Anda di halaman 1dari 35

REFERAT NEUROIMAGING

PERAN MRI PADA BEDAH EPILEPSI

Oleh :
dr Harun Nurdiansah Ahmad
2071062005
Pembimbing
Dr. dr. Anna Marita Gelgel, Sp. S (K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS/PPDS


KSM/DEPARTEMEN NEUROLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA/RSUP SANGLAH
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadapan Allah S.W.T Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-
Nyalah tinjauan pustaka yang berjudul “Peran MRI Pada Epilepsi Surgery ” ini dapat saya
selesaikan.Tinjauan pustaka ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
pendidikan PPDS1 di bagian Ilmu Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah Denpasar.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. dr I Made Oka Adnyana, Sp S (K) selaku Kepala Departemen Neurologi
FK UNUD/ RS Sanglah
2. Dr. dr. I Putu Eka Widyadharma, M.Sc, Sp.S(K) selaku Ketua Program Studi
Neurologi FK UNUD/RS Sanglah
3. Dr. dr. Anna Marita Gelgel, Sp. S (K) selaku pembimbing dalam menyusun refarat
ini
4.Teman-teman PPDS-1 Neurologi yang telah banyak membantu penulisan tinjauan
pustaka ini
Tinjauan pustaka ini dibuat berdasarkan panduan dari beberapa sumber baik berupa
buku, e-book dan jurnal yang terkait dengan materi Neuroimaging. Penulis menyadari dalam
referat ini masih banyak sekali keterbatasan, sehingga kritik dan saran dari pembaca, para
guru pembimbing dan penguji akan sangat membantu guna penyempurnaan kedepannya.
Akhir kata penulis ucapkan banyak terima kasih dan besar harapan penulis agar referat
Neuroimaging peran Peran MRI Pada Epilepsi Surgery ini dapat menjadi alat bantu dalam
mempelajari bidang ilmu Neuroimaging

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................... i
DAFTAR ISI.............................................................................................................. ii
DAFTAR GAMBAR................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................... 3
2.1 Epilepsi................................................................................................................. 3
2.2 Magnetic Resonance Imaging Untuk Evaluasi Bedah Epilepsi................................... 8
2.2.1 Landmark-landmark dari pemeriksaan MRI otak ..................................... 9
2.2.2 Teknis Pemeriksaan MRI .......................................................................... 9
2.3 Magnetic Resonance Spectroscopy.......................................................................... 19
2.4 Image Post processing.......................................................................................... 20
2.5 Mini Atlas Typical Epileptogenic Lesions................................................................ 26
BAB III SIMPULAN................................................................................................. 29
DAFTAR PUSTAKA

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Protokol MRI epilepsy yang digunakan di klinik Cleveland.................... 10


Gambar 2 Gambar Axial T2-weighted, Flair dan Gradient echo............................... 11
Gambar 3 Gambar MRI FLAIR ................................................................................ 11
Gambar 4 Perbandingan antara 1.5 T dan 3 T MRI .................................................. 15
Gambar 5 MRI dengan surface coil........................................................................... 16
Gambar 6 MRI pada anak dengan tuberous sclerosis................................................ 18
Gambar 7 Lesi eplieptogenik di hemisfer.................................................................. 19
Gambar 8 Focal MCD................................................................................................ 20
Gambar 9 porencephaly dan encephalomalasia......................................................... 21
Gambar 10 MTS......................................................................................................... 22
Gambar 11 Tumor dan hamartromas......................................................................... 23
Gambar 12 pasien dengan pharmakoresisten............................................................. 29
Gambar 13 pasien dengan Frontal lobe sindrom........................................................

iii
BAB I
PENDAHULUAN
Epilepsi merupakan salah satu kondisi patologis pada otak yang diderita oleh lebih
dari 70 juta penduduk di dunia. Epilepsi ditandai dengan adanya predisposisi menetap dari
kejang epilepsi spontan. Epilepsi merupakan masalah serius dalam bidang neurologi karena
memiliki dampak pada aspek neurobiologis, kognitif, serta psikososial. Epilepsi didefinisikan
sebagai: dua kali kejang tanpa provokasi yang terjadi dalam jangka waktu lebih dari 24 jam;
satu kali kejang tanpa provokasi dengan risiko rekurensi tinggi (contoh: lebih dari 60% dalam
10 tahun); atau telah terdiagnosis dengan sindrom epilepsy. Epilepsi dapat diklasifikasikan
berdasarkan tipe kejang, tipe epilepsi, serta etiologi dan sindrom epilepsy.1
Berdasarkan data yang diperoleh dari World Health Organization (WHO) tahun
2015, sekitar 50 juta orang di seluruh dunia mengalami epilepsi, dan menjadikannya salah
satu penyakit neurologis yang paling umum secara global.Secara keseluruhan insiden epilepsi
pada negara maju berkisar antara 40-70 kasus per 100.000 orang per tahun. Di negara
berkembang, insiden berkisar antara 100-190 kasus per 100.000 orang per tahun. Prevalensi
dari epilepsi bervariasi antara 5-10 kasus per 1.000 orang. Beberapa penelitian di negara-
negara berpenghasilan rendah dan menengah menunjukkan bahwa proporsi yang jauh lebih
tinggi, antara 7 dan 14 per 1000 orang.1,4
Diagnosis epilepsi biasanya ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis. Pemeriksaan
penunjang dapat berupa electroencephalography (EEG) sebagai alat diagnostic utama, serta
magnetic resonance imaging (MRI).5
Pasien dengan epilepsi yang resistan terhadap obat memiliki kemungkinan yang
rendah untuk bebas dari kejangnya dengan penggunaan obat Anti Epilepsy Drugs (AED),
dokter yang merawat pasien tersebut harus mempertimbangkan sejak dini apakah pasien
tersebut mungkin menjadi kandidat untuk operasi epilepsi.5,6
Penegakan diagnosis intraktabel epilepsy sendiri memerlukan pemeriksaan yang
cermat dan komprehensif serta sistematis. Dokter harus terlebih dahulu meninjau diagnosis
epilepsi, jenis epilepsy, tipe bangkitan serta frekuensinya. Mereka kemudian harus menilai
perawatan yang direncanakan, bagaimana terapi diberikan, dan apakah ada faktor-faktor lain
yangdapat berkontribusi pada kurangnya kontrol bangkitan. Kemudian, mereka harus
menentukan AED mana yang gagal dan mengapa. Jika terdapat alasan selain resistensi atau
intoleransi obat, mereka harus ditangani terlebih dahulu sebelum sampai pada diagnosis

1
intractable epilepsi. Pendekatan sistematis ini sangat penting ketika operasi sedang
dipertimbangkan sebagai pilihan terapi berikutnya.5
Dalam evaluasi praoperasi intraktebel epilepsi, salah satu pilihan noninvasive yang
direkomendasikan adalah pemeriksaan MRI, sangat penting mendeteksi dan menggambarkan
lesi MRI secara akurat. Menemukan lesi yang sebelumnya tidak terdeteksi dapat secara
drastis mengubah perencanaan praoperasi dan hasil pembedahan. Kurangnya lesi pada MRI
secara konsisten telah ditunjukkan sebagai prediktor untuk kegagalan bedah epilepsi.
Sebaliknya, kandidat bedah epilepsy dengan hasil MRI yang jelas terdapat kelainan dua kali
lebih mungkin untuk menjadi bebas kejang setelah operasi epilepsi daripada MRI negative.5

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 EPILEPSI

2.1.1 Definisi

Epilepsi merupakan salah satu kondisi patologis pada sistem saraf. Epilepsi ditandai dengan
adanya kecenderungan untuk menimbulkan bangkitan epileptic yang terus menerus, dengan adanya
konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial. Epilepsi dapat didefinisikan sebagai
berikut: 1,2
a. Setidaknya ada dua kejang tanpa provokasi atau dua bangkitan refleks yang berselang
lebih dari 24 jam.
b. Satu bangkitan tanpa provokasi atau satu bangkitan reflek dengan adanya kemungkinan
bangkitan berulang dengan risiko rekurensi sama dengan dua bangkitan tanpa provokasi
(setidaknya 60%), yang dapat timbul hingga 10 tahun ke depan (Bangkitan refleks adalah
bangkitan yang muncul akibat induksi oleh faktor pencetus tertentu seperti stimulasi
visual, auditorik, somatosensitif, dan somatomotorik).
c. Dapat ditegakkannya diagnosis sindrom epilepsi.

2.1.2 Epidemiologi

Terdapat sekitar 50 juta penduduk di dunia menderita epilepsi, dimana hal itu mengindikasikan
bahwa epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologi tersering di dunia. Diperkirakan 80% dari
penderita epilepsi tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Di Indonesia, prevalensi
kasus epilepsi sebanyak 8,2 per 1000 penduduk dengan angka insiden mencapai 50 per 100.000
penduduk. Berdasarkan penelitian karakteristik pasien epilepsi di RSUP Sanglah Denpasar, rata-rata
usia pasien epilepsi adalah 35 tahun. Jenis bangkitam yang sering terjadi adalah bangkitan umum. 1,4

2.1.3 Etiologi

Terdapat banyak mekanisme penyakit yang dapat mendasari terjadinya epilepsi. 50% dari kasus
epilepsi secara global tidak memiliki sebab yang pasti. Etiologi epilepsi dapat berupa struktural,
genetik, infeksi, metabolik, imunitas, serta idiopatik. Beberapa etiologi yang sering menyebabkan
epilepsi adalah:2,7
a. Kerusakan otak sejak prenatal atau perinatal (contoh: kekurangan oksigen atau trauma saat
lahir, berat bayi lahir rendah);
b. Abnormalitas kongenital atau kondisi genetik yang diasosiasikan dengan malformasi otak;
c. Cedera kepala berat;

3
d. Stroke yang menghambat aliran oksigen ke otak;
e. Infeksi pada otak seperti meningitis, ensefalitis, atau neurosistiserkosis.
f. Sindrom genetik khusus;
g. Tumor otak.

