Anda di halaman 1dari 39

1

TINJAUAN PUSTAKA

NEUROIMUNOLOGI STROKE :
PERAN INFLAMASI DAN IMUNITAS
PADA STROKE ISKEMIK AKUT

Oleh :
dr. Gracia Meliana

Pembimbing :
dr.Kumara Tini, Sp.S, FINS

PROGRAM STUDI NEUROLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2016
2

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmatNYA
tinjauan pustaka yang berjudul “Neuroimunologi Stroke : Peran Inflamasi dan
Imunitas Pada Stroke Iskemik Akut” ini dapat kami selesaikan. Adapun tinjauan
pustaka ini disusun sebagai salah satu tugas yang harus diselesaikan dalam
mengikuti divisi Neurovaskular di Program Pendidikan Dokter Spesialis-I
Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RSUP Sanglah Denpasar.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. AABN.Nuartha, Sp.S (K) sebagai Kepala Bagian/SMF Ilmu Penyakit
Saraf RSUP Sanglah Denpasar.
2. Dr.dr.AAA. Putri Laksmidewi, Sp.S(K) sebagai Kepala Program Studi
Neurologi FK UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar.
3. dr. Kumara Tini, Sp.S.FINS, sebagai pembimbing dalam penyusunan
tinjauan pustaka ini.
4. Teman-teman residen Bagian Neurologi FK UNUD/ RSUP Sanglah
Denpasar.
5. Berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan tinjauan pustaka
ini.
Akhir kata kami menyadari bahwa tinjauan pustaka yang kami susun ini kurang
sempurna sehingga memerlukan bimbingan, kritik dan atau saran dari para senior.
Atas perhatian dan masukannya kami mengucapkan terima kasih.

Denpasar, Mei 2016

Penyusun
3

DAFTAR ISI

HALAMAN

Halaman Judul................................................................................................... i
Lembar Pengesahan............................................................................................ ii
Kata Pengantar................................................................................................... iii
DAFTAR ISI...................................................................................................... iv
BAB I. PENDAHULUAN................................................................................ 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 4
2.1 Kaskade Iskemik ............................................................................ 4
2.2 Stres Oksidatif................................................................................ 7
2.3 Cedera Iskemik Reperfusi (I/R)...................................................... 11
2.4 Inflamasi Paska Iskemik ................................................................ 13
2.4.1 Respon inflamasi seluler........................................................ 14
2.4.1.1 Sel glia....................................................................... 14
2.4.1.2 Sel endotel dan sawar darah otak ............................. 17
2.4.1.3 Leukosit..................................................................... 18
2.4.2 Mediator inflamasi................................................................. 19
2.4.2.1 Sitokin....................................................................... 19
2.4.2.2 Kemokin................................................................... 22
2.4.2.3 Molekul adesi seluler................................................ 23
2.4.2.4 Matriks metaloproteinase ........................................ 24
2.4.3 Spektrum subtipe Limfosit.................................................. 25
2.4.3.1 Antigen Presenting Cell........................................... 25
2.4.3.2 Sel T helper............................................................. 26
2.4.3.3 Sel T sitotoksik........................................................ 27
2.4.3.4 Sel T..................................................................... 27
2.4.4 Peran Limfosit T regulator dalam Terapi Stroke Iskemik... 28

2.5 Keuntungan dan Kerugian Meredam Proses Imun....................... 30


BAB III. RINGKASAN................................................................................. 33
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 35
4

BAB I

PENDAHULUAN

Stroke adalah penyebab kematian ketiga tertinggi di negara industri, dan

merupakan penyebab disabilitas permanen tersering pada penduduk dewasa di

seluruh dunia (Lakhan dkk, 2009; Ceulemans dkk, 2010). Dalam 3 bulan

pascastroke, 15-30% pasien yang selamat mengalami disabilitas permanen, dan

20% membutuhkan perawatan khusus. Di negara barat lebih dari 70% individu

mengalami stroke pada usia lebih dari 65 tahun. Seiring dengan makin tingginya

angka harapan hidup, jumlah absolut individu yang mengalami stroke dipastikan

makin meningkat di masa depan (Lakhan dkk 2009; Ceulemans dkk, 2010).

Penyebab stroke yang paling sering adalah oklusi mendadak dari

pembuluh darah oleh trombus ataupun emboli, sekitar 80% dari keseluruhan

kejadian stroke, yang mengakibatkan jaringan otak kekurangan oksigen dan

glukosa secara tiba-tiba. Meskipun beberapa mekanisme berbeda terlibat dalam

patogenesis stroke, bukti-bukti terakhir menunjukkan bahwa injuri iskemik dan

respon inflamasi sangat berperan dalam menentukan progresivitas patogenesis

penyakit ini (Tanasescu dkk, 2008; Lakhan dkk, 2009).

Inflamasi telah lama diketahui dapat mempengaruhi kondisi otak

pascastroke. Sel pada sistem imun, seperti neutrofil dan makrofag, telah

digunakan secara tradisional oleh neuropatologis dan ahli patologi forensik untuk

menentukan perkiraan umur lesi pada serebrovaskular. Awalnya, dianggap bahwa


5

inflamasi hanyalah reaksi akibat kerusakan jaringan, namun ternyata inflamasi

berperan penting pada patofisiologi penyakit stroke yang disebabkan oleh oklusi

arteri atau stroke iskemik (Dirnagl dkk, 2007; Iadecola dan Anrather, 2012).

Bukti terbaru menunjukkan bahwa elemen sistem imun terkait erat dengan

semua stadium kaskade iskemik, mulai dari proses intravaskular akut yang dipicu

oleh adanya gangguan suplai darah hingga proses pada parenkim yang mengarah

pada kerusakan otak dan selanjutnya perbaikan jaringan. Iskemia otak dapat

menyebabkan kerusakan neuron ireversible pada pusat iskemik dalam waktu

beberapa menit dari awitan. Tetapi, ada area jaringan otak yang cukup luas di

sekeliling pusat iskemik, yang disebut penumbra, yang masih bisa diselamatkan

bila aliran darah bisa segera diperbaiki. Oleh karena itu, definisi dari penumbra

iskemik adalah area pada otak yang rusak namun belum mati, menawarkan

kemungkinan agar jaringan otak tersebut bisa diselamatkan dan disabilitas

pascastroke bisa diturunkan, bila terapi yang tepat dapat diberikan segera (Lakhan

dkk, 2009; Iadecola dan Anrather, 2012).

Otak yang iskemik, melalui sistem saraf otonom, memiliki efek supresi

kuat terhadap organ limfoid, yang dapat memicu terjadinya infeksi, yang

merupakan penentu morbiditas dan mortalitas stroke. Oleh karena itu, sistem imun

sangat terkait dengan kondisi otak yang iskemik dan survival dari pasien stroke

(Iadecola dan Anrather, 2012).

Disamping kemajuan dalam pemahaman tentang patofisiologi iskemik

otak, pilihan terapi untuk stroke iskemik akut tetap terbatas. Hanya satu obat yang

diijinkan digunakan secara klinis untuk terapi trombolitik pada stroke iskemik

akut di Amerika, dan itu adalah recombinant tissue plasminogen activator (rt-PA)
6

intravena. Bila diberikan dalam waktu 3 jam pasca awitan, rt-PA menurunkan

defisit neurologis dan memperbaiki luaran fungsional pasien stroke. Namun,

pemulihan ini dibayangi dengan peningkatan insiden perdarahan intrakranial,

yang terjadi pada  6% pasien. Selain itu, sebagian besar pasien dengan stroke

iskemik akut tidak datang dengan segera ke rumah sakit (dalam waktu 3 jam)

sehingga tidak bisa mendapatkan terapi dengan rt-PA.Akibatnya, keberhasilan

terapi stroke iskemik akut masih menjadi tantangan utama dalam dunia medis

(Lakhan dkk,2009).

Usaha yang dilakukan untuk meredam aktivitas imun pascastroke mungkin

memiliki efek samping karena cedera sistem saraf pusat menyebabkan penekanan

sistem imun yang signifikan hingga membuat penderita stroke memiliki risiko

tinggi terhadap infeksi, terutama pneumonia. Aktivasi sistem imun innate

pascastroke mendasari respon imun adaptif melawan antigen dalam otak. Peranan

imunitas adaptif dan efek jangka panjangnya pada otak pasca iskemik masih

belum terlalu jelas, namun tidak dapat dipungkiri bahwa respon autoimun

terhadap antigen otak memiliki efek yang buruk dan konsekuensi jangka panjang.

Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan apakah ada peranan imunitas

pada luaran stroke jangka panjang, dan dengan mengetahui potensi dari

mekanisme imunitas tersebut diharapkan dapat membuka peluang untuk

menemukan terapi yang baru untuk memperbaiki pemulihan neurologis pada

penderita pascastroke (Kamel dan Iadecola, 2012).


7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kaskade Iskemik

Stroke iskemik akut ditemukan dari 85% kasus stroke, sedangkan stroke

hemoragik ditemukan pada 15% sisanya. Stroke iskemik terjadi akibat penurunan

atau hilangnya aliran darah secara mendadak pada suatu area otak, yang

mengakibatkan penurunan atau hilangnya fungsi saraf. Ini merupakan terminologi

umum yang mencakup sekelompok etiologi heterogen termasuk trombosis,

emboli, dan hipoperfusi relatif. Pada sebagian besar kasus, penyebabnya adalah

aterotrombosis pada arteri servikal atau intrakranial besar, atau emboli dari

jantung(Lakhan dkk, 2009; Sichita dkk, 2012).

Dalam beberapa detik hingga menit setelah penurunan aliran darah ke

suatu area otak, kaskade iskemik segera dimulai, yang terdiri dari serangkaian

proses biokimiawi yang akhirnya mengarah pada disintegrasi dari membran sel

dan kematian sel neuronal di area pusat infark. Stroke iskemik dimulai dengan

hipoperfusi fokal yang berat yang menyebabkan kerusakan akibat eksitotoksisitas

dan oksidatif yang akhirnya menyebabkan injuri mikrovaskuler, disfungsi sawar

darah otak (SDO), dan mengawali iskemik pasca inflamasi. Semua peristiwa ini

dapat memperberat injuri awal dan mengarah pada kerusakan otak yang

permanen. Beratnya kerusakan permanen tersebut tergantung dari beberapa faktor,


8

antara lain derajat dan durasi iskemia, serta kemampuan otak untuk pulih dan

memperbaiki dirinya sendiri.

Gambar 1. Kaskade iskemik yang menyebabkan kerusakan serebral. Stroke


iskemik menyebabkan hipoperfusi ke area otak, yang mengawali rentetan
peristiwa kompleks. Eksitotosisitas, stres oksidatif, cedera mikrovaskuler,
disfungsi SDO, dan inflamasi pasca iskemik, berakhir pada kematian sel neuron,
sel glia dan endotel. Derajat dan durasi iskemia menentukan derajat kerusakan
otak (Lakhan dkk, 2009).
Akibat perfusi residu dari pembuluh darah kolateral, area yang mengalami

penurunan jumlah aliran darah hingga 30mL/100gr/menit kaskade iskemik

berlangsung lebih lambat. Sel neuronal dapat mentoleransi penurunan aliran darah

ini (hingga 20-40% dari nilai kontrol) dalam beberapa jam pasca awitan stroke

dengan pemulihan sempurna bila aliran darah kembali baik.

Pada iskemia yang terjadi akibat oklusi arteri serebri media, salah satu

bentuk stroke iskemik yang paling sering, kerusakan terjadi lebih cepat dan berat

terutama di pusat area iskemik, dimana aliran darah kesana adalah yang paling

sedikit. Ditepi area iskemik tersebut adalah area penumbra, disini kerusakan sel

neuron terjadi lebih lambat karena adanya aliran darah dari area sekitarnya (aliran
9

kolateral) yang menjaga perfusi serebri diatas ambang untuk mencegah kematian

sel dini. Pada pusat iskemik, mekanisme utama kematian sel adalah kegagalan

energi. Tanpa oksigen dan glukosa, neuron tidak mampu menghasilkan ATP,

yang merupakan bahan bakar pompa ion yang bertugas menjaga gradien pada

membran neuron, terutama Na+/K+ATPase. Akibatnya, terjadi akumulasi Na+

dan Ca2+ di sitoplasma, yang menyebabkan pembengkakan dan degenerasi

organela, hilangnya integritas membran dan melarutnya sel (kematian sel

nekrotik) (Kamel dan Iadecola, 2012).

Pada area penumbra, penurunan aliran darah belum menyebabkan

kegagalan energi, dan neuron masih viable selama beberapa waktu pasca awitan

stroke. Namun, neuron disana berada dibawah tekanan dan rentan mengalami

peristiwa patologis yang dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan

metabolik. Akumulasi berlebihan glutamat ekstraseluler juga sangat berperan

da;am menyebabkan kematian neuron di area penumbra. Aktivasi reseptor

NMDA, salah satu reseptor glutamat, yang berlebihan menyebabkan akumulasi

dari Ca2+ di sitoplasma, yang mengaktifkan enzim yang tergantung Ca2+,

termasuk protease kalpain dan kaspase, dan enzim yang menghasilkan nitrit

oksida (NO), radikal bebas, dan metabolit asam arakidonat. Peristiwa ini

mengarah pada apoptosis atau kematian sel terprogram tergantung dari beratnya

kerusakan sel dan kondisi metabolik dari neuron. Sel yang cedera dan sekarat,

memainkan peran penting dalam mekanisme inflamasi pasca iskemik karena sel-

sel tersebut melepaskan “sinyal bahaya” yang mengaktivasi sistem imun (Iadecola

dan Anrather, 2012).


10

Akhirnya, seberapa beratnya perubahan fungsi dan struktur di otak akibat

dari iskemia tergantung dari derajat dan lamanya proses iskemik itu berlangsung.

Terapi oksigen hiperbarik dan normobarik dilakukan untuk meningkatkan tekanan

parsial oksigen pada jaringan dan membatasi kerusakan akibat dari hipoperfusi.

Namun, tiga uji klinis dengan oksigen hiperbarik gagal menunjukkan efikasinya.

Terapi oksigen normobarik aliran tinggi menunjukkan perbaikan pada defisit

klinis dan abnormalitas MRI pada sub-group pasien dengan stroke iskemik.

Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menyelidiki keamanan dan manfaat

hiperoksia sebagai terapi stroke (Lakhan dkk, 2009).

Gambar 2. Kaskade stroke iskemik (Arakawa dkk, 2005)

2.2 Stres Oksidatif

Stres oksidatif berperan pada patogenesis sejumlah kondisi neurologis.

Stres oksidatif didefinisikan sebagai suatu kondisi yang terjadi akibat adanya
11

ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan, dimana kadar oksidan

menjadi lebih tinggi, dan berpotensi merusak organisme tersebut. Stres oksidatif

yang mengarah pada kematian iskemik sel melibatkan pembentukan Reactive

Oxygen Species (ROS) melalui berbagai mekanisme injuri, seperti inhibisi

mitokondrial, kelebihan kadar Ca2+ , injuri reperfusi, dan inflamasi. Banyak ROS

yang diproduksi selama stroke iskemik akut dan ada bukti yang menunjukkan

bahwa stres oksidatif merupakan mediator penting dalam injuri jaringan akibat

stroke iskemik akut (Iadecola dan Anrather, 2012).

Iskemia otak menyebabkan pembentukan superoksida (O2-) yang

merupakan radikal primer yang membentuk hidrogen peroksida. Hidrogen

peroksida adalah sumber radikal hidroksil (OH).

Nitrit oksida adalah radikal bebas larut air dan lemak yang dihasilkan oleh

L-arginin melalui tiga tipe nitric oxide synthases (NOS), yaitu: neuronal,

inducible dan endotelial (n-,i-,dan e-NOS). Iskemia menyebabkan peningkatan

aktivitas NOS tipe I (n-NOS) pada neuron dan III (e-NOS) pada endotel vaskuler.

Pada stadium lanjut, terjadi peningkatan aktivitas NOS tipe II (iNOS) pada

beberapa sel, termasuk glia dan infiltrasi neutrofil. Pada dasarnya, NO memiliki 2

peranan. Pertama, NO dapat mengurangi kerusakan pascastroke dengan

membantu mengembalikan suplai darah ke area iskemik. Namun NO di sisi lain

dapat membentuk radikal bebas dengan bereaksi terutama dengan radikal anion

superoksida atau molekul lain dengan elektron bebas, untuk membentuk

peroksinitrit. Radikal bebas ini berkontribusi pada peroksidasi lipid dan gangguan

biokimiawi protein. NO juga dapat menstimulasi ekspresi mediator inflamasi dan


12

molekul adesi, menyebabkan hilangnya zat besi dari sel, dan menghambat enzim

pada replikasi DNA (Ceulemans dkk, 2010).

