Pembimbing:
dr. Budi Wahjono, Sp.S
Disusun oleh:
Angeline Amelia 030.12.022
Carla Octavani 030.13.044
Siti Abila Zebadiah 030.14.177
Jatniko Fadhilah 030.14.102
Deata Sausan Anaqo 030.14.043
Gustian Satria Pratama 030.14.076
Noviara Ghita Thiananda 030.14.145
Alya Shafira 030.14.010
Disusun oleh :
Angeline Amelia 030.12.022 Deata Sausan Anaqo 030.14.043
Carla Octavani 030.13.044 Gustian Satria Pratama 030.14.076
Siti Abila Zebadiah 030.14.177 Noviara Ghita Thiananda 030.14.145
Jatniko Fadhilah 030.14.102 Alya Shafira 030.14.010
Dokter pembimbing
i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................ ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tingkat aktivitas di dalam otak yang normal bervariasi secara konstan.
Aktivitas pada saat terjaga sangat berbeda dengan aktivitas ketika tertidur.
Aktivitas otak ketika mengikuti ujian sangat berbeda dengan aktivitas otak ketika
bersantai di pantai.
Semua perbedaan tersebut merupakan keadaan yang normal dan otak bisa
berubah dengan cepat dari satu tingkat kesiagaan ke tingkat lainnya. Selama
keadaan siaga yang abnormal (perubahan tingkat kesadaran), otak tidak mampu
berubah dan berfungsi sebagaimana mestinya. Salah satu bagian otak yang
terletak jauh di dalam batang otak berfungsi mengendalikan tingkat kesadaran dan
secara ritmis merangsang otak untuk terjaga dan siaga.
Dalam keadaan normal, rangsangan kesadaran menerima masukan visual dari
mata, suara dari telinga, sentuhan dari kulit dan masukan dari setiap organ
sensorik lainnya untuk melengkapi tingkat kesiagaan yang tepat. Jika sistem
rangsangan atau hubungannya dengan bagian otak yang lain tidak bekerja
sebagaimana mestinya, maka sensasi tidak lagi mempengaruhi tingkat rangsangan
dan kesiagaan otak secara tepat. Jika hal ini terjadi, maka akan timbul gangguan
kesadaran.
Gangguan kesadaran ini bisa berlangsung singkat atau lama dan bisa bersifat
ringan atau sama sekali tidak memberikan respon.
Istilah-istilah yang masih tetap dipakai di klinik ialah komposmentis,
somnolen, stupor atau sopor, dan koma. Terminologi ini bersifat kualitatif. Tetapi
penurunan kesadaran ini juga dapat dinilai secara kuantitatif dengan menggunakan
GCS (Glasgow Coma Scale).
Tingkat kesadaran secara kualitatif:
Kompos mentis berarti kesadaran normal, menyadari seluruh asupan
dari panca indera (aware atau awas) dan bereaksi secara optimal
2
terhadap seluruh rangsangan baik dari luar maupun dari dalam
(arousal atau waspada), atau dalam keadaan awas dan waspada.
Somnolen atau drowsiness atau clouding of cinsiousness, berarti
mengantuk, mata tampak cenderung menutup, masih dapat
dibangunkan dengan perintah, masih dapat menjawab pertanyaan
walaupun sedikit bingung, tampak gelisah dan orientasi terhadap
sekitar menurun.
Stupor atau sopor lebih rendah daripada somnolen. Mata tertutup,
dengan rangsang nyeri atau suara keras baru membuka mata atau
bersuara satu-dua kata. Motorik hanya berupa gerakan mengelak
tehadap rangsang nyeri.
Koma merupakan penurunan kesadaran yang paling rendah. Dengan
rangsang apapun tidak ada reaksi sama sekali, baik dalam hal
membuka mata, bicara, maupun reaksi motorik.
