Anda di halaman 1dari 37

ANATOMI DAN FISIOLOGI KEPALA

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit, connective tissue atau
jaringan penyambung, aponeurosis ataugalea aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan
penunjang longgar dan pericranium Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis
kranii.
Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital.
Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis
cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses
akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat
lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang
otak dan serebelum .
Meningen

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
1. Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan
meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang
melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di
bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara dura mater
dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.Pada cedera otak, pembuluh-
pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah
atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan
subdural.Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus
sigmoideus.Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium (ruang
epidural).Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan
menyebabkan perdarahan epidural.Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea
media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).

2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.Selaput arakhnoid terletak
antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini
dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater
oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid
umumnya disebabkan akibat cedera kepala.

3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah membrana vaskular yang
dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling
dalam.Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya.Arteri-arteri
yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater
# Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar 14 kg. Otak
terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon,
mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula
oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi
motorik dan pusat ekspresi bicara.Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan
orientasi ruang.Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital
bertanggungjawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem
aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan.Pada medula oblongata
terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan.

# Cairan Serebrospinal (CSS)


Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi
sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju
ventrikel III, akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam
sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya
darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS
dan menyebabkan kenaikan takanan intrakranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa
volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.

# Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari fosa
kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).

# Vaskularisasi otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.Keempat arteri ini
beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk circulus Willisi.Vena-vena otak
tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai
katup.Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.

Fisiologi Kepala
Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah intrakranial, cairan secebrospinal dan
parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang dewasa dalam posisi terlentang sama dengan
tekanan CSS yang diperoleh dari lumbal pungsi yaitu 4 – 10 mmHg. Kenaikan TIK dapat
menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia.Prognosis yang buruk
terjadi pada penderita dengan TIK lebih dari 20 mmHg, terutama bila menetap (3).Pada saat cedera,
segera terjadi massa seperti gumpalan darah dapat terus bertambah sementara TIK masih dalam
keadaan normal. Saat pengaliran CSS dan darah intravaskuler mencapai titik dekompensasi maka
TIK secara cepat akan meningkat. Sebuah konsep sederhana dapat menerangkan tentang dinamika
TIK.Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial harus selalu konstan, konsep ini dikenal
dengan Doktrin Monro-Kellie (3).Otak memperoleh suplai darah yang besar yaitu sekitar
800ml/min atau 16% dari cardiac output, untuk menyuplai oksigen dan glukosa yang cukup (8).
Aliran darah otak (ADO) normal ke dalam otak pada orang dewasa antara 50-55 ml per 100 gram
jaringan otak per menit. Pada anak, ADO bisa lebih besar tergantung pada usainya (3,12). ADO
dapat menurun 50% dalam 6-12 jam pertama sejak cedera pada keadaan cedera otak berat dan
koma. ADO akan meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada penderita yang tetap koma
ADO tetap di bawah normal sampai beberapa hari atau minggu setelah cedera. Mempertahankan
tekanan perfusi otak/TPO (MAP-TIK) pada level 60-70 mmHg sangat rirekomendasikan untuk
meningkatkan ADO.
MENINGIOMA

1. Definisi dan Klasifikasi

Meningioma adalah adalah tumor pada meningens, yang merupakan selaput pelindung otak dan
medulla spinalis. Meningioma dapat timbul pada tempat yang melindungi otak dan medulla
spinalis. Meningioma dapat timbul pada tempat manapun dibagian otak maupun medulla spinalis,
tetapi umumnya terjadi di hemisfer otak semua lobusnya. Kebanyakan mengioma bersifat jinak
(benign). Mardjono, 2003)
Kraniotomi adalah mencakup pada pembukaan tengkorak melalui pembedahan untuk
meningkatkan akses pada struktur intracranial. Prosedur ini dilakukan untuk menghilangkan
tumor, mengurangi tekanan intrakranial, mengevaluasi bekuan darah dan mengontrol haemoragi.
(Brunner & Studdarth, 2002)

Meningioma adalah tumor pada meninx, yang merupakan selaput pelindung yang

melindungi otak dan medulla spinalis. Di antara sel-sel meningen itu belum dapat dipastikan sel

mana yang membentuk tumor tetapi terdapat hubungan erat antara tumor ini dengan villi

arachnoid. Tumbuhnva meningioma kebanvakan di tempat ditemukan banyak villi arachnoid.

Pada orang dewasa menempati urutan kedua terbanyak. Dijumpai 50% pada konveksitas dan 40%

pada basis kranii. Selebihnya pada foramen magnum, fosa posterior, dan sistem ventrikulus.

Meningioma dapat timbul pada tempat manapun di bagian otak maupun medulla spinalis, tetapi,

umumnya terjadi di hemisphere otak di semua lobusnya (2).

Kebanyakan meningioma bersifat jinak (benign). Meningioma malignant jarang terjadi.

Menigioma merupakan neoplasma intrakranial nomer dua terbanyak. Lebih sering dijumpai pada

wanita daripada pria, terutama pada golongan umur antara 50-60 tahun dan tetapi tidak tertutup
kemungkinan muncul pada masa kanak-kanak atau pada usia yang lebih lanjut, dan

memperlihatkan kecenderungan untuk ditemukan pada beberapa anggota di satu keluarga. Paling

banyak meningioma tergolong jinak (benign) dan 10 % malignant. Perbandingan antara wanita

dan laki-laki adalah 3 : 2, namun ada pula sumber yang menyebutkan 7 : 2 (3).

Tumor ini mempunyai sifat yang khas yaitu tumbuh lambat dan mempunyai kecendrungan

meningkatnya vaskularisasi tulang yang berdekatan, hyperostosis tengkorak serta menekan

jaringan sekitarnya. Tumor otak yang tergolong jinak ini secara histopatologis berasal dari sel

pembungkus arakhnoid (arakhnoid cap cells) yang mengalami granulasi dan perubahan bentuk.

Patofisiologi terjadinya meningioma sampai saat ini masih belum jelas. Kaskade eikosanoid

diduga memainkan peranan dalam tumorogenesis dan perkembangan edema peritumoral (3).

WHO mengembangkan sistem klasifikasi untuk beberapa tumor yang telah diketahui,

termasuk meningioma. Tumor diklasifikasikan melalui tipe sel dan derajat pada hasil biopsi yang

dilihat di bawah mikroskop. Penatalaksanaannya pun berbeda-beda di tiap derajatnya (4).

a. Grade I

Meningioma tumbuh dengan lambat . Jika tumor tidak menimbulkan gejala, mungkin

pertumbuhannya sangat baik jika diobservasi dengan MRI secara periodic. Jika tumor semakin

berkembang, maka pada akhirnya dapat menimbulkan gejala, kemudian penatalaksanaan bedah

dapat direkomendasikan. Kebanyakan meningioma grade I diterapi dengan tindakan bedah dan

observasi lanjut.

b. Grade II

Meningioma grade II disebut juga meningioma atypical. Jenis ini tumbuh lebih cepat

dibandingkan dengan grade I dan mempunyai angka kekambuhan yang lebih tinggi juga.
Pembedahan adalah penatalaksanaan awal pada tipe ini. Meningioma grade II biasanya

membutuhkan terapi radiasi setelah pembedahan 7.

c. Grade III

Meningioma berkembang dengan sangat agresif dan disebut meningioma malignant atau

meningioma anaplastik. Meningioma malignant terhitung kurang dari 1 % dari seluruh kejadian

meningioma. Pembedahan adalah penatalaksanaan yang pertama untuk grade III diikuti dengan

terapi radiasi. Jika terjadi rekurensi tumor, dapat dilakukan kemoterapi.

