TINJAUAN PUSTAKA
NEUROIMUNOLOGI STROKE :
PERAN INFLAMASI DAN IMUNITAS
PADA STROKE ISKEMIK AKUT
Oleh :
dr. Gracia Meliana
Pembimbing :
dr.Kumara Tini, Sp.S, FINS
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmatNYA
tinjauan pustaka yang berjudul “Neuroimunologi Stroke : Peran Inflamasi dan
Imunitas Pada Stroke Iskemik Akut” ini dapat kami selesaikan. Adapun tinjauan
pustaka ini disusun sebagai salah satu tugas yang harus diselesaikan dalam
mengikuti divisi Neurovaskular di Program Pendidikan Dokter Spesialis-I
Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RSUP Sanglah Denpasar.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. AABN.Nuartha, Sp.S (K) sebagai Kepala Bagian/SMF Ilmu Penyakit
Saraf RSUP Sanglah Denpasar.
2. Dr.dr.AAA. Putri Laksmidewi, Sp.S(K) sebagai Kepala Program Studi
Neurologi FK UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar.
3. dr. Kumara Tini, Sp.S.FINS, sebagai pembimbing dalam penyusunan
tinjauan pustaka ini.
4. Teman-teman residen Bagian Neurologi FK UNUD/ RSUP Sanglah
Denpasar.
5. Berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan tinjauan pustaka
ini.
Akhir kata kami menyadari bahwa tinjauan pustaka yang kami susun ini kurang
sempurna sehingga memerlukan bimbingan, kritik dan atau saran dari para senior.
Atas perhatian dan masukannya kami mengucapkan terima kasih.
Penyusun
3
DAFTAR ISI
HALAMAN
Halaman Judul................................................................................................... i
Lembar Pengesahan............................................................................................ ii
Kata Pengantar................................................................................................... iii
DAFTAR ISI...................................................................................................... iv
BAB I. PENDAHULUAN................................................................................ 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 4
2.1 Kaskade Iskemik ............................................................................ 4
2.2 Stres Oksidatif................................................................................ 7
2.3 Cedera Iskemik Reperfusi (I/R)...................................................... 11
2.4 Inflamasi Paska Iskemik ................................................................ 13
2.4.1 Respon inflamasi seluler........................................................ 14
2.4.1.1 Sel glia....................................................................... 14
2.4.1.2 Sel endotel dan sawar darah otak ............................. 17
2.4.1.3 Leukosit..................................................................... 18
2.4.2 Mediator inflamasi................................................................. 19
2.4.2.1 Sitokin....................................................................... 19
2.4.2.2 Kemokin................................................................... 22
2.4.2.3 Molekul adesi seluler................................................ 23
2.4.2.4 Matriks metaloproteinase ........................................ 24
2.4.3 Spektrum subtipe Limfosit.................................................. 25
2.4.3.1 Antigen Presenting Cell........................................... 25
2.4.3.2 Sel T helper............................................................. 26
2.4.3.3 Sel T sitotoksik........................................................ 27
2.4.3.4 Sel T..................................................................... 27
2.4.4 Peran Limfosit T regulator dalam Terapi Stroke Iskemik... 28
BAB I
PENDAHULUAN
seluruh dunia (Lakhan dkk, 2009; Ceulemans dkk, 2010). Dalam 3 bulan
20% membutuhkan perawatan khusus. Di negara barat lebih dari 70% individu
mengalami stroke pada usia lebih dari 65 tahun. Seiring dengan makin tingginya
angka harapan hidup, jumlah absolut individu yang mengalami stroke dipastikan
makin meningkat di masa depan (Lakhan dkk 2009; Ceulemans dkk, 2010).
pembuluh darah oleh trombus ataupun emboli, sekitar 80% dari keseluruhan
pascastroke. Sel pada sistem imun, seperti neutrofil dan makrofag, telah
digunakan secara tradisional oleh neuropatologis dan ahli patologi forensik untuk
berperan penting pada patofisiologi penyakit stroke yang disebabkan oleh oklusi
arteri atau stroke iskemik (Dirnagl dkk, 2007; Iadecola dan Anrather, 2012).
