Anda di halaman 1dari 23

Referat Kepada Yth.

Penyakit Demielinisasi Inflamasi Pada Sistem Saraf Pusat

Oleh :
Presentan : dr. Istiqomah
Pembimbing : dr. Syarif Indra, Sp.S (K)
Moderator : dr. Fanny Adhy Putri, Sp.N
Opponent : dr. Rahmi Ulfa
dr. Rizki Muhammad Rananda
Hari/Tanggal : Senin, 19 April 2021

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS NEUROLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL
PADANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT berkat rahmat-Nya penulis
dapat menyelesaikan penulisan referat yang berjudul Penyakit Demielinisasi
Inflamasi Pada Sistem Saraf Pusat yang merupakan salah satu kewajiban dalam
pelaksanaan kurikulum Program Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Syarif
Indra, Sp.S(K) selaku pembimbing dalam penulisan referat ini, dr. Restu Susanti,
Sp.S(K),M.Biomed selaku Ketua Program Studi (KPS) Neurologi, dan Dr.dr.Yuliarni
Syafrita, Sp.S(K) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menuntut
ilmu di Bagian Neurologi ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada seluruh staf pengajar Bagian Neurologi, Prof. Dr. dr. Darwin Amir, Sp.S (K),
dr. Hendra Permana, Sp.S(K), dr. Dedi Sutia,Sp.N(K) FINA, dr. Fanny Adhy Putri,
Sp.N dan dr.Reno Bestari, Sp.N yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam
pendidikan. Tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan – rekan
peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi.
Penulis menyadari bahwa referat ini jauh dari sempurna dan membutuhkan
banyak perbaikan serta masukan dari segala pihak. Untuk itu, penulis mengharapkan
saran dan masukan demi perbaikan referat ini.

Padang, 13 April 2021

dr. Istiqomah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. i


DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. iii
DAFTAR TABEL ...................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
BAB II ANATOMI DAN HISTOLOGI SELUBUNG MIELIN SISTEM SARAF
PUSAT .......................................................................................................................... 2
2.1. Anatomi dan Histologi Selubung Mielin ........................................................... 2
2.2 Proses pembentukan mielin pada sistem saraf pusat ...................................... 3
2.3 Fisiologi Impuls Saraf .................................................................................... 4
BAB III PENYAKIT DEMIELINASI INFLAMASI PADA SISTEM SARAF
PUSAT.......................................................................................................................... 5
3.1. Penyakit demielinasi inflamasi pada sistem saraf pusat ................................. 5
3.1.1 Multiple Sclerosis ....................................................................................... 5
3.1.2 Neuromyelitis optica ................................................................................... 9
3.1.3 Acute Disseminated Encephalomyelitis .................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 16

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Anatomi Serabut Saraf Mielin pada SPP dan SST ..................................... 2
Gambar 2 Histologi Sitoplasma Akson, Selubung Mielin, dan Sel Schwann ............. 3
Gambar 3 Patofisiologi multiple sclerosis ................................................................... 6
Gambar 4 Klasifikasi multiple sclerosis ...................................................................... 7
Gambar 5 Patofisiologi NMO.................................................................................... 10
Gambar 6 Patofisiologi ADEM ................................................................................. 14

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Kriteria McDonald revisi tahun 2010 .............................................................. 7


Tabel 2 Kriteria Diagnosis NMOSD .......................................................................... 11
Tabel 3 Kriteria diagnosis ADEM .............................................................................. 15

iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Selubung mielin merupakan salah satu komponen esensial dalam sistem saraf
manusia. Selubung mielin berfungsi sebagai insulator pada akson sehingga transmisi
potensial aksi terjadi secara saltatory conduction. Terdapat kondisi yang mengganggu
integritas maupun fungsi selubung mielin pada manusia yang dikenal sebagai
kelainan demielinisasi baik di sistem saraf pusat (SSP) maupun sistem saraf tepi
(SST) (Hall et al,2016; Ropper et al,2014).
Penyakit demielinisasi inflamasi pada SSP terdiri dari multiple sclerosis (MS),
neuromyelitis optica, acute disseminated encephalomielitis dan acute hemmoragic
encephalomielitis. MS merupakan penyakit selubung mielin inflamasi pada SSP
dengan insidensi mulai dari 2/100.000 penduduk di Afrika sub-Sahara hingga
100/100.000 penduduk di Amerika Utara dan Eropa (Leray,2016; Love,2006).
Penyakit demielinisasi inflamasi ditandai dengan kerusakan mielin, infiltrasi sel-
sel inflamasi dan mengenai substansia alba. Penyakit selubung mielin bervariasi dari
self-limiting, hingga kondisi yang dapat menimbulkan kematian (Ropper et al,2014;
Fabian et al,2016).

