Anda di halaman 1dari 42

CASE BASED DISCUSSION

EPILEPSI

Pembimbing :

dr. Ni Made Yuli Artini, M.Biomed, Sp.S

Disusun oleh:

Moh.Hendra Sofyan 014.06.0025

SMF SARAF RSUD BANGLI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM

TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah Case Based
Disscussion pada stase Saraf.Dimana dalam penyusunan makalah ini bertujuan agar Dokter
Muda FK Unizar dapat memahami isi dari makalah ini sehingga dapat bermanfaat.

Tidak lupa juga kami mengucapakan terima kasih kepada dr. Ni Made Yuli Artini,
M.Biomed, Sp.S yang menjadi pembimbing dan semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini sehingga saya dapat menyelesaikannya dengan hasil yang
memuaskan.

Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari bahwa masih banyak kekurangannya
sehingga kami menginginkan saran dan kritik yang membangun dalam menyempurnakan
makalah ini.

Bangli, 7 Juli 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................... i

DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1

1.1 Latar Belakang...................................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................2

2.1 Definisi...............................................................................................................2

2.2 Epidemiologi......................................................................................................3

2.3 Etiologi...............................................................................................................3

2.4 Klasifikasi..........................................................................................................4

2.6 Patofisiologi.................................................................................................................6

2.7 Diagnosis............................................................................................................7

2.8 Diagnosis Banding...........................................................................................12

2.9 Tatalaksana.......................................................................................................15

2.10 Prognosis........................................................................................................22

BAB III LAPORAN KASUS..........................................................................................23

3.1 Identitas Pasien.................................................................................................23

3.2 Anamnesis........................................................................................................23

ii
3.3 Pemeriksaan Fisik............................................................................................24

3.4 Pemeriksaan penunjang....................................................................................34

3.4 Resume.............................................................................................................34

3.5 Diagnosis..........................................................................................................35

3.6 Penatalaksanaan...............................................................................................35

3.7 Prognosis..........................................................................................................36

BAB V Penutup...............................................................................................................38

5.1 Kesimpulan.........................................................................................................38

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 39

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai, terdapat pada
semua bangsa, segala usia dimana laki-laki sedikit lebih banyak dari wanita. Insiden
tertinggi terdapat pada golongan usia dini yang akan menurun pada gabungan usia
dewasa muda sampai setengah tua, kemudian meningkat lagi pada usia lanjut.
Prevalensi epilepsI berkisar antara 0,5% - 2%. Di Indonesia penelitian
epidemiologi tentang epilepsy belum pernah di lakukan, namun bila dipakai angka
prevalensi yang dikemukakan, maka dapat diperkirakan bahwa bila penduduk
Indonesia saat ini sekitar 220juta akan ditemukan 1,1 sampai 4,4 juta penderita
penyandang epilepsi dan 40% masih dalam usia reproduksi.
Epilepsi berasal dari bahasa Yunani yang berarti “serangan” atau penyakit yang
timbul secara tiba-tiba. Epilepsi merupakan penyakit yang umum terjadi dan penting
di masyarakat. Permasalahan epilepsi tidak hanya dari segi medik tetapi juga sosial
dan ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya. Dalam kehidupan sehari-
hari, epilepsy merupakan stigma bagi masyarakat. Mereka cenderung untuk menjauhi
penderita epilepsi.1
Akibatnya banyak yang menderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan mendapat
pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan psikososial
yang merugikan baik penderita maupun keluarganya.2

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Epilepsi

Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan tidak


terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.3

Epilepsi menurut JH Jackson (1951) didefinisikan sebagai suatu gejala akibat


cetusan pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan. Cetusan tersebut dapat
melibatkan sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal) atau yang lebih luas pada
kedua hemisfer otak (serangan umum). Epilepsi merupakan gejala klinis yang kompleks
yang disebabkan berbagai proses patologis di otak. Epilepsi ditandai dengan cetusan
neuron yang berlebihan dan dapat dideteksi dari gejala klinis, rekaman
elektroensefalografi (EEG), atau keduanya. Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang
ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih dari satu episode).3

Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau


for epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak
yang ditandai oleh adanya factor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang
epileptik,perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi social
yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang epileptik
sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan/atau gejala
yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang
terjadi di otak.4

Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan
ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-
neuronotak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik.

Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi >30 menit atau kejang berulang
tanpa disertai pemulihan kesadaran diantara dua serangan kejang.(4)

2
2.2. Epidemiologi Epilepsi

Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi.
Sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka epilepsy
lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsy di negara maju ditemukan sekitar
50/100.000. sementara di Negara berkembang mencapai 100/100.000.5

Di Negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan


pengobatan apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan
dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia dibawah 2 tahun dan usia
lanjut di atas 65 tahun. Umumnya paling tinggi pada umur 20 tahun pertama, menurun
sampai umur 50 th, dan meningkat lagi setelahnya terkait dengan kemungkinan terjadinya
penyakit cerebrovascular. Pada 75% pasien, epilepsy terjadi sebelum umur 18 tahun.6

2.3. Etiologi Epilepsi

Etiologi Epilepsi kemungkinan disebabkan oleh:

A. Aktivitas saraf abnormal akibat proses patologis yang mempengaruhi otak


B. Gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak akibat trauma
otak pada saat lahir atau cedera lain
C. Pada bayi  penyebab paling sering adalah asfiksi atau hipoksia waktu lahir,
trauma intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik, malformasi congenital pada
otak, atau infeksi
D. Pada anak-anak dan remaja  mayoritas adalah epilepsy idiopatik, pada umur 5-6
tahun  disebabkan karena febril
E. Pada usia dewasa penyebab lebih bervariasi  idiopatik, karena birth trauma,
cedera kepala, tumor otak (usia 30-50 th), penyakit serebro vaskuler (> 50 th)
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :

- Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ±50% dari penderita


epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetic, awitan biasanya
pada usia >3tahun. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan alat-alat
diagnostic yang canggih kelompok ini semakin sedikit.