Bukti terbaru menunjukkan bahwa elemen sistem imun terkait erat dengan
semua stadium kaskade iskemik, mulai dari proses intravaskular akut yang dipicu
oleh adanya gangguan suplai darah hingga proses pada parenkim yang mengarah
pada kerusakan otak dan selanjutnya perbaikan jaringan. Iskemia otak dapat
beberapa menit dari awitan. Tetapi, ada area jaringan otak yang cukup luas di
sekeliling pusat iskemik, yang disebut penumbra, yang masih bisa diselamatkan
bila aliran darah bisa segera diperbaiki. Oleh karena itu, definisi dari penumbra
iskemik adalah area pada otak yang rusak namun belum mati, menawarkan
pascastroke bisa diturunkan, bila terapi yang tepat dapat diberikan segera (Lakhan
Otak yang iskemik, melalui sistem saraf otonom, memiliki efek supresi
kuat terhadap organ limfoid, yang dapat memicu terjadinya infeksi, yang
merupakan penentu morbiditas dan mortalitas stroke. Oleh karena itu, sistem imun
sangat terkait dengan kondisi otak yang iskemik dan survival dari pasien stroke
otak, pilihan terapi untuk stroke iskemik akut tetap terbatas. Hanya satu obat yang
diijinkan digunakan secara klinis untuk terapi trombolitik pada stroke iskemik
akut di Amerika, dan itu adalah recombinant tissue plasminogen activator (rt-PA)
6
intravena. Bila diberikan dalam waktu 3 jam pasca awitan, rt-PA menurunkan
yang terjadi pada 6% pasien. Selain itu, sebagian besar pasien dengan stroke
iskemik akut tidak datang dengan segera ke rumah sakit (dalam waktu 3 jam)
terapi stroke iskemik akut masih menjadi tantangan utama dalam dunia medis
(Lakhan dkk,2009).
memiliki efek samping karena cedera sistem saraf pusat menyebabkan penekanan
sistem imun yang signifikan hingga membuat penderita stroke memiliki risiko
pascastroke mendasari respon imun adaptif melawan antigen dalam otak. Peranan
imunitas adaptif dan efek jangka panjangnya pada otak pasca iskemik masih
belum terlalu jelas, namun tidak dapat dipungkiri bahwa respon autoimun
terhadap antigen otak memiliki efek yang buruk dan konsekuensi jangka panjang.
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan apakah ada peranan imunitas
pada luaran stroke jangka panjang, dan dengan mengetahui potensi dari
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Stroke iskemik akut ditemukan dari 85% kasus stroke, sedangkan stroke
hemoragik ditemukan pada 15% sisanya. Stroke iskemik terjadi akibat penurunan
atau hilangnya aliran darah secara mendadak pada suatu area otak, yang
emboli, dan hipoperfusi relatif. Pada sebagian besar kasus, penyebabnya adalah
aterotrombosis pada arteri servikal atau intrakranial besar, atau emboli dari
suatu area otak, kaskade iskemik segera dimulai, yang terdiri dari serangkaian
proses biokimiawi yang akhirnya mengarah pada disintegrasi dari membran sel
dan kematian sel neuronal di area pusat infark. Stroke iskemik dimulai dengan
darah otak (SDO), dan mengawali iskemik pasca inflamasi. Semua peristiwa ini
dapat memperberat injuri awal dan mengarah pada kerusakan otak yang
antara lain derajat dan durasi iskemia, serta kemampuan otak untuk pulih dan
berlangsung lebih lambat. Sel neuronal dapat mentoleransi penurunan aliran darah
ini (hingga 20-40% dari nilai kontrol) dalam beberapa jam pasca awitan stroke
Pada iskemia yang terjadi akibat oklusi arteri serebri media, salah satu
bentuk stroke iskemik yang paling sering, kerusakan terjadi lebih cepat dan berat
terutama di pusat area iskemik, dimana aliran darah kesana adalah yang paling
sedikit. Ditepi area iskemik tersebut adalah area penumbra, disini kerusakan sel
neuron terjadi lebih lambat karena adanya aliran darah dari area sekitarnya (aliran
9
kolateral) yang menjaga perfusi serebri diatas ambang untuk mencegah kematian
sel dini. Pada pusat iskemik, mekanisme utama kematian sel adalah kegagalan
energi. Tanpa oksigen dan glukosa, neuron tidak mampu menghasilkan ATP,
yang merupakan bahan bakar pompa ion yang bertugas menjaga gradien pada
kegagalan energi, dan neuron masih viable selama beberapa waktu pasca awitan
stroke. Namun, neuron disana berada dibawah tekanan dan rentan mengalami
termasuk protease kalpain dan kaspase, dan enzim yang menghasilkan nitrit
oksida (NO), radikal bebas, dan metabolit asam arakidonat. Peristiwa ini
mengarah pada apoptosis atau kematian sel terprogram tergantung dari beratnya
kerusakan sel dan kondisi metabolik dari neuron. Sel yang cedera dan sekarat,
memainkan peran penting dalam mekanisme inflamasi pasca iskemik karena sel-
sel tersebut melepaskan “sinyal bahaya” yang mengaktivasi sistem imun (Iadecola
dari iskemia tergantung dari derajat dan lamanya proses iskemik itu berlangsung.
parsial oksigen pada jaringan dan membatasi kerusakan akibat dari hipoperfusi.
