Anda di halaman 1dari 21

Referat

STATUS EPILEPTIKUS

Oleh:

Meita Natasya, S.Ked 04084822326037


Muhammad Harist, S.Ked 04084822326202

Pembimbing:
dr. Afriani, Sp.N

BAGIAN/KSM/KELOMPOK STAF NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SITI FATIMAH
2024
HALAMAN PENGESAHAN
Referat
“STATUS EPILEPTIKUS”

Oleh:

Meita Natasya, S.Ked 04084822326037


Muhammad Harist, S.Ked 04084822326202

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat untuk


mengikuti Kepaniteraan Klinik Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya/Rumah Sakit Umum Daerah Siti
Fatimah Palembang periode 12 - 16 Februari 2024.

Palembang, 16 Februari 2024

dr. Afriani, Sp.N

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ilmiah dengan judul
“Status Epileptikus” untuk memenuhi tugas ilmiah yang merupakan bagian dari
sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya di Departemen Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/Rumah Sakit Umum Daerah Siti
Fatimah Palembang
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dr.
Afriani, Sp.N selaku pembimbing yang telah membantu memberikan bimbingan
dan masukan sehingga tugas ilmiah ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas ilmiah ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik
yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah penulisan
tugas ilmiah ini, semoga bermanfaat.

Palembang, 16 Februari 2023

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN......................................................................ii

KATA PENGANTAR................................................................................iii

DAFTAR ISI................................................................................................iv

BAB 1 PENDAHULUAN.....................................................................viii

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA...............................................................9

BAB 3 KESIMPULAN...........................................................................20

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................21

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

Status epileptikus merupakan suatu kegawatdaruratan di bidang neurologi. Bila


tidak ditangani dengan baik, status epileptikus akan menyebabkan berbagai
macam komplikasi, sampai dengan kematian. Pada sekitar tahun 1950, tingkat
mortalitas status epileptikus mencapai 6-18%, namun dengan dikenalinya status
epileptikus sebagai suatu kondisi emergensi yang membutuhkan penanganan
segera, tingkat mortalitasnya jauh berkurang menjadi 4-5%; sebagian besar
merupakan akibat dari etiologi status epileptikus dan bukan akibat dari status
epileptikus itu sendiri. Karena itu, mengingat pentingnya pemahaman akan status
epileptikus, dalam referat ini akan dibahas definisi, etiologi, epidemiologi,
patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, diagnosis, diagnosis
banding, tatalaksana, komplikasi, dan prognosis status epileptikus.

v
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi
Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA), status epileptikus
didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa
adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung
lebih dari 30 menit.1 Status epileptikus refrakter adalah status epileptikus yang gagal
berespon terhadap terapi, pada umumnya dengan setidaknya 2 jenis obat, salah satunya
benzodiazepin.2 Status epileptikus refrakter super adalah status epileptikus yang resisten
pengobatan, atau yang rekuren meski telah diberi antikejang intravena selama lebih dari
24 jam.3

1.2 Epidemiologi
Insiden status epileptikus pada anak diperkirakan sekitar 10-58
per 100.000 anak. Status epileptikus lebih sering terjadi pada anak
usia muda, terutama usia kurang dari 1 tahun dengan estimasi angka
kejadian 1 per 1000 bayi.1
Status epileptikus febris adalah status epileptikus tersering pada
anak. Sekitar 30% anak yang mengalami status epileptikus
merupakan episode kejang pertama, dan 40% dari jumlah ini akan
menderita epilepsi di kemudian hari. Secara keseluruhan tingkat
mortalitas status epileptikus <10% dan berhubungan dengan etiologi
pola kejang.2

1.3 Etiologi
Penyebab status epileptikus dibagi menjadi simptomatis dan idiopatik. Penyebab
simptomatis dibagi menjadi:1
1. akut, seperti infeksi, hipoksia, gangguan glukosa atau keseimbangan elektrolit,
trauma kepala, pendarahan, stroke
2. remote, bila terdapat riwayat kelainan sebelumnya, seperti ensefalopati hipoksik
iskemik, trauma kepala, infeksi, atau kelainan otak kongenital

6
3. kelainan neurologi progresif, seperti tumor otak, kelainan metabolik, penyakit
autoimun misalkan vaskulitis
4. epilepsi, penghentian antikonvulsan yang mendadak