1.2 Tujuan
Referat ini bertujuan untuk memberikan gambaran umum mengenai anatomi dan
histologi selubung mielin serta penyakit inflamasi yang dapat menimbulkan
gangguan atau kerusakan terhadap selubung mielin pada sistem saraf pusat. Sumber
diambil dari berbagai literatur yaitu: berbagai referensi berupa buku teks, jurnal, dan
artikel ilmiah.

1
BAB II
ANATOMI DAN HISTOLOGI SELUBUNG MIELIN
SISTEM SARAF PUSAT

2.1. Anatomi dan Histologi Selubung Mielin


Selubung mielin pada SSP dibentuk oleh oligodendrosit, sedangkan pada
SST, mielin dibentuk oleh sel Schwann. Selubung mielin melapisi hampir seluruh
akson yang memiliki diameter > 2 μm. Serabut saraf yang bermielin di SSP
dinamakan substansia alba. Serabut yang tidak bermielin disebut substansia grisea.
(Sherwood 2013; Hall 2016)

Gambar 1 Anatomi Serabut Saraf Mielin pada SPP dan SST

Lapisan mielin pada akson mengalami terminasi pada interval-interval teratur,


yang dikenal sebagai nodus ranvier, di mana membran akson terpapar terhadap
lingkungan ekstraseluler dan berfungsi untuk melanjutkan potensial aksi.
(Kettenmann, 2016; Hall et al,2016)
Area juxtaparanodal memiliki sejumlah besar kanal kalium serta protein
Caspr2. Pada area paranodal, selubung mielin terpisah dan membentuk paranodal
cytoplasmic loop yang membentuk invaginasi dan menutupi akson. Area tersebut

2
juga mengandung sejumlah besar protein Caspr, contactin, dan neurofascin 155
(NF155). ( Hall et al,2016; Kettenmann, 2016).

Gambar 2 Histologi Sitoplasma Akson, Selubung Mielin, dan Sel Schwann (Kettenmann, 2016)

Densitas kanal natrium tertinggi di axolemma ditemukan pada nodus Ranvier,


sedangkan membran internodal hampir tidak memiliki kanal natrium. Kanal kalium
cepat ditemukan pada area paranodal. Pada mikroskopi elektron, selubung mielin
tampak sebagai lapisan-lapisan membran konsentris. (Kettenmann,
2016;Mesher,2013)

Gambar 3 Tampilan Mikroskopi Elektron Akson & Selubung Mielin (Mescher, 2013)

2.2 Proses pembentukan mielin pada sistem saraf pusat


Pada SSP, oligodendrosit berperan dalam membentuk selubung mielin. Proses
mielinisasi pada SSP terjadi karena perpanjangan prosesus oligodendrosit yang
membungkus akson. ( Snell, RS 2018; Poitelon 2020).

3
Gambar 4 Pembentukan Selubung Mielin pada SSP (Snell,2018)

2.3 Fisiologi Impuls Saraf


Selubung mielin berfungsi dalam konduksi potensial aksi. Selubung mielin
mencegah aliran ion natrium dan ion kalium dari dalam akson melintasi membran
neuronal, impuls berjalan dengan cara meloncat dari nodus ke nodus yang lain yang
dinamakan konduksi saltatorik. (Hall,2016; Nave et al,2014).

Gambar 5 Transmisi impuls pada serabut saraf bermielin (Hall et al, 2016)

Potensial aksi timbul hanya pada nodus & dikonduksikan dari nodus ke
nodus. Secara teoretis, pembatasan konduksi potensial aksi pada setiap nodus ranvier
juga menghemat energi organisme, dengan mengurangi kebutuhan pertukaran ion
Na+/K+ untuk menjaga resting potential. (Hall et al, 2016; Sheerwood,2013)

4
BAB III
PENYAKIT DEMIELINASI INFLAMASI PADA SISTEM SARAF PUSAT

3.1. Penyakit demielinasi inflamasi pada sistem saraf pusat


3.1.1 Multiple Sclerosis
3.1.1.1 Definisi
Multiple sclerosis (MS) adalah suatu penyakit autoimun berupa inflamasi
kronik pada sistem saraf pusat yang menyebabkan gangguan transmisi konduksi saraf
umumnya timbul pada kelompok usia 15-50 tahun serta lebih sering menyerang
perempuan dibandingkan laki-laki dengan rasio 2:1. MS ditandai oleh inflamasi pada
sistem saraf pusat yang melibatkan substantia alba, bersifat progresif.
(Estiasari,2017; Fabian et al,2016).