2.1.4 Patofisiologi

Proses epileptogenesis terjadi akibat adanya perubahan pada otak yang non-epileptik sehingga
dapat memproduksi bangkitan spontan dan berulang. Proses tersebut dinyatakan sebagai hasil dari
ketidakseimbangan aktivitas eksitasi dan inhibisi pada jaringan neuron, sehingga menyebabkan sistem
berfungsi secara berlebihan, hipersinkron, dan berosilasi serta akhirnya mengganggu proses induksi
sistem saraf normal. Ketidakseimbangan eksitasi dan inhibisi pada jaringan epileptogenetik juga dapat
berupa peningkatan inhibisi sehingga menyebabkan proses epileptogenik tanpa kejang atau epilepsi
limbik di otak yang belum matang. Pada epilepsi umum, jaringan epileptogenik tersebar luas dan
melibatkan struktur thalamokortikal secara bilateral. Sedangkan pada epilepsi fokal, jaringan
epileptogenic melibatkan sistem saraf unilateral, umumnya pada sistem limbik atau neurokortikal.
Epilepsi umum kebanyakan memiliki dasar genetik, sedangkan epilepsi fokal dinilai lebih sering
diawali oleh kelainan struktur otak.7
Proses patofisiologi epilepsi dengan kelainan struktural belum sepenuhnya dimengerti. Proses
kejang dihasilkan dari aktivitas abnormal pada neuron kortikal, serta secara sekunder dapat terjadi
pada sel glial dan akson pada substantia alba. Teori mengenai proses epileptogenik kebanyakan
dipelajari dari penelitian pada hewan, dimana ditemukan adanya zat-zat prekonvulsan, stimulasi
listrik, atau cedera otak traumatik. Salah satu temuan lesi epileptogenik adalah pada kasus mesial
temporal sclerosis. Temuan patologis yang ditemukan adalah hilangnya neuron eksitasi dan inhibisi
pada bidang tertentu, adanya percabangan akson dan reorganisasi sinaptik, serta perubahan pada
fungsi dan struktur sel glial. Perubahan-perubahan tersebut diakibatkan oleh adanya kerusakan otak
yang menganggu keseimbangan pada sirkuit limbik sehingga akhirnya menyebabkan bangkitan. 7,10

2.1.5 Klasifikasi

Epilepsi yang terklasifikasi merupakan kunci untuk klinisi mengevaluasi individu yang
memperlihatkan tanda kejang dan juga untuk menentukan pemilihan obat antiepilepsi yang sesuai.
Epilepsi dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tipe, sebagai berikut : 11,13
2.1.5.1 Umum
Biasanya memiliki gambaran taji-dan-gelombang (spike-wave) pada elektroensefalogram.
Diagnosis dibuat atas dasar klinis dan didukung oleh hasil dari pelepasan elektroensefalogram
interiktal. Jenis-jenis kejang pada epilepsi umum dapat berupa kejang absans, mioklonik, atonik,
tonik, dan tonik-klonik.

4
2.1.5.2 Fokal
Epilepsi fokal termasuk gangguan unifokal dan multifokal serta kejang yang melibatkan salah
satu hemisfer. Diagnosis dibuat atas dasar klinis dan didukung oleh hasil elektroensefalogram dengan
hasil elektroensefalogram interiktal biasanya menunjukkan kelainan epileptiform fokal. Jenis epilepsi
fokal dapat dibagi menjadi kejang fokal dengan kesadaran intak, kejang fokal dengan kesadaran
terganggu, kejang fokal motorik, kejang fokal non-motorik, serta kejang fokal menjadi bilateral tonik-
klonik.
2.1.5.3 Kombinasi Umum dan Fokal
Terdapat beberapa individu dengan tipe kejang kombinasi. Diagnosis ditentukan berdasarkan
temuan klinis dan didukung hasil elektroensefalogram, namun hasil elektroensefalogram interiktal
kurang esensial. Contoh dari tipe epilepsi umum-fokal dimana kedua jenis kejang terjadi adalah
sindrom Dravet dan sindrom Lennox-Gastaut.
2.1.5.4 Tidak dapat Diklasifikasikan
Epilepsi yang tidak dapat diklasifikasikan atau istilah “unknown” digunakan untuk individu
yang memiliki epilepsi tetapi dokter tidak dapat menentukan tipe epilepsi yang dialami, apakah fokal
atau umum, karena kurangnya informasi dan penunjang yang tesedia. Contoh dari tipe yang tidak
dapat diklasifikasikan adalah ketika pasien mengalami kejang tonik-klonik simetris tanpa gejala fokal,
tetapi dengan gambaran EEG yang normal.

2.1.6 Diagnosis

Diagnosis epilepsi ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan neurologis, serta
pemeriksaan penunjang. Anamnesis dapat dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dari
orang tua atau saksi yang melihat terjadinya bangkitan. Penting untuk menanyakan gejala dan tanda
sebelum, selama, dan pasca bangkitan seperti kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan
terjadi bangkitan, adanya aura atau gejala yang dirasakan, pola bangkitan, serta gejala pasca bangkitan
atau post-iktal. Faktor pencetus seperti kelelahan, kurang tidur, faktor hormonal, stres psikologis, dan
konsumsi alcohol juga penting untuk ditanyakan. Mengenai riwayat bangkitan, dapat ditanyakan
mengenai usia awitan, durasi dan frekuensi bangkitan, kesadaran antar bangkitan, serta terapi epilepsi
sebelumnya dan respon terhadap obat anti epilepsi (OAE) sebelumnya. Riwayat penyakit, riwayat
trauma, serta riwayat keluarga juga penting untuk ditanyakan pada anamnesis. 2,5
Pemeriksaan fisik umum dilakukan untuk mencari tanda gangguan yang berkaitan dengan
epilepsi yaitu trauma kepala, tanda infeksi, kelainan kongenital, kecanduan alkohol atau NAPZA,
kelainan pada kulit (neurofakomatosis), dan tanda keganasan. Pemeriksaan neurologis dilakukan
untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang dapat berhubungan dengan
epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit setelah bangkitan maka akan tampak tanda pasca
bangkitan terutama tanda fokal yang tidak jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi, seperti Todd’s

5
paresis, gangguan kesadaran pascaiktal, atau afasia pascaiktal. Selain itu dilakukan pemeriksaan
fungsi luhur pada pasien.5,12
Pemeriksaan penunjang dapat berupa pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi, dan
elektrodiagnosis. Pemeriksaan laboratorium terdiri atas hematologi lengkap, fungsi ginjal, fungsi hati,
profil lipid, gula darah, faal hemostasis, kimia darah, dan elektrolit. Lumbal pungsi dan EKG juga
dapat dilakukan. Adapun pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan adalah rontgen thoraks, BMD,
dan MRI. Elektrodiagnosis terdiri atas EEG rutin, EEG deprivasi tidur, dan EEG monitoring.
Diagnosis banding dari epilepsi dapat berupa sinkop, bangkitan non-epileptik psikogenik, aritmia
jantung, serta sindroma hiperventilasi atau serangan panik. 2

2.1.7 Tatalaksana

Ketika diagnosis epilepsi atau kejang telah ditegakkan, langkah selanjutnya adalah menentukan
terapi yang tepat. Ketika terdiagnosis epilepsi, pasien biasanya diberikan obat-obatan untuk mencegah
kejang. Jika terapi farmakologis tidak berhasil, dapat dilakukan operasi, diet khusus, terapi
komplementer, atau stimulasi nervus vagus. Tujuan terapi adalah untuk mencegah kejang
berkelanjutan, mencegah efek samping, serta memperbaiki kualitas hidup pasien. 1
Obat anti epilepsi (OAE) merupakan terapi utama dalam tatalaksana kejang dan epilepsi.
Keputusan untuk memulai OAE dipilih berdasarkan rekurensi dan jenis kejang, serta memiliki efek
samping minimal bagi pasien (Goldenberg, 2010). OAE dapat digolongkan berdasarkan struktur
kimiawi sebagai berikut: 1,2,5
a. Golongan Hidantoin
Fenitoin efektif untuk kejang parsial dan kejang umum tonikklonik. Sedangkan mefenitoin
dan etotoin mengobati kejang umum tonik-klonik dan kejang parsial dengan memiliki
metabolisme yang tersaturasi dalam rentang dosis terapeutik berkisar 5 mcg/mL hingga 16
mcg/mL.
b. Golongan Barbiturat
Fenobarbital merupakan obat pilihan pertama untuk kejang neonatal dan dapat digunakan
untuk kejang umum tonik-klonik dan kejang parsial. Contoh lain ialah primidon untuk
bangkitan parsial kompleks dan umum tonik-klonik.
c. Golongan Oksazolidindion
Contoh dari golongan oksazolidindion ialah trimetadion yang digunakan sebagai
antiepilepsi tipe absans namun sudah jarang digunakan.
d. Golongan Suksinimid
Etosuksimid digunakan sebagai obat pilihan pertama untuk kejang tipe absans. Obat ini
memiliki sedikit efek samping, termasuk salah satunya adalah tidak adanya gangguan
kognitif. Etosuksimid efektif pada bangkitan mioklonik dan bangkitan akinetic.

6
e. Karbamazepin
Karbamazepin digunakan sebagai pilihan pertama untuk pasien yang baru terdiagnosis
epilepsi parsial, setelah berusia 2 tahun.
f. Golongan Benzodiazepin
Diazepam sangat efektif untuk menghentikan aktivitas kejang kontinu, terutama status
epileptikus umum tonik-klonik. Klonazepam efektif terhadap kejang absans, kejang
mioklonik dan spasme infantil. Nitrazepam dapat digunakan untuk aritmia, spasme infantil
dan bangkitan mioklonik namun lebih efektif dengan klonazepam.
g. Asam Valproat
Asam valproat digunakan untuk terapi epilepsi tonik-klonik umum, terutama yang primer
dan kurang efektif terhadap epilepsi fokal.
h. Antiepilepsi Lain
Seperti fenasemid, vigabatrin, lamotrigin, gabapentin, topiramat, tiagabin, zonisamid, dan
levetirasetam.
Pilihan OAE pada pasien berdasarkan tipe kejang dapat dilihat pada tabel berikut
Tabel 2.1. Obat Anti Epilepsi

Terapi non-farmakologis dapat berupa fisioterapi, psikoterapi, dan Cognitive Behavioral


Therapy (CBT). Sedangkan Tindakan intervensi atau operatif yang dapat dilakukan ketika tatalaksana
lain tidak berhasil adalah hipokampektomi, amigdalohipokampektomi, temporal lobektomi, serta
lesionektomi.

