Oleh :
Presentan : dr. Istiqomah
Pembimbing : dr. Syarif Indra, Sp.S (K)
Moderator : dr. Fanny Adhy Putri, Sp.N
Opponent : dr. Rahmi Ulfa
dr. Rizki Muhammad Rananda
Hari/Tanggal : Senin, 19 April 2021
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT berkat rahmat-Nya penulis
dapat menyelesaikan penulisan referat yang berjudul Penyakit Demielinisasi
Inflamasi Pada Sistem Saraf Pusat yang merupakan salah satu kewajiban dalam
pelaksanaan kurikulum Program Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Syarif
Indra, Sp.S(K) selaku pembimbing dalam penulisan referat ini, dr. Restu Susanti,
Sp.S(K),M.Biomed selaku Ketua Program Studi (KPS) Neurologi, dan Dr.dr.Yuliarni
Syafrita, Sp.S(K) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menuntut
ilmu di Bagian Neurologi ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada seluruh staf pengajar Bagian Neurologi, Prof. Dr. dr. Darwin Amir, Sp.S (K),
dr. Hendra Permana, Sp.S(K), dr. Dedi Sutia,Sp.N(K) FINA, dr. Fanny Adhy Putri,
Sp.N dan dr.Reno Bestari, Sp.N yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam
pendidikan. Tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan – rekan
peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi.
Penulis menyadari bahwa referat ini jauh dari sempurna dan membutuhkan
banyak perbaikan serta masukan dari segala pihak. Untuk itu, penulis mengharapkan
saran dan masukan demi perbaikan referat ini.
dr. Istiqomah
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Anatomi Serabut Saraf Mielin pada SPP dan SST ..................................... 2
Gambar 2 Histologi Sitoplasma Akson, Selubung Mielin, dan Sel Schwann ............. 3
Gambar 3 Patofisiologi multiple sclerosis ................................................................... 6
Gambar 4 Klasifikasi multiple sclerosis ...................................................................... 7
Gambar 5 Patofisiologi NMO.................................................................................... 10
Gambar 6 Patofisiologi ADEM ................................................................................. 14
iii
DAFTAR TABEL
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Selubung mielin merupakan salah satu komponen esensial dalam sistem saraf
manusia. Selubung mielin berfungsi sebagai insulator pada akson sehingga transmisi
potensial aksi terjadi secara saltatory conduction. Terdapat kondisi yang mengganggu
integritas maupun fungsi selubung mielin pada manusia yang dikenal sebagai
kelainan demielinisasi baik di sistem saraf pusat (SSP) maupun sistem saraf tepi
(SST) (Hall et al,2016; Ropper et al,2014).
Penyakit demielinisasi inflamasi pada SSP terdiri dari multiple sclerosis (MS),
neuromyelitis optica, acute disseminated encephalomielitis dan acute hemmoragic
encephalomielitis. MS merupakan penyakit selubung mielin inflamasi pada SSP
dengan insidensi mulai dari 2/100.000 penduduk di Afrika sub-Sahara hingga
100/100.000 penduduk di Amerika Utara dan Eropa (Leray,2016; Love,2006).
Penyakit demielinisasi inflamasi ditandai dengan kerusakan mielin, infiltrasi sel-
sel inflamasi dan mengenai substansia alba. Penyakit selubung mielin bervariasi dari
self-limiting, hingga kondisi yang dapat menimbulkan kematian (Ropper et al,2014;
Fabian et al,2016).
1.2 Tujuan
Referat ini bertujuan untuk memberikan gambaran umum mengenai anatomi dan
histologi selubung mielin serta penyakit inflamasi yang dapat menimbulkan
gangguan atau kerusakan terhadap selubung mielin pada sistem saraf pusat. Sumber
diambil dari berbagai literatur yaitu: berbagai referensi berupa buku teks, jurnal, dan
artikel ilmiah.
1
BAB II
ANATOMI DAN HISTOLOGI SELUBUNG MIELIN
SISTEM SARAF PUSAT
2
juga mengandung sejumlah besar protein Caspr, contactin, dan neurofascin 155
(NF155). ( Hall et al,2016; Kettenmann, 2016).
