Anda di halaman 1dari 32

REFRESHING

KEJANG DAN EPILEPSI

Disusun Oleh:
Annisa Dhiya Ulhaq
2210026014

Dosen Pembimbing:
dr. Khonita Adian Utami, Sp.N

STASE SARAF
RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA PONDOK KOPI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan berkah dan
rahmat- Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Refreshing dengan judul
“Kejang dan Epilepsi”. Refreshing ini penulis ajukan sebagai salah satu persyaratan
untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik stase Saraf di Program Studi Kedokteran,
Fakultas Kedokteran, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada


pihak- pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaikan penulisan tugas
Refreshing ini, khususnya kepada dr. Khonita Adian Utami, Sp.N yang dengan
tulus bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing kami.

Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam penyusunan


refreshing ini, baik dari segi penulisan maupun muatan tulisan. Oleh karena itu
kritik dan saran sangat diharapkan guna perbaikan laporan selanjutnya. Penulis
berharap laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membacanya.

Jakarta, 12 Juli 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................1
1.1. Latar Belakang .................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................2
2.1. KEJANG ...........................................................................................................2
2.1.1. Definisi .......................................................................................................2
2.1.2. Epidemiologi ..............................................................................................2
2.1.3. Etiologi .......................................................................................................2
2.1.4. Klasifikasi ..................................................................................................5
2.1.5. Patofisiologi ...............................................................................................7
2.1.6. Manifestasi Klinik ......................................................................................9
2.1.7. Diagnosis ....................................................................................................9
2.1.8. Diagnosis Banding ...................................................................................11
2.2. EPILEPSI ....................................................................................................... 15
2.2.1. Definisi .....................................................................................................15
2.2.2. Etiologi .....................................................................................................16
2.2.3. Epidemiologi ............................................................................................17
2.2.4. Patofisiologi .............................................................................................17
2.2.5. Diagnosis ..................................................................................................20
2.3. Tatalaksana..................................................................................................... 22
2.4. Prognosis ......................................................................................................... 26
2.5. Komplikasi ...................................................................................................... 27
DBAB III DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................28

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Gangguan kejang merupakan manifestasi dari penyakit dan bukan entitas
penyakit tertentu. Kejang merupakan gangguan transien yang timbul tiba-tiba
dalam fungsi listrik otak yang disebabkan oleh muatan berlebihan yang
abnormal pada neuron kortikal. Pada kejang dapat terjadi gangguan kesadaran,
tingkah laku, emosi, motorik, sensorik dan otonom secara mendadak, involunter
dan berlangsung secara intermiten. [1]
Epilepsi merupakan terulangnya kejang dan jenis gangguan kejang tanpa
adanya etiologi yang mendasari, The Neurocritical Care Society guidelines
2012, menyebutkan bahwa status epileptikus merupakan kejang selama 5 menit
atau lebih dengan klinis terusmenerus dan/atau adanya aktivitas kejang pada
elektrografi atau rekuren kejang yang terjadi secara terus-menerus. Status
epileptikus merupakan kegawatdaruratan neurologi yang membutuhkan
evaluasi dan tatalaksana segera untuk mencegah risiko morbiditas atau
mortalitas. [1] [2]

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. KEJANG
2.1.1. Definisi
Kejang adalah perubahan aktifitas listrik otak yang tidak terkendali
dan abnormal yang dapat menyebabkan perubahan tingkat kesadaran,
perilaku, memori atau perasaan. Gangguan kejang merupakan
manifestasi dari penyakit dan bukan entitas penyakit tertentu. Kejang
merupakan gangguan transien yang timbul tiba-tiba dalam fungsi
listrik otak yang disebabkan oleh muatan berlebihan yang abnormal
pada neuron kortikal. Pada kejang dapat terjadi gangguan kesadaran,
tingkah laku, emosi, motorik, sensorik dan otonom secara mendadak,
involunter dan berlangsung secara intermiten. [1] [3]

2.1.2. Epidemiologi
Insiden epilepsi berdasarkan usia di Amerika Utara berkisar antara
16 dari 100.000 dan 51 dari 100.000 orang/tahun. Prevalensi
berdasarkan usia berkisar antara 2,2 dari 1000 hingga 41 dari 1000,
tergantung pada negara pelapor. Epilepsi parsial dapat membentuk
hingga dua pertiga dari insiden epilepsi. Insiden meningkat pada
populasi sosial ekonomi yang lebih rendah.
Sekitar 25% sampai 30% dari kejang onset baru dianggap sebagai
kejang diprovokasi atau akibat etiologi sekunder lainnya. Insiden
epilepsi tertinggi pada kelompok usia yang lebih muda dan lebih tua,
insiden meningkat terus setelah usia 50 tahun. Penyebab paling umum
dari kejang dan epilepsi pada orang tua adalah penyakit
serebrovaskular.

