I. DEFINISI
Devics disease atau Neuromyelitis optica (NMO) merupakan penyakit
idiopatik immunomediated demyelinating dan necrotizing yang dominan
mengenai saraf optik dan medula spinalis. NMO adalah penyakit neurologis yang
jarang terjadi, ditandai dengan terjadinya neuritis optik dan myelitis. Masih
kontroversial apakah Devics disease adalah varian dari multiple sclerosis atau
penyakit yang disebabkan oleh paparan virus varicella zoster yang menyebabkan
acute disseminated Encephalomyelitis (ADEM). NMO merupakan penyakit
radang demielinasi yang dapat diketahui dengan penanda serum, yaitu antibodi
IgG-NMO.(1)
II. ETIOLOGI
NMO adalah suatu penyakit inflamasi dari sistem saraf pusat dimana terdapat
episode inflamasi dan kerusakan pada myelin dimana secara khusus menyerang
N.II dan saraf tulang belakang atau dengan kata lain terjadi demielinasi pada
serabut saraf optik. Demielinasi adalah gejala robeknya (rusaknya) selubung
mielin pada neuron. Sebagian besar kasus NMO adalah idiopatik dengan proses
autoimun. Predisposisi yang utama termasuk penyakit pulmonar TB, SLE, infeksi
virus varicella, HIV.(2)
III.EPIDEMIOLOGI
Prevalensi devics disease (neuromielitis optika) adalah wanita sembilan kali
lebih banyak daripada pria. Median onsetnya berkisar umur 39 tahun dan dapat
juga terjadi pada anak-anak dan orang tua. Rentang onset untuk penyakit ini dari
umur 1 tahun hingga 72 tahun. Penyakit ini lebih sering pada orang Asia timur
dan non kulit putih lainnya di seluruh dunia. Jika penyakit ini dihubungkan
dengan multiple sclerosis, maka kebanyakan pasien dengan neuromielitis optika di
negara maju adalah orang berkulit putih.(3,4)
Jalur penglihatan dimulai pada retina dan terus melalui saraf optik ke chiasma
optik, kemudian berlanjut sebagai saluran optik ke corpus geniculatum laterale.
Radiasi optik muncul di corpus geniculatum laterale dan berakhir di daerah visual
primer (area 17) dan dearah visual sekunder (daerah 18, 19) dari lobus oksipital.
Serabut saraf dari jaringan retina bertemu pada diskus optik sebelum melanjutkan
melalui saraf optik ke chiasma optik, serabut yang berasal dari medial (hidung)
menyeberang ke sisi yang berlawanan. Serabut optic dari lateral langsung menuju
ke corpus geniculatum laterale sehingga pada setiap bola mata mengandung serat
saraf dari setengah retina temporal dan setengah retina nasal. Corpus geniculatum
laterale adalah tempat bermuara dari keempat serabut optik. Serat aferen yang
membentuk radiasi optik, yang berakhir di korteks visual (korteks striate) dari
lobus oksipital. Fovea centralis merupakan daerah yang memiliki representasi
kortikal terbesar. Jalur visual terhubung dengan inti otak tengah (bagian medial,
lateral, dan dorsal dari inti terminal wilayah pretectal, colliculus superior), daerah
kortikal nonvisual (somatosensori, premotor, dan pendengaran), otak kecil, dan
pulvinar (bagian posterior thalamus).(6)
V. PATOGENESIS
Neuromyelitis optica (NMO) adalah penyakit inflamasi dari sistem saraf pusat
(SSP) ditandai dengan serangan parah neuritis optik dan myelitis. Awalnya NMO
dianggap sebagai bentuk khusus dari multiple sclerosis (MS), namun ternyata
berbeda. NMO adalah penyakit sel B-dimediasi terkait dengan anti aquaporin-4
antibodi dalam banyak kasus. Bukti pengikatan antibodi, aktivasi komplement,
dan infiltrasi eosinofilik dapat memberi kesimpulan bahwa NMO adalah penyakit
humoral, sedangkan MS merupakan proses mekanisme seluler. Hal ini diperkuat
oleh dengan ditemukannya antibodi IgG serum pada kapiler dalam batang otak
dan otak kecil. Telah dilaporkan bahwa penanda antibodi ini ditemukan dalam
setengah dari kasus neuromyelitis optica dan tidak ada dalam kasus MS. Penilaian
prevalensi menunjukkan bahwa NMO jauh lebih jarang dibanding MS.(7)
Gambaran patologis NMO telah lama diketahui. Pada fase akut, sumsum
tulang belakang mengalami pembengkakan secara difus dan perlunakan pada
multipel segmen dan kadang-kadang mengenai seluruh perpanjangan neuronnya.
