Anda di halaman 1dari 36

REFERAT

KOMA DAN TATALAKSANA

Pembimbing:
dr. Budi Wahjono, Sp.S

Disusun oleh:
Angeline Amelia 030.12.022
Carla Octavani 030.13.044
Siti Abila Zebadiah 030.14.177
Jatniko Fadhilah 030.14.102
Deata Sausan Anaqo 030.14.043
Gustian Satria Pratama 030.14.076
Noviara Ghita Thiananda 030.14.145
Alya Shafira 030.14.010

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


RUMAH SAKIT TNI ANGKATAN LAUT DR. MINTOHARDJO
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul :

“Koma dan Tatalaksana”

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf
Rumah Sakit TNI Angkatan Laut Dr. Mintohardjo
periode 5 November – 8 Desember 2018

Disusun oleh :
Angeline Amelia 030.12.022 Deata Sausan Anaqo 030.14.043
Carla Octavani 030.13.044 Gustian Satria Pratama 030.14.076
Siti Abila Zebadiah 030.14.177 Noviara Ghita Thiananda 030.14.145
Jatniko Fadhilah 030.14.102 Alya Shafira 030.14.010

Jakarta, November 2018

Dokter pembimbing

dr. Budi Wahjono, Sp.S

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1


1.1 Latar belakang ........................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 0


2.1 Definisi ....................................................................................... 0
2.2 Etiologi ....................................................................................... 0
2.3 Patofisiologi ............................................................................... 0
2.4 Pembagian derajat kesadaran ..................................................... 0
2.5 Pemeriksaan pasien koma ......................................................... 0
2.6 Pengelolaan pasien koma .......................................................... 0
2.7 Prognosis .................................................................................... 0

BAB III KESIMPULAN .............................................................................. 0


1.1 Kesimpulan .............................................................................. 0

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 0

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Kesadaran merupakan fungsi utama susunan saraf pusat. Untuk


mempertahankan fungsi kesadaran yang baik, perlu suatu interaksi yang konstan
dan efektif antara hemisfer serebri yang intak dan formasio retikularis di batang
otak. Gangguan pada hemisfer serebri atau formasio retikularis dapat
menimbulkan gangguan kesadaran.
Bergantung pada beratnya kerusakan, gangguan kesadaran dapat berupa
apati, delirium, somnolen, sopor atau koma. Koma sebagai kegawatan maksimal
fungsi susunan saraf pusat memerlukan tindakan yang cepat dan tepat, sebab
makin lama koma berlangsung makin parah keadaan susunan saraf pusat sehingga
kemungkinan makin kecil terjadinya penyembuhan sempurna.
Gangguan kesadaran merupakan suatu proses kerusakan fungsi otak yang
berat, yang dapat membahayakan kehidupan.
Pada proses ini susunan saraf pusat terganggu fungsi utamanya
mempertahankan kesadaran. Gangguan kesadaran ini dapat disebabkan beraneka
ragam penyebab baik primer intrakranial ataupun ekstrakranial, yang
mengakibatkan kerusakan struktural/metabolik di tingkat korteks serebri, batang
otak atau keduanya.
Penanggulangan koma sangat tergantung pada patologi dasarnya serta
patofisiologi gangguan kesadaran. Hal ini sangat sulit, apalagi jika riwayat
penyakit dan perkembangan gejala fisik sebelumnya tak jelas diketahui.
Anamnesis, pemeriksaan fisik dan neurologis serta pemeriksaan penunjang yang
cermat sangat dibutuhkan untuk mencari tau penyebab dari koma. Pasien dengan
kasus koma banyak melibatkan area batang otak sebagai tempat pusat
pengendalian kesadaran dan tanda vital. Perlu diperhatikan bahwa pasien harus
diamankan ABC terlebih dahulu sebelum mencari tau penyebab koma.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Tingkat aktivitas di dalam otak yang normal bervariasi secara konstan.
Aktivitas pada saat terjaga sangat berbeda dengan aktivitas ketika tertidur.
Aktivitas otak ketika mengikuti ujian sangat berbeda dengan aktivitas otak ketika
bersantai di pantai.
Semua perbedaan tersebut merupakan keadaan yang normal dan otak bisa
berubah dengan cepat dari satu tingkat kesiagaan ke tingkat lainnya. Selama
keadaan siaga yang abnormal (perubahan tingkat kesadaran), otak tidak mampu
berubah dan berfungsi sebagaimana mestinya. Salah satu bagian otak yang
terletak jauh di dalam batang otak berfungsi mengendalikan tingkat kesadaran dan
secara ritmis merangsang otak untuk terjaga dan siaga.
Dalam keadaan normal, rangsangan kesadaran menerima masukan visual dari
mata, suara dari telinga, sentuhan dari kulit dan masukan dari setiap organ
sensorik lainnya untuk melengkapi tingkat kesiagaan yang tepat. Jika sistem
rangsangan atau hubungannya dengan bagian otak yang lain tidak bekerja
sebagaimana mestinya, maka sensasi tidak lagi mempengaruhi tingkat rangsangan
dan kesiagaan otak secara tepat. Jika hal ini terjadi, maka akan timbul gangguan
kesadaran.
Gangguan kesadaran ini bisa berlangsung singkat atau lama dan bisa bersifat
ringan atau sama sekali tidak memberikan respon.
Istilah-istilah yang masih tetap dipakai di klinik ialah komposmentis,
somnolen, stupor atau sopor, dan koma. Terminologi ini bersifat kualitatif. Tetapi
penurunan kesadaran ini juga dapat dinilai secara kuantitatif dengan menggunakan
GCS (Glasgow Coma Scale).
Tingkat kesadaran secara kualitatif:
 Kompos mentis berarti kesadaran normal, menyadari seluruh asupan
dari panca indera (aware atau awas) dan bereaksi secara optimal

2
terhadap seluruh rangsangan baik dari luar maupun dari dalam
(arousal atau waspada), atau dalam keadaan awas dan waspada.
 Somnolen atau drowsiness atau clouding of cinsiousness, berarti
mengantuk, mata tampak cenderung menutup, masih dapat
dibangunkan dengan perintah, masih dapat menjawab pertanyaan
walaupun sedikit bingung, tampak gelisah dan orientasi terhadap
sekitar menurun.
 Stupor atau sopor lebih rendah daripada somnolen. Mata tertutup,
dengan rangsang nyeri atau suara keras baru membuka mata atau
bersuara satu-dua kata. Motorik hanya berupa gerakan mengelak
tehadap rangsang nyeri.
 Koma merupakan penurunan kesadaran yang paling rendah. Dengan
rangsang apapun tidak ada reaksi sama sekali, baik dalam hal
membuka mata, bicara, maupun reaksi motorik.