1.4 Faktor Risiko


Epilepsi dan sakit kritis merupakan faktor risiko terjadinya status epileptikus,
karena pada pasien sakit kritis terjadi ketidakseimbangan elektrolit. Sekitar 10-20%
penderita epilepsi setidaknya akan mengalami satu kali episode status epileptikus. Selain
itu status epileptikus dapat menjadi manifestasi epilepsi pertama pada 12% pasien baru
epilepsi.1
Pasien yang sakit kritis yang menjadi faktor risiko status epileptikus diantaranya
adalah pasien dengan ensefalopati hipoksik-iskemik, trauma kepala, infeksi SSP,
penyakit kardiovaskular, penyakit jantung bawaan terutama post- operatif, dan
ensefalopati hipertensi.1

1.5 Klasifikasi
Klasifikasi status epilepticus dibagi menjadi :
1. Status epileptikus konvulsif: bangkitan dengan durasi lebih dari 5 menit atau
bangkitan berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya kesadaran di antara bangkitan.
2. Status epileptikus non-konvulsif: sejumlah kondisi saat aktivitas bangkitan
elektrografik memanjang (EEG status) dan memberikan gejala klinis non- motorik
termasuk perubahan perilaku atau awareness.

1.6 Patofisiologi
Status epileptikus terjadi akibat kegagalan mekanisme untuk membatasi penyebaran kejang.
Dapat berupa aktivitas neurotransmiter eksitasi yang berlebihan seperti glutamat, aspartat, dan
asetilkolin, dan/atau aktivitas neurotransmiter inhibisi yang tidak efektif yaitu gamma-
aminobutyric acid (GABA).1 Kejang sendiri diakibatkan oleh malfungsi kanal ion pada sinaps
sewaktu neurotransmisi. Patofisiologi terjadinya kejang dapat dilihat pada Gambar 2.4

7
Gambar 1. Aktivitas neuron saat kejang4

8
Neuron dirangsang oleh sinyal yang abnormal. Hal ini
menyebabkan ketidakstabilan di membran neuron atau di koneksi
antar neuron. Serangan epilepsi bergantung dari potensial aksi yang
didasari oleh natrium (1), dan depolarisasi dari kalsium (2).
Pembangkitan listrik mengaktivasi kanal kalsium, sehingga glutamat
masuk ke sinaps (3). Akumulasi glutamat mengaktivasi reseptor-
reseptor, dan dengan influks natrium dan kalsium melalui kanal yang
dipagari oleh reseptor- reseptor ini, terjadi hiper-eksabilitas (4).
Kenaikan faktor inhibisi (GABA) yang tidak terkontrol juga
merupakan salah satu kunci dalam patofisiologi kejang, karena
penurunan inhibisi GABA diperlukan untuk memproduksi aliran
listrik sinkron di sel target (5).4
Pada status epileptikus terjadi peningkatan metabolisme
serebral yang ditandai dengan peningkatan konsumsi oksigen,
glukosa dan ATP. Karena itu aliran darah ke otak harus adekuat
untuk menyalurkan substrat metabolik tersebut. 5 Setelah 30 menit,
aliran darah tidak lagi mampu mengkompensasi peningkatan
metabolisme serebral yang terjadi, sehingga kadar oksigen dalam
otak tidak lagi mencukupi (lihat Tabel 1). Hal ini merupakan salah
satu faktor yang menyebabkan kerusakan neuron. Status epileptikus
juga dapat menyebabkan nekrosis dan apoptosis neuron, yang terjadi
karena meningkatnya kalsium intraselular dan faktor pencetus
apoptosis.2 Selain itu, kerusakan otak dapat juga disebabkan oleh
GABA yang diproduksi sebagai mekanisme kompensasi terhadap
kejang. Karena itu kejang yang berkelanjutan akan menyebabkan
desensitisasi reseptor GABA sehingga kejang mudah berulang.
Keadaan ini diperparah jika terdapat hipertermi, hipoksia, atau
hipotensi.6

Tabel 1. Perubahan yang terjadi di otak dan sistemik saat status epileptikus konvulsivus7
Fase kompensasi (<30 menit) Fase dekompensasi (>30 menit)
Peningkatan aliran darah ke otak Kegagalan autoregulasi serebral
Kebutuhan energi otak diimbangi oleh suplai
Disseminated intravascular coagulation (DIC)
oksigen dan glukosa
9
Peningkatan konsentrasi glukosa di otak Hipoglikemia
Peningkatan pelepasan katekolamin Hipoksia
Peningkatan curah jantung Asidosis
Hiponatremia
Hipo/hiperkalemia
Leukositosis
Penurunan tekanan darah
Penurunan curah jantung
Rhabdomiolisis