Gambar 2 Histologi Sitoplasma Akson, Selubung Mielin, dan Sel Schwann (Kettenmann, 2016)
Gambar 3 Tampilan Mikroskopi Elektron Akson & Selubung Mielin (Mescher, 2013)
3
Gambar 4 Pembentukan Selubung Mielin pada SSP (Snell,2018)
Gambar 5 Transmisi impuls pada serabut saraf bermielin (Hall et al, 2016)
Potensial aksi timbul hanya pada nodus & dikonduksikan dari nodus ke
nodus. Secara teoretis, pembatasan konduksi potensial aksi pada setiap nodus ranvier
juga menghemat energi organisme, dengan mengurangi kebutuhan pertukaran ion
Na+/K+ untuk menjaga resting potential. (Hall et al, 2016; Sheerwood,2013)
4
BAB III
PENYAKIT DEMIELINASI INFLAMASI PADA SISTEM SARAF PUSAT
3.1.1.2 Etiologi
Faktor autoimun, genetik dan lingkungan merupakan sejumlah faktor penting
terjadinya MS. Faktor genetiknya adalah perubahan pada antigen leukosit manusia
(human leukocyte antigen/ HLA) DRB 1. Faktor lingkungan yang berperan adalah
infeksi virus Epstein Barr (EBV), rendahnya kadar vitamin D dan kebiasaan
merokok. MS bisa mengenai otak, saraf optikus, dan sumsum tulang belakang. (
Pirko et al, 2007; Ropper et al, 2014).
3.1.1.3 Patofisiologi
Penyakit MS dimulai dengan adanya kontak dengan faktor pemicu (agen
infeksi) yang menyebabkan sistem imun mengaktivasi kondisi autoreaktifitas melalui
aktivasi sel T CD4 (+) di sirkulasi sistemik. Sel T CD4 (+) ini dengan bantuan IL-23
kemudian berdiferensiasi menjadi sel T helper (Th17) yang selanjutnya memproduksi
IL-17. Sel T helper memicu sitokin proinflamasi yang mengaktivasi reseptor molekul
adhesi endotel pembuluh darah otak sehingga sawar darah mudah dilalui oleh sel T
(Estiasari, 2017; Grigoriadis et al, 2015).
Di SSP, Sel T bereaksi dengan autoantigen seperti myelin dan oligodendrosit
melalui mekanisme molekular mimikri. Produksi sejumlah sitokin proinflamasi pada
5
peradangan antara lain TNP- dan nitric oxide diketahui dapat menimbulkan lisis
oligodendrosit, disrupsi selubung mielin, & peroksidasi lipid yang dapat
menimbulkan kerusakan myelin & plaque sklerotik (Estiasari 2017;Grigoriadis et al,
2015).
.
Gambar 6 Patofisiologi multiple sclerosis (Grigoriadis et al,2015)
3.1.1.5 Klasifikasi
MS diklasifikasikan menjadi 4 kelompok yakni: (Polman et al,2011; Estiasari
2017)
1. Relapsing Remitting MS (RRMS)
Sekitar 85% pasien MS memiliki tipe RRMS. Tipe ini ditandai dengan
episode relaps yang diikuti dengan episode remisi (perbaikan).
6
SPMS merupakan bentuk lanjut dari RRMS yang berkembang progresif,
episode remisi makin berkurang dan gejala menjadi makin progresif.
3.1.1.6 Diagnosis
Kriteria diagnostic MS adalah kriteria McDonald revisi tahun 2010. Diagnosis
MS perlu dipikirkan apabila didapatkan gejala-gejala neurologis dengan episode
remisi dan eksaserbasi ataupun progresif. (Fabian et al 2016, Grigoriadis et al, 2015).
7
Atau
Adanya lesi baru pada T2/ penyengatan kontras yang dilakukan
pada saat follow up, tanpa melihat waktu pelaksanaan MRI
sebelumnya.
1 serangan, terdapat bukti klinis DIS dan DIT
untuk 1 lesi (clinically isolated DIS: pada MRI didapatkan ≥1 lesi pada minimal 2 dari 4 area
syndrome) tipikal MS yaitu periventrikuler, jukstakortikal, infratentorial &
medulla spinalis.