Berdasarkan pengetahuan ini, radikal bebas dianggap sebagai target terapi

yang penting untuk memperbaiki luaran pasien stroke iskemik. Beberapa

komponen dengan antioksidan tinggi seperti ebselen, dan resveratrol

(mengandung fitoaleksin alami) yang ditemukan pada beberapa makanan seperti

buah anggur dan red wine, yang telah menunjukkan penurunan kerusakan otak

akibat stroke pada model binatang (Lakhan dkk, 2009).

Faktor transkripsi Nrf2. Nuclear factor erythoid-related factor2 (Nrf2) adalah

faktor transkripsi yang mengatur gen antioksidan untuk membersihkan ROS

melalui beberapa reaksi enzimatik. Target gen Nrf2, secara umum disebut sebagai

gen fase II, terlibat dalam proses mencari radikal bebas, detoksifikasi xenobiotik,

dan mengatur potensi redox. Nrf 2 normalnya ada di sitoplasma, terikat pada

protein regulator, kelch-like erythoid cell-derived protein terkait dengan protein

CNC homolog (Keap1).

Stres oksidatif, atau agen elektrofilik yang menyerupai stres oksidatif,

dapat memodifikasi interaksi kelompok sulfidril pada kompleks Keap-Nrf2,

menyebabkan disosiasi dan trakslokasi nukelar dari Nrf2. Bila teraktivasi, Nrf2

terutama mentarget gen yang membawa antioxidant response element (ARE)

dalam promoternya, seperti oksigenase heme-1, 1-feritin, dan glutation

peroksidase, yang menjaga homeostasis redox dan mempengaruhi respon

inflamasi. Banyaknya molekul kecil alami dan sintetik merupakan pencetus poten

untuk aktivasi Nrf2. Molekul-molekul ini telah diidentifikasi dari beberapa latar
13

belakang kimiawi termasuk isothiocyanates, yang banyak dijumpai pada sayuran

yang dihancurkan, logam berat dan hidroperoksida.

Gambar 3. Sinyal antioksidan dari Nuclear erythroid-related factor (Nrf2)


pada stroke iskemik akut. Nrf2 adalah faktor transkripsi penting yang mengatur
antioxidant response element (ARE)-mediated expression pada detoksifikasi fase
II enzim antioksidan. Pada kondisi normal, Nrf2 diikat dalam sitoplasma oleh
Kelch-like actin-binding protein (Keap1), bila sel terpapar stres oksidatif, Nrf2
terdisosiasi dari Keap1, translokasi ke nukleus, terikat pada ARE, dan
transaktivasi detoksifikasi fase II serta gen antioksidan. Diantara spektrum gen
antioksidan yang dikontrol oleh Nrf2 adalah katalase, superoxide dismutase
(SOD), glutation reduktase, dan glutation peroksidase (Lakhan dkk, 2009).
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa peningkatan aktivitas Nrf2

sangat neuroprotektif pada model in vitro yang menstimulasi komponen

kerusakan akibat stroke, seperti toksisitas oksidatif glutamat, paparan H2O2, dan

kelebihan Ca2+. Pemberian inducer Nrf2, tert-butylhydroquinone (tBHQ), sebuah

metabolit antioksidan makanan yang digunakan luas, butylated hydroxyanisole,

secara signifikan memperbaiki luaran sensorimotor dan histologi pada dua model

cedera I/R pada tikus. Dalam paradigma injuri ini, aktivasi Nrf2 sebelum stroke
14

dapat menyelamatkan area penumbra namun tidak area pusat (inti) stroke.

Perbedaan luaran stroke yang nyata dapat dilihat dalam 24 jam pasca reperfusi.

Selain itu, terapi profilaksis memperbaiki pemulihan fungsional dalam 1 bulan

setelah oklusi arteri serebri media sementara, menunjukkan bahwa aktivasi dini

Nrf2 dapat menurunkan kematian sel neuronal selama tertundanya proses

apoptosis dan inflamasi dalam waktu lama setelah awitan stroke (Lakhan, 2009;

Iadecola dan Anrather, 2012).

Sebaliknya, tikus yang mengalami kekurangan Nrf2 secara signifikan

cenderung lebih mudah mengalami cedera iskemik otak dan defisit neurologis

daripada kelompok tikus wild-type. Delesi gen Nrf2 pada binatang menyebabkan

lebih rentan terhadap berbagai stresor terutama karena kegagalan dalam induksi

enzim fase II. Selain itu, inducer Nrf2 dapat membalikkan kematian sel neuronal

yang yang dipicu donor radikal bebas tert-butylhydroperoxide (t-BuOOH).

Oklusi arteri serebri media dan model reperfusi diketahui menginduksi kaskade

iskemik fokal sementara yang melibatkan lonjakan kerusakan akibat radikal bebas

(Lakhan dkk, 2009).

2.3 Cedera iskemi/reperfusi (I/R)

Kaskade iskemik biasanya berlangsung beberapa jam hingga beberapa

hari, meskipun sudah terjadi restorasi sirkulasi darah. Meskipun reperfusi dari

jaringan otak yang iskemik adalah hal yang penting untuk mengembalikan fungsi

yang normal, namun reperfusi tersebut juga bisa dapat mengakibatkan cedera

sekunder yang disebut cedera iskemik/reperfusi (I/R).

Patofisiologi cedera I/R masih belum jelas, namun mediator stres oksidatif

seperti reactive oxygen species (ROS) yang dilepaskan oleh sel inflamasi di
15

sekitar area cedera I/R dianggap memiliki peranan penting. Peningkatan radikal

bebas oksigen memicu ekspresi sejumlah gen proinflamasi dengan menginduksi

sintesis faktor transkripsi, termasuk nuclear factor kappa-light-chain-enhancer of

activated B cells (NF-κB), faktor 1 terinduksi hipoksia, regulator faktor

interleukin1, dan Signal transducer and activator of transcription 3(STAT3).

Hasilnya, sitokin banyak diproduksi pada jaringan otak dan akibatnya memicu

ekspresi molekul adhesi pada permukaan sel endotel, termasuk intercellular

adhesion molecule 1 (ICAM-1), P-selectin dan E-selectin, yang memperantarai

perlekatan leukosit pada endotel di tepi area infark (Iadecola dan Anrather, 2012).

Selanjutnya, kaskade komplemen menunjukkan peran penting pada cedera

I/R. Sebagai tambahan adanya kerusakan sel secara langsung, I/R regional otak

menginduksi respon inflamasi, termasuk aktivasi komplemen dan pembentukan

fragmen aktif seperti anafilatoksin C3a dan C5a. Ekspresi reseptor C3a dan

komplemen 5a ditemukan meningkat secara signifikan setelah terjadinya oklusi

arteri serebri media pada tikus, yang menandakan peran aktivitas sistem

komplemen pada cedera otak iskemik. Inhibisi komplemen memiliki efek

neuroprotektif pada model binatang dengan stroke(Lakhan dkk, 2009; Iadecola

dan Aranther, 2012).


16

Gambar 4. Jalur inflamasi potensial pada respon iskemik/reperfusi (I/R) serebri


(Jin dkk, 2010).

2.4. Inflamasi Pasca Iskemik.

Meskipun selama bertahun-tahun sistem saraf pusat dianggap sebagai

suatu organ dengan sistem kekebalan tersendiri, namun saat ini diketahui bahwa

sistem imun dan saraf terkait dengan hubungan dua arah. Selain itu, banyak data
17

menunjukkan bahwa di dalam otak, sebagai organ perifer, sel inflamasi berperan

dalam remodelling jaringan pasca injuri (Lakhan dkk, 2009).

2.4.1 Respon Inflamasi Seluler

Ada hirarki kerentanan sel terhadap iskemia, sayangnya, neuron adalah

yang paling rentan, diikuti oleh astrosit, mikroglia, dan sel endotel. Tidak hanya

sel lain lebih tidak rentan terhadap iskemia, namun sel-sel tersebut juga

berpartisipasi dalam mencetuskan respon inflamasi, sehingga sebagian besar

memiliki efek merusak, namun sebagian lagi memberikan efek yang

menguntungkan (Ceulemans dkk, 2010).

2.4.1.1 Sel glia

Sel glia (mikroglia dan astrosit) diperlukan untuk mendukung SSP.

Mikroglia mewakili 5-20% dari populasi glia total dan merupakan modulator

utama pada respon imun di otak. Ciri khas utama mikroglia adalah sensitivitasnya

terhadap perubahan. Mikroglia yang tidak aktif ditandai dengan soma sel kecil

yang memiliki cabang-cabang panjang, keluar dari badan sel. Bila ada benda asing

masuk, mikroglia berubah dari stadium pengawasan menjadi siaga untuk

perbaikan dan proteksi, ditandai dengan bentuk amoeboid yang mirip dengan

makrofag dan disebut makrofag “resident”. Dengan fagositosis, mikroglia akan

membersihkan organisme asing. Namun, setelah iskemia, respon imun akan

merubah sel ini menjadi destruktif dan dapat menimbulkan kerusakan sel.

