Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Susunan syaraf pusat dan selaput pembungkusnya yang terlindungi dengan baik

oleh tulang tengkorak dan tulang belakang oleh sebab tertentu dapat mengalami

inflamasi sehingga menyebabkan berbagai macam manifestasi klinis. Inflamasi yang

terjadi pada selaput otak dan sumsung tulang belakang atau meninges disebut

meningitis. Pada umumnya meningitis disebabkan oleh infeksi kuman patogen yang

menginvasi meninges melalui pembuluh darah dibagian lain dari tubuh, seperti virus,

bakteri, spiroketa, fungus, protozoa dan metazoa. Penyebab paling sering adalah virus

dan bakteri (Mahar, 2008).

Meningitis menyebabkan berbagai macam gejala klinis dari ringan sampai berat

seperti demam, mual-muntah, nafsu makan menurun, sakit kepala, kejang, penurunan

kesadaran, dan defisit neurologis lain yang dapat berlangsung lama atau menetap dan

bahkan dapat menyebabkan kematian (Hasbu, 2013).

Meningitis dapat mengenai semua ras, di Amerika Serikat dilaporkan ras kulit

hitam lebih banyak menderita meningitis dibandingkan ras kulit putih. Pada sebagian

besar kasus, sekitar 70% kasus meningitis terjadi pada anak dibawah usia 5 tahun dan

orang tua diatas usia 60 tahun. Insidens rate meningitis akibat bakteri di Amerika

Serikat mengenai 3 per 100.000 penduduk pertahun, sedangkan karena virus di

Amerika Serikat 10 per 100.000 penduduk pertahun (Hasbu, 2013).

1
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun 2007, angka kematian

akibat meningitis dan ensefalitis mencapai 0,8% dari seluruh kematian yang terjadi

pada semua golongan umur. Pada penelitian tersebut didapatkan meningitis dan

ensefalitis menempati peringkat ke-7 atau 3,2% dari seluruh kematian akibat penyakit

menular (Rikesdas, 2007).

Masih banyaknya kematian yang disebabkan oleh meningitis harus menjadi

perhatian bagi pihak pemerintah maupun kalangan medis, oleh karena itu pemahaman

yang baik tentang etiologi, patofisiologi dan penatalaksanaan meningitis merupakan

bagian kunci untuk membantu menentukan penatalaksanaan yang sesuai.

2
BAB II

TINJAUAN UMUM

2.1. Anatomi dan Fisiologi

2.1.1 Lapisan Meningens

Gambar 1. Struktur Meninges (Junqueira & Carneiro, 2005)

Untuk mengetahui apa itu meningitis tentu kita harus tahu terlebih dulu

mengenai apa itu meninges dan bagaimana struktur anatominya karena meningitis

merupakan penyakit yang menyerang di bagian ini. Otak dan medulla spinalis dilapisi

oleh meningens yang melindungi struktur saraf yang halus, membawa pembuluh

3
darah dan dengan sekresi sejenis cairan yaitu cairan serebrospinal (Wordpress, 2009).

Selaput meningens terdiri dari 3 lapisan yaitu :

a. Duramater

Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal

dan lapisan meningeal (Snell RS., 2006). Duramater merupakan selaput yang keras,

terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari

kranium. Karena tidak melekatpada selaput arakhnoid di bawahnya, maka terdapat

suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arakhnoid,

dimana sering dijumpai perdarahan subdural (Komisi trauma IKABI, 2004).

Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan

otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins,

dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis

superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi

dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat (Komisi trauma IKABI,

2004).

Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari

kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan

laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling

sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fossa

temporalis (fossa media) (Komisi trauma IKABI, 2004).

4
b. Selaput Arakhnoid

Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang (Komisi

trauma IKABI, 2004). Selaput arakhnoid terletak antara piamater sebelah dalam dan

dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater

oleh ruang potensial, disebutspatium subdural dan dari piamater oleh spatium

subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis (Snell RS., 2006). Perdarahan

subarakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala (Komisi trauma IKABI,

2004).

c. Piamater

Piamater melekat erat pada permukaan korteks serebri (Komisi trauma IKABI,

2004). Piamater adalah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak,

meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini

membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang

masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh piamater (Snell RS., 2006).

2.1.2 Sawar Darah Otak

Sawar darah otak merupakan barier fungsional yang mencegah masuknya

beberapa substansi, seperti antibiotik dan bahan kimia dan toksin bakteri dari darah

ke jaringan syaraf. Sawar darah otak ini terjadi akibat kurangnya permeabilitas yang

menjadi ciri kapiler darah jaringan saraf. Taut kedap, yang menyatukan sel-sel

endotel kapiler ini secara sempurna merupakan unsur utama dari sawar ini.

Sitoplasma sel-sel andotel ini tidak bertingkap, dan terlihat sangat sedikit vesikel

pinositotik di sini. Perluasan cabang sel neuroglia yang melingkari kapiler ikut

mengurangi permeabilitasnya (Junqueira, 1998).

5
Sawar ini terletak antara darah dan cairan serebrospinal serta cairan otak. Sawar

juga terdapat pada plexus koroideus dan membran kapiler jaringan, pada dasarnya di

seluruh parenkim otak kecuali di beberapa daerah di hipotalamus, kelenjar pineal dan

area postrema, tempat zat berdifusi dengan lebih mudah ke dalam ruang jaringan.

Sawar darah otak pada umumnya sangat permeabel terhadap air, karbondioksida,

oksigen, dan sebagian besar zat larut lipid, seperti alkohol dan zat anestesi; sedikit

permeabel terhadap elektrolit, seperti natrium, klorida, dan kalium; dan hampir tidak

permeabel terhadap protein plasma dan banyak molekul organik berukuran besar

yang tidak larut lipid (Guyton & Hall, 2008).

Gambar 2. Potongan Melintang Susunan Sawar Darah Otak (Putz, 2007)

6
Dengan menggunakan mikroskop elektron memperlihatkan bahwa lumen kapiler

darah dipisahkan dari ruang ekstraseluler oleh (Yuliana, 2013).

a. Sel endotelial di dinding kapiler (cerebral endothelial cell), disatukan

oleh tight juction.

b. Membran basalis di luar sel endotel berisi sel perisit

c. Kaki-kaki astrosit yang menempel pada lapisan luar dinding kapiler.

Gambar 3. Struktur Penyusun Sawar Darah Otak (Yuliana, 2013)

2.1.3 Plexus Koroid dan Cairan Cerebrospinal

Pleksus koroid terdiri atas lipatan-lipatan ke dalam dari pia mater yang

menyusup ke bagian dalam ventrikel. Dapat ditemukan pada atap ventrikel ketiga dan

keempat dan sebagian pada dinding ventrikel lateral. Plexus koroid merupakan

struktur vaskular yang terbuat dari kapiler fenestra yang berdilatasi. Pleksus koroid

terdiri atas jaringan ikat longgar dari pia mater, dibungkus oleh epitel selapis kuboid

atau silindris, yang memiliki karakteristik sitologi dari sel pengangkut ion. Fungsi

7
utama pleksus koroid adalah membentuk cairan serebrospinal, yang hanya

mengandung sedikit bahan padat dan mengisi penuh ventrikel, kanal sentral dari

medula spinalis, ruang subarachnoid, dan ruang perivasikular. Ia penting untuk

metabolisme susunan saraf pusat dan merupakan alat pelindung, berupa bantalan

cairan dalam ruang subarachnoid. Cairan itu jernih, memiliki densitas rendah (1.004-

1.008 gr/ml), dan kandungan proteinnya sangat rendah. Juga terdapat beberapa sel

deskuamasi dan dua sampai lima limfosit per milliliter. Cairan serebrospinal mengalir

melalui ventrikel, dari sana ia memasuki ruang subarachnoid. Disini vili araknoid

merupakan jalur utama untuk absorbsi CSS ke dalam sirkulasi vena.

