Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

HUBUNGAN PATOFISIOLOGI STROKE ASSOCIATED PNEUMONIA

PEMBIMBING :

Diah Mustika HW, dr., Sp.S (K)IC

PENYUSUN :

Dina Savita Marchelly 2017.04.2.0043

Dio Digdaya 2017.04.2.0044

Elfrida Fausthina Lani 2017.04.2.0045

Ellen Ferlita Tirtana 2017.04.2.0046

Elvin Shon Jie 2017.04.2.0047

Emilia Rofida 2017.04.2.0048

Erica Winata 2017.04.2.0049

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA

RSAL Dr. RAMELAN SURABAYA

1
2019

LEMBAR PENGESAHAN

Judul referat “Hubungan Patofisiologi Stroke Associated Pneumonia” telah diperiksa


dan disetujui sebagai saah satu tugas baca dalam rangka menyelesaikan studi
kepaniteraan dokter muda di bagian saraf.

Mengetahui,

Dosen Pembimbing

Diah Mustika HW, dr., Sp.S (K)IC

2
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan referat dengan topik “Hubungan Patofisiologi Stroke Associated
Penumonia” dengan lancar. Referat ini disusun sebagai salah satu tugas wajib untuk
menyelesaikan kepaniteraan klinik di bagian Saraf RSAL Dr. Ramelan Surabaya,
dengan harapan dapat dijadikan sebagai tambahan ilmu yang beramanfaat bagi
pengetahuan penulis maupun pembaca.

Dalam penulisan dan penyusunan referat ini tidak lepas dari abntuan dan dukungan
berbagai pihak, untuk itu kami mengucapkan terima kasih kepada:

1. Diah Mustika HW, dr., Sp.S (K)IC


2. Para dokter di bagian Saraf RSAL Dr. Ramelan Surabaya
3. Para perawat dan pegawai di bagian Saraf RSAL Dr. Ramelan Surabaya

Kami menyadari adanya keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki,


sehingga referat ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu kritik dan saran sangat
kami perlukan untuk kesempurnaan referat ini. Semoga referat ini dapat memberi
manfaat.

Surabaya, 28 Februari 2019

Penyusun

3
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................ 2

KATA PENGANTAR ................................................................................................. 3

DAFTAR ISI .............................................................................................................. 4

DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. 5

DAFTAR TABEL ....................................................................................................... 6

PATOFISIOLOGI STROKE ASSOCIATED PNEUMONIA ........................................ 7

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................

4
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Patofisiologi Stroke-Associated Pneumonia ........................................... 8

Gambar 2. Skematik Hipothalamus - Pituitary - Adrenal axis .................................. 9

Gambar 3. Gambar skematik dari jalur hubungan antara sistem saraf pusat dan sistem
imun .......................................................................................................................... 10

Gambar 4. Respon inflamasi pasca iskemik ............................................................ 12

Gambar 5. Skema diagram yang menunjukkan trombogenesis atrium pada fibrilasi


atrium. Faktor-faktor dari trias Virchow berinteraksi satu sama lain dan saling
memperkuat efek satu sama lain (efek potensiasi) ................................................... 22

Gambar 6. Pengaruh remodeling endokardium yang disertai oleh induksi permukaan


protrombogenik di endokardium atrium pada fibrilasi atrium. Proses molekular yang
diinduksi ini dipertahankan atau diperkuat efeknya oleh penyakit- penyakit lain yang
menyertai .................................................................................................................. 23

5
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Skor risiko untuk menentukan risiko tromboemboli pada fibrilasi atrium
dengan singkatan CHA2DS2-VAS (Congestive heart failure, Hypertension, Age ≥ 75
tahun, Diabetes mellitus, Stroke, Vascular disease, Age 65-74, Sex category). Skor
maksimal adalah 9, karena untuk usia diberikan skor 0, 1, atau 2............................. 24

6
Patofisiologi Stroke-Associated Pneumonia (SAP)

1. Teori Aspirasi
SAP dapat terjadi sekunder karena aspirasi. Aspirasi dan faktor resiko lain
seperti gangguan kesadaran dan disfagia berperan penting menimbulkan
terjadinya SAP. Banyak pasien stroke yang mengalami gangguan mekanisme
menelan menyebabkan aspirasi isi mulut selama tidur yang berhubungan
dengan transmisi dopamine abnormal. Blokade reseptor dopamine D1
menyebabkan inhibisi refleks menelan dan menurunkan substansi P pada end
organs (Hannawi et al., 2013).

2. Stroke-induced immunodepression
Imunodepresi karena stroke merupakan akibat dari aktivasi 3 sistem:
sistem simpatis, parasimpatis, dan hipotalamus-pituitari-adrenal axis. Stroke
menyebabkan apoptosis limfosit, perubahan produksi sitokin oleh Th1 yang
bersifat pro inflamasi menjadi Th2 yang bersifat anti inflamasi, bakteremia
spontan, dan pneumonia. Penelitian terdahulu juga menemukan bahwa blockade
aktivitas simpatis dapat mencegah infeksi bakteri dan penggunaan propranolol
(beta blocker) menurunkan mortalitas post stroke. Perubahan ini paling nyata
tampak pada pasien dengan stroke yang besar dan berhubungan dengan
predileksi lokasi stroke yaitu keterlibatan korteks insula (Hannawi et al., 2013).