3.1.1.2 Etiologi
Faktor autoimun, genetik dan lingkungan merupakan sejumlah faktor penting
terjadinya MS. Faktor genetiknya adalah perubahan pada antigen leukosit manusia
(human leukocyte antigen/ HLA) DRB 1. Faktor lingkungan yang berperan adalah
infeksi virus Epstein Barr (EBV), rendahnya kadar vitamin D dan kebiasaan
merokok. MS bisa mengenai otak, saraf optikus, dan sumsum tulang belakang. (
Pirko et al, 2007; Ropper et al, 2014).

3.1.1.3 Patofisiologi
Penyakit MS dimulai dengan adanya kontak dengan faktor pemicu (agen
infeksi) yang menyebabkan sistem imun mengaktivasi kondisi autoreaktifitas melalui
aktivasi sel T CD4 (+) di sirkulasi sistemik. Sel T CD4 (+) ini dengan bantuan IL-23
kemudian berdiferensiasi menjadi sel T helper (Th17) yang selanjutnya memproduksi
IL-17. Sel T helper memicu sitokin proinflamasi yang mengaktivasi reseptor molekul
adhesi endotel pembuluh darah otak sehingga sawar darah mudah dilalui oleh sel T
(Estiasari, 2017; Grigoriadis et al, 2015).
Di SSP, Sel T bereaksi dengan autoantigen seperti myelin dan oligodendrosit
melalui mekanisme molekular mimikri. Produksi sejumlah sitokin proinflamasi pada

5
peradangan antara lain TNP-  dan nitric oxide diketahui dapat menimbulkan lisis
oligodendrosit, disrupsi selubung mielin, & peroksidasi lipid yang dapat
menimbulkan kerusakan myelin & plaque sklerotik (Estiasari 2017;Grigoriadis et al,
2015).

.
Gambar 6 Patofisiologi multiple sclerosis (Grigoriadis et al,2015)

3.1.1.4 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis yang paling sering terjadi pada MS antara lain depresi,
kelelahan, disfungsi kognitif, spastisitas, nyeri, gangguan BAB dan BAK, disfungsi
ereksi dan gangguan penglihatan. Gejala lainnya tremor, ataksia, vertigo, kelemahan
otot, gangguan sensorik dan gangguan gerak. Manifestasi MS bersifat hilang timbul,
dengan periode relaps yang diselingi periode remisi. (Estiasari, 2017; Fabian et al,
2016 ).

3.1.1.5 Klasifikasi
MS diklasifikasikan menjadi 4 kelompok yakni: (Polman et al,2011; Estiasari
2017)
1. Relapsing Remitting MS (RRMS)
Sekitar 85% pasien MS memiliki tipe RRMS. Tipe ini ditandai dengan
episode relaps yang diikuti dengan episode remisi (perbaikan).

2. Secondary Progressive MS (SPMS)

6
SPMS merupakan bentuk lanjut dari RRMS yang berkembang progresif,
episode remisi makin berkurang dan gejala menjadi makin progresif.

3. Primary Progressive MS (PPMS)


PPMS yang timbul tidak pernah mengalami fase remisi.

4. Primary Relapsing MS (PRMS)


Pasien terus mengalami perburukan dengan beberapa episode eksaserbasi
diantaranya. Tidak ada fase remisi atau bebas dari gejala.

Gambar 7 Klasifikasi multiple sclerosis (Polman et al,2011)

3.1.1.6 Diagnosis
Kriteria diagnostic MS adalah kriteria McDonald revisi tahun 2010. Diagnosis
MS perlu dipikirkan apabila didapatkan gejala-gejala neurologis dengan episode
remisi dan eksaserbasi ataupun progresif. (Fabian et al 2016, Grigoriadis et al, 2015).

Tabel 1 Kriteria McDonald revisi tahun 2010 (Fabian 2016)


Data tambahan yang dibutuhkan untuk menegakkan
Gejala Klinis
diagnosis
≥2 serangan; terdapat bukti  Tidak ada.
klinis ≥2 lesi atau 1 lesi dengan  Jika dilakukan MRI & tidak ditemukan lesi yang sesuai dengan
riwayat serangan sebelumnya MS, maka diagnosis MS perlu dievaluasi kembali.
≥2 serangan; terdapat bukti DIS (Dissemination in Space):
klinis 1 lesi Pada gambaran MRI didapatkan ≥1 lesi pada minimal 2 dari 4
area tipikal MS yaitu periventrikuler, jukstakortikal,
infratentorial dan medulla spinalis.
1 serangan, terdapat bukti klinis DIT (Dissemination in Time):
≥2 lesi  Terdapatnya lesi lain asimtomatik yang menyangat atau tidak
menyangat kontras

