Anda di halaman 1dari 23

NEUROMIELITIS OPTIK

Oleh:
1. Fitria Chandra N 1806262442
2. Lenny Naulita 1806262455
3. Mia Rahmawati 1806262474
4. Septiana Andri W 1806262511

Pembimbing:
Dr. dr. Riwanti Estiasari, Sp.S(K)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER SPESIALIS


DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
JAKARTA
2018
i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................. ii


DAFTAR TABEL ..................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... iii
BAB 1. Pendahuluan ................................................................................................. 1
BAB 2. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 2
2.1 Definisi ................................................................................................................ 2
2.2 Epidemiologi ....................................................................................................... 2
2.3 Patofisiologi......................................................................................................... 3
2.4 Gejala dan Tanda Klinis ...................................................................................... 6
2.5 Diagnosis ............................................................................................................. 7
2.6 Pemeriksaan Penunjang ....................................................................................... 9
2.7 Diagnosis Banding ............................................................................................ 11
2.8 Tata Laksana ...................................................................................................... 13
2.9 Komplikasi ........................................................................................................ 13
2.10 Prognosis ......................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 17
ii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi neuromielitis berdasarkan bentuk klinis…………………....5


Tabel 2.2 Perbedaan karakteristik klinis NMO dengan MS……………………...12
iii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Prevalensi global neuromielitis optika secara berdasarkan data MSIF..3
Gambar 2.2 Patofisiologi NMO (bagian 1)…………………………………………4

Gambar 2.3 Patofisiologi NMO (bagian 2)………………………………………....5

Gambar 2.4 Gambaran MRI medula spinalis dan nervus optikus pada NMO…….10

Gambar 2.5 Lesi pada dorsal medula,area postrema,dan lesi batang otak NMO…11
Gambar 2.6 Lesi diensefalon dan serebral pada NMO….………………………...11
1

BAB 1
PENDAHULUAN

Neuromielitis optika merupakan penyakit peradangan dari susunan saraf pusat


yang jarang ditemukan dan berbeda dengan multipel sklerosis (MS). Istilah
Neuromyelitis optica acuta pertama kali digunakan oleh Eugne Devic pada tahun
1894 dengan menggunakan terminologi bahasa perancis yaitu “ neuro-myelite
optique aigue”.1,2 Terminasi ini digunakan untuk menggambarkan suatu sindrom
dengan karakteristik adanya mielitis akut dan neuritis optikus. Pada tahun yang
sama Fernand Gault (1873-1936), murid dari Devic dalam tesis doktoralnya
mempublikasikan jurnal yang berjudul De la neuro myelite optique aigue yang
melakukan tinjauan lebih lanjut dari literatur medis yang sebelumnya ditulis oleh
Devic.2
Lebih dari 100 tahun istilah neuromyelitis optica (NMO) dan devic’s disease
digunakan untuk mengidentifikasi pasien dengan suatu kondisi yang dianggap
merupakan suatu varian dari multipel sklerosis dimana gejala klinis yang timbul
terbatas pada nervus optikus dan saraf tulang belakang, yang timbul baik secara
simultan maupun dalam waktu beberapa minggu dan sering memiliki keluaran
yang buruk. 3
Beberapa tahun terakhir konsep lama dari NMO secara dramatis mengalami
perubahan seiring dengan dilakukannya penelitian-penelitian secara kohort,
perkembangan magnetic resonance imaging (MRI) yang mencirikan acute
transverse myelitis sebagai longitudinally extensive spinal cord lesions (LESCL)
dan adanya asimptomatik lesi otak pada kebanyakan pasien, dan adanya bukti
berbasis ilmiah secara patologi maupun imunopatologi yang menyatakan bahwa
dalam hal ini respon humoral memegang peranan yang dominan dan dengan
ditemukannya NMO-IgG dan aquaporin-4 (AQP4) sebagai spesifik biomarker
pada penyakit ini.3 Antibodi anti-aquaporin-4 (AQP4) ditemukan oleh dr.
Lennon dan rekannya pada tahun 2004.2
2

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Neuromielitis optik (NMO) atau Devic’s syndrome merupakan penyakit


autoimun yang menyebabkan demielinisasi berat terutama pada nervus optikus
dan medula spinalis meskipun pada awalnya NMO dianggap sebagian bagian
(sub-grup) dari multipe sklerosis (MS) karena gejalanya yang tumpang tindih
namun saat ini telah diketahui bahwa patofisiologi kedua penyakit ini berbeda.
Ditambah lagi dengan penemuan antibodi terhadap anti-aquaporin-4 (AQP4)
mempertegas bahwa yang berperan pada NMO adalah imunitas humoral.3,4

