Oleh:
1. Fitria Chandra N 1806262442
2. Lenny Naulita 1806262455
3. Mia Rahmawati 1806262474
4. Septiana Andri W 1806262511
Pembimbing:
Dr. dr. Riwanti Estiasari, Sp.S(K)
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Prevalensi global neuromielitis optika secara berdasarkan data MSIF..3
Gambar 2.2 Patofisiologi NMO (bagian 1)…………………………………………4
Gambar 2.4 Gambaran MRI medula spinalis dan nervus optikus pada NMO…….10
Gambar 2.5 Lesi pada dorsal medula,area postrema,dan lesi batang otak NMO…11
Gambar 2.6 Lesi diensefalon dan serebral pada NMO….………………………...11
1
BAB 1
PENDAHULUAN
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
2.2. Epidemiologi
Iran dan Perancis perbandingan wanita dibandingkan pria yang tekena sekitar 3:1
dan di Amerika 6,5:1.8–10. Wanita lebih dominan menunjukan bahwa hormon
mempengaruhi kerentanan dan aktivitas NMO. Jenis kelamin dapat menentukan
jenis NMO yang terjadi merupakan kasus relaps atau monofasik. 11
Median usia NMO saat onset adalah 30,5-55,2 tahun, sedikit lebih tua
daripada median usia MS.4 Di Amerika Serikat rerata usia onset NMO sekitar
41,1 tahun, sedangkan di Brazil dilaporkan rerata usia onset NMO antara 14-55
tahun.8,12 NMO dilaporkan sangat jarang terjadi pada populasi anak di Eropa
meskipun demikian penelitian kohort enam orang anak yang berasal dari Jerman
menderita NMO dengan onset sekitar 5-14 tahun.5 Dengan demikian NMO dapat
muncul pada usia anak ataupun usia lanjut.
2.3. Patofisiologi
NMO merupakan penyakit yang kompleks melibatkan interaksi antara faktor
genetik dan faktor lingkungan. Karakteristik imunologi yang utama pada NMO
adalah adanya antibodi yang menyerang aquaporin 4 (anti-AQP4). AQP4
merupakan protein transmembran yang secara selektif mengatur transport air pada
sel tertentu di otak. Tidak munculnya anti-AQP4 pada pasien NMO,
4
Mekanisme NMO dimediasi oleh respon imun bawaan dan adaptif. Pada
jaringan perifer, patogen dikenali oleh sel imun bawaan yaitu sel dendritik, yang
mempresentasikan antigen ke Th1 and Th2 melalui major histocompatibility
complex (MHC) kelas II, kemudian menginisiasi respon imun adaptif. Sel Th1
(CD4+CCR5+CXCR3+ T cells) mensekresi interferon gamma (IFN-γ) dan
interleukin 6 (IL-6) sedangkan sel Th2 (CD4+CCR4+CCR8+ T cells) mensekresi
interleukin 10 (IL-10). Selain itu, aktivasi sel Th17 (CD4+CCR6+ T cells)
mensekresi interleukin 17 (IL-17). IL-6 yang distimulasi sel B berdiferensiasi
menjadi plasmablast atau sel plasma untuk menghasilkan antibodi yang
menyerang beda asing dan autoantigen yaitu IgG-AQP4 (Gambar 2.2) 5
dengan sawar darah otak dan dibentuk oleh sel endotel. Pada NMO, IgG anti-
AQP4 dalam sirkulasi menembus sawar darah otak dan berikatan dengan AQP4.
Hal ini menyebabkan aktivasi sistem komplemen dan deposisi membrane attack
complex (MAC) sehingga terjadi kerusakan astrosit oleh CDC. Sekresi sitokin
dan aktivasi komplemen oleh astrosit menyebabkan berkumpulnya sel inflamasi
seperti eosinofil, neutrofil, dan makrofag sehingga kerusakan sawar darah otak
terjadi lebih lanjut dan IgG anti-AQP4 yang masuk semakin banyak. Efek
sekunder dari sel inflamasi yang terdegranulasi dan kerusakan astrosit
menyebabkan cedera oligodendrosit, hilangnya myelin dan kerusakan akson oleh
ADCC. Adanya anti-AQP4 pada oligodendrosit mengurangi masuknya glutamat
ke astrosit dan internalisasi glutamate transporter excitatory amino acid
transporter 2 (EAAT2). Munculnya gejala klinis NMO ini menitikberatkan pada
kejadian. 4,5
b. masuknya glutamat dari ruang ekstraseluler yang diikuti oleh gangguan fungsi
oligodendrosit dan hilangnya mielin neuron.