2.2 Etiologi
2.2.1 Menurut kausa
a. Primary cerebral disorders
 Bilateral or diffuse hemispheric disorders
- Traumatic brain injury (contusions, diffuse axonal injury)
- Ischemic (watershed, cardioembolism, vasculitis,
hypercoagulable disorder)
- Hemorrhagic (subarachnoid hemorrhage, intraventicular
hemorrhage)
- Hypoxic-ischemic encephalopathy
- Cerebral venous thrombosis
- Malignancy
- Meningitis; encephalitis
- Generalized or complex partial seizures; status epilepticus
(convulsive, nonconvulsive)
- Hypertensive encephalopathy

3
- Posterior reversible encephalopathy syndrome
- Acute disseminated encephalomyelitis
- Hydrocephalus
 Unilateral hemispheric disorders (with displacement of midline
structures)
- Traumatic (contusions, subdural hematoma, epidural
hematoma)
- Large hemispheric ischemic stroke
- Primary intracerebral hemorrhage
- Cerebral abscess
- Brain tumor
 Brain stem disorders (pons, midbrain)
- Hemorrhage, infarction tumor, trauma
- Central pontine myelinolysis
- Compression from cerebral infarct, hematoma, abscess, tumor

b. Systemic derangements causing coma


 Toxic
- Medication overdose/adverse effects (opioids, benzodiazepine,
barbiturates)
- Drugs of abuse (opioids, alcohol, methanol)
- Exposures (carbon monoxide, heavy metals)

 Metabolik
- Systemic inflammatory response syndrome-sepsis
- Hypoxia; hypercapnia
- Hypothermia
- Hypoglicemic; hyperglycemic crisis (diabetic ketoasidosis,
nonketotic hyperosmolar hyperglycemic state)
- Hyponatremia, hypernatremia
- Hypercalemia

4
- Hepatic failure
- Renal failure
- Wenicke’s encephalopathy
 Endocrine
- Panhypopituitarism
- Adrenal insufficiency
- Hypothyroidism; hyperthroidism

2.2.2 Menurut mekanisme gangguan serta letak lesi

Terdiri atas:
a. Gangguan kesadaran pada lesi supratentorial
b. Gangguan kesadaran pada lesi infratentorial
c. Gangguan difus (gangguan metabolik)

Untuk memudahkan mengingat dan menelusuri kemungkinan-kemungkinan


penyebab koma, model berikut ini dapat dipergunakan di klinik : SEMENITE.
S : Sirkulasi (stroke, penyakit jantung)
E : Ensefalitis (dengan tetap mempertimbangkan adanya infeksi sistemik
atau sepsis yang mungkin melatarbelakanginya atau muncul secara
bersamaan)

5
M : Metabolik (hiperglikemia, hipoglikemia, hipoksia, uremia, dan koma
hepatikum)
E : Elektrolit (diare dan muntah)
N : Neoplasma (tumor otak baik primer ataupun metastasis)
I : Intoksikasi (berbagai macam obat atau bahan kimia)
T :Trauma (terutama trauma kapitis : kontusio, komosio, perdarahan
epidural, perdarahan subdural, dan dapat pula trauma andomen dan dada)
E : Epilepsi (pasca serangan grand mal atau pada status epileptikus)

2.3 Patofisiologi
Gangguan kesadaran dapat dibagi dua :
1. Gangguan derajat (kuantitas, arousal, wakefulness) kesadaran.
2. Gangguan isi (kualitas, awareness, alertness) kesadaran.

Kesadaran ditentukan oleh interaksi kontinu antara fungsi korteks serebri


termasuk ingatan, berbahasa dan kepintaran (kualitas), dengan ascending reticular
activating system (ARAS) (kuantitas) yang terletak mulai dari pertengahan bagian
atas pons. ARAS menerima serabut-serabut saraf kolateral dari jaras-jaras sensoris
dan melalui thalamic relay nuclei dipancarkan secara difus ke kedua korteks
serebri. ARAS bertindak sebagai suatu off-on switch, untuk menjaga korteks
serebri tetap sadar (awake). Maka apapun yang dapat mengganggu interaksi ini,
apakah lesi supratentorial, subtentorial dan metabolik akan mengakibatkan
menurunnya kesadaran.

6
Gambar 1. Tentorium cerebelli

Karena ARAS terletak sebagian di atas tentorium serebeli dan sebagian lagi
di bawahnya, maka ada tiga mekanisme patofisiologi timbulnya koma :
1. Lesi supratentorial,
2. Lesi subtentorial,
3. Proses metabolik.

2.3.1 Koma supratentorial


 Lesi pada supratentorial mengakibatkan kerusakan difus kedua hemisfer
serebri, sedang batang otak tetap normal. Ini disebabkan proses metabolik.
 Lesi struktural supratentorial (hemisfer). Adanya massa yang mengambil
tempat di dalam cranium (hemisfer serebri) beserta edema sekitarnya
misalnya tumor otak, abses dan hematom mengakibatkan dorongan dan
pergeseran struktur di sekitarnya, sehingga bisa terjadi herniasi seperti
hemiasi girus singuli, hemiasi transtentorial sentral, dan herniasi unkus.

1. Herniasi girus singuli


Hemiasi girus singuli di bawah falx serebri ke arah kontralateral
menyebabkan tekanan pada pembuluh darah serta jaringan otak,
mengakibatkan iskemi dan edema.