2.2. Epidemiologi

Insiden NMO bervariasi di berbagai negara. Sebuah studi telaah sistematik


mendapatkan insiden NMO berkisar antara 0,053-0,4 per 100.000 penduduk,
sedangkan prevalensinya 0,52-4,4 per 100.000 penduduk.4,5
Data lain dalam studi telaah sistematik yang dilakukan oleh Masoud, dkk.,
disebutkan bahwa data 2003-2004 prevalensi NMO 0,52 per 100.000 penduduk
dan rerata insiden 0,053 per 100.000 penduduk. Studi lainnya yang dilakukan oleh
Cabre dkk 2009 menyebutkan insiden NMO di Perancis 0.2 per 100.000
penduduk dengan prevalensi 4,2 per 100.000 penduduk.6 Studi lainnya yang
dilakukan di Denmark tahun 2011 dengan menerapkan kriteria Wingerchuck
didapatkan insiden NMO 0,4 per 100.000 penduduk dan prevalensi 4,4 per
100.000 penduduk. Untuk wilayah Asia disebutkan pada penelitian yang
dilakukan oleh Pandit, dkk., tahun 2014 di India Selatan prevalensi NMO 2,6 per
100.000 penduduk, sedangkan Etamadifar, dkk., melaporkan di Iran prevalensi
NMO 1.9 per 100.000 penduduk.6
NMO lebih sering terdapat pada penduduk non-kaukasian dimana di daerah
tersebut prevalensi MS rendah.5 Beberapa penelitian melaporkan kejadian NMO
lebih sering pada ras Asia, Indian dan kulit hitam dibandingkan ras Kaukasia.7
Seperti kebanyakan penyakit autoimun lainnya NMO lebih banyak
menyerang wanita.4,5 Dalam suatu penelitian epidemiologi di Kuba dilaporkan
bahwa wanita lebih sering terkena (0,91) dibandingkan dengan pria (0,12). 8 Di
3

Iran dan Perancis perbandingan wanita dibandingkan pria yang tekena sekitar 3:1
dan di Amerika 6,5:1.8–10. Wanita lebih dominan menunjukan bahwa hormon
mempengaruhi kerentanan dan aktivitas NMO. Jenis kelamin dapat menentukan
jenis NMO yang terjadi merupakan kasus relaps atau monofasik. 11
Median usia NMO saat onset adalah 30,5-55,2 tahun, sedikit lebih tua
daripada median usia MS.4 Di Amerika Serikat rerata usia onset NMO sekitar
41,1 tahun, sedangkan di Brazil dilaporkan rerata usia onset NMO antara 14-55
tahun.8,12 NMO dilaporkan sangat jarang terjadi pada populasi anak di Eropa
meskipun demikian penelitian kohort enam orang anak yang berasal dari Jerman
menderita NMO dengan onset sekitar 5-14 tahun.5 Dengan demikian NMO dapat
muncul pada usia anak ataupun usia lanjut.

Gambar 2.1 Prevalensi global neuromielitis optika secara global berdasarkan


data MSIF.6

2.3. Patofisiologi
NMO merupakan penyakit yang kompleks melibatkan interaksi antara faktor
genetik dan faktor lingkungan. Karakteristik imunologi yang utama pada NMO
adalah adanya antibodi yang menyerang aquaporin 4 (anti-AQP4). AQP4
merupakan protein transmembran yang secara selektif mengatur transport air pada
sel tertentu di otak. Tidak munculnya anti-AQP4 pada pasien NMO,
4

membuktikan bahwa etiolopatogenesis NMO bisa berbeda dapat disebabkan oleh


kelainan jaringan ikat, kelainan paraneoplastik, atau penyakit infeksi. 5

Mekanisme NMO dimediasi oleh respon imun bawaan dan adaptif. Pada
jaringan perifer, patogen dikenali oleh sel imun bawaan yaitu sel dendritik, yang
mempresentasikan antigen ke Th1 and Th2 melalui major histocompatibility
complex (MHC) kelas II, kemudian menginisiasi respon imun adaptif. Sel Th1
(CD4+CCR5+CXCR3+ T cells) mensekresi interferon gamma (IFN-γ) dan
interleukin 6 (IL-6) sedangkan sel Th2 (CD4+CCR4+CCR8+ T cells) mensekresi
interleukin 10 (IL-10). Selain itu, aktivasi sel Th17 (CD4+CCR6+ T cells)
mensekresi interleukin 17 (IL-17). IL-6 yang distimulasi sel B berdiferensiasi
menjadi plasmablast atau sel plasma untuk menghasilkan antibodi yang
menyerang beda asing dan autoantigen yaitu IgG-AQP4 (Gambar 2.2) 5