7
Atau
 Adanya lesi baru pada T2/ penyengatan kontras yang dilakukan
pada saat follow up, tanpa melihat waktu pelaksanaan MRI
sebelumnya.
1 serangan, terdapat bukti klinis DIS dan DIT
untuk 1 lesi (clinically isolated DIS: pada MRI didapatkan ≥1 lesi pada minimal 2 dari 4 area
syndrome) tipikal MS yaitu periventrikuler, jukstakortikal, infratentorial &
medulla spinalis.
DIT:
Terdapatnya lesi asimtomatik yang menyangat/ tidak menyangat
kontras
Atau
Adanya lesi baru pada T2/ menyangat kontras pada MRI yang
dilakukan pada saat follow up, tanpa melihat waktu pelaksanaan
MRI sebelumnya.
Gejala neurologis progresif Progresivitas penyakit dalam satu tahun terakhir
yang menyerupai MS (Primary Ditambah dua dari tiga kriteria:
Progressive MS) 1. DIS pada otak ≥1, berdasarkan potongan T2 minimal 1 area
khas MS (periventrikuler, jukstakortikal atau infratentorial)
2. Terdapat DIS pada medulla spinalis ≥2
3. Terdapatnya hasil positif LCS pada cairan serebrospinal
(oligoclonal band dan atau peningkatan IgG).
Pemeriksaan MRI
• DIS (Disseminated Lesion in Space)
tampak pada potongan T2 setidaknya pada 2 dari 4 area:
1. Periventrikular 2. Jukstakortikal 3. Infratentorial 4. Medulla spinalis
• Penyangatan terhadap kontras tidak dibutuhkan lagi. Jika terdapat gejala batang otak atau medulla
spinalis, lesi simtomatik ini dieksklusi dari kriteria dan tidak dihitung.
DIT (Dissemination Lesion in Time) dapat ditegakkan apabila:
1. Terdapat lesi baru pada potongan T2 atau lesi baru yang menyangat kontras pada MRI yang
dilakukaan saat follow up, yang dibandingkan dengan MRI sebelumnya, tanpa melihat waktu
pelaksanaan MRI awal.
2. Terdapatnya lesi lain yang asimtomatik, baik yang menyangat gadolinium atau yang tidak
menyangat gadolinium kapan saja.

Pemeriksaan penunjang dalam penegakkan diagnosis MS yaitu pungsi lumbal


dan MRI. Pada LCS didapatkan peningkatan IgG atau ditemukannya pita oligoklonal
yang menunjukkan proses demielinisasi akibat inflamasi. (Estiasari, 2017; Leary et
al, 2016). Pada MRI kepala dapat ditemukan lesi hiperintens di periventrikular,
jukstakortikal, infratentorial, dan medula spinalis. Sekuens T2 mampu mendeteksi
lesi diinfratentorial.(Estiasari, 2017; Lalan et al, 2012).

3.1.1.7 Penatalaksanaan
Tatalaksana MS terbagi atas terapi relaps dan terapi jangka panjang.
Pengobatan relaps dilakukan dengan pemberian metilprednisolon 500-1000 mg IV

8
selama 3-5 hari. Pasien yang telah terdiagnosis MS sesegera mungkin diberikan
disease modifying drug (DMD) untuk memperlambat progresivitas penyakit
(Estiasari,2017; Rio,2011).
Terapi DMD pada MS terdiri dari Interferon Beta, Glatiramer asetat,
Fingolimod, Natalizumab dan Mitoxantrone. Pasien RRMS direkomendasikan untuk
mendapatkan terapi Interferon Beta, baik jenis Interferon Beta 1a maupun 1b. Tipe
SPMS juga direkomendasikan untuk mendapatkan terapi Interferon Beta.
(Estiasari,2017; Rio,2011).
Fingolimod diindikasikan untuk tipe aktif RRMS. Fingolimod juga menjadi
pilihan apabila pengobatan RRMS dengan interferon beta tidak memberikan hasil
yang memuaskan. Fingolimod bekerja dengan cara berikatan dengan alfa 4/ beta 1
integrin limfosit dan monosit aktif dan menghambat adhesi sel dan migrasi leukosit
melewati sawar darah otak. Natalizumab merupakan suatu antibodi monoklonal yang
diberikan pada kasus-kasus MS yang agresif. Pada kasus RRMS yang tidak
memberikan hasil optimal dengan Interferon Beta, Glatiramer asetat maupun
Fingolimod maka terapi dapat dialihkan ke Natalizumab. (Estiasari,2017; Rio et al,
2011). Mitoxantrone direkomendasikan pada RRMS yang sangat aktif atau SPMS
yang sangat progresif yang tergolong dalam obat lini ke 3 dalam terapi MS. Untuk
tipe PPMS hingga saat ini tidak ada terapi yang direkomedasikan. (Estiasari,2017;
Rio et al, 2011).