Menurunnya proses absorsi cairan serebrospinal atau penghambatan aliran

keluar cairan dari ventrikel menimbulkan keadaan yang disebut hidrosefalus, yang

mengakibatkan pembesaran progresif dari kepala dan disertai dengan gangguan

mental dan kelemahan otot (Junqueira, 1998).

8
Gambar 4. Fisiologi Cairan Serebrospinal (Mackenna & CallaHnder, 1997)

2.2 Meningitis

2.2.1 Pengertian Meningitis

Meningitis merupakan inflamasi pada selaput otak yang mengenai lapisan

piamater dan ruang subarakhnoid maupun arakhnoid, dan termasuk cairan

serebrospinal (CSS). Peradangan yang terjadi pada meningens, yaitu membran atau

selaput yang melapisi otak dan medulla spinalis, dapat disebabkan berbagai

organisme seperti virus, bakteri ataupun jamur yang menyebar masuk kedalam darah

dan berpindah kedalam cairan otak (Wordpress, 2009).

Meningitis merupakan infeksi akut dari meningens, biasanya ditimbulkan oleh

salah satu dari mikroorganisme yaitu pneumococcus, Meningococcus, Stafilococcus,

Streptococcus, Haemophilus influenzae dan bahan aseptis (virus) (Long Barbara C,

1996). Efek peradangan dapat mengenai jaringan otak yang disebut dengan

meningoensefalitis (Wordpress, 2009).

2.2.2 Epidemiologi

Sekitar 600.000 kasus meningitis terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya,

dengan 180.000 kematian dan 75.000 gangguan pendengaran yang berat. Setidaknya

25.000 kasus baru meningitis bakterial muncul tiap tahunnya di Amerika Serikat,

tetapi penyakit ini jauh lebih sering ditemukan di negara-negara sedang berkembang.

Sekitar 75% kasus terjadi pada anak-anak dibawah usia 5 tahun.

9
Epidemiologi dari meningitis dapat dibagi 4 yaitu :

1. Orang/Manusia

Umur dan daya tahan tubuh sangat mempengaruhi terjadinya meningitis.

Penyakit ini lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan dan

distribusi terlihat lebih nyata pada bayi. Meningitis purulenta lebih sering terjadi pada

bayi dan anak-anak karena sistem kekebalan tubuh belum terbentuk sempurna.

Puncak insidensi kasus meningitis karena Haemophilus influenzae di negara

berkembang adalah pada anak usia kurang dari 6 bulan, sedangkan di Amerika

Serikat terjadi pada anak usia 6-12 bulan. Sebelum tahun 1990 atau sebelum adanya

vaksin untuk Haemophilus influenzae tipe b di Amerika Serikat, kira-kira

12.000 kasus meningitis Hib dilaporkan terjadi pada umur < 5 tahun.Insidens

Rate pada usia < 5 tahun sebesar 40-100 per 100.000. Setelah 10 tahun penggunaan

vaksin, Insidens Rate menjadi 2,2 per 100.000 (Kandun, 2006)

2. Tempat

Risiko penularan meningitis umumnya terjadi pada keadaan sosio-ekonomi

rendah, lingkungan yang padat (seperti asrama, kamp-kamp tentara dan jemaah haji),

dan penyakit ISPA. Penyakit meningitis banyak terjadi pada negara yang sedang

berkembang dibandingkan pada negara maju.

Insidensi tertinggi terjadi di daerah yang disebut dengan the African

Meningitis belt, yang luas wilayahnya membentang dari Senegal sampai ke Ethiopia

meliputi 21 negara. Kejadian penyakit ini terjadi secara sporadis dengan Insidens

Rate 1-20 per 100.000 penduduk dan diselingi dengan KLB besar secara

10
periodik.11 Di daerah Malawi, Afrika pada tahun 2002 Insidens Rate meningitis yang

disebabkan oleh Haemophilus influenzae 20-40 per 100.000 penduduk (Nelson,

1996).

3. Waktu

Kejadian meningitis lebih sering terjadi pada musim panas dimana kasus-

kasus infeksi saluran pernafasan juga meningkat. Di Eropa dan Amerika utara

insidensi infeksi Meningococcus lebih tinggi pada musim dingin dan musim semi

sedangkan di daerah Sub-Sahara puncaknya terjadi pada musim panas.

Meningitis karena virus berhubungan dengan musim, di Amerika sering

terjadi selama musim panas karena pada saat itu orang lebih sering terpapar agen

pengantar virus (Soedarto, 2004).

4. Agen Infeksi

Penyebab meningitis secara umum adalah bakteri dan virus. Meningitis

purulenta paling sering disebabkan oleh Meningococcus, Pneumococcus dan

Haemophilus influenzae sedangkan meningitis serosa disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosa dan virus (Harsono, 2003).

Meningitis Meningococcus yang sering mewabah di kalangan jemaah haji

dan dapat menyebabkan karier disebabkan oleh Neisseria meningitidis serogrup

A, B, C, X, Y, Z dan W 135. Grup A,B dan C sebagai penyebab 90% dari

penderita. Di Eropa dan Amerika Latin, grup B dan C sebagai penyebab

utama sedangkan di Afrika dan Asia penyebabnya adalah grup A. Wabah

meningitis Meningococcus yang terjadi di Arab Saudi selama ibadah haji tahun

11
2000 menunjukkan bahwa 64% merupakan serogroup W135 dan 36% serogroup

A. Hal ini merupakan wabah meningitis Meningococcus terbesar pertama di dunia

yang disebabkan oleh serogroup W135. Secara epidemiologi serogrup A, B, dan C

paling banyak menimbulkan penyakit (Japardi, 2002).

Meningitis karena virus termasuk penyakit yang ringan. Gejalanya mirip

sakit flu biasa dan umumnya penderita dapat sembuh sendiri. Pada waktu terjadi

KLB Mumps, virus ini diketahui sebagai penyebab dari 25 % kasus meningitis

aseptik pada orang yang tidak diimunisasi. Virus Coxsackie grup B merupakan

penyebab dari 33% kasus meningitis aseptik, Echovirus dan Enterovirus

merupakan penyebab dari 50% kasus (Kadun, 2006).

2.2.3 Etiologi

Meningitis disebabkan oleh berbagai macam organisme, tetapi kebanyakan

pasien dengan meningitis mempunyai faktor predisposisi seperti fraktur tulang

tengkorak, infeksi, operasi otak atau sum-sum tulang belakang. Seperti disebutkan

diatas bahwa meningitis itu disebabkan oleh virus dan bakteri, maka meningitis

dibagi menjadi dua bagian besar yaitu : meningitis purulenta dan meningitis

serosa.macam-macam penyebab meningitis:

1) Bakteri : Mycobacterium tuberculosa, Diplococcus pneumoniae

(pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus

haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia

coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa.

2) lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.

12
3) Faktor predisposisi : jenis kelamin lakilaki lebih sering dibandingkan dengan

wanita.

4) Faktor maternal : ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu

terakhir kehamilan.

5) Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobulin.

6) Kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang berhubungan

dengan sistem persarafan.

2.2.4 Faktor Resiko

Faktor resiko orang-orang yang mudah terkena menengitis adalah :

 Faktor Usia

Kebanyakan meningitis disebabkan oleh virus dan bakteri terjadi pada anak-

anak dibawah usia 5 thn namun, sejak pertengahan tahun 1980-an, setelah

adanya vaksin untuk anak, pasien miningitis bergeser dari usia 15 bln sampai

25 thn.

 Faktor Tempat Tinggal

Orang yang berkumpul atau tinggal di perumahan pandat penduduk. Orang

yang tinggal diperumahan yang padat penduduk, siswa yang tinggal di

asrama, personil di pangkalan militer atau anak-anak Yang dititipkan di

penitipan anak ( day care) akan meningkatkan resiko meningitis. Hal ini

dikarenakan penyebaran penyakit menjadi lebih cepat bila sekelompok orang

berkumpul.