Gambar 2.2 Patofisiologi NMO (bagian 1)5

Mekanisme terjadinya NMO dimediasi oleh complement dependent


cytotoxicity (CDC), antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC) dan
eksitoksisitas glutamate. Pada system saraf pusat yang normal, AQP4
diekspresikan pada bagian akhir (podosit) astrosit yang berhadapan langsung
5

dengan sawar darah otak dan dibentuk oleh sel endotel. Pada NMO, IgG anti-
AQP4 dalam sirkulasi menembus sawar darah otak dan berikatan dengan AQP4.
Hal ini menyebabkan aktivasi sistem komplemen dan deposisi membrane attack
complex (MAC) sehingga terjadi kerusakan astrosit oleh CDC. Sekresi sitokin
dan aktivasi komplemen oleh astrosit menyebabkan berkumpulnya sel inflamasi
seperti eosinofil, neutrofil, dan makrofag sehingga kerusakan sawar darah otak
terjadi lebih lanjut dan IgG anti-AQP4 yang masuk semakin banyak. Efek
sekunder dari sel inflamasi yang terdegranulasi dan kerusakan astrosit
menyebabkan cedera oligodendrosit, hilangnya myelin dan kerusakan akson oleh
ADCC. Adanya anti-AQP4 pada oligodendrosit mengurangi masuknya glutamat
ke astrosit dan internalisasi glutamate transporter excitatory amino acid
transporter 2 (EAAT2). Munculnya gejala klinis NMO ini menitikberatkan pada
kejadian. 4,5

a. eksitoksisitas glutamate dengan melibatkan internalisasi EEAT2 pada astrosit


yang diinduksi oleh IgG anti-AQP4

b. masuknya glutamat dari ruang ekstraseluler yang diikuti oleh gangguan fungsi
oligodendrosit dan hilangnya mielin neuron.

Gambar 2.3 Patofisiologi NMO (bagian 2) 5


6

2.4. Gejala dan Tanda Klinis


NMO telah menjadi entitas klinis yang didefinisikan dengan jelas dan
diagnosis yang diperkuat oleh serum biomarker yang sangat spesifik yaitu NMO-
immunoglobulin G(IgG) dengan target kanal aquaporin-4. NMO menyebabkan
neuritis optik yang berat dan mielitis melintang yang longitudinal dan luas
(ditunjukkan dari MRI dengan lesi sumsum tulang belakang mencakup tiga atau
lebih segmen vertebral) relatif tanpa ke wilayah CNS lainnya. Gangguan ini
seringkali kambuh, dengan MRI otak yang seringkali normal pada saat onset
tetapi seiring berjalannya waktu dapat timbul lesi materi putih (kadang-kadang
menyerupai MS klasik), dan CSF yang mungkin menunjukkan pleocytosis
neutrofilik dan biasanya tidak memiliki oligoklonal
band. 13
Karakteristik klinis utama dari NMO adalah ; neuritis optik, mielitis akut,
sindrom area postrema/dorsal medula, sindrom batang otak/periependimal akut,
narkolepsi simtomatik atau sindrom klinis diensefalitik akut dengan MRI
diensefalon yang tipikal NMOSD dan Sindrom serebral simtomatik dengan lesi
otak tipikal NMO4.

Pada tahun 1894 eugene Devic dan murudnya Fernand Gault menggambarkan
16 pasien dengan gangguan kehilangan penglihatan bilateralmaupun unilateral
dan dalam beberapa minggu terjadi gangguan kontrol spingter , spastik
tetraparesis atau paraparesis sera gangguan sensoris. Beberapa mengalami gejala
hipotalamus seperti hipotermia,demam, hipotensi,bradikardi,narkolepsi,
anoreksia, hiperphagia serta sindrom ketdak seimbangan sekresi dari hormon anti
diuretik . rasa mual cegukan merupakan gejala khas terakait dengan adanya lesi
di area post rema merupakan gejala klinis otak yang sering muncul pada NMO.
Hiponatremia dan sindrom reversible posterior enselopathy syndrome (PRES)
reversible adalah gejala klinis lainnya yang jarang terjadi pada pasien NMO
komplikasi lain yang jarang terjadi pada pasien dengan NMO. 5
7

Tabel 2.1 Klasifikasi Neuromielitis Berdasarkan Bentuk Klinis 5

Bentuk Klinis Karakteristik


Monofasik 1 = Myelitis transversa dan neuritis optik
terjadi
secara bersamaan atau secara berurutan
2 = Terdapat pada pria dan wanita sama
3 = kasus yang jarang
4= Sindrom devic ‘s klasik
Relapsing 1= Myelitis transversa
2= Neurtis optika
3= Serangan relaps
4=Sering terdapat pada wanita
5=Terjadi pada 80-90% kasus
NMO Spectrum Disorders 1= Idiopatik
(NMOSD): Anti aquaporin 4 mielitis longitudinal yang luas bak berdiri
(AQP4) seropostif sendiri maupun berulang
2= Neuritis optic yang terjadi bersamaam atau
berulang
3=Multiple sclerosis spinal Asian optic
4= Neuritis optic atau myelitis longitudinal
luas yang berhubungan dengan penyakit
sistemik autoimun
5= Neuritis optic atau myelitis dengan lesi
pada otak yang khas untuk NMO