Meningioma juga diklasifikasikan ke dalam subtype berdasarkan lokasi dari tumor (5):

1. Meningioma falx dan parasagital (25% dari kasus meningioma). Falx adalah selaput yang

terletak antara dua sisi otak yang memisahkan hemisfer kiri dan kanan. Falx cerebri

mengandung pembuluh darah besar. Parasagital meningioma terdapat di sekitar falx.

2. Meningioma Convexitas (20%). Tipe meningioma ini terdapat pada permukaan atas otak.

3. Meningioma Sphenoid (20%). Daerah Sphenoidalis berlokasi pada daerah belakang mata.

Banyak terjadi pada wanita.

4. Meningioma Olfactorius (10%). Tipe ini terjadi di sepanjang nervus yang menghubungkan

otak dengan hidung.

5. Meningioma fossa posterior (10%). Tipe ini berkembang di permukaan bawah bagian

belakang otak.

6. Meningioma suprasellar (10%). Terjadi di bagian atas sella tursica, sebuah kotak pada dasar

tengkorak dimana terdapat kelenjar pituitary.

7. Spinal meningioma (kurang dari 10%). Banyak terjadi pada wanita yang berumur antara 40

dan 70 tahun. Akan selalu terjadi pada medulla spinalis setingkat thorax dan dapat menekan
spinal cord. Meningioma spinalis dapat menyebabkan gejala seperti nyeri radikuler di

sekeliling dinding dada, gangguan kencing, dan nyeri tungkai.

8. Meningioma Intraorbital (kurang dari 10%). Tipe ini berkembang pada atau di sekitar mata

cavum orbita.

9. Meningioma Intraventrikular (2%). Terjadi pada ruangan yang berisi cairan di seluruh bagian

otak.

Gambar 1. Lokasi Umum Meningioma

2. Etiologi

Para ahli tidak memastikan apa penyebab tumor meningioma, namun beberapa teori telah

diteliti dan sebagian besar menyetujui bahwa kromosom yang jelek yang meyebabkan timbulnya

meningioma. Para peneliti sedang mempelajari beberapa teori tentang kemungkinan asal usul

meningioma. Di antara 40% dan 80% dari meningiomas berisi kromosom 22 yang abnormal pada

lokus gen neurofibromatosis 2 (NF2). NF2 merupakan gen supresor tumor pada 22Q12, ditemukan
tidak aktif pada 40% meningioma sporadik. Pasien dengan NF2 dan beberapa non-NF2 sindrom

familial yang lain dapat berkembang menjadi meningioma multiple, dan sering terjadi pada usia

muda. Disamping itu, deplesi gen yang lain juga berhubungan dengan pertumbuhan meningioma

(6).

Kromosom ini biasanya terlibat dalam menekan pertumbuhan tumor. Penyebab kelainan

ini tidak diketahui. Meningioma juga sering memiliki salinan tambahan dari platelet diturunkan

faktor pertumbuhan (PDGFR) dan epidermis reseptor faktor pertumbuhan (EGFR) yang mungkin

memberikan kontribusi pada pertumbuhan tumor ini. Sebelumnya radiasi ke kepala, sejarah

payudara kanker, atau neurofibromatosis tipe 2 dapat risiko faktor untuk mengembangkan

meningioma. Multiple meningioma terjadi pada 5% sampai 15% dari pasien, terutama mereka

dengan neurofibromatosis tipe 2. Beberapa meningioma memiliki reseptor yang berinteraksi

dengan hormon seks progesteron, androgen, dan jarang estrogen. Ekspresi progesteron reseptor

dilihat paling sering pada meningioma yang jinak, baik pada pria dan wanita. Fungsi reseptor ini

belum sepenuhnya dipahami, dan demikian, sering kali menantang bagi dokter untuk menasihati

pasien perempuan mereka tentang penggunaan hormon jika mereka memiliki sejarah suatu

meningioma. Meskipun peran tepat hormon dalam pertumbuhan meningioma belum ditentukan,

peneliti telah mengamati bahwa kadang-kadang mungkin meningioma tumbuh lebih cepat pada

saat kehamilan (6,7)

Faktor-faktor terpenting sebagai penyebab meningioma adalah trauma, kehamilan, dan virus.
Pada penyelidikan dilaporkan 1/3 dari meningioma mengalami trauma. Pada beberapa kasus ada
hubungan langsung antara tempat terjadinya trauma dengan tempat timbulnya tumor. Sehingga
disimpulkan bahwa penyebab timbulnya meningioma adalah trauma. Beberapa penyelidikan
berpendapat hanya sedikit bukti yang menunjukkan adanya hubungan antara meningioma dengan
trauma.
Penyebab tumor masih sangat sedikit yang diketahui. Meningioma sedikit lebih banyak pada
wanita. Neurofibroma. Neurilema dan glioma sering berhubungan dengan neurofibromatosis.
Sementara itu neurofibromatosis tergolong pada kelainan perkembangan dari neuroektoderm dan
mesoderm yang disebut fakomatosa. Contoh fakomatosa lain misalnya tuberosklerosis yang selalu
disertai peningkatan insidensi tumor otak.
Radiasi merupakan satu faktor untuk timbulnya tumor otak. Trauma, infeksi dan toksin belum
dapat dibuktikan sebagai penyebab timbulnya tumor otak. Tetapi bahan insdustri tertentu seperti
nitrosourea adalah karsinogen yang paten, setidak – tidaknya pada kelinci percobaan. Limfoma lebih
sering terdapat pada mereka yang mendapat imunosupresan seperti pada transplantasi ginjal, sumsum
tulang dan pada AIDS.
Dilaporkan juga bahwa meningioma ini sering timbul pada akhir kehamilan, mungkin hal ini
dapat dijelaskan atas dasar adanya hidrasi otak yang meningkat pada saat itu. Para ahli tidak
memastikan apa penyebab tumor meningioma, namun beberapa teori telah diteliti dan sebagian besar
menyetujui bahwa kromoson yang jelek yang meyebabkan timbulnya meningioma. Faktor-faktor
terpenting sebagai penyebab meningioma adalah trauma, kehamilan, dan virus. Pada penyelidikan
dilaporkan 1/3 dari meningioma mengalami trauma, Pada beberapa kasus ada hubungan langsung antara
tempat terjadinya trauma dengan tempat timbulnya tumor. Sehingga disimpulkan bahwa penyebab
timbulnya meningioma adalah trauma. Beberapa penyelidikan berpendapat hanya sedikit bukti
yang menunjukkan adanya hubungan antara meningioma dengan trauma.
Teori lain menyatakan bahwa virus dapat juga sebagai penyebabnya. Pada penyelidikan dengan
light microscope ditemukan virus like inclusion bodies dalam nuclei dari meningioma. Tetapi
penyelidikan ini kemudian dibantah bahwa pemeriksaan electron misroscope inclusion bodies ini
adalah proyeksi cytoplasma yang berada dalam membran inti.

