Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Konjungtivitis merupakan peradangan pada konjungtiva yang dapat


disebabkan oleh mikroorganisme (virus, bakteri, jamur, klamidia), alergi dan
iritasi bahan-bahan kimia.1
Insidensi konjungtivitis di Indonesia berkisar antara 2-7,5%. Data
perkiraan jumlah penderita penyakit mata di Indonesia 10% dari seluruh golongan
umur penduduk pertahun dan pernah menderita konjungtivitis. Data lain
menunjukkan bahwa dari 10 penyakit mata utama, konjungtivitis menduduki
tempat kedua (9,7%) setelah kelainan refraksi (25,35%). Konjungtivitis dibedakan
bentuk akut dan kronis. Konjungtivitis dapat disebabkan oleh bakteri, virus,
klamidia, alergi atau imunologik, jamur, parasit, kimia atau iritatif, etiologi yang
tidak diketahui, bersama penyakit sistemik.2
Berdasarkan penyebabnya, konjungtivitis dibagi menjadi konjungtivitis
infeksi dan noninfeksi. Pada konjungtivitis infeksi, penyebab tersering adalah
virus dan bakteri, sedangkan pada kelompok non-infeksi disebabkan oleh alergi,
reaksi toksik, dan inflamasi sekunder lainnya. Konjungtivitis juga dapat
dikelompokkan berdasarkan waktu yaitu akut dan kronik. Pada kondisi akut,
gejala terjadi hingga empat minggu, sedangkan pada konjungtivitis kronik, gejala
lebih dari empat minggu. Konjungtivitis sering terjadi bersama atau sesudah
infeksi saluran napas dan umumnya terdapat riwayat kontak dengan pasien
konjungtivitis viral. Penyebaran virus umumnya terjadi melalui tangan, peralatan
mandi yang digunakan bersama, bantal kepala yang digunakan bersama atau
kontak dengan alat pemeriksaan mata yang terkontaminasi3,4
Konjungtivitis viral merupakan penyakit mata merah yang paling sering
dijumpai di masyarakat dan praktik dokter sehari-hari. Pada populasi dewasa, 80%
kasus konjungtivitis akut disebabkan oleh virus.3,4
Gejala konjungtivitis viral biasanya ringan, dapat sembuh sendiri dan tidak
disertai penurunan tajam penglihatan sehingga dapat ditatalaksana di pelayanan
kesehatan primer. Meskipun demikian, terdapat kasus yang bersifat mengancam

1
penglihatan sehingga perlu segera dirujuk ke rumah sakit atau dokter spesialis
mata untuk tata laksana lebih lanjut.4,5 Konjungtivitis viral sangat menular
sehingga pasien perlu mendapat edukasi agar tidak menjadi sumber infeksi bagi
lingkungannya.2,6

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran mukosa tipis yang membatasi
permukaan dalam dari kelopak mata dan melipat ke belakang membungkus
permukaan depan dari bola mata, kecuali bagian jernih di tengah-tengah mata
(kornea). Membran ini berisi banyak pembuluh darah dan berubah merah saat
terjadi inflamasi. Konjungtiva terdiri dari tiga bagian7:
1. Konjungtiva palpebralis
Menutupi permukaan posterior dari palpebra dan dapat dibagi menjadi
marginal, tarsal, dan orbital konjungtiva.7
a) Marginal konjungtiva memanjang dari tepi kelopak mata sampai
sekitar 2mm di belakang kelopak mata menuju lengkung dangkal,
sulkus subtarsalis. Sesungguhnya merupakan zona transisi antara kulit
dan konjungtiva sesungguhnya.
b) Tarsal konjungtiva bersifat tipis, transparan, dan sangat vaskuler.
Menempel ketat pada seluruh tarsal plate pada kelopak mata atas.
Pada kelopak mata bawah, hanya menempel setengah lebar tarsus.
Kelenjar tarsal terlihat lewat struktur ini sebagai garis kuning.
c) Orbital konjungtiva berada diantara tarsal plate dan forniks.
2. Konjungtiva bulbaris
Menutupi sebagian permukaan anterior bola mata. Terpisah dari sklera
anterior oleh jaringan episklera dan kapsula Tenon. Tepian sepanjang 3mm
dari konjungtiva bulbar disekitar kornea disebut dengan konjungtiva
limbal. Pada area limbus, konjungtiva, kapsula Tenon, dan jaringan
episklera bergabung menjadi jaringan padat yang terikat secara kuat pada
pertemuan korneosklera di bawahnya. Pada limbus, epitel konjungtiva
menjadi berlanjut seperti yang ada pada kornea.7
Konjungtiva bulbar sangat tipis. Konjungtiva bulbar juga bersifat
dapat digerakkan, mudah melipat ke belakang dan ke depan.Pembuluh