2.1.3. Etiologi
Kejang dapat terjadi dengan provokasi atau tanpa provokasi. Kejang
dengan provokasi jua diketahui sebagai kejang simptomatik akut yang
dapat terjadi akibat gangguan elektrolit, toksin, cedera kepala, proses
infeksi, anomali vaskular, tumor atau massa lesi lainnya, dll. Daftar

2
penyebab kejang terprovokasi dapat mencakup komplikasi dari hampir
semua proses penyakit. [3]
Berikut penyebab paling sering dari kejang diprovokasi : [3]
- Gangguan elektrolit (hipoglikemia, hiponatremia,
hipernatremia, hipokalemia, dll)
- Efek toksik akut (antridepresan, simpatomimetik, dll)
- Sindrom withdrawl (ethanol, benzodiazepine, dll)
- Ketidak patuhan konsumsi obat antiepilepsi
- Sepsis
- Infeksi sistem saraf pusat (SSP)
- Cedera otak hipoksik
- Cedera otak traumatik
- Stroke iskemik atau hemoragik
- Neoplasma
- Inflammatory (lupus cerebritis, ensephalitis anti NMDA
reseptor, dll)
- Demam
- Kekurangan tidur

Berikut cut off point untuk terjadinya bangkitan simtomatik akut


pada gangguan metabolik:

Parameter biokimia Nilai


Glukosa serum <36 mg/dl (2mM) atau >450
mg/dl berhubungan dengan
ketoasidosis (karena diabetes
ataupun bukan)
Natrium serum <115 mg/dl (<5mM)
Kalsium serum <5 mg/dl (1,2 mM)
Magnesium serum <0,8 mg/dl (<0,3 mM)
Urea nitrogen (BUN) >100 mg/dl (>35,7 mM)
Kreatinin >10 mg/dl (>884 mikroM)

3
Berikut jang waktu terjadinya bangkitan simtomatik akut pada
beberapa penyakit

Penyebab Keterangan
Penyakit serebrovaskular, Dalam waktu 7 hari awitan
hipoksia serebral
Cedera kepala, pembedahan Dalam waktu 7 hari awitan
intrkranial
Infeksi intrakranial Dalam waktu 7 hari awitan,
sesuai klinis dan hasil
laboratorium
Multiple sklerosis Dalam waktu 7 hari awitan dari
relaps
Metabolik Sample darah dalam waktu 24
jam dari kejang
alkohol Dalam waktu 7 – 48 jam setelah
minum alkohol terakhir

Kejang yang tidak diprovokasi terjadi tanpa adanya penyebab


provokatif atau lebih dari tujuh hari setelah cedera akut seperti stroke
atau pendarahan otak. Kejang tidak diprovokasi rekuren didefinisikan
sebagai epilepsi. [3]

Secara umum penyebab kejang dapat dibagi menjadi dua yaitu


intrakrnial dan ekstrakranial. Penyebab intrkranial dapat dibagi
menjadi primer dan sekunder. Penyebab intrakranial primer disebut
juga idiopatik, sedangkan penyebab intrakranial sekunder dapat
disebabkan karena neoplasma intrakranial, kelainan kongenital seperti
hidrosefalus, infeksi sperti meningitis dan ensefalitis, trauma kepala
dan perdarahan intrakranial.

Penyebab kejang ekstrakranial biasa disebabkan karena gangguan


metabolisme seperti hipoglikemia, hipotiroid, hepatik ensefalopati,
uremia, hiperproteinemia, hiperlipidemia, hipotiroid dan hipoksia.

4
Penyebab ekstrakranial dapat juga disebabkan oleh metastasis
keganasan ke otak.

2.1.4. Klasifikasi
Pembagian kejang menurut ILAE 2017, secara garis besar terbagi
menjasi 3 kelompok utama : kejang fokal, kejang umum, dan kejang
tidak terklasifikasikan. Pada kejang fokal dapat disertai gangguan
kesadaran atau tanpa gangguan kesadaran. Beberapa hal yang disorot
adalah baik pada kejang fokal dan umum dibagi berdasarkan gejala
non-motor onset dan motor onset, manifestasi antara kejang non-motor
onset pada fokal dan umum dapat berbeda. Selain itu, terdapat jenis
bangkitan yang bisa masuk ke dalam fokal dan umum (kejang tonik).
Istilah secondary generalized seizure sudah digantikan dengan
terminologi focal to bilateral tonic-clonic. [4]

Gambar. 1 Klasifikasi kejang ILAE 2017

Kejang fokal dikonseptualisasikan sebagai kejang yang berasal dari


1 hemisfer otak. Kejang fokal dapat berasal dari struktur subkortikal.
Pada setiap jenis kejang, onset iktal konsisten dari satu kejang ke
kejang lainnya, dengan pola propagasi preferensial yang dapat
melibatkan belahan ipsilateral dan / atau kontralateral. Semiologi
(gejala / tanda) yang terjadi selama kejang dapat memungkinkan

5
identifikasi area diskrit otak, atau lobus atau belahan yang terlibat
dalam onset dan propagasi kejang. Klasifikasi kejang fokal dilakukan
pada dua tingkat. Kejang pertama kali diklasifikasikan menurut
tingkat kesadaran. Kejang onset fokal juga diklasifikasikan
berdasarkan bentuk onset awal kejang, bahkan jika ini bukan bentuk
yang paling menonjol secara keseluruhan dalam kejang. [5]

