membantu dalam menyelesaikan referat ini.
Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu terwujudnya referat ini. Penulis sangat menyadari bahwa referat ini
masih jauh dari sempurna, maka dari itu penulis mengharapkan kritik serta saran
yang membangun guna kemajuan karya penulis dimasa yang akan datang. Semoga
referat ini bermanfaat untuk dokter muda yang melaksanakan kepaniteraan klilnik
di Ilmu Penyakit Mata RSUD Sidoarjo, serta pembaca umum. Akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
B. Anatomi
D. Fisiologi
3. Epifora
Lakrimasi yang tidak normal(illacrimation) harus dapat dibedakan dari
eksudasi. Lakrimasi biasanya mencerminkan lakrimasi sebagai reaksi
dari badan asing pada konjungtiva atau kornea atau merupakan iritasi
toksik. Juga dapat berasal dari sensasi terbakar atau garukan atau juga
dari gatal. Transudasi ringan juga ditemui dari pembuluh darah yang
hiperemia dan menambah aktifitas pengeluaran air mata. Jumlah
pengeluaran air mata yang tidak normal dan disertai dengan sekresi
mucus menandakan keratokonjungtivitis sika.
4. Pseudoptosis
Pseudoptosis adalah turunnya palpebra superior karena infiltrasi sel-sel
radang ke muskulus muller (M. Tarsalis superior). Keadaan ini dijumpai
pada konjungtivitis berat. Misalnya Trachoma dan keratokonjungtivitis
epidemika.
Gambar 4. Pseudoptosis
5. Khemosis (Edema Konjungtiva)
Adanya kemosis mengarahkan kita secara kuat pada konjungtivitis
alergik akut, tetapi dapat muncul juga pada konjungtivitis gonokokkal
akut atau konjungtivitis meningokokkal, dan terutama pada
konjungtivitis adenoviral. Kemosis dari konjungtiva bulbar dapat dilihat
pada pasien dengan trikinosis. Meskipun jarang, kemosis mungkin
timbul sebelum adanya infiltrat atau eksudasi seluler gross.
7. Hipertrofi folikel
Terdiri dari hiperplasia limfoid lokal dengan lapisan limfoid dari
konjungtiva yang biasanya mengandung germinal center. Secara klinis,
folikel dapat dikenali sebagai struktur bulat, avaskuler putih atau
abuabu. Pada pemeriksaan menggunakan slit lamp, pembuluh darah
kecil dapat naik pada tepi folikel dan mengitarinya. Terlihat paling
banyak pada kasus konjungtivitis viral dan pada semua kasus
konjungtivitis klamidial kecuali konjungtivitis inklusi neonatal, pada
beberapa kasus konjungtivitis parasit, dan pada beberapa kasus
konjungtiitis toksis diinduksi oleh medikasi topical seperti
idoxuriridine, dipiverin, dan miotik. Folikel pada fornix inferior dan
pada batas tarsal mempunyai nilai diagnostik yang terbatas, tetapi ketika
diketemukan terletak pada tarsus (terutama tarsus superior), harus
dicurigai adanya konjungtivitis klamidial, viral, atau toksik (mengikuti
medikasi topikal).
8. Pseudomembran
Merupakan reaksi konjungtiva terhadap infeksi berat atau konjungtivitis
toksik. Terjadi oleh karena proses koagulasi kuman atau bahan toksik.
Bentukan ini terbentuk dari jaringan epithelial yang nekrotik dan kedua-
duanya dapat diangkat dengan mudah, baik yang tanpa perdarahan
(pseudomembran) karena hanya merupakan koagulum pada permukaan
epitelial atau yang meninggalkan permukaan dengan perdarahan saat
diangkat (membran) karena merupakan koagulum yang melibatkan
seluruh epitel.
Gambar 8. Pseudomembran
9. Pannus
Pertumbuhan konjungtiva atau pembuluh darah diantara lapisan
bowman dan epitel kornea atau pada stroma yang lebih dalam. Edema
stroma, yang mana menyebabkan pembengkakan dan memisahkan
lamela kolagen, memfasilitasi terjadinya invasi pembuluh darah.