3
darahdengan mudah dapat dilihat di bawahnya.Di dalam konjungtiva
bulbar terdapat sel goblet yang mensekresi musin, suatu komponen penting
lapisan air mata pre-kornea yang memproteksi dan memberi nutrisi bagi
kornea.7
3. Forniks
Bagian transisi yang membentuk hubungan antara bagian posterior
palpebra dan bola mata. Forniks konjungtiva berganbung dengan
konjungtiva bulbar dan konjungtiva palpebra. Dapat dibagi menjasi forniks
superior, inferior, lateral, dan medial forniks.7

Gambar 3. Struktur anatomi dari conjungtiva

B. Histologis Konjungtiva
1. Lapisan epitel konjungtiva
Terdiri dari 6:
a) Marginal konjungtiva mempunyai epitel tipe stratified skuamous
lapis 5.
b) Tarsal konjungtiva mempunyai 2 lapis epitelium: lapisan superfisial
dari sel silindris dan lapisan dalam dari sel pipih.

4
c) Forniks dan bulbar konjungtiva mempunyai 3 lais epitelium: lapisan
superfisial sel silindris, lapisan tengan polihedral sel dan lapisan
dalam sel kuboid.
d) Limbal konjungtiva sekali lagi mempunyai banyak lapisan (5-6 lapis)
epitelium stratified skuamous.
2. Stroma konjungtiva
Dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superficial) dan satu lapisan fibrosa
(profundus).7
a) Lapisan adenoid disebut dengan lapisan limfoid dan terdiri dari
jaringan ikat retikulum yang terkait satu sama lain dan terdapat
limfosit diantaranya. Lapisan ini paling berkembang di forniks.
Tidak terdapat mulai dari lahir tetapu berkembang setelah 3-4 bulan
pertama kehidupan. Untuk alasan ini, inflamasi konjungtiva pada
bayi baru lahir tidak memperlihatkan reaksi folikuler.7
b) Lapisan fibrosa Terdiri dari jaringan fiber elastik dan kolagen. Lebih
tebal daripada lapisan adenoid, kecuali di regio konjungtiva tarsal
dimana pada tempat tersebut struktur ini sangat tipis. Lapisan ini
mengandung pembuluh darah dan saraf konjungtiva. Bergabung
dengan kapsula tenon pada regio konjungtiva bulbar.7

Konjungtiva mempunyai dua macam kelenjar, yaitu:


1. Kelenjar sekretori musin.
Mereka adalah sel goblet (kelenjar uniseluler yang terletak di dalam
epitelium), kripta dari Henle (ada pada tarsal konjungtiva) dan kelenjar
Manz (pada konjungtiva limbal). Kelenjar-kelenjar ini menseksresi
mukus yang mana penting untuk membasahi kornea dan konjungtiva.7
2. Kelenjar lakrimalis aksesorius, mereka adalah:7
a) Kelenjar dari Krause (terletak pada jaringan ikat konjungtiva di
forniks, sekitar 42 mm pada forniks atas dan 8mm di forniks bawah).
b) Kelenjar dari Wolfring (terletak sepanjang batas atas tarsus superios
dan sepanjang batas bawah dari inferior tarsus).

