Anda di halaman 1dari 20

HA LA MA N SA MPU L

REFERAT
EFIKASI TERAPI HIPERBARIK PADA PENDERITA
NEUROPATHIC PAIN

OLEH :
CHANDRA PARDEDE
NPM: 10119210038
DARA PUSPITA IRBANI
NPM: 10119210044
ANDRI WILLIAM JOHAN IMBAR
NPM: 10119210054

PEMBIMBING :
dr. ARI SUTIKO

KEPANITERAAN KLINIK
DEPARTEMEN ILMU IKM-IKK
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KHAIRUN
RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO
2022
HA LA MA N SA MPU L

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................... i


A. KONSEP NEUROPATHIC PAIN....................................................................1
1. Definisi..............................................................................................................1
2. Epidemiologi.....................................................................................................1
3. Etiologi.......................................................................................................... 2
4. Mekanisme Neuropathic Pain ........................................................................ 3
5. Aspek Klinis .................................................................................................. 5
6. Diagnosis ....................................................................................................... 6
7. Prinsip Penatalaksanaan ....................................................................................8
8. Prognosis ....................................................................................................... 9
B. KONSEP TERAPI HIPERBARIK TERHADAP NEUROPATHIC PAIN..9
1. Terapi Oksigen Hiperbarik (HBOT) .................................................................9
2. Beberapa Penelitian Terkait Efikasi Terapi Hiperbarik pada Neuropathic
Pain.................................................................................................................11
C. KESIMPULAN................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 15

i
ii
A. KONSEP NEUROPATHIC PAIN

1. Definisi
Menurut International Association for The Study of Pain (IASP),
neuropathic pain atau yang disebut painful dysfunction of the nervous system
adalah gangguan neuronal fungsional di mana saraf perifer dan sentral
terlibat. Nyeri ini menimbulkan nyeri khas yang bersifat epikritik (tajam dan
menyetrum) yang ditimbulkan oleh serabut A delta yang rusak, atau pun
protopatik seperti disestesia, rasa terbakar, parestesia dengan lokalisasi yang
tidak jelas yang disebabkan oleh serabut C yang abnormal. 1,2

2. Epidemiologi
Epidemiologi nyeri neuropatik belum cukup banyak dipelajari, sebagian
besar karena keragaman dari kondisi nyeri ini. Estimasi saat ini, nyeri
neuropatik mungkin menyerang 3% dari populasi umum. Dari 6000 sampel
keluarga yang tinggal di tiga kota di Inggris, didapatkan prevalensi nyeri
kronis adalah 48% dan prevalensi nyeri neuropatik adalah 8%. Responden
dengan nyeri neuropatik kronis lebih banyak perempuan, dengan usia yang
cukup tua, belum menikah, tidak memiliki kualifikasi pendidikan, dan
merupakan perokok.3
Kerusakan saraf perifer dialami oleh 2,4 % populasi di dunia.
Prevalensi ini akan meningkat 8% seiring bertambahnya usia. Penyebab
polineuropati yang paling sering dijumpai adalah polineuropati sensorimotor
diabetik, di mana 66% penderita DM tipe 1 dan 59% psenderita DM tipe 2
mengalami polineuropati. Sedangkan polineuropati genetik yang paling
sering adalah akibat Charcot-Marie-Tooth type 1a, di mana 30 dari 100.000
populasi mengalaminya. Mononeuropati terbanyak disebabkan oleh carpal
tunnel syndrome yang prevalensinya 3% - 5% dari populasi orang dewasa.4