Aktivasi hipotalamus-pituitari-adrenal axis menyebabkan sekresi


glukokortikoid dari kelenjar adrenal. Glukokortikoid bersifat anti inflamasi dan
dapat menyebabkan apoptosis limfosit T. Aktivasi sistem parasimpatis
menyebabkan adanya aktivitas kolinergik yang menekan pelepasan sitokin
perifer melalui reseptor nikotinik makrofag. Sistem-sistem tersebut bekerja
bersama menyebabkan perubahan imunitas setelah stroke (Hannawi et al.,
2013).

7
Gambar 1. Patofisiologi Stroke-Associated Pneumonia (Hannawi et al., 2013)

A. Hypothalamic-pituitary-adrenal axis : Increased Lymphocyte Apoptosis


1.1 Respon stress
Struktur anatomi yang memediasi respons stres ditemukan di sistem saraf
pusat dan jaringan perifer. Efektor utama dari respons stres terlokalisasi dalam
nukleus paraventrikular (PVN) di hipotalamus, lobus anterior kelenjar hipofisis,
dan kelenjar adrenal. Kumpulan struktur ini umumnya disebut sebagai
hipotalamus-pituitary-adrenal (HPA) axis. Selain HPA axis, beberapa struktur lain
memainkan peran penting dalam pengaturan respons adaptif terhadap stres. Ini
termasuk neuron noradrenergik, sirkuit andrenomedulla simpatis, dan sistem
parasimpatis (Smith and Vale, 2006).

8
Gambar 2. Skematik Hipothalamus - Pituitary - Adrenal axis (Smith and Vale,
2006).

Representasi skematis dari hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) axis.


Neuron hipofisiotropik terlokalisasi dalam nukleus paraventrikular (PVN)
hipotalamus yang mensintesis faktor pelepasan kortikotropin (CRF) dan
vasopresin (AVP). Menanggapi stres, CRF dilepaskan ke pembuluh portal
hipofisial yang mengakses kelenjar hipofisis anterior. Mengikat CRF ke reseptor
CRF tipe 1 (CRFR1) pada kortikotrop hipofisis mengaktifkan aktivitas jalur siklik
adenosin monofosfat (cAMP) yang menginduksi pelepasan hormon
adrenokortikotropik (ACTH) ke dalam sirkulasi sistemik. Degan pelepasan CRF,
AVP memunculkan efek sinergis pada pelepasan ACTH yang dimediasi melalui
reseptor vasopresin V1b. ACTH yang bersirkulasi berikatan dengan reseptor
melanocortin tipe 2 (MC2-R) di korteks adrenal di mana ia merangsang sintesis
dan sekresi glukokortikoid ke dalam sirkulasi sistemik. Glukokortikoid mengatur
fisiologis dan menghambat aktivasi aksis HPA lebih lanjut (garis merah) melalui
reseptor intraseluler yang didistribusikan secara luas ke seluruh otak dan
jaringan perifer. IP3, inositol trifosfat; DAG, diacylglycerol (Smith and Vale,
2006).

9
1.2 Apoptosis Limfoid
Fosforilasi GRα merubahaktivitas transkripsi, sering dalam sel-sel gen
selektif. Studi awal menunjukkan fosforilasi GRα yang mutant adalah kompromi
dalam kemampuan mereka untuk mengaktifkan gen reporter. Selanjutnya,
dilaporkan fosforilasi Ser-211 berkorelasi dengan transkripsi bentuk aktif GRα,
sedangkan fosforilasi Ser-226 merusak kemampuan pensinyalannya (Oakley
and Cidlowski, 2010).
Fosforilasi Ser-211 diperlukan untuk apoptosis sel limfoid yang di induksi
glukokortikoid menunjukkan kekurangan dalam fosforilasi ini dapat menjadi
mekanisme dimana limfosit menjadi resisten terhadap glukokortikoid (Oakley and
Cidlowski, 2010).

B. Hypothalamic-pituitary-adrenal axis : Alternation of inflammatory / anti-


inflammatory mediators

Gambar 3. Gambar skematik dari jalur hubungan antara sistem saraf pusat dan
sistem imun (Chamorro, 2006)

10
Inflamasi memainkan peranan penting pada patogenesis dari stroke iskemik dan
ischemic brain injury lainnya. Iskemik serebral dapat merusak keseimbangan
dinamik antara respon pro-inflamasi dan anti-inflamasi. Ketika keadaan iskemik
terjadi, mediator inflamasi pada otak iskemik akan meningkat dan menginfiltrasi
sel imun, dimana memainkan peran kompleks pada patofisiologi iskemik serebral
(Jin et al, 2013).
1.1 Mediator Pro-inflamasi
a. Sitokin
Produksi sitokin meningkat pada otak pada berbagai penyakit,
termasuk stroke. Neutrofil sendiri akan mensekresi sitokin yang kemudian
akan mengaktivasi sel glia. Pada otak sitokin diekspresikan tidak hanya
pada sel sistem imun, tetapi juga dihasilkan oleh sel yang terdapat pada
otak seperti neuron dan glia (Meliana, 2016).
Sitokin yang paling banyak diteliti perannya dalam proses inflamasi
pada stroke iskemik akut adalah tumor necrosis factor-α (TNF- α),
interleukin (IL), IL-1β, IL-6, IL-20, IL-19, dan transforming growth factor
(TGF- β). Interleukin 1 β (IL-1β) dan TNF- α lebih banyak berperan pada
perburukan akibat cedera otak iskemik, sedangkan TGF- β dan IL-10
bersifat neuroprotektif. Peningkatan produksi sitokin proinflamasi dan
rendahnya antiinflamasi IL-19 terkait dengan besarnya luas infark dan
klinis yang lebih buruk. Peningkatan ekspresi IL-1β mRNA didapatkan
dalam 15-30 menit pertama setelah oklusi arteri serebri media permanen
dan peningkatan ekspresi protein IL-1β muncul dalam beberapa jam
kemudian dan tetap tinggi hingga 4 hari (Lakhan, 2009).
Tingginya kadar IL-1β dalam sirkulasi meningkatkan sirkulasi IL-6.
Kadar IL-6 dalam serum berkaitan dengan volume infark otak dan
merupakan prediktor kuat penurunan defisit neurologis dini (Lakhan,
2009).