Bagaimana mikroglia dapat teraktivasi pascastroke iskemik masih belum

jelas. Mekanisme yang mungkin terjadi adalah pecahnya neuron yang nekrosis di

pusat iskemik (ischemic core area) yang melepaskan isinya ke ruang ekstraseluler

dan terjadi scavenging konten ini oleh mikroglia. ROS memainkan peran utama
18

pada aktivasi dan proliferasi mikroglia. Penumbra adalah area yang rentan

terhadap aktivasi mikroglia, karena hal ini dapat menyebabkan kematian sel

sekunder (Lakhan, 2009; Ceulemans dkk, 2010).

Makrofag resident dapat dideteksi dalam 2 jam pasca awitan iskemia,

sedangkan makrofag dari darah tidak masuk ke dalam otak sebelum 10 jam. Pada

22-46 jam, baik makrofag resident maupun makrofag dari darah akan terdistribusi

di seluruh lesi dan tetap terdeteksi hingga 1 minggu pasca awitan iskemia. Ekdahl

dkk melaporkan peningkatan sel mikroglia yang teraktivasi hingga 16 minggu

pada tikus, dua jam pasca oklusi arteri serebri media (Lakhan dkk, 2009; Chiba

dan Keizo, 2013).

Mikroglia di area pusat iskemik dapat selamat dengan aliran darah yang

rendah bila oklusi yang terjadi tidak lebih dari 90 menit. Namun,

mikroglia/makrofag disekitar jaringan iskemik akan bermigrasi ke lesi iskemik

dan berikatan dengan neuron (capping). Saat neuron ini akhirnya mati, capping ini

menyebabkan pengenalan dini diikuti fagositosis dari neuron yang sekarat/mati

tersebut secara cepat (Ceulemans dkk, 2010).

Pada kondisi teraktivasi, mikroglia akan menghasilkan mediator inflamasi

dan sitotoksik seperti TNF-, IL-1, dan IL-6, serta beberapa molekul sitotoksik

lain seperti NO, ROS, dan prostanoid, yang berperan menimbulkan kerusakan dan

kematian sel. Disisi lain, mikroglia adalah produsen utama TGF1, menghasilkan

molekul neutrofik seperti brain derived neurotrophic factor (BDNF), insuline-like

growth factor (IGF-I), dan beberapa growth factor lainnya, yang mendukung teori

bahwa aktivasi mikroglia juga bersifat neuroprotektif.


19

Ada beberapa teori yang mendukung, yaitu : (1) mikroglia menghasilkan

faktor neurotropik yang menstimulasi neurogenesis dan plastisitas (2) fagositosis

neutrofil oleh mikroglia yang teraktivasi pada lesi mencegah pelepasan ekstra

mediator toksik. Akhirnya, makrofag residen menyingkirkan debris nekrosis dan

komponen lain yang merusak. Data ini menunjukkan bahwa aktivasi mikroglia

dini akan menyebabkan kerusakan sedang]kan aktivasi lambat dapat

menguntungkan. Beberapa tipe dari mikroglia mungkin memiliki peran berbeda

pada stroke iskemik, yang dapat meningkatkan atau menurunkan kemampuan sel

neuron untuk bertahan hidup pasca iskemik.

Astrosit akan berproliferasi dan mengalami diferensiasi (astrogliosis)

pascastroke, yang berkaitan dengan peningkatan produksi glial fibrillary acidic

protein (GFAP). Pasca awitan iskemik, astrogliosis dapat berpotensi merusak

akibat sekresi faktor-faktor inflamasi, seperti sitokin, kemokin dan NO.

Respon astrosit masif dimulai pada area pusat iskemik dalam 4 jam pasca

iskemik, dan dapat diamati hingga 28 hari pasca awitan stroke. Oklusi selama 10

menit dapat mengakibatkan astrogliosis hanya dalam 1 hari, dengan puncak

aktivitas 4 hari pasca awitan.

Astrosit mensuplai energi ke neuron, menghasilkan prekursor

neurotransmiter, membentuk pertahanan antioksidatif dan mensekresi faktor

neuroprotektif dan neurogenik. Bentukan kaki dasarnya bersamaan dengan sel

endotel, dan SDO berperan menjaga homeostasis ionik. Aktivasi astrosit

mengarah pada produksi mediator inflamasi dan molekul sitotoksik (ROS,

Protease, NOS, dll). Mediator inflamasi tersebut mengekspresikan kadar tinggi

dari kemokin, dan reseptornya. Jaringan parut glia akan menggantikan jaringan
20

otak yang rusak yang bisa bersifat neurotoksik ataupun neuroprotektif. Di sisi

lain, barrier ini akan menghalangi pertumbuhan aksonal dan reinervasi, hingga

bisa memperlambat pemulihan. Tetapi, barrier ini juga akan memisahkan jaringan

yang rusak dari yang masih viable (Ceulemans dkk, 2010).

2.4.1.2 Sel endotel dan sawar darah otak.

Sawar darah otak (SDO) terdiri dari struktur sel endotel dengan tight

junction, yang berbeda dengan endotel perifer, diikuti oleh lamina basal, yang

merupakan perluasan dari matriks ekstraseluler dan akhirnya prosesus end-feet

astrosit. Koneksi ini dimediasi oleh integrin.

SDO dibutuhkan untuk menjaga lingkungan mikro ekstraseluler yang

rapuh melalui 2 fungsi. Pertama, SDO melindungi neuron yang sensitif dari

kontak dengan protease plasma teraktivasi yang berpotensi toksik, kedua, SDO

memastikan suplai nutrisi dengan sistem transport spesifik (Lakhan dkk, 2009;

Ceulemans dkk, 2010).

Setelah iskemia, terjadi perubahan kecil atau dinamis dari permeabilitas

SDO, bersifat sementara atau permanen, tergantung dari beratnya cedera. Bila

perubahan permeabilitas tersebut bersifat permanen, ditandai dengan

pembengkakan endotel, terlepasnya astrosit dan pecahnya pembuluh darah pada

area iskemik. Sedangkan gangguan SDO sementara menunjukkan

hiperpermeabilitas endotel terhadap molekul makro pada area sekitar infark.

Gangguan SDO sementara menunjukkan pola bifasik, dengan peningkatan

awal 2-3 jam pasca awitan, dan berikutnya terjadi 24-48 jam pasca reperfusi,

mengarah pada terjadinya edema vasogenik dan peningkatan tekanan intrakranial.

Lebih lanjut, akan menstimulasi produksi sitokin dan molekul adesi. Gangguan ini
21

berlangsung cepat namun merubah susunan molekular antara astrosit dan matriks

mikrovaskular ekstraseluler secara signifikan, yang akan merubah efek umpan

balik pada neuron yang mereka suplai dan lindungi (Lakhan dkk, 2009;

Ceulemans dkk, 2010).

2.4.1.3 Leukosit.

Neutrofil menginvasi jaringan iskemik terlebih dahulu, diikuti dengan

monosit. Lima jam pasca reperfusi, neutrofil sudah didapatkan pada jaringan yang

rusak. Pada model oklusi arteri serebri media yang permanen, kadar neutrofil

mencapai puncak dalam 12 jam pasca awitan. Karena adanya peningkatan

molekul adesi setelah stroke, neutrofil mengalami perubahan (modifikasi pada

sitoskeleton seluler) dan bermigrasi melalui endotel pembuluh darah (diapedesis).

Setelah proses ini, kemokin akan menarik neutrofil ke jaringan iskemik

melalui perbedaan konsentrasi (kemotaksis). Setalah ada disana, neutrofil

berperan dalam cedera sekunder pada jaringan yang masih viable dengan

melepaskan sitokin pro inflamasi dan produk sitotoksik lainnya (protease, ROS

dan MMP). Pelepasan enzim proteolitik ini merusak endotel membran sel dan

lamina basal, meningkatkan permeabilitas SDO dan berperan pada edema pasca

iskemik (Ceulemans dkk, 2010).

Aktivasi neutrofil dapat merubah vasoreaktivitas serebri. Lebih lanjut,

melalui perlekatannya dengan dinding pembuluh darah, neutrofil dapat

menyebabkan obstruksi pada pembuluh darah mikro, dikenal dengan fenomena

no-reflow.