7
2. Herniasi transtentorial/sentral
Hemiasi transtentorial atau sentral adalah basil akhir dari proses desak
ruang rostrokaudal dari kedua hemisfer serebri dan nukli basalis; secara
berurutan mereka menekan diensefalon, mesensefalon, pons dan medula
oblongata melalui celah tentorium.

3. Herniasi unkus atau tentorial herniation


Hemiasi unkus terjadi bila lesi menempati sisi lateral fossa kranii media
atau lobus temporalis; lobus temporalis mendesak unkus dan girus
hipokampus ke arah garis tengah dan ke atas tepi bebas tentorium;
akhirnya menekan n.III.di mesensefalon ipsilateral, kemudian bagian
lateral mesensefalon dan seluruh mesensefalon.

Gambar 2. Herniasi

2.3.2 Koma infratentorial


Terdapat dua macam lesi infratentorial yang menyebabkan koma.
1) Proses di dalam batang otak sendiri yang merusak ARAS atau/serta
merusak pembuluh darah yang mendarahinya dengan akibat iskemi,

8
perdarahan dan nekrosis. Misalnya pads stroke, tumor, cedera kepala
dan sebagainya.
2) Proses di luar batang otak yang menekan ARAS.
a. Langsung menekan pons.
b. Hemiasi ke atas dari serebelum dan mesensefalon melaluicelah
tentorium dan menekan tegmentum mesensefalon.
c. Herniasi ke bawah dari serebelum melalui foramen magnumdan
menekan medula oblongata. Dapat disebabkan oleh tumor
serebelum, perdarahan serebelum dan sebagainya.

2.3.3 Koma metabolik


Proses metabolik melibatkan batang otak dan kedua hemisfer serebri. Koma
disebabkan kegagalan difus dari metabolisme sel saraf.
1) Ensefalopati metabolik primer.
Penyakitdegenerasi serebri yang menyebabkan terganggunya
metabolisme sel saraf dan glia. Misalnya penyakit Alzheimer.
2) Ensefalopati metabolik sekunder.
Koma terjadi bila penyakit ekstraserebral melibatkan metabolisme otak,
yang mengakibatkan kekurangan nutrisi, gangguan keseimbangan
elektrolit ataupun keracunan.
Pada koma metabolik ini biasanya ditandai gangguan sistim motorik simetris
dan tetap utuhnya refleks pupil (kecuali pasien mempergunakan glutethimide atau
atropin), juga utuhnya gerakan-gerakan ekstraokuler (kecuali pasien
mempergunakan barbiturat).

2.4 Derajat kesadaran


Koma bukan penyakit melainkan hanya sebuah gejala, cermin dari proses
kerusakan otak berat yang setiap saat berubah-ubah, oleh karena itu diperlukan
pengamatan serial dari waktu ke waktu. Koma adalah suatu keadaan tidak ada
respons dengan rangsangan nyeri kuatpun.

9
a. Glasgow coma scale
Agar penilaian derajat kesadaran dapat lebih objektif, Jennett &
Teasdale (1974) memasyarakatkan Glasgow Coma Scale (GCS). GCS
menilai kemampuan pasien untuk memperlihatkan tiga tes fungsi saraf,
yaitu Respons membuka mata, Respons motorik dan Respons
verbal. Tingkat kesadaran didapat dari hasil penjumlahan ketiga skor
pemeriksaan tersebut.
Penilaian Skala Koma Glasgow:
1. Perhatikan
Faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi, kemampuan
memberi respon dan cedera penyerta lain
2. Observasi
Membuka mata, kualitas isi pembicaraan dan kemampuan
menggerakan sisi kiri dan kanan
3. Stimulasi
 Kemampuan mengeluarkan suara: diminta dengan suara biasa
atau dengan suara yang keras.
 Perangsangan nyeri: penekanan pada ujung jari, otot trapezius
atau lekukan keluarnya nervus supraorbital
4. Berikan penilaian
Ditentukan setelah pengamatan respon yang tertinggi.

Tabel 1. Glasgow coma scale (GCS) Commented [AS1]: https://www.thelancet.com/action/showP


df?pii=S1474-4422%2814%2970120-6
Spontan
4 https://www.glasgowcomascale.org/downloads/GCS-Assessment-
Aid-Bahasa.pdf
Membuka tanpa stimulus
Respon terhadap suara
Membuka mata 3
Setelah rangsangan suara atau perintah
(M)
Rangsangan terhadap tekanan
2
Setelah rangsangan pada ujung jari
Tidak ada 1

10
Tidak membuka mata sama sekali, tanpa faktor
penghalang
Menuruti perintah
6
Mematuhi dua perintah berbeda
Melokalisir
Mengangkat tangan di atas clavicula pada rangsangan 5
kepala dan leher
Fleksi abduksi (fleksi normal)
Gerakan melipat siku lengan dengan cepat namun 4
Respons gerakan kurang normal
motorik (M) Fleksi adduksi (fleksi abnormal)
Gerakan melipat siku lengan, namun gerakan tidak 3
normal
Ekstensi
2
Ekstensi siku lengan
Tidak ada
Tidak ada gerakan lengan/tungkai, tanpa faktor 1
gangguan
Orientasi baik
5
Menyebutkan nama, tempat dan tanggal
Bingung
4
Orientasi tidak baik tapi komunikasi jelas
Kalimat
Respons verbal 3
Kata-kata jelas
(V)
Suara
Mengerang. Mengeluarkan suara tidak jelas 2
(incomprehensive sounds).
Tidak ada
1
Tidak ada suara jelas, tanpa faktor pengganggu

11
Kecuali pada keadaan mata tertutup karena bengkak, endotracheal/
tracheostomi. Pada respons motorik yang, dipakai lengan yang baik/ tidak parese.
Berikut hasil interpretasi nilai GCS dengan nilai tertinggi adalah 15 GC (Compos
Mentis) dan terendah adalah 3 GCS(Koma).
 Nilai GCS (13-12) : Apatis
 Nilai GCS (11-10) : Delirium
 Nilai GCS (9-7) : Somnolen
 Nilai GCS (6-5) : Sopor
 Nilai GCS (4) : Semi-coma
 Nilai GCS (3) : Coma

b. FOUR score
Respon mata
 Buka mata, bola mata bergerak, dan berkedip sesuai instruksi 4
 Buka mata, namun bola mata tidak mengikuti arah gerakan jari 3
 Mata tertutup, namun membuka saat terdengar suara keras 2

