Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH SEMINAR AKHIR

PERBEDAAN LAMA WAKTU PEMULIHAN PERISTALTIK USUS ANTARA


PASIEN YANG DILAKUKAN AMBULASI DINI ROM AKTIF DAN ROM PASIF

Diajukan untuk memenuhi kompetensi praktek profesi


Surgical Nursing

Oleh :
Kelompok IX PSIK A 2009

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014
HALAMAN PENGESAHAN
PROPOSAL KEGIATAN SEMINAR AKHIR
PERBEDAAN LAMA WAKTU PEMULIHAN PERISTALTIK USUS ANTARA
PASIEN YANG DILAKUKAN AMBULASI DINI ROM AKTIF DAN ROM PASIF

Diajukan untuk memenuhi kompetensi praktek profesi


Community Mental Health Nursing

Oleh:
Kelompok IX PSIK A 2009
Eva Yeni Rustiana 0910720005
Achmad Fathoni 0910720017
Bingar Nurullah 0910720026
Hermanto Ariadi 0910720039
Nurul Bariyah 0910720069
Siti Munawaroh 0910720056
Ardiansyah Isfanhari 0910723013
Hengky Anugerah Trisna 0910723027

Telah diperiksa kelengkapannya pada:


Hari: Kamis
Tanggal: 9 Desember 2014
Dan dinyatakan memenuhi kompetensi

Perseptor Klinik Ketua Kelompok Persepti

Ns. Agus T.W, S.Kep. Hermanto Ariadi


NIP. NIM. 0910720039
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saat ini isu penting dan global dalam Pelayanan Kesehatan adalah
Keselamatan Pasien (Patient Safety). Isu ini praktis mulai dibicarakan kembali
pada tahun 2000-an, sejak laporan dan Institute of Medicine (IOM) yang
menerbitkan laporan: to err is human, building a safer health system.
Keselamatan pasien adalah suatu disiplin baru dalam pelayanan kesehatan yang
mengutamakan pelaporan, analisis, dan pencegahan medical error yang sering
menimbulkan Kejadian Tak Diharapkan (KTD) dalam pelayanan kesehatan.

Frekuensi dan besarnya KTD tak diketahui secara pasti sampai era 1990-
an, ketika berbagai Negara melaporkan dalam jumlah yang mengejutkan pasien
cedera dan meninggal dunia akibat medical error. Menyadari akan dampak error
pelayanan kesehatan terhadap 1 dari 10 pasien di seluruh dunia maka World
Health Organization (WHO) menyatakan bahwa perhatian terhadap Keselamatan
Pasien sebagai suatu endemis.
Organisasi kesehatan dunia WHO juga telah menegaskan pentingnya
keselamatan dalam pelayanan kepada pasien: “Safety is a fundamental principle
of patient care and a critical component of quality management.” (World Alliance
for Patient Safety, Forward Programme WHO, 2004), sehubungan dengan data
KTD di Rumah Sakit di berbagai negara menunjukan angka 3 – 16% yang tidak
kecil.
Pasien Dewasa yang mendapatkan tindakan operasi bedah semakin
banyak. Hal ini dibuktikan dengan adanya kecenderungan peningkatan tindakan
operasi bedah di beberapa rumah sakit dari tahun ke tahun. Tindakan Anastesi
atau pembiusan yang bersifat umum (general anesthesia) merupakan tindakan
medis yang seringkali dilakukan pada seorang pasien yang akan dilakukan
tindakan operasi bedah.
Seorang pasien yang belum pulih peristaltik ususnya setelah pembiusan
dapat menderita illeus / obstruksi usus (gangguan pada usus) bila pada waktu
tersebut diberikan asupan nutrisi. Oleh karena itu pasien sering mengeluh karena
harus menunggu waktu yang lama untuk dapat makan dan minum, sehingga
pasien menanggung rasa lapar dan haus yang cukup lama. Dampak negatif yang
lain dari semakin lamanya pasien mendapatkan asupan makanan dan nutrisi
adalah pemulihan kesegaran dan kebugaran pasien semakin lama, dan ini akan
berakibat lama perawatan semakin lama. Waktu perawatan Length of stay (LOS)
merupakan salah satu indikator penilaian dalam akreditasi sebuah rumah sakit.
Semakin lama length of stay maka penilaian terhadap rumah sakit tersebut
semakin buruk. Dampak negatif lain yang diakibatkan lamanya pemulihan pasien
pasca operasi, menyebabkan pasien harus berlama-lama dalam posisi tirah
baring. Posisi tirah baring yang lama akan meningkatkan terjadinya komplikasi
yang serius seperti pembentukan suatu thrombus sehingga aliran balik vena
mengalami hambatan.
Perlu upaya pencarian jalan keluar untuk mengatasi lamanya pemulihan
peristaltik usus pada pasien pasca operasi dengan tindakan anestesi umum.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa tindakan ambulasi
dini akan mempercepat pemulihan pasien pasca operasi. Pada saat ini peneliti
ingin mengatahui perbedaan lama waktu pemulihan peristaltik usus antara pasien
yang dilakukan ambulasi dini ROM aktif dan ROM pasif.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasar latar belakang di atas dikemukakan perumusan masalah
sebagai berikut “Apakah ada perbedaan lama waktu pemulihan peristaltik usus
antara pasien yang dilakukan ambulasi dini ROM aktif dan ROM pasif”

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1Tujuan umum
Untuk mengetahui adanya perbedaan lama waktu pemulihan peristaltik
usus antara pasien yang dilakukan ambulasi dini ROM aktif dan ROM pasif.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Mengidentifikasi hasil lama waktu pemulihan peristaltik usus pasien
yang dilakukan ambulasi dini ROM aktif.
2. Mengidentifikasi hasil lama waktu pemulihan peristaltik usus pasien
yang dilakukan ambulasi dini ROM pasif.
3. Menganalisa perbedaan lama waktu pemulihan peristaltik usus antara
pasien yang dilakukan ambulasi dini ROM aktif dan ROM pasif.

1.4 Manfaat penelitian


1.4.1 Bagi profesi keperawatan
1. Perawat memperoleh pengetahuan analisa tentang pemulihan
peristaltik usus antara pasien yang dilakukan ambulasi dini ROM aktif
dan ROM pasif.
2. Perawat dapat memberikan asuhan keperawatan terkait pasien post
operasi, dan dapat melakukan ambulasi dini ROM aktif dan ROM pasif
serta menghindarkan pasien dari resiko yang mungkin terjadi.

1.4.2 Bagi pasien


Diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pasien dalam pemulihan
diri saat post operasi dan menghindarkan pasien dari resiko-resiko yang mungkin
terjadi pada pasien.