2.2 Etiologi
2.2.1 Menurut kausa
a. Primary cerebral disorders
Bilateral or diffuse hemispheric disorders
- Traumatic brain injury (contusions, diffuse axonal injury)
- Ischemic (watershed, cardioembolism, vasculitis,
hypercoagulable disorder)
- Hemorrhagic (subarachnoid hemorrhage, intraventicular
hemorrhage)
- Hypoxic-ischemic encephalopathy
- Cerebral venous thrombosis
- Malignancy
- Meningitis; encephalitis
- Generalized or complex partial seizures; status epilepticus
(convulsive, nonconvulsive)
- Hypertensive encephalopathy
3
- Posterior reversible encephalopathy syndrome
- Acute disseminated encephalomyelitis
- Hydrocephalus
Unilateral hemispheric disorders (with displacement of midline
structures)
- Traumatic (contusions, subdural hematoma, epidural
hematoma)
- Large hemispheric ischemic stroke
- Primary intracerebral hemorrhage
- Cerebral abscess
- Brain tumor
Brain stem disorders (pons, midbrain)
- Hemorrhage, infarction tumor, trauma
- Central pontine myelinolysis
- Compression from cerebral infarct, hematoma, abscess, tumor
Metabolik
- Systemic inflammatory response syndrome-sepsis
- Hypoxia; hypercapnia
- Hypothermia
- Hypoglicemic; hyperglycemic crisis (diabetic ketoasidosis,
nonketotic hyperosmolar hyperglycemic state)
- Hyponatremia, hypernatremia
- Hypercalemia
4
- Hepatic failure
- Renal failure
- Wenicke’s encephalopathy
Endocrine
- Panhypopituitarism
- Adrenal insufficiency
- Hypothyroidism; hyperthroidism
Terdiri atas:
a. Gangguan kesadaran pada lesi supratentorial
b. Gangguan kesadaran pada lesi infratentorial
c. Gangguan difus (gangguan metabolik)
5
M : Metabolik (hiperglikemia, hipoglikemia, hipoksia, uremia, dan koma
hepatikum)
E : Elektrolit (diare dan muntah)
N : Neoplasma (tumor otak baik primer ataupun metastasis)
I : Intoksikasi (berbagai macam obat atau bahan kimia)
T :Trauma (terutama trauma kapitis : kontusio, komosio, perdarahan
epidural, perdarahan subdural, dan dapat pula trauma andomen dan dada)
E : Epilepsi (pasca serangan grand mal atau pada status epileptikus)
2.3 Patofisiologi
Gangguan kesadaran dapat dibagi dua :
1. Gangguan derajat (kuantitas, arousal, wakefulness) kesadaran.
2. Gangguan isi (kualitas, awareness, alertness) kesadaran.
6
Gambar 1. Tentorium cerebelli
Karena ARAS terletak sebagian di atas tentorium serebeli dan sebagian lagi
di bawahnya, maka ada tiga mekanisme patofisiologi timbulnya koma :
1. Lesi supratentorial,
2. Lesi subtentorial,
3. Proses metabolik.
7
2. Herniasi transtentorial/sentral
Hemiasi transtentorial atau sentral adalah basil akhir dari proses desak
ruang rostrokaudal dari kedua hemisfer serebri dan nukli basalis; secara
berurutan mereka menekan diensefalon, mesensefalon, pons dan medula
oblongata melalui celah tentorium.
Gambar 2. Herniasi
8
perdarahan dan nekrosis. Misalnya pads stroke, tumor, cedera kepala
dan sebagainya.
2) Proses di luar batang otak yang menekan ARAS.
a. Langsung menekan pons.
b. Hemiasi ke atas dari serebelum dan mesensefalon melaluicelah
tentorium dan menekan tegmentum mesensefalon.
c. Herniasi ke bawah dari serebelum melalui foramen magnumdan
menekan medula oblongata. Dapat disebabkan oleh tumor
serebelum, perdarahan serebelum dan sebagainya.
9
a. Glasgow coma scale
Agar penilaian derajat kesadaran dapat lebih objektif, Jennett &
Teasdale (1974) memasyarakatkan Glasgow Coma Scale (GCS). GCS
menilai kemampuan pasien untuk memperlihatkan tiga tes fungsi saraf,
yaitu Respons membuka mata, Respons motorik dan Respons
verbal. Tingkat kesadaran didapat dari hasil penjumlahan ketiga skor
pemeriksaan tersebut.