Tabel 0.1

2.5. Diagnosis

Kriteria diagnosis neuromielitis optika berdasarkan Konsensus International


Panel for NMO Diagnosis (IPND) 2015 yaitu :14
1. NMOSD dengan IgG-AQP4 positif
a. Minimal terdapat 1 karakteristik klinis utama
8

b. IgG-AQP4 positif menggunakan metode deteksi terbaik


(direkomendasikan cell based assay)
c. Diagnosis alternatif telah dieksklusi
2. NMOSD dengan IgG-AQP4 negatif atau status IgG-AQP4 tidak diketahui
a. Minimal terdapat 2 karakteristik klinis utama yang muncul pada 1 kali
relaps atau lebih dan memenuhi kriteria berikut :
• Setidaknya 1 dari karakteristik klinis utama adalah neuritis optik,
mielitis akut dengan long extended tranverse myelitis (LETM) atau
sindrom area postrema
• Dissemination in space yaitu 2 atau lebih sindrom klinis yang
berbeda
• Temuan MRI yang mendukung sindrom tersebut
b. IgG-AQP4 negatif
c. Diagnosis alternatif telah dieksklusi
3. Karakteristik klinis utama
a. Neuritis optik
b. Mielitis akut
c. Sindrom area postrema/dorsal medula
d. Sindrom batang otak/periependimal akut
e. Narkolepsi simtomatik atau sindrom klinis diensefalitik akut dengan MRI
diensefalon yang tipikal NMOSD
f. Sindrom serebral simtomatik dengan lesi otak tipikal NMOSD
4. Gambaran MRI yang harus terpenuhi pada NMOSD dengan IgG-AQP4
negatif atau tidak diketahui
a. Neuritis optik akut: MRI otak harus
• Normal atau hanya ada lesi substansia alba yang nonspesifik, atau
• Hiperintens pada nervus optikus pada MRI sekuens T2 atau lesi
menyangat gadolinium pada sekuens T1 dengan panjang lebih dari
setengah nervus optikus atau melibatkan kiasma optikus.
b. Mielitis akut
• Pada MRI didapatkan lesi pada 3 atau lebih segmen intramedula
spinalis yang berdekatan (LETM), atau
9

• Atrofi fokal pada 3 atau lebih segmen medula spinalis yang berdekatan
pada pasien dengan riwayat mielitis akut
c. Sindrom area postrema: adanya lesi pada area postrema atau dorsal
medula
d. Sindrom batang otak akut: adanya lesi pada batang otak perependimal

2.6. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan antibodi NMO


Sebagian pasien dengan NMO memiliki antibodi terhadap kanal air
aquaporin-4 (IgG AQP4) pada serum. Antibodi ini sangat spesifik untuk
diagnosis klinis NMO. IgG AQP4 memiliki sensitivitas 76% and spesifitas
94%.14–16 Keberadaan IgG-AQP4 dapat menyingkirkan diagnosis multipel
sklerosis.16 Standar spesimen yang diperiksa adalah serum. Pemeriksaan rutin
cairan serebrospinal pada pasien denga IgG-AQP4 negatif tidak
direkomendasikan, namun dapat dipertimbangkan untuk kasus tertentu.
Pasien dengan IgG-AQP4 negatif dikemudian hari dapat ditemukan hasil yang
positif. Kadar antibodi juga mengalami peningkatan saat terjadi relaps dan
mengalami penurunan dengan terapi imunosupresif pada beberapa pasien.
Pada sebagian kecil pasien dengan karakteristik klinis NMO namun IgG-
AQP4 negatif, dapat ditemukan antibodi terhadap glikoprotein dari mielin
oligodendrosit (IgG-MOG). Penemuan ini menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan patogenesis NMO pada beberapa pasien. 15
b. Analisis cairan serebrospinal
Abnormalitas cairan serebrospinal bisa ditemukan pada pasien dengan
NMO. Pleositosis (>50 sel/mm3) ditemukan pada 14–79% pasien NMO.17
Pleositosis didominasi neutrofil atau eosinofil. Pita oligoklonal dapat
ditemukan pada 18% pasien NMO dengan IgG-AQP4 positif.18 Kadar
neurofilament heavy chain (NfH) secara signifikan lebih tinggi pada NMO
dibanding pada pasien MS. Kadar protein meningkat pada 46%-75% pasien
NMO. Neurofilamen muncul ke cairan serebrospinal akibat cedera akson.
Glial fibrillary acidic protein (GFAP) secara signifikan juga lebih tinggi pada
pasien NMO dibanding MS. Apabila ditemukan antibodi terhadap virus
10

measles, rubella, dan varicella zoster virus lebih mengarah ke diagnosis


multipel sklerosis dibanding NMO.17
c. Pencitraan
Pemeriksaan MRI otak ditemukan normal pada 55%-84% pasien dengan
NMO.17 Namun, dapat ditemukan lesi nonspesifik yang umumnya
asimtomatik dan perlu dipastikan tidak memenuhi kriteria multipel sklerosis. 6
Pada NMO, ditemukan lesi di medula spinalis berupa lesi longitudinal pada
tiga atau lebih segmen vertebra. Gambaran ini berhubungan dengan mielitis
akut, serta sangat spesifik untuk NMO, sangat jarang ditemukan pada MS.
Berbeda dengan NMO, pada multipel sklerosis, lesi medula spinalis biasanya
hanya melibatkan 1 segmen vertebra. Walaupun gambar ini merupakan
karakteristik yang spesifik untuk NMO, 7-14% pasien dengan seropositif
IgG-AQP4 tidak ditemukan lesi longitudinal pada tiga atau lebih segmen
vertebra. 15