Namun, tiga uji klinis dengan oksigen hiperbarik gagal menunjukkan efikasinya.
klinis dan abnormalitas MRI pada sub-group pasien dengan stroke iskemik.
Stres oksidatif didefinisikan sebagai suatu kondisi yang terjadi akibat adanya
11
menjadi lebih tinggi, dan berpotensi merusak organisme tersebut. Stres oksidatif
mitokondrial, kelebihan kadar Ca2+ , injuri reperfusi, dan inflamasi. Banyak ROS
yang diproduksi selama stroke iskemik akut dan ada bukti yang menunjukkan
bahwa stres oksidatif merupakan mediator penting dalam injuri jaringan akibat
Nitrit oksida adalah radikal bebas larut air dan lemak yang dihasilkan oleh
L-arginin melalui tiga tipe nitric oxide synthases (NOS), yaitu: neuronal,
aktivitas NOS tipe I (n-NOS) pada neuron dan III (e-NOS) pada endotel vaskuler.
Pada stadium lanjut, terjadi peningkatan aktivitas NOS tipe II (iNOS) pada
beberapa sel, termasuk glia dan infiltrasi neutrofil. Pada dasarnya, NO memiliki 2
dapat membentuk radikal bebas dengan bereaksi terutama dengan radikal anion
peroksinitrit. Radikal bebas ini berkontribusi pada peroksidasi lipid dan gangguan
molekul adesi, menyebabkan hilangnya zat besi dari sel, dan menghambat enzim
buah anggur dan red wine, yang telah menunjukkan penurunan kerusakan otak
melalui beberapa reaksi enzimatik. Target gen Nrf2, secara umum disebut sebagai
gen fase II, terlibat dalam proses mencari radikal bebas, detoksifikasi xenobiotik,
dan mengatur potensi redox. Nrf 2 normalnya ada di sitoplasma, terikat pada
menyebabkan disosiasi dan trakslokasi nukelar dari Nrf2. Bila teraktivasi, Nrf2
inflamasi. Banyaknya molekul kecil alami dan sintetik merupakan pencetus poten
untuk aktivasi Nrf2. Molekul-molekul ini telah diidentifikasi dari beberapa latar
13
kerusakan akibat stroke, seperti toksisitas oksidatif glutamat, paparan H2O2, dan
secara signifikan memperbaiki luaran sensorimotor dan histologi pada dua model
cedera I/R pada tikus. Dalam paradigma injuri ini, aktivasi Nrf2 sebelum stroke
14
dapat menyelamatkan area penumbra namun tidak area pusat (inti) stroke.
Perbedaan luaran stroke yang nyata dapat dilihat dalam 24 jam pasca reperfusi.
setelah oklusi arteri serebri media sementara, menunjukkan bahwa aktivasi dini
apoptosis dan inflamasi dalam waktu lama setelah awitan stroke (Lakhan, 2009;
cenderung lebih mudah mengalami cedera iskemik otak dan defisit neurologis
daripada kelompok tikus wild-type. Delesi gen Nrf2 pada binatang menyebabkan
lebih rentan terhadap berbagai stresor terutama karena kegagalan dalam induksi
enzim fase II. Selain itu, inducer Nrf2 dapat membalikkan kematian sel neuronal
Oklusi arteri serebri media dan model reperfusi diketahui menginduksi kaskade
iskemik fokal sementara yang melibatkan lonjakan kerusakan akibat radikal bebas
hari, meskipun sudah terjadi restorasi sirkulasi darah. Meskipun reperfusi dari
jaringan otak yang iskemik adalah hal yang penting untuk mengembalikan fungsi
yang normal, namun reperfusi tersebut juga bisa dapat mengakibatkan cedera
Patofisiologi cedera I/R masih belum jelas, namun mediator stres oksidatif
seperti reactive oxygen species (ROS) yang dilepaskan oleh sel inflamasi di
15
sekitar area cedera I/R dianggap memiliki peranan penting. Peningkatan radikal
Hasilnya, sitokin banyak diproduksi pada jaringan otak dan akibatnya memicu
perlekatan leukosit pada endotel di tepi area infark (Iadecola dan Anrather, 2012).
