Anda di halaman 1dari 28

BAGIAN RADIOLOGI REFERAT DAN LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN SUBDIVISI NEURORADIOLOGI


UNIVERSITAS HASANUDDIN

ABSES CEREBRI

JASMIN FEBRIANTI HAMDANI


C112213206

PEMBIMBING:
dr. Junus Baan, SpRad
Prof. Dr. dr. Muhammad Ilyas, SpRad (K)
dr. Nurlaily Idris, SpRad (K)
Dr.dr.Mirna Muis, SpRad
dr. Dario A.Nelwan, Sp.Rad

PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS TERPADU


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016
DAFTAR ISI

I PENDAHULUAN..................................................................... 2
II INSIDENS DAN EPIDEMIOLOGI........................................... 3
III ETIOLOGI............................................................................... 3
IV ANATOMI................................................................................ 4
V PATOFISIOLOGI.................................................................... 7
VI DIAGNOSIS............................................................................. 8
1. GAMBARAN KLINIS......................................................... 8
2. PEMERIKSAAN RADIOLOGI........................................... 9
VII DIFFERENTIAL DIAGNOSIS.................................................. 16
VIII PENATALAKSANAAN........................................................... 20
IX KOMPLIKASI........................................................................... 22
X PROGNOSIS............................................................................ 22
DAFTAR PUSTAKA........................................................................... 23
LAPORAN KASUS............................................................................. 25

1
ABSES CEREBRI
Jasmin Hamdani, Junus Baan, Muh. Ilyas, Nurlaily Idris, Mirna Muis,Dario Nelwan

I PENDAHULUAN
Abses cerebri adalah suatu infeksi lokal yang ditandai dengan adanya proses
supurasi yang terlokalisir pada parenkim otak yang disebabkan oleh infeksi dari
berbagai macam variasi bakteri, fungus dan protozoa. Abses cerebri merupakan
penyakit infeksi yang mengancam nyawa. Hal ini dapat disebabkan oleh penyebaran
infeksi secara langsung, berdekatan dengan lokasi infeksi dan secara hematogen.
Faktor predisposisi terjadinya abses cerebri adalah penyakit jantung bawaan dengan
right to left shunt, infeksi telinga tengah, mastoid, sinus paranasalis, orbita, wajah,
scalp, trauma penetrasi kepala, fraktur kominutif kranium atau operasi intracranial
seperti pemasangan ventriculo-peritoneal shunt, dermal sinus dan gangguan imun.
(Mehnaz A, 2006).
Jaringan otak merupakan suatu organ yang mempunyai pertahanan proteksi
yang unik. Kerentanan jaringan otak terhadap keberadaan bakteri lebih bermakna
bila dibandingkan dengan kulit kepalanya sendiri. Kejadian infeksi pada kulit
membutuhkan sedikitnya 105 organisme, sedangkan infeksi pada otak dapat terjadi
hanya dengan 100 organisme. Bila salah satu atau lebih sistem pertahanan ini tidak
adekuat, resiko infeksi susunan saraf pusat akan meningkat. (Brook, 2001)
Penyebab abses cerebri tergantung dari lokasi dan sumber infeksi.
Mikroorganisme penyebab abses cerebri meliputi bakteri, jamur dan parasit tertentu.
Gejala klinis tidak khas, dapat berupa tanda-tanda infeksi pada umumnya, yaitu
demam, anoreksia, malaise, tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial serta
gejala defisit neurologik fokal sesuai lokasi abses. (Hakim, 2005)
Penyakit ini sudah jarang dijumpai terutama di negara-negara maju, namun
karena resiko kematiannya tinggi, abses cerebri termasuk golongan penyakit infeksi
yang mengancam kehidupan. (Hakim, 2005)
Penyebab abses cerebri adalah Streptococci, S.aureus, Bacteriodes, enteric
gram bacilli, Pseudomonas spp., H.influenzae, S.pneumoniae, L.monocytogenes,
fungi dan protozoa. Diagnosis abses cerebri memerlukan penanganan multidisiplin
dari neuroradiologist, bedah saraf, dan spesialis penyakit infeksi. Pemeriksaan CT

2
dan MRI sangat diperlukan dalam diagnosis dan sebagian besar kasus memerlukan
craniotomy. (Mustaza, 2014)

II INSIDENS DAN EPIDEMIOLOGI


Angka kejadian yang sebenarnya, tidak diketahui dengan pasti. Di Amerika
Serikat dilaporkan sebanyak 1500-2500 kasus tiap tahunnya dengan insiden
1:100.000 orang pertahun. Anak-anak dengan abses cerebri seringkali dihubungkan
dengan kelainan jantung bawaan sianotik (sekitar 3-11%) dan infeksi otogenik.
Abses cerebri dapat terjadi pada semua usia namun lebih sering pada dekade ketiga
dan keempat, tetapi sekitar 25% terjadi pada usia < 15 tahun. Kejadiannya juga lebih
sering pada laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan 3:1. Tingkat
mortalitas abses cerebri ini sekitar 10-15% dan bila terjadi ruptur maka tingkat
mortalitasnya semakin tinggi hingga 80%, sementara angka morbiditas abses
cerebri tergantung pada gangguan neurologik fokal yang diakibatkan. (Kasper, 2005;
Sutton dkk, 2003)
Walaupun teknologi kedokteran diagnostik dan perkembangan antibiotika
saat ini telah mengalami kemajuan, namun rate kematian penyakit abses cerebri
tetap masih tinggi yaitu sekitar 10-60% atau rata-rata 40%. (Hakim, 2005)