7
2.1.8 Drug Resistant Epilepsi

Penegakan diagnosis dan penentuan jenis epilepsy dan bangkitannya, akan memberikan
pemilihan terapi OAE untuk masing masing pasien, akan tetapi meskipun dengan pemberian OAE
yang tepat masih banyak factor lain yang berkontribusi terhadap tidak terkontrolnya bangkitan serta
resistensi pada OAE. Antara lain adalah kesalahan dosis, interaksi obat, buruknya kepatuhan pasien
dalam mengkonsumsi OAE serta lifestyle pasien sendiri. 1,2,5

Setelah kemungkinan pseudoresisten terhadap OAE telah disingkirkan, seorang klinisi harus
menghadapi manajemen terhadap pasien dengan drug resisten epilepsy. Menurut International League
Againt Epilepsy (ILAE) drug resisten epilepsy didefinisikan sebagai gagalnya seseorang mendapatkan
bebas kejang meskipun telah diterapi dengan menggunakan jenis dan regimen OAE yang sesuai
dengan tipe bangkitannya ( baik secara monoterapi maupun kombinasi). Bebas dari bangkitan yang
dimaksud disini adalah bebas dari semua tipe bangkitan, baik besar maupun kecil sesuai dengan
persepsi pasien, caregiver, dan klinisi. Bebas kejang harus tercapai setidaknya satu tahun atau tiga kali
dari waktu bebas kejang yang pernah di alami pasien. 1,2,5

Beberapa factor dapat digunakan untuk memperikrakan adanya resistensi terhadap OAE,
sehingga klinisi dapat mengindentifikasi benefit dari evaluasi operasi. Diantaranya adalah onset dari
epilepsy (<1 tahun atau >12 tahun), bangkitan neonatal, bangkitan fokal atau beberapa jenis
bangkitan, tingginya frekuensi bangkitan, MRI kepala yang menunjukan Hippocampal atrofi, kortikal
dysplasia, deficit neurologi, gagalnya terapi dual OAE dengan dosis menengah hingga tinggi. 1,2,5

2.2 Pemeriksaan Imaging Pada Epilepsi

Pemeriksaan penunjang imaging pada pasien epilepsy yang dapat dilakukan adalah USG
kepala yang umumnya dilakukan pada pasien bayi, CT scan kepala dimana peran ct scan kepala
sendiri digunakan untuk pemeriksaan screening awal pada pasien epilepsy, positron emission
tomography (PET) dan single photon emission computed tomography (SPECT) yang digunakan untuk
mengidentifikasi atau mengkonfirmasi fokus iktal dalam persiapan pembedahan dan untuk
menyelidiki patofisiologi gangguan kejang parsial dan umum, dan pemeriksaan Magnetic Resonance
Imaging (MRI) otak saat ini merupakan alat terbaik yang tersedia untuk identifikasi lesi
epileptogenik. Ini memberikan dua detail penting dari lesi patologi dugaan dan lokasi anatomi yang
tepat. Kontras jaringan lunak yang kuat dari MRI membuatnya sangat cocok untuk mengidentifikasi
bahkan kelainan struktural yang paling halus seperti displasia kortikal yang sering dikaitkan dengan
epilepsi refrakter. Pada tinjauan Pustaka kali ini penulis akan membahas peran MRI pada bedah
Epilepsi 5,10

8
Sebelum ditemukannya modern neuroimaging, kandidat untuk dilakukan nya bedah epilepsy
dilakukan berdasarkan semiology kejang, pemeriksaan neurologi dan EEG. Pada mulanya
pemeriksaan EEG sangat penting untuk mengetahui area area epileptogenic yang kemudian
berdsarkan area area epileptogenic zone tersebut dilakukan reseksi otak dan pemeriksaan
histopatologi. Dengan berkembangnya pemeriksaan MRI pemeriksaan neuroinvasive tidak diperlukan
pada berbagai kasus, sehingga kandidat bedah epilepsy memiliki postsurgical outcome yang lebih
baik. 5,12

2.2.1 Landmark-Landmark Dari Pemeriksaan MRI Otak

Lesi Epileptogenik pada pasien dengan refractory epilepsy umumnya terkait dengan Mesial
Temporal Sclerosis (MTS), malformation dari perkembangan korteks, ensefalomalasia,
perkembangan tumor otak, hematoma, dan malformasi vascular. Lokasi dan besarnya lesi akan
berperan penting pada patologi. Lokasi anatomis pada lesi akan memiliki peran yang penting terkait
jenis sindrom epilepsy yang dapat muncul. Diperlukan pemeriksaan tiga dimensi dari MRI untuk
mendapatkan interpretasi lesi yang tepat terkait dengan strategi bedah epilepsy yang akan dilakukan. 5

Lokasi yang paling sering menjadi area bedah otak adalah lobus temporalis. Beberapa area
penting lain dari korteks serebri terkait dengan bedah epilepsy adalah area primary motor korteks,
area Broca, area Wernickle, dan area visual korteks. Meskipun pemeriksaan MRI sudah dapat
memberikan informasi yang adekuat terhadap lokasi-lokasi tersebut namun pemeriksaan Functional
magnetic resonance imaging (fMRI) dapat memberikaan informasi tambahan, utamanya pada lesi
yang terjadi di usia muda atau anatomi tersebut mengalami kelainan akibat lesi. 5

2.2.1.1 Lobus Temporal

Epilepsi lobus temporal dikategorikan sebagai mesial temporal epilepsy (MTE) dan lateral
temporal epilepsy sindrom berdasarkan origin dari anatomi gelombang epileptogenic. Lobus temporal
berdasarkan permukaan luarnya terletak superior dari lobus frontal dan fisura sylvian. Batas posterior
dari lobus temporal adalah garis imaginer dari area preoccipital di basal lobus temporal menuju
superior sulkus parietooccipital. Pada areal lateral temporal region terdiri dari tiga girus utama yaitu
superior, middle dan inferior girus temporal yang dibatasi oleh superior dan inferior sulkus temporal.
Terdapat dua girus di basal aspect, yang di lateral terletak fusiform atau occipitotemporal girus dan
yang medial terletak parahippocampal girus (PHG). Girus fusiform dibatasi lateral oleh inferior
temporal girus oleh lateral occipitotemporal sulkus dan dibatasi medial oleh PHG oleh sulkus
collateral. Struktur ini dinamakan Mesial Temporal Struktur . 5,9,1

9
2.2.2 Teknis Pemeriksaan MRI

Mayoritas center menggunakan 1.5 T MRI untuk imaging rutin dan evaluasi refractory partial
epilepsy. 3T MRI saat ini sudah mulai menyebar dan semakin sering digunakan untuk imaging
protocol epilepsy. Kebanyakan MRI studi untuk evaluasi epilepsy menggunakan potongan sagittal
T1-Weighted spin-echo acquisition sebagai gambaran terhadap urutan irisan selanjutnya tergantung
dari informasi zona epileptogenic. Umumnya terdapat dua protocol imaging epilepsy yang digunakan
5
yaitu temporal lobe protocol dan extratemporal lobe protocol.

Gambar 1. Protokol MRI epilepsy yang digunakan di klinik Cleveland

Pada umumnya, T1-weighted (short repetition time [TR], short echo time [TE]) gambarnya
digunakan untuk mengetahui anatomi, dan T2-weighted (long TR dan long TE) digunakan untuk

10
mendeteksi gangguan patologis di otak. Gambar T2-weighted memberikan kontras yang baik antara
cerebral spinal fluid (CSF) dan jaringan parenkim otak dan jaringan dengan mengguanak T2
relaxation time. Pemeriksaan 180 0 pulse yang digunakan pada gambar FSE T2 akan menurunkan
artifact yang dapat muncul pada CSF, antara tulang dan CSF, dan benda metalik lain. Namun efek
tersebut akan membuat sulitnya memvisualisasi produk darah dibandingkan konvesional spin-echo
imaging.5

Gambar 2. Axial T2-weighted (A), FLAIR (B), and gradient-echo images (C) show multiple cavernomas. Gradient-echo sequence reveals
additional lesion in right frontal region (arrow) that is inconspicuous on T2 and FLAIR images.