1.4.3 Bagi institusi pendidikan dan RSUD Ngudi Waluyo


Sebagai sumber informasi serta pedoman bagi institusi dan RSUD
tentang keefektifan pemulihan peristaltik usus pasien yang dilakukan ambulasi
dini ROM aktif dan ROM pasif bagi pasien dan mengurangi terjadinya resiko
yang mungkin terjadi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mobilisasi dini


2.1.1 Definisi Mobilisasi Dini
Mobilisasi merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak bebas,
mudah, teratur, mempunyai tujuan memenuhi kebutuhan hidup sehat, dan
penting untuk kemandirian (Barbara, 2006). Sebaliknya keadaan imobilisasi
adalah suatu pembatasan gerak atau keterbatasan fisik dari anggota badan dan
tubuh itu sendiri dalam berputar, duduk dan berjalan, hal ini salah satunya
disebabkan oleh berada pada posisi tetap dengan gravitasi berkurang seperti
saat duduk atau berbaring. (Susan J. Garrison, 2004) Sementara mobilisasi dini
merupakan suatu aspek yang terpenting pada fungsi fisiologis karena hal itu
esensial untuk mempertahankan kemandirian (Capernito, 2000). Carpenito juga
membagikan tiga rentang gerak dalam mobilisasi yaitu, rentang gerak pasif,
rentang gerak aktif, dan rentang gerak fungsional. Adapun rentang gerak pasif ini
berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan persendian dengan
menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya perawat mengangkat dan
menggerakkan kaki pasien.
Sementara rentang gerak aktif untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot
serta sendi dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif misalnya
berbaring pasien menggerakkan kakinya. Sedangkan rentang gerak fungsional
berguna untuk memperkuat otot-otot dan sendi dengan melakukan aktifitas yang
diperlukan. Dari kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa mobilisasi dini
adalah suatu upaya mempertahankan kemandirian sedini mungkin dengan cara
membimbing penderita untuk mempertahankan fungsi fisiologis. Mobilisasi
secara tahap demi tahap sangat berguna untuk membantu jalannya
penyembuhan pasien. Secara psikologis mobilisasi akan memberikan
kepercayaan pada pasien bahwa dia mulai merasa sembuh. Perubahan gerakan
dan posisi ini harus diterangkan pada pasien atau keluarga yang menunggui.
Pasien dan keluarga akan dapat mengetahui manfaat mobilisasi, sehingga akan
berpartisipasi dalam pelaksanaan mobilisasi. (Rustam Muchtar, 1992 dalam
Barbara, 2006)
2.1.2 Tujuan Mobilisasi
Menurut Susan J. Garrison (2004), tujuan mobilisasi antara lain:
a. Mempertahankan fungsi tubuh
b. Memperlancar peredaran darah sehingga mempercepat penyembuhan
luka
c. Membantu pernafasan menjadi lebih baik
d. Mempertahankan tonus otot
e. Memperlancar eliminasi alvi dan urin
f. Mengembalikan aktivitas tertentu sehingga pasien dapat kembali normal
dan atau dapat memenuhi kebutuhan gerak harian.
g. Memberi kesempatan perawat dan pasien untuk berinteraksi atau
berkomunikasi

2.1.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Mobilisasi


Faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi menurut Barbara (2006),
antara lain:
a. Gaya Hidup
Gaya hidup seseorang sangat tergantung dari tingkat
pendidikannya. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan diikuti
oleh perilaku yang dapat meningkatkan kesehatannya. Demikian halnya
dengan pengetahuan kesehatan tentang mobilitas seseorang akan
senantiasa melakukan mobilisasi dengan cara yang sehat.
b. Proses penyakit dan injury
Adanya penyakit tertentu yang diderita seseorang akan
mempengaruhi mobilitasnya, misalnya; seorang yang patah tulang akan
kesulitan untuk mobilisasi secara bebas. Demikian pula orang yang baru
menjalani operasi, karena adanya rasa sakit atau nyeri yang menjadi
alasan mereka cenderung untuk bergerak lebih lamban. Ada kalanya klien
harus istirahat di tempat tidur karena menderita penyakit tertentu.
c. Kebudayaan
Kebudayaan dapat mempengaruhi pola dan sikap dalam
melakukan aktifitas, misalnya pada pasien setelah operasi dilarang
bergerak karena kepercayaan kalau banyak bergerak nanti luka atau
jahitan tidak jadi.
d. Tingkat energi
Seseorang melakukan mobilisasi jelas membutuhkan energi atau
tenaga. Orang yang sedang sakit akan berbeda mobilitasnya
dibandingkan dengan orang dalam keadaan sehat.
e. Usia dan status perkembangan
Seorang anak akan berbeda tingkat kemampuan mobilitasnya
dibandingkan dengan seorang remaja.
2.1.4 Jenis Mobilisasi
Jenis-jenis mobilisasi antara lain :
a. Mobilisasi penuh
Mobilisasi penuh ini menunjukkan syaraf motorik dan sensorik
mampu mengontrol seluruh area tubuh. Mobilisasi penuh mempunyai
banyak keuntungan bagi kesehatan, baik fisiologis maupun psikologis bagi
pasien untuk memenuhi kebutuhan dan kesehatan secara bebas,
mempertahankan interaksi sosial dan peran dalam kehidupan sehari hari.
b. Mobilisasi sebagian
Pasien yang mengalami mobilisasi sebagian umumnya
mempunyai gangguan syaraf sensorik maupun motorik pada area tubuh.
Mobilisasi sebagian dapat dibedakan menjadi:
1) Mobilisasi temporer yang disebabkan oleh trauma reversibel
pada sistim muskuloskeletal seperti dislokasi sendi dan tulang.
2) Mobilisasi permanen biasanya disebabkan oleh rusaknya sistim
syaraf yang reversibel. (Susan J. Garrison, 2004)

2.1.5 Kontra Indikasi Mobilisasi


Pada kasus tertentu istirahat di tempat tidur diperlukan dalam periode
tidak terlalu lama seperti pada pada kasus infark miokard akut, disritmia jantung
atau syok sepsis. Kontra indikasi lain dapat ditemukan pada kelemahan umum
dengan tingkat energi yang kurang. (Susan J. Garrisson, 2004)
2.1.6 Mobilisasi Pada Pasien Pasca Pembedahan
Mobilisasi pasca pembedahan yaitu proses aktivitas yang dilakukan pasca
pembedahan dimulai dari latihan ringan di atas tempat tidur (latihan pernafasan,
latihan batuk efektif dan menggerakkan tungkai) sampai dengan pasien bisa turun
dari tempat tidur, berjalan ke kamar mandi dan berjalan ke luar kamar. (Brunner &
Suddarth, 2002)
Selama 24 sampai 48 jam pertama, perhatian ditujukan pada pemberian
peredahan nyeri dan pencegahan komplikasi. Latihan menarik napas dalam,
batuk dan fleksi kaki atau tangan harus didorong untuk dilakukan setiap jam.
(Brunner & Suddarth, 2002). Sementara, hal yang harus diperhatikan pada
penanganan pasien pasca operasi fraktur adalah pada pencegahan terjadinya
masalah medis sekunder (komplikasi pasca bedah), dan harus segera dilakukan
mobilisasi agar fungsi kemandirian dapat dipertahankan. (Brunner & Suddarth,
2002)
Latihan tersebut melalui tahap-tahap yaitu:
a. Setelah 12-24 jam pertama post operasi pasien berpindah posisi setiap 1-2
jam. Melakukan latihan kaki setiap jam jika pasien terjaga
b. Jika pasien mampu beradaptasi untuk melakukan miring ke kiri dan ke kanan,
6-12 jam berikutnya pasien dibantu untuk bergerak secara bertahap dari posisi
berbaring ke posisi duduk sampai semua tanda pusing hilang. Posisi ini dapat
dicapai dengan menaikan bagian kepala tempat tidur.