1
3. Etiologi
Nyeri neuropatik dapat terjadi akibat lesi di susunan saraf pusat (nyeri
sentral) atau kerusakan saraf perifer (nyeri perifer). Nyeri neuropatik berasal
dari saraf perifer di sepanjang perjalanannya atau dari SSP karena gangguan
fungsi, tanpa melibatkan eksitasi reseptor nyeri spesifik (nosiseptor).
Gangguan ini dapat disebabkan oleh kompresi, transeksi, infiltrasi, iskemik,
dan gangguan metabolik pada badan sel neuron.5,6
Nyeri sentral neuropatik adalah suatu konsep yang berkembang akibat
bertambahnya bukti bahwa kerusakan ujung-ujung saraf nosiseptif perifer di
jaringan lunak, pleksus saraf, dan saraf itu sendiri juga dapat menyebabkan
nyeri sentral nosiseptif melalui proses sensitasi. Sindrom nyeri thalamus
adalah salah satu nyeri neuropatik sentral. Nyeri sentral neuropatik juga dapat
ditemukan pada pasien post-stroke, multiple sklerosis, spinal cord injury, dan
penyakit Parkinson.5,6,7
Nyeri neuropatik perifer terjadi akibat kerusakan saraf perifer.
Kerusakan yang berasal dari perifer menyebabkan tidak saja pelepasan
muatan spontan serat saraf perifer yang terkena tetapi juga lepasnya muatan
spontan sel-sel ganglion akar dorsal saraf yang rusak. Contoh-contoh sindrom
yang mungkin dijumpai adalah neuralgia pascaherpes, neuropati diabetes,
neuralgia trigeminus, kausalgi, phantom-limb pain, kompresi akibat tumor,
dan post operasi.5,7
Nyeri neuropatik juga dapat dihubungkan dengan penyakit infeksi, yang
paling sering adalah HIV. Cytomegalovirus, yang sering ada pada penderita
HIV, juga dapat menyebabkan low back pain, radicular pain, dan mielopati.
Nyeri neuropatik adalah hal yang paling sering dan penting dalam morbiditas
pasien kanker. Nyeri pada pasien kanker dapat timbul dari kompresi tumor
pada jaringan saraf atau kerusakan sistem saraf karena radiasi atau
kemoterapi.8

2
4. Mekanisme Neuropathic Pain
Mekanisme yang mendasari munculnya nyeri neuropati adalah
sensitisasi perifer, ektopik discharge, sprouting, sensitisasi sentral, dan
disinhibisi. Perubahan ekspresi dan distribusi saluran ion natrium dan kalium
terjadi setelah cedera saraf, dan meningkatkan eksitabilitas membran,
sehingga muncul aktivitas ektopik yang bertanggung jawab terhadap
munculnya nyeri neuropatik spontan.5
Kerusakan jaringan dapat berupa rangkaian peristiwa yangterjadi di
nosiseptor disebut nyeri inflamasi atau nyeri nosiseptif, atau terjadi di
jaringan saraf, baik serabut saraf pusat maupun perifer disebut nyeri
neuropatik. Trauma atau lesi di jaringan akan direspon oleh nosiseptor dengan
mengeluarkan berbagai mediator inflamasi, seperti bradikinin, prostaglandin,
histamin, dan sebagainya. Mediator inflamasi dapat mengaktivasi nosiseptor
yang menyebabkan munculnya nyeri spontan, atau membuat nosiseptor lebih
sensitif (sensitasi) secara langsung maupun tidak langsung. Sensitasi
nosiseptor menyebabkan munculnya hiperalgesia. Trauma atau lesi serabut
saraf di perifer atau sentral dapat memacu terjadinya remodelling atau
hipereksibilitas membran sel. Di bagian proksimal lesi yang masih
berhubungan dengan badan sel dalam beberapa jam atau hari, tumbuh tunas-
tunas baru (sprouting).5
Baik nyeri neuropatik perifer maupun sentral berawal dari sensitisasi
neuron sebagai stimulus noksious melalui jaras nyeri sampai ke sentral.
Bagian dari jaras ini dimulai dari kornu dorsalis, traktus spinotalamikus
(struktur somatik) dan kolum dorsalis (untuk viseral), sampai talamus
sensomotorik, limbik, korteks prefrontal dan korteks insula. Karakteristik
sensitisasi neuron bergantung pada: meningkatnya aktivitas neuron,
rendahnya ambang batas stimulus terhadap stimulus yang non-noksious, dan
luasnya penyebaran areal yang mengandung reseptor yang mengakibatkan
peningkatan letupan-letupan dari berbagai neuron.5
Secara umum neuropati perifer terjadi akibat 3 proses patologi yaitu
degenerasi wallerian, degenerasi aksonal dan demielinisasi segmental. Proses