III ETIOLOGI
Beberapa penyebab abses cerebri yaitu : (Hakim, 2005; Elizabeth, 2010;
Grossman, 2003)
1. Penyebaran secara hematogen dari lokasi ekstrakranial seperti infeksi paru-
paru, endokarditis, infeksi traktus urinarius.
2. Ekstensi langsung dari calvaria atau infeksi meningeal seperti sinus
paranasalis, telinga tengah, infeksi gigi.
3. Trauma penetrasi (fragmen tulang >> metal).
4. Setelah operasi.
5. Kelainan jantung bawaan.
6. Berbagai mikroorganisme dapat menyebabkan abses cerebri : stafilokokus,
streptokokus, pneumokokus, kleibsiella pneumonia, toxoplasmosis,
mycobacterium tuberculosis, citrabacter, proteus serta pseudomonas.

3
7. Dapat juga dijumpai pada penderita penyakit immunologik seperti AIDS,
penderita penyakit kronis yang mendapat kemoterapi, steroid yang dapat
menurunkan sistem kekebalan tubuh.

IV ANATOMI
Sistem saraf dibagi menjadi sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf
tepi/perifer. SSP terdiri atas encephalon (otak) dan medulla spinalis. Encephalon
merupakan bagian depan dari SSP yang mengalami perubahan dan pembesaran.
Bagian ini dilindungi oleh tiga selaput pelindung (meningen) dan berada di dalam
rongga tulang tengkorak. Encephalon dibagi menjadi : (Putz, 2006; Hartwigg, 1995)
1. Otak depan (prosencephalon), yang terdiri dari telencephalon dan
diencephalon
2. Otak tengah (mesencephalon)
3. Otak belakang (rhombencephalon), terdiri dari pons dan cerebellum
(metencephalon) serta medulla oblongata (myelencephalon).

Gambar 1. Susunan sistem saraf pusat potongan median (Hartwigg, 1995)

Cerebrum merupakan bangunan bulat yang sebagian besar menempati


cavum cranii. Pada linea mediana terdapat suatu celah yang dalam disebut fissura
longitudinalis cerebri yang memisahkan cerebrum menjadi dua hemisphere. Falx
cerebri, suatu perluasan duramater yang berbentuk bulan sabit, menonjol ke dalam
fissura longitudinalis cerebri. Pada dasar fissura ini kedua belah hemisphere cerebri
dihubungkan satu sama lain oleh commissura alba centralis yang disebut corpus
callosum. Masing-masing hemisphere cerebri memiliki lobus frontalis di anterior,

4
lobus parietalis dan temporalis di lateral, lobus occipitalis di posterior dan lobus
insula (lobus centralis). (Putz, 2006; Hartwigg, 1995)

Gambar 2. Lobus cerebri tampak dari lateral (Netter)

Bagian luar hemisphere cerebri terdiri atas substansia grisea (grey matter)
yang disebut sebagai cortex cerebri, terletak di atas substansia alba (white matter)
yang merupakan bagian dalam (inti) yang disebut pusat medulla. Di dalam
substansia alba tertanam substansia grisea yang disebut ganglia basalis. Cortex
cerebri mempunyai banyak lipatan yang disebut konvolusi atau gyri. Bentuk dan
lokasi sebagian gyrus secara relatif tetap , sementara sebagian lainnya
memperlihatkan variasi yang besar. Celah-celah atau lekukan yang disebut sulci
terbentuk dari lipatan-lipatan tersebut. (Putz, 2006; Hartwigg, 1995)

Gambar 3. Potongan horisontal cerebri (Netter)

Vaskularisasi
Darah mengangkut zat asam, makanan dan substansi lainnya yang
diperlukan bagi fungsi jaringan hidup yang baik. Kebutuhan otak sangat mendesak
dan vital sehingga aliran darah yang konstan harus terus dipertahankan. Circulus
Willisi pada dasar otak merupakan pokok anastomose pembuluh darah arteri yang

5
penting di dalam jaringan otak. Darah mencapai circulus willisi melalui a. cerebri
interna dan a. vertebralis. Circulus willisi dibentuk oleh hubungan antara a. carotis
interna, a. basilaris, a. cerebri anterior, a. communicans anterior, a. cerebri posterior
dan a. communicans posterior. Arteri vertebralis dekstra dan sinistra pada tepi
kaudal pons akan bersatu membentuk a. basilaris yang selanjutnya akan bercabang
membentuk a. cerebri posterior. Pemberian darah ke cortex cerebri terutama melalui
cabang-cabang cortical dari a. cerebri anterior, a. cerebri media dan a. cerebri
posterior. Permukaan lateral masing-masing hemisphere cerebri mendapatkan
darah terutama dari a. cerebri media. Permukaan medial dan inferior hemisphere
cerebri diperdarahi oleh a. cerebri anterior dan a. cerebri posterior. Arteri cerebri
media, suatu cabang terminalis dari a. carotis interna, memasuki fissura lateralis
cerebri dan membagi diri menjadi cabang-cabang cortical yang memperdarahi lobus-
lobus frontalis, temporalis, parietalis dan occipitalis. (Hartwigg, 1995)