Infiltrasi dari perifer ke limbus kornea.
Gambar 9. Pannus
10. Phlyctenules
Menggambarkan manifestasi lokal pada limbus karena alergi terhadap
toxin yang dihasilkan mikroorganisme. Phlyctenules dari konjungtiva
pada mulanya terdiri dari perivaskulitis ulserasi dari konjungtiva, dasar
ulkus mempunyai banyak leukosit polimorfonuklear.
Gambar 10. Phlyctenules
11. Granuloma
Granuloma adalah nodus stroma konjungtiva yang meradang dengan
area bulat merah dan terdapat injeksi vaskular. Tanda ini dapat muncul
pada kelainan sistemik seperti tuberculosis atau sarkoidosis atau
mungkin faktor eksogen seperti granuloma jahitan postoperasi atau
granuloma benda asing lainnya. Granuloma muncul bersamaan dengan
bengkaknya nodus limfatikus preaurikular dan submandnibular pada
kelainan seperti sindroma okuloglandular parinaud.
2) Keratokonjungtivitis Epidemika
Keratokonjungtivitis epidemika umumnya bilateral.
Awalnya sering pada satu mata saja, dan biasanya mata pertama
lebih parah. Pada awalnya pasien merasa ada infeksi dengan
nyeri sedang dan berair mata, kemudian diikuti dalam 5-14 hari
oleh fotofobia, keratitis epitel, dan kekeruhan subepitel bulat.
Sensai kornea normal. Nodus preaurikuler yang nyeri tekan
adalah khas. Edema palpebra, kemosis, dan hyperemia
konjungtiva menandai fase akut. Folikel dan perdarahan
konjungtiva sering muncul dalam 48 jam. Dapat membentuk
pseudomembran dan mungkin diikuti parut datar atau
pembentukan symblepharon. Konjungtivitis berlangsung paling
lama 3-4 minggu. Kekeruhan subepitel terutama terdapat di
pusat kornea, bukan di tepian, dan menetap berbulan-bulan
namun menyembuh tanpa meninggalkan parut.
Keratokonjungtiva epidemika pada orang dewasa
terbatas pada bagian luar mata. Namun, pada anak-anak
mungkin terdapat gejala sistemik infeksi virus seperti demam,
sakit tenggorokan, otitis media, dan diare.
Keratokonjungtiva epidemika disebabkan oleh
adenovirus tipe 8, 19, 29, dan 37 (subgroub D dari adenovirus
manusia). Virus-virus ini dapat diisolasi dalam biakan sel dan
diidentifikasi dengan tes netralisasi. Kerokan konjungtiva
menampakkan reaksi radang mononuclear primer; bila terbentuk
pseudomembran, juga terdapat banyak neutrofil.
Transmisi nosokomial selama pemeriksaan mata sangat
sering terjadi melalui jari-jari tangan dokter, alat-alat
pemeriksaan mata yang kurang steril, atau pemakaian larutan
yang terkontaminasi. Larutan mata, terutama anestetika topical,
mungkin terkontaminasi saat ujung penetes obat menyedot
materi terinfeksi dari konjungtiva atau silia. Virus itu dapat
bertahan dalam larutan itu, yang menjadi sumber penyebaran.
Bahaya kontaminasi botol larutan dapat dihindari dengan
dengan memakai penetes steril pribadi atau memakai tetes mata
dengan kemasan unit-dose. Cuci tangan secara teratur di antara
pemeriksaan dan pembersihan serta sterilisasi alat-alat yang
menyentuh mata khususnya tonometer juga suatu keharusan.
Tonometer aplanasi harus dibersihkan dengan alcohol atau
hipoklorit, kemudian dibilas dengan air steril dan dikeringkan
dengan hati-hati.