5
Konjungtiva palpebra dan forniks disuplai oleh cabang dari arcade
arteri periferal dan merginal kelopak mata. Konjungtiva bulbar disuplai oleh
dua set pembuluh darah: arteri konjungtiva posterior yang merupakan cabang
dari arcade arteri kelopak mata; dan arteri konjungtiva naterior yang
merupakan cabang dari arteri siliaris anterior. Cabang terminal dari arteri
konjungtiva posterior beranastomose dengan arteri konjungtiva anterior untuk
membentuk pleksus perikornea.7
C. Defenisi dan Etiologi
Radang konjungtiva atau konjungtivitis adalah penyakit mata paling
umum di dunia dan bervariasi dari hiperemia ringan dengan mata berair
hingga konjungtivitis berat dengan sekret purulen kental. Konjungtivitis dapat
menyerang seluruh kelompok umur.3,8
Konjungtivitis merupakan peradangan pada konjungtiva oleh
mikroorganisme (virus, bakteri, jamur, klamidia), alergi dan iritasi bahan-
bahan kimia. Konjungtivitis dapat dibagi menjadi konjungtivitis infeksi dan
non infeksi. Virus dan bakteri merupakan penyebab konjungtivitis infeksi
yang paling umum. Sedangkan pada konjungtivitis non infeksi dapat
disebabkan oleh alergi, racun, sikatrikial, serta peradangan sekunder akibat
penyakit yang dimediasi oleh kekebalan dan proses neoplastik.
Konjungtivitis juga dapat diklasifikasikan menjadi akut, hiperakut dan kronis
sesuai dengan onset dan tingkat keparahan respon klinis. Selain itu dapat pula
diklasifikasikan menjadi primer dan sekunder, akibat penyakit sistemik
seperti Gonore, Chlamidya, graft versus host diseases (GVHD) dan sindrome
Reiter.3,8

D. Patofisiologi
Sama halnya dengan kornea, konjungtiva terpajan dengan lingkungan
luar seperti mikroorganisme dan faktor stress. Permukaan konjungtiva tidak
steril karena dihuni oleh flora normal. Untuk itu, terdapat mekanisme defensi
alamiah seperti komponen aqueous yang melarutkan agen infeksius, mukus
yang menangkap debris, kedipan mata, perfusi yang baik, dan aliran air mata

6
yang membilas konjungtiva. Air mata sendiri mengandung antibodi dan
antibakterial yaitu immunoglobulin (IgA dan IgG), lisozim, dan interferon.
Inflamasi dapat terjadi dengan kontak langsung dengan patogen melalui
tangan yang terkontaminasi, handuk, atau kolam renang .9
Adanya agen perusak menyebabkan cedera pada epitel konjungtiva yang
diikuti edema epitel, kematian sel dan eksfoliasi, hipertrofi epitel atau
granuloma. Terdapat edema pada stroma konjungtiva (kemosis) dan hipertrofi
lapisan limfoid stroma atau pembentukan folikel. Sel-sel radang ini kemudian
bergabung dengan fibrin dan pus dari sel goblet, membentuk eksudat
konjungtiva yang menyebabkan perlengketan tepian palpebral pada saat
bangun tidur.9
Adanya peradangan pada konjungtiva ini menyebabkan dilatasi
pembuluh-pembuluh darah konjungtiva posterior, menyebabkan hiperemi yang
tampak paling nyata pada forniks dan mengurang kearah limbus, pada
hiperemia konjungtiva ini biasanya didapatkan pembengkakan dan hipertrofi
papilla yang sering disertai sensasi benda asing dan sensasi tergores, panas atau
gatal. Sensasi ini merangsang sekresi air mata. Transudasi ringan juga timbul
dari pembuluh darah yang hiperemi dan menambah jumlah air mata 9

E. Gejala dan Tanda Klinis


Beberapa gambaran klinis pada konjungtivitis dapat dibedakan untuk
membantu membedakan diagnosis banding berdasarkan keluhan/gejala, sekret,
reaksi konjungtiva, membran, adanya keratopati atau limfadenopati. Gejala
konjungtivitis yang tidak spesifik adalah lakrimasi, nyeri dan rasa panas.
Beberapa gejala khas juga dapat ditemukan pada konjungtivitis untuk
membantu membedakan diagnosis. Gejala khas pada konjungtivitis alergi
adalah gatal. Sekret yang cair didapatkan pada infeksi virus akut dan alergi
akut, sedangkan mukoid khas pada alergi kronis. Pada infeksi bakteri akut dan
klamidia didapatkan sekret mukopurulen, dan pada infeksi gonokokus
didapatkan tanda khas berupa sekret purulen. 8