DIT:
Terdapatnya lesi asimtomatik yang menyangat/ tidak menyangat
kontras
Atau
Adanya lesi baru pada T2/ menyangat kontras pada MRI yang
dilakukan pada saat follow up, tanpa melihat waktu pelaksanaan
MRI sebelumnya.
Gejala neurologis progresif Progresivitas penyakit dalam satu tahun terakhir
yang menyerupai MS (Primary Ditambah dua dari tiga kriteria:
Progressive MS) 1. DIS pada otak ≥1, berdasarkan potongan T2 minimal 1 area
khas MS (periventrikuler, jukstakortikal atau infratentorial)
2. Terdapat DIS pada medulla spinalis ≥2
3. Terdapatnya hasil positif LCS pada cairan serebrospinal
(oligoclonal band dan atau peningkatan IgG).
Pemeriksaan MRI
• DIS (Disseminated Lesion in Space)
tampak pada potongan T2 setidaknya pada 2 dari 4 area:
1. Periventrikular 2. Jukstakortikal 3. Infratentorial 4. Medulla spinalis
• Penyangatan terhadap kontras tidak dibutuhkan lagi. Jika terdapat gejala batang otak atau medulla
spinalis, lesi simtomatik ini dieksklusi dari kriteria dan tidak dihitung.
DIT (Dissemination Lesion in Time) dapat ditegakkan apabila:
1. Terdapat lesi baru pada potongan T2 atau lesi baru yang menyangat kontras pada MRI yang
dilakukaan saat follow up, yang dibandingkan dengan MRI sebelumnya, tanpa melihat waktu
pelaksanaan MRI awal.
2. Terdapatnya lesi lain yang asimtomatik, baik yang menyangat gadolinium atau yang tidak
menyangat gadolinium kapan saja.
3.1.1.7 Penatalaksanaan
Tatalaksana MS terbagi atas terapi relaps dan terapi jangka panjang.
Pengobatan relaps dilakukan dengan pemberian metilprednisolon 500-1000 mg IV
8
selama 3-5 hari. Pasien yang telah terdiagnosis MS sesegera mungkin diberikan
disease modifying drug (DMD) untuk memperlambat progresivitas penyakit
(Estiasari,2017; Rio,2011).
Terapi DMD pada MS terdiri dari Interferon Beta, Glatiramer asetat,
Fingolimod, Natalizumab dan Mitoxantrone. Pasien RRMS direkomendasikan untuk
mendapatkan terapi Interferon Beta, baik jenis Interferon Beta 1a maupun 1b. Tipe
SPMS juga direkomendasikan untuk mendapatkan terapi Interferon Beta.
(Estiasari,2017; Rio,2011).
Fingolimod diindikasikan untuk tipe aktif RRMS. Fingolimod juga menjadi
pilihan apabila pengobatan RRMS dengan interferon beta tidak memberikan hasil
yang memuaskan. Fingolimod bekerja dengan cara berikatan dengan alfa 4/ beta 1
integrin limfosit dan monosit aktif dan menghambat adhesi sel dan migrasi leukosit
melewati sawar darah otak. Natalizumab merupakan suatu antibodi monoklonal yang
diberikan pada kasus-kasus MS yang agresif. Pada kasus RRMS yang tidak
memberikan hasil optimal dengan Interferon Beta, Glatiramer asetat maupun
Fingolimod maka terapi dapat dialihkan ke Natalizumab. (Estiasari,2017; Rio et al,
2011). Mitoxantrone direkomendasikan pada RRMS yang sangat aktif atau SPMS
yang sangat progresif yang tergolong dalam obat lini ke 3 dalam terapi MS. Untuk
tipe PPMS hingga saat ini tidak ada terapi yang direkomedasikan. (Estiasari,2017;
Rio et al, 2011).
9
3.1.2.2 Etiologi
Etiologi yang mendasari NMO adalah idiopatik dengan proses autoimun.
Predisposisi yang utama termasuk penyakit pulmonar TB, SLE, infeksi virus
varicella, HIV ( Cree, 2019; Ropper et al, 2014).