3
spesifik dari beberapa penyakit yang menyebabkan neuropati masih belum
diketahui.5
Pada degenerasi wallerian, terjadi degenerasi myelin sebagai akibat dari
kelainan pada akson. Degenerasi akson berlangsung dari distal sampai lesi
fokal sehingga merusak kontinuitas akson. Reaksi ini biasanya terjadi pada
mononeuropati fokal akibat trauma atau infark saraf perifer. 2,5
Degenerasi aksonal, yang biasanya disebut dying-back phenomenon,
kebanyakan menunjukkan degenerasi aksonal pada daerah distal.
Polineuropati akibat degenerasi akson biaanya bersifat simetris dan selama
perjalanan penyakit akson berdegenerasi dari distal ke proksimal. Proses ini
sering didapatkan pada penderita polineuropati kausa metabolik. 2,5
Pada degenerasi akson dan wallerian, perbaikannya lambat karena
menunggu regenerasi akson, disamping memulihkan hubungan dengan
serabut otot, organ sensorik dan pembuluh darah. 2

Gambar 1. 3 proses patologi pada neuropati2

4
Pada demielinisasi segmental terjadi degenerasi fokal dari myelin.
Reaksi ini dapat dilihat dari mononeuropati fokal dan pada sensorimotor
general atau neuropati motorik predominan. Polineuropati demielinasi
segmental yang didapat biasanya akibat proses autoimun atau yang berasal
dari proses inflamasi, dapat pula terdapat pada polineuropati herediter. Pada
kelainan ini perbaikan dapat terjadi secara cepat karena yang diperlukan
hanya remielinisasi.2,5
Pada polineuritis idiopatik akut dapat terjadi infiltrasi limfosit, sel
plasma dan sel mononuklear pada akar-akar saraf spinalis, sensorik dan
ganglion simpatis dan saraf perifer. Pada polineuropati difteri terjadi
demielinisasi pada serat-serat saraf di akar dan ganglion sensorik dengan
reaksi inflamasi.2
Mekanisme yang mendasari neuropati perifer tergantung dari kelainan
yang mendasarinya. Diabetes sebagai penyebab tersering, dapat
mengakibatkan neuropati melalui peningkatan stress oksidatif yang
meningkatkan Advance Glycosylated End products (AGEs), akumulasi
polyol, menurunkan nitric oxide, mengganggu fungsi endotel, mengganggu
aktivitas Na/K ATP ase, dan homosisteinemia. Pada hiperglikemia, glukosa
berkombinasi dengan protein, menghasilkan protein glikosilasi, yang dapat
dirusak oleh radikal bebas dan lemak, menghasilkan AGE yang kemudian
merusak jaringan saraf yang sensitif. Selain itu, glikosilasi enzim antioksidan
dapat mempengaruhi sistem pertahanan menjadi kurang efisien.6

5. Aspek Klinis Neuropathic Pain


Fields HL (1990) dan Scadding J.W. (1992), menyatakan bahwa pada
umumnya neuropathic pain mempunyai sifat-sifat klinis sebagai berikut:
a. Tidak tampak adanya kerusakan jaringan (padanyeri inflamasi /
nosisepsi tampak jelas). Neuropathic pain yang timbul disebut
stimulus independent pain.
b. Kualitas nyeri sukar dilukiskan, umumnya digambarkan sebagai nyeri
seperti terbakar, terkena sengatan lsitrik, tertusuk-tusuk, dan lain-lain.