3
- Epilepsi simptomatik : disebabkan oleh kelainan / lesi pada susunan saraf pusat.
Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan
metabolic, malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum, lesi desak ruang,
gangguan peredaran darah otak, toksik serta kelainan neurodegenerative.
- Epilepsy kriptogenik : dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui,
termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsy
mioklonik.7

2.4. Klasifikasi Epilepsi

Revisi dari klasifikasi International League Against Epilepsy (ILAE) 1981


dikarenakan beberapa faktor. Beberapa jenis kejang, seperti kejang tonik atau spasme
epileptik, dapat memiliki onset fokal atau umum. Kurangnya pengetahuan terhadap onset
kejang, mengakibatkan kejang menjadi tidak terklasifikasikan. Beberapa istilah pada
klasifikasi kejang sebelumnya, seperti diskognitif, psikis, partial, simple partial, dan
complex partial kurang dapat diterima atau kurang dimengerti. Menentukan ada tidaknya
gangguan kesadaran selama kejang dapat membingungkan terutama untuk non-klinisi.
Beberapa jenis kejang tidak dimasukan kedalam klasifikasi 1981.11

Gambar 1. Klasifikasi Epilepsi berdasarka ILAE 20174

4
Pedoman penggunaan klasifikasi operasional ILAE 2017 (ILAE)11

A. Onset: tentukan onset kejang apakah fokal atau umum


B. Awareness: untuk kejang fokal, tentukan tingkat kesadaran. Focal aware seizure
merujuk pada simple partial seizure pada klasifikasi sebelumnya dan focal
impaired awareness seizure merujuk pada complex partial seizure.
C. Gangguan kesadaran: kejang fokal menjadi focal impaired awareness seizure bila
terdapat gangguan kesadaran pada titik manasaja selama periode kejang.
D. Onset yang mendominasi: klasifikasikan kejag fokal dengan gejala atau tanda
pertama yang menonjol dengan tidak termasuk transient behavior arrest.
E. Behavior arrest: focal behavior arrest seizure menunjukkan penghentian aktivitas
sebagai gejala yang paling menonjol selama kejang.
F. Motor/non motor: subklasifikasi selanjutnya setelah menentukan tingkat
kesadaran. Pada kejang fokal, bila kesadaran sulit ditentukan, jenis kejang fokal
dapat ditentukan hanya dengan karakteristik motor atau non motor.
G. Deskripsi tambahan: setelah menentukan jenis kejang, dapat menambahkan
deskripsi dari gejala dan tanda. Hal ini tidak mengganggu jenis kejang yang sudah
ditentukan sebelumnya. Sebagai contoh: focal emotional seizure dengan tonik
pada lengan kanan dan hiperventilasi.
H. Bilateral berbanding umum: penggunaan istilah bilateral untuk kejang tonik-
klonik yang menyebar ke kedua hemisfer dan istilah umum untuk kejang yang
secara simultan berasal dari kedua hemisfer.
I. Absans atipikal: disebut absans atipikal bila onset lambat atau offset, terdapat
perubahan tonus, atau < 3 gelombang spike per detik di EEG.
J. Klonik berbanding myoklonik: klonik merujuk pada gerakan menyentak ritmik
yang terus menerus dan myoklonik adalah gerakan menyentak yang regular tidak
berkelanjutan.
K. Myoklonik palpebra: absans dengan myoklonik palpebra merujuk pada gejakan
mengedip selama kejang absans.11

5
2.5. Patofisiologi Epilepsi

Pada tingkat selular, dua ciri khasi aktivitas epileptiform adalah hipereksitabilitas
dan hipersinkronitas neural. Hipereksitabilitas merujuk pada peningkatan respon neuron
terhadap stimulasi, sehingga sel mencetuskan beberapa potesial aksi langsung.
Hipersinkron yaitu peningkatan cetusan neuron pada sebagian kecil atau besar regio di
korteks.

Walaupun terdapat perbedaan pada mekanisme yang mendasari kejang fokal dan
umum, secara sederhana bangkitan kejang terjadi karena adanya gangguan keseimbangan
antara inhibisi dan eksitasi pada satu regio atau menyebar diseluruh otak.
Ketidakseimbangan ini karena kombinasi peningkatan eksitasi dan penurunan inhibisi.10,12

Gambar 2. Skema sederhana mekanisme epilepsi3

Tabel 1. Contoh proses patofisiologis pada epilepsi3

6
2.6. Diagnosis
Untuk mendiagnosis epilepsi terutama didapatkan dari anamnesis yang baik.
Investigasi selanjutnya berguna untuk menilai gangguan fungsional dan struktural pada
otak.13
Pada anamnesis terutama dipasktikan lebih dulu apakah suatu bangkitan epilepsi
atau bukan. Kemudian tentukan jenis bangkitan dan sindroma epilepsi berdasarkan
klasifikasi ILAE.
Dalam praktik klinis, auto dan alloanamnesis dari orang tua atau saksi mata harus
mencakup pre-iktal, iktal, dan post-iktal.
A. Pre-iktal/ Sebelum bangkitan

Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya bangkitan,


seperti perubahan perilaku, perasaan lapar, berkeringat, hipotermi, mengantuk, menjadi
sensitif, dan lain-lain. Kemudian juga ditanyakan ingatan terakhir sebelum terjadi
serangan, untuk menentukan berapa lama amnesia terjadi sebelum serangan. Gejala
neurologis mungkin dapat menunjukan lokasi fokal.11

7
Tabel 2. Gejala neurologis fokal berdasarkan lokalisasi13

B. Iktal/ Selama bangkitan

Ditanyakan apakah terdapat aura atau adanya gejala yang dirasakan pada awal
bangkitan. Serta bagaimana pola/ bentuk bangkitan, mulai dari deviasi mata, gerakan
kepala, gerakan tubuh, vokalisasi, automatisasi, gerakan pada salah satu atau kedua
lengan dan tungkai, bangkitan tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit, pucat,
berkeringat, dan lain-lain. Ditanyakan juga apakah terdapat lebih dari satu pola
bangkitan, dan adakah perubahan pola dari bangkitan sebelumnya, serta aktivitas
pasien saat terjadi bangkitan, misalnya saat tidur, saat terjaga, bermain, dan lain-lain.
Serta berapa lama bangkitan terjadi.8

C. Post-iktal/ Setelah bangkitan

Apakah pasien langsung sadar, bingung, nyeri kepala, gaduh gelisah, Todd’s paresis.

D. Faktor pencetus: kelelahan, hormonal, stress psikologi, dan alkohol


E. Riwayat epilepsi sebelumnya: Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan,
interval terpanjang antar bangkitan, dan kesadaran antar bangkitan.
F. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap obat anti epilepsi (OAE) sebelumnya.
Perlu ditanyakan jenis dan dosis OAE, kepatuhan, serta kombinasi OAE.

8
G. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis psikiatrik maupun
sistemik yang mungkin menjadi penyebab maupun komorbiditas.
H. Riwayat epilepsi dan penyakit lain yang berhubungan dalam keluarga
I. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh kembang
J. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi SSP, dan lain-lain.8

Pemeriksaan Fisik dan Neurologis

1. Pemeriksaan fisik umum

Pemeriksaan dilakukan untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan


atau yang mencetuskan epilepsi, seperti: trauma kepala, tanda infeksi, kelainan
kongenital, penggunaan alkohol atau napza, kelainan pada kulit (neurofakomatosis),
dan tanda keganasan.8

2. Pemeriksaan neurologis

Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologi fokal atau difus yang dapat
berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit setelah bangkitan,
maka akan tampak pascabangkitan terutama tanda fokla yang tidak jarang dapat
menjadi pentunjuk lokalisasi seperti: paresis Todd, gangguan kesadaran post-iktal, dan
afasia post-iktal.8

Pemeriksaan Penunjang

1. Electro-ensefalografi

Electro-ensefalografi adalah suatu metode studi aktivitas listrik di korteks dengan


menggunakan lead yang terpasang di skalp. Elektroda-elektroda ini kemudian
menangkap aktivitas listrik otak yang paling tinggi.13

Banyak pasien dengan epilepsi memiliki EEG yang normal, seperti pada epilepsi
myoklonik juvenil hanya sekitar 50% memiliki EEG abnormal. Namun EEG tetp
modalitas pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan suatu bangkitan untuk
membantu menunjang diagnosis, penentuan jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi,
menentukan prognosis, serta perlu atau tidaknya pemberian OAE.13

9
Gambar 3. Gambaran EEG pada bangkitan umum13

Gambar 4. Gambaran EEG pada bangkitan parsial13

2. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Pada pasien yang baru didiagnosis dengan epilepsi 12-14% memiliki lesi kausal
pada MRI dan 80% pasien dengan kejang berulang memiliki abnormalitas struktur dari
hasil MRI. Terdapat lima indikasi pasien epilepsi dilakukan MRI yaitu:13

10
- Kejang dengan onset fokal
- Kejang umum atau tidak terklasifikasi pada tahun pertama kehidupan atau onset
pada dewasa
- Terdapat defisit neurologis
- Kegagalan mengontrol kejang setelah pemberian OAE lini pertama yang adekuat
- Perubahan pola kejang

MRI rutin yang optimal harus termasuk T1 dan T2-weighted, densitas proton, dan
sekuens Fluid Atenuated Inversion Recovery (FLAIR). Paling sedikit 2 bidang ortogonal.
Bidang koronal memberikan tampilan terbaik struktur mesial temporal dan garis luar
sklerosis hipokampus.13

Gambar 5. Lesi malformasi arterivena di lobus temporal posterior13

Gambar 6. Potongan aksial T21 dan T2 menggambarkan angima kavernosa13

11
Pemeriksaan CT Scan kepala lebih ditujukan untuk kasus
kegawatdaruratan, karena teknik pemeriksaannya lebih cepat. Di lain pihak MRI
kepala diutamakan untuk kasus elektif. Ditinjau dari segi sensitivitas dalam
menentukan lesi struktural, maka MRI lebih sensitif dibanding CT scan kepala.13

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan hematologis yang mencakup hemoglobin, leukosit, dan


hitung jenis, hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit, kadar gula darah
sewaktu, fungsi hati (SGOT/SGPT), ureum, kreatinin, dan albumin.8

Pemeriksaan ini dilakukan pada:

o Awal pengobatan sebagai salah satu acuan dalam menyingkirkan


diagnosis banding dan pemilihan OAE
o Dua bulan setelah pemberin OAE untuk mendeteksi efek samping OAE.
o Rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor samping OAE, atau
bila timbul gejala klinis akibat efek samping OAE.