Dengan menghambat infiltasi neutrofil, jelas memperbaiki luaran, namun

hanya bersifat sementara. Empat hingga enam jam pasca invasi neutrofil, monosit
22

melekat pada dinding pembuluh darah dan bermigrasi ke jaringan iskemik,

dengan puncak aktivitas 3-7 hari pasca awitan iskemik. Monosit ini akan

menggantikan neutrofil. Saat teraktivasi, monosit akan bertransformasi menjadi

makrofag dari darah. Makrofag membentuk anion superoksida, mensekresi sitokin

proinflamasi, dan menghasilkan lingkungan protrombosis. Tetapi selain itu,

makrofag juga berperan dalam fagosistosis untuk membuang debris sel nekrotik

dan neutrofil (Lakhan dkk, 2009; Iadecola dan Anrather, 2012).

2.4.2 Mediator Inflamasi

2.4.2.1 Sitokin

Sitokin adalah sekelompok glikoprotein kecil yang dihasilkan sebagai

respon terhadap antigen dan dideskripsikan sebagai mediator untuk mengatur

sistem imun innate dan adaptif. Sitokin adalah protein sistem imun yang

merupakan modifier respon biologis. Sitokin mengkoordinasi interaksi sistem

imun antibodi dan sel T serta meningkatkan reaktivitas imun. Sitokin meliputi

monokin (disintesa oleh makrofag) dan limfokin (dihasilkan oleh sel T yang

teraktivasi dan sel NK). Monokin meliputi IL-1, TNF, IFN- dan , dan colony

stimulating factor. Limfokin meliputi IL-2 hingga 6, -interferon, granulocyte-

macrophage colony-stimulating factor, dan limfotoksin. Sel endotel, fibroblas dan

sel selektif lainnya juga dapat menghasilkan sitokin (Cruse dan Lewis, 2010).

Produksi sitokin meningkat pada otak pada berbagai penyakit, termasuk

stroke. Pada otak, sitokin diekspresikan tidak hanya pada sel sistem imun, tetapi

juga dihasilkan oleh sel yang terdapat pada otak seperti neuron dan glia. Sebagai

tambahan, telah diketahui bahwa sitokin dari perifer juga berperan dalam
23

inflamasi otak. Kemudian, fagosit mononuklear perifer, limfosit T, sel NK, dan

leukosit polimorfonuklear menghasilkan dan mensekresi sitokin dan mungkin

berperan dalam inflamasi pada sistem saraf pusat (SSP).

Sitokin yang paling banyak diteliti terkait perannya dalam proses inflamasi

pada stroke iskemik akut adalah tumor necrosis factor- (TNF-), interleukin

(IL), IL-1β, IL-6, IL-20, IL-10 dan transforming growth factor (TGF)-β.

Interleukin 1 (IL-1) dan TNF- lebih banyak berperan pada perburukan

akibat cedera otak iskemik, sedangkan TGF-β dan IL-10 bersifat neuroprotektif.

Peningkatan produksi sitokin proinflamasi dan rendahnya antiinflamasi IL-10

terkait dengan besarnya luas infark dan luaran yang lebih buruk. Peningkatan

ekspresi IL-1 mRNA didapatkan dalam 15-30 menit pertama setelah oklusi arteri

serebri media permanen dan peningkatan ekspresi protein IL-1 muncul dalam

beberapa jam kemudian dan tetap tinggi hingga 4 hari. Ada beberapa penellitian

yang mengkorelasikan antara peningkatan level IL-1 pasca iskemia dengan

perburukan derajat beratnya infark (Lakhan dkk, 2009).

Yamasaki dkk menunjukkan injeksi intraventrikular dari rekombinan IL-

1 setelah oklusi arteri serebri media meningkatkan terjadinya volume dan ukuran

edema otak, dan influks neutrofil. Selain itu, tikus dengan defisiensi IL-1

mengalami infark yang lebih kecil dibanding dengan tikus wild-type. Tingginya

kadar IL-1 dalam sirkulasi meningkatkan sirkulasi IL-6, sitokin lain yang

diketahui meningkat produksinya dalam kondisi iskemia otak. Kadar IL-6 dalam

serum berkaitan dengan volume infark otak dan merupakan prediktor kuat

penurunan defisit neurologis dini. Di lain pihak, Clark dkk mengatakan bahwa

ukuran infark dan fungsi neurologis tidak berbeda pada binatang dengan defisiensi
24

IL-6 setelah iskemia SSP sementara. Hal ini menunjukkan bahwa IL-6 tidak

memiliki efek langsung pada cedera iskemik akut (Lakhan dkk, 2009).

IL-20 terinduksi saat IL-1 memodulasi jalur P38 mitogen-activated

protein kinases (p38MAPK) dan NF- κB. IL-20 akan menginduksi produksi IL-6.

Inhibisi IL-20 dengan mAb spesifik secara signifikan menurunkan iskemik infark

otak pada tikus yang mengalami oklusi arteri serebri media.

Gambar 5. Respon inflamasi pasca iskemik. Eksitotosisitas dan stres oksidatif


yang disebabkan oleh iskemik dini mengaktifkan mikroglia dan astrosit yang
bereaksi dengan mensekresi sitokin, kemokin dan matriks metaloprotease (MMP).
Mediator inflamasi ini mengarah pada up-regulasi sel molekul adesi,
menyebabkan sel inflamasi dari darah, terutama neutrofil, menginfiltrasi area otak
yang iskemik. Neutrofil sendiri akan mensekresi sitokin yang kemudian akan
mengaktivasi sel glia. Proses ini berakibat kematian sel neuronal dan
meningkatkan kerusakan pada otak yang iskemik (Lakhan, 2009).

Beberapa pendekatan sedang diteliti untuk mengatur IL-1 pada stroke. IL-

1 bekerja melalui reseptor membran (IL-1R), yang dapat diblok dengan antagonis

reseptor (IL-1RA). Pada uji klinis random untuk stroke akut, IL-1RA yang dapat
25

menyebrangi SDO aman digunakan dan sepertinya memberikan keuntungan,

terutama untuk pasien dengan infark kortikal (Lakhan dkk, 2009).

IL-10 adalah sitokin antiinflamasi yang beraksi dengan menghambat IL-1

dan TNF- dan dengan menekan ekspresi dan aktivasi reseptor sitokin. Sebagai

akibatnya, IL-10 dapat bersifat neuroproteksi pada stroke iskemik akut.

Pemberian IL-10 secara sentral ataupun sistemik pada tikus yang dibuat

mengalami oklusi arteri serebri media, secara signifikan menurunkan ukuran

infark dalam 30 menit hingga 3 jam pasca oklusi arteri. Pada stroke iskemik akut,

ditemukan peningkatan konsentrasi IL-10 pada cairan serebrospinal (CSS). Lebih

lanjut, pasien dengan kadar IL-10 plasma yang rendah (<6 pg/mL) dalam 1 jam

pertama pascastroke memiliki risiko 3 kali lebih besar untuk mengalami

perburukan defisit neurologis dalam 48 jam pascastroke. IL-10 juga memediasi

penurunan ukuran infark dengan sel Tregulator (Ceulemans dkk, 2010).

2.4.2.2 Kemokin

Kemokin, misalnya monosit chemoattractant protein 1 (MCP-1), adalah

kelas dari sitokin yang memandu migrasi sel inflamasi dari darah, seperti neutrofil

dan makrofag menuju sumber kemokin. Akibatnya, kemokin memerankan peran

penting pada komunikasi seluler dan rekruitmen sel inflamasi (Deb dkk, 2010).

Ekspresi kemokin seperti MCP-1, makrofag inflammatory protein-1 (MIP-1)

dan fracktaline pasca iskemia fokal dianggap memiliki efek buruk dengan

meningkatkan infiltrasi leukosit. Berbagai variasi kemokin telah ditemukan pada

model iskemia pada binatang dan inhibisi atau defisiensi dari kemokin ini terkait

dengan penurunan cedera otak (Lakhan dkk, 2009).


26

2.4.2.3 Molekul adesi seluler

Ada makin banyak bukti bahwa molekul adesi seluler (CAMs) mempunyai

peran penting pada patofisiologi stroke iskemik akut. CAMs dihasilkan lebih

banyak pada hari pertama pascastroke oleh berbagai sitokin dan bertanggung

jawab untuk perlengketan dan migrasi leukosit. Leukosit menggelinding pada

permukaan endotel lalu melekat pada sel endotel. Hubungan antara leukosit dan

endotel vaskular dimediasi oleh tiga kelompok utama dari CAMs, yaitu: selektin,

superfamily gen imunoglobulin, dan integrin (Ceulemans dkk, 2010).