13
 Ibu hamil

Pada wanita yang hamil, ada peningakatan kontraksi listeriosis, yaitu infeksi

yang di sebabkan oleh bakteri listeria, yang juga dapat menyebabkan

meningitis bila memiliki listeriosis bayi yang belum melahirpun akan

bereaiko terkena.

 Faktor Lingkungan Kerja

Bekerja di lingkungan yang dengan hewan.

Pekerjaan yang selalu berhubungan dengan hewan seperti pertenak, juga

memiliki resiko tinggi tertular listeria, yang dapat mengakibatkan meningitis

 Faktor Imunitas

1) Orang dengan sistem kekebalan tubuh lemah antara lain :

o Bayi yang lahir terang bulan ( prematur) dan berat kelahiran rendah

o Bayi yang hanya di beri ASI sebentar atau sedikit

o Orang sering terpapang asap rokok

2) Orang yang sering mengalami infeksi virus di saluran pernapasan

o Pendrita penyakit kronis seperti kanker dan diabetes, penderita HIV

o Pengguna obat immunosuppresan juga lebih rentan terhadap

meningitis

2.2.5 Klasifikasi Meningitis

Meningitis dapat dibedakan menjadi beberapa tipe sebagai berikut:

a) Meningitis Kriptikokus

14
Adalah meningitis yang disebabkan oleh jamur kriptikokus. Jamur ini bisa

masuk ketubuh kita saat kita menghirup debu atau tahi burung yang kering.

Kriptikokus ini dapat menginfeksikan kulit, paru, dan bagian tubuh lain.

Meningitis kriptikokus ini paling sering terjadi pada orang dengan CD4

dibawah100.

Diagnosis: Darah atau cairan sumsum tulang belakang dalam dites untuk

kriptokokus dengan dua cara. Tes yang disebut ‘CRAG’ mencari antigen

(sebuah protein) yang dibuat oleh kriptokokus. Tes ‘biakan’ mencoba

menumbuhkan jamur kriptokokus dari contoh cairan. Tes CRAG cepat

dilakukan dan dapat member hasil pda hari yang sama. Tes biakan akan

membutuhkan waktu satu minggu atau lebih untuk menunjukan hasil positif.

Cairan sumsum tulang belakang juga dapat dites secara cepat bila diwarnai

dengan tintah india. (Yayasan Spiritia., 2006)

b) Viral Meningitis

Termasuk penyakit ringan. Gejalannya mirif dengan sakit flu biasa, dan

umumnya si penderita dapat sembuh sendiri. Frekuensi viral meningitis

biasanya meningkat dimusim panas karena pada saat itu orang lebih sering

terpapar agen pengantar virus. Banyak virus yang bisa menyebabkan viral

meningitis. Anatara lain virus herpes dan virus penyebab flu perut. (Anonim.,

2007).

c) Bakterial Meningitis

Disebabkan oleh bakteri tertentu dan merupakan penyakit serius. Salah satu

bakterinya adalah meningococcal bacteria. Gejalannya seperti timbul bercak

15
kemerahan atau kecoklatan pada kulit. Bercak ini akan berkembang menjadi

memar yang mengurangi suplai ke daerah organ-organ lain dalam tubuh dapat

berakibat fatal dan menyebabkan kematian. (Anonim., 2007).

d) Meningitis Tuberkulosis Generalisata

Gejala : demam, ,udah kesal, opstipasi, muntah-muntah, ditemukan tanda-tanda

perangsangan menigen seperti kaku kuduk, suhu badan naik turun, nadi sangat

labil /lambat, hipertensi, abdomen tampak mencekung, gangguan saraf otak.

Penyebab : kuman mikobakterium tuberkulosa varian hominis.

Diagnosis : meningitis tuberkulosis dapat di tegakkan dengan pemeriksaan

cairaan otak, darah, radiologi, testuberkulin. (harsono., 2003)

e) Meningitis purulenta

Gejala : demam tinggi, menggigil, nyeri kepala yang terus menerus, kaku

kuduk, kesadaran menurun, mual dan muntah, hilangnya nafsu makan,

kelemahan umum, rasa nyeri pada punggung serta sendi.

Penyebab : diplococcus pneumoniae (pneumokok), neisseria meningitides

(meningokok), strerococcus haemolyticus, staphylococcus aureus,

Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumonia,

Pneudomonas aeruginosa.

Diagnosis : dilakukan pemeriksaan cairan otak, antigen bakteri pada cairan

otak, darah tepi, elektrolit darah, biakan dan test kepekaan sumber infeksi,

radiologic, pemeriksaan EEG.

(Harsono,2013)

16
Berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak, yaitu meningitis serosa dan

meningitis purulenta.

a. Meningitis serosa

Meningitis serosa adalah radang selaput otak arakhnoid dan piamater yang

disertai cairan otak yang jernih. Penyebab tersering adalah Mycobacterium

tuberculosa. Penyebab lain seperti virus, Toxoplasma gondhii, dan Ricketsia .

b. Meningitis purulenta

Meningitis purulenta adalah radang bernanah pada arakhnoid dan piamater

yang meliputi otak dan medulla spinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus

pneumonia (pneumokok), Neisseria meningitides (meningokok), Streptococcus

haemolyticus group A, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae,

Escherichia colli, Klebsiella pneumonia, dan Pseudomonas aeruginosa.

2.2.6 Patofisiologi

Ada beberapa teori yang menggambarkan patofisiologi dari meningitis, yaitu :

1. Meningeal Invasion

Mekanime masuknya kuman ke dalam lapisan meninges masih belum diketahui

sepenuhnya. Hal ini dipengaruhi oleh keadaan pejamu, agen infeksi dan faktor

lingkungan. Pada bayi yang belum menghasilkan antibody spesifik dapat mudah

terkena meningitis oleh bakteri gram negatif, sedangkan pada bayi yang agak besar

telah kehilangan IgG yang diperolehnya melalui plasenta dan mudah terkena infeksi

17
meningokokus dan H. Influenzae. Pada orang dewasa dengan gangguan sistem imun

seperti pada keganasan sistem retikuloendotelial dapat mempermudah infeksi susunan

syaraf pusat. Konsentrasi kuman yang tinggi didalam darah akibat suatu infeksi

dibagian lain tubuh atau karena proses transmisi kuman karena kontak antar individu

dapat menyebabkan invasi kuman pada meninges (Mahar, 2008). Virus setelah

melakukan perlekatan dan invasi terhadap sel pejamu dapat bereplikasi dan menyebar

yang kemudian menyebabkan destruksi sel pejamu (Swierzewski, 2002)

Meningitis pada umumnya terjadi sebagai akibat dari penyebaran penyakit di

organ atau jaringan tubuh yang lain. Virus / bakteri menyebar secara hematogen

sampai ke selaput otak, misalnya pada penyakit Faringitis, Tonsilitis, Pneumonia,

Bronchopneumonia dan Endokarditis. Penyebaran bakteri/virus dapat pula secara

perkontinuitatum dari peradangan organ atau jaringan yang ada di dekat selaput otak,

misalnya Abses otak, Otitis Media, Mastoiditis, Trombosis sinus kavernosus dan

Sinusitis. Penyebaran kuman bisa juga terjadi akibat trauma kepala dengan fraktur

terbuka atau komplikasi bedah otak (Soegijanto, S., 2002).

Invasi kuman-kuman ke dalam ruang subaraknoid menyebabkan reaksi radang

pada pia dan araknoid, CSS (Cairan Serebrospinal) dan sistem ventrikulus (Harsono,

1996).