Penilaian Skala Koma Glasgow:
1. Perhatikan
Faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi, kemampuan
memberi respon dan cedera penyerta lain
2. Observasi
Membuka mata, kualitas isi pembicaraan dan kemampuan
menggerakan sisi kiri dan kanan
3. Stimulasi
Kemampuan mengeluarkan suara: diminta dengan suara biasa
atau dengan suara yang keras.
Perangsangan nyeri: penekanan pada ujung jari, otot trapezius
atau lekukan keluarnya nervus supraorbital
4. Berikan penilaian
Ditentukan setelah pengamatan respon yang tertinggi.
10
Tidak membuka mata sama sekali, tanpa faktor
penghalang
Menuruti perintah
6
Mematuhi dua perintah berbeda
Melokalisir
Mengangkat tangan di atas clavicula pada rangsangan 5
kepala dan leher
Fleksi abduksi (fleksi normal)
Gerakan melipat siku lengan dengan cepat namun 4
Respons gerakan kurang normal
motorik (M) Fleksi adduksi (fleksi abnormal)
Gerakan melipat siku lengan, namun gerakan tidak 3
normal
Ekstensi
2
Ekstensi siku lengan
Tidak ada
Tidak ada gerakan lengan/tungkai, tanpa faktor 1
gangguan
Orientasi baik
5
Menyebutkan nama, tempat dan tanggal
Bingung
4
Orientasi tidak baik tapi komunikasi jelas
Kalimat
Respons verbal 3
Kata-kata jelas
(V)
Suara
Mengerang. Mengeluarkan suara tidak jelas 2
(incomprehensive sounds).
Tidak ada
1
Tidak ada suara jelas, tanpa faktor pengganggu
11
Kecuali pada keadaan mata tertutup karena bengkak, endotracheal/
tracheostomi. Pada respons motorik yang, dipakai lengan yang baik/ tidak parese.
Berikut hasil interpretasi nilai GCS dengan nilai tertinggi adalah 15 GC (Compos
Mentis) dan terendah adalah 3 GCS(Koma).
Nilai GCS (13-12) : Apatis
Nilai GCS (11-10) : Delirium
Nilai GCS (9-7) : Somnolen
Nilai GCS (6-5) : Sopor
Nilai GCS (4) : Semi-coma
Nilai GCS (3) : Coma
b. FOUR score
Respon mata
Buka mata, bola mata bergerak, dan berkedip sesuai instruksi 4
Buka mata, namun bola mata tidak mengikuti arah gerakan jari 3
Mata tertutup, namun membuka saat terdengar suara keras 2
Respons motorik
Ibu jari tangan naik, tangan menggenggam dan peace sign sesuai 4
instruksi
Melokalisasi nyeri 3
Reaksi fleksi terhadap nyeri 2
Extensor posturing 1
status epilepticus
Refleks batang otak
Terdapat refleks pupil dan kornea 4
Satu pupil lebar dan fixed 3
Tidak ada refleks pupil atau refleks kornea 2
12
Tidak ada refleks pupil dan refleks kornea 1
Tidak ada refleks pupil, kornea, dan batuk 0
Pernapasan
Tidak diintubasi dan pola pernapasan teratur 4
Tidak diintubasi dan pola pernapasan Cheyne-Stokes 3
Tidak diintubasi dan pola pernapasan tidak teratur 2
13
Gambar 0. Protokol koma ENSL (The Emergency Neurological Life
Support)
a. Anamnesis
Penyebab koma seringkali dapat ditentukan melalui anamnesis perjalanan
penyakit melalui keluarga, teman, personel ambulan, atau orang lain yang
terakhir kontak dengan pasien dengan menanyakan :
1. Kejadian terakhir
2. Trauma
3. Riwayat medis pasien
14
4. Riwayat psikiatrik
5. Obat-obatatan
6. Penyalah gunaan obat-obatan atau alkohol
b. Pemeriksaan fisik
Dengan atau tanpa anamnesis, petunjuk penyebab koma dapat juga
ditegakkan melalui pemeriksaan fisik :
c. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis pada pasien dengan penurunan kesadaran
terdiri atas 4 hal, yaitu tingkat kesadaran, pemeriksaan batang otak,
pemeriksaan motorik dan pola pernapasan. Tingkat kesadaran dapat di
periksa secara kuantitatif dengan Glasgow Coma Scale (GCS). Namun,
GCS memiliki beberapa keterbatasan, karena tidak bisa memperhitungkan
perubahan fungsi batang otak, hemiparesis atau afasia. Selain itu, pasien
dengan skor total GCS yang identik mungkin memiliki presentasi klinis
15
yang berbeda karena kombinasi yang berbeda dalam penilaian mata,
motorik dan verbal. Skor The Full Outline of Unresponsiveness (FOUR)
menggabungkan informasi lebih rinci terutama terhadap respons batang
otak.