3.1.2 Neuromyelitis optica


3.1.2.1 Definisi
Neuromyelitis optica (NMO) merupakan penyakit autoimun yang
menyebabkan demielinisasi berat terutama pada nervus optikus dan medula spinalis.
NMO terjadi lebih banyak pada wanita dengan perbandingan 3:1 dan rerata usia 39
tahun (Cree,2019; Ropper et al, 2014 ).

9
3.1.2.2 Etiologi
Etiologi yang mendasari NMO adalah idiopatik dengan proses autoimun.
Predisposisi yang utama termasuk penyakit pulmonar TB, SLE, infeksi virus
varicella, HIV ( Cree, 2019; Ropper et al, 2014).

3.1.2.3 Patofisiologi
AQP4 merupakan protein transmembrane yang secara selektif mengatur
transport air pada sel tertentu di otak. IgG-AQP4 akan berikatan dengan podosit
astrosit dan mengaktifkan komplemen. Aktivasi komplemen memicu aktivasi
makrofag, pelepasan sitokin, dan oksigen radikal bebas oligodendrosit (Graber, 2008;
Estiasari,2017). Infiltrasi eusinofil dan neutrofil menghasilkan protein granul
sitotoksik. menyebabkan sitotoksisitas dependen komplemen (complement-
dependent-citotoxicity/CDC), inflitrasi leukosit, pelepasan sitokin, dan kerusakan
sawar darah otak. (Graber, 2008; Estiasari,2017; Papadopoulos, 2014).

Gambar 8 Patofisiologi NMO (Papadopoulos, 2014)

3.1.2.4 Manifestasi Klinis


Neuritis optik (NO) dan mielitis transverse (MT) adalah patognomonis NMO.
NO biasanya disertai nyeri okuler unilateral atau bilateral. Gambaran klinis lain
adalah penglihatan kabur, skotoma, atrofi/ edema optic disc, deficit / hilang lapang

10
pandang, hilangnya penglihatan yang permanen (satu / dua mata). (Fabian et al, 2016;
Cree,2019).
Gejala terkait spinal cord termasuk gangguan motoris dan sensoris, gangguan
sfingter atau seksual. Mielitis yang disebabkan NMO, sering disertai MT menyeluruh
dengan problematika berjalan (berupa tetraplegia /paraplegia), disfungsi sfingter
tingkat sensoris, nyeri dan spasme tonik paroksismal di tubuh dan ekstremitas.
(Fabian et al, 2016, Ropper et al,2014).
NMO menunjukkan gejala-gejala batang otak lain yaitu mual, vertigo dan
gangguan vestibuler, nistagmus, hilang pendengaran, kelemahan (otot) wajah atau
paralisis fasial, nyeri wajah atau dysestesia, neuralgia trigeminal, diplopia, miosis,
ptosis, dan ataksia (Fabian,2016; Cree,2019).

3.1.2.5 Diagnosis
Penegakan diagnosis NMO dilakukan dengan penilaian gejala dan tanda klinis
sesuai kriteria diagnosis (Fabian,2016; Cree,2019).

Tabel 2 Kriteria Diagnosis NMOSD (Leary et al,2016)


Kriteria diagnosis untuk NMOSD dengan AQP4-IgG
1. Minimal 1 inti kriteria karakteristik
2. Hasil AQP4-IgG positif menggunakan metode deteksi terbaik yang tersedia
3. Eksklusi dari diagnosis alternatif
Kriteria diagnosis untuk NMOSD tanpa AQP4-IgG atau NMOSD dengan status AQP4-IgG yang
belum diketahui
1. Minimal 2 inti kriteria karakteristik pada satu atau lebih serangan klinis dan
memenuhi peryaratan berikut:
a. Minimal 1 inti kriteria karakteristik adalah neuritis optik, mielitis akut dengan
b. LETM atau sindrom postrema
c. Diseminasi lokasi (2 atau lebih inti kriteria karakteristik yang berbeda)
2. Hasil AQP4-IgG positif menggunakan metode deteksi terbaik yang tersedia
3. Eksklusi dari diagnosis alternatif
Inti kriteria karakteristik
1. Neuritis optik
2. Mielitis akut
3. Sindrom area postrema: episode hiccup atau mual atau muntah yang tidak dapat
dijelaskan
4. Sindrom batang otak akut
5. Narkolepsi simtomatik atau sindrom klinis diensefalik akut dengan lesi MRI sesuai tipikal
NMOSD
6. Sindrom serebral simtomatik sesuai lesi MRI sesuai tipikal NMOSD
Tambahan persyaratan MRI pada NMOSD tanpa AQP4-IgG atau NMOSD dengan status AQP4-
IgG yang belum
diketahui