3.1.2.3 Patofisiologi
AQP4 merupakan protein transmembrane yang secara selektif mengatur
transport air pada sel tertentu di otak. IgG-AQP4 akan berikatan dengan podosit
astrosit dan mengaktifkan komplemen. Aktivasi komplemen memicu aktivasi
makrofag, pelepasan sitokin, dan oksigen radikal bebas oligodendrosit (Graber, 2008;
Estiasari,2017). Infiltrasi eusinofil dan neutrofil menghasilkan protein granul
sitotoksik. menyebabkan sitotoksisitas dependen komplemen (complement-
dependent-citotoxicity/CDC), inflitrasi leukosit, pelepasan sitokin, dan kerusakan
sawar darah otak. (Graber, 2008; Estiasari,2017; Papadopoulos, 2014).
10
pandang, hilangnya penglihatan yang permanen (satu / dua mata). (Fabian et al, 2016;
Cree,2019).
Gejala terkait spinal cord termasuk gangguan motoris dan sensoris, gangguan
sfingter atau seksual. Mielitis yang disebabkan NMO, sering disertai MT menyeluruh
dengan problematika berjalan (berupa tetraplegia /paraplegia), disfungsi sfingter
tingkat sensoris, nyeri dan spasme tonik paroksismal di tubuh dan ekstremitas.
(Fabian et al, 2016, Ropper et al,2014).
NMO menunjukkan gejala-gejala batang otak lain yaitu mual, vertigo dan
gangguan vestibuler, nistagmus, hilang pendengaran, kelemahan (otot) wajah atau
paralisis fasial, nyeri wajah atau dysestesia, neuralgia trigeminal, diplopia, miosis,
ptosis, dan ataksia (Fabian,2016; Cree,2019).
3.1.2.5 Diagnosis
Penegakan diagnosis NMO dilakukan dengan penilaian gejala dan tanda klinis
sesuai kriteria diagnosis (Fabian,2016; Cree,2019).
11
1. Neuritis optik akut: membutuhkan gambaran MRI.
(a) Gambaran normal atau hanya lesi white matter non spesifik,atau
(b) Lesi pada nervus optikus dengan hiperintens pada T2 atau T1 dengan gadolinium yang
menyengat memanjang melebihi setengah dari nervus optikus atau melibatkan kiasma
optikus
2. Mielitis akut membutuhkan gambaran lesi MRI yang memanjang lebih dari tiga segmen
vertebra (LETM) atau lebih dari tiga segmen atrofi fokal medula spinalis pada pasien
dengan riwayat yang sesuai dengan mielitis akut.
3. Sindroma area postrema: membutuhkan lesi area postrema atau dorsal medula yang
sesuai.
4. Sindrom batang otak akut: membutuhkan lesi batang otak periependimal yang sesuai.
3.1.2.6 Penatalaksanaan
Terapi kortikosteroid intravena merupakan terapi fase akut yaitu
metilprednisolon 1 gram/hari untuk 3-5 hari, dan bila gejala tidak membaik
dilanjutkan dengan terapi plasmafaresis berselang hari selama 5 kali. Terapi
imunosupresan merupakan terapi pilihan untuk terapi rumatan mencegah terjadinya
relaps. Terapi target yang saat ini sedang dikembangkan adalah pemberian inhibitor
komplemen antibodi monoklonal (Eculizumab) dan antibodi monoklonal dengan
afinitas tinggi ke AQP4 (Estiasari, 2017; Leary et al 2016).
12
3.1.3 Acute Disseminated Encephalomyelitis
3.1.3.1 Definisi
Acute disseminated encephalomyelitis (ADEM) merupakan salah satu penyakit
demielinasi inflamasi idiopatik pada SSP yang diperantarai oleh sistem imun & sering
muncul setelah infeksi atau vaksinasi. ( Fabian et al,2016, Love, 2006).
3.1.3.2 Etiologi
Infeksi yang paling sering menimbulkan ADEM merupakan infeksi viral,
antara lain cytomegalovirus, Epstein-Barr virus, HSV, HHV-6, HIV dll (Anilkumar,
2021,Fabian). Meskipun demikian, infeksi bakteri juga dapat mencetuskan terjadinya
ADEM ( Fabian et al,2016, Love, 2006).