1.7 Manifestasi klinis


Tipe status epileptikus antara lain adalah tipe konvulsif (tonik general, klonik, atau
tonik-klonik), tipe nonkonvulsif (partial kompleks, absens), status myoklonik, epilepsia
partialis continua, dan status epileptikus neonatus. Tipe konvulsif adalah tipe yang
tersering.2
Status epileptikus non-konvulsif dapat bermanifestasi sebagai kondisi bingung
(confusional state), demensia, hiperaktivitas dengan gangguan perilaku, penurunan
kesadaran yang berfluktuasi, status mental yang berfluktuasi, halusinasi, paranoid,
katatonik furor, dan/atau gejala psikotik. Status epileptikus nonkonvulsif harus
dipertimbangkan terutama pada anak yang kurang responsif atau dengan ensefalopati.2
1. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status
Epileptikus)
 Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan
potensial dalam mengakibatkan kerusakan.
 Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang
melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus.
Pasien menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2.
Adanya takikardi dan peningkatan tekanan darah, hyperpireksia mungkin
berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang
mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik.
Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak
tertangani.
2. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status
Epileptikus)
10
 Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum
mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode
kedua.
3. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)
 Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan
kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan
merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome.
4. Status Epileptikus Mioklonik.
 Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan mioklonus
adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat
kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat
dengan prognosa yang buruk, tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas,
metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.
5. Status Epileptikus Absens
 Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia
pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status
presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang
lambat seperti menyerupai “slow motion movie” dan mungkin bertahan
dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum primer
atau kejang absens pada masa anak-anak. Respon terhadap status epileptikus
Benzodiazepin intravena didapati.
6. Status Epileptikus Non Konvulsif
 Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial
kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-
konvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma.
 Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia, delusional,
cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior),
retardasi psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai psikosis.
7. Status Epileptikus Parsial Sederhana
 Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut
mulut, ibu jari dan jari-jari pada satu tangan atau

11
melibatkan jari- jari kaki dan kaki pada satu sisi dan
berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari
tubuh. Kejang mungkin menetap secara unilateral dan
kesadaran tidak terganggu. Variasi dari status
somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang
intermitten atau gangguan berbahasa (status afasik).
 Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik
dengan gejala sensorik unilateral yang berkepanjangan
atau suatu sensory jacksonian march.

8. Status Epileptikus Parsial Kompleks


 Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang
cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi otomatisme,
gangguan berbicara, dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan.
1.8 Diagnosis
Diagnosis status epileptikus ditegakkan berdasarkan definisinya, yaitu kejang yang
berlangsung terus-menerus selama minimal 30 menit atau kejang berulang tanpa disertai
pulihnya kesadaran diantara kejang.1

1.9 Diagnosis Banding


Diagnosa banding untuk status epileptikus antara lain adalah:5
1. Infeksi
2. Catscratch disease
3. Kejang demam
4. Tumor otak
5. Meningitis
6. Ensefalitis
7. Sinkop

1.10 Pemeriksaan Penunjang


Semua pasien dengan status epileptikus memerlukan pemeriksaan

12
elektroensefalografi (EEG). EEG dapat membedakan status epileptikus dari
pseudoseizure, dan dapat menentukan fase status epileptikus. Pemeriksaan laboratorium
didasarkan pada usia dan etiologi yang dicurigai. Dapat diperiksa pemeriksaan darah
lengkap, kadar glukosa darah, elektrolit, kadar kalsium dan magnesium terutama pada
neonatus, analisa gas darah, screening toksikologi, dan kadar antikejang dalam darah
jika ada riwayat penggunaan obat antikejang. Pemeriksaan radiologi yang dapat
dilakukan adalah CT scan kepala, terutama pada status epileptikus tonik-klonik general.5