11
1. Neuritis optik akut: membutuhkan gambaran MRI.
(a) Gambaran normal atau hanya lesi white matter non spesifik,atau
(b) Lesi pada nervus optikus dengan hiperintens pada T2 atau T1 dengan gadolinium yang
menyengat memanjang melebihi setengah dari nervus optikus atau melibatkan kiasma
optikus
2. Mielitis akut membutuhkan gambaran lesi MRI yang memanjang lebih dari tiga segmen
vertebra (LETM) atau lebih dari tiga segmen atrofi fokal medula spinalis pada pasien
dengan riwayat yang sesuai dengan mielitis akut.
3. Sindroma area postrema: membutuhkan lesi area postrema atau dorsal medula yang
sesuai.
4. Sindrom batang otak akut: membutuhkan lesi batang otak periependimal yang sesuai.

Pemeriksaan cairan serebrospinal akan didapatkan adanya pleositosis ( >50


sel/mm3 ) dengan predominan neutrofil. Pita oligoklonal dapat ditemukan pada NMO
namun lebih banyak pada multiple sclerosis. (Estiasari, 2017; Cree,2019) Pada
pemeriksaan antibodi-NMO ditemukan adanya autoantibodi terhadap kanal air
aquaporin-4. Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada Cairan Serebrospinal maupun
serum. Antibodi ini memberikan sensitivitas sebesar 73% dan spesifisitas 91% untuk
pasien dengan gejala NMO.(Estiasari 2017; Leary 2016).
Pemeriksaan MRI otak ditemukan lesi di substansia alba. Distribusi lesi otak
sesuai dengan area yang memiliki ekspresi aquaporin 4 yang tinggi seperti sel
ependim, hipotalamus dan batang otak. Pemeriksaan medula spinalis memperlihatkan
lesi longitudinal pada tiga atau lebih segmen vertebra (long segmen myelophathy).
Lesi tampak hiperintens pada T2 dan hipointens pada T1. Lesi servikal dapat meluas
ke batang otak. Pada kondisi relaps akan tampak penyengatan kontras (Cree,2019;
Estiasari, 2017; Leary et al 2016)

3.1.2.6 Penatalaksanaan
Terapi kortikosteroid intravena merupakan terapi fase akut yaitu
metilprednisolon 1 gram/hari untuk 3-5 hari, dan bila gejala tidak membaik
dilanjutkan dengan terapi plasmafaresis berselang hari selama 5 kali. Terapi
imunosupresan merupakan terapi pilihan untuk terapi rumatan mencegah terjadinya
relaps. Terapi target yang saat ini sedang dikembangkan adalah pemberian inhibitor
komplemen antibodi monoklonal (Eculizumab) dan antibodi monoklonal dengan
afinitas tinggi ke AQP4 (Estiasari, 2017; Leary et al 2016).

12
3.1.3 Acute Disseminated Encephalomyelitis
3.1.3.1 Definisi
Acute disseminated encephalomyelitis (ADEM) merupakan salah satu penyakit
demielinasi inflamasi idiopatik pada SSP yang diperantarai oleh sistem imun & sering
muncul setelah infeksi atau vaksinasi. ( Fabian et al,2016, Love, 2006).

3.1.3.2 Etiologi
Infeksi yang paling sering menimbulkan ADEM merupakan infeksi viral,
antara lain cytomegalovirus, Epstein-Barr virus, HSV, HHV-6, HIV dll (Anilkumar,
2021,Fabian). Meskipun demikian, infeksi bakteri juga dapat mencetuskan terjadinya
ADEM ( Fabian et al,2016, Love, 2006).

3.1.3.3 Patofisiologi
ADEM merupakan hasil dari respons autoimun terhadap antigen mielin, yang
mungkin terjadi akibat molecular mimicry yang autoreaktif. Hal tersebut terjadi
karena myelin memiliki kemiripan struktur dengan komponen antigen dari patogen
yang menginfeksi pejamu. Pejamu yang sebelumnya telah terinfeksi patogen
membentuk respon imun dan menghasilkan antibodi yang juga bereaksi silang
dengan antigen mielin dan menghasilkan respon autoimun. (Garg,2003; Kamate,2010)
Sitokin proinflamasi berperan dalam pathogenesis ADEM. Faktor kerentanan
genetik menjelaskan mengapa komplikasi ensefalomyelitis dijumpai hanya pada
sejumlah kecil pasien yang mendapat infeksi atau imunisasi. Gen HLA kelas II memiliki
pengaruh yang paling signifikan. Nitric oxide juga tampaknya memperantarai kematian
oligodendrosit. Mekanisme lainnya mencakup stress oksidatif yang menyebabkan
kematian prematur dari oligodendrosit dan eksitoksisitas (Garg,2016; kamate,2010).