3. Patofisiologi dan Faktor Risiko

Patofisiologi terjadinya meningioma sampai saat ini masih belum jelas. Kaskade eikosanoid
diduga memainkan peranan dalam tumorogenesis dan perkembangan edema peritumoral. Dari
lokalisasinya Sebagian besar meningioma terletak di daerah supratentorial. Insidens ini meningkat
terutama ada daerah yang mengandung granulatio Pacchioni. Lokalisasi terbanyak pada daerah
parasagital dan yang paling sedikit pada fossa posterior.
Tumor otak menyebabkan timbulnya ganguan neurologik progresif. Gejala-gejalanya timbul
dalam rangkaian kesatuan sehingga menekankan pentingnya anamnesis dalam pemeriksaan penderita.
Gejala-gejala sebaiknya dibicarakan dalam suatu perspektif waktu. Gangguan neurologik pada tumor
otak biasanya dianggap disebabkan oleh dua faktor : gangguan fokal akibat tumor dan kenaikan
tekanan intra kranial. Gangguan fokal terjadi apabila terdapat penekanan pada jaringan otak, dan
infiltrasi atau infasi langsung pada parenkim otak dengan kerusakan jaringan neural. Disfungsi
terbesar terjadi pada tumor infiltratif yang tumbuh paling cepat (glioblastoma multiforma).
Perubahan suplai darah akibat tekanan tumor yang bertumbuh menyebabkan nekrosis jaringan
otak. Gangguan suplai darah arteri pada umumnya bermanifestasi sebagai hilangnya fungsi secara akut
dan mungkin dapat dikacaukan dengan gangguan serebrovaskuler primer. Serangan kejang sebagai
manifestasi perubahan kepekaan neuron dihubungkan dengan kompresi, infasi, dan perubahan suplai
darah kejaringan otak. Bebrapa tumor membentuk kista yang juga menekan parenkim otak sekitarnya
sehingga memperberat gangguan neurologis fokal.
Meningioma juga berhubungan dengan hormon seks dan seperti halnya faktor etiologi lainnya
mekanisme hormon sex hingga memicu meningioma hingga saat ini masih menjadi perdebatan. Pada
sekitar 2/3 kasus meningioma ditemukan reseptor progesterone. Tidak hanya progesteron, reseptor
hormon lain juga ditemukan pada tumor ini termasuk estrogen, androgen, dopamine, dan reseptor
untuk platelet derived growth factor. Beberapa reseptor hormon sex diekspressikan oleh meningioma.
Dengan teknik imunohistokimia yang spesifik dan teknik biologi molekuler diketahui bahwa estrogen
diekspresikan dalam konsentrasi yang rendah. Reseptor progesteron dapat ditemukan dalam sitosol
dari meningioma. Reseptor somatostatin juga ditemukan konsisten pada meningioma.
Pada meningioma multiple, reseptor progesteron lebih tinggi dibandingkan pada meningioma
soliter. Reseptor progesteron yang ditemukan pada meningioma sama dengan yang ditemukan pada
karsinoma mammae. Jacobs dkk (10) melaporkan meningioma secara bermakna tidak berhubungan
dengan karsinoma mammae, tapi beberapa penelitian lainnya melaporkan hubungan karsinoma
mammae dengan meningioma.
Meningioma merupakan tumor otak yang pertumbuhannya lambat dan tidak menginvasi otak
maupun medulla spinalis. Stimulus hormon merupakan faktor yang penting dalam pertumbuhan
meningioma. Pertumbuhan meningioma dapat menjadi cepat selama periode peningkatan hormon,
fase luteal pada siklus menstruasi dan kehamilan.

4. Manifestasi Klinis dan Diagnosis


Gejala meningioma dapat bersifat umum (disebabkan oleh tekanan tumor pada otak dan

medulla spinalis) atau bisa bersifat khusus (disebabkan oleh terganggunya fungsi normal dari

bagian khusus dari otak). Secara umum, meningioma tidak bisa didiagnosa pada gejala awal (9).

Gejala umumnya seperti (9): Sakit kepala, dapat berat atau bertambah buruk saat

beraktifitas atau pada pagi hari; Perubahan mental; Kejang; Mual muntah; Perubahan visus,

misalnya pandangan kabur.

Gejala dapat pula spesifik terhadap lokasi tumor (5):

 Meningioma falx dan parasagittal : nyeri tungkai

 Meningioma Convexitas : kejang, sakit kepala, defisit neurologis fokal, perubahan status mental

 Meningioma Sphenoid : kurangnya sensibilitas wajah, gangguan lapangan pandang, kebutaan,

dan penglihatan ganda.

 Meningioma Olfactorius : kurangnya kepekaan penciuman, masalah visus.

 Meningioma fossa posterior : nyeri tajam pada wajah, mati rasa, dan spasme otot-otot wajah,

berkurangnya pendengaran, gangguan menelan, gangguan gaya berjalan,

 Meningioma suprasellar : pembengkakan diskus optikus, masalah visus

 Spinal meningioma : nyeri punggung, nyeri dada dan lengan

 Meningioma Intraorbital : penurunan visus, penonjolan bola mata

 Meningioma Intraventrikular : perubahan mental, sakit kepala, pusing


Gambar 2. Meningioma

Gambar 3. Meningioma

Gambar 4. Meningioma
Gambar 5. Meningioma

MR angiografi (scan MRI pembuluh darah) atau arteriogram (X-ray dari pembuluh darah)

dapat digunakan untuk merencanakan embolisasi, prosedur untuk memblokir pembuluh darah di

tumor. Digunakan untuk tumor yang memiliki suplai darah yang luas, embolisasi dapat membantu

untuk mengurangi perdarahan selama operasi. Jaringan hanya dapat diperoleh melalui biopsi atau

bedah eksisi (10).

Meningioma dapat tumbuh di mana saja di sepanjang meningen dan dapat menimbulkan

manifestasi klinis yang sangat bervariasi sesuai dengan bagian otak yang terganggu. Sekitar 40%

meningioma berlokasi di lobus frontalis dan 20% menimbulkan gejala sindroma lobus frontalis.

Sindroma lobus frontalis sendiri merupakan gejala ketidakmampuan mengatur perilaku seperti

impulsif, apati, disorganisasi, defisit memori dan atensi, disfungsi eksekutif, dan ketidakmampuan

mengatur mood (5).

5. Pemeriksaan Penunjang Radiologi

CT-scan kontras dan CT-scan tanpa kontras memperlihatkan paling banyak meningioma.

Tanpa kontras gambaran meninioma 75% hiperdens dan14,4% isodens. Gambaran spesifik dari

meninioma berupa enchancement dari tumor dengan pemberian kontras. Meninioma tampak

sebagai masa yang homogen dengan densitas tinggi, tepi bulat dan tegas. Dapat terlihat juga
adanya hiperostosis kranialis, destruksi tulang, udem otak yang terjadi sekitar tumor, dan adanya

dilatasi ventrikel (9).

Pemeriksaan foto polos kepala sebagai penunjang penyakit meningioma masih memiliki

derajat kepercayaan yang tinggi. Gambaran yang sering terlihat plak yang hyperostosis, dan bentuk

sphenoid , dan pterion (9).