5
c. Onset nyeri dapat segera (neuralgia pada herpes zoster), dapat timbul
lambat (post herpetic neuralgia, nyeri thalamus yang muncul 203
tahun post infark serebri).
d. Neuropathic pain dapat dirasakan pada daerah yang mengalami
defisitsensorik meluas di luar akar saraf yangrelevan, hal ini
merupakan pertanda adanya mekanisme sensitisasi sentral.
e. Dapat terjadi allodinia, hiperalgesia, hiperpatia. Nyeri neuropati
semacam ini disebut stimulus evoked pain.
f. Dapat dirasakan dalam bentuk serangan-serangan seperti rasa ditikam
atau ditusuk.
g. Dapat dijumpai adanya abnormalitas lokal atau regional aktifitas
simpatis seperti pada causalgia dan reflex simpatetic dystrophy.2

6. Diagnosis
a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik:1,6,9
1) Gangguan sensorik meliputi parestesia, nyeri, terbakar, penurunan
rasa raba, vibrasi dan posisi. Hilangnya sensasi (getar,
posisi/proprioseptif, suhu, dan nyeri) pada bagian distal ekstremitas
menunjukkan neuropati perifer.
2) Gangguan motorik berupa kelemahan otot-otot.
3) Refleks tendon menurun.
4) Fasikulasi
Ketika pasien mengeluh rasa kebas, keram, nyeri atau lemah
utamanya dibagian distal ekstremitas, langkah pertama adalah menentukan
letak lesi apakah lesinya di saraf perifer, radix atau plexus. Lesi CNS
biasanya disertai gejala lain seperti sulit berbicara, diplopia, ataxia,
kelemahan nervus cranialis, atau pada kasus mielopati didapatkan
penurunan fungsi digestif dan kandung kemih, refleks patologis positif dan
tonus otot spastik. Jika lesinya pada saraf perifer biasanya menunjukkan
gejala asimetrik dan gangguan sensorik yang mengikuti dermatom, bisa
juga disertai nyeri leher atau low back pain. Lesi pada pleksus juga

6
menunjukkan gejala yang asimetrik dengan gangguan sensorik pada
beberapa nervus pada satu ekstremitas. Setelah menetukan letak lesi
(nervus perifer yang bermasalah), langkah selanjutnya adalah mencari
penyebab/etiologinya. Pada tahap awal neuropati perifer, pasien
menunjukkan gejala progresif meliputi hilangnya sensasi
sensorik, kebas, dan nyeri ataupun rasa terbakar pada ekstremitas inferior
(stocking and gloves). Lama kelamaan, gangguan sensorik ini akan
mengenai bagian proksimal ekstremitas disertai kelemahan otot ringan
bahkan atropi. Pada neuropati perifer akut, pasien biasanya menunjukkan
gejala yang sama tapi lebih berat, nyeri lebih dominan dan progresnya
cepat. Pada kasus acute inflammatory demyelinating disorder (misalnya
Guillain-Barré syndrome) dan chronic inflammatory demyelinating
polyneuropathy, kelemahan otot lebih dominan dibandingkan dengan
gangguan sensorik dan merupakan gejala awal yang khas.1,6,9
b. Laboratorium
Tes darah dapat meliputidarah lengkap, profil metabolik, laju endap
darah, gula darah puasa, vitamin B12, dan kadar TSH.
Pungsi lumbal dan analisis CSF membantu dalam diagnosis Guillain-Barré
syndromedan chronic inflammatory demyelinating neuropathy.
Elektrodiagnostik, membantu dalam differensial diagnosisjenis neuropati
tipe aksonal, demielinisasi, atau campuran.
1) Gula darah puasa : didapatkan hiperglikemi
2) Fungsi ginjal
3) Kadar vitamin B1, B6, B12 darah : defisiensi vitamin B1, B6 dan
B12
4) Kadar logam berat : kadar arsenik dan merkuri tinggi
5) Fungi hormon tiroid :didapatkan hipotiroidisme
6) Lumbal pungsi : protein CSF meningkat 1,6,9
c. Gold Standard:
1) ENMG: degenerasi aksonal dan demielinisasi
2) Biopsi saraf1,6,9