c. Apabila pasien dapat duduk di tempat tidur tanpa mengeluh pusing hari ketiga
post operasi anjurkan untuk menjuntai kaki di samping tempat tidur, jika tanda-
tanda vital normal dan pasien tidak mengeluh pusing bantu pasien untuk
berdiri disamping tempat tidur dan bantu pasien untuk berjalan perlahan dalam
jarak pendek ± 2-3 meter.
d. Hari keempat pasien dibantu untuk berjalan kekamar mandi dan jika luka
operasi kering, pemenuhan nutrisi baik, hasil pemeriksaan penunjang baik,
tidak ada komplikasi lainnya, perawat dapat memberitahukan kepada dokter
agar pasien boleh dipulangkan. (Perry dan Poter, 2005) Menurut Potter &
Perry (2005), mobilisasi dapat di lakukan dengan range of motion (ROM) aktif.
Adapun gerakan ROM yang dilakukan yaitu:
a. Leher, spina, serfikal
 Fleksi : Menggerakan dagu menempel ke dada, rentang 45°
 Ekstensi : Mengembalikan kepala ke posisi tegak, rentang 45°
 Hiperektensi: Menekuk kepala ke belakang sejauh mungkin, rentang 40-
45°
 Fleksi lateral : Memiringkan kepala sejauh mungkin sejauh mungkin
kearah setiap bahu, rentang 40-45°
 Rotasi : Memutar kepala sejauh mungkin dalam gerakan sirkuler, rentang
180°

Ulangi gerakan berturut-turut sebanyak 4 kali.


b. Bahu

Gambar : Gerakan ROM pada Leher


• Fleksi : Menaikan lengan dari posisi di samping tubuh ke depan ke posisi
di atas kepala, rentang 180°
• Ekstensi : Mengembalikan lengan ke posisi di samping tubuh, rentang 180°
• Hiperektensi : Mengerkan lengan kebelakang tubuh, siku tetap lurus, rentang
45-60°
• Abduksi : Menaikan lengan ke posisi samping di atas kepala dengan
telapak tangan jauh dari kepala, rentang 180°
• Adduksi : Menurunkan lengan ke samping dan menyilang tubuh sejauh
mungkin, rentang 320°
• Rotasi dalam : Dengan siku pleksi, memutar bahu dengan menggerakan lengan
sampai ibu jari menghadap ke dalam dan ke belakang, rentang
90°
• Rotasi luar : Dengan siku fleksi, menggerakan lengan sampai ibu jari ke atas
dan samping kepala, rentang 90°
• Sirkumduksi : Menggerakan lengan lingkaran penuh, rentang 360° Ulang
gerakan berturut-turut sebanyak 4 kali.

Gambar : Gerakan ROM pada Bahu

c. Siku
• Fleksi : Menggerakkan siku sehingga lengan bahu bergerak ke depan sendi
bahu dan tangan sejajar bahu, rentang 150°
• Ektensi : Meluruskan siku dengan menurunkan tangan, rentang 150°

Gambar : Gerakan ROM pada siku

d.Lengan bawah
 Supinasi : Memutar lengan bawah dan tangan sehingga telapak tangan
menghadap ke atas, rentang 70-90°
 Pronasi : Memutar lengan bawah sehingga telapak tangan menghadap
ke bawah, rentang 70-90°

Ulang gerakan berturut-turut sebanyak 4 kali


Gambar : Gerakan ROM pada lengan bawah
e. Pergelangan tangan
 Fleksi : Menggerakan telapak tangan ke sisi bagian dalam lengan bawah,
rentang 80-90°
 Ekstensi : Mengerakan jari-jari tangan sehingga jari-jari, tangan,lengan
bawah berada di arah yang sama, rentang 80-90°
 Hiperekstensi : Membawa permukaan tangan dorsal ke belakang sejauh
mungkin, rentang 89-90°
 Abduksi : Menekuk pergelangan tangan miring ke ibu jari,dengan rentang
30°
 Adduksi : Menekuk pergelangan tangan miring ke arah lima jari, rentang
30-50°

Gambar : Gerakan ROM pada pergelangan tangan

Jari- jari tangan


 Fleksi : Membuat genggaman, rentang 90°
 Ekstensi : Meluruskan jari-jari tangan, rentang 90°
 Hiperekstensi : Menggerakan jari-jari tangan ke belakang sejauh
mungkin, rentang 30-60°
 Abduksi : Mereggangkan jari-jari tangan yang satu dengan yang lain,
rentang 30°
 Adduksi : Merapatkan kembali jari-jari tangan, rentang 30°
Ulang gerakan berturut-turut sebanyak 4 kali.

Gambar : Gerakan ROM pada jari


Ibu jari
 Fleksi : Mengerakan ibu jari menyilang permukaan telapak tangan,
rentang 90°
 Ekstensi : Menggerakan ibu jari lurus menjauhi tangan, rentang 90°
 Abduksi : Menjauhkan ibu jari ke samping, rentang 30°
 Adduksi : Mengerakan ibu jari ke depan tangan, rentang 30°
 Oposisi : Menyentuhkan ibu jari ke setiap jari-jari tangan pada tangan
yang sama
Ulang gerakan berturut-turut sebanyak 4 kali.

Gambar : Gerakan ROM pada ibu jari


h. Pinggul
 Fleksi : Mengerakan tungkai ke depan dan atas, rentang 90-120°
 Ekstensi : Menggerakan kembali ke samping tungkai yang lain, rentang
90-120°
 Hiperekstensi : Mengerakan tungkai ke belakang tubuh, rentang 30-50°
 Abduksi : Menggerakan tungkai ke samping menjauhi tubuh, rentang 30-
50°
 Adduksi : Mengerakan tungkai kembali ke posisi media dan melebihi jika
mungkin, rentang 30-50°
 Rotasi dalam : Memutar kaki dan tungkai ke tungkai lain, rentang 90°
 Rotasi luar : Memutar kaki dan tungkai jauhi tungkai lain, rentang 90°
 Sirkumduksi : Menggerakan tungkai melingkar

Ulang gerakan berturut-turut sebanyak 4 kali.

Gambar : Gerakan ROM pada pinggul

i. Lutut
 Fleksi : Mengerakan tumit ke belakang paha, rentang 120-130°
 Ekstensi : Mengembalikan tungkai kelantai, rentang 120-130°

Ulang gerakan berturut-turut sebanyak 4 kali.


