Anda di halaman 1dari 16

Laboratorium / SMF Ilmu Kesehatan Jiwa REFERAT

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

Gangguan Psikiatrik pada Epilepsi

Oleh
Silvanus Giovanny Bunga Allo
NIM. 2010017016

Dosen Pembimbing
dr. Denny Jeffry Rotinsulu, Sp.KJ

Laboratorium / SMF Ilmu Kesehatan Jiwa


Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
September 2020

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah, karena berkat rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat tentang “Gangguan Psikiatrik
pada Epilepsi”. Referat ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di
Laboratorium Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
Tidak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada dr. Denny Jeffry
Rotinsulu, Sp. KJ selaku dosen pembimbing klinik yang telah memberikan
banyak bimbingan, perbaikan dan saran penulis sehingga referat ini dapat
diselesaikan dengan baik. Penulis menyadari masih terdapat banyak
ketidaksempurnaan dalam referat ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan
saran demi penyempurnaan referat ini. Akhir kata penulis berharap semoga referat
ini menjadi ilmu bermanfaat bagi para pembaca.

Samarinda,14 Oktober 2020

Penulis,

Silvanus Giovanny

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I.......................................................................................................................1

1.1. Latar Belakang...........................................................................................1

BAB II......................................................................................................................2

2.1 Definisi......................................................................................................2

2.2 Etiologi......................................................................................................3

2.3 Epidemiologi.............................................................................................3

2.4 Klasifikasi..................................................................................................4

2.5 Gangguan Psikiatri pada Epilepsi..............................................................5

2.6 Patofisiologi...............................................................................................8

2.8 Tatalaksana................................................................................................8

2.10 Prognosis...................................................................................................9

BAB III...................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Psikosis merupakan gejala gangguan mental yang berat dimana
seseorang kehilangan kemampuan untuk mengenali realistis atau
berhubungan dengan orang lain dan mereka biasanya berprilaku dengan
cara yang tidak tepat dan aneh. Psikosis muncul sebagai gejala dari
sejumlah gangguan mental, gangguan suasana hati dan lain sebagainya.
bentuk gangguan mental yang ditandai dengan adanya diorganisasi
kognitif, diorientasi waktu, ruang, orang, serta adanya gangguan dalam
emosionalnya. Gejala psikosis yang dapat tejadi seperti ilusi, delusi,
halusinasi dan lain sebagainya. Penyakit ini cukup serius sehingga perlu
penanganan yang cepat, apabila penanganan tidak dilakukan pada saat
yang tepat psikosis akan terjadi dalam kurun waktu yang lama.
Gangguan mental organik didefinisikan sebagai gangguan yang
memiliki dasar organik yang patologi yang dapat diidentifikasikan seperti
tumor otak, penyakit cerebrovaskular, intosifikasi obat. Gangguan mental
organik umumnya terdapat gangguan fungsi kognitif, sensorium, persepsi,
isi pikir, serta suasana perasaan dan emosi.
Epilepsi adalah istilah untuk cetusan listrik lokal pada substansia
grisea otak yang terjadi sewaktu-waktu secara mendadak dan sangat cepat.
Secara klinis epilepsi merupakan gangguan paroksismal dimana cetusan
neuron neuron di korteks serebri mengakibatkan serangan penurunan
kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku atau
emosional yang intermiten dan stereotipik

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Epilepsi merupakan kelainan serebral yang di tandai dengan faktor
predisposisi menetap untuk mengalami kejang berkelanjutan dan terdapat
konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis dan sosial. Epilepsi
merupakan manisfestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi,
namun dengan gejala tunggal khas yaitu serangan berkala yang disebabkan
oleh lepasnya muatan listrik neuron-neuron di otak secara berlebihan dan
paroksismal.(Ginsberg, 2010)
Epilepsi adalah salah satu gangguan susunan saraf pusat yang
terjadi karena pelepasan neuron pada korteks serebri yang mengakibatkan
penuruan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku
emosional yang intermiten dan stereotipik. Keadaan ini yang
mempengaruhi timbulnya perubahan perilaku pada penderita epilepsi.
Pada perubahan perilaku selama dan sesudah kejang, gangguan
epileptogenik yang melibatkan fungsi sering berlanjut sampai pada periode
postictal dan interictal. Kerusakan fungsi kognitif secara umum
mempengaruhi perhatian, memori, kecepatan berpikir, dan bahasa sama
seperti pada fungsi sosial dan perilaku. Perubahan perilaku meliputi
gangguan mood, depresi, ansietas, dan psikosis.(Elvira & Hadisukanto,
2010)
Pada pasien epilepsi terjadi kehilangan kesadaran, hal ini
disebabkan karena instabilitas dari neuron-neuron pada korteks. Sebelum
terjadinya serangan epilepsi, terdapat gejala aura, yaitu penderita merasa
pusing, merasa tidak enak pada perut dan punggungnya dalam beberapa
detik.  Penderita menjadi bingung dan merasakan getaran-getaran dingin,
sehingga dia tidak dapat mempersiapkan diri terhadap serangan kejang. 
Lalu penderita mengalami aura-stupor, yaitu rasa seperti terbius dan tidak