Gambar 4. Sirkulasi arteri dari cerebri termasuk a. carotis (Putz, 2006)

6
Gambar 5. Circulus willisi (Putz, 2006)

V PATOFISIOLOGI
Pada umumnya abses cerebri terjadi akibat masuknya organisme ke dalam susunan
saraf pusat akibat trauma kepala, prosedur operasi, melalui proses penyebaran langsung, atau
metastasis dari fokus-fokus infeksi. Sekitar 80% penderita mempunyai predisposisi sebagai
faktor kontribusi yang ikut berperan dalam kejadian infeksi intrakranial. Sekitar 40-60%
abses cerebri disebabkan oleh penyebaran proses infeksi sinus-sinus paranasal yang letaknya
berdekatan, telinga tengah atau mastoid. Proses tersebut melalui dua jalur, yaitu pertama
melalui cara ekstensi langsung dimana telinga tengah atau sinus nasal merupakan suatu basis
sebagai osteomielitis yang kemudian diikuti dengan inflamasi dan penetrasi bahan-bahan
infeksi menembus duramater dan leptomeningens serta membuat suatu traktus supuratif ke
dalam otak, dan atau dengan cara menyebar melalui sepanjang dinding vena yang diperberat
oleh tromboflebitis vena-vena pia serta sinus duramater. (Wijanarko, 2006)
Kurang lebih sepertiga dari seluruh abses cerebri merupakan infeksi metastatik
melalui penyebaran bakteri melalui hematogen, terutama sistem vertebrobasiler dari fokus-
fokus infeksi yang letaknya jauh dari kepala, dan biasanya abses ini merupakan jenis yang
multipel dengan lokasi yang khas, yaitu di antara perbatasan antara substansia alba dan
grisea, lokasi dimana aliran darah kapiler adalah yang paling lambat. Fokus sistemik sering
menjadi sumber infeksi antara lain fokus septik di paru-paru atau pleura (bronchiectasis,
empyema, abses paru, fistula bronkhopleura), abnormalitas jantung berupa infeksi atau defek

7
kongenital (seperti Tertralogi Fallot) yang memungkinkan emboli yang terinfeksi masuk ke
dalam lintas pendek sirkulasi paru dan mencapai otak, pustula-pustula kulit, abses gigi dan
tonsil, bakterialis, divertikulitis, dan osteomielitis tulang-tulang nonkranial. Sejumlah 10-37%
dari kasus abses cerebri tidak diketahui sumber infeksinya. Dalam hal ini tidak dapat
dipastikan apakah infeksi sebelumnya sangat minimal sehingga tidak menunjukkan bukti-
bukti klinis atau telah sembuh jauh sebelum abses di otak menjadi nyata. (Wijanarko, 2006)
Jaringan cerebri yang normal pada umumnya resisten terhadap infeksi, karena
adanya iskemik otak, nekrosis atau hipoksia jaringan cerebri maka akan dapat
menjadi faktor predisposisi terjadinya invasi mikroorganisme. Pada tahap awal akan
terjadi reaksi radang yang difus pada jaringan cerebri dengan adanya infiltrasi dari
leukosit disertai edema, perlunakan dan kongesti jaringan cerebri disertai bintik-
bintik pendarahan. Setelah beberapa hari sampai minggu terjadi nekrosis dan
pencairan pusat lesi sehingga membentuk suatu rongga abses. Mula-mula abses
tidak berbatas tegas tetapi lama kelamaan disertai dengan fibrosis yang progresif
membentuk kapsul dengan dinding yang konsentris. Tebal dari kapsul tersebut
dapat dari beberapa millimeter sampai beberapa centimeter. Stadium pembentukan
abses serebri : (Hakim, 2005; Grossman, 2003)
1. Stadium cerebritis awal (hari 1-3) : reaksi radang perivaskular yang mengelilingi
daerah nekrotik, disertai edema.
2. Stadium cerebritis lanjut (hari 4-9) : munculnya fibroblas dan neovaskular di tepi
daerah nekrotik.
3. Stadium pembentukan kapsul awal (hari 10-14) : pembentukan lapisan fibroblas
yang sempurna dengan cerebritis yang menetap dan neovaskularisasi.
4. Stadium pembentukan kapsul lanjut (>hari 14 ) : penebalan kapsul yang kaya
akan kolagen yang reaktif.

VI DIAGNOSIS
1. GAMBARAN KLINIS
Manifestasi klinik abses cerebri bervariasi tergantung pada virulensi
organisme, status imun penderita, lokasi abses, jumlah lesi, adanya
meningitis, atau ruptur ventrikel. Yang sering dirasakan penderita adalah
demam, nyeri kepala, dan defisit neurologis fokal. Nyeri kepala biasanya
general, karena peningkatan tekanan intrakranial, demikan juga dengan mual
dan muntah. Kejang biasanya general dan lebih sering pada lesi lobus