Pemeriksaan kadar OAE idealnya untuk melihat kadar OAE dalam plasma
saat bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah mencapai dosis terapi maksimal
atau untuk memonitor kepatuhan pasien.8

Pemeriksaan lainnya yang dapat dilakukan namun tidak rutin yaitu pungsi
lumbal dan EKG.8

2.7. Diagnosis Banding

Ada beberapa gerakan atau kondisi yang menyerupai kejang epileptik, seperti
pingsan (syncope), reaksi konversi, panik dan gerakan pada movement disorder.8,13

Tabel 3. Diagnosis banding bangkitan epilepsi13

12
Membedakan syncope, kejang, dan pseudoseizure bergantung pada anamnesis dari pasien
dan saksi.

Tabel 4. Diagnosis banding kejang epileptik8

13
Non-epileptic attack disorders (pseudoseizure)

Non-epileptic attack disorders (NEAD) dapat juga disebut psudoseizure namun


definisi ini bisa berarti non-psikogenik atau psychogenic non-epileptic seizure (PNES).
Merupakan kondisi yang paling sering disalahdiagnosiskan dengan epilepsi. Mayoritas
pasien adalah wanita, namun juga dapat terjadi pada laki-laki dan lansia.14

Anamnesis yang paling membantu dalam membedakan keduanya adalah tingginya


frekuensi kejang (beberapa episode kejang dalam sehari) dan tidak berefek dengan
pemberian OAE. Adanya pencetus spesifik yang tidak biasa pada kasus epilepsi seperti stres,
marah, nyeri, gerakan tertentu, dan suara, terutama jika pencetus diduga secara konsisten
memicu kejang. Situasi saat kejang berlangsung, dimana pada PNES biasa terjadi di tempat
dengan banyak orang dan di ruang pemeriksaan, serta jarang terjadi saat tidur. Adanya
riwayat diagnosis gangguan psikiatri dan adanya juga gejala somatisasi meningkatkan
kecurigaan terhadap PNES.14

Syncope adalah penurunan kesadaran mendadak karena kurangnya aliran darah ke


otak. Pada usia muda hal ini paling sering terjadi akibat vasovagal, dengan penurunan
tekanan darah akibat bradikardia. Respon tubuh terhadap penurunan aliran darah otak adalah
dengan peningkatan simpatis, sehingga menimbulkan gejala presyncopal seperti berkeringat,
palpitasi, pucat, dyspnea, dan perasaan cemas. Penurunan kesadaran pada syncope
berlangsung cepat dan kesadaran juga kembali dengan cepat.14

14
Pada syncope juga dapat terjadi inkontinensia urin seperti pada kejang. Menggigit
lidah juga mungkin terjadi pada syncope tetapi biasanya ujung lidah yang tergigit bukan
pada sisi samping, dimana pada kejang injuri lidah lebih berat. Pada syncope gerakan yang
biasa terjadi adalah hentakan myoklonik yang jelas. Mata pasien biasanya tertutup bukan
mendelik, serta tidak ada sekuele neurologis fokal. Diagnosis syncope harus disertai
pemeriksaan EKG.13,14

Diagnosis banding selain PNES dan syncope yang menyerupai epilepsi yaitu
serangan panik, hipoglikemia, paroxysmal movement disorder, paroxysmal sleep disorder,
TIA, migraine, dan TGA.14

2.8. Penatalaksanaan Epilepsi

Setelah bangkitan yang pertama, keputusan untuk memulai pengobatan


bergantung pada risiko adanya bangkitan dikemudian hari serta apakah bangkitan dimulai
dengan suatu status epileptikus. Risiko ini tergantung dari kondisi bangkitan dan hasil
pemeriksaan. Risiko berulangnya kejang dalam 10 tahun terjadi pada 19% setelah kejang
simptomatik akut akibat trauma kepala, stroke, infeksi SSP, tetapi risiko berulang tiga
kali lipat pada bangkitan tanpa provokasi. Selain itu seberapa besar kemungkinan
terjadinya konsekuensi psikososial, masalah pekerjaan, atau keadaan fisik akibat
bangkitan selanjutnya dan pertimbangan untung rugi antara pengobatan dan efek samping
yang ditimbulkan. Ketepatan diagnosis merupakan dasar terapi.15

A. Tujuan medikasi

Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan penyandang epilepsi


dapat hidup normal dan tercapa kualitas hidup optimal. Harapannya adalah ‘bebas
bangkitan, tanpa efek samping’, walaupun hal ini sulit terjadi pada medikasi
inisial.8

B. Prinsip penatalaksanaan
- Pertolongan pertama

Keluarga harus diedukasi mengenai pertolongan pertama apa yang


harus dilakukan bila serangan timbul sebelum dibawa ke unit gawatdarurat.