1. Observasi, posisi tidur : alamiah atau posisi tertentu.
Menguap, menelan, berarti batang otak masih utuh. Mata terbuka dan
rahang tergantung (mulut terbuka) berarti gangguan kesadaran berat.
3. Pola pernafasan.
a. Cheyne-Stokes
Merupakan variasi berulang antara periode hiperventilasi dengan
apnea. Pola pernapasan ini merupakan pola yang tidak spesifik,
dapat terlihat pada gangguan kedua hemisfer serebri atau pada
16
gangguan sistemik seperti pada Congestive Heart Failure (CHF)
dan hipoksia.
b. Central hyperventilation
merupakan pernapasan yang dalam, cepat, dan teratur. Pola
pernapasan ini merujuk pada lesi batang otak, di antara midbrain
dan pons. Pola pernapasan ini sering menyebabkan hipokapnea dan
alkalosis.
c. Pernapasan ataksik
pola pernapasan yang tidak teratur dan tidak terprediksi, terdapat
pernapasan dalam dan dangkal, sering didahului periode apnea;
merupakan tanda bahaya karena menunjukkan lesi di medula
spinalis dan/atau merupakan manifestasi akhir herniasi.
d. Apneustic breathing
Pernapasan dengan jeda tidak bernapas 2–3 detik di akhir inspirasi
dan kadang terdapat di akhir ekspirasi. Pola pernapasan ini
menunjukkan lesi di tengah sampai kaudal bagian pons, paling
sering disebabkan oleh oklusi arteri basilaris
e. Cluster breathing : kerusakan pons dan cerebelar
f. Depressed: pola pernafasan tidak efektif, dangkal dan lambat
disebabkan oleh lesi medula oblongata, atau diakibatkan obat-
obatan.
17
5. Funduskopi
Papil edema menandakan adanya peningkatan tekanan intrakranial.
Perdarahan subhyaloid, biasanya menandakan ruptur aneurisma atau
malformasi arteriovena.
6. Pupil
Perhatikan besar, bentuk dan refleks cahaya direk dan indirek.
Refleks pupil dipertahankan pada lesi di atas thalamus dan di bawah
pons. Lesi nervus III (oculomotorius) dapat dibedakan dari sindrom
Horner dari sisi kontralateral, posisi mata dan derajat ptosis.
18
negatif bisa juga oleh anoksi, keracunan atropin dan
glutethimide.
d) Dilatasi pupil bilateral dan refleks cahaya negatif
Patologis pada midbrain bilateral
e) Pupil kecil dan refleks cahaya positif disebabkan kerusakan
pons seperti infark atau perdarahan. Opiat dan pilokarpin juga
menyebabkan pinpoint pupil dan refleks cahaya positif. Bila
dengan rangsang nyeri pads kuduk pupil berdilatasi, berarti
bagian bawah batang otak masih utuh.
19
struktural ditingkat mesensefalon-pons). Obat-obat ototoksik
atau barbiturate dapat menghalangi refleks ini.