Kejang umum dikonseptualisasikan sebagai kejang yang berasal


dari beberapa titik di dalam otak yang saling terlibat dengan cepat, dan
terdistribusi secara bilateral. Jaringan bilateral semacam itu dapat
mencakup struktur kortikal dan subkortikal, tetapi tidak harus
mencakup seluruh korteks. Meskipun onset kejang individu dapat
muncul terlokalisasi, lokasi dan lateralisasi tidak konsisten dari satu
kejang ke kejang lainnya. [5]

Selain jenis kejang di atas, terdapat jenis bangkitan yang terjadi


akibat adanya gangguan akut pasa SSP baik akibat gangguan
metabolik, toksik, struktural, infeksi maupun inflamasi, bangkitan ini
disebut bangkitan simtomatik akut. Bangkitan ini dikenal juga sebagai
kejang reaktif, bangkitan terprovokasi, dan kejang terkait situasi.
Interval waktu antara gangguan dan bangkitan bisa bervariasi
berdasarkan kondisi klinis yang mendasari. Prognosis bangkitan
yang tidak terprovokasi berbeda dengan bangkitan simtomatik akut,
sehingga penting untuk menentukan etiologi penyakit yang
mendasari terjadinya bangkitan. [6]

Penyebab utama bangkitan simtomatik akut adalah stroke akut


(16%); cedera otak (16%); infeksi sistem saraf pusat (15%); obat-
obatan, alkohol, dan psikotropika (14%); gangguan elektrolit dan
metabolik (9%); ensefalopati (5%); dan eklampsia (2%).4,7
Penyebab bangkitan simtomatik akut juga menunjukkan distribusi
yang sama dengan patologi sistem saraf pusat yang ditemukan di
berbagai tingkatan usia antara lain ensefalitis, gangguan
metabolisme, dan ensefalopati pada bayi baru lahir; ensefalitis dan

6
trauma kepala pada anak; trauma kepala, obat-obatan atau gejala
putus alkohol, stroke, tumor otak, dan eklampsia pada dewasa; serta
stroke pada lansia. [6]

2.1.5. Patofisiologi
Setiap orang memiliki kecenderungan untuk mengalami kejang.
Konsep ambang kejang berarti bahwa setiap individu ada pada
kontinum kerentanan kejang dengan banyak faktor yang
mempengaruhi kerentanan itu. Obat-obatan, faktor genetik, kelainan
elektrolit, keadaan tidur, infeksi, peradangan otak, atau cedera dari
banyak penyebab dapat menyebabkan seseorang melewati ambang
batas dan menyebabkan terjadinya kejang. [3]
Pada tingkat sel, kejang dimulai dengan eksitasi pada neuron
serebral yang rentan dan mengarah pada pelepasan sinkron dari
kelompok neuron yang terhubung dan meluas secara progresif.
Neurotransmiter terlibat dalam patofisiologi kejang. Glutamat adalah
neurotransmitter eksitator yang paling umum, sedangkan gamma-
aminobutyric acid (GABA) merupakan neurotransmiter inhibitor yang
penting. [3]
Ketidakseimbangan eksitasi berlebih dan penurunan inhibisi
memulai aktivitas listrik abnormal. Pergeseran depolarisasi
paroksismal listrik (PDS) ini memicu aktivitas epileptiform.
Peningkatan aktivasi atau penurunan inhibisi pelepasan tersebut dapat
menyebabkan kejang. Bagian otak yang terkena sering terlihat dalam
tanda-tanda klinis atau gejala kejang. [3]

7
Berikut bagan patofisiologi kejang: [7]

Gambar. 2 Patofisiologi kejang umum. [7]

Gambar. 3 Patofisiologi kejang fokal. [7]

8
2.1.6. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik kejang tergantung dari jenisnya. Berikut
ringkasan manifestasi klinik kejang: [1]

Gambar. 4 Manifestasi kejang. [1]

2.1.7. Diagnosis
Anamnesis
1) Kejadian Pre-Iktal
Berikut ini adalah pertanyaan yang perlu ditanyakan mengenai
kejadian sebelum episode kejang terjadi :
• Apakah ada kejadian yang merangsang terjadinya kejang
seperti keadaan stres, rangsangan nyeri, dan sebagainya?
• Apakah sebelum kejang terjadi, terdapat aura seperti
mencium bau – bauan, melihat cahaya yang sangat terang,
mendengar suara – suara, mual, merasa ketakutan dan
sebagainya?
• Apa yang dilakukan sesaat sebelum kejang terjadi?
• Apakah beberapa jam atau beberapa menit sebelum kejang
mengkonsumsi obat – obatan tertentu?
• Apakah sedang menderita penyakit tertentu? Apakah sedang
demam sebelum kejang terjadi?
• Apakah pernah mengalami kejang sebelumnya?