Gambar 2.4 Gambaran MRI medula spinalis dan nervus optikus pada NMOSD 14
11

Pada neuritis optik, ditemukan hiperintens pada nervus optikus pada MRI
sekuens T2 atau lesi menyangat gadolinium pada sekuens T1 dengan panjang
lebih dari setengah nervus optikus atau melibatkan kiasma optikus.14

Gambar 2.5 Lesi pada dorsal medula, area postrema, and lesi batang otak pada
NMOSD14

Gambar 2.6 Lesi diensefalon dan serebral pada NMOSD14

d. Evaluasi elektrofisiologi
Pemeriksaan VEP (Visual Evoked Potentials), SEP (Somatosensory
Evoked Potentials) and BAEP (Brainstem Acoustic Evoked Potentials)
menunjukkan abnormalitas pada pasien NMO. Pada salah satu studi tentang
NMO, menunjukkan abnormalitas SEP sebesar 86%, abnormalitas VEP
sebesar 83%, dan abnormalitas BAEP sebesar 37% pada pasien NMO. 17

2.7. Diagnosis Banding

Penyakit lain yang paling utama untuk disingkirkan terlebih dahulu sebelum
mendiagnosis NMO adalah MS. Gejala keduanya relatif tumpang tindih,
meskipun saat ini telah ditemukan IgG AQP4 (muncul pada >80% pasien) yang
12

jelas membedakan NMO dengan MS. Selain itu, 30-50% pasien NMO juga
mengalami penyakit autoimun sistemik lainnya, seperti SLE (systemic lupus
erythematous), sindrom Sjogren, miastenia gravis, atau defisiensi vitamin B 12
yang dimediasi autoimun. Beberapa hal yang membedakan NMO dengan MS
antara lain: 4,18

Tabel 2.2 Perbedaan Karakteristik Klinis Neuromielitis Optik dengan Multipel


Sklerosis 4

Multipel Sklerosis Neuromielitis Optik


Definisi - Defisit neurologis - Neuritis optik
pada sistem saraf - Mielitis transversa akut
pusat dengan bukti - Minimal 2 kriteria
keterlibatan white (temuan MRI tidak
matter sesuai multipel sklerosis,
- Terdapat bukti lesi medulla spinalis
dissemination in space pada 3/lebih segmen
and time melalui MRI vertebrae, seropositif
IgG-NMO)
Onset klinis 85% remisi-relaps 80-90% relaps
Perjalanan 15% progresif primer 10-20% monofasik
penyakit
Median usia 29 tahun 39 tahun
munculnya onset
Rasio 2:1 9:1
wanita : pria
Gambaran MRI Lesi substansia alba Biasanya normal atau lesi
otak periventrikular, pada substansia alba non-
jukstakortikal, spesifik
infratentorial
Gambaran MRI Lesi perifer medulla Lesi sentral longitudinal
medula spinalis spinalis ekstensif (≥3 segmen
vertebrae
Hasil pungsi Pleositosis ringan, Jumlah mononuklear dan
lumbal dominan mononuklear polimononuklear sama
banyak
Pita oligoklonal 85% 15-30%
pada cairan
serebrospinal
IgG AQP4 Negatif Positif
13

2.8. Tata Laksana

Tata laksana NMO dititikberatkan pada 2 aspek, yaitu tata laksana eksaserbasi
akut dan pencegahan relaps. Tata laksananya meliputi pemberian obat-obatan
imunosupresan, imunomodulator, dan plasmafaresis. 1,4
2.8.1. Tata Laksana Eksaserbasi Akut
Pada fase akut, terapi lini pertama NMO adalah pemberian imunosupresan
dosis tinggi dan/atau plasmafaresis dengan tujuan mengurangi kerusakan fungsi
neurologis jangka panjang. Imunosupresan yang dapat diberikan yaitu
metilprednisolon 1000 mg/hari intravena selama 3-5 hari dengan perkiraan efek
penyembuhan total sebesar 17-35%. Metilprednisolon bekerja dengan cara
menurunkan jumlah IgG-AQP4 sebagai komponen utama yang berperan dalam
penyakit ini, meminimalisasi hilangnya akson, dan menghambat respon inflamasi
yang terjadi. Profilaksis osteoporosis tidak perlu diberikan karena imunosupresan
diberikan dalam jangka waktu pendek. 1,4,19,20
Jika pemberian metilprednisolon tidak menunjukkan hasil yang baik,
serangan yang berat, atau justru kondisi memburuk, maka plasmafaresis 5-7 siklus
direkomendasikan untuk menangani fase akut ini. Tujuan utama dari tata laksana
ini adalah membersihkan IgG-AQP4. Metode yang sering digunakan adalah
penggantian plasma dengan albumin manusia sintetis dalam saline. Apabila
dengan pemberian imunosupresan dan plasmafaresis masih belum memperbaiki
gejala, maka dapat dipertimbangkan pemberian immunoglobulin intravena atau
terapi sitoaktif seperti siklofosfamid. Immunoglobulin dapat diberikan dengan
dosis 0,7 gram/kgBB selama 3 hari, sedangkan siklofosfamid dapat diberikan
dengan dosis 2 gram/hari selama 4 hari. 1,18,21,22
2.8.2 Tata Laksana Pencegahan Relaps