I/R. Sebagai tambahan adanya kerusakan sel secara langsung, I/R regional otak
fragmen aktif seperti anafilatoksin C3a dan C5a. Ekspresi reseptor C3a dan
arteri serebri media pada tikus, yang menandakan peran aktivitas sistem
suatu organ dengan sistem kekebalan tersendiri, namun saat ini diketahui bahwa
sistem imun dan saraf terkait dengan hubungan dua arah. Selain itu, banyak data
17
menunjukkan bahwa di dalam otak, sebagai organ perifer, sel inflamasi berperan
yang paling rentan, diikuti oleh astrosit, mikroglia, dan sel endotel. Tidak hanya
sel lain lebih tidak rentan terhadap iskemia, namun sel-sel tersebut juga
Mikroglia mewakili 5-20% dari populasi glia total dan merupakan modulator
utama pada respon imun di otak. Ciri khas utama mikroglia adalah sensitivitasnya
terhadap perubahan. Mikroglia yang tidak aktif ditandai dengan soma sel kecil
yang memiliki cabang-cabang panjang, keluar dari badan sel. Bila ada benda asing
perbaikan dan proteksi, ditandai dengan bentuk amoeboid yang mirip dengan
merubah sel ini menjadi destruktif dan dapat menimbulkan kerusakan sel.
jelas. Mekanisme yang mungkin terjadi adalah pecahnya neuron yang nekrosis di
pusat iskemik (ischemic core area) yang melepaskan isinya ke ruang ekstraseluler
dan terjadi scavenging konten ini oleh mikroglia. ROS memainkan peran utama
18
pada aktivasi dan proliferasi mikroglia. Penumbra adalah area yang rentan
terhadap aktivasi mikroglia, karena hal ini dapat menyebabkan kematian sel
sedangkan makrofag dari darah tidak masuk ke dalam otak sebelum 10 jam. Pada
22-46 jam, baik makrofag resident maupun makrofag dari darah akan terdistribusi
di seluruh lesi dan tetap terdeteksi hingga 1 minggu pasca awitan iskemia. Ekdahl
pada tikus, dua jam pasca oklusi arteri serebri media (Lakhan dkk, 2009; Chiba
Mikroglia di area pusat iskemik dapat selamat dengan aliran darah yang
rendah bila oklusi yang terjadi tidak lebih dari 90 menit. Namun,
dan berikatan dengan neuron (capping). Saat neuron ini akhirnya mati, capping ini
dan sitotoksik seperti TNF-, IL-1, dan IL-6, serta beberapa molekul sitotoksik
lain seperti NO, ROS, dan prostanoid, yang berperan menimbulkan kerusakan dan
kematian sel. Disisi lain, mikroglia adalah produsen utama TGF1, menghasilkan
growth factor (IGF-I), dan beberapa growth factor lainnya, yang mendukung teori
neutrofil oleh mikroglia yang teraktivasi pada lesi mencegah pelepasan ekstra
komponen lain yang merusak. Data ini menunjukkan bahwa aktivasi mikroglia
pada stroke iskemik, yang dapat meningkatkan atau menurunkan kemampuan sel
Respon astrosit masif dimulai pada area pusat iskemik dalam 4 jam pasca
iskemik, dan dapat diamati hingga 28 hari pasca awitan stroke. Oklusi selama 10
dari kemokin, dan reseptornya. Jaringan parut glia akan menggantikan jaringan
20
otak yang rusak yang bisa bersifat neurotoksik ataupun neuroprotektif. Di sisi
lain, barrier ini akan menghalangi pertumbuhan aksonal dan reinervasi, hingga
bisa memperlambat pemulihan. Tetapi, barrier ini juga akan memisahkan jaringan
Sawar darah otak (SDO) terdiri dari struktur sel endotel dengan tight
junction, yang berbeda dengan endotel perifer, diikuti oleh lamina basal, yang
rapuh melalui 2 fungsi. Pertama, SDO melindungi neuron yang sensitif dari
kontak dengan protease plasma teraktivasi yang berpotensi toksik, kedua, SDO
memastikan suplai nutrisi dengan sistem transport spesifik (Lakhan dkk, 2009;
SDO, bersifat sementara atau permanen, tergantung dari beratnya cedera. Bila
awal 2-3 jam pasca awitan, dan berikutnya terjadi 24-48 jam pasca reperfusi,
Lebih lanjut, akan menstimulasi produksi sitokin dan molekul adesi. Gangguan ini
21
berlangsung cepat namun merubah susunan molekular antara astrosit dan matriks
balik pada neuron yang mereka suplai dan lindungi (Lakhan dkk, 2009;
2.4.1.3 Leukosit.
monosit. Lima jam pasca reperfusi, neutrofil sudah didapatkan pada jaringan yang
rusak. Pada model oklusi arteri serebri media yang permanen, kadar neutrofil
berperan dalam cedera sekunder pada jaringan yang masih viable dengan
melepaskan sitokin pro inflamasi dan produk sitotoksik lainnya (protease, ROS
dan MMP). Pelepasan enzim proteolitik ini merusak endotel membran sel dan
lamina basal, meningkatkan permeabilitas SDO dan berperan pada edema pasca
no-reflow.