9
• Jika pernah mengalami kejang, apakah bentuk kejang
terdahulu sama sepertibentuk kejang yang baru saja terjadi?
• Jika pernah mengalami kejang, apakah berobat rutin dan
mengkonsumsi obat anti kejang secara teratur?
• Apakah pernah mengalami trauma, terutama di bagian
kepala, beberapa jam atau hari sebelum kejang?
2) Kejadian saat kejang
Berikut ini adalah pertanyaan yang perlu ditanyakan mengenai
kejadian saat episode kejang terjadi :
• Berapa lama kejang berlangsung?
• Seperti apa bentuk kejang yang terjadi?
• Apakah kehilangan kesadaran saat kejang?
• Berapa kali kejang terjadi dan berapa lama setiap satu
episode kejang terjadi?
• Apabila kejang terjadi lebih dari satu kali, apakah tetap sadar
atau tidak sadar, di antara epdisode kejang yang terjadi?
3) Kejadian post – iktal
• Apakah langsung sadar setelah kejang berhenti?
• Apakah merasa lemas, mual, muntah setelah kejang berhenti
atau tampak seperti tidak terjadi apa – apa?
• Apakah mengingat kejadian saat kejang berlangsung?
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus meliputi general physical examination dan
neurological examination untuk mendeteksi ada tidaknya defisit
fokal. [3]
Pemeriksaan penunjang
Penentuan ada tidaknya kejang ditentukan oleh kondisi klinis pasien
yang tepat sesuai klinis, perlu diperhatikan apakah kejang yang timbul
merupakan kejang diprovokasi atau tanpa diprovokasi. Pemeriksaan
penunjang juga dapat membantu dalam mempertajam diagnosis dari
kejang tersebut. Pemeriksaan penunjang yang dapat di lakukan
diantaranya: [3]

10
1) Lumbal pungsi : Terutama dilakukan ada pasien kejang dengan
demam, riwayat immunosupresan atau faktor lain yang
mengarah pada infeksi SSP
2) Neuroimaging : Direkomendasi setiap kali ada kecurigaan
proses intrakranial akut pada pasien dengan riwayat trauma
kepala akut, riwayat keganasan, immunocompromise, demam,
persisten nyeri kepala, riwayat penggunaan antikoagulasi, usia >
40 tahun, focal seizure onset.
MRI (Magnetic Resonance Imaging) dikerjakan pada pasien –
pasien dengan epilepsi simptomatik, usia > 18 tahun,
perkembangan yang abnormal serta bila ada defisit neurologis.
CT scan lebih sensitif untuk lesi kalsifikasi di intrakranial yang
dapat menyebabkan kejang.
3) EEG (Electroencephalography) merupakan biomarker ada
epilepsi. Pelepasan epileptiform fokal atau umum merupakan
ciri EEG pada aktivitas kejang. Seringkali EEG diperoleh
sebagai alat stratifikasi risiko untuk pasien kejang dengan
kemungkinan kejang berulang. Jika EEG menunjukkan
epileptiform atau kelainan lainnya, manajemen mungkin
berubah.

2.1.8. Diagnosis Banding


Ketika menampakkan gejala klinis seperti kejang, maka pemeriksa
harus segera menentukkan sebab dari kejang tersebut. Penting untuk
mengetahui apakah yang dialami seorang benar adalah kejang atau
bukan kejang. Berikut adalah beberapa kondisi yang dapat disalah
artikan sebagai kejang : [3] [4]
1) Sinkop : keadaan dimana hilangnya kesadaran sementara, yang terjadi
ketika ada pengurangan mendadak dalam aliran darah dan suplai
oksigen ke otak. Gejala awal termasuk kabur dan kehilangan
penglihatan, dering di telinga dan pusing. Gejala pucat dan otonom
seperti kemerahan, berkeringat, merasa panas, mual dan
ketidaknyamanan perut dapat terjadi. Dapat juga terjadi halusinasi

11
visual, pengalaman seperti mimpi, gerakan tonik-klonik. Gerakan
tonik-klonik terjadi secara singkat, terdapat pemicu, gerakan tidak
berirama. Kebingungan pasca serangan biasanya sangat singkat pada
sinkop sedangkan kebingungan lebih dari >10 menit menunjukkan
kejang epilepsi. Cedera dapat terjadi pada sinkop, seperti menggigit
lidah (ini sering di ujung lidah; sedangkan menggigit lidah lateral
menunjukkan kejang tonik-klonik). Inkontinensia urin sering terjadi
pada sinkop. [5]
2) Pseudoseizures (gangguan psikiatrik) : istilah lain dari pseudoseizures
diantaranya non-epileptic attacks, psychogenic seizure dan non-
epileptic seizures. Dapat ditemukan adanya seizure-like events
termasuk gerakan atau gangguan kesadaran, dan dapat meniru kejang
motorik fokal atau kejang kesadaran gangguan fokal. Perbedaan fitur
motorik antara pseudosseizures dengan kejang yaitu pada
pseudoseizures terdapat gerakan proksimal atau truncal yang
menonjol, pola gerakan yang semakin melemah, menyentak, gerakan
horizontal kepala, menangis selama atau setelah serangan, dan mata
tertutup yang sulit dibuka secara pasif. Mendiagnosis kejang non-
epilepsi penting karena potensi efek samping yang serius dari obat
anti-kejang dan prosedur terkait untuk mengobati epilepsi seperti
intubasi dan ventilasi. Kegagalan untuk mengenali faktor-faktor
psikologis yang berkontribusi terhadap peristiwa ini juga menunda
pelaksanaan perawatan psikologis yang tepat. Pemantauan EEG video
dan evaluasi psikologis bersamaan biasanya diperlukan untuk
menegakkan diagnosis dan rencana perawatan. [5]
3) Migraine associated disorders
4) Paroxysmal movement disorders
5) Sleep-related conditions