2
berdaya, serta merasakan kelumpuhan atau kekakuan pada sebagian
anggota badannya. (Elvira & Hadisukanto, 2010)

2.2 Etiologi
2.2.1 Struktural
Kelainan struktur dapat disebabkan oleh stroke, trauma dan infeksi
atau genetik. Seperti adanya malformasi kortikal, penyebab lesi structural
ini dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan MRI.
2.2.2 Genetik
Konsep etiologi epilepsy genetic adalah epilepsy yang disebabkan
oleh mutasi genetic. Epilepsy yang disebabkan oleh kelainan genetic ini
cukup beragam dan dalam banyak kasus, gen yang mendasari belum
diketahui.
2.2.3 Infeksi
Infeksi merupakan penyebab paling sering didunia yang
menyebabkan terjadinya epilepsi. Contohnya yaitu neurocysticercosis,
tuberculosis, HIV, cerebral malaria, subacute sclerosing panencephalitis,
cerebral toxoplasmosis, dan congenital infections seperti Zika virus and
cytomegalo- virus. Epilepsi juga dapat terjadi pada pasien yang
sebelumnya mengalami infeksi akut contohnya viral ensefalitis.
2.2.4 Metabolik
Terjadi akibat adanya gangguan metabolik dengan manifestasi
kejang akibat perubahan biokimia pada tubuh seperti porphyria, uremia,
aminoacidopathies, atau pyridoxine-dependent.
2.2.5 Metabolik
Pada epilepsi imun dapat disebabkan oleh adanya gangguan sistem
imun dengan gejala utama kejang, penyebab ini dapat ditemukan pada
orang dewasa maupun anak-anak. Diagnosis dari autoimun ini dapat
terdeteksi dengan pemeriksaan antibodi, sehingga pengobatannya dapat
diberikan imunoterapi sesuai dengan gangguan sistem imunnya.
2.2.6 tidak diketahui

3
Apabila etiologi epilepsi tidak biasa tidak diketahui penyebabnya
maka digolongkan dalam kelompok idiopatik. (Tjahjadi, Dikot, &
Gunawan, 2009)

2.3 Epidemiologi
Hingga 1% dari populasi umum menderita epilepsi aktif, dengan
20-50 pasien baru terdiagnosis per 10.000 per tahunnya. Perkiraan angka
kematian pertahun akibat epilepsi adalah 2 per 100.000 kematian dapat
berhubungan langsung dengan kejang atau jika terjadi cedera akibat
kecelakaan atau trauma. Data dari WHO menyebutkan bahwa dari banyak
studi menunjukkan rata-rata prevalensi epilepsi aktif 8,2 per 1000
penduduk, sedangkan angka insidensi mencapai 50 per 100.000 penduduk.
Meskipun di Indonesia belum ada data pasti tentang prevalensi maupun
insidensi, tapi sebagai suatu negara berkembang yang berpenduduk
berkisar 220 juta, maka diperkirakan jumlah orang dengan epilepsi yang
masih mengalami bangkitan atau membutuhkan pengobatan berkisar 1,8
juta(Elvira & Hadisukanto, 2010; Ginsberg, 2010)
Penelitian epidemiologi tentang insiden dan prevalensi terjadinya
psikopatologi diantara serangan kejang masih sedikit. Namun penilitian
yang ada memperlihatkan bahwa terdapat peningkatan prevalensi problem
psikiatri di antara pasine-pasien epilepsi dibandingkan pada pasien tanpa
epilepsi.