Sekarang ini belum ada terapi spesifik, namun kompres
dingin akan mengurangi beberapa gejala. kortikosteroid selama
konjungtivitis akut dapat memperpanjang keterlibatan kornea
sehingga harus dihindari. Agen antibakteri harus diberikan jika
terjadi superinfeksi bacterial
3) Konjungtivitis Virus Herpes Simpleks
Konjungtivitis virus herpes simplex biasanya merupakan
penyakit anak kecil, adalah keadaan yang luar biasa yang
ditandai pelebaran pembuluh darah unilateral, iritasi, bertahi
mata mukoid, sakit, dan fotofobia ringan. Pada kornea tampak
lesi-lesi epithelial tersendiri yang umumnya menyatu
membentuk satu ulkus atau ulkus-ulkus epithelial yang
bercabang banyak (dendritik). Konjungtivitisnya folikuler.
Vesikel herpes kadang-kadang muncul di palpebra dan tepian
palpebra, disertai edema hebat pada palpebra. Khas terdapat
sebuah nodus preaurikuler yang terasa nyeri jika ditekan
Tidak ditemukan bakteri di dalam kerokan atau dalam
biakan. Jika konjungtivitisnya folikuler, reaksi radangnya
terutama mononuclear, namun jika pseudomembran, reaksinya
terutama polimorfonuklear akibat kemotaksis dari tempat
nekrosis. Inklusi intranuklear tampak dalam sel konjungtiva dan
kornea, jika dipakai fiksasi Bouin dan pulasan Papanicolaou,
tetapi tidak terlihat dengan pulasan Giemsa. Ditemukannya sel –
sel epithelial raksasa multinuclear mempunyai nilai diagnostic.
Virus mudah diisolasi dengan mengusapkan sebuah
aplikator berujung kain kering di atas konjungtiva dan
memindahkan sel-sel terinfeksi ke jaringan biakan.
Jika konjungtivitis terdapat pada anak di atas 1 tahun atau
pada orang dewasa, umunya sembuh sendiri dan mungkin tidak
perlu terapi. Namun, antivirus local maupun sistemik harus
diberikan untuk mencegah terkenanya kornea. Untuk ulkus
kornea mungkin diperlukan debridemen kornea dengan hati-hati
yakni dengan mengusap ulkus dengan kain kering, meneteskan
obat antivirus, dan menutupkan mata selama 24 jam. Antivirus
topical sendiri harus diberikan 7 – 10 hari: trifluridine setiap 2
jam sewaktu bangun atau salep vida rabine lima kali sehari, atau
idoxuridine 0,1 %, 1 tetes setiap jam sewaktu bangun dan 1 tetes
setiap 2 jam di waktu malam. Keratitis herpes dapat pula diobati
dengan salep acyclovir 3% lima kali sehari selama 10 hari atau
dengan acyclovir oral, 400 mg lima kali sehari selama 7 hari.
Untuk ulkus kornea, debridmen kornea dapat dilakukan.
Lebih jarang adalah pemakaian vidarabine atau idoxuridine.
Antivirus topical harus dipakai 7-10 hari. Penggunaan
kortikosteroid dikontraindikasikan, karena makin memperburuk
infeksi herpes simplex dan mengkonversi penyakit dari proses
sembuh sendiri yang singkat menjadi infeksi yang sangat
panjang dan berat.
4) Konjungtivitis Hemoragika Akut
Mata terasa sakit, fotofobia, sensasi benda asing, banyak
mengeluarkan air mata, merah, edema palpebra, dan hemoragi
subkonjungtival. Kadang-kadang terjadi kemosis. Hemoragi
subkonjungtiva umumnya difus, namun dapat berupa bintik-
bintik pada awalnya, dimulai di konjungtiva bulbi superior dan
menyebar ke bawah. Kebanyakan pasien mengalami
limfadenopati preaurikuler, folikel konjungtiva, dan keratitis
epithelial. Uveitis anterior pernah dilaporkan, demam, malaise,
mialgia, umum pada 25% kasus.
Pertama kali diketahui di Ghana dalam tahun 1969.
Konjungtivitis ini disebabkan oleh coxackie virus A24. Masa
inkubasi virus ini pendek (8-48 jam) dan berlangsung singkat (5-
7 hari).