12
Berikut tabel ringkasan perbedaan bangkitan epileptik dengan
bangkitan epileptik psikogenik.

Gambaran klinis Bangkitan epileptik Bangkitan nonepileptik


psikogenik
Onset Mendadak Bertahap
Kesadaran baik Jarang Bervariasi
Posisi pelvis terangkat Jarang Sering
Gerakan anggota gerak Jarang Sering
tidak sinkron
Tubuh berguling Jarang Sering
Sianosis Dapat terjadi Jarang
Lidah tergigit Biasanya sisi lateral Ujung lidah
Durasi Detik atau menit Sering memanjang
hingga beberapa menit
Lirikan mata Jarang Sering
Berusaha kuat menahan Jarang Sering
gerakan Ekstremitas
pasif atau membuka
mata
Mengantuk pasca iktal Sering Jarang
Bisa diperintah Tidak bisa Dapat menuruti perintah
Normalitas EEG iktal Abnormal Normal
Lingkungan Bisa terjadi di mana pun Seringkali hanya muncul
bila situasi atau
keberadaan orang
tertentu
Refleks cahaya Seringkali menurun Normal
Memburuk dengan Jarang Sering
epilepsi

13
Serangan di depan Jarang Sering
dokter
Banyak keluhan fisik Jarang Sering
lain penyerta

Berikut tabel ringkasan perbedaan bangkitan epileptik dengan


bangkitan sinkop/sinkop vasovagal

Gambaran klinis Bangkitan epileptik Sinkop/sinkop


vasovagal
Faktor pencetus Kurang tidur, stimulasi Berdiri lama, suhu,
fotik, hiperventilasi lingkungan panas,
tempat yang ramai,
belum makan,
lingkungan yang tidak
nyaman, nyeri
Postur Berbagi postur Beridir, jarang terjadi
saat jalan atau berlari
Pucat dan berkeringat Jarang Khas
Onset Mendadak Bertahap
Hilangnya Mendadak Bertahap
penglihatan/pendengaran
Bagian lateral lidah Sering Jarang
tergigit
Kejang menghentak Sering Jarang, kadang muncul
hanya beberapa detik
Inkontinensia Sering Jarang
Tidak sadar Menit Detik
Pemulihan Sering kali lambat Cepat bila ada posisi
supinasi
Mengantuk setelah Sering Jarang
serangan

14
Aktivitas motorik Pola bangkitan khas Myoclonic jerk (durasi
(tonik, klonik, tonik- singkat, pemulihan
klonik) cepat) setelah
sebelumnya pasien
kehilangan postur
Gerakan lengah dan Jarang Sering (myoclonus
tungkai tidak sinkron multifokal)
Opistotonus arc de cerde Sangat jarang Kadang-kadang (postur
decerebrate)
Refleks cahaya Seringkali menurun Normal
Luka cedera sering Jarang
Serangan saat malam Sering Jarang
hari

2.2. EPILEPSI
2.2.1. Definisi
Epilepsi merupakan terulangnya kejang dan jenis gangguan kejang
tanpa adanya etiologi yang mendasari, sedangkan status epileptikus
merupakan kejang selama 5 menit atau lebih dengan klinis terus
menerus dan/atau adanya aktivitas kejang pada elektrografi atau
rekuren kejang secara terus menerus. Status epileptikus merupakan
kegawatdaruratan neurologi yang membutuhkan evaluasi dan
tatalaksana segera untuk mencegah risiko morbiditas atau mortalitas.
[1] [2]
Pada status epileptikus yang tidak mengalami perbaikan setelah
diberikan dosis adekuat dari inisial benzodiazepine dan medikasi lini
kedua melalui intravena, menandakan kejang tersebut sudah
berkembang menjadi status epileptikus refrakter. Super refractory
status epilepticus (SRSE) merupakan status epileptikus refrakter yang
terus berlanjut atau terjadi kembali walaupun sudah diberikan agen
anastetik IV selama ≥ 24 jam. [8]