2.4 Klasifikasi
2.4.1 Bangkitan Parsial / Fokal

Kejang parsial mungkin tidak diketahui maupun dibingungkan


dengan kejadian lain. Terjadi pada satu area otak dan terkadang menyebar
ke area lain. Jika menyebar, akan menjadi kejang umum (sekunder), paling
sering terjadi kejang tonik klonik. 60 % penderita epilepsi merupakan
kejang parsial dan kejang ini terkadang resisten terhadap terapi
antiepileptik.
a. Parsial sederhana

4
Kejang singkat ini diistilahkan “aura” atau “warn-ing” dan terjadi
sebelum kejang parsial kompleks atau kejang tonik klonik. Tidak ada
penurunan kesadaran, dengan durasi kurang dari satu menit.
b. Parsial kompleks
Serangan ini dapat sangat bervariasi, bergantung pada area dimulai dan
penyebaran di otak. Banyak kejang parsial kompleks dimulai dengan
tatapan kosong, kehilangan ekspresi atau samar-samar, penampilan
bingung. Kesadaran terganggu dan orang mungkin tidak merespon.
Kadang-kadang orang memiliki perilaku yang tidak biasa. Perilaku
umum termasuk mengunyah, gelisah, berjalan di sekitar atau
bergumam. Kejang parsial dapat berlangsung dari 30 detik sampai tiga
menit. Setelah kejang, penderita sering bingung dan mungkin tidak
ingat apa-apa tentang kejang. (Tjahjadi, Dikot, & Gunawan, 2009)

2.4.2 Bangkitan Umum

Terjadi pada seluruh area otak. Kesadaran akan terganggu pada


awal kejadian kejang. Kejang umum dapat terjadi diawali dengan kejang
parsial simpleks atau kejang parsial kompleks. Jika ini terjadi, dinamakan
kejang umum tonik-klonik sekunder.

a. Tonik-Klonik (Grandmal)
Jenis kejang yang paling dikenal. Diawali dengan hilangnya
kesadaran dan sering penderita akan menangis. Jika berdiri, orang akan
terjatuh, tubuh menegang (tonik) dan diikuti sentakan otot (klonik).
Bernafas dangkal dan sewak-tu-waktu terputus menyebabkan bibir dan
kulit terlihat keabuan/ biru. Air liur dapat terakumulasi dalam mulut,
terkadang bercampur darah jika lidah tergigit. Dapat terjadi kehilangan
kontrol kandung kemih. Kejang biasanya berlangsung sekitar dua
menit atau kurang. Hal ini sering diikuti dengan periode kebingungan,
agitasi dan tidur. Sakit kepala dan nyeri juga biasa terjadi setelahnya.
b. Absens (Petit Mal)

5
Kejang ini biasanya dimulai pada masa anak-anak (tapi bias terjadi
pada orang dewasa), seringkali keliru dengan melamun atau pun tidak
perhatian. Sering ada riwayat yang sama dalam keluarga. Diawali
mendadak ditandai dengan menatap, hilangnya ekspresi, tidak ada
respon, menghenti-kan aktifitas yang dilakukan. Terkadang dengan
kedipan mata atau juga gerakan mata ke atas. Durasi kurang lebih 10
detik dan berhenti secara tiba-tiba. Penderita akan segera kembali
sadar dan melanjutkan aktifitas yang dilakukan sebelum kejadian,
tanpa ingatan tentang kejang yang terjadi. Penderita biasanya memiliki
kecerdasan yang normal. Kejang pada anak-anak biasanya teratasi
seiring dengan pubertas.
c. Tonik
Terjadi mendadak. Kekakuan singkat pada otot seluruh tubuh,
menyebabkan orang menjadi kaku dan terjatuh jika dalam posisi
berdiri. Pemulihannya cepat namun cedera yang terjadi dapat bertahan.
Kejang tonik dapat terjadi pula saat tertidur.
d. Mioklonik
Kejang berlangsung singkat, biasanya sentakan otot secara intens
terjadi pada anggota tubuh atas. Sering setelah bangkitan
mengakibatkan menjatuh-kan dan menumpahkan sesuatu. Meski
kesadaran tidak terganggu, penderita dapat merasa kebingungan dan
mengantuk jika beberapa episode terjadi dalam periode singkat.
Terkadang dapat memberat menjadi kejang tonik-klonik.
e. Atonik
Terjadi mendadak, kehilangan kekuatan otot, menyebabkan penderita
lemas dan terjatuh jika dalam posisi berdiri. Biasanya terjadi cedera
dan luka pada kepala. Tidak ada tanda kehilangan kesadaran dan
pemulihan cepat kecuali terjadi cedera.(Tjahjadi, Dikot, & Gunawan,
2009)