2. Induksi Inflamasi

Antigen kuman penyebab infeksi meninges dapat menginduksi proses inflamasi

melalui mediator yang berperan seperti interleukin, tumor necrosis factor-α (TNF-α),

18
interferon, prostaglandin, nitrit oksida, platelet activation factor (PAF) dan mediator

lainnya. Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang

mengalami hiperemi; dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel

leukosit polimorfonuklear ke dalam ruang subarakhnoid, kemudian terbentuk

eksudat. Dalam beberapa hari terjadi pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam

minggu kedua sel- sel plasma. Eksudat yang terbentuk terdiri dari dua lapisan, bagian

luar mengandung leukosit polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di lapisan

dalam terdapat makrofag (Harsono, 1996).

3. Perubahan Sawar Darah Otak

Sawar darah otak, menjaga susunan syaraf pusat terhadap bahaya yang datang

dari lintasan hematogen. Proses radang juga menyebabkan terjadinya perubahan

permeabilitas dari kapiler otak yang sebelumnya kedap dan selektif terhadap berbagai

macam zat, menjadi permeabel sehingga terjadi kebocoran plasma dan dapat

menyebabkan kuman masuk kedalam cairan serebrospinal dan ruang subarachnoid.

Dengan demikian peradangan akan terus terjadi tidak hanya pada pembuluh darah.

Selain itu Proses radang yang mengenai vena-vena di korteks dapat menyebabkan

trombosis, infark otak, edema otak dan degenerasi neuron- neuron. Trombosis serta

organisasi eksudat perineural yang fibrino-purulen menyebabkan kelainan kranialis.

Pada meningitis yang disebabkan oleh virus, cairan serebrospinal tampak jernih

dibandingkan Meningitis yang disebabkan oleh bakteri (Harsono, 1996).

19
4. Perubahan Aliran Serebrospinal dan Tekanan Intrakranial

Aliran cairan serebrospinal dapat terhambat oleh karena terjadi trombosis atau

perlekatan vili vena pada sinus akibat peradangan yang berperan dalam absorbsi

cairan serebrospinal sehingga menimbulkan hidrosefalus. Selain itu, plexus koroideus

yang berfungsi untuk memproduksi cairan serebrospinal jika terkena radang akan

meningkatkan produksinya sehingga timbul hidrosefalus komunikans. Jika terus

berlanjut akan menyebabkan edema otak dan peningkatan tekanan intrakranial

sehingga terjadi kompresi pada otak dan pembuluh darah, menurunkan aliran suplai

nutrisi dan oksigen. Jika proses ini tidak dicegah dapat menimbulkan atrofi jaringan

otak, defisit neurologis, berupa parese nervus kranialis dan hemiparese, penurunan

kesadaran dan bahkan kematian.

20
Gambar 5. Bagan Alur Patofisiologi Meningitis

21
2.2.7 Manifestasi Klinis

Gejala klasik berupa trias meningitis mengenai kurang lebih 44% penderita

meningitis bakteri dewasa. Trias meningitis tersebut sebagai berikut (Hasbu, 2013).

1. Demam

2. Nyeri kepala

3. Kaku kuduk.

Selain itu meningitis ditandai dengan adanya gejala-gejala seperti panas

mendadak, letargi, mual muntah, penurunan nafsu makan, nyeri otot,

fotofobia, mudah mengantuk, bingung, gelisah, parese nervus kranialis dan

kejang. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan cairan serebrospinal

(CSS) melalui pungsi lumbal (Hasbu, 2013).

Meningitis karena virus ditandai dengan cairan serebrospinal yang jernih serta

rasa sakit penderita tidak terlalu berat. Pada umumnya, meningitis yang disebabkan

oleh Mumpsvirus ditandai dengan gejala anoreksia dan malaise, kemudian

diikuti oleh pembesaran kelenjer parotid sebelum invasi kuman ke susunan saraf

pusat. Pada meningitis yang disebabkan oleh Echovirus ditandai dengan keluhan sakit

kepala, muntah, sakit tenggorok, nyeri otot, demam, dan disertai dengan timbulnya

ruam makopapular yang tidak gatal di daerah wajah, leher, dada, badan, dan

ekstremitas. Gejala yang tampak pada meningitis Coxsackie virus yaitu tampak lesi

vaskuler pada palatum, uvula, tonsil, dan lidah dan pada tahap lanjut timbul keluhan

22
berupa sakit kepala, muntah, demam, kaku kuduk, dan nyeri punggung (Soedarto,

2004).

Meningitis bakteri biasanya didahului oleh gejala gangguan alat pernafasan

dan gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonatus terjadi secara akut dengan

gejala panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu makan

berkurang, dehidrasi dan konstipasi, biasanya selalu ditandai dengan fontanella yang

mencembung. Kejang dialami lebih kurang 44 % anak dengan penyebab

Haemophilus influenzae, 25 % oleh Streptococcus pneumoniae, 21 % oleh

Streptococcus, dan 10 % oleh infeksi Meningococcus. Pada anak-anak dan dewasa

biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernafasan bagian atas, penyakit juga

bersifat akut dengan gejala panas tinggi, nyeri kepala hebat, malaise, nyeri otot dan

nyeri punggung. Cairan serebrospinal tampak kabur, keruh atau purulent (Harsono,

1996).

Meningitis Tuberkulosa terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium I atau stadium

prodormal selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala infeksi

biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat subakut, sering tanpa demam,

muntah-muntah, nafsu makan berkurang, murung, berat badan turun, mudah

tersinggung, cengeng, opstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan kesadaran berupa

apatis. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala,

konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, dan sangat

gelisah (Harsono, 1996).

23
Stadium II atau stadium transisi berlangsung selama 1 – 3 minggu dengan

gejala penyakit lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat,

gangguan kesadaran dan kadang disertai kejang terutama pada bayi dan anak-anak.

Tanda-tanda rangsangan meningeal mulai nyata, terjadi parese nervus kranialis,

hemiparese atau quadripare, seluruh tubuh dapat menjadi kaku, terdapat tanda-tanda

peningkatan intrakranial, ubun-ubun menonjol dan muntah lebih hebat.

Stadium III atau stadium terminal ditandai dengan kelumpuhan semakinSparah dan

gangguan kesadaran lebih berat sampai koma. Pada stadium ini penderita dapat

meninggal dunia dalam waktu tiga minggu bila tidak mendapat pengobatan

sebagaimana mestinya (Harsono, 1996).

2.2.8 Penegakan Diagnosa

Penegakan diagnosis dapat diketahui dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesa

Pada anamnesa dapat diketahui adanya trias meningitis seperti demam, nyeri

kepala dan kaku kuduk. Gejala lain seperti mual muntah, penurunan nafsu makan,

mudah mengantuk, fotofobia, gelisah, kejang dan penurunan kesadaran (Juwono,

1993). Anamnesa dapat dilakukan pada keluarga pasien yang dapat dipercaya jika

tidak memungkinkan untuk autoanamnesa.

24
2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang dapat mendukung diagnosis meningitis biasanya

dilakukan pemeriksaan rangsang meningeal. Yaitu sebagai berikut (Fatimah, 2012).

a. Pemeriksaan Kaku Kuduk

Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi

kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan

pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot.

b. Pemeriksaan Kernig

Pasien berbaring terlentang, dilakukan fleksi pada sendi panggul kemudian

ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mengkin tanpa rasa nyeri.

Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135°

(kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha

biasanya diikuti rasa nyeri.

c. Pemeriksaan Brudzinski I (Brudzinski leher)

Pasien berbaring dalam sikap terlentang, tangan kanan ditempatkan dibawah

kepala pasien yang sedang berbaring , tangan pemeriksa yang satu lagi

ditempatkan didada pasien untuk mencegah diangkatnya badan kemudian

kepala pasien difleksikan sehingga dagu menyentuh dada. Brudzinski I

25
positif (+) bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi di sendi

lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik.

d. Pemeriksaan Brudzinski II (Brudzinski Kontralateral tungkai)

Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi

panggul (seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+)

bila pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada sendi panggul dan lutut

kontralateral.

e. Pemeriksaan Brudzinski III (Brudzinski Pipi)

Pasien tidur terlentang tekan pipi kiri kanan dengan kedua ibu jari

pemeriksa tepat di bawah os ozygomaticum.Tanda Brudzinski III positif (+)

jika terdapat flexi involunter extremitas superior.

f. Pemeriksaan Brudzinski IV (Brudzinski Simfisis)

Pasien tidur terlentang tekan simpisis pubis dengan kedua ibu jari tangan

pemeriksaan. Pemeriksaan Budzinski IV positif (+) bila terjadi flexi

involunter extremitas inferior.