Virus ini ditularkan melalui kontak erat dari orang ke
orang dan oleh fomite seperti sprei, alat-alat optic yang
terkontaminasi, dan air. Penyembuhan terjadi dalam 5-7 hari.
Tidak ada pengobatan yang pasti.
b. Konjungtivitis Virus Kronik
1) Blefarokonjungtivitis Molluscum Contagiosum
Sebuah nodul molluscum pada tepian atau kulit palpebra
dan alis mata dapat menimbulkan konjungtivitis folikuler
menahun unilateral, keratitis superior, dan pannus superior, dan
mungkin menyerupai trachoma. Reaksi radang yang
mononuclear (berbeda dengan reaksi pada trachoma), dengan
lesi bulat, berombak, putih mutiara, non-radang dengan bagian
pusat, adalah khas molluscum kontagiosum. Biopsy
menampakkan inklusi sitoplasma eosinofilik, yang memenuhi
seluruh sitoplasma sel yang membesar, mendesak inti ke satu
sisi.
Eksisi, insisi sederhana nodul yang memungkinkan
darah tepi memasukinya, atau krioterapi akan menyembuhkan
konjungtivitisnya.
2) Blefarokonjungtivitis Varicella-Zoster
Hyperemia dan konjungtivitis infiltrate disertai dengan
erupsi vesikuler khas sepanjang penyebaran dermatom nervus
trigeminus cabang oftalmika adalah khas herpes zoster.
Konjungtivitisnya biasanya papiler, namun pernah ditemukan
folikel, pseudomembran, dan vesikel temporer, yang kemudian
berulserasi. Limfonodus preaurikuler yang nyeri tekan terdapat
pada awal penyakit. parut pada palpebra, entropion, dan bulu
mata salah arah adalah sekuele.
Pada zoster maupun varicella, kerokan dari vesikel
palpebra mengandung sel raksasa dan banyak leukosit
polimorfonuklear; kerokan konjungtiva pada varicella dan zoster
mengandung sel raksasa dan monosit. Virus dapat diperoleh dari
biakan jaringan sel – sel embrio manusia.
Acyclovir oral dosis tinggi (800 mg oral lima kali sehari
selama 10 hari), jika diberi pada awal perjalanan penyakit,
agaknya akan mengurangi dan menghambat penyakit.
3) Keratokonjungtivitis Morbilli
Pada awal penyakit, konjungtiva tampak mirip kaca yang
aneh, yang dalam beberapa hari diikuti pembengkakan lipatan
semiluner. Beberapa hari sebelum erupsi kulit, timbul
konjungtivitis eksudatif dengan secret mukopurulen, dan saat
muncul erupsi kulit, timbul bercak-bercak Koplik pada
konjungtiva dan kadang-kadang pada carunculus. Pada pasien
imunokompeten, keratokonjungtivitis campak hanya
meninggalkan sedikit atau sama sekali tanpa sekuel, namun pada
pasien kurang gizi atau imunokompeten, penyakit mata ini
seringkali disertai infeksi HSV atau infeksi bacterial sekunder
oleh S pneumonia, H influenza, dan organism lain. Agen ini
dapat menimbulkan konjungtivitis purulen yang disertai ulserasi
kornea dan penurunan penglihatan yang berat. Infeksi herpes
dapat menimbulkan ulserasi kornea berat dengan perforasi dan
kehilangan penglihatan pada anak-anak kurang gizi di Negara
berkembang.
Kerokan konjungtivitis menunjukkan reaksi sel
mononuclear, kecuali jika ada pseudomembran atau infeksi
sekunder. Sedian terpulas giemsa mengandung sel-sel raksasa.
Karena tidak ada terapi spesifik, hanya tindakan penunjang saja
yang dilakukan, kecuali jika ada infeksi sekunder.
4. Konjungtivitis Imunologik (Alergik)
a. Reaksi Hipersensitivitas Humoral Langsung
1) Konjungtivitis Demam Jerami (Hay Fever)
Radang konjungtivitis non-spesifik ringan umumnya
menyertai demam jerami (rhinitis alergika). Bianya ada riwayat
alergi terhadap tepung sari, rumput, bulu hewan, dan lainnya.