15
Istilah new-onset refractory status epilepticu (NORSE)
didefinisikan sebagai onset baru dari status refrakter epileptikus, pada
pasien tanpa epilepsi aktif atau gangguan neurologis relevan lainnya
yang sudah ada sebelumnya (stroke akut, massa otak, overdosis obat,
dll.), Dan tanpa penyebab struktural, toksik atau metabolik akut atau
aktif yang jelas. [8]
Bentuk status epileptikus dapat berupa konvulsif, non-konvulsif,
focal motor, myokolonik, dan refrakter. Status kejang epileptikus
terdiri dari gerakan tonik-klonik umum dan gangguan status mental.
Status non-konvulsif epileptikus didefinisikan sebagai aktivitas kejang
yang diidentifikasi pada electroencephalogram (EEG) tanpa gerakan
tonik-klonik yang menyertainya. Focal motor status epileptikus
melibatkan aktivitas refrakter anggota gerak tubuh atau sekelompok
otot di satu sisi tubuh dengan atau tanpa kehilangan kesadaran
didefinisikan sebagai myoklonik status epileptikus. Status epileptikus
refrakter mengacu pada kejang terus menerus (konvulsif atau non-
konvulsif) meskipun telah diberikan obat antiepileptik. [2]

2.2.2. Etiologi
Status epileptikus dapat disebabkan oleh banyak penyebab. Proses
akut yang berpotensi memicu status epileptikus meliputi: [2]
1) Infeksi SSP : meningitis, encephalitis, dan intracranial abscess
2) Abnormalitas metabolik : hipoglikemia, hiponatremia,
hipokalsemia, hepatic encephalopathy
3) Cerebrovascular accidents
4) Trauma kepala (dengan atau tanpa perdarahan intrakranial)
5) Drug toxicity
6) Drug withdrawal syndromes : alcohol, benzodiazepines, dan
barbiturates
7) Hipoksia
8) Hipertensi emergensi
9) Autoimmune disorders

16
Proses kronis yang dapat menyebabkan status epileptikus termasuk
riwayat epilepsi dengan kejang atau ketidakpatuhan terhadap obat anti-
epilepsi, withdrawl etanol, tumor SSP, dan patologi SSP misalnya,
cedera otak traumatis, stroke. [2]

Menurut ILAE 2017 terdapat beberapa etiologi epilepsi,


diantaranya: [4]

1) Structural etiology : adanya abnormalitas struktural


2) Genetic etiology : adanya mutasi genetik dengan gejala
utamanya adalah kejang
3) Infeksi
4) Metabolic etiology
5) Immune etiology
6) Unknown etiology

2.2.3. Epidemiologi
Insiden epilepsi tertinggi pada kelompok usia yang lebih muda dan
lebih tua dan meningkat terus setelah usia 50 tahun. Penyebab paling
umum dari kejang dan epilepsi pada orang tua adalah penyakit
serebrovaskular. [3]
Tingkat kejadian status epileptikus berkisar antara sekitar 7 hingga
40 kasus per 100.000 orang / tahun. Status epileptikus tampaknya lebih
sering terjadi pada laki-laki. Sebagian besar anak-anak (16 sampai
38%) dan orang dewasa (42 sampai 50%) dengan status epileptikus
memiliki riwayat epilepsi. Kematian jangka pendek (dalam 30 hari)
status epileptikus berkisar antara 7,6 hingga 22% di semua kelompok
umur dan tertinggi di antara orang tua. [2]

2.2.4. Patofisiologi
Suatu bangkitan epileptik dipicu oleh eksitasi sejumlah besar neuron
yang bersifat masif, spontan dan tersinkronisasi sehingga terjadi
aktivasi lokal atau generalisata fungsi motorik (kejang), sensorik
(misal parestesia, kilatan cahaya halusinasi, vertigo), otonom (misal

17
salivasi, berkeringat, vasodilatasi, piloereksi), kognitif atau emosional
kompleks (misal rasa cemas, déjà vu, mikropsia). [9]
Kejang merupakan fenomena pelepasan listrik paroksismal pada
neuron di otak yang mengakibatkan perubahan fungsi atau perilaku.
Penting untuk dipahami bahwa kejang adalah peristiwa SSP dan dapat
muncul sebagai konvulsif atau non-konvulsif. Pada neurotransmiter
eksitatorik (glutamat, aspartat, dan asetilkolin) dan neurotransmitter
inhibitorik (gamma-aminobutyric acid) dan mekanisme (calcium ion-
dependent potassium ion current and magnesium blockade of N-
methyl-d-aspartate (NMDA)) di otak yang berperan dalam asal-usul
dan inhibisi kejang terisolasi. Eksitasi berlebihan dan / atau inhibisi
yang tidak memadai menghasilkan status epileptikus. [2]

Berikut adalah bagan patofisiologi epilepsi: [9]

18
Gambar. 5 patofisiologi epilepsi. [9]

19
2.2.5. Diagnosis
Epilepsi merupakan suatu penyakit atau gangguan di otak yang
ditegakkan jika terdapat : [10]
1) Paling sedikit 2 kali bangkitan tanpa provokasi (atau refleks)
dengan jarak antar 2 bangkitan tersebut > 24 jam
2) Satu kali bangkitan tanpa provokasi (atau refleks) dan
kemungkinan terjadinya bangkitan berikutnya hampir sama
dengan risiko timbulnya bangkitan setelah terjadi 2 kali
bangkitan tanpa provokasi (atau refleks) dalam 10 tahun ke
depan.
3) Diagnosis sindrom epilepsi