hanya bersifat sementara. Empat hingga enam jam pasca invasi neutrofil, monosit
22
dengan puncak aktivitas 3-7 hari pasca awitan iskemik. Monosit ini akan
makrofag juga berperan dalam fagosistosis untuk membuang debris sel nekrotik
2.4.2.1 Sitokin
sistem imun innate dan adaptif. Sitokin adalah protein sistem imun yang
imun antibodi dan sel T serta meningkatkan reaktivitas imun. Sitokin meliputi
monokin (disintesa oleh makrofag) dan limfokin (dihasilkan oleh sel T yang
teraktivasi dan sel NK). Monokin meliputi IL-1, TNF, IFN- dan , dan colony
sel selektif lainnya juga dapat menghasilkan sitokin (Cruse dan Lewis, 2010).
stroke. Pada otak, sitokin diekspresikan tidak hanya pada sel sistem imun, tetapi
juga dihasilkan oleh sel yang terdapat pada otak seperti neuron dan glia. Sebagai
tambahan, telah diketahui bahwa sitokin dari perifer juga berperan dalam
23
inflamasi otak. Kemudian, fagosit mononuklear perifer, limfosit T, sel NK, dan
Sitokin yang paling banyak diteliti terkait perannya dalam proses inflamasi
pada stroke iskemik akut adalah tumor necrosis factor- (TNF-), interleukin
(IL), IL-1β, IL-6, IL-20, IL-10 dan transforming growth factor (TGF)-β.
akibat cedera otak iskemik, sedangkan TGF-β dan IL-10 bersifat neuroprotektif.
terkait dengan besarnya luas infark dan luaran yang lebih buruk. Peningkatan
ekspresi IL-1 mRNA didapatkan dalam 15-30 menit pertama setelah oklusi arteri
serebri media permanen dan peningkatan ekspresi protein IL-1 muncul dalam
beberapa jam kemudian dan tetap tinggi hingga 4 hari. Ada beberapa penellitian
1 setelah oklusi arteri serebri media meningkatkan terjadinya volume dan ukuran
edema otak, dan influks neutrofil. Selain itu, tikus dengan defisiensi IL-1
mengalami infark yang lebih kecil dibanding dengan tikus wild-type. Tingginya
kadar IL-1 dalam sirkulasi meningkatkan sirkulasi IL-6, sitokin lain yang
diketahui meningkat produksinya dalam kondisi iskemia otak. Kadar IL-6 dalam
serum berkaitan dengan volume infark otak dan merupakan prediktor kuat
penurunan defisit neurologis dini. Di lain pihak, Clark dkk mengatakan bahwa
ukuran infark dan fungsi neurologis tidak berbeda pada binatang dengan defisiensi
24
IL-6 setelah iskemia SSP sementara. Hal ini menunjukkan bahwa IL-6 tidak
memiliki efek langsung pada cedera iskemik akut (Lakhan dkk, 2009).
protein kinases (p38MAPK) dan NF- κB. IL-20 akan menginduksi produksi IL-6.
Inhibisi IL-20 dengan mAb spesifik secara signifikan menurunkan iskemik infark
Beberapa pendekatan sedang diteliti untuk mengatur IL-1 pada stroke. IL-
1 bekerja melalui reseptor membran (IL-1R), yang dapat diblok dengan antagonis
reseptor (IL-1RA). Pada uji klinis random untuk stroke akut, IL-1RA yang dapat
25
dan TNF- dan dengan menekan ekspresi dan aktivasi reseptor sitokin. Sebagai
Pemberian IL-10 secara sentral ataupun sistemik pada tikus yang dibuat
infark dalam 30 menit hingga 3 jam pasca oklusi arteri. Pada stroke iskemik akut,
lanjut, pasien dengan kadar IL-10 plasma yang rendah (<6 pg/mL) dalam 1 jam
2.4.2.2 Kemokin
kelas dari sitokin yang memandu migrasi sel inflamasi dari darah, seperti neutrofil
penting pada komunikasi seluler dan rekruitmen sel inflamasi (Deb dkk, 2010).
dan fracktaline pasca iskemia fokal dianggap memiliki efek buruk dengan
model iskemia pada binatang dan inhibisi atau defisiensi dari kemokin ini terkait
Ada makin banyak bukti bahwa molekul adesi seluler (CAMs) mempunyai
peran penting pada patofisiologi stroke iskemik akut. CAMs dihasilkan lebih
banyak pada hari pertama pascastroke oleh berbagai sitokin dan bertanggung
permukaan endotel lalu melekat pada sel endotel. Hubungan antara leukosit dan
endotel vaskular dimediasi oleh tiga kelompok utama dari CAMs, yaitu: selektin,
ICAM-1 meningkat akibat stimulasi dari sitokin. Pasien dengan stroke iskemik
lebih tinggi pada pasien yang meninggal dibandingkan yang selamat. Tingginya
kadar sICAM-1 pada saat masuk rumah sakit dikaitkan dengan kematian dini pada
pasien stroke usia pertengahan yang menunjukkan peran patogen proses inflamasi
pada evolusi stroke iskemik (Lakhan dkk, 2009; Deb dkk, 2010).