11
Gambar 4. Respon inflamasi pasca iskemik (Lakhan, 2009)

Eksitotosisitas dan stres oksidatif yang disebabkan oleh iskemik dini


mengaktifkan mikroglia dan astrosit yang bereaksi dengan mensekresi
sitokin, kemokin dan matriks metaloprotease (MMP). Mediator inflamasi ini
mengarah pada up-regulasi sel molekul adesi, menyebabkan sel inflamasi
dari darah, terutama neutrofil, menginfiltrasi area otak yang iskemik.
Neutrofil sendiri akan mensekresi sitokin yang kemudian akan
mengaktivasi sel glia. Proses ini berakibat kematian sel neuronal dan
meningkatkan kerusakan pada otak yang iskemik
b. Kemokin
Kemokin, misalnya monosit chemoattractant protein 1 (MCP-1),
adalah kelas dari sitokin yang memandu migrasi sel inflamasi dari darah,
seperti neutrofil dan makrofag menuju sumber kemokin (Meliana, 2016).
Akibatnya, kemokin memerankan peran penting pada komunikasi seluler
dan rekruitmen sel inflamasi. Ekspresi kemokin seperti MCP-1, makrofag
inflammatory protein-1 α (MIP-1 α) dan fracktaline pasca iskemia fokal

12
dianggap memiliki efek buruk dengan meningkatkan infiltrasi leukosit
(Lakhan, 2009).
c. Molekul Adesi Seluler
Ada makin banyak bukti bahwa molekul adesi seluler (CAMs)
mempunyai peran penting pada patofisiologi stroke iskemik akut. CAMs
dihasilkan lebih banyak pada hari pertama pascastroke oleh berbagai
sitokin dan bertanggung jawab untuk perlengketan dan migrasi leukosit.
Hubungan antara leukosit dan endotel vaskular dimediasi oleh tiga
kelompok utama dari CAMs, yaitu: selektin, superfamily gen
imunoglobulin, dan integrin (Meliana, 2016).
Selektin, terutama selektin-E dan –P diproduksi lebih banyak dan
memediasi pergerakan dan pengerahan leukosit pada stadium awal
iskemia (Meliana, 2016). Dalam beberapa jam pascastroke, ekspresi
ICAM-1 meningkat akibat stimulasi dari sitokin. Pasien dengan stroke
iskemik akut memiliki soluble ICAM-1 (sICAM-1) lebih tinggi dibandingkan
pasien dengan penyakit kardiovaskuler. Selain itu, kadar sICAM-1 secara
signifikan lebih tinggi pada pasien yang meninggal dibandingkan yang
selamat. Tingginya kadar sICAM-1 pada saat masuk rumah sakit dikaitkan
dengan kematian dini pada pasien stroke usia pertengahan yang
menunjukkan peran patogen proses inflamasi pada evolusi stroke iskemik
(Lakhan, 2009).
Sejumlah penelitian menggunakan binatang menunjukkan bahwa
setelah iskemia fokal sementara dan permanen, terjadi peningkatan
CAMs, terutama ICAM-1, selektin-E dan –P, sebelum invasi neutrofil ke
otak.
d. Matriks Metaloproteinase (MMPs)
MMP adalah kelompok enzim proteolitik yang bertanggung jawab
atas remodelling matriks ekstraselluler dan dapat mendegradasi semua
unsur pokoknya. Ekspresi MMPs pada otak dewasa sangat rendah untuk
dapat dideteksi, namun banyak MMP meningkat produksinya pada otak

13
sebagai respon terhadap injuri. Neuron, astrosit, mikroglia dan sel endotel
diketahui mengekspresikan MMPs setelah injuri (Lakhan, 2009).
MMP-2 dan MMP-9 terlibat dalam iskemia serebral. Peningkatan
kadar MMP-9 ditemukan dalam jaringan otak dan serum pasien dengan
stroke iskemik akut dan pada model binatang dengan stroke, yang dimulai
dari 12 jam pasca oklusi arteri serebri media permanen. MMP-9 biasanya
tidak ada dan merupakan MMP mayor yang terkait dengan proses
inflamasi neuron. Inhibisi dini dari MMP-9 (hari pertama) dapat
menurunkan infark pada hari ke 14 (Meliana, 2016).