Pasien mengeluh tentang gatal-gatal, berair mata, mata merah,
dan sering mengatakan bahwa matanya seakan-akan “tenggelam
dalam jaringan sekitarnya”. Terdapat sedikit penambahan
pembuluh pada palpebra dan konjungtiva bulbi, dan selama
serangan akut sering terdapat kemosis berat (yang menjadi sebab
“tenggelamnya” tadi). Mungkin terdapat sedikit tahi mata,
khususnya jika pasien telah mengucek matanya. Sulit ditemukan
eosinofil dalam kerokan konjungtiva
Meneteskan vasokonstriktor local pada tahap akut
(epineprin, larutan 1:1000 yang diberikan secara topical, akan
menghilangkan kemosis dan gejalanya dalam 30 menit).
Kompres dingin membantu mengatasi gatal-gatal dan
antihistamin hanya sedikit manfaatnya. Respon langsung
terhadap pengobatan cukup baik, namun sering kambuh kecuali
anti-gennya dapat dihilangkan.
2) Konjungtivitis Vernalis
Penyakit ini, juga dikenal sebagai “catarrh musim semi”
dan “konjungtivitis musiman” atau “konjungtivitis musim
kemarau”, adalah penyakit alergi bilateral yang jarang.
Penyakit ini lebih jarang di daerah beriklim sedang
daripada di daerah dingin. Penyakit ini hamper selalu lebih parah
selama musim semi, musim panas dan musim gugur daripada
musim gugur.
Pasien mengeluh gatal-gatal yang sangat dan bertahi
mata berserat-serat. Biasanya terdapat riwayat keluarga alergi
(demam jerami, eczema, dan lainnya). Konjungtiva tampak
putih seperti susu, dan terdapat banyak papilla halus di
konjungtiva tarsalis inferior. Konjungtiva palpebra superior
sering memiliki papilla raksasa mirip batu kali. Setiap papilla
raksasa berbentuk polygonal, dengan atap rata, dan mengandung
berkas kapiler.
Pada eksudat konjungtiva yang dipulas dengan Giemsa
terdapat banyak eosinophil dan granula eosinofilik bebas.
Penyakit ini sembuh sendiri tetapi medikasi yang dipakai
terhadap gejala hanya member hasil jangka pendek, berbahaya
jika dipakai untuk jangka panjang. Steroid sisremik, yang
mengurangi rasa gatal, hanya sedikit mempengharuhi penyakit
kornea ini, dan efek sampingnya (glaucoma, katarak, dan
komplikasi lain) dapat sangat merugikan. Crmolyn topical
adalah agen profilaktik yang baik untuk kasus sedang sampai
berat. Vasokonstriktor, kompres dingin dan kompres es ada
manfaatnya, dan tidur di tempat ber AC sangat menyamankan
pasien. Agaknya yang paling baik adalah pindah ke tempat
beriklim sejuk dan lembab. Pasien yang melakukan ini sangat
tertolong bahkan dapat sembuh total.
3) Konjungtivitis Atopik
Sensasi terbakar, bertahi mata berlendir, merah, dan
fotofobia. Tepian palpebral eritemosa, dan konjungtiva tampak
putih seperti susu. Terdapat papilla halus, namun papilla raksasa
tidak berkembang seperti pada keratokonjungtivitis vernal, dan
lebih sering terdapat di tarsus inferior. Berbeda dengan papilla
raksasa pada keratokonjungtivitis vernal, yang terdapat di tarsus
superior. Tanda-tanda kornea yang berat muncul pada perjalanan
lanjut penyakit setelah eksaserbasi konjungtivitis terjadi
berulangkali. Timbul keratitis perifer superficial yang diikuti
dengan vaskularisasi. Pada kasus berat, seluruh kornea tampak
kabur dan bervaskularisasi, dan ketajaman penglihatan.