8
frontalis. Papil edema tidak berkorelasi dengan ukuran dari abses tapi lebih
kepada munculnya nyeri kepala dan muntah. Defisit neurologis fokal
tergantung pada lokasi, ukuran lesi dan edema sekitarnya. Hemianopsia
biasanya merupakan manifestasi lesi pada supratentorial. (Wijanarko)
Dalam perkembangannya, abses cerebri dapat melalui tiga fase
walaupun secara klinis sulit dibedakan. Tiga fase tersebut, yaitu: fase
pertama adalah fase ensefalitis atau cerebritis, dengan gejala demam,
mengantuk, sakit kepala, kaku dan kejang. Fase kedua adalah fase
pembentukan kapsul, di mana terjadi pada saat fase pertama mulai menurun
atau bertambah, yang terjadi beberapa hari sampai beberapa minggu, namun
abses tetap bertambah secara perlahan-lahan. Fase yang ketiga adalah fase
dekompresi serebral, dengan tekanan intrakranial yang meninggi, kelainan
fokal dan herniasi unkus dengan penekanan batang otak, edema papil,
hemiparesis, hemianopia, yang lama-kelamaan masuk dalam keadaan stupor
dan gangguan vital. (Wijanarko)

2. PEMERIKSAAN RADIOLOGI
a. Konvensional
Foto polos kepala memperlihatkan tanda peninggian tekanan intrakranial,
dapat pula menunjukkan adanya fokus infeksi ekstracerebral; tetapi dengan
pemeriksaan ini tidak dapat diidentifikasi adanya abses.

Gambar 6. Impressio digitatae (tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial)


b. CT Scan
CT-Scan merupakan modalitas yang sangat bermanfaat dalam memastikan
diagnosis abses cerebri. Pada CT-Scan akan terlihat daerah dengan densitas

9
yang hipodens, bila berbentuk kapsul akan dilingkari dengan densitas yang
hiperdens. Secara singkat, menurut stadium radiologiknya terdiri atas :
 Cerebritis awal
 Masih bisa didapatkan gambaran normal
 Sedikit gambaran lesi hipodens pada daerah subkortikal dengan
batas yang tidak jelas.
 Terdapat gambaran efek massa yang halus.
 Perlangsungannya pada hari pertama sampai hari ke-3.

(a) (b)
Gambar 7. (a). Pasien dengan keluhan demam, sakit kepala dan riwayat pneumonia. CT-Scan tanpa
kontras menunjukkan area hipodens dengan batas yang kurang tegas pada lobus parietalis kiri
(panah putih). (b). Pasien abses cerebri dengan stadium cerebritis awal, CT-Scan dengan kontras
menunjukkan area hipodens yang halus pada lobus frontalis kiri (anak panah). (Khosla A, 2008)

Gambar 8. Cerebritis awal. CT Scan kepala pasien dengan demam, nyeri kepala dan sinusitis
berulang memperlihatkan area yang hipodens pada lobus temporal kiri. (Khosla A, 2008)

10
 Cerebritis lanjut
 Gambaran hipodens di bagian tengah.
 Batas dengan tepi yang ireguler.
 Edema perifer disertai peningkatan efek massa
 Perlangsungannya pada hari ke-4 sampai hari ke-9.

Gambar 9. Stadium cerebritis lanjut pada infeksi pyogenik, CT-Scan dengan kontras menunjukkan
penyangatan pada tepi lesi yang ireguler dengan area hipodens di bagian tengah. Lesi dikelilingi oleh
area edema vasogenik yang tampak hipodens

- Kapsul awal
 Gambaran hipodens dengan cincin yang tipis, dimana bagian dalam
tampak tipis sedangkan daerah korteks tampak semakin menebal.
 Ditemukannya gambaran multiloculated atau daughter abses.
 Edema vasogenik moderat.
 Perlangsungannya pada hari ke-10 sampai hari ke-14.

11
Gambar 10. CT Scan kepala dengan kontras abses cerebri dengan rim enhance pada ganglia
basalis kiri (Block J, 1993)

(a) (b)

Gambar 11. Abses cerebri pada fossa posterior setelah mastoiditis bakterial. (a). CT-Scan tanpa
kontras menunjukkan lesi hipodens dan perifokal edema pada cerebelum bagian kanan dengan
kompresi pada ventrikel IV. (b). CT-Scan dengan kontras menunjukkan adanya dua abses yang
menyangat pada tepinya

- Kapsul lanjut
 Tampak kavitas dan penebalan kapsul.
 Edema dan efek massa berkurang.
 Perlansungannya setelah hari ke-14.

12
(a) (b)
Gambar 12. Pasien dengan abses otogenik. (a). CT-Scan tanpa kontras menunjukkan lesi berbentuk
oval pada lobus temporalis kiri, berdinding tebal, hipodens pada daerah sentral dan di sekitar lesi. (b).
CT-Scan dengan kontras, tampak penyangatan pada tepi lesi berbentuk cincin

c. MRI
Pemeriksaan MRI dalam menegakkan diagnosis abses cerebri lebih
baik daripada pemeriksaan CT-Scan, terutama pada stadium awal. Pada
pemeriksaan MRI, T1WI menampakkan gambaran lesi dengan daerah sentral
lesi yang hipointens serta dikelilingi oleh lingkaran tipis iso/hipointens
sedangkan pada T2WI menampakkan daerah sentral lesi yang hiperintens
yang dibatasi oleh kapsul yang hipointens serta dikelilingi oleh daerah edema
yang hiperintens. Secara singkat, menurut stadium radiologik terdiri atas : 4,8-10
- Cerebritis awal
 T1WI : Batas kurang jelas, massa dengan intensitas campuran.
 T2WI : Massa tampak hiperintens, berbatas tidak tegas

Gambar 13. Abses cerebri stadium cerebritis awal, (a). T1WI dengan kontras gadolinium potongan
axial menunjukkan lesi hipointens yang tidak menyangat pada lobus frontalis kiri. (b). T2WI potongan
axial menunjukkan lesi hiperintens pada lobus frontalis dan sinus frontalis kiri

13
- Cerebritis lanjut
 T1WI : Hipointens di bagian tengah dengan bagian tepi yang iso/hiperintens.
 T2WI : Hiperintens di bagian tengah dengan bagian tepi yang hipointens dan
edema yang hiperintens.