Kalsifikasi tanpa adanya tumor pada foto polos kepala dapat menunjukkan hasil false-

negatif pada meningioma. Banyak pasien dengan meningioma otak dapat ditegakkan secara

langsung dengan menggunakan CT atau MRI (9).

a. Computed Tomography (CT scan)

CT-scan kontras dan CT-scan tanpa kontras memperlihatkan paling banyak meningioma.

Tampak gambaran isodense hingga hiperdense pada foto sebelum kontras, dan gambaran

peningkatan densitas yang homogen pada foto kontras. Tumor juga memberikan gambaran

komponen kistik dan kalsifikasi pada beberapa kasus. Udem peritumoral dapat terlihat dengan

jelas. Perdarahan dan cairan intratumoral sampai akumulasi cairan dapat terlihat (11).

CT-scan memiliki kelebihan untuk menggambarkan meningioma. Invasi sepanjang dura

serebri sering muncul akibat provokasi dari respon osteoblas, yang menyebabkan hyperostosis.

Gambaran CT-scan paling baik untuk menunjukkan kalsifikasi dari meningioma; dapat dilihat

pada gambar-gambar berikut. The CT nature of the calcification may be nodular, fine and punctate,

or dense. Penelitian histologi membuktikan bahwa proses kalsifikasi > 45% adalah meningioma

b. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI merupakan pencitraan yang sangat baik digunakan untuk mengevaluasi meningioma.

MRI memperlihatkan lesi berupa massa, dengan gejala tergantung pada lokasi tumor berada.

Kelebihan MRI dalam memberikan gambaran meningioma adalah resolusi 3 dimensi.


Kemampuan MRI untuk membedakan tipe dari jaringan ikat, kemampuan multiplanar, dan

rekonstruksi 3D.

c. Ultrasonografi (USG)

Ultrasonografi dapat memberikan gambaran lokasi dari intratumoral hemorrhage,

perubahan kista yang terdapat di bagian dalam dan luar massa tumor, kalsifikasi, invasi parenkim

oleh meningioma malignan, dan massa lobus atau multi lobules yang hanya dapat digambarkan

dengan ultrasonografi (15).

d. Angiografi

Umumnya meningioma merupakan tumor vascular. Dan dapat menimbulkan gambaran

“spoke wheel appearance”. Selanjutnya arteri dan kapiler memperlihatkan gambaran vascular

yang homogen dan prominen yang disebut dengan mother and law phenomenon (15).

Magnetic resonance angiography (MRA and MRV) merupakan pemeriksaan penunjang

yang berkembang dari ilmu angiografi klasik, yang belakangan ini merupakan alat diagnostik yang

kuat untuk mengetahui embolisasi dan perencanaan untuk operasi. Agiografi masih bisa digunakan

jika terjadi embolisasi akibat tumor (15).

Meningioma mendapat asupan makanan oleh meningeal branches dari arteri carotid

internal dan external. Basal meningiomas pada anterior dan fossa cranial media dan meningioma

pada tulang sphenoid umumnya mendapat vaskularisasi dari arteri carotid interna. Meningioma

supratentorial divaskularisasikan dari arteri carotid interna dan eksternal (15).


Angiografi dapat menunjukkan peta distribusi arterial yang berguna untuk persiapan

preoperasi embolisasi.

6. Penatalaksanaan

Terapi meningioma masih menempatkan reseksi operatif sebagai pilihan pertama.

Beberapa faktor yang mempengaruhi operasi removal massa tumor ini antara lain lokasi tumor,

ukuran dan konsistensi, vaskularisasi dan pengaruh terhadap sel saraf, dan pada kasus rekurensi,

riwayat operasi sebelumnya dan atau radioterapi. Lebih jauh lagi, rencana operasi dan tujuannya

berubah berdasarkan faktor resiko, pola, dan rekurensi tumor. Tindakan operasi tidak hanya

mengangkat seluruh tumor tetapi juga termasuk dura, jaringan lunak, dan tulang untuk

menurunkan kejadian rekurensi (16).

Pengobatan standar untuk pasien dengan meningioma atipikal atau anaplastik adalah

reseksi bedah saraf. Dengan pendekatan ini, kontrol lokal berkisar antara 50% dan 70%, tergantung

pada status reseksi. Sebuah seri atau studi lebih kecil telah menunjukkan bahwa radioterapi pasca

operasi pada populasi pasien ini dapat meningkatkan harapan hidup, yang diterjemahkan ke dalam

kelangsungan hidup secara keseluruhan. Namun, meningioma dikenal sebagai tumor radioresisten,

dan radiasi dosis 60 Gy atau lebih tinggi telah ditunjukkan diperlukan untuk kontrol tumor (17).

Rekomendasi WHO untuk Meningioma Grade I (18):

1. Pembedahan adalah pengobatan utama untuk pasien yang bukan kandidat untuk elektif.

Reseksi tumor lengkap dikaitkan dengan tingginya tingkat harapan hidup bebas penyakit.

2. Radioterapi dapat dipertimbangkan dalam kasus lokasi tumor tidak mungkin untuk dioperasi

(seperti sinus cavernous meningioma), tumor yang tidak dapat direseksi, gejala penyakit sisa,

atau tumor berulang. Diagnosis radiologi mungkin cukup dalam kasus ini.

Rekomendasi WHO untuk Meningioma Grade II dan III (18):


3. Pengobatan standar operasi ditambah radioterapi. Radioterapi biasanya diberikan dengan

dosis 54-60 Gy, dalam 1,8-2,0 Gy per fraksi.

4. Pasien dengan tumor selektif mungkin menjadi kandidat untuk radiosurgery stereotactic.

5. Terapi sistemik lainnya dapat dipertimbangkan untuk tumor yang tidak dapat direseksi atau

berulang dalam sebuah uji klinis.

Rencana Preoperatif

Pada pasien dengan meningioma supratentorial, pemberian antikonvulsan dapat segera

diberikan, deksametason diberikan dan dilindungi pemberian H2 antagonis beberapa hari sebelum

operasi dilaksanakan. Pemberian antibiotik perioperatif digunakan sebagai profilaksis pada semua

pasien untuk organisme stafilokokkus, dan pemberian cephalosporin generasi III yang memiliki

aktifitas terhadap organisem pseudomonas, serta pemberian metronidazol (untuk organisme

anaerob) ditambahkan apabila operasi direncanakan dengan pendekatan melalui mulut, sinus

paranasal, telinga, atau mastoid (13).

Klasifikasi Simptom dari ukuran reseksi pada meningioma intracranial (13):

 Grade I : Reseksi total tumor, perlekatan dural dan tulang abnormal

 Grade II : Reseksi total tumor, koagulasi dari perlekatan dura

 Grade III : Reseksi total tumor, tanpa reseksi atau koagulasi dari perlekatan dura atau mungkin

perluasan ekstradural (misalnya sinus yang terserang atau tulang yang hiperostotik)

 Grade IV : Reseksi parsial tumor

 Grade V : Dekompresi sederhana (biopsy)

7. Radioterapi
Radiasi memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan meningioma. Sekitar 4%

dari semua meningioma diinduksi radiasi. Menariknya, ini biasanya tidak disertai dengan mutasi

gen NF2. Sering tumor ini berasal dari pinggiran lapangan terpancar. Bukti untuk radiasi yang

berasal dari setidaknya empat sumber :

1. Korban tumor yang telah menerima radiasi pada mata atau leher memiliki insiden yang

signifikan pembentukan meningioma di situs tersebut 20 tahun kemudian.