 Mata tertutup, namun membuka saat ada rangsangan nyeri 1

 Mata tetap tertutup walaupun ada rangsangan nyeri 0

Respons motorik
 Ibu jari tangan naik, tangan menggenggam dan peace sign sesuai 4
instruksi
 Melokalisasi nyeri 3
 Reaksi fleksi terhadap nyeri 2

 Extensor posturing 1

 Tidak ada respons terhadap nyeri atau generalized myoclonus 0

status epilepticus
Refleks batang otak
 Terdapat refleks pupil dan kornea 4
 Satu pupil lebar dan fixed 3
 Tidak ada refleks pupil atau refleks kornea 2

12
 Tidak ada refleks pupil dan refleks kornea 1
 Tidak ada refleks pupil, kornea, dan batuk 0
Pernapasan
 Tidak diintubasi dan pola pernapasan teratur 4
 Tidak diintubasi dan pola pernapasan Cheyne-Stokes 3
 Tidak diintubasi dan pola pernapasan tidak teratur 2

 Bernapas di atas ventilator rate 1

 Bernapas setara ventilator rate atau apnea 0

2.5 Pemeriksaan pasien koma


Tujuan pemeriksaan pasien koma adalah untuk menentukan letak proses
patologi, apakah di hemisfer, batang otak atau dikeduanya, dan penyebabnya.
Pemeriksaan awal/jam pertama terhadap pasien koma meliputi ABCs
(Airway Breathing Circulations) dan C-spine, glukosa darah, memeriksa
kecurigaan terhadap penggunaan berlebihan obat-obat narkotika, darah lengkap,
analisis gas darah, pemeriksaan urin untuk toxicology screen dan CT Scan otak
tanpa kontras.

13
Gambar 0. Protokol koma ENSL (The Emergency Neurological Life
Support)

a. Anamnesis
Penyebab koma seringkali dapat ditentukan melalui anamnesis perjalanan
penyakit melalui keluarga, teman, personel ambulan, atau orang lain yang
terakhir kontak dengan pasien dengan menanyakan :
1. Kejadian terakhir
2. Trauma
3. Riwayat medis pasien

14
4. Riwayat psikiatrik
5. Obat-obatatan
6. Penyalah gunaan obat-obatan atau alkohol

b. Pemeriksaan fisik
Dengan atau tanpa anamnesis, petunjuk penyebab koma dapat juga
ditegakkan melalui pemeriksaan fisik :

a. Tanda vital : hipertensi yang berat dapat disebabkan oleh lesi


intrakranial dengan peningkatan TIK atau ensefalopati karena
hipertensi.
b. Kulit : tanda eksternal dari trauma, neddle track, rash, cherry redness (
keracunan CO), atau kuning
c. Nafas : alkohol, aseton, atau fetor hepaticus dapat menjadi petunjuk
d. Kepala : tanda fraktur, hematoma, dan laserasi
e. THT : otorea atau rhinorea CSF, hemotimpanum terjadi karena
robeknya duramater pada fraktur tengkorak, tanda gigitan pada lidah
menandakan serangan kejang.
f. Leher (jangan manipulasi bila ada kecurigaan fraktur dari cervival
spine) : kekakuan disebabkan oleh meningitis atau perdarahan
subarakhnoid.
g. Pemeriksaan neurologis : untuk menentukan dalamnya koma dan
lokalisasi dari penyebab koma.

c. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis pada pasien dengan penurunan kesadaran
terdiri atas 4 hal, yaitu tingkat kesadaran, pemeriksaan batang otak,
pemeriksaan motorik dan pola pernapasan. Tingkat kesadaran dapat di
periksa secara kuantitatif dengan Glasgow Coma Scale (GCS). Namun,
GCS memiliki beberapa keterbatasan, karena tidak bisa memperhitungkan
perubahan fungsi batang otak, hemiparesis atau afasia. Selain itu, pasien
dengan skor total GCS yang identik mungkin memiliki presentasi klinis

15
yang berbeda karena kombinasi yang berbeda dalam penilaian mata,
motorik dan verbal. Skor The Full Outline of Unresponsiveness (FOUR)
menggabungkan informasi lebih rinci terutama terhadap respons batang
otak.
1. Observasi, posisi tidur : alamiah atau posisi tertentu.
Menguap, menelan, berarti batang otak masih utuh. Mata terbuka dan
rahang tergantung (mulut terbuka) berarti gangguan kesadaran berat.

2. Tingkat kesadaran ditentukan dengan GCS atau FOUR

3. Pola pernafasan.

Gambar 4. Macam-macam pola pernapasan

a. Cheyne-Stokes
Merupakan variasi berulang antara periode hiperventilasi dengan
apnea. Pola pernapasan ini merupakan pola yang tidak spesifik,
dapat terlihat pada gangguan kedua hemisfer serebri atau pada

16
gangguan sistemik seperti pada Congestive Heart Failure (CHF)
dan hipoksia.
b. Central hyperventilation
merupakan pernapasan yang dalam, cepat, dan teratur. Pola
pernapasan ini merujuk pada lesi batang otak, di antara midbrain
dan pons. Pola pernapasan ini sering menyebabkan hipokapnea dan
alkalosis.
c. Pernapasan ataksik
pola pernapasan yang tidak teratur dan tidak terprediksi, terdapat
pernapasan dalam dan dangkal, sering didahului periode apnea;
merupakan tanda bahaya karena menunjukkan lesi di medula
spinalis dan/atau merupakan manifestasi akhir herniasi.
d. Apneustic breathing
Pernapasan dengan jeda tidak bernapas 2–3 detik di akhir inspirasi
dan kadang terdapat di akhir ekspirasi. Pola pernapasan ini
menunjukkan lesi di tengah sampai kaudal bagian pons, paling
sering disebabkan oleh oklusi arteri basilaris
e. Cluster breathing : kerusakan pons dan cerebelar
f. Depressed: pola pernafasan tidak efektif, dangkal dan lambat
disebabkan oleh lesi medula oblongata, atau diakibatkan obat-
obatan.