Gambar : Gerakan ROM pada lutut
j. Mata kaki
 Dorsifleksi : Menggerakan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk ke atas,
rentang 20-30°
 Flantarfleksi : Menggerakan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk ke
bawah, rentang 45-50°

Ulang gerakan berturut-turut sebanyak 4 kali.

Gambar : Gerakan ROM pada mata kaki

k. Kaki
 Inversi : Memutar telapak kaki ke samping dalam, rentang 10°
 Eversi : Memutar telapak kaki ke samping luar, rentang 10°

Ulang gerakan berturut-turut sebanyak 4 kali.


Gambar : Gerakan ROM pada kaki

l. Jari-Jari Kaki
 Fleksi : Menekukkan jari-jari kaki ke bawah, rentang 30-60°
 Ekstensi : Meluruskan jari-jari kaki, rentang 30-60°
 Abduksi : Menggerakan jari kaki satu dengan yang lain, rentang 15°
 Adduksi : Merapatkan kembali bersama-sama, rentang 15°

Ulang gerakan berturut-turut sebanyak 4 kali.

Gambar : Gerakan ROM pada jari kaki

7. Dampak Mobilisasi Post Operasi


a. Peningkatan kecepatan dan kedalaman pernafasan
1) Mencegah atelektasis dan pnemonia hipostasis .
2) Peningkatan kesadaran mental dampak dari peningkatan oksigen ke
otak.
b. Peningkatan sirkulasi
1) Nutrisi untuk penyembuhan mudah didapat pada daerah luka
2) Mencegah trombophlebitis
3) Peningkatan kelancaran fungsi ginjal
4) Pengurangan rasa nyeri
c. Peningkatan berkemih
1) Mencegah retensi urine

d. Peningkatan metabolisme
1) Mencegah berkurangnya tonus otot
2) Mengembalikan keseimbangan nitrogen
e. Peningkatan peristaltik
1) Memudahkan terjadinya flatus
2) Mencegah distensi abdominal dan nyeri akibat gas
3) Mencegah konstipasi
4) Mencegah illeus paralitik

2.2 Konsep Usus


2.2.1 Peristaltik Usus Halus
Bagian-bagian dari usus halus yang duodenum, jejunum, dan ileum
penyerapan, tapi tiga wilayah dari usus halus semua memiliki fungsi yang sama,
yaitu penyerapan makanan yang kita makan. Selama dan setelah makan, usus
biasanya menunjukkan kontraksi yang tidak teratur, yang memindahkan
makanan dan mencampurnya dengan enzim pencernaan yang dikeluarkan ke
dalam usus. Kontraksi ini tidak sepenuhnya tidak teratur, usus halus akan
memindahkan isi usus perlahan-lahan menuju usus besar. Itu biasanya
berlangsung sekitar 90-120 menit untuk bagian pertama dari makanan yang kita
makan untuk mencapai usus besar, dan bagian terakhir dalam makanan
mungkin mencapai usus besar lebih dari lima jam. Siklus motilitas usus di usus
halus terdiri dari periode singkat, yaitu periode di mana tidak adanya kontraksi
(fase I), lalu diikuti oleh periode kontraksi yang tidak teratur (Tahap II), dan
kemudian kontraksi kuat, reguler yang bergerak ke bawah usus dalam mode
peristaltik (fase III).
Ada dua jenis lain dari motilitas dalam usus kecil, tapi fungsi mereka
belum sepenuhnya dipahami. Pertama, kontraksi yang singkat, terdapat
semburan kontraksi (meledak setiap berlangsung hanya beberapa detik). Hal
tersebut terjadi terutama pada usus kecil atas dan menghilang sebelum bergerak
terlalu jauh ke bawah. Mereka terjadi di sebagian besar orang pada interval yang
jarang, tapi pada pasien dengan sindrom iritasi usus akan menyebabkan nyeri
perut. Kedua jenis kontraksi adalah giant migrating contraction. Hal ini terjadi
terutama di usus halus. Kontraksi tersbut menjadi bagian dari refleks defensif
yang menyapu bakteri dan makanan puing-puing dari usus (UNC, 2011).

2.2.2 Peristaltik Usus Besar


Usus besar (kolon) fungsi utama usus besar adalah untuk menyimpan
sisa makanan dan menyerap air. Sebagian besar cairan ini harus akan diserap
kembali untuk mencegah kita dari mengalami dehidrasi. Proses ini memakan
waktu, dan sebagai akibatnya, sekitar 95% kontraksi usus besar merupakan
kontraksi yang tidak teratur. Kontraksi ini mencampur isi usus besar, tetapi tidak
memindahkan sisa makanan. Sebagai konsekuensi dari pola motilitas, sisa
makanan tetap dalam usus besar rata-rata sekitar 30 jam, dan ada banyak
bakteri. Jumlah bakteri bervariasi tergantung pada diet dan penggunaan
antibiotik tetapi dapat membuat lebih dari setengah dari berat bahan tinja.
Kedua, kontraksi yang dimiliki usus besar adalah jenis motilitas yang
memiliki amplitudo tinggi. Kontraksi ini hanya terjadi 6 - 8 kali per hari pada orang
sehat. Kontraksi dimulai di bagian pertama dari usus besar dan menyapu di
sekitar sepanjang jalan menuju rectum, lalu kontraksi tersebut berhenti tepat di
atas rektum. Kontraksi ini memindahkan isi dari usus besar depan akan sering
memicu gerakan usus, atau setidaknya dorongan untuk gerakan usus (UNC,
2011).