1.11 Tatalaksana
Evaluasi tanda vital serta penilaian airway, breathing, circulation (ABC) harus
dilakukan seiring dengan pemberian obat antikonvulsan.8
1. Stabilitas Penderita
Tahap ini meliputi usaha usaha mempertahankan dan memperbaiki fungsi vital
yang mungkin terganggu. Prioritas pertama adalah memastikan jalan napas yang
adekuat dengan cara pemberian oksigen melalui nasal canul atau mask ventilasi.
Tekanan darah juga perlu diperhatikan, hipotensi merupakan efek samping yang
umum dari obat yang digunakan untuk mengontrol kejang. Darah diambil
untuk pemeriksaan darah lengkap, gula darah, elektrolit, ureum, kreatinin. Harus
diperiksa gas-gas darah arteri untuk melacak adanya asidosis metabolic dan
kemampuan oksigenasi darah. Asidosis di koreksi dengan bikarbonat intravena.
Segera diberi 50 ml glukosa 50% glukosa iv, diikuti pemberian tiamin 100 mg
IM.
Pada saat pasien mengalami kejang, diberikan diazepam per rektal dengan
dosis 5 mg suppositoria untuk pasien dengan berat badan(BB) < 12 kg, dan 10 mg
untuk BB ≥ 12 kg. Diazepam dapat diberikan maksimal 2 kali dalam jarak 5
menit. Dalam waktu 10 menit, anak sudah harus masuk ke rumah sakit atau
instalasi gawat darurat (IGD). Bila kejang belum berhenti, diberi diazepam atau
midazolam. Diazepam diberikan 0,2-0,5 mg/kg secara intravena (IV) dengan
kecepatan 2 mg/menit, maksimal diberikan 10 mg. Bila kejang berhenti sebelum
obat habis, obat tidak perlu dihabiskan. Midazolam diberikan 0,2 mg/kg secara IV
atau buccal, maksimal 10 mg. Pemberian secara buccal dapat menggunakan
midazolam sediaan IV/IM, diteteskan pada buccal kanan selama 1 menit dengan
menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang jarumnya. Dosis midazolam buccal
13
adalah 2,5 mg untuk bayi usia 6-12 bulan, 5 mg untuk anak usia 1-5 tahun, 7,5 mg
untuk anak usia 5-9 tahun, dan 10 mg untuk anak usia minimal 10 tahun.1
Jika kejang masih berlanjut dalam 5 sampai 10 menit, dapat diberikan
fenitoin atau fenobarbital. Fenitoin diberikan 20 mg/kg secara IV yang diencerkan
dalam 50ml NaCl 0,9% selama 20 menit, maksimal diberi 1000 mg. Dosis
fenitoin dapat ditambah 5-10 mg/kg. Atau dapat diberikan fenobarbital 20 mg/kg
secara IV selama 5-10 menit, maksimal diberi 1000 mg. Dosis fenobarbital dapat
ditambahkan 5-10 mg/kg. Fenobarbital dapat diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1
dengan kecepatan yang sama. Bila kejang masih berlanjut selama 5-10 menit, bila
sebelumnya pasien diberi fenitoin, maka dapat diberikan fenobarbital 20 mg/kg.
Begitu pula sebaliknya.1
Bila kejang masih berlanjut sampai lebih dari 60 menit, pasien harus
dirawat di ICU karena kejang merupakan refrakter status epilekptikus. Terapi
yang dapat diberikan adalah midazolam, propofol, atau pentobarbital. Midazolam
dibolus 100- 200 mcg/kg IV, maksimal diberikan 10 mg, dilanjutkan dengan infus
kontinyu 100 mcg/kg/jam, dosis dapat dinaikan 50 mcg/kg setiap 15 menit. Dosis
maksimal yang