3.1.3.3 Patofisiologi
ADEM merupakan hasil dari respons autoimun terhadap antigen mielin, yang
mungkin terjadi akibat molecular mimicry yang autoreaktif. Hal tersebut terjadi
karena myelin memiliki kemiripan struktur dengan komponen antigen dari patogen
yang menginfeksi pejamu. Pejamu yang sebelumnya telah terinfeksi patogen
membentuk respon imun dan menghasilkan antibodi yang juga bereaksi silang
dengan antigen mielin dan menghasilkan respon autoimun. (Garg,2003; Kamate,2010)
Sitokin proinflamasi berperan dalam pathogenesis ADEM. Faktor kerentanan
genetik menjelaskan mengapa komplikasi ensefalomyelitis dijumpai hanya pada
sejumlah kecil pasien yang mendapat infeksi atau imunisasi. Gen HLA kelas II memiliki
pengaruh yang paling signifikan. Nitric oxide juga tampaknya memperantarai kematian
oligodendrosit. Mekanisme lainnya mencakup stress oksidatif yang menyebabkan
kematian prematur dari oligodendrosit dan eksitoksisitas (Garg,2016; kamate,2010).
13
Gambar 9 Patofisiologi ADEM (Garg et al,2016)
3.1.3.5 Diagnosis
Diagnosis ADEM harus dipertimbangkan pada pasien dengan gejala dan tanda
klinis yang sesuai dengan penyakit demielinasi dengan onset akut atau sub akut. (Krupp
et al,2007; Young et al,2008).
14
Tabel 3 Kriteria diagnosis ADEM (Minagar et al,2017)
1. Ensefalopati subakut (penurunan kesadaran, perubahan kesadaran atau gangguan kognitif).
2. Berkembang dalam kurun waktu 1 minggu sampai 3 bulan . Timbul gejala baru yang meliputi
sindrom demielinisasi fokal atau multifokal seperti neuritis optika atau mielitis dala 3 bulan
pertama setelah onset. Gejala baru tidak dipisahkan oleh suatu periode remisi komplit dari gejala
awal.
3. Disertai dengan perbaikan meskipun gejala sisa berupa defisit neurologi masih tetap ada.
4. Gambaran MRI terutama memperlihatkan lesi substansia alba yang sesuai dengan klinis yang
bersifat
a. Akut.
b. Multiple, jarang berbentuk lesi soliter yang besar.
c. Di supra atau infratentorial atau keduanya.
d. Umumnya salah satu lesi berukuran cukup besar(diameter 1-2 cm).
e. Tidak selalu menyangat kontras(penyangatan kontras bukan suatu keharusan).
f. Dapat disertai dengan lesi ganglia basalis tetapi bukan suatu keharusan.
3.1.3.6 Penatalaksanaan
Metilprednisolon IV dosis tinggi (10–30 mg/kg/hari, maksimal 1 g/hari selama
3–5 hari) merupakan pilihan pertama yang digunakan untuk tatalaksana ADEM,
terutama diindikasikan untuk bentuk klinis dengan gangguan kesadaran yang berat,
keterlibatan nervus optikus atau medula spinalis.
15
DAFTAR PUSTAKA
Cree, B.A.C. 2019. Current Diagnosis and Treatment Neurology Third Edition. New
York: Mc Graw Hill Medical.250-276.
Dobson, R. and Giovannoni, G. 2019. Multiple sclerosis–a review. European journal
of neurology.26 :27-40.
Estiasari, R. 2017. Buku Ajar Neurologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 258-264
Fabian, M.T, Krieger, C.S and Lublin, F. D. 2016. Bradley’s Neurology in Clinical
Practice: 1159-1184
Garg, R.K. 2003. Acute disseminated encephalomyelitis. Postgrad Med J. 79:11–7.
Garg, R.K., Malhotra, H.S and Kumar, N. 2016. Multiple Sclerosis a Mechanistic
View. Elsevier. 201-209.
Graber, et al. 2008. Neuromyelitis optica pathogenesis and aquaporin 4. Journal of
Neuroinflammation. 5:22.