20
3. aktivitas kejang pada hemisfer kontralateral dari hemiparesis
Deviasi mata kearah bawah menandakan suatu lesi di tectum dari
midbrain, disertai dengan gangguan reaktifitas pupil dan
nistagmus refrakter dikenal sebagai sindroma parinoud.
b) Gerakan-gerakan refleks.
Ditimbulkan dengan rangsang nyeri (penekanan supraorbita).
21
1. Gerakan dekortikasi -- fleksi dan aduksi lengan dan ekstensi
tungkai. Bisa simetris, bisa tidak. Ini artinya lesi hemisfer difus
atau persis di batas dengan mesensefalon. (nilai 3 pada respons
motorik SKG).
2. Gerakan deserebrasi -- ekstensi, aduksi dan rotasi interns lengan
dan ekstensi tungkai. (nilai 2 pada respons motorik SKG).
12. Refleks :
a. Refleks tendon dalam : bila asimetris menunjukkan lateralisasi
defisit motoris yang disebabkan lesi struktural
b. Refleks plantar : respon bilateral Babinski’s menunjukkan coma
akibat struktural atau metabolik.
d. Keadaan-keadaan pseudocoma
1. Psychogenic unresponsiveness
Pasien kelihatannya tidak ada reaksi, tapi pads pemeriksaan saraf tidak
dijumpai kelainan.
2. The locked-in syndrome
Lesi di basis pons akibat infark batang otak yang memutus jaras
kortikobulbar dan kortikospinal, tapi jaras yang mengatur kedip mata
dan gerakan bola mata vertikal, juga ARAS tetap utuh. Pasien sanggup
berkomunikasi dengan kedipan mata(awake dan alert).
3. Persistent vegetative state
Koma akibat hipoksifiskemi/lesi struktural, setelah 2—4 minggu
kembali wakeful tapi tidak aware. Membuka mata spontan. EEG
kembali normal, batang otak dan otonom berfungsi normal. Keadaan ini
dapat menetap bertahun-tahun.
22
e. Ciri-ciri diagnostik
Koma metabolik :
- Refleks pupil dan gerakan bola mata baik.
- Pernafasan depressed atau Cheyne-Stokes.
- Anggota gerak hipotonus/refleks simetris.
Hemiasi :
- Hemiparesis dan papil edema.
- Bertahap hilangnya fungsi n.I1I atau ada ciri-ciri kerusakan batang
otak.
Lesi (lokal) batang otak :
- Gangguan pergerakan bola mata dan tetraplegia sejak permulaan.
f. Pemeriksaan Penunjang
Karena pentingnya penentuan diagnosis yang cepat pada etiologi pasien
dengan koma karena dapat mengancam nyawa, maka pemeriksaan
penunjang harus segera dilakukan dalam membantu penegakkan diagnosis,
yaitu antara lain :
23
1. CT atau MRI scan Kepala : pemberian kontras diberikan apabila kita
curigai terdapat tumor atau abses. Dan mintakan print out dari bone
window pada kejadian trauma kepala
2. Punksi Lumbal : dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
meningitis, encephalitis, atau perdarahan subarachnoid bila diagnosis
tidak dapat ditegakkan melalui CT atau MRI kepala.
3. EEG : diperlukan pada kasus serangan epileptik tanpa status kejang,
keadaan post ictal, koma metabolik bila diagnosis tidak ditegakkan
melalui pemeriksaan CT dan LP.