13
Gambar 9 Patofisiologi ADEM (Garg et al,2016)

3.1.3.4 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis ADEM dimulai dengan fase prodromal sebelum gejala
neurologis. Gejala neurologis dapat berupa hemiparesis, cranial nerve palsy,
paraparesis, meningismus, ataksia, gangguan cara berjalan (gait), kejang, gangguan
penglihatan, gangguan bicara, dan gagal napas akibat lesi pada batang otak. (Fabian
et al, 2016, Ropper et al,2014).
Gejala optic neuritis dapat berupa gangguan penglihatan dan nyeri saat
menggerakkan bola mata. Gejala transverse myelitis dapat berupa paralisis flaccid
kedua tungkai yang disertai gangguan sensoris. Fase penyembuhan dapat terjadi
dalam beberapa hari, dapat terjadi resolusi komplet yang dapat terjadi dalam beberapa
hari-bulan, namun bisa terjadinya relaps dari defisit neurologis (Fabian et al, 2016,
Ropper et al,2014; Minagar et al,2017)

3.1.3.5 Diagnosis
Diagnosis ADEM harus dipertimbangkan pada pasien dengan gejala dan tanda
klinis yang sesuai dengan penyakit demielinasi dengan onset akut atau sub akut. (Krupp
et al,2007; Young et al,2008).

14
Tabel 3 Kriteria diagnosis ADEM (Minagar et al,2017)
1. Ensefalopati subakut (penurunan kesadaran, perubahan kesadaran atau gangguan kognitif).
2. Berkembang dalam kurun waktu 1 minggu sampai 3 bulan . Timbul gejala baru yang meliputi
sindrom demielinisasi fokal atau multifokal seperti neuritis optika atau mielitis dala 3 bulan
pertama setelah onset. Gejala baru tidak dipisahkan oleh suatu periode remisi komplit dari gejala
awal.
3. Disertai dengan perbaikan meskipun gejala sisa berupa defisit neurologi masih tetap ada.
4. Gambaran MRI terutama memperlihatkan lesi substansia alba yang sesuai dengan klinis yang
bersifat
a. Akut.
b. Multiple, jarang berbentuk lesi soliter yang besar.
c. Di supra atau infratentorial atau keduanya.
d. Umumnya salah satu lesi berukuran cukup besar(diameter 1-2 cm).
e. Tidak selalu menyangat kontras(penyangatan kontras bukan suatu keharusan).
f. Dapat disertai dengan lesi ganglia basalis tetapi bukan suatu keharusan.

Diagnosis ADEM ditegakkan berdasarkan temuan MRI berupa demielinasi


substansia alba yang multifokal pada pasien dengan disfungsi neurologis akut setelah
periode laten yang didahului oleh infeksi sistemik. Analisa CSS pada ADEM dapat
menunjukkan pleositosis sedang, jarang melebihi 100 sel/mm3, glukosa dalam batas
normal, dan protein sedikit meningkat (Fabian et al,2016;Ropper et al,2014).
Gambaran khas MRI pada ADEM menunjukkan area-area berbercak-bercak
(patchy) yang tersebar luas, bilateral, dan asimetris yang homogen atau sedikit
inhomogen berupa peningkatan densitas pada lesi dibandingkan dengan area di
sekitarnya. ( Fabian et al 2016;Ropper et al,2014).

3.1.3.6 Penatalaksanaan
Metilprednisolon IV dosis tinggi (10–30 mg/kg/hari, maksimal 1 g/hari selama
3–5 hari) merupakan pilihan pertama yang digunakan untuk tatalaksana ADEM,
terutama diindikasikan untuk bentuk klinis dengan gangguan kesadaran yang berat,
keterlibatan nervus optikus atau medula spinalis.