7
7. Prinsip Penatalaksanaan Neuropathic Pain
Pada saat ini pengobatan medikamentosa merupakan pengobatan lini
pertama pada neuropathic pain dengan tujuan terapi yaitu meningkatkan
kualitas hidup dengan upaya mengurangi nyeri minimal 50%, tidak
menimbulkan efek samping yang berat, dan menjadikan penderita lebih
fungsional.1,9
a. Pengobatan Farmakologik
Pengobatan analgesik dapat dibagi atas 4 golongan:
1) Analgesik non-opioid: AINS, asetaminofen, tramadol. Hanya
diberikan bila diduga ada proses peradangan dan adanya kompresi
pada jaringan saraf.
2) Analgesik adjuvan-medikasi neuroaktif: antikonvulsan,
antidepresan, antihistamin, amfetamin, steroid, benzodiazepin,
simpatolitik, obat anti spasme otot dan neuroleptika.
Antikonvulsan dan antidepresan yang paling sering digunakan
mempunyai efek sentral dan memperbaiki mood dan depresi .
carbamazepin telah diizinkan oleh FDA untuk terapi nyeri.
3) Analgesik opioid: kodein, morfin, oksikodon kurang responsif
untuk nyeri neuropati, sehingga kadang dibutuhkan dosis tinggi.
4) Analgesik topikal: capsaicin topikal menghilangkan substansi P,
mempengaruhi nosiseptor serabut C dan reseptor panas. Banyak
digunakan pada neuralgia herpetik akut dan neuralgia post
herpetik.
b. Pengobatan Nonfarmakologik, Rehabilitasi Medik
Bertujuan untuk merangsang pengeluaran endorfin dan enkefalin
yang merupakan peredam nyeri alami yang ada dalam tubuh.
1) Modifikasi perilaku: relaksasi, terapi musik, biofeedback, dan
lain-lain.
2) Modulasi nyeri: modalitas termal, Transcutaneus Electric Nerve
Stimulation (TENS), akupuntur.

8
3) Latihan kondisi otot: peregangan, myofascial release, spray and
strech.
4) Rehabilitasi vokasional. Pada tahap ini kapasitas kerja dan semua
kemampuan penderita yang masih tersisadioptimalkan dapat
kembali bekerja.
c. Pengobatan Invasif: pada kasus-kasus intractable neuropathic pain
mungkin diperlukan intervensi disiplin ilmu lain seperti anestesi,
bedah saraf.

8. Prognosis Neuropathic Pain


Hasil akhir neuropati sangat tergantung pada penyebabnya. Neuropati
perifer sangat bervariasi dari gangguan yang reversibel sampai komplikasi
yang bersifat fatal. Pada kasus yang paling baik, saraf yang rusak akan ber-
regenerasi. Sel saraf tidak bisa digantikan jika mati namun mempunyai
kemampuan untuk pulih dari kerusakan. Kemampuan pemulihan tergantung
kerusakan dan umur seseorang dan keadaan kesehatan orang tersebut.
Pemulihan berlangsung dalam beberapa minggu sampai beberapa tahun
karena pertumbuhan sel saraf sangat lambat. Pemulihan sepenuhnya mungkin
tidak bisa terjadi dan sulit ditentukan prognosis hasil akhirnya. 9

B. KONSEP TERAPI HIPERBARIK TERHADAP NEUROPATHIC PAIN

1. Terapi Oksigen Hiperbarik (HBOT)


Terapi oksigen hiperbarik adalah administrasi oksigen dengan
konsentrasi sebesar 100% (menghisap oksigen murni) di suatu ruang tertutup
(chamber) yang bertekanan > 1 atmosfir.10,11,12
HBOT awalnya dikembangkan untuk mengobati penyakit dekompresi,
komplikasi dari penyelaman laut dalam. Dalam penyakit dekompresi, seorang
penyelam telah muncul ke permukaan sebelum gas terlarut memiliki waktu
untuk menyeimbangkan, menghasilkan gelembung nitrogen emboli yang