15
Pertama, dipastikan pasien aman dari sekitarnya dengan menjauhkan pasien
dari benda-benda yang dapat melukai pasien. Kemudian penolong jangan
menahan gerakan kejang pasien dan jangan memasukan benda apapun ke
mulut pasien karena akan menambah cedera. Direkomendasikan untuk
memiringkan posisi pasien supaya mencegah obstruksi jalan napas dan
aspirasi. Jangan memberikan makanan atau minuman sampai kesadaran pasien
pulih.15

C. Terapi farmakologis

Prinsip Pemberian OAE

- Diagnosis epilepsi sudah dipastikan


- Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun
- Penyandang atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang tujuan
pengobatan dan efek sampingnya
- Bangkitan terjadi berulang walaupun faktor pencetus sudah dihindari

Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai


dengan jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi. Pemberian obat dimulai dari
dosis rendah dan ditingkatkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul
efek samping.8

Penyesuaian dosis diperlukan ketika timbulnya efek samping atau terjadi


bangkitan yang tidak dapat dibedakan karena dosis yang kurang tepat atau adanya
faktor presipitasi seperti penggunaan etanol berlebih. Jika efek samping ringan,
maka penyesuaian ringan dosis mungkin bermanfaat. Bila masalahnya adalah
timbulnya bangkitan, maka diperlukan titrasi OAE ke dosis yang lebih besar, atau
sampai ke dosis maksimal yang dapat ditoleransi.10

Bila dengan penggunaan OAE pertama dosis maksimum tidak dapat


mengontrol bangkitan, maka diganti dengan OAE kedua. OAE kedua harus
memiliki mekansisme kerja yang berbeda dengan OAE pertama. Caranya, bila
OAE telah mencapai kadar terapi maka OAE pertama diturunkan bertahap. Bila

16
terjadi bangkitan saat penurunan OAE pertama, maka kedua OAE tetap diberikan.
Bila respon yang terjadi buruk, kedua OAE harus digantikan dengan OAE yang
lain. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan bila terdapat respsons dengan OAE
kedua, tetapi respons tetap suboptimal walaupun penggunaan kedua OAE pertama
sudah maksimal.6,15

Pemilihan, Jenis Obat, dan Mekanisme Kerjanya

Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, dosis OAE, efek
samping OAE, profil farmakologi, dan interaksi antar obat.8

Tabel 5. Pemilihan Obat Anti Epilepsi8,16

17
Tabel 6. Dosis OAE untuk dewasa8

18
Tabel 7. Efek samping OAE8

Tabel 8. Profil farmakologi OAE8

19
Tabel 9. Interaksi farmakokinetik antar OAE

Penghentian OAE

Pada suatu studi meta analisis, kekambuhan kejang terjadi 25% setelah
penghentian OAE selama 1 tahun dan 29% setelah penghentian selama 2 tahun. Namun,
angka kejadian kekambuhan setiap tahunnya hanya sekitar 8% pada penghentian OAE
selama 2 tahun.15

Inisiasi penghentian OAE dilakukan setelah 2 tahun bebas kejang. Syarat lain
penghentian OAE adalah disetujui oleh penyandang dan keluarga, dilakukan secara
bertahap dalam jangka waktu 3-6 bulan, serta bila terapi dengan lebih dari satu OAE
maka penghentian dimulai dari satu OAE yang bukan utama.8,15

Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinannya pada


keadaan sebagai berikut:

- Semakin tua usia


- Epilepsi simptomatik
- Gambaran EEG abnormal
- Bangkitan yang sulit terkontrol dengan OAE
- Pengunaan lebih dari satu OAE

20
- Telah mendapat terapi selama 10 tahun atau lebih

Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum
pengurangan dosis OAE), kemudian dievaluasi kembali.8

Penatalaksanaan Status Epileptikus

Status epileptikus didefinisikan sebagai kejang yang berlangsung terus menerus


selama 30 menit atau terjadi 2 atau lebih kejang tanpa kembalinya kesadaran diantaranya.
Namun penanganan bangkitan konvulsifus harus dimulai bila bangkitan sudah berlangsung
lebih dari 5 menit. Definisi operasional status epileptikus adalah bangkitan dengan durasi
lebih dari 5 menit, atau bangkitan berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya kesadaran
diantara bangkitan.17

21
Gambar 7. Algoritma penatalaksanaan status epileptikus18

2.9. Prognosis

Kekambuhan setelah bangkitan pertama terjadi kurang dari setengah pada anak atau
dewasa muda dengan EEG normal, neuroimaging normal, dan tidak ada riwayat penyebab
epilepsi simptomatis. Sedangkan pada usia tua kekambuhan dapat mencapai 70%.10,13

Bangkitan yang pertama kali timbul pada usia tua lebih mudah diobati dibandingkan
pada kelompok usia yang lebih muda, dengan persentase kejadian bebas kejang 60%-70%
dengan monoterapi.10 Kejang yang tidak ditangani juga dapat menimbulkan bahaya seperti
jatuh, fraktur, cedera kepala, sudden death, dan status epileptikus.10

22
BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
 Nama : IWT
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Usia : 69 tahun
 Tanggal lahir : 31Desember 1952
 Alamat : Banjar Jelekungkang
 Status Pernikahan : Menikah
 No. RM : 240882
 Tanggal MRS : 30 Juni 2021
 Ruangan : Mawar

II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Kejang seluruh tubuh
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Seorang pasien laki-laki berusia 69 tahun diantar oleh keluarganya datang ke IGD
RSUD Bangli dengan keluhan kemarin pasien kejang riba-tiba saat tidur kurang lebih 30
menit SMRS, kejang dirasakan seluruh tubuh, kejang bersifat tonik dan klonik dengan
mata tertutup, saat kejang pasien tidak sadar, setelah kejang pasien sadar, pasien pernah
mengeluhkan mulut mencong ke kanan, suara pelo dan lemas dan kelemahan tubuh sisi
kiri, lidah tergigit (+), mata mendelik (-), ngompol (-), mulut berbusa negatif. Demam (-),
Mual dan muntah (-), pusing (-), batuk (-), pilek (-), BAK dan BAB dalam batas normal.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien mengaku memiliki riwayat kejang sejak 7 tahun yang lalu, dan mengalami
stroke tetapi tidak di ketahui secara pasti sejak kapan pasien mengalami stroke.