2.5 Gangguan Psikiatri pada Epilepsi


2.5.1 Preiktal

6
Pada preiktal (aura) pada epilepsi parsial kompleks adalah
termasuk sensasi otonomik seperti rasa penuh di perut, kemerahan, dan
perubahan pada pernafasan, dan sensasi kognitif seperti deja vu, jamais
vu, pikiran dipaksakan, dan keadaan seperti mimpi. Keadaan afektif
dirasakan rasa takut, panik, depresi, dan elasi.(Kaplan & Sadock, 2010)

2.5.2 Iktal

Panik, kacau, dan kegagalan limitasi menandai kejadian iktal.


Gejala kognitif meliputi amnesia untuk waktu selama kejang dan periode
penyelesaian delirium setelah kejang. Fokus kejang dapat ditemukan di
EEG dalam 25 sampai 50% dari semua pasien dengan epilepsi parsial
kompleks. Penggunaan elektroda sementara sphenoidal atau anterior dan
kurang tidur EEG dapat meningkatkan kemungkinan menemukan suatu
kelainan EEG. EEG yang normal Multiple sering diperoleh untuk pasien
dengan epilepsi parsial kompleks, sehingga pada EEG normal tidak dapat
digunakan untuk mengecualikan diagnosis epilepsi parsial kompleks.
(Kaplan & Sadock, 2010)
2.5.3 Interiktal

a. Gangguan Kepribadian
Kelainan psikiatri yang paling sering dilaporkan pada
pasien dengan epilepsi adalah gangguan kepribadian, dan ini
sangat mungkin terjadi pada pasien dengan epilepsi lobus
temporal. Gambaran yang paling umum adalah perubahan perilaku
seksual. Sindrom dalam bentuk lengkap relatif jarang terjadi,
bahkan pada mereka dengan kejang parsial kompleks asal lobus
temporal. Banyak pasien tidak terpengaruh oleh gangguan
kepribadian, yang lainnya menderita berbagai gangguan yang
berbeda mencolok dari sindrom klasik (Kaplan & Sadock, 2010)
Gejala gangguan kepribadian biasanya paling nyata dalam
percakapan pasien, yang kemungkinan akan menjadi lambat,
serius, membosankan, bertele-tele, terlalu penuh dengan rincian
yang tidak penting, dan sering mendalam. Kecenderungan

7
berbicara, sering tercermin dalam tulisan pasien, menghasilkan
gejala yang dikenal sebagai hypergraphia, yang beberapa dokter
mempertimbangkan hampir patognomonik untuk epilepsi parsial
kompleks.(Kaplan & Sadock, 2010)
Perubahan perilaku seksual dapat dimanifestasikan oleh
hypersexuality; penyimpangan dalam minat seksual, seperti
fetisisme dan transvestisme, dan, paling sering, hyposexuality.
Hyposexuality ini ditandai baik oleh kurangnya minat dalam hal-
hal seksual dan dengan gairah seksual berkurang. Beberapa pasien
dengan onset epilepsi parsial kompleks sebelum pubertas mungkin
gagal untuk mencapai tingkat normal minat seksual setelah
pubertas, meskipun karakteristik ini mungkin tidak mengganggu
pasien. Untuk pasien dengan onset epilepsi parsial kompleks
setelah pubertas, perubahan minat seksual mungkin mengganggu
dan mengkhawatirkan.(Kaplan & Sadock, 2010)
b. Gejala psikotik
Psikotik interiktal lebih umum daripada psikosis iktal.
Skizofrenia-like episode interiktal dapat terjadi pada pasien dengan
epilepsi, terutama mereka yang berasal lobus temporal.
Diperkirakan 10 persen dari semua pasien dengan epilepsi parsial
kompleks memiliki gejala psikotik. Faktor risiko termasuk gejala
jenis kelamin wanita, kidal, timbulnya kejang selama masa
pubertas, dan lesi sisi kiri.(Kaplan & Sadock, 2010)
Timbulnya gejala psikotik pada epilepsi bervariasi. Secara
klasik, gejala psikotik muncul pada pasien yang memiliki epilepsi
untuk waktu yang lama, dan timbulnya gejala psikotik didahului
oleh perkembangan perubahan kepribadian terkait dengan aktivitas
otak epilepsi. Gejala yang paling khas dari psikosis adalah
halusinasi dan delusi paranoid. Gejala-gejala gangguan berpikir
pada pasien dengan epilepsi psikotik paling sering yang melibatkan
konseptualisasi dan sifat terperinci, bukan gejala skizofrenia klasik
yaitu blocking dan looseness.(Kaplan & Sadock, 2010)