Biasanya ada riwayat alergi (demam jerami, asma, atau
eczema) pada pasien atau keluarganya. Kebanyakan pasien
pernah menderita dermatitis atopic sejak bayi. Parut pada
lipatan-lipatan fleksura lipat siku dan pergelangan tangan dan
lutut sering ditemukan. Seperti dermatitisnya,
keratokonjungtivitis atopic berlangsung berlarut-larut dan sering
mengalami eksaserbasi dan remisi. Seperti keratokonjungtivitis
vernal, penyakit ini cenderung kurang aktif bila pasien telah
berusia 50 tahun.
Kerokan konjungtiva menampakkan eosinofil, meski
tidak sebanyak yang terlihat sebanyak pada keratokonjungtivitis
vernal Antihistamin oral termasuk terfenadine (60-120 mg 2x
sehari), astemizole (10 mg empat kali sehari), atau hydroxyzine
(50 mg waktu tidur, dinaikkan sampai 200 mg) ternyata
bermanfaat. Obat-obat antiradang non-steroid yang lebih baru,
seperti ketorolac dan iodoxamid, ternyata dapat mengatasi gejala
pada pasien-pasien ini. Pada kasus berat, plasmaferesis
merupakan terapi tambahan. Pada kasus lanjut dengan
komplikasi kornea berat, mungkin diperlukan transplantasi
kornea untuk mengembalikan ketajaman penglihatannya.
b. Reaksi Hipersensitivitas Tipe Lambat
1) Phlyctenulosis
Keratokonjungtivitis phlcytenularis adalah respon
hipersensitivitas lambat terhadap protein mikroba, termasuk
protein dari basil tuberkel, Staphylococcus spp, Candida
albicans, Coccidioides immitis, Haemophilus aegyptus, dan
Chlamydia trachomatis serotype L1, L2, dan L3.
Phlyctenule konjungtiva mulai berupa lesi kecil yang
keras, merah, menimbul, dan dikelilingi zona hyperemia. Di
limbus sering berbentuk segitiga, dengan apeks mengarah ke
kornea. Di sini terbentuk pusat putih kelabu, yang segera
menjadi ulkus dan mereda dalam 10-12 hari. Phlyctenule
pertama pada pasien dan pada kebanyakan kasus kambuh terjadi
di limbus, namun ada juga yang di kornea, bulbus, dan sangat
jarang di tarsus.
Phlyctenule konjungtiva biasanya hanya menimbulkan
iritasi dan air mata, namun phlyctenule kornea dan limbus
umumnya disertai fotofobia hebat. Phlyctenulosis sering dipicu
oleh blefaritis aktif, konjungtivitis bacterial akut, dan defisiensi
diet.
Phlyctenulosis yang diinduksi oleh tuberkuloprotein dan
protein dari infeksi sistemik lain berespon secara dramatis
terhadap kortikosteroid topical. Terjadi reduksi sebagian besar
gejala dalam 24 jam dan lesi hilang dalam 24 jam berikutnya.
Antibiotika topical hendaknya ditambahkan untuk
blefarikonjungtivitis stafilokokus aktif. Pengobatan hendaknya
ditujukan terhadap penyakit penyebab, dan steroid bila efektif,
hendaknya hanya dipakai untuk mengatasi gejala akut dan parut
kornea yang menetap. Parut kornea berat mungkin memerlukan
tranplantasi.
2) Konjungtivitis Ringan Sekunder terhadap Blefaritis kontak
Blefaritis kontak yang disebabkan oleh atropine,
neomycin, antibiotika spectrum luas, dan medikasi topical lain
sering diikuti oleh konjungtivitis infiltrate ringan yang
menimbukan hyperemia, hipertropi papiler ringan, bertahi mata
mukoid ringan, dan sedikit iritasi. Pemeriksaan kerokan berpulas
giemsa sering hanya menampakkan sedikit sel epitel matim,
sedikit sel polimorfonuklear dan mononuclear tanpa eosinofil.
Pengobatan diarahkan pada penemuan agen penyebab
dan menghilangkannya. Blefaritis kontak dengan cepat
membaik dengan kortikosteroid topical, namun pemakaiannya
harus dibatasi. Penggunaan steroid jangka panjang pada
palpebra dapat menimbulkan glaucoma steroid dan atropi kulit
dengan telangiektasis yang menjelekkan.