26
g. Pemeriksaan Lasegue

Pasien tidur terlentang, kemudian diextensikan kedua tungkainya. Salah

satu tungkai diangkat lurus. Tungkai satunya lagi dalam keadaan lurus.

Tanda lasegue positif (+) jika terdapat tahanan sebelum mencapai sudut 70°

pada dewasa dan kurang dari 60° pada lansia.

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Pungsi Lumbal15

Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein

cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan

tekanan intrakranial.

1) Pada Meningitis Serosa terdapat tekanan yang bervariasi, cairan

jernih, sel darah putih meningkat, glukosa dan protein normal,

kultur negatif.

2) Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan

keruh, jumlah sel darah putih meningkat (pleositosis lebih dari

1000 mm3), protein meningkat, glukosa menurun, kultur (+)

beberapa jenis bakteri.

27
Tabel berbagai kemungkinan agen infeksi pada cairan serebrospinal, yaitu :

Agent Opening WBC count Glucose Protein Microbiology

Pressure (cells/µL) (mg/dL) (mg/dL)

(mm H2

O)

Bacterial 200-300 100-5000; < 40 >100 Specific

meningitis >80% PMNs pathogen

demonstrated in

60% of Gram

stains and 80%

of cultures

Viral 90-200 10-300; Normal, Normal Viral isolation,

meningitis lymphocytes reduced but may PCR assays

in LCM be

and slightly

mumps elevated

Tuberculous 180-300 100-500; Reduced, Elevated, Acid-fast

meningitis lymphocytes < 40 >100 bacillus stain,

culture, PCR

Cryptococcal 180-300 10-200; Reduced 50-200 India ink,

meningitis lymphocytes cryptococcal

28
antigen, culture

Aseptic 90-200 10-300; Normal Normal Negative

meningitis lymphocytes but may findings on

be workup

slightly

elevated

Normal 80-200 0-5; 50-75 15-40 Negative

values lymphocytes findings on

workup

LCM = lymphocytic choriomeningitis; PCR = polymerase chain reaction;

PMN = polymorphonuclear leukocyte; WBC = white blood cell.

Tabel 1. Penilaian Cairan Serebrospinal Berdasarkan Agen Infeksi

(Hasbu, 2013)

b. Pemeriksaan Darah (Hasbu, 2013)

Dilakukan pemeriksaan darah rutin, Laju Endap Darah (LED), kadar

glukosa, kadar ureum dan kreatinin, fungsi hati, elektrolit.

1) Pemeriksaan LED meningkat pada meningitis TB

2) Pada meningitis bakteri didapatkan peningkatan leukosit

polimorfonuklear dengan shift ke kiri.

3) Elektrolit diperiksa untuk menilai dehidrasi.

29
4) Glukosa serum digunakan sebagai perbandingan terhadap glukosa

pada cairan serebrospinal.

5) Ureum, kreatinin dan fungsi hati penting untuk menilai fungsi

organ dan penyesuaian dosis terapi.

6) Tes serum untuk sipilis jika diduga akibat neurosipilis.

c. Kultur (Hasbu, 2013)

Kultur bakteri dapat membantu diagnosis sebelum dilakukan lumbal pungsi

atau jika tidak dapat dilakukan oleh karena suatu sebab seperti adanya hernia

otak. Sampel kultur dapat diambil dari :

1) Darah, 50% sensitif jika disebabkan oleh bakteri H. Influenzae, S.

Pneumoniae, N. Meningitidis.

2) Nasofaring

3) Sputum

4) Urin

5) Lesi kulit

d. Pemeriksaan Radiologi (Hasbu, 2013)

Pemeriksaan radiologis meliputi pemeriksaan foto thorax, foto kepala, CT-

Scan dan MRI. Foto thorax untuk melihat adanya infeksi sebelumnya pada

paru-paru misalnya pada pneumonia dan tuberkulosis, foto kepala kemungkinan

adanya penyakit pada mastoid dan sinus paranasal.

Pemeriksaan CT-Scan dan MRI tidak dapat dijadikan pemeriksaan diagnosis

pasti meningitis. Beberapa pasien dapat ditemukan adanya enhancemen

30
meningeal, namun jika tidak ditemukan bukan berarti meningitis dapat

disingkirkan.

Berdasarkan pedoman pada Infectious Diseases Sosiety of America (IDSA),

berikut ini adalah indikasi CT-Scan kepala sebelum dilakukan lumbal pungsi

yaitu :

1) Dalam keadaan Immunocompromised

2) Riwayat penyakit pada sistem syaraf pusat (tumor, stroke, infeksi

fokal)

3) Terdapat kejang dalam satu minggu sebelumnya

4) Papiledema

5) Gangguan kesadaran

6) Defisit neurologis fokal

Temuan pada CT-Scan dan MRI dapat normal, penipisan sulcus,

enhancement kontras yang lebih konveks. Pada fase lanjut dapat pula

ditemukan infark vena dan hidrosefalus komunikans.

31
Gambar 7. CT-Scan pada Meningitis Bakteri. Didapatkan ependimal enhancement

dan ventrikulitis (Lutfi, 2013)

Gambar 8. MRI pada meningitis bakterial akut. Contrast-enhanced, didapatkan

leptomeningeal enhancement (Hasbu, 2013)

32
2.3 Penatalaksanaan

2.3.1 Terapi Farmakologi (ICHRC)

a) Antibiotik

Prinsip dalam pemberian terapi antibiotic adalah :

 Berikan pengobatan antibiotik lini pertama sesegera mungkin.

o seftriakson: 100 mg/kgBB IV-drip/kali, selama 30-60 menit setiap 12 jam

o sefotaksim: 50 mg/kgBB/kali IV, setiap 6 jam.

 Pada pengobatan antibiotik lini kedua berikan:

o Kloramfenikol: 25 mg/kgBB/kali IM (atau IV) setiap 6 jam

o ditambah ampisilin: 50 mg/kgBB/kali IM (atau IV) setiap 6 jam

 Jika diagnosis sudah pasti, berikan pengobatan secara parenteral selama

sedikitnya 5 hari, dilanjutkan dengan pengobatan per oral 5 hari bila tidak ada

gangguan absorpsi. Apabila ada gangguan absorpsi maka seluruh pengobatan

harus diberikan secara parenteral. Lama pengobatan seluruhnya 10 hari.

 Jika tidak ada perbaikan:

o Pertimbangkan komplikasi yang sering terjadi seperti efusi subdural atau

abses serebral. Jika hal ini dicurigai, rujuk.

o Cari tanda infeksi fokal lain yang mungkin menyebabkan demam, seperti

selulitis pada daerah suntikan, mastoiditis, artritis, atau osteomielitis.

o Jika demam masih ada dan kondisi umum anak tidak membaik setelah 3–

5 hari, ulangi pungsi lumbal dan evaluasi hasil pemeriksaan CSS

33
 Jika diagnosis belum jelas, pengobatan empiris untuk meningitis TB dapat

ditambahkan. Untuk Meningitis TB diberikan OAT minimal 4 rejimen:

o INH: 10 mg/kgBB /hari (maksimum 300 mg) - selama 6–9 bulan.

o Rifampisin: 15-20 mg/kgBB/hari (maksimum 600 mg) – selama 6-9

bulan.

o Pirazinamid: 35 mg/kgBB/hari (maksimum 2000 mg) - selama 2 bulan

pertama.

o Etambutol: 15-25 mg/kgBB/hari (maksimum 2500 mg) atau Streptomisin:

30-50 mg/kgBB/hari (maksimum 1 g) – selama 2 bulan.