- Kapsul awal
Lesi berbatas tegas dengan tepi yang tipis, dimana pada T1WI; bagian
tengah tampak isointens-hipointens dan bagian tepinya tampak hiperintens,
sedangkan pada T2WI; bagian tepi akan tampak hipointens.

(a) (b)
Gambar 14. Anak laki-laki 16 tahun dengan abses cerebri pyogenik, MRI potongan axial; (a). T1WI
menunjukkan lesi pada lobus frontalis kanan yang isointens di bagian dalamnya dan slight
hiperintens pada bagian tepi (tanda panah). (b). T1WI dengan kontras menunjukkan lesi yang
hipointens di bagian tengahnya dan penyangatan pada tepi lesi berupa lingakaran halus.

14
Gambar 15. T2WI Axial memperlihatkan lesi berbentuk lonjong pada ganglia basalis kiri dengan
karakterirtik hypointense rim dengan bagian dalam yang heterogen

- Kapsul lanjut
 Tampak kavitas yang kolaps disertai penebalan kapsul.
 Edema dan efek massa tampak berkurang.

(a) (b)
Gambar 16. Perempuan 66 tahun dengan Ca. Colon dan abses hepar dengan hasil kultur dari
pembedahan berupa streptokokus. (a) T1WI dengan kontras : lesi pada lobus parietalis kanan yang
hipointens dengan penyangatan pada tepi/dinding yang tebal disertai penurunan edema disekitarnya.
(b). T2WI : lesi yang hiperintens dengan tepi yang hipointens disertai edema disekitarnya

d. DIFFUSION WEIGHTED IMAGING (DWI)


Konsep dari pemeriksaan ini adalah untuk menilai lingkungan lokal dari sel-
sel dengan menentukan penurunan dari difusi air. Difusi terjadi sebagai hasil
pergerakan konstan dari air. Patofisiologi dan imaging yang dihasilkan tergantung
dari organisme penyebab dari infeksi. DWI sangat berguna untuk membedakan
abses dengan tumor kistik atau nekrotik. Abses dan tumor nekrotik secara umum
akan tampak hiperintens pada DWI tetapi abses secara umum mempunyai apparent
diffusion coefficient (ADC) yang rendah, sedangkan ADC pada tumor dapat
bervariasi.15

15
Gambar 17. Abses Cerebri. (a) T2WI axial, abses cerebri dengan perifocal edema, tampak kapsul
yang hipointens. (b) T1WI coronal setelah pemberian kontras. Tampak penyangatan, kapsul lebih
tebal pada bagian yang dekat dengan permukaan (anak panah) dan lebih tipis pada bagian dalam
white matter dekat ependym (mata panah). (c) Axial DWI tampak area nekrosis yang hiperintens.
(d) Peta ADC axial yang menurun (Sartor, 2008)

Gambar 18. Axial DWI memperlihatkan restricted diffusion, khas untuk abses pyogenik
VII DIAGNOSIS BANDING
1. GLIOBLASTOMA MULTIFORME (GBM)
GBM merupakan tumor primer otak yang paling umum dan agresif, terhitung
52% untuk semua kasus tumor otak pada parenkim serta 20% dari seluruh tumor
intrakranial. GBM terjadi hanya 2-3 kasus per 100.000 orang di Eropa dan Amerika

16
Utara. Laki-laki sedikit lebih sering daripada perempuan dengan ratio L:P = 3:2.
Dapat terjadi pada semua umur tetapi lebih sering pada orang dewasa dengan
puncak insiden umur 45-70 tahun. Gejala klinik yang paling sering dapat berupa
kejang, defisit neurologik fokal, peningkatan tekanan intrakranial terutama nyeri
kepala. Gambaran radiologik : (Moritani, 2005; Lobera, 2009; Sutton, 2003;
Salzman, 2004)

CT-Scan :
 Tanpa kontras : massa isodens/hipodens, tepi ireguler, di bagian tengah
tampak hipodens yang menunjukkan area nekrotik disertai efek massa dan
edema disekitarnya.
 Dengan kontras : 95% heterogen, tepi ireguler dan penyangatan pada tepi
massa seperti cincin.
MRI :
 T1WI : Massa isointens/hipointens dengan tepi ireguler, area nekrotik atau
kistik. Dengan kontras menunjukkan penyangatan pada tepi massa seperti
cincin (ring enhancement).
 T2WI : Massa hiperintens/heterogen dengan infiltrasi tumor/edema
disekitarnya.
 FLAIR : Massa hiperintens/heterogen.
DWI : intensitas sinyal bervariasi dan tergantung pada nilai ADC. Beberapa tampak
hiperintens dengan penurunan nilai ADC, lainnya dapat mempunyai nilai
ADC yang normal atau meningkat.