7
Gejala penting konjungtivitis adalah sensasi benda asing, yaitu sensasi
tergores atau terbakar, sensasi penuh di sekeliling mata, gatal, dan fotofobia.
Sensasi benda asing, tergores atau sensasi terbakar pada kasus konjungtivitis
dihubungkan dengan edema atau hipertrofi papilla yang biasanya menyertai
Hiperemia konjungtiva. Tanda-tanda penting konjungtivitis adalah
hiperemia, mata berair, eksudasi, pseudoptosis, hipertrofi papilar, kemosis,
folikel, pseudomembran dan membran, granuloma dan adenopati pre-
aurikular, berikut tanda-tanda tersebut:8
(1) Hiperemia konjungtiva, hiperemia merupakan tanda paling jelas pada
kejadian konjungtivitis. Warna kemerahan pada konjungtiva paling jelas
terlihat di forniks dan akan semakin berkurang kearah limbus, karena dilatasi
pembuluh-pembuluh konjungtiva posterior. Warna merah terang biasanya
terjadi pada konjungtivitis bakteri, dan warna putih susu terjadi pada
konjungtivitis alergika. Hiperemia yang terjadi tanpa infiltrasi sel didapatkan
pada iritasi yang disebabkan oleh angin, asap, panas matahari dan lain-lain.
(2) Mata berair (Epifora), sekresi air mata yang terjadi pada konjungtivitis
diakibatkan oleh adanya sensasi benda asing, sensasi terbakar, sensasi
tergores, atau oleh rasa gatal. Transudasi ringan juga timbul dari pembuluh-
pembuluh yang hiperemik dan menambah jumlah air mata.
(3) Eksudasi, pada hampir semua jenis konjungtivitis ditemukan banyak
kotoran mata pada palpebra terutama saat bangun tidur. Eksudat yang
banyak, berlapis-lapis, amorf dan menyebabkan palpebra saling melekat
menandakan konjungtivitis bakteri atau klamidia.
(4) Pseudoptosis, a d a l a h keadaan turunnya palpebra superior karena adanya
infiltrasi sel radang ke muskulus Muller.
(5) Hipertrofi papilar, adalah reaksi konjungtiva non-spesifik yang terjadi
karena konjungtiva terikat pada tarsus atau limbus dibawahnya oleh
serabut-serabut halus. Eksudat radang mengumpul diantara serabut-serabut
dan membentuk tonjolan-tonjolan (papil) konjungtiva. Pada keadaan normal,
papil (tonjolan) pada konjungtiva tampak kecil, sehingga menyebabkan
tampilan konjungtiva licin seperti beludru.

8
(6) Kemosis, adalah edema yang terjadi pada stroma konjungtiva. Kemosis
konjungtiva biasanya lebih mengarah pada konjungtivitis alergika, namun
dapat juga timbul padakonjungtivitis Gonokokus atau Meningokokus akut
dan terutama terjadi pada konjungtivitis Adenoviral.
(7) Hipertrofifolikel, merupakan suatu hiperplasia limfoid lokal didalam
lapisan limfoid konjungtiva dan biasanya mempunyai sebuah pusat germinal.
Secara klinis, folikel dapat dikenali sebagai struktur bulat kelabu atau putih
yang avaskular. Folikel sebagian besar tampak pada kasus konjungtivitis
virus.
(8) Pseudomembran dan Membran, merupakan hasil dari proses eksudatif.
Proses eksudatif terjadi akibat adanya bakteri yang menyerang konjungtiva
sehinggamenyebabkan prosesinflamasi. Sel-sel inflamasi seperti neutrofil,
basofil, eosinofil, limfosit dan sel plasma menyerang bakteri tersebut dan
bercampur dengan fibrin dan mukus yang diekresikan oleh sel goblet sehingga
membentuk eksudat konjungtiva. Eksudat yang mengental akan membentuk
pseudomembran dan membran. Pseudomembran adalah suatu pengentalan
(koagulum) di atas permukaan epitel, yang bila diangkat epitelnya tetap
utuh. Membran adalah pengentalan yang meliputi seluruh epitel, yang jika
diangkat meninggalkan permukaan yang kasar dan berdarah.
(9) Granuloma, adalah lesi makrofag epithelium berupa nodul kecil yang
merupakan reaksi peradangan lokal dari suatu jaringan tubuh. Granuloma
konjungtiva selalu mengenai stroma dan paling sering berupa kalazion.
(10) Adenopati Preaurikular, merupakan salah satu tanda penting dari
konjungtivitis, yakni merupakan sebuah nodul pada area preaurikular
yang dapat tampak jelas pada sindrom okuloglandular Parinaud dan
jarang pada keratokonjungtivitis epidemika. Nodul preaurikuler dapat terasa
nyeri jika ditekan.