Gambar FLAIR meningkatkan deteksi lesi dengan menekan sinyal CSF dan menonjolkan
sinyal lesi dengan waktu relaksasi T1 dan T2 yang relatif singkat. Fast FLAIR menggabungkan
persiapan 180 derajat pulse dan waktu inversi sebelum urutan TR/TE FSE panjang untuk meniadakan
intensitas sinyal CSF. Oleh karena itu, ia memiliki keunggulan spesifik dibandingkan T2 untuk lesi di
antar otak-CSF, yaitu, lokasi korteks periventrikular dan subpial, karena sinyal CSF tampak gelap.
Pada MTS, sinyal hiperintens di hipokampus dapat dikaburkan oleh CSF hiperintens di kornu
temporal pada sekuens T2. FLAIR, dengan menekan sinyal CSF, menonjolkan kelainan di wilayah
hipokampus. Meskipun FLAIR sering dianggap sebagai "gambar berbobot T2-weighted dengan CSF
gelap," sequence FLAIR menyebabkan apa pun dengan waktu relaksasi T1 dan T2 yang relatif
pendek menjadi hiperintens pada gambar FLAIR. Beberapa dari lesi ini bisa tidak terlihat pada
pemeriksaan T2 saja. Perbandingan langsung dari T2 dan FLAIR memperjelas bahwa lesi yang
terlihat pada kedua set gambar seringkali lebih banyak pada FLAIR cepat. Lesi yang lebih baik
divisualisasikan oleh FLAIR cepat termasuk hiperintensitas halus yang mengaburkan persimpangan
abu-abu-putih MCD, fokus subkortikal hiperintensitas gliotik di area ensefalomalasia, dan tingkat
infiltrasi low grade neoplasma. 5,12,13

11
Gambar 3. MRI to demonstrate superior visualization of subcortical hyperintensity associated with focal cortical dysplasia on FLAIR
sequence. The dysplastic region in the left frontal region, nearly invisible on the T2-weighted image (A), is conspicuous (arrow) on the
FLAIR image (B)

Gambaran FLAIR memiliki keterbatasannya sendiri diantaranya: (i) Artefak gerak karena
pulsasi CSF, seringkali lebih mencolok di sisterna basilar, dapat mengaburkan regio temporal medial.
Sequence T2 cepat lebih baik di bandingkan FLAIR dalam hal ini korelasi dengan T2 diperlukan
untuk menghindari kesalahan bacaan. (ii) Penekanan kontras antara gray matter dan white matter
dapat mengaburkan visualisasi foci kecil gray matter heterotopic tanpa korelatif pulse sequence. (iii)
Deteksi perdarahan sebelumnya terbatas dengan gambar FLAIR cepat dan T2 cepat (iv) Kontras pada
FLAIR cepat kurang baik pada anak-anak (<2 tahun)dikarenakan white matter yang belum
berkembang. Anak-anak normal dalam kelompok usia ini menunjukkan fokus hiperintensitas yang
tidak merata di subkortikal dan kadang-kadang materi putih periventrikular yang dapat disalahartikan
sebagai abnormal. Pada usia ini penggunaan gambar Conventional spin density lebih
direkomendasikan. 5

2.2.2.1 Volumetric High Resolution Imaging

Pencitraan spin-echo konvensional umumnya cukup untuk melihat lesi, bila lesi tersebut
relatif besar. Dalam kasus lesi yang lebih kecil, mungkin sulit untuk menginterpretasikan sifat lesi
atau bahkan mengidentifikasi kelainan sama sekali tanpa pencitraan volumetrik resolusi tinggi.
Contoh terbaik dari hal ini adalah kasus area fokus korteks displastik, yang merupakan substrat utama
pada banyak pasien dengan epilepsi ekstratemporal refrakter. Diagnosis malformasi ini memerlukan
evaluasi kritis terhadap ketebalan dan morfologi mantel kortikal, penggambaran antarmuka antara
grey matter dan white matter, dan deteksi perubahan intensitas sinyal kecil pada materi putih
subkortikal. Potongan setebal 4 hingga 5 mm dari gambar T2 dan FLAIR sering gagal mendeteksi
kelainan halus tersebut. Akibatnya, pencitraan volumetrik resolusi tinggi tiga dimensi dengan protokol
gema gradien berbobot T1 telah menjadi bagian integral dan penting dari pencitraan untuk lesi
epileptogenik. 5

12
Sequence seperti fast spoiled gradient-recalled echo (SPGR), magnetization-prepared rapid
acquisition gradient echo (MP-RAGE), dan fast spoiled gradient-recall acquisition in steady state
(GRASS) dapat dilakukan dengan TR dan TE yang sangat pendek yang memberikan kontras seperti
T1 yang kuat antara grey matter dan white matter. Hipointensitas grey matter cukup sebanding dengan
CSF yang berdekatan karenanya, kelainan sinyal pada grey matter umumnya cukup halus. Sebaliknya,
banyak lesi pada substansia alba terlihat jelas, tetapi karakteristik intensitas sinyal seringkali tidak
spesifik. Lesi seperti gliosis, heterotopia, dan neoplasma mungkin memiliki derajat hipointensitas
yang sama dan mungkin tidak dapat dibedakan berdasarkan urutan volumetrik saja. Morfologi lesi,
korelasi dengan sequence lainnya, dan klinis diperlukan untuk membedakan lesi. Gambar yang
diperoleh melalui protokol studi volumetrik tidak memiliki kontras T1 yang sebenarnya, karena
merupakan urutan gema gradien dan bukan urutan gema spin seperti pada gambar T1 konvensional.
Oleh karena itu, lesi yang biasanya hiperintens pada gambar T1 seperti produk darah, kalsifikasi
distrofik, dan cairan berprotein mungkin tidak terlihat pada pencitraan volumetrik resolusi tinggi yang
menggunakan urutan gema gradien.5,6,7

Sequence tiga dimensi ini dirancang untuk mengcover seluruh area kepala dengan irisan 1mm
bersebelahan yang sangat tipis. Irisan tipis ini sangat sensitif untuk mendeteksi dismorfisme halus dari
mantel kortikal dan juga dapat highlight efek massa minimal dengan menggambarkan penipisan
sulkus yang berdekatan pada kasus tumor kecil. Deteksi variasi yang subtle pada konfigurasi dan
volume hippocampus sangat meningkat dengan pencitraan volumetrik resolusi tinggi, dan telah secara
nyata mengurangi kebutuhan untuk pemantauan invasif pada pasien dengan dugaan MTS. Demikian
pula, deteksi malformasi seiring perkembangan kortikal pada pasien dengan MTS sangat penting
dalam evaluasi pra-bedah. Gambar FLAIR dan T2 rutin 4-5 mm rentan terhadap artefak volume rata-
rata dan dengan demikian menyesatkan ketika seseorang mencoba menilai morfologi hipokampus.
Bahkan sedikit saja kemiringan kepala pasien di pemindai dapat menonjolkan masalah ini. Irisan tiga
dimensi yang tipis dan berdekatan meminimalkan kesalahan rata-rata volume dan meningkatkan
deteksi atrofi selektif, displasia perkembangan, dan massa halus seperti glioma dalam formasi
hipokampus hanya dengan inspeksi visual. Kesalahan rata-rata volume diminimalkan lebih lanjut jika
irisan diambil tegak lurus terhadap sumbu panjang formasi hipokampus. Analisis volumetrik
kuantitatif dari formasi hipokampus dan relaksometri T2—sebuah teknik untuk mengukur intensitas
sinyal—mungkin berpotensi meningkatkan pengenalan variasi halus dalam volume dan kelainan
sinyal, masing-masing, dibandingkan dengan inspeksi visual saja. Namun, teknik ini memakan waktu
dengan keuntungan tambahan minimal jika ada dan tidak digunakan secara rutin dalam praktik klinis.
3,5,7

2.2.2.2 Strategi Untuk Meningkatkan Deteksi Lesi

Pencitraan konvensional menurut protokol epilepsi menggunakan 1,5 T MRI, cukup untuk
sebagian besar kasus epilepsi kronis. Namun, skenario pasien dengan epilepsi refrakter medis tanpa

13
lesi yang terdeteksi pada MRI cukup sering terjadi. Kegagalan untuk mendiagnosis kelainan struktural
mengurangi kemungkinan pertimbangan untuk operasi epilepsi. Pemantauan invasif dengan grid
subdural dan elektroda kedalaman mungkin diperlukan pada beberapa pasien ini. Tingkat
keberhasilan operasi epilepsi yang dilakukan pada pasien dengan "MRI normal" jauh lebih rendah.
Substrat epileptogenik tunggal yang paling umum yang menghindari deteksi dalam situasi seperti itu
adalah MCD. Pemanfaatan yang tepat dari teknik-teknik baru dalam MRI dapat meningkatkan deteksi
MCD dan lesi halus lainnya yang terlewatkan oleh protokol epilepsi rutin. Meninjau MRI awal
dengan pembaca yang lebih berpengalaman yang akrab dengan karakteristik MCD merupakan
langkah pertama untuk meningkatkan deteksi. Data lokalisasi yang diperoleh dari semiologi kejang,
EEG, MEG, dan modalitas pencitraan lain seperti PET dan SPECT juga dapat membantu melokalisasi
area yang diinginkan, dan tinjauan gambar yang lebih terfokus dapat membantu dalam beberapa
kasus. 5,10,13

2.2.2.3 Pemeriksaan MRI Kekuatan 3 T dan MRI 7 T

Peningkatan kekuatan medan magnet di 3 T MRI meningkatkan rasio signal-to-noise dan


rasio kontras-to noise, sehingga meningkatkan deteksi lesi halus. Kontras grey matter lebih unggul
pada pencitraan resolusi tinggi volumetrik dengan 3 T MRI, meskipun ada perbedaan waktu relaksasi
T1 jaringan otak pada 3 T. Gambaran kabur pada perbatasan gray dan white matter tanpa
hiperintensitas pada T2 atau FLAIR, yang umum dan kadang-kadang satu-satunya temuan MRI dari
MCD, lebih baik divisualisasikan pada gambar-gambar ini.3 T MRI bukannya tanpa kekurangan. 5

Salah satu kelemahan potensial dengan 3 T MRI adalah penurunan kontras grey-white matter
dengan pencitraan spin-echo T1 dibandingkan dengan 1,5 T MRI. Sequence pemulihan inversi dapat
mengurangi efek ini tetapi tidak dapat digunakan ketika seseorang mencoba untuk membandingkan
gambar-gambar ini dengan gambar T1 yang ditingkatkan kontras, karena pulse pemulihan inversi
mengganggu visualisasi kontras. Mengurangi sudut flip eksitasi meningkatkan kontras grey dan
white matter meskipun pengurangan rasio signal-to-noise. Kekuatan medan magnet yang lebih tinggi
juga menonjolkan efek kerentanan, dan ini dapat menyebabkan artefak.