NMO memiliki angka relaps yang tinggi, yaitu 80-90% sehingga diperlukan
tata laksana untuk pencegahan. Tata laksana lini pertama untuk pencegahan relaps
adalah pemberian imunosupresan yaitu prednisolone dosis rendah (2-20 mg/hari).
Efek samping yang mungkin timbul antara lain berat badan naik, hipertensi,
thrombosis, osteoporosis, infeksi virus dan jamur, hiperglikemia, ulkus peptikum,
gangguan psikiatri atau sindrom Cushing. 1,4,21
14

Seringkali terapi dengan imunosupresan ini juga dikombinasi dengan agen


imunomodulator. Pemberian tata laksana pencegahan relaps ini harus disesuaikan
dengan kondisi klinis, komplikasi, serta menghindari efek samping yang tidak
sesuai untuk pasien. Selain itu, pemeriksaan kehamilan, hepatitis B dan C penting
dilakukan sebelum terapi dimulai. Agen imunomodulator yang dapat digunakan
antara lain : 1,18,21,22,23
a. Azathioprine (AZA)
Azathioprine merupakan analog purin, bekerja dengan cara interkalasi DNA
dalam menghambat sintesis purin (adenine dan guanine) sehingga terjadi
diferensiasi limfosit. Agen ini dapat diberikan dengan dosis 2,5-3 mg/kgBB/hari
dan mencapai puncak efektivitas setelah 3-6 bulan. Ketika efektivitasnya sudah
mencapai puncak, pemberian imunosupresan dapat dihentikan. Efek samping
yang dapat timbul adalah depresi sumsum tulang dengan anemia, leuko-dan/atau
trombositopenia, infeksi, peningkatan enzim hati, nausea atau emesis. Sedangkan,
efek samping yang jarang timbul adalah keganasan, misalnya pada kulit, limfoma
atau progressive multifocal leukoencephakopathy (PML).
b. Micofenolat mofetil (MMF)
Micofenolat mofetil bekerja dengan cara menghambat sintesis inosin
monofosfat dehydrogenase. Hal ini akan menyebabkan hambatan sintesis
guanosis sehingga terjadi hambatan pula pada proliferasi limfosit B dan T.
Micofenolat mofetil diberikan dengan dosis 750-3.000 mg/hari. Hal yang perlu
diperhatikan dalam pemberian obat ini adalah observasi jumlah limfosit absolut
(target <1.500/mL), darah lengkap, serta fungsi ginjal dan hati. Efek sampingnya
serupa dengan azathriopine, dengan efek samping paling sering adalah iritasi
pencernaan.
c. Rituximab (RTX)
Rituximab (anti CD-20) bekerja dengan cara deplesi sel limfosit B dan
plasmablas. Agen ini diberikan dengan dosis 1 gram/hari pada hari I dan XIV
yang diulang setiap 6 bulan. Efek samping yang dapat timbul dengan pemberian
agen ini adalah infusion-related symptoms (pruritus, nyeri kepala, kemerahan
pada kulit, atau demam), leukopenia persisten, aritmia, insufisiensi jantung, dan
15

ensefalopati posterior reversibel. Hepatitis B atau tuberkulosis harus diekslusi


sebelum pemberian rituximab.
d. Metotreksat
Metotreksat merupakan antagonis asam folat dan menghambat dihidrofolat
reduktase. Agen ini dapat diberikan dengan dosis 7,5-25 mg/minggu. Efek
samping yang dapat timbul antara lain nausea atau diare, depresi sumsum tulang
dan peningkatan enzim hati.
e. Mitoksantron
Mitoksantron bekerja dengan cara interkalasi DNA dan menghambat mitosis
sel. Mekanisme lain dari agen yang berkaitan dengan NMO antara lain migrasi
monosit dan limfosit, induksi apoptosis sel dendritik, mengurangi sekresi sitokin
inflamasi seperti tumor necrosis factor/TNF, interleukin 2, dan interferon gamma,
dan menghambat fungsi sel B. Agen ini dapat diberikan dengan dosis awal 12
mg/m2 setiap bulan selama 3-6 bulan dan dosis rumatan 6-12 mg/m2 tiap 3 bulan.