Pada tahun 1894 eugene Devic dan murudnya Fernand Gault menggambarkan
16 pasien dengan gangguan kehilangan penglihatan bilateralmaupun unilateral
dan dalam beberapa minggu terjadi gangguan kontrol spingter , spastik
tetraparesis atau paraparesis sera gangguan sensoris. Beberapa mengalami gejala
hipotalamus seperti hipotermia,demam, hipotensi,bradikardi,narkolepsi,
anoreksia, hiperphagia serta sindrom ketdak seimbangan sekresi dari hormon anti
diuretik . rasa mual cegukan merupakan gejala khas terakait dengan adanya lesi
di area post rema merupakan gejala klinis otak yang sering muncul pada NMO.
Hiponatremia dan sindrom reversible posterior enselopathy syndrome (PRES)
reversible adalah gejala klinis lainnya yang jarang terjadi pada pasien NMO
komplikasi lain yang jarang terjadi pada pasien dengan NMO. 5
7
Tabel 0.1
2.5. Diagnosis
• Atrofi fokal pada 3 atau lebih segmen medula spinalis yang berdekatan
pada pasien dengan riwayat mielitis akut
c. Sindrom area postrema: adanya lesi pada area postrema atau dorsal
medula
d. Sindrom batang otak akut: adanya lesi pada batang otak perependimal
Gambar 2.4 Gambaran MRI medula spinalis dan nervus optikus pada NMOSD 14
11
Pada neuritis optik, ditemukan hiperintens pada nervus optikus pada MRI
sekuens T2 atau lesi menyangat gadolinium pada sekuens T1 dengan panjang
lebih dari setengah nervus optikus atau melibatkan kiasma optikus.14
Gambar 2.5 Lesi pada dorsal medula, area postrema, and lesi batang otak pada
NMOSD14
d. Evaluasi elektrofisiologi
Pemeriksaan VEP (Visual Evoked Potentials), SEP (Somatosensory
Evoked Potentials) and BAEP (Brainstem Acoustic Evoked Potentials)
menunjukkan abnormalitas pada pasien NMO. Pada salah satu studi tentang
NMO, menunjukkan abnormalitas SEP sebesar 86%, abnormalitas VEP
sebesar 83%, dan abnormalitas BAEP sebesar 37% pada pasien NMO. 17
Penyakit lain yang paling utama untuk disingkirkan terlebih dahulu sebelum
mendiagnosis NMO adalah MS. Gejala keduanya relatif tumpang tindih,
meskipun saat ini telah ditemukan IgG AQP4 (muncul pada >80% pasien) yang
12
jelas membedakan NMO dengan MS. Selain itu, 30-50% pasien NMO juga
mengalami penyakit autoimun sistemik lainnya, seperti SLE (systemic lupus
erythematous), sindrom Sjogren, miastenia gravis, atau defisiensi vitamin B 12
yang dimediasi autoimun. Beberapa hal yang membedakan NMO dengan MS
antara lain: 4,18
Tata laksana NMO dititikberatkan pada 2 aspek, yaitu tata laksana eksaserbasi
akut dan pencegahan relaps. Tata laksananya meliputi pemberian obat-obatan
imunosupresan, imunomodulator, dan plasmafaresis. 1,4
2.8.1. Tata Laksana Eksaserbasi Akut
Pada fase akut, terapi lini pertama NMO adalah pemberian imunosupresan
dosis tinggi dan/atau plasmafaresis dengan tujuan mengurangi kerusakan fungsi
neurologis jangka panjang. Imunosupresan yang dapat diberikan yaitu
metilprednisolon 1000 mg/hari intravena selama 3-5 hari dengan perkiraan efek
penyembuhan total sebesar 17-35%. Metilprednisolon bekerja dengan cara
menurunkan jumlah IgG-AQP4 sebagai komponen utama yang berperan dalam
penyakit ini, meminimalisasi hilangnya akson, dan menghambat respon inflamasi
yang terjadi. Profilaksis osteoporosis tidak perlu diberikan karena imunosupresan
diberikan dalam jangka waktu pendek. 1,4,19,20
Jika pemberian metilprednisolon tidak menunjukkan hasil yang baik,
serangan yang berat, atau justru kondisi memburuk, maka plasmafaresis 5-7 siklus
direkomendasikan untuk menangani fase akut ini. Tujuan utama dari tata laksana
ini adalah membersihkan IgG-AQP4. Metode yang sering digunakan adalah
penggantian plasma dengan albumin manusia sintetis dalam saline. Apabila
dengan pemberian imunosupresan dan plasmafaresis masih belum memperbaiki
gejala, maka dapat dipertimbangkan pemberian immunoglobulin intravena atau
terapi sitoaktif seperti siklofosfamid. Immunoglobulin dapat diberikan dengan
dosis 0,7 gram/kgBB selama 3 hari, sedangkan siklofosfamid dapat diberikan
dengan dosis 2 gram/hari selama 4 hari. 1,18,21,22
2.8.2 Tata Laksana Pencegahan Relaps
NMO memiliki angka relaps yang tinggi, yaitu 80-90% sehingga diperlukan
tata laksana untuk pencegahan. Tata laksana lini pertama untuk pencegahan relaps
adalah pemberian imunosupresan yaitu prednisolone dosis rendah (2-20 mg/hari).