1.2 Mediator Anti-inflamasi


a. IL-10
IL-10 adalah sitokin antiinflamasi yang beraksi dengan
menghambat IL-1 dan TNF- α dan dengan menekan ekspresi dan aktivasi
reseptor sitokin. Sebagai akibatnya, IL-10 dapat bersifat neuroproteksi
pada stroke iskemia akut (Jin et al, 2013 dan Meliana, 2016). IL-10
diproduksi oleh limfosit-Th2 dan juga sel monosit dan makrofag (Jin et al,
2013).
Pada stroke iskemia akut, ditemukan penigkatan konsentrasi IL-10
pada cairan serebrospinal (CSS). Lebih lanjut, pasien dengan kadar IL-10
plasma yag rendah (<6 pg/mL) dalam 1 jam pertama pascastroke memiliki
resiko 3 kali lebih besar untuk mengalami perburukan defisit neurologis
dalam 48 jam pascastroke. IL-10 juga memediasi penurunan ukuran infark
dengan sel Tregulator (Meliana, 2016).
b. TGF-β
TGF-β dapat meningkat karena iskemik serebral, meningkat pada
1-6 jam paska stroke dan bertahan hingga 15 hari setelah stroke. TGF-β
memainkan peranan sebagai neuroprotektan dan anti-inflamasi pada
stroke (Jin et al, 2013).

14
Keberadaan sindrom imunodepresi yang diinduksi stroke mungkin
merupakan mekanisme adaptif untuk iskemia otak meskipun penelitian
lebih lanjut akan diperlukan untuk mengungkap klinis konsekuensi dari
perubahan imunologis ini (Chamorro, 2006).

C. Parasympathetic nervous system

Untuk mempertahankan homeostasis badan sebagai respon dari


lingkungan, sistem imun dan saraf terhubung sebagai komunikasi dua arah
yang intense. Penelitian terbaru dan bukti klinis mengindikasikan jika cedera
sisten saraf sentral seperti stroke, injuri spinal cord atau cedera trauma otak akan
mengganggu keseimbangan pada kedua sistem ini yang menyebabkan
imunodepresi. Overaktivasi dari sistem saraf simpatik setelah stroke ditunjukkan
pada supresi dari respon imun selular perifer dan dikontribusikan untuk
perkembangan infeksi bakteri paru. Namun, perubahan pada kompartemen imun
paru dan mekanisme yang mendasari pada respon imun antibakterial pada paru
yang rusak setelah stroke tidak diketahui dengan jelas (Engel et al, 2015).

Selain sel imun paru, makrofag alveolar (M), sel epitel alveolar (AEC /
Alveolar Epithelial Cells) menunjukkan berbagai macam reseptor yang mengenali
patogen atau produk lainnya. Aktivasi cepat makrofag alveolar dan epitel saluran
pernapasan sangat penting dan krusial terhadap efektivitas pertahanan host
selama infeksi bakteri di paru. Makrofag alveolar dan sel epitel paru telah
ditunjukkan untuk mengekspresikan reseptor α7 nicotinergic acetylcholine
(α7nAChR), yang telah diidentifikasi sebagai elemen down-stream yang dikenal
dengan jaras anti-inflamatori kolinergik (cholinergic anti-inflammatory pathway).
Jaras saraf, yang melibatkan nervus vagus parasimpatetik dan asetikolin
neurotransmitter, ditunjukkan sebagai feedback negatif untuk mencegah adanya
overreaksi yang memiliki potensi berbahaya terhadap sistem imun selama
kondisi inflamatori, misal seperti infeksi bakteri, dengan menekan produksi sitokin
proinflamasi dengan mengaktifkan makrofag yang berikatan dengan Ach ke
α7nAChR (Engel et al, 2015).

15
Stroke akan mengaktifkan jaras kolinergik anti-inflamatori secara
langsung, yang sangat terlibat pada pengembangan infeksi paru post-stroke
seperti : (Engel et al, 2015).

1. Middle cerebral artery occlusion (MCAo) menurunkan HR dan


meningkatkan tekanan darah
2. Peningkatan HRV (HR Variability) dan sensivitas barorefleks yang
mengindikasikan aktivasi parasimpatis setelah stroke.
 Peningkatan LF (Low Frequency) pada komponen HRV
menunjukkan adanya peningkatan aktivitas parasimpatetik di
MCAo setealh terjadinya iskemia cerebral dengan
menggunakan sistem telemetri.
3. Unilateral vagotomy menurunkan beban bakteri dengan
mengembalikan fungsi imun paru.
 Fungsi dari dilakukannya unilateral vagotomy adalah untuk
mengetahui pengaruh aktivitas parasimpatetik pada infeksi
poststroke.
4. Peran dari α7nAChR pada berkurangnya pertahanan antibakterial di
paru setelah stroke.
 α7nAChR telah dideskripsikan sebagai mediator dari efek
kolinergik anti-inflamatori pada makrofag.
5. Pensinyalan Kolinergik Melemahkan Pertahanan Antibakteri Sel
Myeloid Paru dan Epitel setelah stroke
6. Pola ekspresi mRNA dari α7nAChR di makrofag alveolar dan sel
epitel alveolar.
7. Berkurangnya produksi sitokin pada sel epitel alveolar dan makrofag
alveolar terhadap stimulasi α7nAChR
Selain defisit neurologik yang mengarah ke disfagia dan aspirasi, supresi
dari respon imun perifer karena overaktivasi dari jaras stress telah dikenali
sebagai faktor resiko kritikal sebagai pengembangan komplikasi infeksi dari
stroke. Pada studi sebelumnya, adanya peningkatan aktivitas dari sistem saraf
simpatetik setelah iskemia cerebral mengarah ke kerusakan respon imun selular

16
perifer, terutama pada natural killer cell dan respon T-cell. Penelitian ini
menunjukkan adanya peningkatan level katekolamin dan penurunan jumlah T-
cell di darah perifer, bersamaan dengan kerusakan fungsi sel T ex vivo pada
pasien stroke yang belum terjadi onset komplikasi berupa infeksi. Maka dari itu,
meskipun respon patofisiologi dari penyakit manusia ditunjukkan sebagai respon
genomic pada kondisi inflamatori akut (Engel et al, 2015).