15
DAFTAR PUSTAKA

Cree, B.A.C. 2019. Current Diagnosis and Treatment Neurology Third Edition. New
York: Mc Graw Hill Medical.250-276.
Dobson, R. and Giovannoni, G. 2019. Multiple sclerosis–a review. European journal
of neurology.26 :27-40.
Estiasari, R. 2017. Buku Ajar Neurologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 258-264
Fabian, M.T, Krieger, C.S and Lublin, F. D. 2016. Bradley’s Neurology in Clinical
Practice: 1159-1184
Garg, R.K. 2003. Acute disseminated encephalomyelitis. Postgrad Med J. 79:11–7.
Garg, R.K., Malhotra, H.S and Kumar, N. 2016. Multiple Sclerosis a Mechanistic
View. Elsevier. 201-209.
Graber, et al. 2008. Neuromyelitis optica pathogenesis and aquaporin 4. Journal of
Neuroinflammation. 5:22.
Grigoriadis, N. and Pesch, V.V.2015. A basic overview of multiple sclerosis.
immunopathology. European Journal of Neurology . 22 : 3–13
Hall, J. E. 2016. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. Philadelphia:
Elsevier. 105-110
Jacob, A. 2009. Neuromyelitis Optica. Journal of Indian Academy of Neurology.
4:231-237
Kamate, M. et al. 2010. Central Nervous System Inflammatory Demyelinating Disorders
of Childhood. Ann Indian Acad Neurol. 13 (4): 289-92
Kamil, K., Yazid, M. D., Idrus, R. B. H., Das, S. and Kumar, J. 2019. Peripheral
demyelinating diseases: from biology to translational medicine. Frontiers in
neurology, 87.
Kettenmann, H. 2016. Gray's Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical Practice.
41st ed. Philadelphia. Elsevier: 42-68
Krupp, L.B., Banwell, B and Tenembaum, S. 2007. Consensus Definitions Proposed
for Pediatric Multiple Sclerosis and Related Disorders. Neurology. 68 (2):2-12.

16
Lalan, S, et al. 2012. of Differentiation Neuromyelitis Optica from Multiple Sclerosis
on Spinal Magnetic Resonance Imaging. Int J MS Care. 14:209-14.
Leary, S., Giovannoni, G., Howard,R.,Miller, D. and Thompson, A. 2016. Multiple
Sclerosis and Demyelinating Diseases in Neurology A Queen Square
Textbook. 2;475- 6.
Leray, E., Moreau, T., Fromont, A. and Edan, G. 2016. Epidemiology of multiple
sclerosis. Revue neurologique, 172, 3-13.
Love, S. 2006. Demyelinating diseases. Journal of clinical pathology, 59, 1151-1159.
Mathew, A. 2011. Acute disseminated encephalomyelitis: Treatment guidelines.
Annals of Indian Academy of Neurology.14(1):60–4.
Mescher, A. L. 2013. Junqueira's Basic Histology: Text and Atlas, Philadelphia, PA,
McGraw-Hill Medical 13th ed. New York. 96-102
Minagar,A and Alexander, J.S.2017. Inflammatory Disorders of the nervous system:
pathogenesis,immunology, and clinical management. Human Press. New
York:161-170.
Nave, K.-A and Werner, H. B. 2014. Myelination of the nervous system: mechanisms
and functions. Annual review of cell and developmental biology, 30, 503-533.
Papadopoulos, M.C, et al. 2014. Treatment of neuromyelitis optica: state-of-the-art
and emerging therapies. Nat Rev Neurol. 10:493–506.
Pirko, I and Noseworthy, J. H. 2007. Textbook of Clinical Neurology. Philadelphia.
Elsevier. 341-354
Poitelon, Y, Kopec, A. M and Belin, S. 2020. Myelin fat facts: an overview of lipids
and fatty acid metabolism. Cells. 9: 812.
Polman, C.H. et al. 2011. Diagnostic criteria for multiple sclerosis : 2010 revisions to
the McDonald criteria. Ann Neurol . 69:292-302.
Rahmlow, M. R and Kantarci, O. 2013. Fulminant demyelinating diseases. The
Neurohospitalist, 3: 81-91.
Rıo, J., Comabella, M and Montalban X. 2011. Multiple sclerosis: current treatment
algorithms. Current Opinion in Neurology.24:230-7

17
Ropper,A.H. and Samuels, M.A. 2014. Adams and Victor’s Principles of Neurology
Tenth Edition. Mc Graw Hill Medical. 1470-83.
Snell, R.S. 2011. Neuroanatomi Klinik Edisi 7. Jakarta: EGC. 73-77
Sherwood, L. 2013. Introduction to Human Physiology Eight Edition. Canada:
Nelson education. 109-110
Tenembaum, S., Chitnis, T., Ness, J. and Hahn, J.S. 2007. Acute disseminated
encephalomyelitis. Neurology. 68(2):23–36
Young, N.P, Weishenker, B.G and Lucchinetti, C.F. 2008. Acute Disseminated
Encephalomyelitis: Current Understanding and Controversies. Semin Neurol.
28(1):84-94.

18

Anda mungkin juga menyukai