23
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada mengalami hal yang serupa. Pasien menyangkal adanya
riwayat tekanan darah tinggi, kencing manis, penyakit jantung, serta asma pada keluarga

e. Riwayat Pengobatan
Pasien mengaku sebelumnya tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan.

f. Riwayat Pribadi dan Sosial


Pasien menyangkal memiliki riwayat kebiasaan merokok maupun minum
minuman beralkohol.
III. PEMERIKSAAN FISIK

A. Keadaan umum
Kesadaran : compos mentis – tampak sakit sedang

Tekanan darah : 132/76 mmHg,

Denyut nadi : 76x/mnt

Frekuensi Nafas : 18x /mnt

Suhu : 36,5oC

SPO2 : 97%

B. STATUS GENERALIS

Kepala

 Bentuk : normochepali, simetris

24
 Nyeri tekan : (-)
- Rambut : hitam lurus dengan beberapa uban, distribusi merata, allopecia (-)
- Wajah : Asimetris (mencong kekanan), pucat (-), ikterik (-), petekie (-)
- Mata : edema kelopak mata (-/-), reflek pupil (+/+), pupil bulat isokor Ø 3 mm,
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), sekret (-/-), ptosis (-/-),
lagoftalmus (-/-)
- Hidung : Simetris , septum deviasi (-), deformitas (-), sekret (-/-)
- Telinga : normotia, pendengaran normal, nyeri tekan tragus dan mastoid (-)
- Gigi Mulut : Gigi (-), perdarahan gusi (-), oral hygiene cukup baik.
- Lidah : coated tongue (-), papil atrofi (-)
- Tenggorokan : normal, tidak hiperemis, tonsil T1-T1
Leher
 Kelenjar Getah Bening : Tidak teraba membesar
 Kelenjar Tiroid : Tidak teraba membesar
 Trakhea : Lurus, tidak ada deviasi
 JVP : 5+2 cm H20
Thoraks
 Paru
Inspeksi : Hemithoraks simetris saat statis dan dinamis, retraksi sela iga (-),
deformitas (-)
Palpasi : Vokal fremitus kanan dan kiri simetris
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
 Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V , 1 cm medial linea midclavicularis
sinistra
Perkusi : batas jantung atas : ICS II linea parasternal kanan
Batas jantung kanan : ICS IV linea sternalis kiri
Batas jantung kiri : ICS V 1 cm medial linea midclavicularis
Sinistra

25
Batas pinggang jantung : ICS II linea parasternal kiri
Auskultasi : BJ I-II regular, tunggal , murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : dinding abdomen datar, jaringan parut (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : supel, nyeri tekan tidak ada, hepar dan lien tidak teraba membesar
Perkusi : timpani (+) pada 9 regio abdomen
Ekstremitas
- atas : akral hangat (+/+), oedem (-/-), CRT < 2 detik
- bawah : : akral hangat (+/+), oedem (-/-) CRT< 2 detik -

C. STATUS NEUROLOGIS
1) Kesadaran : Composmentis
2) GCS : E 4 V5 M 6
3) Tanda Rangsang meningeal :
 Kaku kuduk :-
 Brudzinsky 1 :-
 Brudzinsky 2 : -|-
 Laseque : >700 | >700
 Kernig : >1350 | >1350
4) Saraf kranial :
1. N. I (Olfactorius )
Kanan Kiri Keterangan
Daya pembau Dbn Dbn Dalam batas
normal

2. N.II (Opticus)
Kanan Kiri Keterangan
Daya penglihatan Dbn Dbn Dalam batas
Lapang pandang Dbn Dbn normal

26
Pengenalan warna Dbn Dbn
Refleks cahaya langsung + +

3. N.III (Oculomotorius)
Kanan Kiri Keterangan
Ptosis (-) (-)
Pupil
Bentuk Bulat Bulat Dalam
Ukuran Φ2mm Φ2mm batas
akomodasi baik baik normal
Refleks pupil
Tidak langsung (+) (+)
Gerak bola mata + ke segala arah + ke segala arah
Kedudukan bola mata Simetris Simetris

4. N. IV (Trokhlearis)
Kanan Kiri Keterangan
Gerak bola mata Dbn Dbn Dalam batas
normal

5. N. V (Trigeminus)

Kanan Kiri Keterangan


Motorik Dbn Dbn
Sensibilitas Dbn Dbn
Opthalmikus Dbn Dbn Dalam batas
Maxilaris Dbn Dbn normal
Mandibularis Dbn Dbn

27
6. N. VI (Abduscens)
Kanan Kiri Keterangan
Gerak bola mata Dbn Dbn Dalam batas
Strabismus (-) (-) normal

7. N. VII (Facialis)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik
Saat diam asimetris asimetris Lateralisasi
Mengernyitkan dahi lateralisasi Dbn kekanan
Senyum lateralisasi Dbn
memperlihatkan gigi Dbn Dbn
Daya perasa 2/3 Tidak Tidak dilakukan
anterior lidah dilakukan