14
Gambar 4. Comparison between 1.5 T and 3 T MRI (same patient). A, B: Axial MP-RAGE images with 1.5 T (A) and 3 T (B) MRIs show
improved signal-to-noise ratio resulting in better gray–white contrast, on 3 T MRI. C, D: Subtle blurring of gray–white region on the banks
of central sulcus (arrow), barely visible on the 1.5 T MRI (C), is better visualized on 3 T MRI (D).

Pemeriksaan MRI 3 T pada pasien epilepsi menunjukkan deteksi lesi yang lebih baik
dibandingkan dengan pencitraan 1,5 T. Peningkatan 20% hingga 48% dalam pendeteksian informasi
baru atau tambahan oleh studi 3 T dibandingkan dengan 1 hingga 1,5 T MRI telah dilaporkan dalam
beberapa studi. Tingkat deteksi yang lebih tinggi dari MCD adalah alasan utama untuk peningkatan
hasil 3 T MRI. Pengalaman anekdot menunjukkan bahwa lesi ini sering terlihat pada studi 1,5 T tetapi
didiagnosis dengan lebih pasti oleh studi 3 T. MRI 7 T saat ini tersedia untuk digunakan di beberapa
pusat. Pada sekelompok pasien dengan epilepsi lobus temporal mesial, MRI 7 T menunjukkan
perbedaan pola atrofi dalam struktur mesial. Dampak klinis dari temuan ini dalam pengelolaan pasien
masih harus diteliti lebih lanjut. 5,14

2.2.2.4 Pemeriksaan menggunakan Surface Coils dan Multichannel Phased Array Coils

Pemeriksaan Surface Coil dibandingkan routine head coil telah digunakan dalam upaya untuk
meningkatkan pencitraan daerah tertentu dari otak dan membantu untuk mengkonfirmasi atau
mengexklude kelainan yang mencurigakan pada zona epileptogenik yang dicurigai. Surface Coils
meningkatkan rasio signal-to-noise sehingga meningkatkan resolusi spasial struktur yang dekat

15
dengan surface coil (Gambar 5). Struktur yang jauh dari "pandangan" surface coil divisualisasikan
dengan buruk. Akibatnya, kualitas pencitraan yang buruk untuk struktur yang lebih dalam membuat
surface coil kurang diinginkan untuk evaluasi struktur temporal mesial. Di masa lalu, cakupan terbatas
otak oleh surface coil memerlukan perencanaan yang cermat dengan hipotesis pre imaging tentang
kemungkinan zona epileptogenik untuk memandu penempatan surface coil. Melokalisasi informasi
dari semiologi kejang, EEG, video-EEG, MRI sebelumnya (dalam kasus gambaran abnormal
meragukan), dan penelitian lain seperti SPECT dan PET harus memandu penempatan coils. Cakupan
korteks yang terbatas (dan "penglihatan terowongan" yang dihasilkan), peningkatan keseluruhan
dalam waktu pemindaian, kebutuhan untuk hipotesis pra-pencitraan, dan penurunan rasio signal-to-
noise untuk struktur yang lebih dalam adalah keterbatasan utama yang menghalangi penggunaan rutin
surface coils. 5,7,8

Gambar 5. MRI with surface coils placed over the frontal regions yield high-resolution images of the frontal lobe. Deeper structures farther
from the coil (temporal structures on sagittal image and basal ganglia on axial images) are poorly visualized due to decreased signal-to-noise
ratio.

Peningkatan cakupan anatomi dengan peningkatan jumlah elemen dalam susunan coils telah
meminimalkan keterbatasan coil surface. Pada suatu penelitian yang menggunakan 3 T MRI dengan
delapan saluran fleksibel array coils bertahap pada 40 pasien dengan epilepsi fokal, sebuah
peningkatan 65% dalam hasil dilaporkan dalam subkelompok pasien dengan 1,5 T MRI yang tidak
dapat menunjukan suatu lesi saja sebelumnya. Akan tetapi meskipun penelitian tersebut menunjukan
suatu perbedaan yang signifikan, penelitian tersebut tidak memberikan perbedaan efek dari higher
field strength dari efek Surface coils. 5,14

2.2.2.5 Rekonstruksi Tiga Dimensi

Setiap piksel yang membentuk MRI dua dimensi sebenarnya memiliki dimensi ketiga dalam
pencitraan anatomi yaitu dimensi ketebalan. Karena MRI tiga dimensi menghasilkan irisan tanpa
celah diantaranya, ini menghindari terjadinya kehilangan data yang ditemukan dengan pencitraan dua
dimensi konvensional. Jika voxel pencitraan dalam akuisisi tiga dimensi dirancang untuk mencapai
panjang yang setara di ketiga bidang pencitraan (data isotropik), gambar dapat direkonstruksi dalam

16
bidang alternatif apa pun tanpa mengorbankan resolusi spasial atau ketepatan jika dibandingkan
dengan gambar asli. Di sisi lain, jika voxel terlalu anisotropik, gambar yang direkonstruksi akan
sangat terdegradasi dibandingkan dengan data aslinya. Dalam praktiknya, data hanya dapat "hampir"
isotropik karena pasien tidak akan secara rutin mentolerir lamanya waktu yang diperlukan untuk
memperoleh data yang benar-benar isotropik. 5

Dengan standar pemeriksaan imaging, interposisi kompleks girus dan sulkus dari pola
konvolusi otak normal berpotensi menyebabkan kesalahan dalam interpretasi ketebalan gray matter.
Irisan yang memotong korteks sepanjang gray matter menyebabkan korteks yang tampak menebal dan
kemungkinan miss diagnosis sebagai korteks malformasi. Sebaliknya, penghindaran yang hati-hati
dari "overcalls" semacam itu berpotensi menyebabkan underdiagnosis dari area korteks yang
menebal. MCD halus dapat dicurigai pada gambar asli tetapi sulit untuk dikonfirmasi di plane asli,
sampai setelah gambar direkonstruksi di plane lain. Atau, lesi mungkin terlihat jelas pada akuisisi asli;
namun, mungkin ada kesulitan dalam menggambarkan hubungan spasial lesi relatif terhadap korteks
yang berdekatan. Gambar Volumetric high-resolution images yang diperoleh dalam protokol epilepsi
dapat direkonstruksi di berbagai plane. Memformat ulang gambar dalam beberapa bidang dapat
memungkinkan untuk melihat gambar dalam bidang yang tegak lurus terhadap gyri sehingga
mengurangi penebalan palsu korteks yang terlihat pada gambar dalam plane dengan gyri. 5

Rekonstruksi gambar pada plane curvilinear yaitu plane yang sejajar dengan permukaan
kortikal dan tegak lurus dalam kaitannya dengan girus sedang dilakukan di beberapa center. Gambar
yang dihasilkan menunjukkan permukaan otak yang semakin dalam seperti "mengupas bawang".
Dalam teknik ini, permukaan diperoleh awalnya dengan secara manual menguraikan permukaan
kortikal di bidang koronal pada interval yang dipilih. Permukaan ini berfungsi sebagai matriks untuk
menghasilkan irisan yang semakin dalam menggunakan perangkat lunak. Irisan melengkung ini akan
menghasilkan distribusi gray matter yang lebih seragam di kedua hemisfer membantu dalam
perbandingan daerah homolog korteks. Selain meningkatkan deteksi MCD halus, rekonstruksi
permukaan tersebut memiliki potensi untuk menilai lokasi grid subdural dan kedalaman elektroda
lebih tepat. Namun, kegunaan klinis dari teknik ini pada populasi pasien yang besar belum dipelajari. 5

Beberapa center sekarang menggunakan teknik postprocessing lain dalam berbagai cara.
Teknik berbasis voxel Morfometri adalah teknik otomatis yang menjanjikan untuk mendeteksi lesi
displastik halus dengan menonjolkan kelainan pada persimpangan grey dan white matter. 5

2.2.2.6 Serial MRI Pada Bayi dan Anak

Karakteristik sinyal myelin imatur pada bayi dan anak kecil dapat menimbulkan tantangan
yang signifikan dalam interpretasi studi yang diperoleh. Lesi seperti MCD dan kortikal tubers
memiliki karakteristik sinyal yang bervariasi berdasarkan tahap perkembangan mielin lesi dan otak di
sekitarnya. Misalnya, pada bayi, korteks displastik dan daerah subkortikal yang berdekatan mungkin

17
tampak hipointens pada gambar berbobot T2 dan hiperintens pada urutan T1, bertentangan dengan
pola sebaliknya yang terlihat pada anak yang lebih tua dan orang dewasa. 5

Karakteristik lesi berubah menjadi pola dewasa yang lebih khas dari waktu ke waktu dengan
mielinisasi progresif. Pada beberapa pasien, dengan berkembangnya mielin progresif, lesi ini
cenderung menjadi kurang jelas atau jarang "menghilang" pada pencitraan lanjutan.

Meninjau hanya gambar terbaru saja dapat gagal untuk mendeteksi suatu lesi. Sebaliknya,
"lesi baru" MCD dapat dideteksi pada pencitraan lanjutan pada anak dengan "MRI normal"
sebelumnya pada masa bayi. Visualisasi lesi yang buruk pada MRI sebelumnya dapat dijelaskan oleh
kontras latar belakang yang buruk dari mielin imatur yang cerah pada gambar T2. Follow up MRI
selama 2 tahun kedepan atau lebih yang memungkinkan mielinisasi normal terjadi dapat menemukan
area MCD dengan mielin subkortikal yang berkurang atau tidak ada. Demikian pula, umbi kortikal
tuberous sclerosis mungkin lebih jelas pada pencitraan follow up (Gambar. 6). Terlepas dari
perubahan mielinisasi, peningkatan pertumbuhan tubers dan kalsifikasi distrofik dapat berkontribusi
pada visibilitas yang lebih baik pada pencitraan follow up. Serial MRI juga membantu dalam
gangguan epilepsi lain seperti Rasmussen ensefalitis dan sindrom Sturge Weber untuk menunjukkan
atrofi kortikal regional atau hemisfer progresif. 3,5,10,

Gambar 6. MRI in a child with tuberous sclerosis


performed at 4 months of age (A) and at 3 years and 8 months of age (B). Cortical and subcortical tubers (arrowheads) were more evident on
follow-up imaging because of myelination of white matter, improving the “background contrast.” Increase in size of lesions with brain
growth, calcification (arrow), and abnormal myelination around the lesions may also contribute to better visibility on follow-up MRI.
(Courtesy of Dr. Ajay Gupta, Cleveland, OH.)