4. Posisi kepala dan mata


Pada lesi hemisfer, kepala dan kedua mata melirik ke arah lesi dan
menjauh dari hemiparesis, lesi di pons kebalikannya. Pada Iesi di
talamus dan mesensefalon bagian atas, kedua mata melirik ke arah
hidung.

17
5. Funduskopi
Papil edema menandakan adanya peningkatan tekanan intrakranial.
Perdarahan subhyaloid, biasanya menandakan ruptur aneurisma atau
malformasi arteriovena.

6. Pupil
Perhatikan besar, bentuk dan refleks cahaya direk dan indirek.
Refleks pupil dipertahankan pada lesi di atas thalamus dan di bawah
pons. Lesi nervus III (oculomotorius) dapat dibedakan dari sindrom
Horner dari sisi kontralateral, posisi mata dan derajat ptosis.

Gambar 5. Pola pupil pada pasien koma

a) Midposition (3--5 mm) dan refleks cahaya negatif -- kerusakan


mesensefalon (pusat refleks pupil di mesensefalon).
b) Refleks pupil normal, refleks kornea dan gerakan bola mata
tidak ada -- koma metabolik dan obat-obatan seperti barbiturat.
c) Dilatasi pupil unilateral (> 6 mm) dan refleks cahaya negatif
menandakan penekanan N.III oleh hernia unkus lobus
temporalis serebri. Kedua pupil dilatasi dan refleks cahaya

18
negatif bisa juga oleh anoksi, keracunan atropin dan
glutethimide.
d) Dilatasi pupil bilateral dan refleks cahaya negatif
Patologis pada midbrain bilateral
e) Pupil kecil dan refleks cahaya positif disebabkan kerusakan
pons seperti infark atau perdarahan. Opiat dan pilokarpin juga
menyebabkan pinpoint pupil dan refleks cahaya positif. Bila
dengan rangsang nyeri pads kuduk pupil berdilatasi, berarti
bagian bawah batang otak masih utuh.

7. Gerakan bola mata


Khas untuk lesi batang otak.
a. Gerakan bola mata spontan.
1. Pada koma metabolik, kedua mata bergerak spontan dan lambat
dari satu sisi ke sisi lainnya. Ini berarti batang otak masih utuh.
2. Retractory nystagmus-- ciri kerusakan tegmentum
mesensefalon.
3. Convergence nystagmus -- ciri kerusakan mesensefalon.
4. Ocular bobbing -- ciri kerusakan caudal pontin.
5. Nystagmoid jerking of a single eye -- ciri kerusakan midpontine-
lower pontine.
6. Seesaw nystagmus-- ciri lesi di regio ventrikel III dan bukan di
batang otak. Gejala tersebut dapat menunjukkan lokasi lesi
structural penyebab koma.

b. Gerakan bola mata refleks


Tes-tes yang lazim dilakukan :
1. Doll’s head maneuver (refleks okulosefalik).
Kepala digerakan secara pasif, kemudian perhatikan
pergerakan dari kedua mata. Respon yang abnormal (negatif
atau asimetris) mengartikan gangguan pada batang otak (lesi

19
struktural ditingkat mesensefalon-pons). Obat-obat ototoksik
atau barbiturate dapat menghalangi refleks ini.

2. Tes kalori (refleks okulovestibular)


Bila kedua mata melirik ke arah telinga yang diirigasi air
dingin, berarti batang otak masih utuh; bila kedua mata tidak
bergerak/tidak simetris berarti kerusakan struktural
mesensefalon-pons. Obat-obat ototoksik dapat menghalangi
refleks ini.

c. Gerakan bola mata saat istirahat.


 Deviasi gaze menjauhi sisi yang hemiparesis menandakan suatu
lesi hemisper kontralateral dari sisi yang hemiparesis.
 Deviasi gaze ke arah sisi yang hemiparesis menunjukkan :
1. lesi di pons kontralateral hemiparesis
2. lesi di thalamus kontralateral dari hemiparesis

20
3. aktivitas kejang pada hemisfer kontralateral dari hemiparesis
 Deviasi mata kearah bawah menandakan suatu lesi di tectum dari
midbrain, disertai dengan gangguan reaktifitas pupil dan
nistagmus refrakter dikenal sebagai sindroma parinoud.

 Slow roving eye movement yang dapat konjugasi atau diskonjugae


tidak menunjukkan lokalisasi lesi yang berarti, berhubungan
dengan disfungsi hemisfer bilateral dan aktifnya refleks
okulosefalik
 Occular bobbing, yaitu terdapat reaksi cepat dari pergerakan bola
mata ke arah bawah yang kembali ke posisi semula dengan
lambat menunjukkan kerusakan bilateral dari pusat gaze
horisontal pada pons.
 Saccadic eye movement tidak terlihat pada pasien koma dan
menunjukkan suatu psikogenik unresponsive.

8. Refleks muntah : dapat dilakukan dengan memanipulasi endotrakheal


tube.

9. Refleks kornea : menandakan intaknya batang otak setinggi CN 5(


aferen) dan CN 7 (eferen).

10. Respons motorik


a) Spontan.
1. Kejang, kejang fokal mempunyai arti lokasi dari proses patologi
struktural. Kejang umum tidak mempunyai arti lokasi. Kejang
multifokal berarti koma disebabkan proses metabolik.
2. Myoclonic jerk dan asterixis (flapping tremor)
berartiensefalopati metabolik.

b) Gerakan-gerakan refleks.
Ditimbulkan dengan rangsang nyeri (penekanan supraorbita).

21
1. Gerakan dekortikasi -- fleksi dan aduksi lengan dan ekstensi
tungkai. Bisa simetris, bisa tidak. Ini artinya lesi hemisfer difus
atau persis di batas dengan mesensefalon. (nilai 3 pada respons
motorik SKG).
2. Gerakan deserebrasi -- ekstensi, aduksi dan rotasi interns lengan
dan ekstensi tungkai. (nilai 2 pada respons motorik SKG).