Adanya supresi respon imun yang diinisiasi oleh paru terjadi karena
peningkatan sinyal kolinergik, yang dilanjutkan oleh saraf vagus parasimpatetik
dan α7nAChR yang terekspresi pada sel epitel alveolar dan makrofag alveolar.
Maka dari itu, adanya kerusakan dan disfungsi pada T/NK-sel yang dimediasi
oleh sistem saraf simpatetik dan kerusakan respon imun yang diinisiasi oleh paru
yang dimediasi oleh sistem saraf parasimpatetik merupakan mekanisme penting
yang mengarah ke penurunan pertahanan anti-bakterial dan infeksi bakteri post-
stroke (Engel et al, 2015).

Jaras antiinflamatori kolinergik selalu dideskripsikan sebagai mekanisme


proteksi mencegah terjadinya overaktivasi yang berpotensi bahaya pada sistem
imun yang berespon terhadap infeksi atau kerusakan jaringan yang diinduksi
inflamasi. Sensori perifer inflamasi memproses via serat afferent vagal sebagai
respon inflamatori terlepasnya asetilkolin dari vagal efferent, yang bereaksi pada
α7nAChR pada makrofag untuk mensupresi pelepasan sitokin proinflamatori
(Engel et al, 2015).

D. Sympathetic nervous system


Stroke dapat mengganggu keseimbangan interaksi antara sistem imun
dan sistem saraf. Kerusakan otak setelah stroke iskemik dan pendarahan
menyebabkan aktivasi dan ilfiltrasi sel inflamasi menuju otak. Inflamasi post
stroke berperan dalam pembersihan debris jaringan dan perbaikan jaringan.
Namun, pada stroke fase akut inflamasi yang terjadi di otak menyebabkan
perluasan lesi stroke dan memperburuk deficit neurologis. Sebaliknya, otak yang
mengalami kerusakan tadi dapat mempengaruhi imunitas di perifer dari
kompeten ke supesi setelah fase akut dari stroke yang manifestasinya adalah

17
limfopenia, penurunan level sitokin inflamasi, dan atrofi organ limfoid sekunder
(Shi et al., 2018).
Imunosupresi post stroke merupakan respon adaptif yang dapat
membatasi inflamasi yang hebat di otak atau menurunkan kejadian reaksi
autoimun terhadap neuroantigen. Konsekuensi dari imunosupresi berhubungan
dengan peningkatan resiko infeksi setelah onset stroke (Shi et al., 2018).
Aktivasi sistem saraf simpatis menyebabkan pengeluaran katekolamin
dari terminal saraf simpatis. Peningkatan sementara pengeluaran katekolamin
menyebabkan peningkatan sel imun di darah dari tempat penyimpanannya di
lien. Namun, stroke menyebabkan peningkatan katekolamin di sirkulasi secara
berkepanjangan sehingga menyebabkan apoptosis sel imun dan menurunkan
jumlah sel imun di perifer (Shi et al., 2018). Selain itu, sinyal katekolamin melalui
reseptor beta adrenergic pada sel imun menurunkan produksi TNF-α namun
meningkatkan produksi IL-10 (Shim and Wong, 2016). Aktivasi dari sistem saraf
simpatis menyebabkan limfopenia, terganggunya fungsi monosit, pergeseran
produksi sitokin dari Th1 menjadi Th2, dan peningkatan apoptosis limfosit
(Winklewski, Radkowski and Demkow, 2014). Pergeseran dari respon inflamasi
yang diperantarai sel T-helper 1 (Th1) ke respon anti inflamasi yang diperantarai
sistem imun humoral dari T-helper 2 (Th2) terjadi untuk melindungi otak dari
kerusakan yang lebih lanjut dan menyebabkan perbaikan jarinagn serta
regenerasi neuron. Namun, perubahan ini menyebabkan sistem imun host
menjadi tersupresi dan menjadi inefektif dalam melawan patogen sehingga host
rentan terhadap infeksi (Shim and Wong, 2016).

E. Impaired swallowing mechanism


1.1 Teori Aspirasi
Pada dasarnya, SAP dianggap sebagai komplikasi sekunder dari aspirasi.
Disfagia dapat menyebabkan aspirasi yang diketahui sebagai faktor risiko
timbulnya pneumonia aspirasi. Aspirasi dan faktor-faktor risiko yang lainnya
seperti gangguan tingkat kesadaran dan gangguan menelan (disfagia) juga