Pemeriksaan histopatologi menunjukkan nekrosis dari kedua subtansia alba dan
grisea dengan infiltrasi makrofag terkait dengan kehilangan akson dan myelin
serta inflamasi perivaskular. Pada kasus kronik terjadi atrofi dan kavitasi dari
segmen sumsum tulang belakang dan saraf optik yang terlibat dengan ditandai
gliosis dan degenerasi kistik. Pada area yang mengalami nekrosis, dinding kapiler
menebal dan mengalami hyalinisasi. Dalam lesi aktif akut terdapat infiltrasi
makrofag yang luas, banyak limfosit B dan beberapa Sel T CD3 + dan CD8 +,
biasanya berhubungan dengan eosinophilik dan infiltrat perivaskular granulosit.(3)
Kehilangan penglihatan
Sentral skotoma
Umumnya terjadi nyeri mata
Kehilangan penglihatan warna (akromathopsia)
Diskus optikus bisa didapatkan membengkak dan kemerahan pada
funduskopi jika area diemilinisasi inflamasi terletak langsung dibelakang
VII.
PEMERIKSAAN KLINIK
sindrom penyakit demielinasi akut yang parah dan fulminan. Terdapat lesi
demielinasi yang luas dari kedua belahan otak dengan berbagai tingkat
cedera aksonal.(10)
Kriteria diagnostik ditetapkan oleh Poser: (10)
Satu atau dua plak yang lebih dari 2 cm diameter dan simetris.
Tidak ada lesi lain yang timbul dan tidak ada kelainan sistem saraf
perifer.
Hasil fungsi ginjal dan serum asam lemak rantai panjang normal.
Hasil pemeriksaan patologi myelinoclastic sclerosis diffuse yakni
subakut atau kronis.
Gejala klinis yang dapat timbul dari penyakit ini adalah: (10)
mungkin terjadi.
Malnutrisi dan cachexia umumnya dilaporkan pada tahap kronis penyakit.
Pemeriksaan serum asam lemak rantai panjang dan fungsi ginjal harus
normal
EEG: kelainan seperti lateralisasi periodik epileptiform discharge
menyarankan
diagnosis
alternatif
SSPE
atau
rubella
progresif
panencephalitis.
Punksi lumbal :
CSF mungkin normal atau mungkin berisi limfosit dan monosit.
Ringan sampai moderat elevasi protein CSF sering ditemukan.
Peningkatan IgG CSF ditemukan dalam 50-60% kasus.
herpes.
MRI: menunjukkan satu atau dua lesi besar terimpit di dalam substantia
alba, biasanya pada centrum semiovale. Lesi tambahan di otak atau
sumsum tulang belakang dapat diartikan multiple sclerosis, acute
IX. PENATALAKSANAAN
Terapi kortikosteroid intravena (metilprednisolon) 1 gram/hari untuk 3 sampai
5 hari, dengan atau tanpa penurunan dosis berkala prednison oral, dari 1
mg/kg/hari untuk 11 hari umumnya merupakan pengobatan awal untuk serangan
akut neuritisoptik atau myelitis. Pada pasien yang tidak segera tanggap terhadap
pengobatan kortikosteroid, dapat dilakukan terapi plasmapheresis sebanyak 7 kali
(1,0-1,5 volume plasma setiap pertukaran) selama 2 minggu. Dalam serangkaian
observasi dari 6 pasien dengan neuromyelitis optica, 50% tingkat respon klinis
yang baik dilaporkan ketika plasmapheresis digunakan untuk mengobati pasien
dengan serangan yang refrakter terhadap terapi kortikosteroid.(3,4,7,11,12)
Inisiasi dini plasmapheresis dianjurkan, terutama untuk pasien dengan
neuromielitis optika dengan mielitis serviks parah, yang beresiko tinggi untuk
gagal napas neurogenik. Plasmapheresis juga baik untuk pasien dengan
kehilangan penglihatan akut yang memiliki neuritis optik dan refrakter terhadap
terapi kortikosteroid. Sebagian besar pasien dengan neuromielitis optika
didiagnosis dengan progresif multipel sklerosis parah dan diobati dengan terapi
imunomodulator yang dipercaya dapat mengurangi frekuensi kambuh pada
multipel sklerosis (misalnya, interferon beta dan glatiramer asetat). Namun
DAFTAR PUSTAKA
1. Aminoff MJ, Greenbarg DA, Simon RP. Neuromyelitis Optica. In: Goetz
CG, editor. Textbook of Clinical Neurology.3rd edition. San Francisco:
McGraw-Hills; 2005. p. 1-4.
2. Eggenbegger ER. Devic's Disease (NeuromyelitisOptica). Michigan: East
Lansing.
3. Wingerchuck DM. Lennon VA, Lucchinetti CF, Pittock SJ, Weinshenker
BG. The spectrum of neuromyelitisoptica. Lancet neurology. 2005.(6)
p.805-15.
4. Marco AL, Peixoto. Devics Neuromyelitis Optica. Arq Neuropsiquiatr.
2008. p.120-138.
5. Kahle W, Frotscher M. Visual Pathway and Ocular Reflex. In: Kahle W,
Frotscher M, editors. Color Atlas of Human Anatomy.3rd edition. New
York: Thieme. 2003. p. 354.
10
11