2. Sebuah studi kohort pada pasien yang diikuti di Israel yang memiliki medan radiasi rendah

untuk kurap kulit kepala telah mengembangkan beberapa meningioma 20 dan 30 tahun

kemudian.

3. Korban di pinggiran ledakan bom atom menjadi menderita meningioma sebagai efek radiasi

tertunda bertahun-tahun kemudian.

4. Bukti epidemiologis menunjukkan bahwa mulut penuh gigi yang di x-ray yang dihubungkan

dengan insiden lebih besar untuk meningioma.

Ada kebutuhan untuk bekerja yang lebih tepat pada efek dari radiasi pada pembentukan

meningioma (19).

Penggunaan external beam irradiation pada meningioma semakin banyak dipakai untuk

terapi. External beam irradiation dengan 4500-6000 cGy dilaporkan efektif untuk melanjutkan

terapi operasi meningioma reseksi subtotal, kasus-kasus rekurensi baik yang didahului dengan

operasi sebelumnya ataupun tidak. Pada kasus meningioma yang tidak dapat dioperasi karena

lokasi yang sulit, keadaan pasien yang buruk, atau pada pasien yang menolak dilakukan operasi,

external beam irradiation masih belum menunjukkan keefektifitasannya. Teori terakhir

menyatakan terapi external beam irradiation tampaknya akan efektif pada kasus meningioma yang
agresif (atyppical, malignan), tetapi informasi yang mendukung teori ini belum banyak

dikemukakan .

Efektifitas dosis yang lebih tinggi dari radioterapi harus dengan pertimbangan komplikasi

yang ditimbulkan terutama pada meningioma. Saraf optikus sangat rentan mengalami kerusakan

akibat radioterapi. Komplikasi lain yang dapat ditimbulkan berupa insufisiensi pituitari ataupun

nekrosis akibat radioterapi

Radiasi Stereotaktik

Terapi radiasi tumor menggunakan stereotaktik pertama kali diperkenalkan pada tahun

1960an menggunakan alat Harvard proton beam. Setelah itu penggunaan stereotaktik radioterapi

ini semakin banyak dilakukan untuk meningioma. Sumber energi yang digunakan didapat melalui

teknik yang bervariasi, yang paling sering digunakan adalah sinar foton yang berasal dari Co

gamma (gamma knife) atau linear accelerators (LINAC) dan partikel berat (proton, ion helium)

dari cyclotrons. Semua teknik radioterapi dengan stereotaktik ini dapat mengurangi komplikasi,

terutama pada lesi dengan diameter kurang dari 2,5 cm. Steiner dan koleganya menganalisa pasien

meningioma yang diterapi dengan gamma knife dan diobservasi selama 5 tahun. Mereka

menemukan sekitar 88% pertumbuhan tumor ternyata dapat dikontrol. Kondziolka dan kawan-

kawan memperhitungkan pengontrolan pertumbuhan tumor dalam 2 tahun pada 96 % kasus. Baru-

baru ini peneliti yang sama melakukan studi dengan sampel 99 pasien yang diikuti selama 5 hingga

10 tahun dan didapatkan pengontrolan pertumbuhan tumor sekitar 93 % kasus dengan 61 % massa

tumor mengecil. Kejadian defisit neurologis baru pada pasien yang diterapi dengan stereotaktik

tersebut kejadiannya sekitar 5 % .

Kemoterapi
Modalitas kemoterapi dengan regimen antineoplasma masih belum banyak diketahui

efikasinya untuk terapi meningioma jinak maupun maligna. Kemoterapi sebagai terapi ajuvan

untuk rekuren meningioma atipikal atau jinak baru sedikit sekali diaplikasikan pada pasien, tetapi

terapi menggunakan regimen kemoterapi (baik intravena atau intraarterial cis-platinum,

decarbazine (DTIC) dan adriamycin) menunjukkan hasil yang kurang memuaskan (DeMonte dan

Yung), walaupun regimen tersebut efektifitasnya sangat baik pada tumor jaringan lunak. Laporan

dari Chamberlin pemberian terapi kombinasi menggunakan cyclophosphamide, adriamycin, dan

vincristine dapat memperbaiki angka harapan hidup dengan rata-rata sekitar 5,3 tahun. Pemberian

obat kemoterapi lain seperti hydroxyurea sedang dalam penelitian. Pertumbuhan sel pada

meningioma dihambat pada fase S dari siklus sel dan menginduksi apoptosis dari beberapa sel

dengan pemberian hydroxyurea. Dan dilaporkan pada satu kasus pemberian hydroxyurea ini

memberikan efek pada pasien-pasien dengan rekurensi dan meningioma yang tidak dapat

direseksi. Pemberian Alfainterferon dilaporkan dapat memperpanjang waktu terjadinya rekurensi

pada kasus meningioma yang agresif. Dilaporkan juga terapi ini kurang menimbulkon toksisitas

dibanding pemberian dengan kemoterapi .

Pemberian hormon antogonis mitogen telah juga dilakukan pada kasus dengan

meningioma. Preparat yang dipakai biasanya tamoxifen (anti estrogen) dan mifepristone (anti

progesteron). Tamoxifen (40 mg/m2 2 kali/hari selama 4 hari dan dilanjutkan 10 mg 2 kali/hari)

telah digunakan oleh kelompok onkolologi Southwest pada 19 pasien dengan meningioma yang

sulit dilakukan reseksi dan refrakter. Terdapat pertumbuhan tumor pada 10 pasien, stabilisasi

sementara pertumbuhan tumor pada 6 pasien, dan respon minimal atau parsial pada tiga pasien .

Pada dua studi terpisah dilakukan pemberian mifepristone (RU486) 200 mg perhari selama

2 hingga 31 bulan. Pada studi yang pertama didapatkan 5 dari 14 pasien menunjukkan perbaikan
secara objektif yaitu sedikit pengurangan massa tumor pada empat pasien dan satu pasien

gangguan lapang pandangnya membaik walaupun tidak terdapat pengurangan massa tumor;

terdapat pertumbuhan ulang pada salah satu pasien tersebut. Pada studi yang kedua dari kelompok

Netherlands dengan jumlah pasien 10 orang menunjukkan pertumbuhan tumor berlanjut pada

empat pasien, stabil pada tiga pasien, dan pengurangan ukuran yang minimal pada tiga pasien.

Tiga jenis obat tersebut sedang dilakukan penelitian dengan jumlah sampel yang lebih besar pada

meningioma tetapi sampai sekarang belum ada terapi yang menjadi prosedur tetap untuk terapi

pada tumor ini .

8. Prognosis

Pada umumnya prognosa meningioma adalah baik, karena pengangkatan tumor yang

sempurna akan memberikan penyembuhan yang permanen. Pada orang dewasa survivalnya relatif

lebih tinggi dibandingkan pada anak-anak, dilaporkan survival rate lima tahun adalah 75%. Pada

anak-anak lebih agresif, perubahan menjadi keganasan lebih besar dan tumor dapat menjadi sangat

besar. Pada penyelidikan pengarang-pengarang barat lebih dari 10% meningioma akan mengalami

keganasan dan kekambuhannya tinggi (14).