Grigoriadis, N. and Pesch, V.V.2015. A basic overview of multiple sclerosis.
immunopathology. European Journal of Neurology . 22 : 3–13
Hall, J. E. 2016. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. Philadelphia:
Elsevier. 105-110
Jacob, A. 2009. Neuromyelitis Optica. Journal of Indian Academy of Neurology.
4:231-237
Kamate, M. et al. 2010. Central Nervous System Inflammatory Demyelinating Disorders
of Childhood. Ann Indian Acad Neurol. 13 (4): 289-92
Kamil, K., Yazid, M. D., Idrus, R. B. H., Das, S. and Kumar, J. 2019. Peripheral
demyelinating diseases: from biology to translational medicine. Frontiers in
neurology, 87.
Kettenmann, H. 2016. Gray's Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical Practice.
41st ed. Philadelphia. Elsevier: 42-68
Krupp, L.B., Banwell, B and Tenembaum, S. 2007. Consensus Definitions Proposed
for Pediatric Multiple Sclerosis and Related Disorders. Neurology. 68 (2):2-12.
16
Lalan, S, et al. 2012. of Differentiation Neuromyelitis Optica from Multiple Sclerosis
on Spinal Magnetic Resonance Imaging. Int J MS Care. 14:209-14.
Leary, S., Giovannoni, G., Howard,R.,Miller, D. and Thompson, A. 2016. Multiple
Sclerosis and Demyelinating Diseases in Neurology A Queen Square
Textbook. 2;475- 6.
Leray, E., Moreau, T., Fromont, A. and Edan, G. 2016. Epidemiology of multiple
sclerosis. Revue neurologique, 172, 3-13.
Love, S. 2006. Demyelinating diseases. Journal of clinical pathology, 59, 1151-1159.
Mathew, A. 2011. Acute disseminated encephalomyelitis: Treatment guidelines.
Annals of Indian Academy of Neurology.14(1):60–4.
Mescher, A. L. 2013. Junqueira's Basic Histology: Text and Atlas, Philadelphia, PA,
McGraw-Hill Medical 13th ed. New York. 96-102
Minagar,A and Alexander, J.S.2017. Inflammatory Disorders of the nervous system:
pathogenesis,immunology, and clinical management. Human Press. New
York:161-170.
Nave, K.-A and Werner, H. B. 2014. Myelination of the nervous system: mechanisms
and functions. Annual review of cell and developmental biology, 30, 503-533.
Papadopoulos, M.C, et al. 2014. Treatment of neuromyelitis optica: state-of-the-art
and emerging therapies. Nat Rev Neurol. 10:493–506.
Pirko, I and Noseworthy, J. H. 2007. Textbook of Clinical Neurology. Philadelphia.
Elsevier. 341-354
Poitelon, Y, Kopec, A. M and Belin, S. 2020. Myelin fat facts: an overview of lipids
and fatty acid metabolism. Cells. 9: 812.
Polman, C.H. et al. 2011. Diagnostic criteria for multiple sclerosis : 2010 revisions to
the McDonald criteria. Ann Neurol . 69:292-302.
Rahmlow, M. R and Kantarci, O. 2013. Fulminant demyelinating diseases. The
Neurohospitalist, 3: 81-91.
Rıo, J., Comabella, M and Montalban X. 2011. Multiple sclerosis: current treatment
algorithms. Current Opinion in Neurology.24:230-7
17
Ropper,A.H. and Samuels, M.A. 2014. Adams and Victor’s Principles of Neurology
Tenth Edition. Mc Graw Hill Medical. 1470-83.
Snell, R.S. 2011. Neuroanatomi Klinik Edisi 7. Jakarta: EGC. 73-77
Sherwood, L. 2013. Introduction to Human Physiology Eight Edition. Canada:
Nelson education. 109-110
Tenembaum, S., Chitnis, T., Ness, J. and Hahn, J.S. 2007. Acute disseminated
encephalomyelitis. Neurology. 68(2):23–36
Young, N.P, Weishenker, B.G and Lucchinetti, C.F. 2008. Acute Disseminated
Encephalomyelitis: Current Understanding and Controversies. Semin Neurol.
28(1):84-94.
18