Ada banyak bukti pada model penelitian binatang dengan oklusi arteri
serebri media bahwa ekspresi CAMs terkait dengan ukuran infark otak, yang
dan infiltrasi leukosit pada jaringan serebri yang iskemik merupakan hal penting
dalam penelitian neuroproteksi. Sejauh ini terapi anti-CAM belum berhasil pada
pasien dengan stroke iskemik. Namun, penelitian translasional lanjut pada terapi
target CAMs, untuk memberikan terapi antiinflamasi yang efisien, masih terus
pokoknya. Ekspresi MMPs pada otak dewasa sangat rendah untuk dapat dideteksi,
namun banyak MMP meningkat produksinya pada otak sebagai respon terhadap
MMPs setelah injuri. Stroke terkait dengan disrupsi bifasik dari SDO yang
menunjukkan adanya kerusakan pada SDO akibat aktivasi dan ekspresi dari
MMP-9 ditemukan dalam jaringan otak dan serum pasien dengan stroke iskemik
akut dan pada model binatang dengan stroke, yang dimulai dari 12 jam pasca
oklusi arteri serebri media permanen (Deb dkk, 2010). MMP-9 biasanya tidak ada
dan merupakan MMP mayor yang terkait dengan proses inflamasi neuron. Inhibisi
dini dari MMP-9 (hari pertama) dapat menurunkan infark pada hari ke 14.
28
Namun, keuntungan ini tidak didapatkan bila terapi ditunda hingga hari ketiga dan
stroke akan mengalami eksaserbasi bila terapi ditunda hingga hari ketujuh.
dalam luaran stroke namun efeknya tergantung dari waktu pemberian terapi
Limfosit adalah sel utama pada respon imun innate dan adaptif. Limfosit B
(sel B) bertanggung jawab pada respon imun humoral, ditandai dengan produksi
terlibat dalam imunitas seluler, dimana antigen ditekan oleh mekanisme selular
permukaannya, suatu ciri khas yang akan menentukan fungsinya (Iadecola dan
Anrather, 2012).
Pusat dari imunitas adaptif adalah presentasi antigen, yang dilakukan oleh
APC, terutama sel dendritik dan makrofag. APC berpatroli di lingkungannya dan
bila ia mengenali antigen asing, misalnya sebuah protein, antigen itu akan
dikenali oleh T-cell receptor (TCR) dari CD4+sel T, dan interaksi ini bila disertai
ko-stimulasi molekul dalam APC (B7-1, B7-2) dan sel T (CD28), akan
menghasilkan aktivasi sel T. TCR meliputi baik rantai - ataupun -, protein
ekspansi klonal pada organ limfoid, proses ini dicetuskan oleh produksi autokrin
disebut demikian sebab sel ini tidak memiliki fungsi sitotoksik, tetapi berperan
Th meliputi sel efektor dan regulator. Tergantung dari sinyal molekuler yang
pembentukannya dicetuskan oleh IL-12 melalui transkripsi faktor t-bet. Sel Th1
merangsang imunitas innate dan respon imun terinduksi sel T yang mengarah
pada sitotoksisitas.
Sel Th2 mensekresikan IL-4, IL-5, IL-9, IL-10, IL-13 dan merangsang
ekstrasel. IL-4 merangsang pembentukan sel Th2, yang diatur dengan faktor
Sel Th17 mensekresikan IL-17 dan pembentukannya diatur oleh TGF dan
iskemik.
muncul secara alami atau dapat terbentuk dari subtipe Th lain dengan adanya
TGF. Sehingga, Treg penting untuk mengatur keseimbangan sistem imun dengan
memainkan peran protektif pada iskemia serebral (Iadecola dan Anrather, 2012).