Untuk tumor ini, teknik bedah dan pendekatan mungkin memerlukan reevaluasi, dan

pengobatan alternatif atau terapi multimodal memerlukan investigasi lebih lanjut (20).

Sejak 20 tahun lalu meningioma dipandang sebagai tumor jinak, dan bila letaknya mudah

dapat diangkat seluruhnya. Degenerasi keganasan tampak bila ada invasi dan kerusakan tulang

tumor tidak berkapsul pada saat operasi invasi pada jaringan otak. Angka kematian (mortalitas)

meningioma sebelum operasi jarang dilaporkan, dengan kemajuan teknik dan pengalaman operasi

para ahli bedah maka angka kematian post operasi makin kecil. Diperkirakan angka kematian post
operasi selama lima tahun (1942–1946) adalah 7,9% dan (1957–1966) adalah8,5%. Sebab-sebab

kematian menurut laporan-laporan yang terdahulu yaitu perdarahan dan edema otak .

A. Penatalaksanaan
Adapun penatalaksanaan post operasi craniotomy mencakup:
a. Mengurangi edema serebral
Pemberian manitol, yang meningkatkan osmolalitas serum dan menarik air bebas dari area
otak. Cairan ini kemudian disekresikan melalui dieresis osmotic. Deksametason dapat
diberikan melalui intravena setiap 6 jam selama 24 jam sampai 72 jam, selanjutnya
dosisnya dikurangi secara bertahap.
b. Meredakan nyeri dan mencegah kejang
Asetaminofen biasanya diberikan selama suhu diatas 37,5 C dan untuk nyeri. Sering kali
pasien mengalami sakit kepala setelah craniotomy, biasanya sebagai akibat saraf kulit
kepala diregangkan dan diiritsi selama pembedahan. Kodein diberikan lewat parenteral,
biasanya cukup untuk menghilangkan sakit kepala.
c. Memantau TIK. Kateter ventrikel atau beberapa tipe drainase sering dipasang pada pasien
yang menjalani pembedahan untuk tumor fossa posterior.

Penatalaksanaan Pokok:
a. Perbaiki dan jaga jalan nafas
b. Yakinkan bahwa ventilasi dan oksigenasi adekuat
c. Lakukan pembedahan segera jika terdapat tanda-tanda penting dari hematoma (< 4 jam )
d. Pertahankan normovolemik dan normotensi untuk mempertahankan aliran darah ke
serebral.
e. Terapi cedera cepat jika terjadi peningkatan TIK dan ulangi CT Scan jika terjadi
kemunduruan secara klinis.
f. Terapi cedera-cedera lainnya dengan tepat
g. Awasi adanya komplikasi-komplikasi sistemik.
- Pendarahann sistem pencernaan
- DIC
- Edema paru neurogenik
- Abnormallitas hormone endokrin
h. Perawatan Secara Umum:
- Baringkan pasien dengan posisi kepala ditinggikan 15 - 30 ganti posisi secara berkala
- Observasi GCS/respon pupil tiap jam
- Lakukan suction minimal 1 kali tiap shift dan sesuai kebutuhan
- Beri analgesic sesuai kebutuhan
- Berikan nutrisi yang adekuat
- Hilangkan infeksi
- Profilaksis untuk kejang

i. Ventilasi
- Mode control SIM V dengan RR yang dibutuhkan untuk memberi dukungan secara
penuh. Tujuan diberikan ventilator: PO2 > 80 mmHg, PCO2 < 35 mmHg
- Hiperventilasi (PCO2 < 35)
- Acute: menurunnya aliran darah serebral, menurunnya tekanan darah intracranial
- 4-8 jam: ditoleransi
- > 8 jam: berulang, meningkatnya tekanan intracranial jika PCO2 meningkat
- Kronik: akibatnya sangat buruk karena hal tersebut mengakibatkan menurunnya aliran
darah serebral.
- PEEP: kadar rendah, tidak disukai karena dapat meningkatkan tekanan intracranial
- Gunakan 10 cm H2O jika : paru-paru colaps, FIO2 50%
- Hindari penggunaan PEEP > 0 cm H2O tanpa dilakukan monitoring tekanan
intracranial
- Dapat menaikkan pemberian sedative atau lognocain sebelum suction dilakukan
j. Sirkulasi
- Peratahankan tekanan darah dalam batas normal
- Pertahankan normovolemik = jangan batasi cairan kecuali terjadi SIADH
- Hindari pemberian dextrose pada terapi cairan
- Kontrol tekanan darah
- Tekanan Perfusi Serebral (CPP)
CPP = MAP-ICP
- Hasil yang diharapkan CPP > 60
- Jika tekanan intrakranial pasien tidak diketahui pertahankan MAP 90 mmHg.

B. Pengkajian Primer
a. Airway
Perlu dikaji apakah ada sumbatan/benda asing, massa leher, tonsil yang membesar yang dapat
menghambat jalan napas pasien.
b. Breathing
Kaji apakah terjadi perubahan pola nafas, adanya bunyi napas tambahan, stridor, tersedak, ronkhi,
mengi, positif.

c. Circulation
Pantau adanya perubahan tekanan darah atau perubahan frekuensi jantung dan klasifikasi
perdarahan yang terjadi.
d. Disability
Yang dikaji adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil. Dalam mengkaji dapat
menggunakan GCS maupun AVPU. Biasanya pasien mengalami kehilangan kesadaran sementara,
amnesia seputar kejadian, vertigo, sirkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstremitas.
perubahan dalam penglihatan, gangguan pengecapan dan juga penciuman. Selain itu juga
kehilangan penginderaan seperti pengecapan, penciuman, pendengaran, sangat sensitif terhadap
sentuhan dan getaran, kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh
e. Exposure
Kaji adanya jejas atau luka lain di seluruh tubuh pasien, ukur suhu tubuh pasien.

C. Pengkajian Sekunder
a. Pemeriksaan Fisik Head to Toe
Periksa adanya lesi, perdarahan, laserasi, memar, maupun hematom. Observasi adanya gigi yang
tanggal maupun gigi palsu. Cek adanya fraktur pada daerah servikal, dada, pelvis, tulang belakang,
dan ekstremitas.
b. Aktivitas / istirahat
Dikaji apakah pasien mengalami gangguan/keluhan dalam melakukan aktivitasnya saat menderita
suatu penyakit (dalam hal ini adalah setelah didiagnosa mengalami alergi) atau saat menjalani
perawatan di RS.
c. Sirkulasi
Riwayat penyakit jantung, polisitemia, hipotensi postural, hipertensi arterial, frekuensi nadi yang
bervariasi, disritmia, perubahan irama EKG, Bruits pada arteri karotis, femoralis, iliaka yang
abnormal
d. Integritas Ego
Perasaan tidak berdaya, putus asa, emosi yang labil, kesulitan untuk mengekspresikan diri
e. Eliminasi
Perubahan pola berkemih seperti inkontinensia urin, anuria, distensi abdomen, bising usus
f. Makanan/cairan
Kemampuan untuk makan/menelan, perubahan nafsu makan, mual muntah, kehilangan sensasi
pada lidah, pipi, tenggorokan, disfagia, adanya riwayat DM, penngkatan lemak dalam darah,
obesitas.
g. Neurosensori
Lima area pengkajian neurologik yaitu:
1. Fungsi serebral meliputi status mental, fungsi intelektual, daya pikir, status emosional,
persepsi, kemampuan motorik, kemampuan bahasa.
2. Fungsi syaraf cranial meliputi nervus cranial I sampai XII
3. Fungsi sensori meliputi sensasi taktil, sensasi nyeri dan suhu, vibrasi dan propiosepsi,
merasakan posisi, dan integrasi sensasi
4. Fungsi motorik meliputi ukuran otot, tonus otot, kekuatan otot, keseimbangan dan
koordinasi
5. Fungsi Refleks meliputi refleks brakoiradialis, patella, ankle, kontraksi abdominal, dan
babinski.