8
c. Gejala Gangguan suasana hati
Gejala-gejala gangguan mood yang memang terjadi
cenderung episodik dan muncul paling sering ketika fokus epilepsi
mempengaruhi lobus temporal. Pentingnya mengetahui gejala
gangguan mood sejak dini dapat dibuktikan oleh peningkatan
kejadian percobaan bunuh diri pada orang dengan epilepsi. (Kaplan
& Sadock, 2010)

2.6 Patofisiologi
Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan adanya beberapa
faktor yang bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan
pada ligand-gate merupakan sub unit dari reseptor nikotinik begitu juga
halnya dengan voltage-gate berupa kanal natrium dan kalium. Peran
natrium, kalium dan kalsium merupakan ion-ion yang berperan dalam
sistem komunikasi neuron lewat reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion ini
menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesama
neuron (Dewanto, 2009).
Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut
maka bangkitan listrik akan juga terganggu sebagaimana pada penderita
epilepsi. Kanal ion ini berperan dalam kerja reseptor neurotransmiter
tertentu. Dalam hal epilepsi dikenal beberapa neurotransmiter seperti
GABA yang dikenal sebagai inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin,
asetilkholin yang di hipokampus dikenal sebagai yang bertanggung jawab
terhadap memori dan proses belajar. Timbulnya serangan kejang adalah
kemugkinan adanya ketidakseimbangan antara asetilkolin yanng
merupakan neurotransmitter sel-sel otak. Asetilkolin menyebabkan
depolarisasi, yang dalam jumlah berlebihan menimbulkan kejang. Sedang
GABA menimbulkan hiperpolarissasi, yang sebaliknya akan merendahkan
eksitabilitas dan menekan timbulnya kejang. Berbagai kondisi yang
mengganggu metabolisme otak seperti penyakit metabolik, racun,

9
beberapa obat dan putus obat, dapat menimbulkan pengaruh yang sama.
(Dewanto, 2009)

2.7 Tatalaksana
Obat-obat antiepilepsi lebih dikenal sebagai obat antikonvuksan.
Walupun memiliki efek anti kejang juga diduga memiliki aktivitas sebagai
psikotropik. Carabamazepin dan valproat memiliki kemampuan antimanik
dan mood stabilizer. Mekanisme kerja obat antikonvulsan terbagi menjadi
2 mekanisme penting, yaitu mencegah timbulnya letupan depolarisasi
eksesif pada neuron epilepton di dalam fokus epilepsi dan mencegah
terjadinya letupan depolarisasi pada neuron yang normal akibat pegaruh
fokus epilepsi. Mekanisme kerja lain sampai saat ini belum banyak
diketauhi secara jelasnya hanya dikatakan bahwa berbagai obat
antikonvulsan diketahui mempengaruhi berbagai fungsi neurofisiologi
otak terutama mempengarui inhibisi yang melibatkan GABA dalam
mekanisme kerja sebagai antikonvulsan(Dewanto, 2009)
Dalam pengobatan pasien epilepsi dengan gangguan psikiatri hal
pertama yang perlu dilakukan adalah mengatasi epilepsinya dengan obat
antikonvulsan sepeti carbamazepin, asam valporoat, gabapentin dan
lamotigine. Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah obat antipsikotik
yang menurunkan ambang kejang. Hal ketiga perlu disadari adanay
potensi terjadinya interaksi anatara antikonvulsan dan antipsikotik.
Biasanya antikonvulsan meningkatkan metabolisme antipsikotik dengan
akibat penurunan efek terapinya. Sebaliknya penghentian antikonvulsan
dapat mencetuskan peningkatan pada konnsentrasi antipsikotik. 5
Carbamazepin dan Asam valproik mungkin membantu dalam
mengendalikan gejala iritabilitas dan meledaknya agresi, karena mereka
adalah obat antipsikotik tipikal. Carbamazepin efektif untuk epilepsi
parsial terutama epilepsi parsial kompleks, epilepsi umum tonik-klonik,
maupun kombinasi kedua jenis epilepsi ini. Mekanisme kerja
carbamazepin ini adalah inhibisi kanal Na dan inhibisi Ca. Untuk