2.2.3 Pengontrolan Peristaltik Usus


Saluran pencernaan memiliki mantel eksternal otot yang berfungsi untuk
mencampur makanan, sehingga ia terkena enzim pencernaan dan lapisan
absorptif usus, dan untuk mendorong isi tabung pencernaan. Otot juga
menenangkan untuk mengakomodasi peningkatan massal isi, terutama di perut.
Pada manusia, khususnya, usus besar juga memiliki fungsi penting reservoir
untuk mempertahankan kotoran sampai buang air besar. Sirkuit refleks enterik
mengatur gerakan dengan mengendalikan aktivitas penghambatan maupun
rangsangan neuron. Neuron-neuron ini memiliki pemancar co-transmitter, seperti
asetilkolin dan tachykinins, dan oksida nitrat untuk penghambatan neuron,
peptida usus vasoaktif (VIP) dan ATP. Ada juga bukti bahwa peptida
mengaktifkan hipofisis adenilat (PACAP) dan karbon monoksida (CO)
berkontribusi penghambatan transmisi.
Waktu untuk mengisi melalui saluran pencernaan bervariasi tergantung
pada sifat dari makanan, termasuk jumlah dan kandungan nutrisi. Aktivitas
peristaltik kerongkongan mengambil makanan dari mulut untuk perut di sekitar 10
detik, dimana makanan dicampur dengan cairan pencernaan. Pengosongan
lambung berlanjut selama periode waktu sekitar 1-2 jam setelah makan, isi cair
yang didorong oleh gelombang peristaltik lambung sebagai aspirasi kecil ke
dalam usus kosong selama waktu ini. Cairan dari perut dicampur dengan
pankreas dan empedu sekresi untuk membentuk konten cair dari usus kecil,
dikenal sebagai chyme. Chyme dicampur dan bergerak perlahan sepanjang
usus, di bawah kendali pencampuran dan daya gerakan yang diatur oleh ENS,
sementara pencernaan dan penyerapan nutrisi terjadi. Waktu rata-rata melalui
usus kecil manusia adalah 3-4 jam. Kolon transit di sehat manusia memakan
waktu 1-2 hari.
Reflek intrinsik dari sistem saraf enterik sangat penting untuk membentuk
pola motilitas usus halus dan usus besar. Gerakan otot utama dalam usus
kecil:aktivitas mixing, reflex porpulsif, migrasi myoelectric komplek, dorongan
peristaltik, dan retropulsion terkait dengan muntah. Sistem saraf enterik
diprogram untuk menghasilkan hasil yang berbeda. Berbeda dengan usus, gerak
peristaltik dalam perut adalah konsekuensi peristiwa listrik yang dihasilkan di
otot. Intensitas lambung kontraksi ditentukan oleh tindakan saraf vagus, yang
membentuk hubungan dengan enterik neuron di myenteric ganglia. Perut bagian
proksimal mengalami relaksasi untuk mengakomodasi kedatangan makanan.
Relaksasi ini juga dimediasi melalui saraf vagus yang terhubung dengan neuron
enterik. Dengan demikian, Pusat-pusat Integratif utama untuk mengontrol
lambung motilitas ada di batang otak.
Sedangkan untuk mengendalikan usus halus dan usus besar ada dalam
sistem saraf enterik. Otot sfingter membatasi dan mengatur bagian dari isi
luminal.

2.3 ANESTESI UMUM (GENERAL ANESTESI)


Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan
aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.Istilah anestesi
digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.
Anestesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat reversible.Anestesi umum yang sempurna
menghasilkan ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa menimbulkan
resiko yang tidak diinginkan dari pasien.
I. TEORI ANESTESI UMUM
Ada beberapa teori yang membicarakan tentang kerja anestesi umum,
diantaranya:
a. Meyer dan Overton (1989) mengemukakan teori kelarutan lipid (Lipid Solubity
Theory). Obat anestetika larut dalam lemak. Efeknya berhubungan langsung
dengan kelarutan dalam lemak. Makin mudah larut di dalam lemak, makin kuat
daya anestesinya. Ini hanya berlaku pada obat inhalasi (volatile anaesthetics),
tidak pada obat anestetika parenteral.
b. Ferguson (1939) mengemukakan teori efek gas inert (The Inert Gas Effect).
Potensi analgesia gas – gas yang lembab dan menguap terbalik terhadap
tekanan gas – gas dengan syarat tidak ada reaksi secara kimia. Jadi tergantung
dari konsentrasi molekul – molekul bebas aktif.
c. Pauling (1961) mengemukakan teori kristal mikrohidrat (The Hidrat Micro-crystal
Theory). Obat anestetika berpengaruh terutama terhadap interaksi molekul –
molekul obatnya dengan molekul – molekul di otak.
d. Trudel (1963) mengemukakan molekul obat anestetika mengadakan interaksi
dengan membrana lipid meningkatkan keenceran (mengganggu membran).

Obat anestesi yang diberikan akan masuk ke dalam sirkulasi darah yang
selanjutnya menyebar ke jaringan, yang pertama kali terpengaruh adalah
jaringan yang banyak vaskularisasinya seperti otak, yang mengakibatkan
kesadaran dan rasa sakit hilang. Kecepatan dan kekuatan anestesi dipengaruhi
oleh faktor respirasi, sirkulasi, dan sifat fisik obat itu sendiri.

II. TUJUAN ANESTESI UMUM


Tujuan anestesi umum adalah hipnotik, analgesik, relaksasi dan stabilisasi
otonom.
III. SYARAT, KONTRAINDIKASI DAN KOMPLIKASI ANESTESI UMUM
Adapun syarat ideal dilakukan anestesi umum adalah :
a. Memberi induksi yang halus dan cepat.
b. Timbul situasi pasien tak sadar atau tak berespons
c. Timbulkan keadaan amnesia
d. Timbulkan relaksasi otot skeletal, tapi bukan otot pernapasan.
e. Hambatan persepsi rangsang sensorik sehingga timbul analgesia yang cukup untuk tindakan
operasi.
f. Memberikan keadaan pemulihan yang halus cepat dan tidak menimbulkan ESO yang
berlangsung lama.
Kontraindikasi mutlak dilakukan anestesi umum yaitu dekompresi kordis
derajat III – IV, AV blok derajat II – total (tidak ada gelombang P). Kontraindikasi
Relatif berupa hipertensi berat/tak terkontrol (diastolik >110), DM tak terkontrol,
infeksi akut, sepsis, GNA.
Tergantung pada efek farmakologi pada organ yang mengalami
kelainan.Pada pasien dengan gangguan hepar, harus dihindarkan pemakaian
obat yang bersifat hepatotoksik.Pada pasien dengan gangguan jantung, obat –
obatan yang mendepresi miokard atau menurunkan aliran koroner harus
dihindari atau dosisnya diturunkan.Pasien dengan gangguan ginjal, obat –
obatan yang diekskresikan melalui ginjal harus diperhatikan. Pada paru,
hindarkan obat yang memicu sekresi paru, sedangkan pada bagian endokrin
hindari obat yang meningkatkan kadar gula darah, obat yang merangsang
susunan saraf simpatis pada penyakit diabetes basedow karena dapat
menyebabkan peningkatan kadar gula darah.
Sedangkan komplikasi kadang – kadang tidak terduga walaupun tindakan
anestesi telah dilakukan dengan sebaik – baiknya.Komplikasi dapat dicetuskan
oleh tindakan anestesi ataupun kondisi pasien sendiri.Komplikasi dapat timbul
pada waktu pembedahan ataupun setelah pembedahan. Komplikasi
kardiovaskular berupa hipotensi dimana tekanan sistolik kurang dari 70 mmHg
atau turun 25 % dari sebelumnya, hipertensi dimana terjadi peningkatan tekanan
darah pada periode induksi dan pemulihan anestesi. Komplikasi ini dapat
membahayakan khususnya pada penyakit jantung karena jantung bekerja keras
dengan kebutuhan – kebutuhan miokard yang meningkat yang dapat
menyebabkan iskemik atau infark apabila tidak tercukupi kebutuhannya.
Komplikasi lain berupa gelisah setelah anestesi, tidak sadar , hipersensitifitas
ataupun adanya peningkatan suhu tubuh.