5. Konjungtivitis Akibat Penyakit Autoimun
Berkaitan dgn. Sindrom Sjorgen (trias: keratokonj. sika, xerostomia,
artritis).
a. Gejala:
khas: hiperemia konjungtivitis bulbi dan gejala iritasi yang tidak
sebanding dengan tanda-tanda radang.
Dimulai dengan konjungtivitis kataralis
Pada pagi hari tidak ada atau hampir tidak ada rasa sakit, tetapi
menjelang siang atau malam hari rasa sakit semakin hebat.
Lapisan air mata berkurang (uji Schirmer: abnormal)
Pewarnaan Rose bengal Ù uji diagnostik.
b. Pengobatan:
air mata buatan vitamin A topical
obliterasi pungta lakrimal.
6. Konjungtivitis Kimia atau Iritatif
a. Konjungtivitis Iatrogenik Pemberian Obat Topikal
Konjungtivitis folikular toksik atau konjungtivitis non-
spesifik infiltrate, yang diikuti pembentukan parut, sering kali terjadi
akibat pemberian lama dipivefrin, miotika, idoxuridine, neomycin,
dan obat-obat lain yang disiapkan dalam bahan pengawet atau
vehikel toksik atau yang menimbulakan iritasi. Perak nitrat yang
diteteskan ke dalam saccus conjingtiva saat lahir sering menjadi
penyebab konjungtivitis kimia ringan. Jika produksi air mata
berkurang akibat iritasi yang kontinyu, konjungtiva kemudian akan
cedera karena tidak ada pengenceran terhadap agen yang merusak
saat diteteskan kedalam saccus conjungtiva.
Kerokan konjungtiva sering mengandung sel-sel epitel
berkeratin, beberapa neutrofil polimorfonuklear, dan sesekali ada sel
berbentuk aneh. Pengobatan terdiri atas menghentikan agen
penyebab dan memakai tetesan yang lembut atau lunak, atau sama
sekali tanpa tetesan. Sering reaksi konjungtiva menetap sampai
berminggu-minggu atau berbulan-bulan lamanya setelah
penyebabnya dihilangkan.
H. Diagnosa Banding Mata Merah
Fluoresin Test - -
KP (-) KP (-)
E. RESUME
Seorang anak Perempuan berusia 11 tahun datang ke poli mata rsud sidoarjo
dengan keluhan Pasien datang ke poli mata rsud sidoarjo dengan keluhan
mata kanan berwarna merah, ganjel, gatal, mengeluarkan banyak air, terasa
kemeng, dan kadang keluar kotoran. Penglihatan kedua mata tidak kabur
dan bila melihat cahaya tidak dirasakan silau.
VOS/VOD= 5/5 ; 5/5
OD:
Hiperemi (-) konjungtiva tarsus superior et inferior
CVI (-), PCVI (-)
Hipertrofi papiler (-)
OS:
Hiperemi (+) konjungtiva tarsus superior et inferior
CVI (+), PCVI (-)
Hipertrofi papiler (+) konjungtiva superior
F. DIAGNOSA
OD konjungtivitis
G. PENATALAKSANAAN
Edukasi pasien mengenai penyakit pasien dan penanganan.
Antihistamin topikal,
Bila terasa gatal dan panas kompres mata dengan kompres dingin
Kontrol dalam 5-7 hari.
DAFTAR PUSTAKA
A.Khurana. 2015. Comprehensive Ophthalmology. Jaypee Brothers Medical
Publishers (P) Ltd
Brad Bowling. 2016. Kanski’s Clinical Ophthalmology: A SYSTEMATIC
APPROACH. 8th Edition. Elsevier Limited. All rights reserved.
Ilyas, H. Sidarta Prof. dr. SpM. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: FKUI; 2003, hal 2,
134.
Pedoman Diagnosis dan Terapi, SMF Ilmu Penyakit Mata, Edisi III, 2006 ,Rumah
Sakit Umum Dokter Soetomo, Surabaya