11. Respon sensoris : respons asimetris dari stimulasi menandakan suatu


lateralisasi defisit sensoris.

12. Refleks :
a. Refleks tendon dalam : bila asimetris menunjukkan lateralisasi
defisit motoris yang disebabkan lesi struktural
b. Refleks plantar : respon bilateral Babinski’s menunjukkan coma
akibat struktural atau metabolik.

d. Keadaan-keadaan pseudocoma
1. Psychogenic unresponsiveness
Pasien kelihatannya tidak ada reaksi, tapi pads pemeriksaan saraf tidak
dijumpai kelainan.
2. The locked-in syndrome
Lesi di basis pons akibat infark batang otak yang memutus jaras
kortikobulbar dan kortikospinal, tapi jaras yang mengatur kedip mata
dan gerakan bola mata vertikal, juga ARAS tetap utuh. Pasien sanggup
berkomunikasi dengan kedipan mata(awake dan alert).
3. Persistent vegetative state
Koma akibat hipoksifiskemi/lesi struktural, setelah 2—4 minggu
kembali wakeful tapi tidak aware. Membuka mata spontan. EEG
kembali normal, batang otak dan otonom berfungsi normal. Keadaan ini
dapat menetap bertahun-tahun.

22
e. Ciri-ciri diagnostik
 Koma metabolik :
- Refleks pupil dan gerakan bola mata baik.
- Pernafasan depressed atau Cheyne-Stokes.
- Anggota gerak hipotonus/refleks simetris.
 Hemiasi :
- Hemiparesis dan papil edema.
- Bertahap hilangnya fungsi n.I1I atau ada ciri-ciri kerusakan batang
otak.
 Lesi (lokal) batang otak :
- Gangguan pergerakan bola mata dan tetraplegia sejak permulaan.

f. Pemeriksaan Penunjang
Karena pentingnya penentuan diagnosis yang cepat pada etiologi pasien
dengan koma karena dapat mengancam nyawa, maka pemeriksaan
penunjang harus segera dilakukan dalam membantu penegakkan diagnosis,
yaitu antara lain :

23
1. CT atau MRI scan Kepala : pemberian kontras diberikan apabila kita
curigai terdapat tumor atau abses. Dan mintakan print out dari bone
window pada kejadian trauma kepala
2. Punksi Lumbal : dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
meningitis, encephalitis, atau perdarahan subarachnoid bila diagnosis
tidak dapat ditegakkan melalui CT atau MRI kepala.
3. EEG : diperlukan pada kasus serangan epileptik tanpa status kejang,
keadaan post ictal, koma metabolik bila diagnosis tidak ditegakkan
melalui pemeriksaan CT dan LP.

Keadaan pseudokoma harus kita curigai bila semua pemeriksaan


diagnostik telah kita lakukan dan masih tidak dapat menegakkan diagnosis
penyebab dari koma tersebut. Diantaranya yaitu :
1. Koma psikogenik
2. Locked in syndrome : kerusakan pons bilateral
3. Mutism akinetik : kerusakan pada frontal dan thalamus

2.6 Pengelolaan pasien koma


1. Penanganan emergensi dekompresi pada lesi desak ruang (space
occupying lesions / SOL ) dapat menyelamatkan nyawa pasien.
2. Penanganan pertama peningkatan tekanan intrakranial:
a. Elevasi kepala 30 derajat
b. Intubasi dan hiperventilasi
c. Sedasi jika terjadi agitasi yang berat ( midazolam 1 – 2 mg iv )
d. Diuresis osmotik dengan manitol 20% 1 g/kg BB iv
e. Dexametason 10 mg iv tiap 6 jam pada kasus edema serebri oleh tumor
atau abses setelah terapi ini monitor ICP harus dipasang.
3. Kasus encephalitis yang dicurigai oleh infeksi virus herpes dapat diberikan
acyclovir 10 mg/kg IV tiap 8 jam.
4. Kasus meningitis lakukan terapi secara empiris. Lindungi pasien dengan
ceftriaxon 2x1 g iv dan ampicillin 4x1 g iv sambil menunggu hasil kultur

24
 Terapi Umum
1. Proteksi jalan nafas : adekuat oksigenasi dan ventilasi
2. Hidrasi intravena : gunakan normal saline pada pasien dengan edema
serebri atau peningkatan TIK
3. Nutrisi : lakukan pemberian asupan nutrisi via enteral dengan
nasoduodenal tube, hindari penggunaan naso gastrik tube karena
adanya ancaman aspirasi dan refluks
4. Kulit : hindari dekubitus dengan miring kanan dan kiri tiap 1 hingga 2
jam, dan gunakan matras yang dapat dikembangkan dengan angin dan
pelindung tumit
5. Mata : hindari abrasi kornea dengan penggunaan lubrikan atau tutup
mata dengan plester
6. Perawatan bowel : hindari konstipasi dengan pelunak feses (docusate
sodium 100 mg 3x1 ) dan pemberian ranitidin 50 mg iv tiap 8 jam
untuk menghindari stress ulcer akibat pemberian steroid dan intubasi
7. Perawatan bladder : indwelling cateter urin dan intermiten kateter tiap
6 jam
8. Mobilitas joint : latihan pasif ROM untuk menghindari kontraktur
9. Profilaksis deep vein trombosis (DVT) : pemberian 5000 iu sc tiap 12
jam, penggunaan stoking kompresi pneumatik, atau kedua-duanya

 Hal yang perlu Dipikirkan


Dalam menangani pasien dalam keadaan stupor dan koma untuk pertama
kali ada beberapa pertanyaan dalam benak kita sebagai pertimbangan,
yaitu:
1. Bagaimana tanda vital dari pasien tersebut ?
2. Apakah jalan napas baik ?
Pasien stupor dan koma beresiko tinggi untuk terjadinya aspirasi,
yang disebabkan karena hilangnya refleks batuk dan muntah, hipoksia,
yang terjadi karena hilangnya kemampuan bernafas. Pemasangan