9
Temuan Klinik Konjungtivitis Konjungtivitis Konjungtivitis Konjungtivitis
dan Sitologi Bakteri Virus Klamidial Alergi
Hiperemia Umum (berat) Umum Umum Umum
(sedang) (sedang) (sedang)
Gatal Minimal Minimal Minimal Hebat
Lakrimasi Sedang Banyak Sedang Sedang
Hemoragik + + - -
Eksudasi Banyak Minimal Banyak Minimal
(mukopurulen (serous) (mukoid (serous sampai
sampai sampai mukoid, putih,
purulen) mukopurulen) berserabut,
lengket)
Kemosis ++ +/- +/- ++
Papil +/- - +/- +
Folikel - + ++ +
Pseudomembran +/- +/- - -
(Streptococcus,
C.diphterica)
Panus - - + -
Adenopati Jarang Sering Hanya sering Tidak ada
Preaurikuler pada
konjungtivitis
inklusi
Pewarnaan Bakteri, PMN Monosit PMN, plasma Eosinofil
kerokan dan sel badan
eksudat inklusi
Disertai sakit Kadang- Kadang-kadang Tidak pernah Tidak pernah
tenggorokan dan
demam
kadang

F. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan secara langsung dari kerokan atau getah mata setelah bahan
tersebut dibuat sediaan yang dicat dengan pengecatan gram atau giemsa
dapat dijumpai sel-sel radang polimorfonuklear, sel sel mononuclear, juga
bakteri atau jamur penyebab konjungtivitis.

10
Pada konjungtivitis yang disebabkan oleh alergi pada pengecatan dengan
giemsa akan didapatkan sel-sel eusinofil.
G. Penatalaksanaan non Farmakologi
Apabila kejadian konjungtivitis disebabkan oleh mikroorganisme,
penderita konjungtivitis harus diajarkan cara-cara untuk menghindari
kontaminasi terhadap mata yang sehat atau mata orang lain. Instruksi yang
diberikan misalnya seperti tidak menggosok mata yang sakit dan kemudian
menyentuh mata yang sehat, mencuci tangan setelah setiap kali menyentuh
mata yang sakit dan menggunakan kain lap, handuk atau sapu tangan baru
yang terpisah untuk membersihkan mata yang sakit.3,8
H. Penatalaksanaan Farmakologi

Penatalaksanaan secara farmakologi dapat diberikan terapi spesifik


terhadap jenis konjungtivitis yang dialam tergantung temuan agen
mikrobiologinya. Untuk konjungtivitis bakteri dapat diberikan antibiotik
tunggal sebelum dilakukan pemeriksaan mikrobiologi, seperti Kloramfenikol,
Gentamisin, Tobramisin, Eritromisin. Apabila pengobatan yang diberikan tidak
memberikan hasil setelah pemberian 3-5 hari, maka pengobatan dihentikan
dan ditunggu hasil dari pemeriksaan mikrobiologinya. Apabila dari
pemeriksaan mikrobiologi ditemukan jenis mikroorganisme (kuman) penyebab,
maka pengobatan yang diberikan disesuaikan. Namun apabila mikroorganisme
(kuman) penyebab tidak ditemukan dalam pemeriksaan, maka diberikan
pengobatan antibiotik spektrum luas dalam bentuk tetes mata tiap jam atau
salep mata 4-5 kali sehari. Pada umumnya penggunaan antibiotik
spektrum luas efektif pada pengobatan konjungtivitis bakteri, tidak ada
perbedaan yang signifikan dalam pencapaian penyembuhan klinis antara
antibiotik topikal spektrum luas. Beberapa faktor yang memengaruhi
pemilihan antibiotik adalah ketersediaan, alergi pasien, resistensi dan biaya.