18
2.3 Magnetic Resonance Spectroscopy

Spektroskopi resonansi magnetik (MRS) menawarkan potensi untuk menganalisis


komposisi biokimia secara noninvasif dari area otak tertentu. Pola tertentu dari perubahan fokal dalam
struktur biokimia mungkin mencerminkan perubahan fungsi saraf atau glial yang memberikan
informasi lokalisasi. MRS dapat diperoleh dalam sistem MRI medan tinggi konvensional dengan
software yang sesuai. Spektroskopi proton adalah teknik MRS yang paling banyak diterima dalam
pengaturan klinis, karena tidak memerlukan perangkat keras tambahan dan memiliki resolusi spasial
yang lebih baik daripada inti alternatif seperti fosfor. MRS menghasilkan spektrum proton untuk
voxel atau kelompok voxel yang bisa sekecil 1 cm3. Hanya area otak yang terbatas yang dapat
dipelajari dengan cara waktu yang dapat diterima untuk praktik klinis. Oleh karena itu, diperlukan
hipotesis preimaging tentang lokasi fokus epileptogenik untuk memutuskan penempatan voxel
spektroskopi. Posisi voxel dipilih berdasarkan informasi lokalisasi yang tersedia dari MRI
konvensional atau informasi lokalisasi lainnya ketika MRI normal. Cakupan anatomis terbatas dengan
teknik voxel tunggal merupakan faktor pembatas utama ketika lesi besar atau tidak jelas atau tidak ada
pada MRI. Teknik multivoxel memberikan kemampuan cakupan anatomi yang lebih besar dan baik
digunakan jika lokasi fokus epileptogenik tidak pasti. 5

Pilihan utama dalam parameter dengan MRS konvensional adalah antara TE pendek dan
panjang. Akuisisi TE panjang menghasilkan spektrum yang mencakup N-acetylaspartate (NAA),
choline, creatine/ phosphocreatine, dan mungkin laktat. Akuisisi TE singkat mencakup metabolit yang
sama serta myo-inositol, glutamat dan glutamin, asam gamma-aminobutirat (GABA), alanin, glukosa,
scylloinositol/ taurin, dan protein/lipid. Perubahan jumlah relatif dari metabolit ini, dibandingkan
dengan jaringan yang sesuai pada hemisfer kontralateral atau kontrol yang mungkin normal,
digunakan untuk mengkarakterisasi jaringan secara metabolik. Sinyal NAA adalah sinyal yang paling
baik dipelajari dan paling dicari di MRS; Sinyal NAA meskipun menandakan hilangnya atau
disfungsi saraf, korelasi linier antara keduanya belum ditemukan. Disfungsi mitokondria tanpa
neuronal yang sebenarnya kerugian juga telah didalilkan sebagai mekanisme sinyal NAA rendah.
Penurunan konsentrasi NAA regional di zona epileptogenik adalah kelainan interiktal paling khas
yang dijelaskan pada epilepsi parsial yang tidak dapat diatasi. Puncak laktat abnormal di zona
epileptogenik dapat diidentifikasi ketika studi MRS dilakukan dalam waktu 6 jam setelah kejang. 5

Penggunaan MRS dalam lokalisasi epilepsi telah dipelajari pada epilepsi temporal dan
ekstratemporal. Pada pasien dengan kelainan temporal mesial bilateral, epilepsi dapat timbul terutama
dari satu sisi. Dalam kasus seperti itu, penelitian yang menggunakan teknik voxel tunggal yang
membandingkan dua lobus temporal telah memberikan informasi lateralisasi tambahan yang sesuai
yang memungkinkan keputusan bedah. Dalam meta-analisis MRS pada epilepsi lobus temporal,

19
adanya kelainan MRS ipsilateral dan tidak adanya kelainan bilateral dikaitkan dengan hasil kejang
yang baik. Namun, kelainan MRS bilateral dapat dilihat pada sebanyak 35% pasien epilepsi lobus
temporal dengan hasil yang baik. Dalam sebuah studi tentang epilepsi ekstratemporal nonlesional,
kelainan spektroskopi luas—terbesar di zona epileptogenik yang diduga—telah dilaporkan. Dampak
sebenarnya dari MRS pada pengambilan keputusan bedah untuk pasien kompleks dengan informasi
lokalisasi yang buruk tidak jelas dan belum dipelajari secara kritis untuk memberikan integrasi yang
berarti dari MRS dalam pemeriksaan epilepsi pra-bedah. 5,8,10,11

Kemampuan untuk mempelajari tingkat jaringan glutamin dan GABA oleh MRS menawarkan
banyak ruang untuk mempelajari berbagai gangguan epilepsi, karena peningkatan glutamat rangsang
dan pengurangan penghambatan GABA dapat mengakibatkan kejang. Peningkatan "glutamin plus
glutamat" di lobus frontal telah dilaporkan pada epilepsi umum idiopatik juga. Terlepas dari konsep
sampel biokimia noninvasif otak, MRS tidak berdampak pada praktik epilepsi untuk mendapatkan
peran definitif dalam pemeriksaan pra-bedah rutin. Dengan munculnya dan ketersediaan luas alat lain
seperti PET dan SPECT, peran MRS semakin berkurang

2.4 Image Post-Processing

Protokol epilepsi MRI tipikal biasanya mencakup akuisisi volumetrik T1-weighted 3D, T2-
weighted koronal dan Fluid Attenuation Inversion Recovery (FLAIR), di samping sequence lainnya.
sequence volumetrik memberikan detail anatomi yang lebih baik dari irisan tipis yang berdekatan
yang dapat diformat ulang ke plane apa pun; dengan demikian, sequence ini biasanya yang paling
berguna untuk postprocessing. Langkah pertama untuk sebagian besar metode pemrosesan gambar
adalah koreksi ketidakhomogenan medan MR, yang menyebabkan variasi yang tidak diinginkan
dalam intensitas sinyal di seluruh gambar. Langkah selanjutnya adalah penyelarasan volume gambar
yang diberikan ke ruang 3D, yang memungkinkan perbandingan struktur otak di antara individu yang
berbeda. Selanjutnya, setiap voxel dibedakan dan diklasifikasikan ke dalam kelas jaringan, terutama
Grey matter (GM), white matter (WM), dan cairan serebrospinal. Klasifikasi dan segmentasi jaringan
memberikan dasar untuk analisis lebih lanjut seperti Voxel based morphometry (VBM), analisis
bentuk, dan analisis tekstur.5

VBM telah menjadi salah satu algoritma postprocessing yang paling populer sampai saat ini.
Teknik yang sepenuhnya otomatis ini mengekstrak peta GM dan WM dari individu untuk membuat
perbandingan statistik sehubungan dengan database normal. Berlawanan dengan metode yang terbatas
pada area otak yang dipilih pada satu waktu, VBM mendeteksi perbedaan struktural di seluruh otak
tanpa asumsi apriori. Langkah penting dalam analisis VBM adalah menghaluskan peta GM dan WM
tersegmentasi dengan kernel Gaussian isotropik. Penghalusan gambar mengurangi variabilitas

20
anatomi individu dan ketidak akuratan dari normalisasi spasial, sehingga meningkatkan rasio signal-
to-noise. Dalam gambar yang dihaluskan, setiap voxel mewakili rata-rata voxel sebelum dan
sesudahnya (yaitu, "konsentrasi" GM dan WM). Ukuran kernel Gaussian harus sesuai dengan ukuran
rata-rata kelainan untuk dideteksi. VBM awalnya dikembangkan untuk melakukan analisis kelompok,
tetapi dapat dioptimalkan untuk menilai kelainan struktural pada tingkat individu. 5

2.4.1 Postprosesing MRI di Epilepsi Lobus Temporal

Hippocampal Sclerosis (HS) merupakan penyebab tersering terjadinya epilepsy lobus temporal
refraktur dan merupakan substrate patologis tersering pada pasien epilepsy lobus temporal. Gambaran
utama hippocampal sclerosis pada MRI adalah hilangnya atau berkurangnya volume, berkurangnya
arsitektur Internal serebri, dan sinyal hiperntensitas pada gambaran sequence FLAIR dan T2
weighted. Pada postprosesing analisis kuantitatif dapat ditemukan adanya perubahan abnormal halus
di area hippocampal bilateral, serta gambaran abnormal HS di area cortical. 5,7,12

2.4.1.1 Volumetry

Sebelum menghitung volume hipokampus, perlu dilakukan segmentasi hipokampus. Segmentasi


secara manual hipokampus akurat, dapat direproduksi, dan mampu mendeteksi kehilangan volume
dengan tingkat sensitivitas yang tinggi. Pada pasien dengan TLE biasanya melibatkan kepala dan
tubuh hipokampus, serta korteks entorhinal. Namun, segmentasi manual memakan waktu dan
bergantung pada penilai. Meningkatnya permintaan untuk mempelajari kohort besar otak yang sehat
dan patologis telah memotivasi pengembangan prosedur segmentasi otomatis. Kebanyakan metode
menggunakan deformable, pendekatan berbasis penampilan, atau berbasis atlas. Meskipun algoritma
segmentasi otomatis dalam kontrol yang sehat secara umum telah dilakukan dengan memuaskan, pada
pasien TLE, kesepakatan antara pelabelan manual dan segmentasi otomatis relatif rendah. Akurasi
yang berkurang dapat dihasilkan dari pengamatan bahwa sekitar 40% pasien TLE menunjukkan
"malrotasi" hipokampus yaitu, bentuk dan posisi hipokampus yang atipikal yang terutama dicirikan
oleh penampilan yang lebih bulat dan orientasi hipokampus yang atipikal, dan sulkus kolateral yang
dalam dan vertikal secara abnormal. 5,10,11

2.4.1.2 Analisis Bentuk

Visualisasi bentuk hipokampus dapat mengevaluasi hal yang tidak terlihat dengan pengukuran volume
hipokampus. Menggunakan large-deformation high-dimensional mapping method (HDM-LD),
menurut Hogan pasien TLE dengan HS yang dikonfirmasi secara histopatologis dan kontrol sesuai
dengan usia mereka. Asimetri dari bentuk hipokampus dipelajari dengan membentuk asimetri vektor
dengan cara membalik permukaan hipokampus sisi kanan ke sisi kiri pada pasien. Teknik HDM-LD
menunjukkan deviasi ke dalam yang signifikan di sektor Sommer dari sklerotik hipokampus. Metode
lain yang dapat digunakan adalah melalui model sumbu medial. Analisis kelengkungan

21
mengungkapkan pembengkokan medial dari hipokampus posterior pada pasien dengan TLE,
dibandingkan dengan pergeseran superomedial dari tubuh hipokampus yang diamati pada pasien
dengan malformasi perkembangan kortikal.5,9,13

Analisis bentuk ke konveksitas yang berdekatan sering menunjukkan hubungan patologis.