Efek samping yang mungkin timbul antara lain berat badan naik, hipertensi,
thrombosis, osteoporosis, infeksi virus dan jamur, hiperglikemia, ulkus peptikum,
gangguan psikiatri atau sindrom Cushing. 1,4,21
14
2.9. Komplikasi
Komplikasi NMO dapat terjadi akibat progresivitas penyakitnya maupun
akibat tata laksana yang diperoleh oleh pasien sesuai dengan efek samping
masing-masing tata laksana. Disabilitas dapat terjadi sebagai akibat jangka
panjang dari NMO. Komplikasi NMO dapat berupa disrefleksia autonom
meskipun lebih sering terjadi pada cedera saraf spinal akibat trauma daripada
akibat NMO. Disrefleksia autonom meliputi disfungsi pencernaan dan kandung
kemih neurogenik atau disfungsi otonom pada kardiovaskular, terjadi pada 7,5%
pada fase akut dan 90% pada fase kronik.24,25
Gagal nafas dapat pula ditemukan pada pasien dengan NMO meskipun
kasusnya jarang dilaporkan. Pada tahun 1985, terdapat studi oleh Whitham dan
Brey yang pertama kali melaporkan kejadian gagal nafas pada 22% kasus NMO.
16
Studi lain oleh Wingerchuk, dkk. menyatakan bahwa 33% pasien dengan NMO
relaps dan 9% pasien dengan NMO monofasik mengalami gagal nafas. 26
Perjalanan penyakit NMO seringkali lebih buruk dibanding pada MS.
Progresivitas penyakit berkaitan dengan area keterlibatan dari NMO, sebagai
contoh keterlibatan hipotalamus yang tidak diatasi dapat menyebabkan anoreksia
atau gangguan sekresi hormon antidiuretik. Selain itu, jika lesi melibatkan area
postrema maka dapat terjadi muntah yang hebat atau risiko tersedak. Komplikasi
lain yang jarang terjadi antara lain hiponatremia dan posterior reversible
encephalopathy syndrome (PRES). Tidak seperti MS, disabilitas dapat terjadi
pada serangan akut, bahkan hanya 1 atau 2 serangan dapat menyebabkan kebutaan
atau disabilitas ambulatori. Pasien NMO juga dapat mengalami depresi akibat
progresivitas penyakitnya maupun angka relapsnya yang tinggi. 5,25,27
2.10. Prognosis
Angka kematian di NMOSD di seluruh dunia berkisar antara 9% hingga 32%,
28
tergantung pada usia, kejadian relaps, dan pemulihan dari relaps. NMO lebih
parah dibanding MS. Kejadian relaps biasanya menyebabkan terjadinya defisit
neurologis yang permanen. Beberapa prediktor terjadinya relaps antara lain
lamanya interval antar serangan, jenis kelamin perempuan, usia lebih tua, dan
defisit motorik pada kejadian pertama mielitis. Semua pasien dengan NMO
seharusnya dinilai risiko terjadinya relaps untuk menentukan inisiasi terapi awal
dan menilai pentingnya terapi untuk mencegah relaps.5
17
DAFTAR PUSTAKA
27. Huh SY, Kim SH, Hyun JW, Joung AR, Park MS, Kim BJ, et al.
Mycophenolate mofetil in the treatment of neuromyelitis optica spectrum
disorder. JAMA Neurol. 2014;71(11):1372–8.
28. Mealy MA, Kessler RA, Rimler Z, Reid A, Totonis L, Cutter G, et al.
Mortality in neuromyelitis optica is strongly associated with African
ancestry. Neurol Neuroimmunol NeuroInflammation. 2018;5(4).