10
enghindari efek samping, pemberian perlu di titrasi untuk mencapai kadar
terapeutik. Pada pasien dewasa dimulai dengan dosis 100-200 mg atau
2dd 100 mg kemudian 3-7 hari di tingkatkan menjadi 2dd 200 mg. Asam
valproat sangat efektif untuk abses, dan epilepsi umum primer. Efek toksis
sedian ini adalah gangguan saluran pencernaan dan efek sedasi(Dewanto,
2009)

2.8 Prognosis
Kebanyakan pasien dengan epilepsi memiliki prognosis baik bila
kejang dapat dikontrol dengan antikonvulsan. Sebagian besar pasien tidak
mengalami gangguan psikiatri dan hanya terjadi bila megalami kejang
yang tidak terkontrol dalan jangka panjang. Untuk masalah perilaku, obat
anti konvulsan atau operasi mungkin dapat mengatasi beberapa gejala
seperti agresi, tetapi nungkin tidak dapat mencegah munculnya gejala lain
seperti psikosis dan perilaku suicidal.(Elvira & Hadisukanto, 2010)

11
BAB III
PENUTUP
Ganguan mental organik merupakan gangguan-gangguan yang dikaitkan
dengan disfungsi otak secara temporer atau permanen. Epilepsi merupakan
gangguan susunan saraf pusat yang terjadi karena pelepasan neuron pada korteks
serebri yang mengakibatkan penuruan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau
sensorik, perilaku emosional yang intermiten dan stereotipik. Pada epilepsi dapat
timbul perubahan perilaku, perubahan perilaku dapat terjadi selama dan sesudah
kejang. Gangguan mental organik merupakan gangguan pada mental yang
disebabkan oleh adanya gangguan atau penyakit pada fisik.  Umumnya
disebabkan oleh adanya gangguan pada otak serta fungsi jaringan-jaringan otak. 
Hal ini mengakibatkan berkurangnya tau rusaknya fungsi-fungsi kognitif, yaitu
antara lain daya ingat, daya pikir daya konsentrasi dan perhatian; juga dapat
mempengaruhi emosi.

Biasanya pada epilepsi dengan perubahan prilaku terjadi pada episode


intertical. Epilepsi juga dapat terjadi kerusakan fungsi kognitif secara umum
mempengaruhi perhatian, memori, kecepatan berpikir dan bahasa sama seperti
pada fungsi sosial dan perilaku. Perubahan perilaku meliputi gangguan mood,
depresi, ansietas dan psikosis. Epilesi terjadi karena terjadi kerusakan atau
kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka bangkitan listrik. Timbulnya serangan
kejang adalah kemugkinan adanya ketidakseimbangan antara asetilkolin yanng
merupakan neurotransmitter sel-sel otak. Asetilkolin menyebabkan depolarisasi,
yang dalam jumlah berlebihan menimbulkan kejang. Pengobatan pada gangguan
psikosis dengan epilepsi adalah dengan memberikan antikonvulsan kemudian di
imbangi dengan pemberian antipsikotik.

12
Daftar Pustaka
Dewanto, G. (2009). Panduan praktis Diagnosis dan tata laksana penyakit saraf.
EGC.
Elvira, S. D., & Hadisukanto, G. (2010). Buku ajar psikiatri. Jakarta: FKUI.
Ginsberg, L. (2010). Lecture notes: neurology (Vol. 16). John Wiley & Sons.
Ropper, A. H., Adams, R., Victor, M., & Samuels, M. A. (2005). Adams and
Victor’s principles of neurology. McGraw Hill Medical,.
Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2010). Kaplan dan Saddock Buku Ajar Psikiatri
Klinis. Edisi, 2, 366–385.

13

Anda mungkin juga menyukai