8. N. VIII (Vestibulo-Kokhlearis)
Kanan Kiri Keterangan
Pendengaran
Tuli konduktif (-) (-)
Tuli sensorieural (-) (-) Dalam batas
Vestibular normal
Vertigo (-) (-)
Nistagmus (-) (-)

28
9. N. IX (Glossofaringeus)
Kanan Kiri Keterangan
Arkus farings Simetris Simetris
Daya perasa 1/3 Dalam batas
posterior lidah Tidak Tidak dilakukan normal
dilakukan
Menelan Dbn Dbn

10. N. X (Vagus)
Kanan Kiri Keterangan
Arkus farings Simetris Simetris
Disfonia - - Dalam batas
Refleks muntah Tidak Tidak dilakukan normal
dilakukan

11. N. XI (Assesorius)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik
Menoleh dbn dbn Dalam batas
Mengankat bahu dbn dbn normal
Trofi Eutrofi Eutrofi
12. N. XII (Hipoglossus)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik Dbn Dbn
Trofi eutrofi Eutrofi lateralisasi
Tremor (-) (-)
Disartri (-) (-)
Ujung lidah dalam lateralisasi Simetris
istirahat
Ujung lidah dijulurkan

29
keluar lateralisasi Simetris

5) Sistem motorik
Kanan Kiri Keterangan
Ekstremitas atas
Simetris + +
Kekuatan 5555 4444
Tonus N N
Trofi Eu Eu
Ger.involunter (-) (-) Dalam Batas
Ekstremitas bawah Normal
Simetris + +
Kekuatan 5555 4444
Tonus N N
Trofi Eu Eu
Ger.involunter (-) (-)

6) Sistem sensorik
Sensasi Kanan Kiri Keterangan
Raba Baik baik Dalam batas
Nyeri baik baik normal
Suhu Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Propioseptif Tidak dilakukan Tidak dilakukan

30
7) Refleks

Refleks Kanan Kiri Keterangan


Fisiologis
Biseps (+) (+)
Triseps (+) (+)
Radius (+) (+)
Ulna (+) (+) Dalam batas
Patella (+) (+) normal
Achilles (+) (+)
Abdomen (+) (+)

Patologis
Hoffman Tromer (-) (-)
Babinski (-) (-) Dalam batas
Chaddock (-) (-) normal
Openheim (-) (-)
Gordon (-) (-)
Schaeffer (-) (-)

31
8) Fungsi koordinasi dan keseimbangan

Pemeriksaan Kanan Kiri Keterangan


Jari tangan – jari tangan Baik Baik
Jari tangan – hidung Baik Baik
Tumit – lutut Baik Baik
Pronasi – supinasi Baik Baik
Romberg test Tidak Tidak dilakukan
dilakukan

9) Sistem otonom
Miksi: Baik
Defekasi : Baik
Keringat : Baik

10) Fungsi luhur : Tidak ada gangguan fungsi luhur


Bahasa
Afasia motoric : Tidak ada
Afasia sensorik : Tidak ada
Afasia global : Tidak ada
Kognisi
Apraksia : Tidak ada
Agnosia : Tidak ada
Orientasi
Waktu : Baik
Tempat : Baik
Orang : Baik

32
11) Vertebra : tidak ada kelainan, tidak ada nyeri tekan

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pada pasien dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan Rapid Antigen, Darah Lengkap,
GDS, Urea Darah, Kreatinin darah, Elektrolit, dan EEG.
Hasil pemeriksaan penunjang :
HDL : 49,6 mg/dl
LDL : 139,7 mg/dl
CHOLESTROL : 275 mg/dl
TRIGLYCERIDES : 53 mg/dl

V. RESUME
Seorang pasien laki-laki berusia 69 tahun diantar oleh keluarganya datang ke IGD
RSUD Bangli dengan keluhan kemarin pasien kejang riba-tiba saat tidur kurang lebih 30
menit SMRS, kejang dirasakan seluruh tubuh, kejang bersifat tonik dan klonik dengan
mata tertutup, saat kejang pasien tidak sadar, setelah kejang pasien sadar, pasien pernah
mengeluhkan mulut mencong ke kanan, suara pelo dan lemas dan kelemahan tubuh sisi
kiri, lidah tergigit (+), mata mendelik (-), ngompol (-), mulut berbusa negatif. Demam (-),
Mual dan muntah (-), pusing (-), batuk (-), pilek (-), BAK dan BAB dalam batas normal.
Pasien tidak merokok dan minum alkohol.
Pada Pemeriksaan Fisik ditemukan :
Kesadaran : compos mentis – tampak sakit sedang

Tekanan darah : 132/76 mmHg,

Denyut nadi : 76 x/mnt

Frekuensi Nafas : 16x /mnt

33
Suhu : 36,5oC

Spo2 : 97%

Status generalis : Dalam batas normal


Status Neurologis : GCS E4V5M6
Tanda rangsang meningeal : negatif
Saraf kranialis : N. VII dan N. XII mengalami lateralisasi ke kanan
Sistem motorik :
Lengan kanan/kiri : 5555/4444
Tungkai kanan/kiri : 5555/4444
Sistem sensorik : baik
Refleks fisiologis : (+)
Refleks Patologis : (-)

VI. DIAGNOSIS KERJA


a. Diagnosis klinis : Kejang disertai gangguan kesadaran awal kejang
b. Diagnosis Topis : Korteks serebri
c. Diagnosis Etiologi : Epilepsi serangan umum bangkitan umum

VII. PENATALAKSANAAN
1. Non Medikamentosa
 Pertolongan pertama
o Pasien dan anggota keluarga harus diberitahukan dengan jelas tindakan apa yang
harus diambil bila menghadapi serangan.
o Jangan memasukan sesuatu ke dalam mulut pasien atau memaksa membuka mulut
pasien.
o Tidak perlu diusahakan mengekang gerakan kejang karena hanya akan berakibat
menimbulkan cedera.
o Pasien harus dibiarkan untuk mengalami kejang seperti seharusnya.
o Pasien harus dipindahkan ke tempat yang aman.