IV. PERSIAPAN UNTUK ANESTESI UMUM


Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien sebelum
pasien menjalani suatu tindakan operasi.Pada saat kunjungan, dilakukan
wawancara (anamnesis) sepertinya menanyakan apakah pernah mendapat
anestesi sebelumnya, adakah penyakit – penyakit sistemik, saluran napas, dan
alergi obat.Kemudian pada pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan gigi –
geligi, tindakan buka mulut, ukuran lidah, leher kaku dan pendek.Perhatikan pula
hasil pemeriksaan laboratorium atas indikasi sesuai dengan penyakit yang
sedang dicurigai, misalnya pemeriksaan darah (Hb, leukosit, masa pendarahan,
masa pembekuan), radiologi, EKG.
Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan dinyatakan
dengan status anestesi menurut The American Society Of Anesthesiologist
(ASA).
ASA I : Pasien dalam keadaan normal dan sehat.
ASA II : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik
karena penyakit bedah maupun penyakit lain. Contohnya: pasien batu ureter
dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien appendisitis akut dengan
lekositosis dan febris.
ASA III : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang
diakibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya: pasien appendisitis perforasi
dengan septisemia, atau pasien ileus obstrukstif dengan iskemia miokardium.
ASA IV : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung
mengancam kehidupannya. Contohnya: Pasien dengan syok atau dekompensasi
kordis.
ASA V : Pasien tak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi
atau tidak. Contohnya: pasien tua dengan perdarahan basis kranii dan syok
hemoragik karena ruptur hepatik.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat ( E = EMERGENCY ), misalnya ASA IE atau IIE
Pengosongan lambung untuk anestesia penting untuk mencegah aspirasi
lambung karena regurgutasi atau muntah. Pada pembedahan elektif,
pengosongan lambung dilakukan dengan puasa: anak dan dewasa 4 – 6 jam,
bayi 3 – 4 jam. Pada pembedahan darurat pengosongan lambung dapat
dilakukan dengan memasang pipa nasogastrik atau dengan cara lain yaitu
menetralkan asam lambung dengan memberikan antasida (magnesium trisilikat)
atau antagonis reseptor H2 (ranitidin).Kandung kemih juga harus dalam keadaan
kosong sehingga boleh perlu dipasang kateter.Sebelum pasien masuk dalam
kamar bedah, periksa ulang apakah pasien atau keluarga sudah memberi izin
pembedahan secara tertulis (informed concent).
Premedikasi sendiri ialah pemberian obat ½ - 1 jam sebelum induksi
anestesia dengan tujuan melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari
anestesia, menghilangkan rasa khawatir,membuat amnesia, memberikan
analgesia dan mencegah muntah, menekan refleks yang tidak diharapkan,
mengurasi sekresi saliva dan saluran napas.
Obat – obat premedikasi yang bisa diberikan antara lain :
 Gol. Antikolinergik
Atropin.Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah, antimual dan
muntah, melemaskan tonus otot polos organ – organ dan menurunkan spasme
gastrointestinal. Dosis 0,4 – 0,6 mg IM bekerja setelah 10 – 15 menit.
 Gol. Hipnotik – sedatif
Barbiturat (Pentobarbital dan Sekobarbital).Diberikan untuk sedasi dan
mengurangi kekhawatiran sebelum operasi.Obat ini dapat diberikan secara oral
atau IM.Dosis dewasa 100 – 200 mg, pada bayi dan anak 3 – 5
mg/kgBB.Keuntungannya adalah masa pemulihan tidak diperpanjang dan efek
depresannya yang lemah terhadap pernapasan dan sirkulasi serta jarang
menyebabkan mual dan muntah.
 Gol. Analgetik narkotik
Morfin.Diberikan untuk mengurangi kecemasan dan ketegangan menjelang
operasi.Dosis premedikasi dewasa 10 – 20 mg. Kerugian penggunaan morfin
ialah pulih pasca bedah lebih lama, penyempitan bronkus pada pasien asma,
mual dan muntah pasca bedah ada.
Pethidin.Dosis premedikasi dewasa 25 – 100 mg IV.Diberikan untuk menekan
tekanan darah dan pernapasan serta merangsang otot polos.Pethidin juga
berguna mencegah dan mengobati menggigil pasca bedah.
 Gol. Transquilizer
Diazepam (Valium).Merupakan golongan benzodiazepine.Pemberian dosis
rendah bersifat sedatif sedangkan dosis besar hipnotik.Dosis premedikasi
dewasa 0,2 mg/kgBB IM.

V. METODE PEMBERIAN ANESTESI UMUM


Obat obat anestesi umum bisa diberikan melalui Perenteral (Intravena,
Intramuscular), perektal (melalui anus) biasanya digunakan pada bayi atau
anak-anak dalam bentuk suppositoria, tablet, semprotan yang dimasukan ke
anus.Perinhalasi melalui isapan, pasien disuruh tarik nafas dalam kemudian
berikan anestesi perinhalasi secara perlahan.

VI. STADIUM ANESTESI


Tahapan dalam anestesi terdiri dari 4 stadium yaitu stadium pertama berupa analgesia
sampai kehilangan kesadaran, stadium 2 sampai respirasi teratur, stadium 3 dan stdium 4
sampai henti napas dan henti jantung.
Stadium I
Stadium I (St. Analgesia/ St. Cisorientasi) dimulai dari saat pemberian zat
anestetik sampai hilangnya kesadaran.Pada stadium ini pasien masih dapat
mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit).Tindakan
pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan
pada stadium ini.Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh hilangnya reflekss
bulu mata (untuk mengecek refleks tersebut bisa kita raba bulu mata).
Stadium II
Stadium II (St. Eksitasi; St. Delirium) Mulai dari akhir stadium I dan ditandai
dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss cahaya (+),
pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan diakhiri
dengan hilangnya reflekss menelan dan kelopak mata.
Stadium III
Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan hingga
hilangnya pernapasan spontan.Stadia ini ditandai oleh hilangnya pernapasan
spontan, hilangnya reflekss kelopak mata dan dapat digerakkannya kepala ke kiri
dan kekanan dengan mudah.
Stadium IV
Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian akan segera
diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien meninggal. Pasien
sebaiknya tidak mencapai stadium ini karena itu berarti terjadi kedalaman
anestesi yang berlebihan.

TANDA REFLEKS PADA MATA


Refleks pupil
Pada keadaan teranestesi maka refleks pupil akan miosis apabila anestesinya
dangkal, midriasis ringan menandakan anestesi reaksinya cukup dan baik/
stadium yang paling baik untuk dilakukan pembedahan, midriasis maksimal
menandakan pasien mati.
Refleks bulu mata
Refleks bulu mata sudah disinggung tadi di bagian stadium anestesi.Apabila saat
dicek refleks bulu mata (-) maka pasien tersebut sudah pada stadium 1.
Refleks kelopak mata
Pengecekan refleks kelopak mata jarang dilakukan tetapi bisa digunakan untuk
memastikan efek anestesi sudah bekerja atau belum, caranya adalah kita tarik
palpebra atas ada respon tidak, kalau tidak berarti menandakan pasien sudah
masuk stadium 1 ataupun 2.
Refleks cahaya
Untuk refleks cahaya yang kita lihat adalah pupilnya, ada / tidak respon saat kita
beri rangsangan cahaya.