25
endotracheal tube (ETT) dengan intubasi merupakan cara yang paling
efektif untuk menjaga jalan nafas baik dan oksigenasi yang adekuat.
Bila pasien dalam keadaan koma yang dalam atau adanya tanda
gangguan respirasi lebih baik kita memanggil dokter Anestesi untuk
melakukan intubasi. Pada pasien stupor dengan pernafasan yang normal
dapat kita berikan 100 % oksigen dengan face mask sampai hipoksemia
tidak kita temukan.
3. Apakah ada riwayat trauma, pemakaian obat-obatan, atau terpapar oleh
toksin ?
Lakukan deskripsi pasien dengan cepat mengenai riwayat penyakit
sekarang dan dahulu baik medis maupun neurologis.
4. Adakah orang yang dapat ditanyakan tentang keadaan pasien
sebelumnya ?
Orang tua, kerabat, teman, personil ambulance, atau orang lain yang
terakhir kali kontak dan mengetahui keadaan pasien sebaiknya kita
suruh tunggu untuk menanyakan keadaan pasien sebelum kejadian.

 Terapi emergensi
Setelah keadaan umum pasien kita dapat langkah selanjutnya adalah
memberikan terapi emergensi dan melakukan pemeriksaan penunjang
yang diperlukan, antara lain :
1. Konsultasi ke anestesiologis bila diperlukan intubasi atau lakukan
intubasi bila telah mendapat pelatihan dari Advance Trauma Life
Support (ATLS) ataupun Advance Cardiac Life Support (ACLS).
2. Pasang jalur intrravena (iv line)
3. Lakukan pemeriksaan kadar gula sewaktu dengan glucose stick. Hal
ini harus dilakukan secepatnya, karena hipoglikemia merupakan kasus
yang dapat ditangani secara cepat sebagai penyebab stupor atau koma
yang dapat disertai keadaan lain seperti sepsis, henti jantung, atau
trauma)
4. Lakukan pemeriksaan darah antara lain :

26
 Kimia darah ( glukosa darah sewaktu, elektrolit, BUN/ureum,
kreatinin)
 Hitung darah lengkap
 Analisa gas darah
 Kalsium dan magnesium
 Protrombin time (PT)/ partial thromboplastin time (PTT)
5. Bila etiologi dari koma tidak jelas lakukan pemeriksaan skrining
toksikologi, tes fungsi tiroid, fungsi hepar, kortisol serum, dan kadar
ammonia.
6. Lakukan pemasangan folley catheter
7. Lakukan pemeriksaan urinalisa, elektrokardiogram (EKG) dan
rontgen thoraks.
8. Berikan terapi emergensi. Hal ini dapat diberikan ’dilapangan’ atau
bila etiologi dari penyebab koma tidak jelas. Diantaranya :
 Thiamin 100 mg iv ( dimana pemberian tiamin dapat
mengembalikan pasien dari koma yang disebakan karena
defisiensi thiamin akut (Wernicke ensefalopati). Harus diberikan
sebelum pemberian dekstrose karena hiperglikemi dapat
menyebabkan konsumsi thiamin yang berlebihan dan
memperburuk keadaan pasien.
 50 % dekstrose 50 ml (1 ampul) iv
 Naloxone (Narcan) 0.4 – 0.8 mg iv, pada keadaan koma yang
disebabkan intoksikasi opiat. Dosis dapat diberikan sampai 10
mg.
 Flumazenil (Romazicon) 0.2 – 1.0 mg iv, diberikan pada pasien
yang koma dicurigai karena intoksikasi benzodiazepin. Dosis
dapat diberikan hingga 3 mg dan jangan diberikan bila telah
terjadi kejang pada pasien, karena flumazenil ini dapat
menimbulkan kejang.

27
Perawatan lanjutan (nursing care) :
1. Mempertahankan fungsi sistim kardiovaskular adekuat.
2. Mempertahankan fungsi sistim pernafasan adekuat.
3. Posisi dan kulit, ubah posisi tiap 1-2 jam.
4. Makanan dimulai dengan makanan IV, kemudian bila situasi
telah stabil atau koma 2-3 hari, baru dimulai tube feeding.
5. Perawatan bowel, mencegah diare; sering memeriksa rektum.
6. Perawatan kandung kemih, three-way catheter dipasang
menetap, suing diirigasi, clamp buka tiap 3-4 jam.

 Penanggulangan edema serebri dan peninggian tekanan intrakranial


Sejumlah proses (trauma, perdarahan, infark, tumor dan sebagainya)
akan mengakibatkan edema serebri yang meninggikan tekanan intrakranial
dan menyebabkan herniasi jaringan otak. Dalam banyak hal, bertambah
buruknya keadaan disebabkan edema serebri dan edema ini kemungkinan
besar adalah reversibel.
Pengobatan edema serebri merupakan tindakan penyelamatan hidup,
sampai dicapainya pengobatan yang mengoreksi proses patologi spesifik.
1. Hindari cairan hipotonik.
2. Hiperventilasi.
3. Mannitol 20% dosis 1.0 gr/kg IV dihabiskan dalam waktu 10-30
menit. Diulang 12 jam kemudian. Pemberian lebih dua kali kurang
efektif. Efek antiedema serebrinya segera dan berakhir setelah
beberapa jam.
4. Steroid, dexamethason dosis 10-100 mg IV dan kemudian 4 mg IV
tiap 6 jam. Efek antiedema serebrinya dimulai dalam 4-6 jam dan
maksimal pada 24 jam.