14
dapat diberikan adalah 2 mg/kg/jam. Propofol dibolus 1-3 mg/kg, dilanjutkan
dengan infus kontinyu 2-10 mg/kg/jam, sedangkan pentobarbital dibolus 5-15
mg/kg, dilanjutkan infus kontinyu 0,5-5 mg/kg/jam.1
Bila kejang masih berlanjut sampai lebih dari 60 menit, pasien harus dirawat
di ICU karena kejang merupakan refrakter status epilekptikus. Terapi yang dapat
diberikan adalah midazolam, propofol, atau pentobarbital. Midazolam dibolus
100- 200 mcg/kg IV, maksimal diberikan 10 mg, dilanjutkan dengan infus
kontinyu 100 mcg/kg/jam, dosis dapat dinaikan 50 mcg/kg setiap 15 menit. Dosis
maksimal yang dapat diberikan adalah 2 mg/kg/jam. Bila bebas kejang selama 24
jam setelah pemberian midazolam, maka pemberiannya dapat diturunkan secara
bertahap dengan kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat dihentikan setelah 40 jam bebas
kejang. Propofol dibolus 1-3 mg/kg, dilanjutkan dengan infus kontinyu 2-10
mg/kg/jam, sedangkan pentobarbital dibolus 5-15 mg/kg, dilanjutkan infus
kontinyu 0,5-5 mg/kg/jam.1
Bila pasien memiliki riwayat status epileptikus, namun saat datang dalam
keadaan tidak kejang, diberikan fenitoin atau fenobarbital 10 mg/kg IV
dilanjutkan dengan pemberian rumatan bila diperlukan. Terapi rumatan yang
dapat diberikan adalah fenitoin 5-10 mg/kg dibagi dalam 2 dosis atau fenobarbital
3-5 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis.1
Ketidakseimbangan elektrolit dapat menimbulkan atau memperparah kejang.
Kelainan yang sering terjadi adalah hiponatremi dan hipokalsemi. Tindakan
koreksi harus dilakukan secara hati-hati karena perubahan kadar serum yang
mendadak dapat menyebabkan kerusakan otak permanen. Koreksi hipokalsemi
dengan Ca glukonas 10% harus dipantau dengan EKG karena berisiko
menimbulkan aritmia.5
Hiponatremi harus dikoreksi berdasarkan etiologi dan patofisiologinya,
namun pada hiponatremi dengan kejang, diberikan bolus cairan saline hipotonik
untuk meningkatkan kadar serum natrium. Hiponatremi dapat menyebabkan
hipoksia, yang dapat memperparah edema serebral. Namun koreksi yang terlalu
cepat harus dihindarkan, dengan batas maksimum 12-18 mEq/L/jam. Digunakan
NaCl 3%, dengan perhitungan setiap ml/kg NaCl 3% akan meningkatkan natrium
1 mEq/L.9
15
Untuk hiperkalemi, jika kadar kalium darah >6,5 mEq/L, lakukan
pemeriksaan EKG. Prinsip terapi hiperkalemi adalah untuk mencegah aritmia
ventrikular, dan mengeluarkan kelebihan kalium darah. Kalsium
menstabilisasikan membran sel jantung, sehingga dapat diberikan secara IV dalam
selang beberapa menit. Bikarbonat menarik kalium ke intrasel, sehingga sangat
efektif terutama pada pasien dengan asidosis metabolik. Insulin juga
memindahkan kalium ke intrasel, namun pemberian insulin harus disertai dengan
pemberian glukosa untuk mencegah hipoglikemi. Selain itu, furosemide
meningkatkan ekskresi kalium renal.9
Pada hipokalemi, suplementasi kalium secara intravena harus diberikan
secara hati-hati untuk mencegah hiperkalemi. Pemberian secara oral lebih aman,
namun efeknya lebih lambat. Dosis kalium IV adalah 0,5-1 mEq/kg, diberikan
selama 1 jam, dosis oral adalah 2-4 mEq/kg/hari. Preparat yang sering digunakan
adalah KCl, namun pada pasien dengan asidosis, kalium sitrat atau kalium asetat
dapat digunakan.9
Hipoglikemia dengan kejang dapat dikoreksi dengan 4 ml/kg dextrosa
10% bolus, dilanjutkan dengan infus kontiniu 6-8 mg/kg/menit. Kecepatan dapat
disesuaikan untuk menjaga kadar glukosa darah dalam batas normal.1