Penegakkan diagnosis epilepsi dilakukan secara bertahap dan


sedapat mungkin ditegakkan sindrom epilepsi yang dialami oleh
pasien. Karena tiap sindrom epilepsi memiliki tatalaksana dan
prognosis yang berbeda. Berikut langkah-langkah penegakkan
diagnosis: [10]

1) Apakah gejala paroksismal tersebut merupakan bangkitan


epileptik?
2) Apakah tipe bangkitan epileptik yang dialami pasien?
3) Apakah etiologinya?
4) Apakah sindrom epilepsi yang dialami oleh pasien?

Berikut bagan klasifikasi epilepsi ILAE 2017

Gambar. 6 klasifikasi epilepsi ILAE 2017

20
Penegakkan sindrom epilepsi
Sindrom epilepsi ditegakkan selain berdasarkan EEG juga
pemeriksaan fisik, topis, pemeriksaan penunjang lainnya serta usia.
Pemeriksaan EEG dilakukan untuk memastikan adanya aktivitas
epileptiform yang bersifat fokal atau umum. Pada EEG juga perlu
diperhatikan latar belajang sera ada tidaknya perlambatan fokal
monomorfik atau polimorfik. [10]
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya defisit
neurologis fokal atau global. Bila didapatkan defisit neurologis maka
ditegakkan diagnosis epilepsi simtomatik bahkan pada bangkitan
epileptik pertama kali. Pada epilepsi simtomatik harus dicari etiologi
penyebabnya. Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan lab,
pencitraan otak, dan pungsi lumbal sangat membantu dalam
menemukan etiologi. [10]
Bila pada pemeriksaan fisik dan penunjang tidak ditemukan
kelainan maka kemungkinan diagnosisnya dalah epilepsi kriptogenik
atau idiopatik. Pada bayi, remaja, anak-anak, diagnosis epilepsi
idiopatik dipikirkan apabila terdapat riwayat keluarga terutama pada
orang tua dan saudara kandung. [10]
Berikut sindrom epilepsi yang sering dijumpai pada klinis: [10]
1) Benign focal epilepsy with centrotemporal spikes (BECTS)
2) Chillhodd absence epilepsy (CAE)
3) Juvenile absence epilepsy (JAE)
4) Juvenile myoclonic epilepsy (JME)

21
2.3. Tatalaksana
Berikut bagan penatalaksanaan kejang :

penatalka

22
Terapi epilepsi

Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan penyandang


epilepsi dapat hidup normal dan tercapa kualitas hidup optimal untuk
penyandangmental yang dimilikinya. Terapi epilepsi dapat berupa
farmakologi dan non-farmakologi.

Prinsip terapi farmakologi:

1) OAE diberikan bila


- Diagnosis epilepsi sudah dipastikan
- Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun

23
- Penyandang dan atau keluarganya sudah menerima
penjelasan tentang tujuan pengobatan.
- Penyandang dan/ atau keluarga telah diberitahu tentang
kemungkinan efek samping yang timbul dari OAE.
- Bangkitan terjadi berulang walaupun factor pencetus sudah
dihindari (misalnya: alcohol, kurang tidur, stress, dll)
2) Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan
sesuai dengan jenisbangkitan dan jenis sindrom epilepsi
3) Pemberian obat dimulai dimulai dari dosis rendah dan
dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul
efek samping
4) Kadar obat dalam plasma ditentukan bila:
- Bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif
- Diduga ada perubahan farmakokinetik OAE (disebabkan
oleh kehamilan, penyakit hati, penyakit ginjal, gangguan
absorpsi OAE)
- Diduga penyandang tidak patuh pada pengobatan
- Setelah penggantian dosis/regimen OAE
- Untuk melihat interaksi antara OAE atau obat lain.
5) Bila dengan penggunaan OAE pertama dosis maksimum
tidak dapat mengontrol bangkitan, maka diganti dengan
OAE kedua. Caranya bila OAE telah mencapai kadar
terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap (tapering
off). Bila terjadi bangkitan saat penurunan OAE pertama
maka kedua OAE tetap diberikan. Bila responsyang didapat
buruk, kedua OAE hareus diganti dengan OAE yan g lain.
Penambahan OAE ketiga baru dilakukan bila terdapat
respons dengan OAE kedua, tetapi respons tetap suboptimal
walaupun pergunaan kedua OAE pertama sudah maksimal
6) OAE kedua harus memiliki mekanisme kerja yang berbeda
dengan OAE pertama