Misalnya, malrotasi hipokampus pada TLE dikaitkan dengan peningkatan kompleksitas korteks
temporolimbic, meliputi daerah parahippocampal, temporopolar, insular, dan frontoopercular.
Menyiratkan bahwa faktor perkembangan saraf mungkin berperan dalam proses epileptogenik TLE. 5

2.4.1.3 Voxel Based Analisis

VBM telah secara konsisten mengungkapkan pengurangan Grey Matter yang meluas di luar
area hipokampus yang atrofi, tidak hanya daerah parahippocampal dan temporal anterior yang
berdekatan tetapi juga lobus frontal, menunjukkan gangguan jalur frontolimbic. Abnormalitas luas
telah terbukti berhubungan dengan frekuensi kejang, durasi epilepsy, faktor pencetus, dan disfungsi
kognitif. Pasien dengan kejang persisten setelah pengangkatan hipokampus dapat menunjukkan
kehilangan volume Grey Matter neokorteks yang lebih luas. 5,6

Sensitivitas analisis berbasis voxel juga dapat ditingkatkan dengan cara memetakan waktu
relaksasi T2, yaitu menganalisis nilai T2 absolut daripada sinyal T2-weighted. Sebagian besar pasien
TLE dengan atrofi hipokampus, waktu relaksasi T2 dalam Grey Matter hipokampus ipsilateral ke
fokus telah meningkat setidaknya 10 ms bila dibandingkan dengan orang normal. Pemetaan T2 dapat
memberikan informasi lateralisasi tambahan pada pasien TLE dengan MRI normal. 5

2.4.1.4 Ketebalan Cortical

Bernhardt dkk. menilai penipisan neokorteks dan signifikansi klinisnya terhadap hasil bedah
di TLE. Mereka mengevaluasi 58 pasien TLE dengan atrofi hipokampus pada volumetri dan 47 pasien
TLE yang memiliki volume hipokampus normal. Pada kedua kelompok, topologi dan tingkat
penipisan neokorteks yang serupa ditemukan terutama di daerah frontocentral, temporal, dan
cingulate, menunjukkan bahwa efek statis dan dinamis dari epilepsi juga berdampak pada neokorteks
pasien dengan atau tanpa atrofi hipokampus. Penelitian ini juga meneliti perubahan temporal terhadap
ketebalan kortikal pada pasien TLE dengan beberapa pemindaian, menunjukkan penipisan kortikal
progresif di lobus frontal. Penipisan kortikal ditemukan secara signifikan lebih besar pada pasien
dengan kejang berkelanjutan dibandingkan pasien dengan kejang terkontrol, memberikan bukti kuat
bahwa TLE adalah gangguan progresif. 5

2.4.2 Postprosesing MRI Pada Epilepsi Lobus Ekstratemporal

Pada extratemporal lobe epilepsy (ETLE), focal cortical dysplasia (FCD) adalah substrat
patologis paling umum yang mendasari pasien yang menjalani evaluasi bedah epilepsi. FCD juga
merupakan patologi dasar yang paling umum pada epilepsi dengan MRI yang tampaknya normal.

22
Temuan MRI khas dari FCD termasuk ketidakjelasan persimpangan grey matter dan white matter,
kelainan sinyal kortikal T2 / FLAIR, kelainan sinyal kortikal T1, korteks yang menebal secara tidak
normal, dan kelainan T2 / FLAIR subkortikal. Lesi FCD umumnya jauh lebih sulit untuk dideteksi
dibandingkan dengan jenis lesi lainnya, karena mereka bisa sangat halus dengan ukuran kecil, muncul
terkubur dalam convexsitas kompleks neokorteks. Mengingat keterbatasan waktu, pembaca MRI
mungkin melewatkan lesi yang hanya dapat dilihat dengan pengawasan yang lebih ketat. Hal ini
terutama bermasalah ketika data klinis noninvasif, seperti EEG kulit kepala dan semiologi, tidak
menunjuk ke area tertentu. Dengan demikian, pembaca MRI tidak memiliki hipotesis anatomi yang
dapat diuji, dan selanjutnya penelitian dapat dibaca sebagai negatif. Dalam keadaan ini, teknik pasca-
pemrosesan MRI seluruh otak yang mengarahkan perhatian radiologis pada kemungkinan kelainan
displastik terbukti penting. 5

Keuntungan lain dari postprocessing MRI untuk neokorteks adalah bahwa ia beroperasi dalam
3D. Hal ini memungkinkan pertimbangan informasi secara simultan dari irisan berurutan, sedangkan
analisis visual konvensional memeriksa volume otak satu irisan pada satu waktu, dan oleh karena itu
memerlukan keahlian tingkat tinggi untuk mensintesis informasi dari irisan tersebut. 5

2.4.2.1 Analisis Voxel based di Epilepsi Lobus Ekstratemporal

Beberapa penelitian telah menerapkan VBM pada T1-weighted volumetric MRI untuk
mendeteksi FCD pada masing-masing pasien. Pada pasien dengan FCD yang terlihat pada MRI,
peningkatan konsentrasi GM berlokalisasi dengan lesi pada 63% hingga 86% kasus. Peningkatan
sensitivitas cenderung dikaitkan dengan peningkatan hasil positif palsu. Praktis, keseimbangan antara
sensitivitas dan spesifisitas dapat dicapai berdasarkan kasus per kasus. Ketika ada hipotesis apriori
berdasarkan data klinis dan EEG untuk membatasi analisis pada wilayah otak tertentu, seseorang
dapat memilih sensitivitas maksimal; sedangkan ketika EEG atau data pencitraan fungsional lainnya
tidak mengarah ke wilayah yang diinginkan, penting untuk menghilangkan positif palsu dan memilih
spesifisitas maksimal. Selain colocalizing lesi, studi VBM secara konsisten melaporkan kelainan GM
meluas di luar FCD terlihat, kadang-kadang jauh dari daerah epileptogenik. Dengan tidak adanya hasil
positif palsu pada kontrol normal, perubahan ini dapat disebabkan oleh daerah displastik tersembunyi
yang tidak terdeteksi oleh analisis visual atau mewakiligirasi abnormal. Bisa juga dibayangkan bahwa
perubahan ini berpotensi menjadi aktif pada tahap selanjutnya dan menyebabkan kejang berulang
setelah operasi. Oleh karena itu, disarankan untuk menginterpretasikan signifikansi abnormalitas
struktural di luar lesi struktural primer dalam kaitannya dengan data elektroklinis dan modalitas
pencitraan fungsional.5

23
2.4.2.2 Model Komputer Pada FCD Epilepsi Lobus Extratemporal

Model berbasis komputer, pertama kali diperkenalkan oleh Bernasconi et al., dapat dihasilkan
untuk mencari karakteristik morfologis yang khas dari FCD pada MRI. Peningkatan pengaburan
persimpangan Grey dan White matter telah digunakan untuk mendeteksi malformasi kortikal halus
dan dapat memberikan informasi yang bermanfaat pada pasien dengan MRI yang ditafsirkan sebagai
negatif menggunakan analisis visual konvensional, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 12 5

Gambar 7. A 30-year-old male presented with pharmacoresistant seizures preceded by an aura of a tingling sensation deep in his throat,
spreading to his left face, and then followed by left face clonus with occasional left arm posturing. Scalp EEG monitoring did not reveal any
ictal anomaly. Previous high-resolution 3-tesla MRI was reported as normal. An FDG-PET study showed subtle hypometabolism involving
the right frontal and temporal operculum. Ictal SPECT was nonlocalizing. MRI postprocessing of the GW junction was performed on 3D
T1-weighted volumetric sequence. Review of the GW junction feature map led to the identification of a structural abnormality at the right
frontal operculum (z > 4), as shown in (B), coregistered with the patient’s MRI in (A). This abnormality is concordant with magnetic source
imaging interictal dipole localization (C) and seizure onset on stereo-EEG (D). Limited resection (E) included the abnormality and rendered
the patient seizure free. F: Stereo-EEG (SEEG) implantation schema. G: Ictal onset on SEEG. R4-6 corresponds to red contacts in (D).
Stimulation of R4-6 induced the habitual seizure of the patient, with the same ictal EEG pattern as shown in (G). H: Histopathology showing
features of FCD ILAE type IIb with balloon cells (HE; original magnification = 200×). To date, the patient has been seizure free for more
than 4 years.