9
menempati ruang di jaringan dan pembuluh darah. HBOT memberi pasien
oksigen 100% pada tekanan dua hingga tiga kali lebih besar dari tekanan
atmosfer. Menurut hukum Boyle, peningkatan tekanan hidrostatik di ruang
hiperbarik meningkatkan tekanan parsial gas dan menyebabkan pengurangan
volume ruang berisi gas, yang memungkinkannya larut menjadi larutan.
HBOT juga meningkatkan tekanan parsial oksigen di alveoli dan
menghasilkan peningkatan jumlah oksigen terlarut yang dibawa dalam darah.
Selama HBOT, tekanan parsial oksigen arteri (PaO 2) dapat mencapai hingga
1.900–2.100 mmHg, dengan kandungan oksigen terlarut (O2) meningkat dari
0,3 menjadi 6,8 ml O2/100 ml darah. Hal ini berarti peningkatan tekanan
parsial O2 yang signifikan pada jaringan dengan sirkulasi yang terganggu.
HBOT dianggap aman, terapi non-invasif dengan efek samping yang sangat
sedikit. Satu-satunya kontraindikasi mutlak untuk HBOT adalah
pneumotoraks yang tidak diobati.10
HBOT adalah pengobatan yang efektif untuk kondisi nyeri neuropatik
karena efek primer dan sekundernya. Efek primer berhubungan dengan
peningkatan tekanan parsial O2 jaringan. Hiperoksia berfungsi sebagai
mekanisme potensial untuk pengobatan kondisi nyeri dengan bukti hipoksia
jaringan dalam, seperti pada chronic regional pain syndrome (CRPS)
Peningkatan tekanan hidrostatik adalah efek utama lain dari HBOT. Ini
menginduksi vasokonstriksi arteriol yang mengurangi pembentukan edema
jaringan, tanpa mengurangi efek hiperoksia.10
Efek sekunder dari HBOT melibatkan produksi reactive oxygen species
(ROS) dan reactive nitrogen species (RNS). Spesies reaktif ini berfungsi
sebagai molekul pensinyalan yang terlibat dalam persepsi nyeri,
penyembuhan luka, angiogenesis, neovaskularisasi, fungsi leukosit, faktor
pertumbuhan, dan pelepasan sel punca progenitor, serta jaringan homeostasis.
Efek sekunder lain dari HBOT terkait dengan pengurangan mediator
inflamasi.10

10
Gambar 1. Mekanisme dan efek HBOT pada gangguan nyeri neuropatik10

2. Beberapa Penelitian Terkait Efikasi Terapi Hiperbarik pada


Neuropathic Pain
Pratiwi et al. (2021) melakukan penelitian untuk mengetahui perbedaan
tingkat keparahan neuropati perifer sebelum dan sesudah terapi oksigen
hiperbarik pada penderita diabetes melitus menggunakan metode analisis
komparatif, di mana terapi diberikan sebanyak 10 kali dengan tekanan 2,4
ATA selama 90 menit. Dalam penelitian ini menggunakan instrumen lembar
pemeriksaan neuropati perifer yang terdiri dari pemeriksaan saraf otonom,
sensorik, motorik yang diadopsi dari MNSI (Michigan Neuropathy Screening
Instrument) dan MDNS (Michigan Diabetic Neuropathy Score). Hasil
penelitian ini menyatakan bahwa dari 6 responden, 5 diantaranya memenuhi
kriteria inklusi. Hasil uji analisa didapatkan perbedaan yang signifikan pada
neuropati perifer secara keseluruhan. Hasil berdasarkan masing-masing sub