Selektin, terutama selektin-E dan –P diproduksi lebih banyak dan

memediasi pergerakan dan pengerahan leukosit pada stadium awal iskemia.

Diantara kelompok imunoglobulin, yang paling banyak dipelajari pada iskemia

serebral adalah intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) dan vascular cell

adhesion molecule-1 (VCAM-1). Dalam beberapa jam pascastroke, ekspresi

ICAM-1 meningkat akibat stimulasi dari sitokin. Pasien dengan stroke iskemik

akut memiliki soluble ICAM-1 (sICAM-1) lebih tinggi dibandingkan pasien

dengan penyakit kardiovaskuler. Selain itu, kadar sICAM-1 secara signifikan

lebih tinggi pada pasien yang meninggal dibandingkan yang selamat. Tingginya

kadar sICAM-1 pada saat masuk rumah sakit dikaitkan dengan kematian dini pada

pasien stroke usia pertengahan yang menunjukkan peran patogen proses inflamasi

pada evolusi stroke iskemik (Lakhan dkk, 2009; Deb dkk, 2010).

Sejumlah penelitian menggunakan binatang menunjukkan bahwa setelah

iskemia fokal sementara dan permanen, terjadi peningkatan CAMs, terutama

ICAM-1, selektin-E dan –P, sebelum invasi neutrofil ke otak.


27

Ada banyak bukti pada model penelitian binatang dengan oklusi arteri

serebri media bahwa ekspresi CAMs terkait dengan ukuran infark otak, yang

dapat serupa dengan terapi menggunakan anti-CAM antibodi. Inhibisi, aktivasi,

dan infiltrasi leukosit pada jaringan serebri yang iskemik merupakan hal penting

dalam penelitian neuroproteksi. Sejauh ini terapi anti-CAM belum berhasil pada

pasien dengan stroke iskemik. Namun, penelitian translasional lanjut pada terapi

target CAMs, untuk memberikan terapi antiinflamasi yang efisien, masih terus

berjalan (Lakhan dkk 2009; Deb dkk, 2010).

2.4.2.4 Matriks metaloproteinase (MMPs).

MMP adalah kelompok enzim proteolitik yang bertanggung jawab atas

remodelling matriks ekstraselluler dan dapat mendegradasi semua unsur

pokoknya. Ekspresi MMPs pada otak dewasa sangat rendah untuk dapat dideteksi,

namun banyak MMP meningkat produksinya pada otak sebagai respon terhadap

injuri. Neuron, astrosit, mikroglia dan sel endotel diketahui mengekspresikan

MMPs setelah injuri. Stroke terkait dengan disrupsi bifasik dari SDO yang

menyebabkan edema vasogenik dan perdarahan, penelitian eksperimental telah

menunjukkan adanya kerusakan pada SDO akibat aktivasi dan ekspresi dari

MMPs (Lakhan, 2009, Ceulemans dkk, 2010).

MMP-2 dan MMP-9 terlibat dalam iskemia serebral. Peningkatan kadar

MMP-9 ditemukan dalam jaringan otak dan serum pasien dengan stroke iskemik

akut dan pada model binatang dengan stroke, yang dimulai dari 12 jam pasca

oklusi arteri serebri media permanen (Deb dkk, 2010). MMP-9 biasanya tidak ada

dan merupakan MMP mayor yang terkait dengan proses inflamasi neuron. Inhibisi

dini dari MMP-9 (hari pertama) dapat menurunkan infark pada hari ke 14.
28

Namun, keuntungan ini tidak didapatkan bila terapi ditunda hingga hari ketiga dan

stroke akan mengalami eksaserbasi bila terapi ditunda hingga hari ketujuh.

Penelitian ini semua menunjukkan bahwa inhibisi MMP dapat menguntungkan

dalam luaran stroke namun efeknya tergantung dari waktu pemberian terapi

terkait dengan stadium kerusakan otak.

2.4.3 Spektrum Subtipe Limfosit

Limfosit adalah sel utama pada respon imun innate dan adaptif. Limfosit B

(sel B) bertanggung jawab pada respon imun humoral, ditandai dengan produksi

antibodi yang menyerang dan menetralisir antigen spesifik. Limfosit T (sel T)

terlibat dalam imunitas seluler, dimana antigen ditekan oleh mekanisme selular

sitotoksik. Sel T dapat mengekspresikan glikoprotein CD4 atau CD8 pada

permukaannya, suatu ciri khas yang akan menentukan fungsinya (Iadecola dan

Anrather, 2012).

2.4.3.1 Antigen Presenting Cell (APC)

Pusat dari imunitas adaptif adalah presentasi antigen, yang dilakukan oleh

APC, terutama sel dendritik dan makrofag. APC berpatroli di lingkungannya dan

bila ia mengenali antigen asing, misalnya sebuah protein, antigen itu akan

didegradasi menjadi peptida, beberapa kemudian diwakili oleh molekul MHC

class II dan ditampilkan pada permukaan APC. Kompleks antigen-MHC class II

dikenali oleh T-cell receptor (TCR) dari CD4+sel T, dan interaksi ini bila disertai

ko-stimulasi molekul dalam APC (B7-1, B7-2) dan sel T (CD28), akan

menghasilkan aktivasi sel T. TCR meliputi baik rantai - ataupun -, protein

serupa imunoglobulin. Setelah presentasi antigen, sel T CD4+ mengalami


29

ekspansi klonal pada organ limfoid, proses ini dicetuskan oleh produksi autokrin

dari IL-2 (Iadecola dan Anrather, 2012).

2.4.3.2 Sel T helper

Dengan beberapa pengecualian, sel T CD4+ menjadi sel T helper (Th),

disebut demikian sebab sel ini tidak memiliki fungsi sitotoksik, tetapi berperan

sebagai “pembantu” dengan mengkoordinasi dan memodulasi respon imun. Sel

Th meliputi sel efektor dan regulator. Tergantung dari sinyal molekuler yang

terjadi di lingkungannya, subpopulasi sel Th yang berbeda-beda dapat terbentuk,

masing-masing memiliki ciri produksi sitokin yang spesifik (Baird, 2006).

Sel efektor Th tipe 1 (Th1) mensekresi IFN dan TNF dan

pembentukannya dicetuskan oleh IL-12 melalui transkripsi faktor t-bet. Sel Th1

merangsang imunitas innate dan respon imun terinduksi sel T yang mengarah

pada sitotoksisitas.

Sel Th2 mensekresikan IL-4, IL-5, IL-9, IL-10, IL-13 dan merangsang

imunitas humoral, imunitas mukosal dan respon langsung melawan patogen

ekstrasel. IL-4 merangsang pembentukan sel Th2, yang diatur dengan faktor

transkripsi GATA binding protein 3 (GATA-3).

Sel Th17 mensekresikan IL-17 dan pembentukannya diatur oleh TGF dan

IL 6, serta melibatkan transkripsi faktor RORt. Sel Th17 berpartisipasi pada

autoimunitas, namun belum dapat dibuktikan berimplikasi pada kerusakan otak

iskemik.

Sel T regulator (Treg/ CD4+CD25+) merupakan sel T supresor yang dapat

muncul secara alami atau dapat terbentuk dari subtipe Th lain dengan adanya

TGF. Pembentukan Treg membutuhkan transkripsi faktor FoxP3. Tidak seperti


30

sel Th lain, Treg menginduksi imunosupresan dengan menghasilkan IL-10 dan

TGF. Sehingga, Treg penting untuk mengatur keseimbangan sistem imun dengan

mengimbangi efek destruktif dari inflamasi yang berlebihan dan mungkin

memainkan peran protektif pada iskemia serebral (Iadecola dan Anrather, 2012).

2.4.3.3 Sel T sitotoksik

Berbeda dengan sel T CD4+, sel T CD8+ adalah sitotoksik. Ekspresi TCR

dari sel T CD8 mengikat antigen yang dipresentasikan oleh molekul MHC class I

dan tampak pada masing-masing sel. Setelah terjadi ekspansi klonal, sel T CD8+

yang teraktivasi berpatroli pada lingkungan internal untuk mencari sel somatik

yang mengeskpresikan antigen yang sudah mensensitisasi sel T tersebut. Sel T

sitotoksik membunuh sel somatik dengan meningkatkan permeabilitas membran

dengan perforin dan menginduksi apoptosis melalui aktivasi kaspase granzyme-

induce atau jalur ligand Fas.