Untuk konjungtivitis virus pengobatan umumnya bersifat simtomatik,


sedangkan antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.
Hindari pemakaian steroid topikal kecuali terjadi radang yang hebat dan

11
kemungkinan infeksi virus Herpes Simpleks telah dieliminasi. Pada
konjungtivitis virus akut yang disebabkan oleh Adenovirus dapat sembuh
dengan sendiri, sehingga pengobatan yang diberikan hanya dengan bersifat
suportif, yakni berupa kompres, pemberian astringen dan lubrikasi. Pada
kasus yang berat, untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder dapat diberikan
antibiotik dan steroid topikal. Namun perlu diperhatikan untuk penggunaan
antibiotik yang terlalu sering dapat meyebabkan resistensi. Dan penggunaan
obat tetes mata antibiotik dapat meningkatkan resiko penyebaran infeksi ke
mata lainnya dari pengguna. yang terkontaminasi. Untuk menghilangkan rasa
nyeri juga diberikan analgesik. Apabila terjadi komplikasi berupa ulkus
kornea, perlu dilakukan debridement dengan cara mengoleskan salep pada
ulkus dengan swab kapas kering, tetesi obat antivirus dan tutup selama 24 jam.

Pada kasus infeksi oleh virus Herpes Simpleks, pengobatan yang


direkomendasikan adalah antiviral topikal dan oral untuk mempersingkat
perjalanan penyakit. Pemberian kortikosteroid topikal harus dihindari karena
berpotensi untuk menyebabkan kerusakan pada mata. Sedangkan untuk
pengobatan pada infeksi Herpes Zoster diberikan kombinasi antiviral oral
dan steroid topikal.

Untuk konjungtivitis Chlamydia, pengobatan yang paling efektif adalah


dengan pemberian antibiotik sistemik seperti Azitromisin oral dan
Doxycycline. Pengobatannya juga dapat diberikan Tetracycline topikal 1%
dalam 2 kali/hari selama 2 bulan, atau dapat juga diberikan secara oral
dengan dosis 1- 1,5 g/hari dalam empat dosis terbagi selama 3-4 minggu.
Selain itu, dapat juga diberikan Doxycycline 100 mg/oral dua kali sehari
dalam 3 minggu, atau Erytromicin 1 g/hari/oral dibagi dalam empat
dosis selama 3-4 minggu. Erytromicin direkomendasikan bila secara
klinis penderita resisten terhadap Tetracycline.

Pengobatan untuk konjungtivitis alergi, dapat diberikan dekongestan


topikal, antihistamin, stabilisator sel mast, obat antiinflamasi nonsteroid, dan

12
kortikosteroid. Dalam tinjauan sistemik yang besar, antihistamin dan
stabilisator sel mastik lebih unggul daripada plasebo dalam mengurangi gejala
konjungtivitis alergi. Dalam sebuah peneliti juga ditemukan bahwa
antihistamin lebih unggul dari stabilisator sel mast dalam memberikan
manfaat jangka pendek. Pada kasus ringan dapat diberikan tetesan
vasokonstriktor-antihistamin topikal dan kompres dingin untuk mengatasi rasa
gatal. Untuk kasus sedang-berat dapat diberikan Sodium cromolyn, Ketorolac
0,5%, Lodoxamide 0,1% dan Kortikosteroid topikal. Respon pengobatan pada
kasus ini biasanya baik, namun sering ditemukan kekambuhan kecuali apabila
antigennya dihilangkan. Penggunaan antazolin antihistamin jangka panjang
dan naphazolin vasokonstriktor harus dihindari karena keduanya dapat
menyebabkan rebound hiperemia. Namun frekuensi kekambuhan dan
beratnya gejala cenderung menurun dengan meningkatnya usia. Steroid
harus digunakan dengan hati-hati dan bijaksana. Steroid topikal
berhubungan dengan pembentukan katarak dan dapat menyebabkan
peningkatan tekanan mata, yang menyebabkan glaukoma.3,8