Mengukur penebalan kortikal dan hiperintensitas sinyal, selain mengevaluasi transisi grey dan
white matter memberikan analisis yang lebih komprehensif dari kompleks dan variable morfologi

24
anomali terkait dengan berbagai bentuk FCD. Bernasconi dkk. mengusulkan model tekstur morfologis
dan orde pertama yang membuat peta 3D dari ketebalan kortikal, gradien (transisi antara GM dan
WM), dan operator intensitas relatif yang dirancang untuk menekankan hiperintensitas sinyal T1.
Model tekstur orde pertama kemudian digabungkan menjadi satu peta komposit untuk
mengoptimalkan visibilitas. Dalam kelompok 16 pasien dengan FCD yang terbukti secara histologis,
analisis visual dari peta komposit meningkatkan sensitivitas sebesar 30% bila dibandingkan dengan
analisis visual MRI konvensional, sambil mempertahankan spesifisitas yang tinggi. Gambar 13
mengilustrasikan penerapan model tekstur orde pertama pada pasien dengan epilepsi lobus frontal.
5,8,9,11,12

Gambar 8. In this patient with frontal lobe epilepsy, high-resolution 3-tesla MRI was reported as normal, likely because of the subtle nature
of the dysplasia, as demonstrated by the coronal T1-weighted MRI section (right lower corner, red arrow). The upper panels display the T1-
weighted derived computational models normalized with respect to controls (z-score maps). The cortical thickness map is unremarkable.
Conversely, the gray matter intensity map and the gradient map (modeling gray–white matter blurring) show significant anomalies. The
normalized composite map identifies the lesional area as the only anomaly compared to controls and shows almost identical overlap with the
lesion label obtained trough manual segmentation. Histopathology of the surgical specimen confirmed the diagnosis of FCD ILAE type IIb.

Lesi FCD ditandai dengan penebalan Grey Matter secara simultan, sinyal hiperintens, dan
pengaburan Grey dan White Matter. Pada semua pasien, lesi FCD memiliki setidaknya dua dari tiga
karakteristik ini. Fitur pasca-pemrosesan MRI ini terjadi terlepas dari volume lesi, dan mereka
mengkarakterisasi tidak hanya lesi FCD besar tetapi juga lesi halus yang telah diabaikan oleh inspeksi
visual. 5

25
2.5 Atlas Mini Lesi Epileptogenik

Gambar 9. Hemispheric epileptogenic lesions. A: Right hemimegalencephaly. B: Right multilobar dysplasia with relative sparing of medial
occipital region (black arrows). C: A case of Rasmussen encephalitis with atrophy of right hemisphere and hyperintensity in the precentral
gyrus (white arrow). D: Cystic encephalomalacia and gliosis on the left hemisphere due to remote ischemic stroke. E: Perinatal brain injury
with right hemispheric atrophy—both cortical and subcortical. Note minimal involvement of the left hemisphere as well. F: A case of
Sturge–Weber syndrome with right hemispheric atrophy with leptomeningeal enhancement and enlarged periventricular veins.

26
Gambar 10. Focal Malformation Cortical Development and related disorders. A: Right frontal malformation with abnormal sulcal pattern
and thickened cortex (arrows). B: Left frontal dysplasia with subcortical hyperintensity (white arrow). C: Cortical tubers (white arrowheads)
and subependymal nodules (arrows) in tuberous sclerosis. D: Diffuse subcortical band heterotopia—“the double cortex.” (black arrowheads)
E: Multiple malformations including periventricular nodular heterotopia around temporal horns (arrows) and maloriented right
hippocampus. F: Hypothalamic hamartoma—note signal intensity of the lesion similar to the gray matter (curved white arrow).

Gambar 11. Porencephaly and encephalomalacia of various etiologies. A: Diffuse multicystic encephalomalacia and gliosis secondary to
global hypoxic ischemic injury. B: Periventricular leukomalacia due to perinatal brain injury. C: Left posterior temporal encephalomalacia
due to prior ischemic stroke in a patient with sickle cell anemia. D: Porencephalic cysts in left frontal and temporal lobes related to multiple
hemorrhages in the neonatal period. Also, note left MTS. E, F: Encephalomalacia due to remote herpes encephalitis on FLAIR images (E).
Susceptibility-weighted images (F) show marked hypointensity in the regions of prior petechial hemorrhages.

27
Gambar 12. MTS and dual pathology. A, B: Right MTS with prominent volume loss and hyperintense signal of hippocampus. C: Left
hippocampal atrophy (in the rectangular box) with atrophy of the ipsilateral frontotemporal cortex as evident from prominent left sylvian
fissure (arrow). D: Right hippocampal atrophy (in the rectangular box) associated with porencephaly right frontal subcortical region and
basal ganglia.

28
Gambar 13. Tumors and hamartomas. A: A nonenhancing lesion with cystic and solid components in the right parietooccipital junction
without mass effect. Histopathology showed features of ganglioglioma. B: A predominantly cystic lesion in the right precentral gyrus
without contrast enhancement or mass effect, similar to lesion on (A). Histopathology confirmed dysembryoplastic neuroepithelial tumor. C:
A predominantly solid tumor in the right precuneus and posterior cingulate region, with prominent heterogeneous contrast enhancement and
mild mass effect. Histopathology showed evidence for pleomorphic xanthoastrocytoma. D: A nonenhancing lesion in the right posterior
frontal region with evidence of vasogenic edema. A low-grade glioma was suspected. Histopathology showed features of
meningioangiomatosis, a hamartomatous lesion.

BAB III

SIMPULAN

Visualisasi anatomi substrat epilepsi dengan MRI telah sangat memajukan bidang bedah
epilepsi. Berbagai teknik MRI memberikan informasi tentang fungsi dan koneksi dari berbagai area

29
otak telah lebih jauh membantu strategi operasi. Namun, sejumlah besar pasien dengan epilepsi
parsial refrakter tidak memiliki lesi yang dapat diidentifikasi pada MRI. Pembedahan epilepsi dalam
kasus seperti itu, ketika dilakukan, sering membutuhkan pemantauan intrakranial invasif dengan grid
subdural dan kedalaman elektroda, meskipun hasilnya tetap buruk. Malformasi perkembangan
kortikal adalah lesi yang paling umum yang mendeteksi deteksi dalam kasus ini. Perbaikan lebih
lanjut dalam teknik MRI dan integrasinya dengan modalitas lain seperti SPECT, PET, dan MEG dapat
membantu mendeteksi lesi ini dan meningkatkan kebutuhan untuk memantau invasif. Pengembangan
teknik MRI yang lebih baru di masa depan memiliki potensial untuk meningkatkan pemahaman
tentang fungsi sitoarsitektur dan molekuler otak dengan dampak yang lebih besar di bidang epilepsi.

Melakukan pemeriksaan noninvasif sangat penting dalam perencanaan bedah epilepsi


refrakter. Pendekatan non-invasif dan hemat biaya, pascapemrosesan MRI sangat direkomendasikan
karena tidak seperti penilaian visual, post proscesing memberikan data kuantitatif, handal, dan dapat
direproduksi. Untuk pasien dengan lesi yang terlalu halus untuk dideteksi oleh analisis visual MRI
konvensional, teknik pascapemrosesan MRI memungkinkan identifikasi kelainan epileptogenik yang
lebih akurat. Dengan demikian, teknik pascapemrosesan MRI memiliki potensi untuk meningkatkan
hasil diagnostik MRI di pusat epilepsi mana pun yang menggunakan protokol epilepsi standar pada
pemindai 1,5-T atau 3-T. Selain itu, teknik ini memiliki potensi untuk mengungkapkan sejauh mana
kelainan kortikal yang tidak terlihat oleh mata, yang selanjutnya dapat memberikan prognosis yang
lebih baik pada pasien yang menjalani terapi bedah epilepsi.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Maryam, I. S. 2018. KARAKTERISTIK KLINIS PASIEN EPILEPSI DI POLIKLINIK SARAF RSUP


SANGLAH PERIODE JANUARI – DESEMBER 2016. Callosum Neurology, 1(3).
2. PERDOSSI. 2016. Acuan Panduan Praktik Klinis Neurologi. pp:122-125.
3. Utama H, Gan VHS. 2012. Antiepilepsi dan antikonvulsi. Dalam: Gunawan SG, Nafrialdi RS,
Elysabeth (eds). Farmakologi dan terapi, ed 5. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, pp: 179-196.
4. WHO. 2019. Epilepsy: A public health imperative. Summary. Geneva: World Health
Organization.
5. Wyllie et all. 2015. Treatment of Epilepsy Principles and Practice. USA. pp: 1429-1543
6. Perucca E. Pharmacoresistance in epilepsy: how should it be defined? CNS Drugs.
1998;10:171–179.
7. Chowdhury FA, Nashef L, Elwes RD. Misdiagnosis in epilepsy: a review and recognition of
diagnostic uncertainty. Eur J Neurol. 2008;15:1034–1042.
8. Wiebe S, Jette N. Pharmacoresistance and the role of surgery in difficult to treat epilepsy. Nat
Rev Neurol. 2012;8:669–677.
9. Meador KJ, Baker GA, Browning N, et al. Cognitive function at 3 years of age after fetal
exposure to antiepileptic drugs. New Engl J Med. 2009;360:1597–1605.
10. Smith D, Defalla BA, Chadwick DW. The misdiagnosis of epilepsy and the management of
refractory epilepsy in a specialist clinic. QJM. 1999;92:15–23.
11. Josephson CB, Rahey S, Sadler RM. Neurocardiogenic syncope: frequency and consequences
of its misdiagnosis as epilepsy. Can J Neurol Sci. 2007;34:221–224.
12. Schuele SU, Luders HO. Intractable epilepsy: management and therapeutic alternatives.
Lancet Neurol. 2008;7:514–524.
13. Walczak TS, Papacostas S, Williams DT, et al. Outcome after diagnosis of psychogenic
nonepileptic seizures. Epilepsia. 1995;36:1131–1137.
14. Knake S, Triantafyllou C, Wald LL, et al. 3T phased array MRI improves the presurgical
evaluation in focal epilepsies: a prospective study. Neurology. 2005;65(7):1026–1031.

Anda mungkin juga menyukai