h. Nyeri / kenyamanan
Dikaji kondisi pasien yang berhubungan dengan gejala-gejala penyakitnya, misalnya pasien merasa
nyeri di perut bagian kanan atas (dikaji dengan PQRST : faktor penyebabnya, kualitas/kuantitasnya,
lokasi, lamanya dan skala nyeri)
i. Keamanan
Dikaji apakah pasien merasa cemas akan setiap tindakan keperawatan yang diberikan kepadanya,
dan apakah pasien merasa lebih aman saat ditemani keluarganya selama di RS
j. Interaksi social
Masalah bicara, ketidakmampuan dalam berkomunikasi

Diagnosa Keperawatan:

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera; fisik

2. Kerusakan mobilisasi fisik berhubungan dengan kelemahan atau kelumpuhan anggota

gerak

3. Kurang perawatan diri berpakaian,mandi, makan-minum, toileting berhubungan

dengan kelemahan fisik

4. Perfusi jaringan tidak efektif:cerebral berhubungan dengan aliran arteri terhambat

5. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan aliran arteri yang terhambat

6. Inkontinensia usus berhubungan dengan kehilangan kontrol spincter rectal.

7. Resiko kerusakan integritas kulit, faktor resiko: immobilisasi, perubahan sensasi

8. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif, penurunan tingkat kesadaran,

lama dan tipe tindakan pembedahan.

Rencana Keperawatan
NO DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI
KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan NOC label:
agen cedera: fisik Kontrol nyeri (1605)
Batasan karakteristik: Tujuan:
 Melaporkan nyeri secara Setelah dilakukan tindakan
verbal atau non verbal keperawatan selama … x 24 jam
pasien dapat melakukan kontrol Tindakan Keperawatan
 Gangguan tidur 1. Programkan analgetik pada pasien
nyeri
 Posisi untuk mengurangi Indikator: (2210)
nyeri 1. a.
Pasien mengetahui penyebab nyeri Tentukan lokasi, karakteristik,
 Respon otonom (nadi, (160501) kualitas nyeri sebelum pemberian
2. Pasien mengetahui waktu obat pada pasien
tensi, napas, dilatasi pupil)
timbulnya nyeri (160502) b. Cek jenis obat, dosis, dan frekuensi
 Tingkah laku ekspresif 3. Pasien mengenal gejala timbulnya pemberian
(merintih, memegang kepala, nyeri (160509) c. Cek adanya riwayat alergi pada
mengeluh) 4. Pasien menggunakan analgetik jika pasien
diperlukan (160505)
d. Evaluasi kemampuan pasien untuk
menggunakan rute analgesic (oral,
IM, IV, suppositoria)
e. Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgetik jenis
narkotik
f. Evaluasi efektifitas dan efek samping
yang ditimbulkan akibat pemakaian
analgetik.
g. Kolaborasi dengan dokter jika ada
perubahan advis dalam pemakaian
analgetik
2. Ajarkan teknik Distraksi (5900)
a. Tentukan jenis distraksi yang sesuai
dengan pasien (musik, televisi,
membaca, dll)
b. Ajarkan teknik buka-tutup mata
dengan focus pada satu obyek, jika
memungkinkan
c. Ajarkan teknik irama (ketukan jari,
bernafas teratur) jika memungkinkan
d. Evaluasi dan catat teknik yang efektif
untuk menurunkan nyeri pasien
3. Berikan terapi oksigenasi sesuai
kebutuhan
4. Atur posisi yang nyaman untuk
pasien

2. Kerusakan mobilitas fisik Setelah dilakukan tindakan


berhubungan dengan kelemahan keperawatan selama ... x 24 jam1. Ajarkan pasien untuk latihan rentang
atau kelumpuhan anggota gerak. diharapkan pasien gerak aktif pada sisi ekstrimitas yang
Batasan karakteristik:  Tidak terjadi kontraktur otot dan sehat
 Kelumpuhan anggota gerak footdrop 2. Ajarkan rentang gerak pasif pada sisi
(parese/plegi) sehingga Pasien berpartisipasi dalam program ekstrimitas yang parese/plegi dalam
menyebabkan : latihan toleransi nyeri
- Ketidakmampuan mem balikkan Pasien mencapai keseimbang-an3. Topang ekstrimitas dengan bantal
badan, bergerak dari supinasi ke saat duduk untuk mencegah atau mangurangi
duduk/sebaliknya, berubah posisi Pasien mampu menggunakan sisi bengkak
pronasi ke supinasi/sebaliknya, tubuh yang tidak sakit untuk4. Ajarkan ambulasi sesuai dengan
bergerak dari supinasi ke duduk lama kompensasi hilangnya fungsi pada tahapan dan kemampuan pasien
/ sebaliknya, berjalan kaki diseret, sisi yang parese/plegi 5. Motivasi klien untuk melakukan
berjalan goyang latihan sendi seperti yang disarankan
6. Libatkan keluarga untuk membantu
pasien latihan sendi
3. Kurang perawatan diri: makan, Setelah dilakukan tindakan
mandi, berpakaian, toileting keperawatan selama ... x 24 jam1. Kaji kamampuan pasien untuk
berhubungan dengan kelemahan diharapkan kebutuhan mandiri perawatan diri
fisik. pasien terpenuhi 2. Pantau kebutuhan pasien untuk alat-
Batasan karakteristik:  Pasien dapat makan dengan bantuan alat bantu dalam makan, mandi,
 Kelumpuhan wajah atau anggota orang lain/ mandiri berpakaian dan toileting
badan sehingga menyebabkan :  Pasien dapat mandi dengan bantuan3. Berikan bantuan pada pasien hingga
-Ketidakmampuan dalam menelan, orang lain pasien sepenuhnya bisa mandiri
menyuap, memegang alat makan, Paien dapat memakai pakaian4. Berikan dukungan pada pasien untuk
mengunyah dengan bantuan orang laian/mandiri menunjukkan aktivitas normal sesuai
kemampuannya
-Ketidakmampuan dalam membasuh Pasien dapat toileting dengan5. Libatkan keluarga dalam pemenuhan
badan, mengeringkan, keluar masuk bantuan alat kebutuhan perawatan diri pasien
kamar mandi
-Ketidakmampuan pergi ke kamar
mandi, menggunakan pispot