Gambar 9 Antibiotik Pilihan untuk Meningitis

34
b) Steroid

 Prednison 1–2 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis, diberikan selama 2–4

minggu, dilanjutkan tapering off. Bila pemberian oral tidak memungkinkan

dapat diberikan deksametason dengan dosis 0.6 mg/kgBB/hari IV selama

2–3 minggu.

 Tidak ada bukti yang cukup untuk merekomendasikan penggunaan rutin

deksametason pada semua pasien dengan meningitis bakteri.

2.3.2 Terapi Simtomatis

Pengobatan simtomatis :

(1) Diazepam IV : 0.2 – 0.5 mg/kg/dosis, atau rectal 0.4 – 0.6/mg/kg/dosis

kemudian klien dilanjutkan dengan.

(2) Fenitoin 5 mg/kg/24 jam, 3 kali sehari.

(3) Turunkan panas :

Antipiretika : parasetamol atau salisilat 10 mg/kg/dosis.

Kompres air PAM atau es.

2.3.3 Pengobatan suportif :

(1) Cairan intravena.


(2) Zat asam, usahakan agar konsitrasi O2 berkisar antara 30 – 50%.

Pengobatan berdasarkan jenis meningitis.

1. Meningitis Virus

Sebagian besar kasus meningitis dapat sembuh sendiri. Penatalaksanaan umum

meningitis virus adalah terapi suportif seperti pemberian analgesik, antpiretik, nutrisi

35
yang adekuat dan hidrasi. Meningitis enteroviral dapat sembuh sendiri dan tidak ada

obat yang spesifik, kecuali jika terdapat hipogamaglobulinemia dapat diberikan

imunoglonbulin. Pemberian asiklovir masih kontroversial, namun dapat diberikan

sesegera mungkin jika kemungkinan besar meningitis disebabkan oleh virus herpes.

Beberapa ahli tidak menganjurkan pemberian asiklovir untuk herpes kecuali jika

terdapat ensefalitis. Dosis asiklovir intravena adalah (10mg/kgBB/8jam) (Hasbu,

2013).

Gansiklovir efektif untuk infeksi Cytomegalovirus (CMV), namun karena

toksisitasnya hanya diberikan pada kasus berat dengan kultur CMV positif atau pada

pasien dengan imunokompromise. Dosis induksi selama 3 minggu 5 mg/kgBB IV/ 12

jam, dilanjutkan dosis maintenans 5 mg/kgBB IV/24 jam (Hasbu, 2013).

2. Meningitis Bakteri

Meningitis bakterial adalah suatu kegawatan dibidang neurologi karena dapat

menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Oleh karena itu pemberian

antibiotik empirik yang segera dapat memberikan hasil yang baik.

Age or Predisposing Antibiotics

Feature

Age 0-4 wk Amoxicillin or ampicillin plus either

cefotaxime or an aminoglycoside

Age 1 mo-50 y Vancomycin plus cefotaxime or

36
ceftriaxone*

Age >50 y Vancomycin plus ampicillin plus

ceftriaxone or cefotaxime plus

vancomycin*

Impaired cellular Vancomycin plus ampicillin plus either

immunity cefepime or meropenem

Recurrent meningitis Vancomycin plus cefotaxime or

ceftriaxone

Basilar skull fracture Vancomycin plus cefotaxime or

ceftriaxone

Head trauma, Vancomycin plus ceftazidime, cefepime,

neurosurgery, or CSF or meropenem

shunt

CSF = cerebrospinal fluid.

*Add amoxicillin or ampicillin if Listeria monocytogenes is a

suspected pathogen.

Tabel 2. Rekomendasi Terapi Empirik dengan Meningitis Suspek Bateri

(Hasbu, 2013)

a. Neonatus-1 bulan

37
1) Usia 0-7 hari, Ampicillin 50 mg/kgBB IV/ 8 jam atau dengan

tambahan gentamicin 2.5 mg/kgBB IV/ 12 jam.

2) Usia 8-30 hari, 50-100 mg/kgBB IV/ 6 jam atau dengan tambahan

gentamicin 2.5 mg/kgBB IV/ 12 jam.

b. Bayi usia 1-3 bulan

1) Cefotaxim (50 mg/kgBB IV/ 6 jam)

2) Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB/ 12 jam)

Ditambah ampicillin (50-100 mg/kgBB IV/ 6 jam)

Alternatif lain diberikan Kloramfenikol (25 mg/kgBB oral atau IV/ 12

jam) ditambah gentamicin (2.5 mg/kgBB IV or IM / 8 hours).

c. Bayi usia 3 bulan sampai anak usia 7 tahun

1) Cefotaxime (50 mg/kgBB IV/ 6 jam, maksimal 12 g/hari)

2) Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB IV/ 12 jam,

maksimal 4 g/hari)

d. Anak usia 7 tahun sampai dewassa usia 50 tahun

1) Dosis anak

Cefotaxime (50 mg/kgBB IV/ 6 jam, maksimal 12 g/hari)

Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB IV/ 12 jam,

maksimal 4 g/hari)

Vancomycin – 15 mg/kgBB IV/ 8 jam

2) Dosis dewasa

38
Cefotaxime – 2 g IV/ 4 jam

Ceftriaxone – 2 g IV/ 12 jam

Vancomycin – 750-1000 mg IV/ 12 jam atau 10-15 mg/kgBB IV/

12 jam

Beberapa pengalaman juga diberikan rifampisin (dosis anak-anak, 20

mg/kgBB/hari IV; dosis dewasa, 600 mg/hari oral). Jika dicurigai

infeksi listeria ditambahkan ampicillin (50 mg/kgBB IV/ 6 jam).

e. Usia lebih dari atau sama dengan 50 tahun

1) Cefotaxime – 2 g IV/ 4 jam

2) Ceftriaxone – 2 g IV/ 12 jam

Dapat ditambahkan dengan Vancomycin – 750-1000 mg IV/ 12 jam

atau 10-15 mg/kgBB IV/ 12 jam atau ampicillin (50 mg/kgBB IV/ 6

jam). Jika dicurigai basil gram negatif diberikan ceftazidime (2 g IV/ 8

jam).

Selain antibiotik, pada infeksi bakteri dapat pula diberikan kortikosteroid

(biasanya digunakan dexamethason 0,25 mg/kgBB/ 6 jam selama 2-4 hari). meskipun

pemberian kortikosteroid masih kontroversial, namun telah terbukti dapat

meningkatkan hasil keseluruhan pengobatan pada meningitis akibat H. Influenzae,

tuberkulosis, dan meningitis pneumokokus. Dalam suatu penelitian yang dilakukan

oleh Brouwer dkk., pemberian kortikosteroid dapat mengurangi gejala gangguan

39
pendengaran dan gejala neurologis sisa tetapi secara umum tidak dapat mengurangi

motilitas .

Bagan 2. Algoritma Tatalaksana Meningitis Suspek Bakteri pada Orang

Dewasa (Allan, 2004)

3. Meningitis Sifilitika

Terapi pilihan pada meningitis sifilitika adalah penisilin G kristal aqua dengan

dosis 2-4 juta unit/hari setiap 4 jam selama 10-14 hari, sering pula diikuti pemberian

penisilin G benzatin IM dengan dosis 2.4 juta unit. Pilihan alternatif adalah penisilin

G prokain dosis 2.4 juta unit/hari IM dan probenesid dosis 500 mg oral setiap 6 jam

selama 14 hari, diikuti pemberian penisilin G benzatin IM dengan dosis 2.4 juta unit.