Sel limfositik dengan fungsi sitotoksik juga termasuk sel Natural killer

(NK) dan Natural killer T cell (NKT). Sel NK kekurangan TCR dan karenanya,

tidak membutuhkan presentasi antigen untuk mengaktivasi dan menyebabkan

sitotoksisitas, yang dipicu oleh interferon atau sitokin. Sel NKT memiliki TCR

yang sederhana, yang mengenali glikolipid sel, juga mengekspresikan

glikoprotein CD serupa MHC class I. Efek sitotoksik sel NKT adalah dengan

melepaskan IFN, IL-2 dan TNF dalam jumlah besar (Iadecola dan Anrather,

2012).

2.4.3.4 Sel T

Sel ini adalah bagian dari limfosit efektor dimana TCR yang memiliki

rantai  dan terutama terdapat di membran mukosa. Seperti NKT, sel ini
31

mengenali antigen nonpeptida dan beraksi pada sinyal bahaya yang dihasilkan

oleh sel yang stres. Sel  dapat berkembang menjadi beberapa fungsi berbeda

tergantung pada konteks dimana ia berperan, bervariasi dari sitolisis, hingga

presentasi antigen, imunoregulasi dan produksi faktor pertumbuhan. Pada iskemia

serebral, sel  berperan dalam sitotoksisitas dan imunomodulasi protektif.

(Iadecola dan Anrather, 2012).

Gambar 6. Peran sel T pada cedera otak iskemik. Usaha mendapatkan strategi
neuroproteksi dengan sasaran sel T, penting untuk menghambat fungsi sel T
inflamasi (T, IL-17, Th1) dan meningkatkan sel T (Treg) antiinflamasi (Shicita
dkk, 2012).

2.4.3 Peran Limfosit T regulator dalam Terapi Stroke Iskemik

Sekarang ini, limfosit T regulator (Treg) menunjukkan peran penting

dalam proteksi sel pada tikus dengan stroke. Sel Treg thymus-derived

CD4+CD25+Foxp3 memainkan peran penting dalam mengendalikan respon imun

pada kondisi fisiologis dan pada berbagai penyakit sistemik serta inflamasi SSP.

Treg umumnya dihasilkan oleh sel dendritik atau antigen-presenting cell yang

mengekspresikan mediator imunosupresif indoleamine 2,3-dioxygenase (IDO),

enzim pertama pada jalur kynurenine, yang memecah dan merubah triptofan
32

menjadi kynurenin (Jiang dan Chess, 2006; Sichita dkk, 2012). Interferon- dan

TNF- yang keduanya meningkat kadarnya pada cedera otak iskemik

menginduksi IDO dalam respon terhadap aktivasi imun kronis, kemungkinan

dalam mikroglia. Tikus dengan stroke tanpa sel Treg yang berfungsi dalam

darahnya memiliki kerusakan otak lebih luas dan disabilitas lebih berat dibanding

tikus dengan sel Treg yang berfungsi normal (Lakhan dkk, 2009; Volgesgang dkk,

2014).

Sel Treg melindungi sel dengan menekan dampak buruk dari sistem imun

dan dapat mencegah penyakit autoimun. IL-10 adalah sitokin yang dihasilkan oleh

sel Treg dan sepertinya memiliki peran penting pada stroke. Tikus dengan sel

Treg yang tidak berfungsi disuntik dengan IL-10 pada hari pertama pascastroke

terbukti memiliki kerusakan otak lebih sedikit dibandingkan dengan tikus yang

tidak mendapat suntikan IL-10. Sebaliknya, transfer genetik sel Treg yang

dimodifikasi tidak mampu menghasilkan IL-10 tidak mampu memberikan efek

proteksi. Sel Treg menghasilkan IL-10 induce IDO, menunjukkan bahwa IL-10

dapat berperan dalam upstream dengan modulasi produksi IDO (Lakhan, 2009;

Chen dkk, 2013).

Deplesi sel Treg meningkatkan kerusakan otak yang tertunda dan

penurunan luaran fungsional. Tidak adanya sel Treg menambah aktivasi pasca

iskemik dari sel inflamasi yang berasal dari otak atau yang mengalami invasi ke

otak termasuk mikroglia dan sel T, yang merupakan sumber utama TNF- dan

IFN-. Sel Treg mencegah infark sekunder dengan menghambat produksi sitokin

proinflamasi yang berlebihan dan dengan memodulasi invasi dan atau aktivasi

limfosit dan mikroglia pada otak yang iskemik. Liesz dkk menemukan bahwa sel
33

Treg mengantagonis peningkatan produksi TNF- dan IFN-, yang merangsang

kerusakan otak akibat inflamasi yang tertunda, dan bahwa sel Treg menyebabkan

sekresi IL-10, yang merupakan mediator utama dengan efek neuroprotektif

melalui supresi produksi sitokin proinflamasi. IL-10 dapat menurunkan ukuran

infark pada tikus normal dan mencegah penambahan lesi setelah deplesi sel Treg.

Gambar 7. Proteksi sel Treg pada otak pascastroke. Percobaan oleh Liesz dkk
menunjukkan bahwa sel Treg mencegah perluasan lesi tipe lambat, yang
tergantung pada IL-10, pada tikus dengan stroke iskemik. Sel Treg juga
menurunkan kadar sitokin proinflamasi selama fase inflamasi pasca iskemik.
Injeksi IL-10 pada otak menurunkan volume infark (Lakhan dkk, 2009).

2.5 Keuntungan dan Kerugian Meredam Proses Imun

Seperti diskusi sebelumnya, sel imun dan inflamasi berperan penting

dalam perbaikan jaringan dan reorganisasi. Efek yang menguntungkan ini telah

dipertimbangkan dalam menemukan pendekatan terapi dengan mengendalikan

inflamasi pasca iskemik. Intinya adalah melawan respon inflamasi terhadap injuri

iskemik dapat mengurangi kerusakan jaringan pada fase akut, namun dapat

mempengaruhi pula mekanisme pemulihan dan memperburuk luaran jangka

panjang akibat injuri.

Limfopenia dan imunosupresan membatasi terbentuknya sel T autoreeaktif

terhadap antigen SSP dan meredam potensi serangan autoimun pada otak.
34

Kecepatan relatif terjadinya cedera iskemia otak tidak konsisten dengan status

sementara respon imun adaptif pada otak. Namun, diketahui bahwa sensitisasi

antigen SSP berperan pada luaran jangka panjang pascastroke. Sekitar 30%

penderita stroke yang selamat, menderita demensia, hal ini terkait dengan atropi

otak. Proses yang mendasari atropi otak masih belum sepenuhnya jelas, namun

mekanisme imunologis yang dicetuskan oleh stroke tidak bisa diabaikan.

Penelitian patologis menunjukkan adanya infiltrat inflamasi yang menetap hingga

bertahun-tahun pascastroke. Sebagai contoh, sel mononuklear, cuffing

perivaskuler dan makrofag, ditemukan pada 42, 44 dan 75% otak penderita stroke

pada studi besar, serta ditemukannya sel T dan sel dendritik pada stroke lama.

Disisi lain, imunosupresi pascastroke punya efek buruk, yaitu peningkatan

kejadian infeksi, yang merupakan salah satu penyebab luaran neurologis yang

buruk, peningkatan morbiditas serta mortalitas. Infeksi akut juga dapat

mempengaruhi luaran stroke dengan upregulating molekul kostimulans dan

mencetuskan presentasi antigen. Kemungkinan ini ditunjang oleh studi dimana

lipopolisakarida bakterial (LPS) diberikan pada saat reperfusi untuk

mensimulasikan infeksi pascastroke, memperburuk luaran percobaan stroke dan

meningkatkan atropi otak pasca iskemik yang dinilai 1 bulan pascastroke. Efek ini

berkaitan dengan peningkatan ekspresi B7.1, sebuah molekul kostimulans yang

diperlukan untuk presentasi antigen yang efisien, juga sensitisasi sel T melawan

antigen SSP dan respon sitokin Th1. Oleh karena itu imunosupresi pascastroke

menimbulkan kerusakan akibat peningkatan infeksi sistemik dan kemungkinan

juga dengan mencetuskan presentasi antigen dan autoimunitas terhadap otak, yang

mungkin berperan dalam skuele jangka panjang pascastroke. Pada waktu yang
35

bersamaan, imunosupresi mungkin menguntungkan untuk meredam respon

autoimun yang tertunda (Iadecola dan Anrather, 2012).

Kurangnya studi eksperimental pada fase pemulihan menyebabkan tidak

ada bukti eksperimental yang pasti bahwa terapi antiinflamasi mengganggu proses

perbaikan pada otak pasca iskemik.