Gambar 19. (a) CT Scan kepala tanpa kontras memperlihatkan lesi disertai dengan edema, efek
massa dan midline shift pada regio frontal; (b) CT Scan kepala dengan kontras memperilhatkan rim-
enhance dengan area sentral yang nekrotik. Hasil patologi membuktikan suatu GBM (Block J, 1993)

17
Gambar 20. Perempuan 80 tahun dengan GBM. (a). MRI T2WI : massa hiperintens termasuk
pada corpus callosum (butterfly tumor). (b). MRI T1WI : massa hipointens. (c). T1WI dengan
kontras gadolinium : penyangatan ireguler seperti cincin. (d). DWI : massa hiperintens (panah).
(e). ADC : intensitas heterogen pada massa (Moritani, 2005)

2. TUMOR METASTASIS
Tumor metastasis cerebri merupakan penyebaran hematogen dari tumor
primer ekstracerebral. Insiden saat ini diatas 50% dari seluruh tumor intrakranial.
Sedikit lebih sering pada laki-laki, dengan puncak insiden sekitar umur diatas 65
tahun. Tumor metastasis dapat ditemukan pada seluruh bagian infratentorial
maupun supratentorial dan lebih sering multipel. Gejala klinis dapat berupa sakit
kepala, kejang serta defisit neurologik fokal. Tumor primer biasanya diketahui, tetapi
kadang-kadang tumor metastasis otak merupakan manifestasi klinik pertama dari
penyakit keganasan.
Gambaran radiologik tumor metastasis : (Moritanim 2005; Khosla, 2011; Osborn,
2004)
CT-Scan : massa isodens/hipodens pada gray-white matter, berbentuk bulat,
berukuran kecil disertai edema yang luas dan menyangat kuat pada pemberian
kontras yang dapat pula memberikan gambaran seperti cincin.
MRI :

18
 T1WI : Isointens/hipointens.
 T2WI : Bervariasi tetapi biasanya hiperintens.
 FLAIR : Bervariasi, biasanya sedikit hiperintens dan edema disekitarnya yang
hiperintens.
DWI : Biasanya hipointens dan peningkatan ADC.

Gambar 21. Pasien dengan tumor primer di paru-paru, CT-Scan tanpa dan dengan kontras
menunjukkan adanya lesi multipel pada hemisphere kiri yang menyangat seperti cincin disertai
edema prominen disekitarnya dan efek massa (Khosla, 2011)

Gambar 22. Metastasis intracranial. Coronal T1+C memperlihatkan rim-enhancing , hasil patoogi
adalah suatu neuroendocrine cell lung cancer dengan metastasis ke cerebri (Block J, 1993)

19
Gambar 23. Perempuan 59 tahun dengan adecarcinoma paru-paru dan tumor metastasis
pada cerebri. (a). MRI T2WI : massa dengan intesitas heterogen (panah) dengan edema disekitarnya
pada lobus temporal kanan. (b). T1WI dengan kontras gadolinium: massa heterogen dengan
penyangatan seperti cincin (panah). (c). DWI : hiperintens pada bagian yang solid (anak panah) dan
hipointens pada bagian yang nekrotik/kistik (panah). (d). ADC : hipointens pada bagian yang solid
(anak panah) dan hiperintens (panah) (Moritani, 2005)

VIII PENATALAKSANAAN
Pengobatan abses cerebri adalah mengurangi efek masa dan menghilangkan
kuman penyebab. Penatalaksanaan abses cerebri dapat dibagi menjadi terapi bedah
dan terapi konservatif. Untuk menghilangkan penyebab, dilakukan operasi baik
aspirasi maupun eksisi dan pemberian antibiotik. Pemantauan ketat harus dilakukan
terhadap keadaan umum dan tanda vital penderita. Semua penderita dengan abses
cerebri diberikan antibiotik berspektrum luas, seperti juga pada meningitis
bakterialis. Kesulitan pada pemberian antibiotik karena antibiotik tersebut harus
dapat menembus sawar otak, mampu menembus kapsul bila abses telah berkapsul,
dan mempunyai spektrum yang luas karena adanya berbagai macam
mikroorganisme penyebab abses. Penyuntikan antibiotik langsung ke dalam abses
cerebri tidak dianjurkan, karena hal ini dapat menyebabkan fokus epileptogenesis.
(Black P, 1993; Rosenblum, 2000)
Black melaporkan bahwa nafsilin tidak dapat masuk ke dalam abses, sedang
kloramfenikol, penisilin, dan metisilin dapat masuk ke dalam abses. Sefalosporin dan
aminoglikosida tidak dapat menembus kapsul, sedangkan linkomisin dan asam