2.7 Prognosis
Prognosis pasien tergantung dari penyebab utama penyakit dibanding dari
dalamnya suatu koma. Koma yang disebabkan karena metabolik dan intoksikasi

28
obat lebih baik prognosisnya dibanding koma yang disebabkan oleh kelainan
struktur intrakranial.
Kemungkinan penyembuhan dari koma yang dalam selama lebih dari
beberapa jam sulit diramalkan. Jika penyebabnya adalah cedera kepala, bisa
terjadi penyembuhan, bahkan jika koma berlangsung selama beberapa minggu
(tetapi tidak lebih dari 3 bulan). Penyembuhan total setelah mengalami koma
selama 1 bulan karena jantung berhenti atau karena kekurangan oksigen, jarang
terjadi.
Kadang setelah mengalami cedera kepala, kekurangan oksigen atau
kerusakan otak yang berat, penderita bisa masuk ke dalam status vegetatif.
Pola tidur dan terjaga relatif normal, penderita bisa bernafas dan menelan
secara spontan dan bahkan bisa memberikan reaksi yang mengejutkan terhadap
suara keras. Tetapi penderita kehilangan seluruh kemampuan berfikir dan perilaku
sadarnya, baik untuk sementara waktu maupun selamanya. Sebagian besar
penderita memiliki refleks abnormal yang khas, seperti kekakuan atau sentakan
pada lengan dan tungkainya.
Status locked-in adalah suatu keadaan yang jarang terjadi, dimana penderita
sadar dan mampu berfikir tetapi mengalami kelumpuhan hebat, sehingga hanya
bisa berkomunikasi dengan cara membuka atau menutup matanya.
Hal ini bisa terjadi bersamaan dengan kelumpuhan saraf tepi yang berat atau
dengan stroke akut. Kehilangan kesadaran yang paling berat adalah kematian
otak. Pada keadaan ini secara permanen otak telah kehilangan seluruh fungsi
vitalnya, termasuk kesadaran dan kemampuan mempertahankan pernafasan.
Tanpa bantuan respirator dan obat-obatan, penderita akan segera meninggal.
Secara hukum seseorang dikatakan meninggal jika otaknya telah berhenti
berfungsi, meskipun jantungnya masih berdenyut. Dokter dapat menyatakan
kematian otak dalam waktu 12 jam setelah berusaha memperbaiki semua kelainan
medis, tetapi otak masih tidak memberikan respon, mata tidak bereaksi terhadap
cahaya dan penderita tanpa bantuan respirator penderita tidak bernafas. EEG
(elektroensefalogram) tidak menunjukkan adanya fungsi otak. Penderita kematian

29
otak yang mendapatkan bantuan respirator bisa memiliki beberapa refleks jika
medula spinalisnya masih berfungsi.

30
BAB III
KESIMPULAN

Koma merupakan penurunan kesadaran paling berat yang ditandai dengan


tidak ada reaksi apapun terhadap rangsangan luar. Koma dapat disebabkan oleh
kelainan pada intrakranial maupun ekstrakranial. Kesadaran ditentukan oleh
interaksi kontinu antara fungsi korteks serebri dengan ascending reticular
activating system (ARAS) (kuantitas) yang terletak mulai dari pertengahan bagian
atas pons. ARAS bertindak sebagai suatu off-on switch, untuk menjaga korteks
serebri tetap sadar (awake). Maka apapun yang dapat mengganggu interaksi ini,
apakah lesi supratentorial, subtentorial dan metabolik akan mengakibatkan
menurunnya kesadaran.
Pemeriksaan pada pasien koma dimulai dari tingkat kesadaran dengan
melihat nilai Glasgow Coma Scale yaitu nilai terendah 3 SKG yaitu koma.
Pemeriksaan dimulai dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yaitu CT-Scan, MRI kepala, dan EEG. Pada pasien yang dicurigai
koma harus ditatalaksana secepat mungkin karena kebanyakan kasus melibatkan
batang otak yang merupakan pusat pengatur kesadaran, pernapasan dan tanda vital
tubuh. Pasien harus diamankan ABC dan segera mencari penyebab penurunan
kesadaran.
Prognosis pasien tergantung dari penyebab utama penyakit dibanding dari
dalamnya suatu koma. Koma yang disebabkan karena metabolik dan intoksikasi
obat lebih baik prognosisnya dibanding koma yang disebabkan oleh kelainan
struktur intrakranial. Kehilangan kesadaran yang paling berat adalah kematian
otak. Pada keadaan ini secara permanen otak telah kehilangan seluruh fungsi
vitalnya, termasuk kesadaran dan kemampuan mempertahankan pernafasan.
Tanpa bantuan respirator dan obat-obatan, penderita akan segera meninggal.
Secara hukum seseorang dikatakan meninggal jika otaknya telah berhenti
berfungsi, meskipun jantungnya masih berdenyut. Dokter dapat menyatakan
kematian otak dalam waktu 12 jam setelah berusaha memperbaiki semua kelainan
medis, tetapi otak masih tidak memberikan respon, mata tidak bereaksi terhadap

31
cahaya dan penderita tanpa bantuan respirator penderita tidak bernafas. EEG
(elektroensefalogram) tidak menunjukkan adanya fungsi otak.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Harsono, dkk : Buku Ajar neurologi Klinis, Fakultas Kedokteran


Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2005
2. Institute of Neurological Sciences NHS Greater Glasgow and Clyde.
Penilaian kesadaran menurut skala glasgow. Tersedia di:
https://www.glasgowcomascale.org/downloads/GCS-Assessment-Aid-
Indonesian.pdf. (Diakses pada 25 November 2018).
3. Aprilia M, Wreksoatmodjo BR. Pemeriksaan neurologis pada kesadaran
menurun. CDK-233 2015;Vol.42(10):Hal. 780-6.
4. Huff JS, Stevens RD, Weingart SD, Smith WS. Emergency neurological
life support: approach to the patient with coma. Neurocrit care
2012;17:Hal. 1-6.
5. Bateman DE. Neurological assessment of coma. J Neurol Neurosurg
Psychiatry 2001;71:Hal.i13-i17.
6. Google. Manajemen pasien stupor dan koma. Tersedia :
http://74.125.153.132/search?
q=cache:3XWqPKbpMRkJ:images.omynenny.multiply.multiplycontent.co
m/attachment/0/SGZRtQoKCrsAACSgbA1/MANAJEMEN%2520PASIE
N%2520STUPOR%2520DAN%2520KOMA.doc%3Fnmid%3D92637390
+coma+diagnosis+etiologi&cd=4&hl=id&ct=clnk&gl=id
7. Behrman RE, dkk . Koma. Nelson textbook of pediatrics. 17th edition:
WB Saunders Co. 2004: 916-919.

33

Anda mungkin juga menyukai