Selain itu, imunosupresi pada stroke dapat mencetuskan komplikasi

infeksi, suatu hal yang juga penting diperhatikan (Becker,2010). Terapi berbasis

imunomodulasi, dimana respon imun dialihkan sepenuhnya dari respon tipe Th1

menjadi tipe Th2, juga memiliki kekurangan. Seperti pada model dengan sklerosis

multipel, dimana terjadi toleransi terhadap antigen mielin dengan respon protektif

Th2 pada fase akut, namun dalam pengamatan jangka panjang, respon Th2 justru

mencetuskan diferensiasi sel B dan mengarah pada serangan imun humoral

terhadap mielin dan memperburuk defisit neurologis. Perburukan yang serupa

dapat terjadi pada model iskemik otak kronis. Maka dari itu, efek tertunda akibat

imunitas humoral dapat bertentangan dengan keuntungan jangka pendek dari

penekanan imunitas seluler. Pemahaman yang lebih baik tentang imunologi pada

stroke akan membuka jalan menemukan pendekatan terapi yang lebih spesifik

untuk meredam efek buruk inflamasi (Iadecola dan Anrather, 2012).


36

BAB III

KESIMPULAN

Imunitas dan inflamasi merupakan bagian dari proses patogenesis yang

dipicu oleh iskemik/reperfusi (I/R). Sinyal inflamasi bertanggung jawab terhadap

respon imun molekular dini yang dicetuskan oleh oklusi arteri dan mencapai

puncaknya dengan adanya invasi otak oleh leukosit dari darah. Meskipun tujuan

utamanya adalah memperbaiki homeostasis, inflamasi menyebabkan kerusakan

cukup bermakna pada jaringan penumbra.

Imunitas adaptif terlibat dalam peristiwa sentral dan perifer yang dipicu

oleh iskemia serebri, namun tidak banyak bukti bahwa respon autoimun klasik

melawan antigen otak berperan pada kerusakan jaringan otak pada fase akut.

Limfosit menginvasi ke dalam jaringan otak yang iskemik dan berperan pada

kerusakan jaringan, namun kecepatan efek perburukannya tidak konsisten dengan

respon imun adaptif yang terjadi di otak. Selain itu diketahui pula ada subpopulasi

limfosit yang protektif, beraksi meredam efek sitotoksik dari sel inflamasi yang

lain, dan memicu pemulihan jaringan. Mekanisme respon dikotomi dari limfosit

ini masih perlu dicari penjelasannya lebih lanjut.

Efek keluaran jangka panjang pada stroke akibat dari respon imun adaptif

bahkan lebih tidak jelas lagi, begitu pula peran imunitas adaptif tersebut pada

sekuele akibat kerusakan iskemik, seperti atropi otak dan demensia.

Serupa dengan hal di atas, masih tidak jelas apakah sistem imun

membentuk memori akibat paparan antigen dan apakah respon autoimun akan

timbul akibat terjadi paparan ulangan terhadap antigen yang sama, seperti pada

kasus stroke yang berulang.


37

Terpisah dari aktivasi sel T dini, sering pula dijumpai adanya limfosit

dengan kelas fungsional yang berbeda sebelum atau pada saat stroke, yang dapat

mempengaruhi evolusi lesi iskemik dan luaran stroke. Sebagai contoh, terdapat

peningkatan hitung sel T CD4+CD28- yang dikaitkan dengan perburukan luaran

pascastroke iskemik. Nadareishvili dkk menemukan bahwa kadar sel T

CD4+CD28- > 8% pada pasien (normalnya < 1% dari sel CD4+) pada 48 jam

pertama pascastroke memiliki risiko 6 kali lipat untuk menjadi sekarat atau

mengalami stroke berulang dalam 1 tahun ke depan. Selain itu, ditemukan pula

bahwa kadar sel T ini pada pasien dengan riwayat stroke sebelumnya, lebih tinggi,

hingga meningkatkan kemungkinan bahwa populasi sel T ini, yang sudah

tersensitisasi oleh antigen otak, berperan dalam reaksi proinflamasi yang lebih

hebat terhadap serangan stroke ulangan. Berdasarkan pengetahuan tersebut, fungsi

imun adaptif sepertinya memberikan pengaruh yang kurang baik pada kondisi

stroke berulang.

Meskipun telah banyak yang bisa dipelajari dari proses imunosupresi

perifer dan aktivasi imunitas sentral terkait dengan stroke, akibat dari proses ini

memiliki efek jangka pendek dan panjang yang masih belum dipahami dengan

baik. Pemahaman bahwa sistem imunitas dan inflamasi merupakan pusat dari

patofisiologi stroke telah meningkatkan harapan untuk menemukan pendekatan

terapi yang baru untuk melawan cedera iskemik, namun hingga saat ini belum ada

uji klinis yang terbukti berhasil dan belum ada guideline terapi intervensi yang

baru.
38

DAFTAR PUSTAKA

Arakawa S, Perera N, Donnan GA.,2005. Neuroprotection in Stroke. ACNR


journal. Vol.5 Number 5.

Baird AE. 2006. The Forgotten Lymphocyte : Immunity and Stroke. Circulation.
Vol. 113. pp 2035-2036

Becker KJ. 2010. Modulation of the Post-Ischemic Immune Response to Improve


Stroke Outcome. Stroke. Vol. 41(10 Suppl). pp. S75–S78.

Chen S, Wu H, Klebe D, Hong Y, Zhang J, Tang J. 2013. Regulatory T Cell in


Stroke: A New Paradigm for Immune Regulation. Clinical and
Developmental Immunology. Hindawi Publishing Corporation.Article ID
689827, 9 pages

Chiba T, Keizo U. 2013. Pivotal Roles of Monocytes/Macrophages in Stroke.


Hindawi Publishing Corporation. Mediators of In Inflammation. Volume
2013, Article ID 759103, 10 pages. http://dx.doi.org/10.1155/2013/759103

Cruse JM, Lewis RE, 2010. Atlas of Immunology. 3rd Ed. United States of
America: CRC Press, Taylor and Francis Group.

Ceulemans A.G, Zgavc T, Kooijman R, Hachimi-Idrissi S, Sarre S, Michotte Y.


2010. The dual role of the neuroinflammatory response after ischemic
stroke: modulatory effects of Hypothermia. Journal of
Neuroinflammation.Vol.7. pp.74

Deb P, Sharma S, Hassan KM. 2010. Pathophysiologic mechanisms of acute


ischemic stroke: An overview with emphasis on therapeutic significance
beyond thrombolysis. Elsevier, Pathophysiology
(2010),doi:10.1016/j.pathophys.12.001

Dirnagl U, Klehmet J, Braun JS, Harms H, Meisel C, Ziemssen T, Prass K, Meisel A.


2007. Stroke-Induced Immunodepression: Experimental Evidence and
Clinical Relevance. Stroke.vol.38.pp:770-773.

Iadecola C, Anrather J. 2012. The immunology of stroke: from mechanisms to


translation. Nat Med. Vol. 17(7).pp. 796–808. doi:10.1038/nm.2399.

Jiang H, Chess L. 2006. Mechanism of Disease. Regulation of Immune Responses


by T Cells. N Engl J Med vol. 354.pp.1166-76.

Jin R, Yang G, Li G. 2010. Inflammatory mechanisms in ischemic stroke: role of


inflammatory cells. Journal of Leukocyte Biology. Volume 87. pp. 779–
789.
39

Kamel H, Iadecola C. 2012. Brain-Immune Interactions and Ischemic Stroke,


Clinical Implications. Arch Neurol. Vol 69(5), pp. 576-581

Lakhan SE, Kirchgessner A, Hofer M. 2009. Inflammatory mechanisms in


ischemic stroke: therapeutic approaches. Journal of Translational Medicine
7:97

Shicita T, Ago T, Karnouchi M, Kitazono T, Yoshimura A, Ooboshi H. 2012.


Novel Therapeutic Strategies Targeting Innate Immune Responses and
Early Inflammation After Stroke. Journal Of Neurochemistry vol. 123
(Suppl. 2).pp. 29–38

Tanasescu R, Nicolau A, Ticmeanu M, Luca D, Caraiola S, Cojocaru IM,


Frasineanu A, Uonescu R, Hristea A, Ene A, Tanasescu R, Baicus C. 2008.
An Immunological Approach to Cerebral Ischemia (I).Immune Cells and
Adhesion Molecules. ROM. J. INTERN. MED. Vol 46, 1. pp. 3–8.

Vogelgesang A, Becker KJ, Dressel A. 2014. Immunological consequences of


ischemic stroke. Acta Neurol Scand vol.129. pp. 1–12.

Anda mungkin juga menyukai