4. Perfusi jaringan tidak efektif (spesifik: Setelah dilakukan tindakan Lakukan monitorang neurologis
cerebral) berhubungan dengan aliran keperawatan selama ..... x 24 jam1. Monitor ukuran, kesimetrisan, reaksi
darah arteri terhambat diharapkan dan bentuk ppupil
Batasan karakteristik:  Tanda-tanda vital stabil 2. Monitor tingkat kesadaran pasien
 Abnormalitas berbicara 3. Monitir tanda-tanda vital
4. Monitor keluhan nyeri kepala, mual,
 perubahan status mental
muntah
 perubahan respon motorik 5. Monitor respon pasien terhadap
 Afasia atau Disartria pengobatan
 Kelumpuhan wajah atau anggota 6. Hindari aktivitas jika TIK meningkat
badan 7. Observasi kondisi fisik pasien
 Perubahan perilaku
Berikan terapi oksigen
1. Bersihkan jalan nafas dari sekret
2. Pertahankan jalan nafas tetap efektif
3. Berikan oksigen sesuai intruksi
4. Monitor aliran oksigen, canul oksigen
dan sistem humidifier
5. Beri penjelasan kepada pasien
tentang pentingnya pemberian
oksigen
6. Observasi tanda-tanda hipoventilasi
7. Monitor respon pasien terhadap
pemberian oksigen
8. Anjurkan pasien untuk tetap memakai
oksigen selama aktifitas dan tidur
5. Kerusakan komunikasi verbal Setelah dilakukan tindakan1. Libatkan keluarga untuk membantu
berhubungan dengan tumor otak keperawatan selama ... x 24 jam memahami/ memahamkan informasi
Batasan karakteristik: diharapkan pasien dari/ ke pasien
 Afasia ( Bicara tidak lancar,  Mampu untuk berkomunikasi secara
2. Dengarkan setiap ucapan pasien
kurangnya ucapan, kesulitan verbal dengan penuh perhatian
memahami ucapan,dll)  Mampu untuk berkomunikasi secara 3. Gunakan kata-kata sederhana dan
aktif (ekspresif) pendek dalam komunikasi dengan
 Disartria (bicara pelo atau cadel)
 mampu berkomunikasi secara pasif pasien
(menerima) 4. Dorong pasien untuk mengulang
kata-kata
5. Berikan arahan/perintah yang
sederhana setiap interaksi dengan
pasien
6. Programkan speech-language
teraphy
7. Lakukan speech-language teraphy
setiap interaksi dengan pasien
6. Inkontinensia usus berhubungan NOC label:
dengan kehilangan control spincter Eliminasi usus (0501)
rectal. Tujuan:
Batasan Karakteristik: Setelah dilakukan tindakan
 Tetesan konstan dari keperawatan selama .. x 24 jam
massa lunak saluran gantrointestinal pasien
 Bau feses mampu membentuk massa feses Tindakan keperawatan:
 Ketidakmampuan dan mengevakuasi secara efektif 1. Manajemen Usus
menunda defekasi Indikator: a. Catat tanggal
1. Mampu mengontrol b.a.b. (050102) terakhir pasien b.a.b
 Laporan : ketidakmampuan
2. Tidak terjadi diare (050111)
merasakan rectal penuh b. Monitor b.a.b
 Kotoran feses dari celana pasien (frekuensi,
atau tempat tidur konsistensi, volume, warna)
c. Monitor suara
usus
d. Catat adanya
peningkatan frekuensi
bising usus
e. Monitor terhadap
tanda dan gejala diare
f. Evaluasi
terhadap incontinensia
g. Ajarkan pasien
tentang makanan yang
dianjurkan
h. Evaluasi jenis
obat yang menimbulkan
efek samping pada fungsi
gastrointestinal
2. Bowel Training
a. Rencanakan
program latihan dengan
pasien
b. Konsul dengan
dokter dalam pemakaian
suppositoria/laksatif
c. Ajarkan pasien
dan keluarga prinsip-prinsip
bowel training
d. Anjurkan pasien
tentang jemis makanan
yang harus diperbanyak
e. Berikan diit yang
cukup sesuai jenis yang
diperlukan
f. Pertahankan
intake cairan yang adekuat
g. Pertahankan
latihan fisik yang cukup
h. Jaga posisi
pasien
i. Evaluasi status
bowel secara teratur
j. Modifikasi
program usus jika
diperlukan

7. Resiko kerusakan integritas kulit NOC label:


(faktor resiko: immobilisasi, Perfusi jaringan : perifer (0407)
perubahan sensasi) Tujuan:
Batasan karakteristik: - Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama … x 24 jam
perfusi jaringan perifer pasien Tindakan Keperawatan:
adekuat 1. Circulatory Care:
Indikator: a. Kaji secara
1. Pengisian kapiler perifer adekuat komprehensif sirkulasi
(040701) perifer (cek pulsasi perifer,
2. Pulsasi perifer distal kuat (040702) adanya udema, pengisian
3. Pulsasi proximal perifer kuat kapiler, warna kulit dan
(040703) suhu ekstrimitas)
4. Tingkat sensasi normal (040706)
5. Warna kulit normal (040707) b. Amati kulit dari
6. Fungsi otot-otot intack (040708) munculnya perlukaan atau
7. Kulit intack (040709) memar akibat tekanan
8. Suhu ekstrimitas hangat (040710)
c. Kaji adanya
9. Udema perifer tidak terjadi
(040712) ketidaknyamanan datau
10. Nyeri local ekstrimitas tidak terjadi nyeri local
(040714) d. Rendahkan
ekstrimitas untuk
meningkatkan sirkulasi
arteri, jika tidak ada kontra
indikasi
e. Pasang stocking
anti emboli, dilakukan
perubahan 15-20 menit
setiap 8 jam
f. Naikkan anggota
badan 20 derajat di atas
level jantung untuk
meningkatkan aliran balik
vena jika tidak ada kontra
indikasi
g. Rubah posisi
pasien minimal tiap 2 jam
jika tidak ada kontra indikasi
h. Gunakan
matras/bed terapetik jika
tersedia
i. Lakukan
aktif/pasif ROM selama
bedrest
j. Lakukan latihan
pada pasien sesuai dengan
kemampuan
k. Anjurkan pasien
untuk pencegahan vena
stasis (tidak menyilangkan
lengan, meninggikan kaki
tanpa menyangga lutut, dan
latihan
l. Pertahankan
hidrasi yang adekuat untuk
membuat naiknya
viskositas darah
m. Monitor status
cairan tubuh (intake-output)
2. Lakukan perawatan kaki
3. Berikan terapi oksigen
4. Atur posisi pasien yang
menguntungkan
5. Lakukan perawatan kulit dan masase
6. Monitor vital sign
LAPORAN PENDAHULUAN CASE REPORT
MENINGIOMA
Disusun untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Profesi Ners Departemen Bedah
di Ruang ICU Rumah Sakit Dr.Soepraoen Malang

OLEH
DESSY NATALIA EKAWATI
NIM: 170070301111094

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2018
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN CASE REPORT, ASUHAN KEPERAWATAN DAN
RESUME

JUDUL KASUS
MENINGIOMA
Disusun untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners Departemen Bedah
di Ruang ICU Rumah Sakit Tentara Dr. Soepraoen Malang

Di susun oleh:
DESSY NATALIA EKAWATI
170070301111094

Telah diperiksa kelengkapannya pada:


Hari :
Tanggal :
Dan dinyatakan memenuhi kompetensi

PRESEPTOR AKADEMIK PRESEPTOR KLINIK

…………………………………….. ……………………………………….

Anda mungkin juga menyukai