40
Pasien dengan meningitis sifilitika disertai HIV dapat diberikan yang serupa. Oleh

karena penisilin G merupakan obat pilihan, pasien dengan alergi penisilin harus

menjalani penisilin desensitisasi. Setelah dilakukan pengobatan, pemeriksaan cairan

serebrospinal harus dilakukan secara teratur setiap 6 bulan sekali, hal ini penting

dilakukan untuk melihat keberhasilan terapi (Hasbu, 2013).

4. Meningitis Fungal

Pada meningitis akibat kandida dapat diberikan terapi inisial amphotericin B

(0.7 mg/kgBB/hari), biasanya ditambahkan Flucytosine (25 mg/kgBB/ 6 jam) untuk

mempertahankan kadar dalam serum (40-60 µg/ml) selama 4 minggu. Setelah terjadi

resolusi, sebaiknya terapi dilanjutkan selama minimal 4 minggu. Dapat pula diberikan

sebagai follow-up golongan azol seperti flukonazol dan itrakonazol (Hasbu, 2013).

5. Meningitis Tuberkulosa

Pengobatan meningitis tuberkulosa dengan obat anti tuberkulosis sama dengan

tuberkulosis paru-paru. Dosis pemberian adalah sebagai berikut :

a. Isoniazid 300 mg/hari

b. Rifampin 600 mg/hari

c. Pyrazinamide 15-30 mg/kgBB/hari

d. Ethambutol 15-25 mg/kgBB/hari

e. Streptomycin 7.5 mg/kgBB/ 12 jam

Atau dapat menggunakan acuan dosis sebagai berikut :

41
Tabel 3. Dosis Obat Antituberkulosis (Pedoman Nasional, 2006)

Pengobatan dilakukan selama 9-12 bulan. Jika sebelumnya telah mendapat

obat antituberkulosis, pengobatan tetap dilanjutkan tergantung kategori. Pemberian

kortikosteroid diindikasikan pada meningitis stadium 2 atau 3. Hal ini dapat

mengurangi inflamasi pada proses lisis bakteri karena obat anti tuberkulosis.

Biasanya dipilih dexamethason dengan dosis 60-80 mg/hari yang diturunkan secara

bertahap selama 6 minggu (Hasbu, 2013).

6. Meningitis Parasitik

Meningitis karena cacing ditatalaksana dengan terapi suportif seperti analgesia

yang adekuat, terapi aspirasi cairan serebrospinal dan antiinflamasi seperti

kortikosteroid. Pemberian obat antihelmintic dapat menjadi kontraindikasi karena

dapat memperparah gejala klinis dan bahkan menyebabkan kematian sebagai akibat

dari peradangan hebat yang merupakan respon terhadap proses penghancuran cacing.

Meningitis amuba yang diakibatkan oleh Naegleria fowleri adalah fatal.

Diagnosis dini dan pemberian dosis tinggi IV amfoterisin B atau mikonazol dan

rifampisin dapat memberikan manfaat terapi (Hasbu, 2013)

42
2.4 Komplikasi Meningitis

Komplikasi meningitis pada onset akut dapat berupa perubahan status mental,

edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial, kejang, empiema atau efusi sub

subdural, parese nervus kranialis, hidrosefalus, defisit sensorineural, hemiparesis atau

quadriparesis, kebutaan. Pada onset lanjut dapat terjadi epilepsi, ataxia, abnormalitas

serebrovaskular, intelektual yang menurun dan lain sebagainya. Komplikasi sistemik

dari meningitis adalah syok septik, disseminated intravascular coagulaton (DIC),

gangguan fungsi hipotalamus atau disfungsi endokrin, kolaps vasomotor dan bahkan

dapat menyebabkan kematian (Emad, 2012).

2.5 Prognosis

Prognosis meningitis tergantung kepada umur, mikroorganisme spesifik yang

menimbulkan penyakit, banyaknya organisme dalam selaput otak, jenis meningitis

dan lama penyakit sebelum diberikan antibiotik. Penderita usia neonatus, anak-anak

dan dewasa tua mempunyai prognosis yang semakin jelek, yaitu dapat menimbulkan

cacat berat dan kematian (Nelson, 1995).

Pengobatan antibiotika yang adekuat dapat menurunkan mortalitas meningitis

purulenta, tetapi 50% dari penderita yang selamat akan mengalami sequelle (akibat

sisa). Lima puluh persen meningitis purulenta mengakibatkan kecacatan seperti

ketulian, keterlambatan berbicara dan gangguan perkembangan mental, dan 5 – 10%

penderita mengalami kematian (Hasan, 2002).

Pada meningitis Tuberkulosa, angka kecacatan dan kematian pada umumnya tinggi.

Prognosa jelek pada bayi dan orang tua. Angka kematian meningitis TBC

43
dipengaruhi oleh umur dan pada stadium berapa penderita mencari pengobatan.

Penderita dapat meninggal dalam waktu 6-8 minggu (Harsono, 2003).

Penderita meningitis karena virus biasanya menunjukkan gejala klinis yang lebih

ringan,penurunan kesadaran jarang ditemukan. Meningitis viral memiliki prognosis

yang jauh lebih baik. Sebagian penderita sembuh dalam 1 – 2 minggu dan dengan

pengobatan yang tepat penyembuhan total bisa terjadi (Hasan, 2002).

2.6 Pencegahan Meningitis

1. Pencegahan Primer

Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor

resiko meningitis bagi individu yang belum mempunyai faktor resiko

dengan melaksanakan pola hidup sehat (Baeaglehole, 1997).

Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan imunisasi meningitis

pada bayi agar dapat membentuk kekebalan tubuh. Vaksin yang dapat

diberikan seperti Haemophilus influenzae type b (Hib), Pneumococcal

conjugate vaccine (PCV7), Pneumococcal polysaccaharide vaccine

(PPV), Meningococcal conjugate vaccine (MCV4), dan MMR (Measles

dan Rubella) (Isbagia, 2003).

Imunisasi Hib Conjugate vaccine (Hb- OC atau PRP-OMP) dimulai sejak

usia 2 bulan dan dapat digunakan bersamaan dengan jadwal imunisasi

lain seperti DPT, Polio dan MMR ( Japardi, 2002). Vaksinasi Hib dapat

melindungi bayi dari kemungkinan terkena meningitis Hib hingga 97%.

44
Pemberian imunisasi vaksin Hib yang telah direkomendasikan oleh WHO,

pada bayi 2-6 bulan sebanyak 3 dosis dengan interval satu bulan, bayi

7-12 bulan di berikan 2 dosis dengan interval waktu satu bulan, anak 1-

5 tahun cukup diberikan satu dosis. Jenis imunisasi ini tidak dianjurkan

diberikan pada bayi di bawah 2 bulan karena dinilai belum dapat

membentuk antibody (Djauzi, 2003).

Meningitis Meningococcus dapat dicegah dengan pemberian

kemoprofilaksis (antibiotik) kepada orang yang kontak dekat atau hidup

serumah dengan penderita. Vaksin yang dianjurkan adalah jenis vaksin

tetravalen A, C, W135 dan Y (Nelson, 1995).

Meningitis TBC dapat dicegah dengan meningkatkan sistem kekebalan

tubuh dengan cara memenuhi kebutuhan gizi dan pemberian imunisasi

BCG. Hunian sebaiknya memenuhi syarat kesehatan, seperti tidak over

crowded (luas lantai > 4,5 m2 /orang), ventilasi 10 – 20% dari luas lantai

dan pencahayaan yang cukup (Nofareni, 2003).

Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara mengurangi kontak

langsung dengan penderita dan mengurangi tingkat kepadatan di

lingkungan perumahan dan di lingkungan seperti barak, sekolah, tenda

dan kapal. Meningitis juga dapat dicegah dengan cara meningkatkan

personal hygiene seperti mencuci tangan yang bersih sebelum makan dan

setelah dari toilet.