11
pemeriksaan didapatkan perbedaan yang signifikan pada saraf otonom serta
saraf sensorik, dan perbedaan yang tidak signifikan pada saraf motorik. Dari
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terapi oksigen hiperbarik dapat
dijadikan sebagai terapi alternatif untuk meringankan gejala neuropati
perifer.11
Berdasarkan penelitian di RS Xijing Hogyuan China, sebanyak 42
pasien yang didiagnosis nyeri neuropatik akibat neuralgia trigeminal idiopatik
diteliti. Sampel terdiri dari 19% (8/42) laki-laki dan 81% (34/42) perempuan.
Usia peserta berkisar antara 40 hingga 70 tahun, dengan usia rata-rata 56,5
tahun. Lama waktu berlalu sejak pertama kali mengalami gejala neuralgia
trigeminal berkisar antara 2 sampai 20 tahun. Rata-rata lama sakit adalah 14,6
tahun. Masing-masing pasien ini menerima pengobatan analgesik reguler
dengan Carbamazepin (CBZ) selama lebih dari 3 bulan. Efek terapi HBO2
pada pasien ini ditentukan dengan menghitung perubahan dosis harian CBZ
yang diperlukan untuk meminimalkan nyeri pasien dan skor VAS, yang
digunakan untuk evaluasi diri pasien. Mengikuti terapi HBO2 (1,8 ATA,
setiap 70 menit, sekali sehari selama 10 hari berturut-turut), dosis CBZ yang
diperlukan berkurang secara signifikan pada evaluasi pertama yang dilakukan
pada hari berikutnya (hari 1) setelah pengobatan terakhir. Efek analgesik ini
bertahan setidaknya selama 60 hari. Evaluasi VAS menunjukkan bahwa
terapi HBO2 mengurangi nyeri pada sebagian besar pasien (60-75%) dan
analgesia tersebut berlangsung sekitar 6 bulan setelah terapi. Uji klinis ini
menunjukkan bahwa terapi oksgien hiperbarik adalah pendekatan yang aman
dan efektif untuk meredakan nyeri neuropati pada sebagian besar pasien yang
menderita neuralgia trigeminal idiopatik.12

Sementara itu, penelitian oleh Fenghuam et al. (2011) ditemukan


perubahan signifikan selama pemberian terapi oksigen hiperbarik selama 90
menit pada 2,4 ATA setiap hari selama 2 minggu pada pasien dengan nyeri
neuropati yang diinduksi cedera konstriktif kronis. Lebih lanjut penelitian ini
menunjukkan bahwa nyeri neuropati yang berkurang dikaitkan dengan

12
penurunan produksi TNF-ά yang signifikan pada saraf siatik yang terkena. 13
Thompson et al. (2009) juga dalam penelitiannya pada 22 sampel yang
mengalami nyeri neuropati yang diinduksi cedera konstiktif kronis
mendapatkan perbaikan setelah diberikan terapi oksigen hiperbarik pada
tekanan 2,4 ATA selama 90 menit dengan lama terapi 14 hari. 14

C. KESIMPULAN
Menurut International Association for The Study of Pain (IASP),
neuropathic pain atau yang disebut painful dysfunction of the nervous system
adalah gangguan neuronal fungsional di mana saraf perifer dan sentral terlibat.
Pada saat ini pengobatan medikamentosa merupakan pengobatan lini pertama
pada neuropathic pain dengan tujuan terapi yaitu meningkatkan kualitas hidup
dengan upaya mengurangi nyeri minimal 50%, tidak menimbulkan efek samping
yang berat, dan menjadikan penderita lebih fungsional.
Terapi oksigen hiperbarik adalah administrasi oksigen dengan
konsentrasi sebesar 100% (menghisap oksigen murni) di suatu ruang tertutup
(chamber) yang bertekanan > 1 atmosfir. HBOT adalah pengobatan yang efektif
untuk kondisi nyeri neuropatik karena efek primer dan sekundernya. Efek primer
berhubungan dengan peningkatan tekanan parsial O2 jaringan. Hiperoksia
berfungsi sebagai mekanisme potensial untuk pengobatan kondisi nyeri dengan
bukti hipoksia jaringan dalam, seperti pada chronic regional pain syndrome
(CRPS) Peningkatan tekanan hidrostatik adalah efek utama lain dari HBOT. Ini
menginduksi vasokonstriksi arteriol yang mengurangi pembentukan edema
jaringan, tanpa mengurangi efek hiperoksia. Efek sekunder dari HBOT melibatkan
produksi reactive oxygen species (ROS) dan reactive nitrogen species (RNS).
Spesies reaktif ini berfungsi sebagai molekul pensinyalan yang terlibat dalam
persepsi nyeri, penyembuhan luka, angiogenesis, neovaskularisasi, fungsi
leukosit, faktor pertumbuhan, dan pelepasan sel punca progenitor, serta jaringan