Beberapa terapi target saat ini sedang dikembangkan untuk mencegah


keparahan pada fase akut maupun mencegah relaps. Sebagai contoh adalah
komplemen C5 (eculizumab), interleukin-6 (tocilizumab) dan inhibitor C1-
esterase dengan mempertimbangkan komponen-komponen yang terlibat dalam
mekanisme terjadinya NMO.21,22

2.9. Komplikasi
Komplikasi NMO dapat terjadi akibat progresivitas penyakitnya maupun
akibat tata laksana yang diperoleh oleh pasien sesuai dengan efek samping
masing-masing tata laksana. Disabilitas dapat terjadi sebagai akibat jangka
panjang dari NMO. Komplikasi NMO dapat berupa disrefleksia autonom
meskipun lebih sering terjadi pada cedera saraf spinal akibat trauma daripada
akibat NMO. Disrefleksia autonom meliputi disfungsi pencernaan dan kandung
kemih neurogenik atau disfungsi otonom pada kardiovaskular, terjadi pada 7,5%
pada fase akut dan 90% pada fase kronik.24,25
Gagal nafas dapat pula ditemukan pada pasien dengan NMO meskipun
kasusnya jarang dilaporkan. Pada tahun 1985, terdapat studi oleh Whitham dan
Brey yang pertama kali melaporkan kejadian gagal nafas pada 22% kasus NMO.
16

Studi lain oleh Wingerchuk, dkk. menyatakan bahwa 33% pasien dengan NMO
relaps dan 9% pasien dengan NMO monofasik mengalami gagal nafas. 26
Perjalanan penyakit NMO seringkali lebih buruk dibanding pada MS.
Progresivitas penyakit berkaitan dengan area keterlibatan dari NMO, sebagai
contoh keterlibatan hipotalamus yang tidak diatasi dapat menyebabkan anoreksia
atau gangguan sekresi hormon antidiuretik. Selain itu, jika lesi melibatkan area
postrema maka dapat terjadi muntah yang hebat atau risiko tersedak. Komplikasi
lain yang jarang terjadi antara lain hiponatremia dan posterior reversible
encephalopathy syndrome (PRES). Tidak seperti MS, disabilitas dapat terjadi
pada serangan akut, bahkan hanya 1 atau 2 serangan dapat menyebabkan kebutaan
atau disabilitas ambulatori. Pasien NMO juga dapat mengalami depresi akibat
progresivitas penyakitnya maupun angka relapsnya yang tinggi. 5,25,27

2.10. Prognosis
Angka kematian di NMOSD di seluruh dunia berkisar antara 9% hingga 32%,
28
tergantung pada usia, kejadian relaps, dan pemulihan dari relaps. NMO lebih
parah dibanding MS. Kejadian relaps biasanya menyebabkan terjadinya defisit
neurologis yang permanen. Beberapa prediktor terjadinya relaps antara lain
lamanya interval antar serangan, jenis kelamin perempuan, usia lebih tua, dan
defisit motorik pada kejadian pertama mielitis. Semua pasien dengan NMO
seharusnya dinilai risiko terjadinya relaps untuk menentukan inisiasi terapi awal
dan menilai pentingnya terapi untuk mencegah relaps.5
17

DAFTAR PUSTAKA

1. Borisow N, Mori M, Kuwabara S, Scheel M, Paul F. Diagnosis and


Treatment of NMO Spectrum Disorder and MOG-Encephalomyelitis.
Front Neurol [Internet]. 2018;9(October):1–15. Available from:
https://www.frontiersin.org/article/10.3389/fneur.2018.00888/full
2. Jarius S, Wildemann B. The history of neuromyelitis optica. J
Neuroinflammation. 2013;10(1):1–12.
3. Lana-Peixoto MA, Callegaro D. The expanded spectrum of neuromyelitis
optica: evidences for a new definition. Arq Neuropsiquiatr [Internet].
2012;70(10):807–13. Available from:
http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S0004-
282X2012001000010&lng=en&tlng=en
4. Estiasari R. Neuromielitis Optik. In: Anindhita T, editor. Buku Ajar
Neurologi. First. Jakarta: penerbit kedokteran indonesia; 2017. p. 258–64.
5. De Carvalho Jennings Pereira WL, Reiche EMV, Kallaur AP, Kaimen-
Maciel DR. Epidemiological, clinical, and immunological characteristics
of neuromyelitis optica: A review. J Neurol Sci [Internet]. 2015;355(1–
2):7–17. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.jns.2015.05.034
6. Etemadifar M, Nasr Z, Khalili B, Taherioun M, Vosoughi R. Epidemiology
of Neuromyelitis Optica in the World: A Systematic Review and Meta-
Analysis. Mult Scler Int [Internet]. 2015;2015:1–8. Available from:
http://www.hindawi.com/journals/msi/2015/174720/
7. Lana-Peixoto MA. Devic’s neuromyelitis optica: A critical review. Arq
Neuropsiquiatr. 2008;66(1):120–38.
8. Mealy MA, Wingerchuk DM, Greenberg BM, Levy M. Epidemiology of
neuromyelitis optica in the United States: A multicenter analysis. Arch
Neurol. 2012;69(9):1176–80.
9. Sahraian M a, Moinfar Z, Khorramnia S, Ebrahim MM. Relapsing
neuromyelitis optica: demographic and clinical features in Iranian patients.
Eur J Neurol. 2010;17:794–9.
10. Cabrera-Gómez JA, Kurtzke JF, González-Quevedo A, Lara-Rodríguez R.
An epidemiological study of neuromyelitis optica in Cuba. J Neurol.
2009;256(1):35–44.
11. Wingerchuk DM. Neuromyelitis optica: Effect of gender. J Neurol Sci
[Internet]. 2009;286(1–2):18–23. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.jns.2009.08.045
12. Papais-Alvarenga RM, Miranda-Santos CM, Puccioni-Sohler M, De
Almeida AMV, Oliveira S, Basilio De Oliveira CA, et al. Optic
neuromyelitis syndrome in Brazilian patients. J Neurol Neurosurg
Psychiatry. 2002;73(4):429–35.
18