VII. TEKNIK ANESTESI UMUM


a. Sungkup Muka (Face Mask) dengan napas spontan
Indikasi :
 Tindakan singkat ( ½ - 1 jam)
 Keadaan umum baik (ASA I – II)
 Lambung harus kosong
Prosedur :
 Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik
 Pasang infuse (untuk memasukan obat anestesi)
 Premedikasi + / - (apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat penenang)
efek sedasi/anti-anxiety :benzodiazepine; analgesia: opioid, non opioid, dll
 Induksi
 Pemeliharaan

b. Intubasi Endotrakeal dengan napas spontan


Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET=
endotrakeal tube) kedalam trakea via oral atau nasal. Indikasi; operasi lama, sulit
mempertahankan airway (operasi di bagian leher dan kepala)
Prosedur :
1. Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil dgn
durasi singkat)
2. Intubasi setelah induksi dan suksinil
3. Pemeliharaan
Untuk persiapan induksi sebaiknya kita ingat STATICS:
S = Scope. Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-
Scope
T = Tubes. Pipa trakea. Usia >5 tahun dengan balon(cuffed)
A = Airway. Pipa mulut faring (orofaring) dan pipa hidung faring (nasofaring) yang
digunakanuntuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak
menymbat jalan napas
T = Tape. Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut
I = Introductor. Stilet atau mandrin untuk pemandu agar pipa trakea mudah
dimasukkan
C = Connector. Penyambung pipa dan perlatan anestesia
S = Suction. Penyedot lendir dan ludah
Teknik Intubasi
1. Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap
2. Induksi sampai tidur, berikan suksinil kolin → fasikulasi (+)
3. Bila fasikulasi (-) → ventilasi dengan O2 100% selama kira - kira 1 mnt
4. Batang laringoskopi pegang dengan tangan kiri, tangan kanan mendorong
kepala sedikit ekstensi → mulut membuka
5. Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah kanan, sedikit demi
sedikit, menyelusuri kanan lidah, menggeser lidah kekiri
6. Cari epiglotis → tempatkan bilah didepan epiglotis (pada bilah bengkok) atau
angkat epiglotis ( pada bilah lurus )
7. Cari rima glotis ( dapat dengan bantuan asisten menekan trakea dar luar )
8. Temukan pita suara → warnanya putih dan sekitarnya merah
9. Masukan ET melalui rima glottis
10. Hubungkan pangkal ET dengan mesin anestesi dan atau alat bantu napas(
alat resusitasi )

Klasifikasi Mallampati :
Mudah sulitnya dilakukan intubasi dilihat dari klasifikasi Mallampati :

c. Intubasi Endotrakeal dengan napas kendali (kontrol)


Pasien sengaja dilumpuhkan/benar2 tidak bisa bernafas dan pasien dikontrol
pernafasanya dengan kita memberikan ventilasi 12-20 x permenit.Setelah
operasi selesai pasien dipancing dan akhirnya bisa nafas spontan kemudian kita
akhiri efek anestesinya.
 Teknik sama dengan diatas
 Obat pelumpuh otot non depolar (durasinya lama)
 Pemeliharaan, obat pelumpuh otot dapat diulang pemberiannya.

VIII. OBAT – OBAT DALAM ANESTESI UMUM


Jenis obat anestesi umum diberikan dalam bentuk suntikan intravena atau
inhalasi.
1. Anestetik intravena
 Penggunaan :
 Untuk induksi
 Obat tunggal pada operasi singkat
 Tambahan pada obat inhalasi lemah
 Tambahan pada regional anestesi
 Sedasi
 Cara pemberian :
 Obat tunggal untuk induksi atau operasi singkat
 Suntikan berulang (intermiten)
 Diteteskan perinfus
Obat anestetik intravena meliputi :
a. Benzodiazepine
Sifat : hipnotik – sedative, amnesia anterograd, atropine like effect, pelemas otot
ringan, cepat melewati barier plasenta.
Kontraindikasi : porfiria dan hamil.
Dosis : Diazepam : induksi 0,2 – 0,6 mg/kg IV, Midazolam : induksi : 0,15 – 0,45
mg/kg IV.
b. Propofol
Merupakan salah satu anestetik intravena yang sangat penting. Propofol dapat
menghasilkan anestesi kecepatan yang sama dengan pemberian barbiturat
secara inutravena, dan waktu pemulihan yang lebih cepat. Dosis : 2 – 2,5 mg/kg
IV.
c. Ketamin
Ketamin adalah suatu rapid acting nonbarbiturat general anaesthetic.Indikasi
pemakaian ketamin adalah prosedur dengan pengendalian jalan napas yang
sulit, prosedur diagnosis, tindakan ortopedi, pasien resiko tinggi dan asma. Dosis
pemakaian ketamin untuk bolus 1- 2 mg/kgBB dan pada pemberian IM 3 – 10
mg/kgBB.
d. Thiopentone Sodium
Merupakan bubuk kuning yang bila akan digunakan dilarutkan dalam air menjadi
larutan 2,5%atau 5%. Indikasi pemberian thiopental adalah induksi anestesi
umum, operasi singkat, sedasi anestesi regional, dan untuk mengatasi
kejang.Keuntungannya :induksi mudah, cepat, tidak ada iritasi mukosa jalan
napas. Dosis 5 mg/kg IV, hamil 3 mg/kg IV.

2. Anestetik inhalasi
a. N2O
Nitrogen monoksida merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak
berasa dan lebih berat daripada udara.N2O biasanya tersimpan dalam bentuk
cairan bertekanan tinggi dalam baja, tekanan penguapan pada suhu kamar ± 50
atmosfir.N2O mempunyai efek analgesic yang baik, dengan inhalasi 20% N2O
dalam oksigen efeknya seperti efek 15 mg morfin. Kadar optimum untuk
mendapatkan efek analgesic maksimum ± 35% .gas ini sering digunakan pada
partus yaitu diberikan 100% N2O pada waktu kontraksi uterus sehingga rasa
sakit hilang tanpa mengurangi kekuatan kontraksi dan 100% O2 pada waktu
relaksasi untuk mencegah terjadinya hipoksia. Anestetik tunggal N2O digunakan
secara intermiten untuk mendapatkan analgesic pada saat proses persalinan dan
Pencabutan gigi. H2O digunakan secara umum untuk anestetik umum, dalam
kombinasi dengan zat lain
b. Halotan
Merupakan cairan tidak berwarna, berbau enak, tidak mudah terbakar dan tidak
mudah meledak meskipun dicampur dengan oksigen.Halotan bereaksi dengan
perak, tembaga, baja, magnesium, aluminium, brom, karet dan plastic.Karet larut
dalam halotan, sedangkan nikel, titanium dan polietilen tidak sehingga pemberian
obat ini harus dengan alat khusus yang disebut fluotec.Efek analgesic halotan
lemah tetapi relaksasi otot yang ditimbulkannya baik. Dengan kadar yang aman
waktu 10 menit untuk induksi sehingga mempercepat digunakan kadar tinggi (3-4
volume %). Kadar minimal untuk anestesi adalah 0,76% volume.
c. Isofluran
Merupakan eter berhalogen yang tidak mudah terbakar.Secara kimiawi mirip
dengan efluran, tetapi secara farmakologi berbeda. Isofluran berbau tajam
sehingga membatasi kadar obat dalam udara yang dihisap oleh penderita karena
penderita menahan nafas dan batuk. Setelah pemberian medikasi preanestetik
stadium induksi dapat dilalui dengan lancer dan sedikit eksitasi bila diberikan
bersama N2O dan O2.isofluran merelaksasi otot sehingga baik untuk intubasi.
Tendensi timbul aritmia amat kecil sebab isofluran tidak menyebabkan
sensiitisasi jantung terhadap ketokolamin. Peningkatan frekuensi nadi dan
takikardiadihilangkan dengan pemberian propanolol 0,2-2 mg atau dosis kecil
narkotik (8-10 mg morfin atau 0,1 mg fentanil), sesudah hipoksia atau hipertemia
diatasi terlebih dulu. Penurunan volume semenit dapat diatasi dengan mengatur
dosis.Pada anestesi yang dalam dengan isofluran tidak terjadi perangsangan
SSP seperti pada pemberian enfluran. Isofluran meningkatkan aliran darah otak
pada kadar labih dari 1,1 MAC (minimal Alveolar Concentration) dan
meningkatkan tekanan intracranial.
d. Sevofluran
Obat anestesi ini merupakan turunan eter berhalogen yang paling disukai untuk
induksi inhalasi.