20
fusidat dapat menembus kapsul. Harus diingat bahwa kuman dapat tetap ada dalam
abses walaupun tercapai konsentrasi antibiotik adekuat dalam abses dan kuman
tersebut sensitif terhadap antibiotik yang diberikan. Ukuran abses penting dalam
pengobatan dengan antibiotik. Abses dengan diameter antara 0,8-2,5 cm dilaporkan
bisa sembuh dengan pemberian antibiotik. Abses yang lebih besar memerlukan
tindakan pembedahan. Tindakan tanpa operasi biasanya dilakukan pada penderita
dengan abses multipel atau bila lesinya kecil dan sulit dicapai dengan operasi. Bila
terdapat abses multipel, aspirasi abses yang besar tetap dilakukan untuk
menentukan jenis mikroorganisme dan uji resistensi. Kuman anaerob memerlukan
metronidasol sebagai pengobatannya. (Black P, 1993; Rosenblum, 2000; Osborn,
2004)
Rosenblum mengajukan kriteria penderita yang merupakan kandidat untuk
pengobatan dengan antibiotika saja, yaitu bila diperkirakan operasi akan
memperburuk keadaan, terdapat abses multipel terutama yang jaraknya berjauhan
satu sama lain, abses disertai dengan meningitis, abses yang lokasinya sulit dicapai
dengan operasi atau operasi diperkirakan akan merusak fungsi vital, serta abses
yang disertai dengan hidrosefalus yang mungkin akan terinfeksi bila dioperasi.
Konsultasi kepada ahli bedah saraf dilakukan untuk mengetahui kemungkinan
dilakukannya pengeluaran abses dari jaringan otak dengan pembedahan.
Pemberian cairan harus dilakukan dengan hati-hati, mengingat anak mungkin juga
menderita kelainan jantung, serta terdapatnya kemungkinan tekanan intrakranial
yang meninggi. Pada penderita yang diduga atau terbukti mengalami peningkatan
tekanan intrakranial, dapat diberikan kortikosteroid atau cairan hiperosmoler,
misalnya manitol. Pengobatan penunjang serta perawatan yang baik perlu dilakukan
dengan seksama termasuk pengobatan simtomatik terhadap edema dan kejang.
(Black P, 1993; Rosenblum, 2000)

IX KOMPLIKASI
Komplikasi pada abses cerebri yang tidak diobati/inadekuat (Hakim, 2005):
1. Robeknya kapsul abses ke dalam ventrikel atau ke ruangan subrachnoid.
2. Penyumbatan cairan serebrospinal yang dapat menyebabkan terjadinya
hidrosefalus.
3. Edema cerebri.
4. Herniasi tentorial oleh massa abses cerebri.
21
X PROGNOSIS
Mortalitas lebih tinggi pada penderita yang menunjukkan perjalanan penyakit
yang cepat. Penderita mempunyai gejala lebih dari 2 minggu dan memperlihatkan
abses berkapsul mempunyai prognosis yang lebih baik. Keadaan umum penderita
juga menentukan prognosis. Penderita dalam keadaan koma preoperatif mempunyai
prognosis yang buruk. Penderita dengan gangguan kekebalan mempunyai
prognosis buruk. Keterlambatan operasi dapat pula menyebabkan kematian.
Kematian disebabkan oleh karena ruptur abses ke dalam ventrikel atau ruang subarachnoid,
herniasi atau sepsis. Kejang dapat terjadi selama atau setelah pembentukan abses.
Pasca operasi terdapat serangan kejang pada 30-50% penderita. Bila kejang telah
terjadi sebelum dilakukan operasi umumnya selalu terjadi kejang pasca operasi.
Kejang dapat terjadi setelah 4 tahun pengobatan. Penderita mengalami kejang
pasca operasi, 50% berupa kejang umum dan 30% menunjukkan epilepsi parsial
kompleks atau epilepsi fokal. (Louvois dkk, 1977; Goodman dkk, 2002).

DAFTAR PUSTAKA

Black P, Graybill J, Charace P. Penetration of brain abses by systemically


administered antibiotics. J Neurosurg 1993; 38:705-9

Brook I. Bacteriology of intracranial abcess in children. J Neurosurg 2001; 54:484-8

Elizabeth LT, Goldstein JN. Brain abses. eMedicine [on line]. 2010. [cited on 2016
February 27] Avaiable at: http://www. emedicine. medscape.com/article

Goodman, Michael L. , Nelson, Paul B., Brain Abses Complicating the Use of a Halo
Orthosis, Neurosurgery. 2002 Jan;20(1):27-30

Grossman RI, Yousem DM. Infectious and noninfectious inflamatory diseases of the
brain. In: Neuroradiology. 2nd ed. Philadelphia: Mosby-Elsevier; 2003. p. 282-4

22
Hakim AA. Abses cerebri. Dalam: Majalah kedokteran nusantara. Volume 38. No 4.
Jakarta: 2005. hal. 324-27

Hartwigg MS, Wilson LM. Anatomi dan fisiologi system saraf, Tumor system saraf
pusat. Dalam: Price SA, Wilson LM, editor. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Edisi 4. volume 2.Jakarta: EGC; 1995. hal. 1007-11, 1184-5

Kasper LD, Anthony, Dan LL. Brain abses. In: Harrison’s principles of internal
medicine. 16th ed. United States of American: McGrow Hill; 2005.p. 2485-6

Khosla A, Smirnioopoulos JG. Brain metastasis imaging. eMedicine of radiology [on


line]. 2008. [cited on 2016 Februari 28] Avaiable at: http://www. emedicine.
medscape.com/article/radiology

Lobera A, Naul LG. Globlastoma multiforme. eMedicine of radiology [on line]. 2009.
[cited on 2016 Februari 28] Avaiable at: http://www. emedicine.
medscape.com/article/radiology

Louvois J, Gortval P, Hurley R. Bacteriology of abses of the central nervous system:


a multicentre prospective study. Br Med J 2004; 2:981-4

Mehnaz Atiq, dkk. Original article: Brain Abses in Children. Indian Journal of
Paediatrics. Pakistan. 2006.