13
homeostasis. Efek sekunder lain dari HBOT terkait dengan pengurangan mediator
inflamasi.
Berdasarkan beberapa beberapa penelitian terkait efikasi terapi
hiperbarik pada neuropathic pain, dapat disimpulkan bahwa setelah menjalani
terapi oksigen hiperbarik ≥ 10 kali dengan tekanan 1,8 – 2,4 ATA dalam satu sesi
dilakukan 90 menit mampu memberikan manfaat di mana pasien mengalami
perbaikan atau dapat meringankan gejala neuropathic pain.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Lovel and Hassan. 2021. Clinicians Guide to Pain. New York: Oxford
University
2. Dwordkin, RH. 2012. An Overview of Neuropathic Pain: Syndrome,
Symptom, Sign and Several Mechanism . The Clinical Journal of Pain; 18:
p343-349.
3. Torrance, N., Smith, BH., Bannet MI., Lee, AJ., 2006.The Epidemiology of
Chronic Pain of Predominantly Neuropathic Origin. J Pain; 7(4): 281-9.
4. Menteri Kesehatan RI. 2022. PMK No.5 Tentang Panduan Praktik Klinis
Dokter di Fasyankes Primer. Jakarta: Kemenkes RI.
5. Mary, SH., Lorraine, MW., Nyeri. 2013. In: Sylvia, Ap, Lorraine MW., editors.
Patofisiologi Volume 2. 6th Edition. Jakarta. p.1063-1101.
6. Galuzzi, KE.. 2015. Management of Neuropathic Pain. JAOA.; 105: 12-19.
7. Dupere, D. 2016. Neuropathic Pain: An Option Overview. The Canadian
Journal of CME;79: 90-92
8. Nicholson, B. 2016. Differential Diagnosis: Nociceptive and Neuropathic Pain.
The American Journal of Managed Care June; 12: S256-262
9. Azhary, dkk. 2010. Peripheral Neuropathy: Differential Diagnosis and
Management-American Family Physician; 81(7): 887-892.,
10.Schiavo, S., DeBacker, J., Djaiani, C., Bhatia, A., Englesakis, M. and
Katznelson, R., 2021. Mechanistic rationale and clinical efficacy of hyperbaric
oxygen therapy in chronic neuropathic pain: an evidence-based narrative
review. Pain Research and Management, 2021.
11.Pratiwi, RC., Suryanto, N., Ulya, NI., Kep, M., Harnanik, T., and Kes, M.
2021. Perbedaan Tingkat Keparahan Neuropati Perifer Sebelum dan Sesudah
Terapi Oksigen Hiperbarik pada Penderita Diabetes Melitus di Lakesla Drs.
Med. R. Rijadi Sastropanoelar, Phys Surabaya (Doctoral dissertation,
Universitas Brawijaya).
12.Gu, N., Niu, J.Y., Liu, W.T., Sun, Y.Y., Liu, S., Lv, Y., Dong, H.L., Song, X.J.
and Xiong, L.Z., 2012. Hyperbaric oxygen therapy attenuates neuropathic

15
hyperalgesia in rats and idiopathic trigeminal neuralgia in patients. European
Journal of Pain, 16(8), pp.1094-1105.
13.Li, F., Fang, L., Huang, S., Yang, Z., Nandi, J., Thomas, S., Chen, C. and
Camporesi, E., 2011. Hyperbaric oxygenation therapy alleviates chronic
constrictive injury–induced neuropathic pain and reduces tumor necrosis
factor-alpha production. Anesthesia & Analgesia, 113(3), pp.626-633.

14.Thompson, C.D., Uhelski, M.L., Wilson, J.R. and Fuchs, P.N., 2010.
Hyperbaric oxygen treatment decreases pain in two nerve injury models.
Neuroscience research, 66(3), pp.279-283.

16
17

Anda mungkin juga menyukai