Berbeda dengan sel T CD4+, sel T CD8+ adalah sitotoksik. Ekspresi TCR
dari sel T CD8 mengikat antigen yang dipresentasikan oleh molekul MHC class I
dan tampak pada masing-masing sel. Setelah terjadi ekspansi klonal, sel T CD8+
yang teraktivasi berpatroli pada lingkungan internal untuk mencari sel somatik
Sel limfositik dengan fungsi sitotoksik juga termasuk sel Natural killer
(NK) dan Natural killer T cell (NKT). Sel NK kekurangan TCR dan karenanya,
sitotoksisitas, yang dipicu oleh interferon atau sitokin. Sel NKT memiliki TCR
glikoprotein CD serupa MHC class I. Efek sitotoksik sel NKT adalah dengan
melepaskan IFN, IL-2 dan TNF dalam jumlah besar (Iadecola dan Anrather,
2012).
Sel ini adalah bagian dari limfosit efektor dimana TCR yang memiliki
rantai dan terutama terdapat di membran mukosa. Seperti NKT, sel ini
31
mengenali antigen nonpeptida dan beraksi pada sinyal bahaya yang dihasilkan
oleh sel yang stres. Sel dapat berkembang menjadi beberapa fungsi berbeda
Gambar 6. Peran sel T pada cedera otak iskemik. Usaha mendapatkan strategi
neuroproteksi dengan sasaran sel T, penting untuk menghambat fungsi sel T
inflamasi (T, IL-17, Th1) dan meningkatkan sel T (Treg) antiinflamasi (Shicita
dkk, 2012).
dalam proteksi sel pada tikus dengan stroke. Sel Treg thymus-derived
pada kondisi fisiologis dan pada berbagai penyakit sistemik serta inflamasi SSP.
Treg umumnya dihasilkan oleh sel dendritik atau antigen-presenting cell yang
enzim pertama pada jalur kynurenine, yang memecah dan merubah triptofan
32
menjadi kynurenin (Jiang dan Chess, 2006; Sichita dkk, 2012). Interferon- dan
dalam mikroglia. Tikus dengan stroke tanpa sel Treg yang berfungsi dalam
darahnya memiliki kerusakan otak lebih luas dan disabilitas lebih berat dibanding
tikus dengan sel Treg yang berfungsi normal (Lakhan dkk, 2009; Volgesgang dkk,
2014).
Sel Treg melindungi sel dengan menekan dampak buruk dari sistem imun
dan dapat mencegah penyakit autoimun. IL-10 adalah sitokin yang dihasilkan oleh
sel Treg dan sepertinya memiliki peran penting pada stroke. Tikus dengan sel
Treg yang tidak berfungsi disuntik dengan IL-10 pada hari pertama pascastroke
terbukti memiliki kerusakan otak lebih sedikit dibandingkan dengan tikus yang
tidak mendapat suntikan IL-10. Sebaliknya, transfer genetik sel Treg yang
proteksi. Sel Treg menghasilkan IL-10 induce IDO, menunjukkan bahwa IL-10
dapat berperan dalam upstream dengan modulasi produksi IDO (Lakhan, 2009;
penurunan luaran fungsional. Tidak adanya sel Treg menambah aktivasi pasca
iskemik dari sel inflamasi yang berasal dari otak atau yang mengalami invasi ke
otak termasuk mikroglia dan sel T, yang merupakan sumber utama TNF- dan
IFN-. Sel Treg mencegah infark sekunder dengan menghambat produksi sitokin
proinflamasi yang berlebihan dan dengan memodulasi invasi dan atau aktivasi
limfosit dan mikroglia pada otak yang iskemik. Liesz dkk menemukan bahwa sel
33
kerusakan otak akibat inflamasi yang tertunda, dan bahwa sel Treg menyebabkan
infark pada tikus normal dan mencegah penambahan lesi setelah deplesi sel Treg.
Gambar 7. Proteksi sel Treg pada otak pascastroke. Percobaan oleh Liesz dkk
menunjukkan bahwa sel Treg mencegah perluasan lesi tipe lambat, yang
tergantung pada IL-10, pada tikus dengan stroke iskemik. Sel Treg juga
menurunkan kadar sitokin proinflamasi selama fase inflamasi pasca iskemik.
Injeksi IL-10 pada otak menurunkan volume infark (Lakhan dkk, 2009).
dalam perbaikan jaringan dan reorganisasi. Efek yang menguntungkan ini telah
inflamasi pasca iskemik. Intinya adalah melawan respon inflamasi terhadap injuri
iskemik dapat mengurangi kerusakan jaringan pada fase akut, namun dapat
terhadap antigen SSP dan meredam potensi serangan autoimun pada otak.