18
ditemukan sebagai faktor risiko yang penting untuk SAP di berbagai studi klinis
(Teramoto, 2009) (Hiker et al, 2003) (Lim et al, 2001).
Banyak dari pasien stroke mengalami gangguan mekanisme menelan
yang mengarah pada aspirasi dari konten oral yang mengandung beragam
bakteri seperti Staphylococcus aureus yang berada di rongga hidung, dan basil
Gram-negatif aerobik termasuk Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas
aeruginosa dan Acinetobacter baumannii yang dapat teraspirasi selama tidur,
yang mungkin secara teoritis terkait dengan transmisi dopamin yang abnormal
(Teramoto, 2009).
Dopamin merupakan suatu neurotransmiter yang dilepaskan oleh otak
yang memegang peranan dalam mengontrol gerakan, memori, mempengaruhi
tidur, proses belajar, atensi, respon emosional dan kemampuan untuk
merasakan kesenangan dan rasa sakit. Dopamin sangat penting untuk
mengontrol gerakan keseimbangan. Jika kekurangan dopamin akan
menyebabkan berkurangnya kontrol gerakan seperti pada penyakit Parkinson.
Sebaliknya jika berlebih dapat menyebabkan kehilangan kemampuan untuk
berpikir rasionil, yang ditunjukkan dalam skizofrenia (Schultz, 2007)
Bukti eksperimental untuk fenomena ini dapat ditemukan pada penelitian
yang dilakukan terhadap hewan coba dengan memblokir reseptor dopamin D1
yang mengakibatkan penghambatan refleks menelan dan penurunan substansi P
yang turut berperan dalam reflex menelan. Tingkat substansi P yang rendah
dalam dahak juga ditemukan pada pasien usia lanjut dengan pneumonia aspirasi
(Jia et al, 1998) (Nakagawa et al, 1995).
Substansi P adalah suatu neuropeptida yang berfungsi sebagai
neurotransmiter dan neuromodulator,dari golongan neuropeptida takikinin. Selain
itu, substansi P merupakan elemen penting di dalam persepsi nyeri dan juga
reflex mual dan muntah. Pusat muntah di medula mengandung substansi P dan
reseptornya dalam konsentrasi yang tinggi, selain itu selain itu terdapat
neurotransmiter lain seperti choline, histamin, dopamin, serotonin dan opioid
yang aktivasinya akan menstimulasi refleks muntah (Nakagawa et al, 1995)

19
F. Impaired level of consciousness

G. Pre existing infection and comorbidities

1.1 Hubungan Faktor Komorbiditas dan Terjadinya SAP


Pneumonia erat kaitannya dengan risiko mortalitas yang tinggi pada
stroke fase akut, sehingga identifikasi yang segera pada pasien dengan
risiko tinggi mendapatkan pneumonia dapat menentukan panderita stroke
yang memerlukan pengawasan ketat dan pengobatan profilaksis (Hoffmann
S, et al., 2012).
Parameter klinis seperti keparahan stroke, disfagia, usia dan diabetes
telah menunjukkan hubungan yang erat dengan pneumonia pada penderita
stroke. Penelitian Chumbler, dkk, 2010 mendapati bahwa usia > 70 tahun,
disfagia, nilai NIHSS dan riwayat menderita pneumonia sebelumnya dapat
digunakan untuk mengetahui risiko pneumonia post-stroke. Penelitian Sellar,
dkk, 2007 menyimpulkan bahwa pneumonia pada penderita stroke berkaitan
dengan usia tua ( > 65 tahun ), disartria, keparahan disabilitas poststroke,
gangguan kognitif dan abnormalitas hasil tes menelan air (Sellars C, et al.,
2007).
Kebanyakan pneumonia tersebut disebabkan sebagai akibat aspirasi
yaitu terhinhalasinya kolonisasi bakteri yang ada di faring ataupun gingiva.
Pneumonia yang terjadi juga dapat merupakan hospital- aquired/nasocomial
pneumonia yaitu inflamasi dari parenkim paru yang disebabkan agen
infeksius dan tidak muncul pada saat masuk rumah sakit, dimana keadaan
tersebut didapat lebih dari 48 jam setelah masuk rumah sakit (Rotstein C, et
al., 2008).
Chumbler, dkk, 2010 melakukan penelitian dan menghasilkan 3 level
sistem skor untuk memprediksi terjadinya pneumonia pada stroke akut.
Faktor- faktor yang dapat memprediksi terjadinya pneumonia pada
penelitiannya meliputi adanya riwayat menderita pneumonia (nilai 4), disfagia
(nilai 4), nilai NIHSS yang tinggi pada saat masuk (NIHSS ≥ 2 nilai 3),

20
penurunan kesadaran (nilai 3) dan usia lebih dari 70 (niai 2) tahun. Kemudian
membagi menjadi 3 level, yaitu: nilai 0 memiliki risiko rendah terjadinya
pneumonia pada fase akut (2,1%), nilai 1-3 memiliki risiko sedang (4,2%) dan
nilai ≥ risiko tinggi (22,9%) (Chumbler NR, et al., 2010).
Hubungan fibrilasi atrial dengan pneumonia ditunjukkan hanya pada
studi Ovbiagele, dkk, 2006. Dimana fibrilasi atrial merupakan penyebab dari
stroke kardioemboli, yang berkaitan dengan infark kortikal dan keparahan
stroke yang lebih besar (Hoffmann S, et al., 2012).

Skor NIHSS yang lebih tinggi juga berkorelasi dengan gangguan kontrol
otonom kardiovaskuler. Hal ini ditandai dengan hilangnya modulasi otonom
secara umum, penurunan tonus parasimpatis, gangguan sensitifitas barorefleks
serta pergeseran dominasi simpatis. Sehingga skor NIHSS awal saat pasien
masuk dapat digunakan untuk stratifikasi pemantauan yang dibutuhkan pasien
setelah 24 jam pertama (Pride YB et al., 2009).