34
o Setelah serangan balikkan pasien pada salah satu sisi dalam posisi setengah
telungkup untuk membantu pernafasan pasien dan pemulihan serta berikan
bantalan di kepala dengan sesuatu yang lunak.
o Jalan nafas harus diperiksa dan diawasi
o Setelah suatu serangan pasien harus ditemani dan diberi dukungan hingga fase
bingung yang menyertainya telah hilang seluruhnya dan pasien memperoleh
kembali keseimbangannya.
2. Medikamentosa
IVFD NaCl 0.9 % 7-8 tpm
Ceticolin 2x500 mg (IV)
Asetosal 1x80 mg
Renitoin 3x100 mg (PO)
Diazepam 5-10 mg k/p
Pantoprazole 2x40 mg (IV)
Asam folat 2x5 mg (PO)
Atorvastatin 0-0-20 mg
VIII. PROGNOSIS
Ad Vitam : ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

35
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Seorang pasien laki-laki berusia 69 tahun diantar oleh keluarganya datang ke IGD
RSUD Bangli dengan keluhan kemarin pasien kejang riba-tiba saat tidur kurang lebih 30
menit SMRS, kejang dirasakan seluruh tubuh, kejang bersifat tonik dan klonik dengan
mata tertutup, saat kejang pasien tidak sadar, setelah kejang pasien sadar, pasien pernah
mengeluhkan mulut mencong ke kanan, suara pelo dan lemas dan kelemahan tubuh sisi
kiri, lidah tergigit (+).
Berdasarkan anamnesis pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien
didiagnosis Epilepsi bangkitan umum, planning untuk pasien yakni KIE keluarga dan
terapi farmakologis.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Catrinel ILIESCU, Dana CRAIU. Diagnostic Approach of Epilepsy in Childhood and


Adolescence. Maedica (Buchar). 2013 Jun; 8(2): 195–199.

2. Alberto Verrotti, Alessandra Cicconetti, dkk. Neuropsychiatr Disease and Treatment. 2013
Apr; 4(2): 365–370.

3. Lumbantobing. Epilepsi pada Anak. Naskah Lengkap Kedokteran Berkelanjutan.


Jakarta .FK UI .2002

4. Jerome Engel. Seizures and Epilepsy. OUP USA. 2013

5. Pallgreno TR. Seizure and status Epilepticus in Adults, in Tintinoli JE, Ruis E. Emergency
Medicine. 4th ed. New York .Mc Graw Hill.2005

6. Blaise F. Bourgeois, MD, Edwin Dodson, MD. Pediatric Epilepsy: Diagnosis and Therapy.
Third Edition. 2007.

7. World Health Organization. Epilepsy. Updated February 2017. [Cited 2017September 5]


Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs999/en/

8. Budikayanti A, Islamiyah WR, Lestari ND. Diagnosis dan Diagnosis Banding. In:
Kusumastuti K, Gunadharma S, Kustiowati E, editors. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. 4th ed.
Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair; 2014.p.19-32

9. Dadiyanto Dwi W, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro; 2011.

10. Stafstrom CE. Recognizing Seizures and Epilepsy: Insights from Pathophysiology. In:
Miller JW, Goodkin HP, editors. Neurology in Practice: Epilepsy. New Jersey: Wiley
Blackwell; 2014.p. 3-20

11. Fisher RS, Cross JH, D’Souza C, French JA, Haut SR, Higrashi N, et al. Instruction Manual
for the ILAE 2017 Operational Classification of Seizure Types. Epilepsia. 58(4): 531-42.

12. Noebels JL, Avoli M, Rogawski MA, Olsen RW. Jasper’s Basic Mechanism of Epilepsies.
New York: Oxford University Press; 2012.

13. Leach JP, O’Dwyer R. Diagnosis of Epilepsy. 1 st ed. Epilepsy Simplified. Malta: Gutenberg
Press; 2011.p. 51-67
37
14. Benbadis S. Differential Diagnosis of Epilepsy: A Critical Review. Elsevier. 2009:15:1521.

15. Swisher CB, Radtke RA. Principles of Treatment. In: Husain MA, editor. Practical Epilepsy.
New York: Demosmedical; 2016.p.254-9

16. National institute of clinical Excellence. The epilepsies: the diagnosis and management of
the epilepsies in adult and children in primary and secondary care. NICE Clinical guideline
137. London January,2012

17. Lowenstein DH, Cloyd J. Out-of-hospital treatment of status epilepticus and prolonged
seizures. Epilepsia. 2007. 48 Suppl 8:96-8

18. Glauser T, Ben-Menachem E, Burgeois B, Cnaan A, Guerreiro C, Matson R, et al. AED


Guideline updated ILAE evidence review of antiepileptic drug efficacy and effectiveness as
initial monotherapy for epileptic seizure drug syndromes. Epilepsia. 2013: 1-13

38

Anda mungkin juga menyukai