24
7) Penyandang dengan bangkitan tunggal direkomendasikan
untuk dimulai terapi bila kemungkinan kekambuhan tinggi,
yaitu bila:
- Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG
- Pada pemeriksaan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang
berkorelasi dengan bangkitan; misalnya meningioma,
neoplasma otak, AVM, abses otak ensafalitis herpes.
- Pada pemeriksaan neurologis dijumpai kelainan yang
mengarah pada adanya kerusakan otak
- Terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan
orang tua)
- Riwayat bangkitan simtomatis
- Terdapat sindrom epilepsi yang berisiko kekambuhan tinggi
seperti JME (Juvenile Myoclonic Epilepsi)
- Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan
kesadaran stroke, infeksi SSP
- Bangkitan pertama berupa status epileptikus
8) Efek samping OAE perlu diperhatikan demikian pula
halnya dengan profil farmakologis tiap OAE dan interaksi
farmnakokinetik antar-OAE
9) Strategi untuk menceghah efek samping:
- Pilih OAE yang paling cocok untuk karakteristik penyandang
- Gunakan titrasi dengan dosis terkecil dan rumatan terkecil
mengacu pada sindrom epilepsi dan karakteristik penyandang.

25
Berikut pilihan OAE ada dewasa berdasarkan tipe bangkitan :

2.4. Prognosis
Sebagian besar prognosis kejang tergantung pada penyebab yang
mendasarinya. Pasien dengan kejang dari penyebab medis atau toksikologi
perbaikan harus melakukannya dengan baik dengan pengelolaan masalah
tersebut. Prognosis single unprovoked seizure diperkirakan baik. Namun,
jika ada kejang tidak terprovokasi kedua atau ketiga, risiko kejang lebih
lanjut meningkat menjadi sekitar tiga perempat. [3]
Tingkat mortalitas untuk pasien dengan episode pertama epileptikus
status kejang umum adalah antara 16 hingga 20 persen. mortalitas
tergantung pada etiologi status epileptikus, dengan status anoksik
epileptikus mendekati 80 persen. Status refrakter epileptikus memiliki
tingkat kematian antara 35 hingga 60 persen, pasien yang membutuhkan
barbiturat atau benzodiazepin yang berkepanjangan terkena dampak
terburuk. Pasien muda yang memiliki status refrakter kriptogenik
epileptikus memiliki prognosis lebih baik daripada pasien yang lebih tua
yang memiliki etiologi diidentifikasi. [2]
Kerusakan neurologis permanen dapat terjadi setelah 30 menit status
epileptikus. Sekitar 40 persen pasien dengan episode pertama status
epileptikus mengembangkan epilepsi berikutnya, dan ada risiko 25 sampai
30 persen epileptikus status berulang setelah episode pertama. [2]

26
2.5. Komplikasi
Komplikasi yang umum terjadi yaitu cedera traumatis seperti
laserasi lidah atau laserasi kulit kepala. Status kejang epileptikus
menyebabkan kerusakan otak pada tingkat sel dan mungkin menjadi
epileptogenik. Komplikasi neurologis status epileptikus termasuk
perkembangan epilepsi kronis dan status berulang epileptikus. Dalam kasus
prolonged refrakter status epileptikus, mungkin ada kerusakan neurologis
permanen yang disebabkan oleh aktivitas hiper-metabolik di daerah otak
yang mengalami aktivitas listrik yang berkepanjangan dan abnormal. [2]
[3]

27
BAB III

DAFTAR PUSTAKA

[1] Sue E. Huether, Kathryn L. McCane, Buku Ajar Patofisiologi volume 1 Ed. 6,
Siangapura: Elsevier Inc, 2019.

[2] Wylie, T., Sandhu, D. S., & Murr, N., Status Epilepticus, StatPearls, 2023.

[3] Huff, J. S., & Murr, N., Seizure, StatPearls, 2023.

[4] Ingrid E. Scheffer, dkk, "ILAE classification of the epilepsies: Position paper of the
ILAE Commission for Classification and Terminology," Epilepsia, vol. 4, no. 58, pp.
512-521, 2017.

[5] International League Against Epilepsy, "EpilepsyDiagnosis.org, Diagnostik Manual,"


ILAE, 15 7 2022. [Online]. Available:
https://www.epilepsydiagnosis.org/seizure/generalized-seizure-
groupoverview.html. [Accessed 24 7 2023].

[6] Stefanus Erdana Putra, Berkat Hia, Muhammad Ha zhan, Fauzi Novia, Isnaening
Tyas, Astrida Fesky Febrianty, "BANGKITAN SIMTOMATIK AKUT: INSIDENSI,
ETIOLOGI, DAN MORTALITAS PASIEN RSUD GUNUNGSITOLI TAHUN 2015–2019,"
Neurona, vol. 38, no. 2, 2021.

[7] calgary, "the calgary guide to understanding disease," 6 2 2017. [Online]. Available:
https://calgaryguide.ucalgary.ca/category/neurology/. [Accessed 19 7 2023].

[8] Bhatia, K., & De Jesus, O, New Onset Refractory Status Epilepticus, StatPearls,
2023.

[9] silbernagl stefan, florian lang, "Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi edisi 3," jakarta,
EGC, 2017.

[10] R. DEPARTEMEN NEUROLOGI FK UI, Buku Ajar Neurologi, Tangerang: Penerbit


Kedokteran Indonesia, 2017.

28
29

Anda mungkin juga menyukai