1.2 Patofisiologi Trombogenesis Atrium


AF merupakan penyebab yang paling umum terjadi dari komplikasi
tromboemboli. Risiko seseorang untuk mengalami komplikasi tromboemboli
tergantung pada faktor risiko kardiovaskular yang menyertai dan usia pasien. Untuk
pasien dengan risiko yang meningkat, yang sekarang diklasifikasi berdasarkan
skor CHA2DS2-VAS (Camm J, et al., 2010).

Trombi yang terbentuk pada AF biasanya terletak di struktur tambahan


yang terdapat di atrium kiri (left atrial appendage). Left atrial appendage
merupakan sisa embrionik dari atrium kiri. Anatomi dan volume left atrial

appendage sangat bervariasi dengan luas permukaan sekitar 3 hingga 6 cm 2.


Secara patofisiologi, atrial appendages merupakan sumber utama untuk sintesis
peptida natriuretik atrium/atrial natriuretic peptide (ANP). Hal ini harus turut
dipertimbangkan pada setiap kasus dengan amputasi komplit atrial appendage
bilateral, misalnya sebagai bagian dari prosedur pembedahan jantung, karena

21
hal ini akan menyebabkan gangguan homeostasis cairan tubuh yang cukup
bermakna (Camm J, et al., 2010).

Gambar 5. Skema diagram yang menunjukkan trombogenesis atrium pada fibrilasi


atrium. Faktor-faktor dari trias Virchow berinteraksi satu sama lain dan saling
memperkuat efek satu sama lain (efek potensiasi). (Camm J, et al., 2010).

Selain terjadinya peningkatan koagulasi dan stasis darah di dalam left atrial
appendage, terjadinya perubahan endotelial pro-trombogenik juga sangat
penting dalam perkembangan trombi atrium. Sejumlah penelitian telah jelas
membuktikan bahwa sifat perlekatan/adhesivitas dari endokardium atrium,
terutama yang terletak di atrium kiri dan khususnya yang terletak di left atrial
appendage, selain AF, juga diatur oleh proses yang tergantung pada angiotensin
(angiotensin-dependent process) (Camm J, et al., 2010).
Telah dibuktikan bahwa pada pasien dengan AF, ekspresi molekul-
molekul adhesi (VCAM, ICAM, PAI- 1) di endokardium ternyata meningkat.

22
Proses remodeling endokardium ini sangat dipengaruhi dan diperantarai oleh
angiotensin II (angiotensin-II mediated). Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa
seluruh komponen dalam trias Virchow harus muncul agar trombi atrium dapat
terjadi pada AF. Pada proses ini, endokardium atrium mengalami perubahan
melalui jalur protrombogenik oleh kejadian aritmia itu sendiri dan juga oleh
penyakit yang menyertai. Remodeling endokardium ini agaknya ditandai oleh
peningkatan pembentukan molekul permukaan protrombogenik, misalnya:
VCAM, ICAM dan PAI-1 di atrium kiri (Goette A, et al., 2008).
Temuan-temuan patofisiologik ini pada remodeling endokardium juga dapat
menjelaskan faktor-faktor penyerta kardiovaskular lainnya, misalnya hipertensi
arteri, gagal jantung atau diabetes melitus dapat menyebabkan peningkatan
insidens trombi atrium (parameter-parameter yang ada di dalam skor CHA2DS2-

VAS;

Gambar 6. Pengaruh remodeling endokardium yang disertai oleh induksi permukaan


protrombogenik di endokardium atrium pada fibrilasi atrium. Proses molekular yang
diinduksi ini dipertahankan atau diperkuat efeknya oleh penyakit- penyakit lain yang
menyertai (Goette A, et al., 2008).

23
Tabel 2.1. Skor risiko untuk menentukan risiko tromboemboli pada fibrilasi atrium
dengan singkatan CHA2DS2-VAS (Congestive heart failure, Hypertension, Age ≥ 75
tahun, Diabetes mellitus, Stroke, Vascular disease, Age 65-74, Sex category). Skor
maksimal adalah 9, karena untuk usia diberikan skor 0, 1, atau 2. (Goette A, et al.,
2007)

Faktor risiko Skor


Gagal jantung/disfungsi ventrikel kiri 1
Hipertensi arteri 1
Usia ≥ 75 2
Diabetes melitus 1
Riwayat stroke/TIA/tromboembolisme 2
Penyakit vaskular 1
Usia 65-74 1
Jenis kelamin (misalnya wanita) 1
Skor maksimal 9