I. Komplikasi
Kejadian konjungtivitis yang tidak ditangani dengan segera dapat
menyebabkan kerusakan pada mata atau gangguan pada mata, dan dapat
pula menimbulkan komplikasi. Komplikasi yang dapat terjadi pada
kasus konjungtivitis antara lain: jaringan parut pada konjungtiva, kerusakan
duktus kelenjar lakrimal, jaringan parut dapat mengubah bentuk palpebra
superior dengan membalik bulu mata kearah dalam sehingga menggesek
kornea. Komplikasi lebih lanjut dari kasus ini dapat menyebabkan ulkus
kornea, glaukoma, katarak serta ablasi retina.8
J. Pencegahan
Pencegahan konjungtivitis dapat dilakukan dengan cara tidak menyentuh
mata yang sehat sesudah menyentuh mata yang sakit, tidak menggunakan
handuk atau lap secara bersama-sama dengan orang lain, serta bagi petugas

13
kesehatan dapat memberikan edukasi kepada pasien tentang kebersihan
kelopak mata.1
K. Prognosis
Prognosis penderita konjungtivitis baik karena sebagian besar kasus dapat
sembuh spontan (self-limited disease), namun komplikasi juga dapat terjadi
apabila tidak ditangani dengan baik.

14
BAB III
PENUTUP

Konjungtivitis merupakan peradangan pada konjungtiva oleh


mikroorganisme (virus, bakteri, jamur, klamidia), alergi dan iritasi bahan-
bahan kimia. Konjungtivitis dapat dibagi menjadi konjungtivitis infeksi dan
non infeksi. Virus dan bakteri merupakan penyebab konjungtivitis infeksi
yang paling umum. Sedangkan pada konjungtivitis non infeksi dapat disebabkan
oleh alergi, racun, sikatrikial, serta peradangan sekunder akibat penyakit yang
dimediasi oleh kekebalan dan proses neoplastik.
Gejala penting konjungtivitis adalah sensasi benda asing, yaitu sensasi
tergores atau terbakar, sensasi penuh di sekeliling mata, gatal, dan fotofobia.
Penatalaksanaan secara farmakologi dapat diberikan terapi spesifik
terhadap jenis konjungtivitis yang dialam tergantung temuan agen
mikrobiologinya.
Pencegahan konjungtivitis dapat dilakukan dengan cara tidak menyentuh
mata yang sehat sesudah menyentuh mata yang sakit, tidak menggunakan handuk
atau lap secara bersama-sama dengan orang lain, serta bagi petugas kesehatan
dapat memberikan edukasi kepada pasien tentang kebersihan kelopak mata.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Hapsari, A Isgiantoro. 2014. Pengetahuan Konjungtivitis pada Guru Kelas


dan Pemberian Pendidikan Kesehatan Mencuci Tangan pada Siswa
Sekolah Dasar. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8, No. 8. Mei
2014.Availablefrom:http://jurnalkesmas.ui.ac.id/index.php/kesmas/article/
view/406
2. Lang, Gerhard K.; Lang, Gabriele E. Conjunctiva. In: Gerhard K.Lang, Ed.
Ophthalmology: A Pocket Textbook Atlas, 2nd Edition. 2016. New York:
Thieme;
3. Azari AA, Barney NP. Conjunctivitis:a systemic review of diagnosis and
treatment. JAMA.2013;310(6):1721-9..
4. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. External disease and cornea. Italia:
American Academy of Ophtalmology; 2014
5. Nari J, Allen LH, Bursztyn LLCD. Accuracy of referral diagnosis to an
emergency eye clinic. Can J Ophthalmol. 2017; article in press.
6. Tsai JC, Denniston AKO, Murray PI, Huang JJ, Aldad TS. Oxford
American handbook of ophthalmology. New York: Oxford University
Press; 2011.
7. Garcia-Ferrer, Francisco J, Augsburger James J, Corrêa Zélia M.
Conjunctiva and Tears, In: Riordan-Eva, Augsburger James J.
2018.Vaughan & Asbury's General Ophthalmology, 19th Edition. London:
McGraw-Hill; p 202-205
8. Vaughan & Asbury, 2009. Oftalmologi Umum / Paul Riordan-Eva,
John P.Witcher. Edisi 17. Jakarta: ECG

16

Anda mungkin juga menyukai