24
Terapi Umum
1. Proteksi jalan nafas : adekuat oksigenasi dan ventilasi
2. Hidrasi intravena : gunakan normal saline pada pasien dengan edema
serebri atau peningkatan TIK
3. Nutrisi : lakukan pemberian asupan nutrisi via enteral dengan
nasoduodenal tube, hindari penggunaan naso gastrik tube karena
adanya ancaman aspirasi dan refluks
4. Kulit : hindari dekubitus dengan miring kanan dan kiri tiap 1 hingga 2
jam, dan gunakan matras yang dapat dikembangkan dengan angin dan
pelindung tumit
5. Mata : hindari abrasi kornea dengan penggunaan lubrikan atau tutup
mata dengan plester
6. Perawatan bowel : hindari konstipasi dengan pelunak feses (docusate
sodium 100 mg 3x1 ) dan pemberian ranitidin 50 mg iv tiap 8 jam
untuk menghindari stress ulcer akibat pemberian steroid dan intubasi
7. Perawatan bladder : indwelling cateter urin dan intermiten kateter tiap
6 jam
8. Mobilitas joint : latihan pasif ROM untuk menghindari kontraktur
9. Profilaksis deep vein trombosis (DVT) : pemberian 5000 iu sc tiap 12
jam, penggunaan stoking kompresi pneumatik, atau kedua-duanya
25
endotracheal tube (ETT) dengan intubasi merupakan cara yang paling
efektif untuk menjaga jalan nafas baik dan oksigenasi yang adekuat.
Bila pasien dalam keadaan koma yang dalam atau adanya tanda
gangguan respirasi lebih baik kita memanggil dokter Anestesi untuk
melakukan intubasi. Pada pasien stupor dengan pernafasan yang normal
dapat kita berikan 100 % oksigen dengan face mask sampai hipoksemia
tidak kita temukan.
3. Apakah ada riwayat trauma, pemakaian obat-obatan, atau terpapar oleh
toksin ?
Lakukan deskripsi pasien dengan cepat mengenai riwayat penyakit
sekarang dan dahulu baik medis maupun neurologis.
4. Adakah orang yang dapat ditanyakan tentang keadaan pasien
sebelumnya ?
Orang tua, kerabat, teman, personil ambulance, atau orang lain yang
terakhir kali kontak dan mengetahui keadaan pasien sebaiknya kita
suruh tunggu untuk menanyakan keadaan pasien sebelum kejadian.
Terapi emergensi
Setelah keadaan umum pasien kita dapat langkah selanjutnya adalah
memberikan terapi emergensi dan melakukan pemeriksaan penunjang
yang diperlukan, antara lain :
1. Konsultasi ke anestesiologis bila diperlukan intubasi atau lakukan
intubasi bila telah mendapat pelatihan dari Advance Trauma Life
Support (ATLS) ataupun Advance Cardiac Life Support (ACLS).
2. Pasang jalur intrravena (iv line)
3. Lakukan pemeriksaan kadar gula sewaktu dengan glucose stick. Hal
ini harus dilakukan secepatnya, karena hipoglikemia merupakan kasus
yang dapat ditangani secara cepat sebagai penyebab stupor atau koma
yang dapat disertai keadaan lain seperti sepsis, henti jantung, atau
trauma)
4. Lakukan pemeriksaan darah antara lain :
26
Kimia darah ( glukosa darah sewaktu, elektrolit, BUN/ureum,
kreatinin)
Hitung darah lengkap
Analisa gas darah
Kalsium dan magnesium
Protrombin time (PT)/ partial thromboplastin time (PTT)
5. Bila etiologi dari koma tidak jelas lakukan pemeriksaan skrining
toksikologi, tes fungsi tiroid, fungsi hepar, kortisol serum, dan kadar
ammonia.
6. Lakukan pemasangan folley catheter
7. Lakukan pemeriksaan urinalisa, elektrokardiogram (EKG) dan
rontgen thoraks.
8. Berikan terapi emergensi. Hal ini dapat diberikan ’dilapangan’ atau
bila etiologi dari penyebab koma tidak jelas. Diantaranya :
Thiamin 100 mg iv ( dimana pemberian tiamin dapat
mengembalikan pasien dari koma yang disebakan karena
defisiensi thiamin akut (Wernicke ensefalopati). Harus diberikan
sebelum pemberian dekstrose karena hiperglikemi dapat
menyebabkan konsumsi thiamin yang berlebihan dan
memperburuk keadaan pasien.
50 % dekstrose 50 ml (1 ampul) iv
Naloxone (Narcan) 0.4 – 0.8 mg iv, pada keadaan koma yang
disebabkan intoksikasi opiat. Dosis dapat diberikan sampai 10
mg.