45
2. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan penyakit sejak awal,

saat masih tanpa gejala (asimptomatik) dan saat pengobatan awal dapat

menghentikan perjalanan penyakit. Pencegahan sekunder dapat dilakukan

dengan diagnosis dini dan pengobatan segera. Deteksi dini juga dapat

ditingkatan dengan mendidik petugas kesehatan serta keluarga untuk

mengenali gejala awal meningitis (Fletcher, 1992).

Dalam mendiagnosa penyakit dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik,

pemeriksaan cairan otak, pemeriksaan laboratorium yang meliputi test

darah dan pemeriksaan X-ray (rontgen) paru (Sugianto, 2002). Selain itu

juga dapat dilakukan surveilans ketat terhadap anggota keluarga

penderita, rumah penitipan anak dan kontak dekat lainnya untuk

menemukan penderita secara dini (Isbagia, 2003).

3. Pencegahan Tertier

Pencegahan tertier merupakan aktifitas klinik yang mencegah

kerusakan lanjut atau mengurangi komplikasi setelah penyakit

berhenti. Pada tingkat pencegahan ini bertujuan untuk menurunkan

kelemahan dan kecacatan akibat meningitis, dan membantu penderita

untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi-kondisi yang tidak diobati

lagi, dan mengurangi kemungkinan untuk mengalami dampak neurologis

jangka panjang misalnya tuli atau ketidakmampuan untuk belajar

46
(Flecther, 1992). Fisioterapi dan rehabilitasi juga diberikan untuk

mencegah dan mengurangi cacat (Mansjoer, 2000).

47
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Meningitis merupakan suatu penyakit akibat inflamasi yang terjadi pada selaput

otak yaitu meninges. Meningitis dapat terjadi karena adanya faktor resiko tertentu

seperti pada usia yang kurang dari 5 tahun atau lebih dari 60 tahun, kekebalan tubuh

yang menurun, adanya penyakit sistemik atau penyakit lain sebelumnya seperti

tuberkulosis, mastoiditis dan sinusitis, atau adanya riwayat kontak dengan penderita

meningitis. Kejadian meningitis berhubungan dengan suatu wilayah dan musim

tertentu. Misalnya pada afrika ada suatu istilah yang disebut the african meningitis

belt, yang menunjukkan kecenderungan meningitis pada wilayah-wilayah tertentu.

Meningitis terjadi karena berbagai penyebab, pada umumnya karena infeksi

berbagai macam mikroorganisme, dimana penyebab infeksi terbanyak adalah virus

dan bakteri. Meningitis akibat virus biasanya dapat sembuh dengan sendirinya,

sementara meningitis karena bakteri dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi,

morbiditas yang lama akibat gejala sisa neurologis atau bahkan menyebabkan

kematian. Pembuatan diagnosis yang segera dan manajemen terapi yang sesuai dapat

menghentikan perjalanan penyakit dan mencegah timbulnya komplikasi. Prognosis

meningitis tergantung pada usia, tingkat keparahan penyakit, agen penyebab infeksi

dan respon pengobatan.

Pengobatan meningitis secara farmakologi terdiri dari terapi utama dan terapi

supportif. Pencegahan meningitis adalah suatu upaya untuk mencegah terjadinya

48
meningitis (primer), upaya untuk menghentikan perjalanan penyakit dengan

pengenalan dan pengobatan dini (sekunder), dan untuk mengurangi komplikasi dan

gejala sisa (tertier), sehingga diharapkan pasien dapat tetap menjalani aktivitas

sehari-harinya secara mandiri. Jika upaya pencegahan-pencegahan ini dilakukan

secara maksimal dalam ruang lingkup yang luas, kematian dan kecacatan akibat

meningitis dapat diturunkan secara signifikan.

3.2 Saran

Pembaca diharapkan dapat mengerti dan memahami gejala meningitis, karena

sangat penting untuk dapat memberikan pengobatan meningitis yang efisien agar

tidak terjadi komplikasi yang berefek fatal.

49
DAFTAR PUSTAKA

Allan, dkk., 2004. Practice Guidelines for the Management of Bacterial Meningitis.
Journal. Infectious Diseases of America (IDSA).

Beaglehole, R., dkk., 1997. Dasar-dasar Epidemiologi. Gadjah Mada University


Press, Yogyakarta.

Djauzi, S., Sundaru, H., 2003. Imunisasi Dewasa. Penerbit FK UI, Jakarta.

Emad, 2012. Neurologic Complications of Bacterial Meningitis. Journal. In tech.


Available at http://cdn.intechopen.com/pdfs/34319/InTech
Neurologic_complications_of_bacterial_meningitis.pdf

Fatimah, 2012. Pemeriksaan Klinis Neurologi 1. Article. Available at


http://publichealthnote.blogspot.com/2012/04/pemeriksaan-klinis-
neurologi.html

Fletcher, Robert H., dkk., 1992. Epidemiologi Klinik. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.

Mansjoer, A.,dkk., 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga. Media


Aesculapius, Jakarta

Guyton & Hall, 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. EGC, Jakarta.

Harsono, 2003. Kapita Selekta Neurologi Edisi Kedua. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.

Harsono, 1996. Buku Ajar Neurologi Klinis, Edisi Pertama. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.

Hasan, R., Alatas, H., 2002. Ilmu Kesehatan Anak, Buku Kuliah Infomedika.
Jakarta.

50
Hasbu, Rodrigo, May 7, 2013. Meningitis. Article. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/232915-overview#showall

Isbagia, D., 2003. Kemajuan Dalam Pengembangan Vaksin Terhadap Infeksi


Saluran Pernapasan dan Meningitis. Buletin Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Vol.XIII, No.4, Hal 32-37, Jakarta

Japardi, I. 2002. Meningitis Meningococcus. Journal. FK USU Digital Library.


Available at http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah
iskandar%20japardi23.pdf

Junqueira, dkk., 1998. Histologi Dasar. Edisi ke-8. EGC. Jakarta.

Junqueira & Carneiro, 2005. Basic Histology Text & Atlas. 11 edition. McGraw-Hill
Companies, New York.

Juwono, T., 1993. Penatalaksanaan Kasus-kasus Darurat Neurologi. Widya Medika,


Jakarta.

Kandun, I., 2006. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Infomedika, Jakarta.

Lutfi, et all., 2013. Imaging in Bacterial Meningitis. Article. Available at


http://emedicine.medscape.com/article/341971-overview#showall

Mackenna & CallaHnder, 1997. Ilustrated Physiology Sixth Edition. Churchill


Livingstone.

Mahar M & Priguna S, 2008. Neurologi Klinis Dasar. Cetakan ke-12. PT. Dian
Rakyat, Jakarta.

Nelson, 1996. Ilmu Kesehatan Anak, Bagian 2. EGC, Jakarta.

Nelson, 1995. Ilmu Kesehatan Anak. Kedokteran. EGC, Jakarta.

Nofareni, 2003. Status Imunisasi BCG dan Faktor Lain yang Mempengaruhi
Terjadinya Meningitis Tuberkulosa. USU Digital Library.
Available at http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6245/1/anak-
nofareni.pdf

51
Pedoman Nasional, 2006. Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.

R. Putz & R. Pabst, 2007. Sobotta. Jilid 1. Jakarta : EGC. Hal : 261.

Soedarto, 2004. Sinopsis Virologi Kedokteran. Airlangga University Press,


Surabaya.

Soegijanto, S., 2002. Ilmu Penyakit Anak: Diagnosa dan Penatalaksanaan, Edisi
Pertama. Salemba Medika, Jakarta.

Swierzewski, S., 2002. Meningitis, Insidens and Prevalence.


Available at http://www.healthcommunities.com/meningitis/incidence.shtml
Yuliana, 2013. Tinjauan Histologi Sawar Darah Otak. Vol. 9. Jurnal Kedokteran.
Bagian Histologi Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Lambung Mangkurat.

52

Anda mungkin juga menyukai