16
Gambar 2. Penatalaksanaan status epileptikus1

17
1.12 Komplikasi
Status epileptikus menyebabkan kerusakan pada neuron dan memicu reaksi
inflamasi, calcium related injury, jejas sitotoksik, perubahan reseptor glutamat dan
GABA, serta perubahan lingkungan sel neuron lainnya. Perubahan pada sistem jaringan
neuron, keseimbangan metabolik, sistem saraf otonom, serta kejang berulang dapat
menyebabkan komplikasi sistemik. Proses kontraksi dan relaksasi otot yang terjadi pada
status epileptikus konvulsif dapat menyebabkan kerusakan otot, demam, rabdomiolisis,
bahkan gagal ginjal. Selain itu, keadaan hipoksia akan menyebabkan metabolisme
anaerob dan memicu asidosis. Kejang juga menyebabkan perubahan fungsi saraf otonom
dan fungsi jantung seperti hipertensi, hipotensi, gagal jantung, atau aritmia. Metabolisme
otak pun terpengaruh. Mulanya terjadi hiperglikemia akibat pelepasan katekolamin,
namin 30-40 menit kemudian kadar glukosa akan turun. Seiring dengan berlangsungnya
kejang, kebutuhan otak akan oksigen tetap tinggi, dan bila tidak terpenuhi akan
memperberat kerusakan otak. Edema otak pun dapat terjadi akibat proses
inflamasi, peningkatan vaskularitas, atau gangguan sawar darah otak.1
18
Komplikasi sekunder dapat terjadi akibat pemakaian obat anti-konvulsan,
diantaranya depresi napas dan hipotensi dari obat golongan benzodiazepin dan
fenobarbital. Propofol dapat menyebabkan propofol infusion syndrome yang ditandai
dengan rabdomiolisis, hiperkalemia, gagal ginjal, gagal hati, gagal jantung, serta
asidosis metabolik. Asam valproat dapat memicu ensefalopati hepatik dan hiperamonia.
Selain dari obat, komplikasi sekunder dapat juga terjadi akibat perawatan intensif dan
imobilisasi, seperti emboli paru, trombosis vena dalam, pneumonia, gangguan
hemodinamik dan pernapasan.1

1.13 Prognosis
Prognosis status epileptikus adalah tergantung pada penyebab yang mendasari
status epileptikus. Pasien dengan status epileptikus akibat penggunaan antikonvulsan
atau akibat alkohol biasanya prognosisnya lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan
dengan cepat dan dilakukan pencegahan terjadi komplikasi. Pasien dengan meningitis
sebagai etiologi maka prognosis tergantung dari meningitis tersebut.
Gejala sisa lebih sering terjadi pada status epileptikus simptomatis, 37% menderita
defisit neurologis permanen dan 48% menderita disabilitas intelektual. Sekitar 3-56%
pasien akan mengalami serangan berulang. Faktor risiko status epileptikus berulang
adalah; usia muda, ensefalopati progresif, etiologi simptomatis remote, sindrom
epilepsi.1

19
BAB 3
KESIMPULAN

Status epileptikus merupakan kegawatdaruratan neurologi yang membutuhkan


penanganan segera karena dapat menyebabkan kerusakan saraf dan otak irreversibel.
Status epileptikus dapat disebabkan oleh berbagai macam etiologi. Tipe tersering dari
status epileptikus adalah tipe konvulsif. Pada anak, pencetus status epileptikus yang
tersering adalah demam.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi


penatalaksanaan status epileptikus. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2016. h. 1-7.
2. Mikati MA, Hani AJ. Status epilepticus. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Geme
JWS, Schor NF. Nelson textbook of pediatrics. 20th ed. Philadelphia: Elsevier;
2016. p. 2854-5.
3. Resus. Status epilepticus. Diunduh dari:
http://www.resus.com.au/2017/05/25/status-epilepticus/
4. Waheed A, Pathak S, Mirza R. Epilepsy: a brief review. Diunduh dari:
http://www.pharmatutor.org/articles/epilepsy-brief-review
5. Ramachandrannair R. Pediatric status epilepticus. Medscape. Diunduh dari:
emedicine.medscape.com/article/908394
6. Appleton PR, Choonara I, Marland T, Phillips B, Scott R, Whitehouse W. The
treatment of convulsive status epilepticus in children. Arch Dis Child 2000; 83:
415-
7. Scott RC, Surtees RAH, Neville BGR. Status epilepticus: pathophysiology,
epidemiology, and outcomes. Diunduh dari:
http://adc.bmj.com/content/79/1/73 pada 27 Januari 2020
8. Ropper AH, Samuels MA. Adams and victor’s principles of neurology. 9th ed.
New York: McGraw Hill; 2009. 304-38.
9. Greenbaum LA. Electrolyte and Acid-Base Disorders. Dalam: Kliegman RM,
Stanton BF, Geme JWS, Schor NF. Nelson textbook of pediatrics. 20th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2016. p. 353-63.
10. Sperling MA. Hypoglycemia. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Geme JWS,
Schor NF. Nelson textbook of pediatrics. 20th ed. Philadelphia: Elsevier; 2016. p.
787-8.

21

Anda mungkin juga menyukai