Flumazenil (Romazicon) 0.2 – 1.0 mg iv, diberikan pada pasien
yang koma dicurigai karena intoksikasi benzodiazepin. Dosis
dapat diberikan hingga 3 mg dan jangan diberikan bila telah
terjadi kejang pada pasien, karena flumazenil ini dapat
menimbulkan kejang.
27
Perawatan lanjutan (nursing care) :
1. Mempertahankan fungsi sistim kardiovaskular adekuat.
2. Mempertahankan fungsi sistim pernafasan adekuat.
3. Posisi dan kulit, ubah posisi tiap 1-2 jam.
4. Makanan dimulai dengan makanan IV, kemudian bila situasi
telah stabil atau koma 2-3 hari, baru dimulai tube feeding.
5. Perawatan bowel, mencegah diare; sering memeriksa rektum.
6. Perawatan kandung kemih, three-way catheter dipasang
menetap, suing diirigasi, clamp buka tiap 3-4 jam.
2.7 Prognosis
Prognosis pasien tergantung dari penyebab utama penyakit dibanding dari
dalamnya suatu koma. Koma yang disebabkan karena metabolik dan intoksikasi
28
obat lebih baik prognosisnya dibanding koma yang disebabkan oleh kelainan
struktur intrakranial.
Kemungkinan penyembuhan dari koma yang dalam selama lebih dari
beberapa jam sulit diramalkan. Jika penyebabnya adalah cedera kepala, bisa
terjadi penyembuhan, bahkan jika koma berlangsung selama beberapa minggu
(tetapi tidak lebih dari 3 bulan). Penyembuhan total setelah mengalami koma
selama 1 bulan karena jantung berhenti atau karena kekurangan oksigen, jarang
terjadi.
Kadang setelah mengalami cedera kepala, kekurangan oksigen atau
kerusakan otak yang berat, penderita bisa masuk ke dalam status vegetatif.
Pola tidur dan terjaga relatif normal, penderita bisa bernafas dan menelan
secara spontan dan bahkan bisa memberikan reaksi yang mengejutkan terhadap
suara keras. Tetapi penderita kehilangan seluruh kemampuan berfikir dan perilaku
sadarnya, baik untuk sementara waktu maupun selamanya. Sebagian besar
penderita memiliki refleks abnormal yang khas, seperti kekakuan atau sentakan
pada lengan dan tungkainya.
Status locked-in adalah suatu keadaan yang jarang terjadi, dimana penderita
sadar dan mampu berfikir tetapi mengalami kelumpuhan hebat, sehingga hanya
bisa berkomunikasi dengan cara membuka atau menutup matanya.
Hal ini bisa terjadi bersamaan dengan kelumpuhan saraf tepi yang berat atau
dengan stroke akut. Kehilangan kesadaran yang paling berat adalah kematian
otak. Pada keadaan ini secara permanen otak telah kehilangan seluruh fungsi
vitalnya, termasuk kesadaran dan kemampuan mempertahankan pernafasan.
Tanpa bantuan respirator dan obat-obatan, penderita akan segera meninggal.
Secara hukum seseorang dikatakan meninggal jika otaknya telah berhenti
berfungsi, meskipun jantungnya masih berdenyut. Dokter dapat menyatakan
kematian otak dalam waktu 12 jam setelah berusaha memperbaiki semua kelainan
medis, tetapi otak masih tidak memberikan respon, mata tidak bereaksi terhadap
cahaya dan penderita tanpa bantuan respirator penderita tidak bernafas. EEG
(elektroensefalogram) tidak menunjukkan adanya fungsi otak. Penderita kematian
29
otak yang mendapatkan bantuan respirator bisa memiliki beberapa refleks jika
medula spinalisnya masih berfungsi.
30
BAB III
KESIMPULAN
31
cahaya dan penderita tanpa bantuan respirator penderita tidak bernafas. EEG
(elektroensefalogram) tidak menunjukkan adanya fungsi otak.
32
DAFTAR PUSTAKA
33