24
25
DAFTAR PUSTAKA

1. Camm J, et al. Guidelines for the management of atrial fibrillation: the Task
Force for the Management of Atrial Fibrillation of the European Society of
Cardiology (ESC). Eur Heart J. 2010;31:2369-429
2. Chamorro, et al. 2006. Infection After Acute Ischemic Stroke, a Manifestation of
Brain-Induced Immunodepression. Downloaded from http://ahajournals.org by on
February 26, 2019
3. Chumbler NR, Williams LS, Wells CK, Lo AC, Nadeau S, Peixoto AJ, et al.
Derivation and validation of a clinical system for predicting pneumonia
in acute stroke. Neuroepidemiology. 2010;34:193– 199.
4. Goette A, et al. Angiotensin II receptor blockae reduces tachycardia-
induced atrial adhesion molecule expression. Circulation. 2008;117:732-42.
5. Goette A, et al. Non-ion channel blocker as antiarrhythmic drugs (reversal of
structural remodeling). Curr Opin Pharmacol. 2007;7:219-24
6. Hannawi, Y., Hannawi, B., Rao, C. P. V., Suarez, J. I. and Bershad, E. M. (2013)
‘Stroke-Associated Pneumonia : Major Advances and Obstacles’,
Cerebrovascular Diseases, 35, pp. 430–443. doi: 10.1159/000350199.
7. Hilker R, Poetter C, Findeisen N, et al: Nosocomial pneumonia after acute stroke:
implications for neurological intensive care medicine. Stroke 2003;34:975–981.
8. Hoffmann S, Malzahn U, Harms H, Koennecke HC, Berger K, Kalic M, et al.
Development of a Clinical Score (A2DS2) to Predict Pneumonia in Acute
Ischemic Stroke. Stroke. 2012;43:00-00.

26
9. Jia YX, Sekizawa K, Ohrui T, Nakayama K, Sasaki H: Dopamine D1 receptor
antagonist inhibits swallowing reflex in guinea pigs. Am J Physiol 1998;274:R76–
R80.
10. Jin, Rong, et al. 2013. Role of Inflammation and Its Mediators in Acute Ischemic
Stroke. Journal of National Institutes of Health
11. Lakhan SE, Kirchgessner A, Hofer M. 2009. Inflammatory Mechanisms in
Ischemic Stroke: Therapeutic Approaches. Journal of Translational Medicine
12. Lim SH, Lieu PK, Phua SY, et al: Accuracy of bedside clinical methods compared
with fiberoptic endoscopic examination of swallowing (FEES) in determining the
risk of aspiration in acute stroke patients. Dysphagia 2001; 16:1–6.
13. Meliana, Gracia. 2016. Neuroimunologi Stroke : Peran Inflamasi dan Imunitas
pada Stroke Iskemik Akut. Denpasar : Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana.
14. Nakagawa T, Ohrui T, Sekizawa K, Sasaki H: Sputum substance P in aspiration
pneumonia. Lancet 1995;345:1447.

15. Odilo Engel, DVM*; Levent Akyüz, MSc*; Andrey C. da Costa Goncalves, PhD;
Katarzyna Winek, MD; Claudia Dames, MSc; Mareike Thielke, MLS; Susanne
Herold, MD; Chotima Böttcher, PhD; Josef Priller, MD; Hans Dieter Volk, MD;
Ulrich Dirnagl, MD; Christian Meisel, MD*; Andreas Meisel, MD. “Cholinergic
Pathway Suppresses Pulmonary Innate Imunity Facilitating Pneumonia After
Stroke”.The Jackson Laboratory, Bar Harbor.2015
16. Pride YB, Appelbaum E, Lord EE, Sloan S, Cannon CP, et al. Relation
between myocardial infarct size and ventricular tachyarrhythmia among
patients with preserved left ventricular ejection fraction following fibrinolytic
therapy for ST-segment elevation myocardial infarc-tion. American Journal of
Cardiology. 2009; 104:475-9.

17. Robert H. Oakley and John A. Cidlowski , "Cellular Processing of the


Glucocorticoid Receptor Gene and Protein: New Mechanisms for Generating
Tissue Specific Actions of Glucocorticoids", Intramural Research Program of the
NIH, North Carolina ; 2010

27
18. Rotstein C, Evans G, Born A, Grossman R, Light RB, Magder S, et al.
Clinical practice guidelines for hospital-acquired pneumonia and
ventilator- associated pneumonia in adults. AMMI Canada Guidelines.
Can J Infect Dis Med Microbiol 2008;19(1):19-53.
19. Sellars C, Bowie L, Bagg J, Sweeney MP, Miller H, Tilston J, et al. Risk
factors for chest infection in acute stroke: a prospective cohort study
Stroke. 2007;38:2284–2291.
20. Schultz, Wolfram: Multiple dopamine functions at different time courses. Annual
review of neuroscience 2007;7:258-288

21. Sean M. Smith, Wylie W. Vale," The role of the Hypothalamic-pituitary-adrenal


axis in neuroendocrine responses to stress" ; Salk institute for biological Studies,
La Jolla, Usa ; 2006
22. Shi, K., Wood, K., Shi, F., Wang, X., Liu, Q. and F-d, S. (2018) ‘Stroke-induced
immunosuppression and poststroke infection’, Stroke and Vascular Neurology, 3.
doi: 10.1136/svn-2017-000123.
23. Shim, R. and Wong, C. H. Y. (2016) ‘Ischemia , Immunosuppression and
Infection — Tackling the Predicaments of Post-Stroke Complications’,
International Journal of Molecular Sciences, 17(64). doi: 10.3390/ijms17010064.
24. Teramoto S: Novel preventive and therapuetic strategy for post-stroke
pneumonia. Expert Rev Neurother 2009;9:1187–1200.
25. Winklewski, P. J., Radkowski, M. and Demkow, U. (2014) ‘Cross-talk between
the inflammatory response , sympathetic activation and pulmonary infection in
the ischemic stroke’, Journal of Neuroinflammation, 11(213), pp. 4–11. doi:
10.1186/s12974-014-0213-4.

28

Anda mungkin juga menyukai