34
Kecepatan relatif terjadinya cedera iskemia otak tidak konsisten dengan status
sementara respon imun adaptif pada otak. Namun, diketahui bahwa sensitisasi
antigen SSP berperan pada luaran jangka panjang pascastroke. Sekitar 30%
penderita stroke yang selamat, menderita demensia, hal ini terkait dengan atropi
otak. Proses yang mendasari atropi otak masih belum sepenuhnya jelas, namun
perivaskuler dan makrofag, ditemukan pada 42, 44 dan 75% otak penderita stroke
pada studi besar, serta ditemukannya sel T dan sel dendritik pada stroke lama.
kejadian infeksi, yang merupakan salah satu penyebab luaran neurologis yang
meningkatkan atropi otak pasca iskemik yang dinilai 1 bulan pascastroke. Efek ini
diperlukan untuk presentasi antigen yang efisien, juga sensitisasi sel T melawan
antigen SSP dan respon sitokin Th1. Oleh karena itu imunosupresi pascastroke
juga dengan mencetuskan presentasi antigen dan autoimunitas terhadap otak, yang
mungkin berperan dalam skuele jangka panjang pascastroke. Pada waktu yang
35
ada bukti eksperimental yang pasti bahwa terapi antiinflamasi mengganggu proses
infeksi, suatu hal yang juga penting diperhatikan (Becker,2010). Terapi berbasis
imunomodulasi, dimana respon imun dialihkan sepenuhnya dari respon tipe Th1
menjadi tipe Th2, juga memiliki kekurangan. Seperti pada model dengan sklerosis
multipel, dimana terjadi toleransi terhadap antigen mielin dengan respon protektif
Th2 pada fase akut, namun dalam pengamatan jangka panjang, respon Th2 justru
dapat terjadi pada model iskemik otak kronis. Maka dari itu, efek tertunda akibat
penekanan imunitas seluler. Pemahaman yang lebih baik tentang imunologi pada
stroke akan membuka jalan menemukan pendekatan terapi yang lebih spesifik
BAB III
KESIMPULAN
respon imun molekular dini yang dicetuskan oleh oklusi arteri dan mencapai
puncaknya dengan adanya invasi otak oleh leukosit dari darah. Meskipun tujuan
Imunitas adaptif terlibat dalam peristiwa sentral dan perifer yang dipicu
oleh iskemia serebri, namun tidak banyak bukti bahwa respon autoimun klasik
melawan antigen otak berperan pada kerusakan jaringan otak pada fase akut.
Limfosit menginvasi ke dalam jaringan otak yang iskemik dan berperan pada
respon imun adaptif yang terjadi di otak. Selain itu diketahui pula ada subpopulasi
limfosit yang protektif, beraksi meredam efek sitotoksik dari sel inflamasi yang
lain, dan memicu pemulihan jaringan. Mekanisme respon dikotomi dari limfosit
Efek keluaran jangka panjang pada stroke akibat dari respon imun adaptif
bahkan lebih tidak jelas lagi, begitu pula peran imunitas adaptif tersebut pada
Serupa dengan hal di atas, masih tidak jelas apakah sistem imun
membentuk memori akibat paparan antigen dan apakah respon autoimun akan
timbul akibat terjadi paparan ulangan terhadap antigen yang sama, seperti pada
Terpisah dari aktivasi sel T dini, sering pula dijumpai adanya limfosit
dengan kelas fungsional yang berbeda sebelum atau pada saat stroke, yang dapat
mempengaruhi evolusi lesi iskemik dan luaran stroke. Sebagai contoh, terdapat
CD4+CD28- > 8% pada pasien (normalnya < 1% dari sel CD4+) pada 48 jam
pertama pascastroke memiliki risiko 6 kali lipat untuk menjadi sekarat atau
mengalami stroke berulang dalam 1 tahun ke depan. Selain itu, ditemukan pula
bahwa kadar sel T ini pada pasien dengan riwayat stroke sebelumnya, lebih tinggi,
tersensitisasi oleh antigen otak, berperan dalam reaksi proinflamasi yang lebih
imun adaptif sepertinya memberikan pengaruh yang kurang baik pada kondisi
stroke berulang.
perifer dan aktivasi imunitas sentral terkait dengan stroke, akibat dari proses ini
memiliki efek jangka pendek dan panjang yang masih belum dipahami dengan
baik. Pemahaman bahwa sistem imunitas dan inflamasi merupakan pusat dari
terapi yang baru untuk melawan cedera iskemik, namun hingga saat ini belum ada
uji klinis yang terbukti berhasil dan belum ada guideline terapi intervensi yang
baru.
38
DAFTAR PUSTAKA
Baird AE. 2006. The Forgotten Lymphocyte : Immunity and Stroke. Circulation.
Vol. 113. pp 2035-2036
Cruse JM, Lewis RE, 2010. Atlas of Immunology. 3rd Ed. United States of
America: CRC Press, Taylor and Francis Group.