13. Wingerchuk DM, Lucchinetti CF. Comparative immunopathogenesis of


acute disseminated encephalomyelitis, neuromyelitis optica, and multiple
sclerosis. Curr Opin Neurol. 2007;20(3):343–50.
14. Ropper, Allan H, Sammuels MA. Multiple Sclerosis and Other
Immflamatory Demyelinating Disease. In: Adam and Victor’s Principles
of Neurology. 10th ed. Boston, Massachusetts: Macgraw hills medical
education; 2014. p. 936–7.
15. Wingerchuk DM, Banwell B, Bennett JL, Cabre P, Carroll W, Chitnis T,
et al. International consensus diagnostic criteria for neuromyelitis optica
spectrum disorders. Neurology. 2015;85(2):177–89.
16. Paul F, Jarius S, Aktas O, Bluthner M, Bauer O, Appelhans H, et al.
Antibody to aquaporin 4 in the diagnosis of neuromyelitis optica. PLoS
Med. 2007;4(4):669–74.
17. Sellner J, Boggild M, Clanet M, Hintzen RQ, Illes Z, Montalban X, et al.
EFNS guidelines on diagnosis and management of neuromyelitis optica.
Eur J Neurol. 2010;17(8):1019–32.
18. Jarius S, Wildemann B, Paul F. Neuromyelitis optica: Clinical features,
immunopathogenesis and treatment. Clin Exp Immunol. 2014;176(2):149–
64.
19. Levy M. Plasmapheresis for acute attacks in neuromyelitis optica spectrum
disorders. 2018;0:4–6.
20. Wilhelm H, Schabet M. The Diagnosis and Treatment of Optic Neuritis.
Dtsch Aerzteblatt Online [Internet]. 2015;616–27. Available from:
https://www.aerzteblatt.de/10.3238/arztebl.2015.0616
21. Papadopoulos MC, Bennett JL, Verkman AS. Treatment of neuromyelitis
optica: State-of-the-art and emerging therapies. Nat Rev Neurol [Internet].
2014;10(9):493–506. Available from:
http://dx.doi.org/10.1038/nrneurol.2014.141
22. Huang, Tzu Lun, Lin Ku Hung,wang J. Treatment strategies for
neuromyelitis optica. Tzu Chi Med J. 2018;30(4):204–8.
23. Kim SH, Kim W, Park MS, Sohn EH, Li XF, Kim HJ. Efficacy and safety
of mitoxantrone in patients with highly relapsing neuromyelitis optica.
Arch Neurol. 2011;68(4):473–9.
24. Furlan JC. Autonomic dysreflexia following acute myelitis due to
neuromyelitis optica. Mult Scler Relat Disord [Internet]. 2018;23(April):1–
3. Available from: https://doi.org/10.1016/j.msard.2018.04.007
25. Nervus system disorder,neuromyelitis optica [Internet]. p. 134–43.
Available from: www.hopkinsmedicine.org
26. Nardone R, Zuccoli G, Brigo F, Trinka E, Fitzgerald RT. Seronegative
neuromyelitis optica presenting with life-threatening respiratory failure. J
Spinal Cord Med. 2016;39(6):734–6.
19

27. Huh SY, Kim SH, Hyun JW, Joung AR, Park MS, Kim BJ, et al.
Mycophenolate mofetil in the treatment of neuromyelitis optica spectrum
disorder. JAMA Neurol. 2014;71(11):1372–8.
28. Mealy MA, Kessler RA, Rimler Z, Reid A, Totonis L, Cutter G, et al.
Mortality in neuromyelitis optica is strongly associated with African
ancestry. Neurol Neuroimmunol NeuroInflammation. 2018;5(4).

Anda mungkin juga menyukai