Moritani T, Ekholm S, Westesson PL. Infectious diseases. Chapter 11. In: Diffusion-
Weighted MR imaging of the brain. Germany: Springer; 2005. p.131-148

Murtaza dkk. Brain Abses: Pathogenesis, Diagnosis And Management Strategies In


Impact Journal. May, 2014.

Netter. Menings and brain. In: Atlas of Netter. Plate. 099

Osborn AG. Parenchymal metastasis. Part 1. Section 6. In: Harnsberger HR,


Wiggins RH,Hudgins PA, Michel MA, Swartz J, Davidsm HC, et all. Diagnostic
imaging brain. 1st ed. Salt Lake City-Utah: Amirsys; 2004. p.140-3

Putz R, Pabst R. Sobotta atlas anatomi manusia. Edisi ke-20. Bagian 1. Jakarta:
EGC;. hal. 275

Rosenblum ML, Hoff JT, Norman D, et al. Non operative treatment of brain abses in
selected high risk patients. J Neurosurg 2000; 52:217-25

Salzman KL. Astrocytic tumors-infiltrating. Part 1. Section 6. In: Harnsberger HR,


Wiggins RH,Hudgins PA, Michel MA, Swartz J, Davidsm HC, et all. Diagnostic
imaging brain. 1st ed. Salt Lake City-Utah: Amirsys; 2004. p.20-4

Sartor K, dkk. Direct Diagnosis in Imaging, Brain Imaging. 2008. Stuttgart. New York

23
Sutton D, Stevens J, Miszkiel K, Robinson PJA, Dewbury K. Intracranial lesions (2).
Chapter 58. In: Sutton D. Textbook of radiology and imaging. Volume 2. 7 th ed.
Philadelphia: Churchill Livingstone-Elsevier; 2003. p. 1783-4

Sutton D, Steven J, Mizskel K. Intracranial lesions (1). Chapter 57. In: Sutton D.
Textbook of radiology and imaging. Volume 2. 7 th ed. Philadelphia: Churchill
Livingstone-Elsevier; 2003. p.1743-44

Wijanarko F, Turchan A. Brain Abses with Congenital Heart Disease. Subdivisi


Neurosurgery, Surakarta.

LAPORAN KASUS

Seorang anak laki-laki berusia 6 tahun dengan keluhan utama nyeri kepala sejak 2
minggu sebelum masuk RS dan memberat 5 hari sebelum masuk RS. Tidak ada
demam dan kejang. Ada riwayat kejang 5 hari sebelum masuk RS bersifat umum,
setelah kejang anak sadar, tidak batuk, tidak sesak, ada biru, tidak muntah, BAB
belum 4 hari, BAK lancar kuning, riwayat berobat di RSWS sejak usia 4 tahun
dengan Tetralogy of Fallot namun pasien tidak minum obat lagi 1 tahun terakhir.

Keadaan umum:
Sakit sedang / gizi buruk / sadar
Tekanan darah : 110/70
24
Pernapasan 32 x / menit
Nadi 90 x / menit
Suhu 36,5

Pemeriksaan fisik:
TB : 100 cm
BB : 10 kg

Paru:
Bentuk dada pigeon chest
Bunyi napas bronchovesicular
Tidak ada ronkhi/wheezing
SpO2 84 %

Jantung:
Bunyi jantung I/II murni reguler
Bising jantung pansistolik 3/6 punctum maximum ICS III-IV

Abdomen:
Distended abdomen (-)
Peristaltik (+)
Hepar/lien tidak teraba
Pemeriksaan Laboratorium:
Hb 18,8 gr/dl
WBC 10350
HCT 63 %
PLT307000
MCV 71,4
MCU 24,1
MCHC 33,7

Pemeriksaan Radiologi:
CT Scan kepala:

25
Kesan : sugestif abses cerebri sinistra dengan tanda-tanda brain edema dan
herniasi subfalcine

Penatalaksanaan:
- IVFD
- Ceftazidim 500mg/12 jam
- Gentamicin 60 mg/12 jam
- Piracetam 150mg/12 jam
- Metronidazole 150mg/8 jam
- Rencana craniectomy

26
Diagnosis:
Tetralogy of Fallot
Abses Cerebri
Nutritional marasmus
Policitemia vera

DISKUSI
Seorang anak laki-laki berusia 6 tahun dengan keluhan utama nyeri kepala
sejak 2 minggu sebelum masuk RS dan memberat 5 hari sebelum masuk RS. Ada
riwayat kejang 5 hari sebelum masuk RS bersifat umum, setelah kejang anak sadar,
tidak batuk, tidak sesak, ada biru, tidak muntah, BAB belum 4 hari, BAK lancar
kuning, riwayat berobat di RSWS sejak usia 4 tahun dengan Tetralogy of Fallot
namun pasien tidak minum obat lagi 1 tahun terakhir. Pemeriksaan laboratorium
menunjukkan adanya policitemia. Pemeriksaan radiologi didapatkan gambaran
abses cerebri. Pasien direncanakan untuk di operasi craniotomy namun tidak
dilakukan mengingat riwayat pasien dengan ToF.
Pasien dengan PJB sianotik memiliki resiko menderita abses cerebri sekitar
25-46 %.

27

Anda mungkin juga menyukai