IX. SKOR PEMULIHAN PASCA ANESTESI


Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi terutama
yang menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan penilaian terlebih
dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke ruangan
atau masih perlu di observasi di ruang Recovery room (RR).
A. Aldrete Score
Nilai Warna
 Merah muda, 2
 Pucat, 1
 Sianosis, 0
Pernapasan
 Dapat bernapas dalam dan batuk, 2
 Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1
 Apnoea atau obstruksi, 0
Sirkulasi
 Tekanan darah menyimpang <20% dari normal, 2
 Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal, 1
 Tekanan darah menyimpang >50% dari normal, 0
Kesadaran
 Sadar, siaga dan orientasi, 2
 Bangun namun cepat kembali tertidur, 1
 Tidak berespons, 0
Aktivitas
 Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2
 Dua ekstremitas dapat digerakkan,1
 Tidak bergerak, 0
Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan
B. Steward Score (anak-anak)
Pergerakan
 Gerak bertujuan 2
 Gerak tak bertujuan 1
 Tidak bergerak 0
Pernafasan
 Batuk, menangis 2
 Pertahankan jalan nafas 1
 Perlu bantuan 0

Kesadaran
 Menangis 2
 Bereaksi terhadap rangsangan 1
 Tidak bereaksi 0
Jika jumlah > 5, penderita dapat dipindahkan ke ruangan
BAB III
PEMBAHASAN

Tindakan anastesi atau pembiusan yang bersifat umum (general


anesthesia) merupakan tindakan medis yang seringkali dilakukan pada seorang
pasien yang akan dilakukan tindakan operasi bedah. Seorang pasien yang belum
pulih peristaltic ususnya setelah pembiusan dapat menderita illeus / obstruksi
usus (gangguan pada usus) bila pada waktu tersebut diberikan asupan nutrisi.
Perlu upaya pencarian jalan keluar untuk mengatasi lamanya pemulihan
peristaltik usus pada pasien pasca operasi yaitu dengan memberikan tindakan
ROM aktif dan ROM pasif pada pasien post op dengan general anastesi.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada 10 sampel, ambulasi dini
ROM aktif pasca operasi abdomen, waktu terendah tercapainya pemulihan
peristaltik usus yang ditandai dengan terdengarnya bunyi usus terjadi pada menit
ke 15, dan paling lama menit ke 50. Sedangkan dari 10 pasien yang dilakukan
tindakan ambulasi dini ROM pasif, waktu terendah tercapainya pemulihan
peristaltik usus terjadi pada menit ke 25 dan terlama terjadi pada menit ke 60. Hal
ini berarti ada hubungan atau perbedaan yang signifikan lama waktu pemulihan
peristaltik usus pada pasien yang dilakukan ambulasi dini ROM aktif dengan
ROM pasif pada pasien pasca operasi abdomen.
Dalam penelitian ini, dari 10 responden yang melakukan ambulasi dini
ROM aktif 5 orang responden bunyi peristaltik usus dapat didengar pada menit ke
30 – 40, 4 orang responden bunyi peristaltik usus dapat didengar pada menit 15 -
25, dan hanya 1 responden bunyi peristaltik usus didengar pada menit ke 50. Hal
ini sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Telford (1999) dimana disebutkan
bahwa saluran pencernaan terdiri dari 2 lapisan otot utama yaitu lapisan
longitudinal yang terletak disebelah luar dan lapisan otot sirkuler yang berada
disebelah dalam. Dua lapisan otot inilah yang berperan dalam mencampur dan
menggerakkan makanan di saluran pencernaan. Di setiap segmen otot polos
longitudinal dan sirkuler akan memperlihatkan depolarisasi spontan yang inheren.
Depolarisasi inheren dapat meningkat intensitasnya dan meningkatkan potensial
aksi sehingga akan terjadi proses kontraksi otot. Frekuensi kontraksi otot
bervariasi, bersifat ritmik dan berjalan dalam gelombang peristaltik ke bagian
distal. Juga disebutkan bahwa motilitas saluran cerna ditentukan oleh konstraksi
otot serta input hormonal dan saraf.
Menurut Brunner & Sudart (2002) disfungsi gastrointestinal seperti distensi
pasca operasi, penurunan peristaltik dan pengerasan feses dapat dicegah
dengan meningkatkan hidrasi dan aktivitas yang adekuat. Teori lain menurut
Mochtar (1995) menyebutkan bahwa dengan bergerak akan merangsang
peristaltic usus kembali normal. Aktifitas juga akan membantu mempercapat
organ-organ tubuh bekerja seperti semula. Peristaltik usus antara responden
yang melakukan ambulasi dini ROM aktif dengan yang melakukan ambulasi dini
ROM pasif memiliki perbedaan nilai rata-rata lama waktu pemulihan peristaltik
usus yang cukup signifikan yaitu 28,50 menit untuk ROM aktif dan 42,50 menit
untuk ROM pasif. Ada beberapa dampak dari dilakukannya ambulasi terhadap
sistem pencernaan khususnya peristaltik usus menurut Smeltzer (2001) yaitu
memudahkan terjadinya flatus, mencegah distensi abdomen, mencegah
konstipasi dan ileus paralitik. Secara teori disebutkan bahwa ambulasi dini pada
pasien pasca operasi menunjukkan adanya dampak pada system gastrointestinal
yaitu adanya gerakan peristaltik usus sehingga dapat memudahkan terjadinya
flatus, mencegah distensi abdomen dan nyeri akibat adanya gas dalam abdomen.
Di samping itu juga mencegah konstipasi serta mencegah ileus paralitik.
Pada pasien yang mengalami konstipasi dapat dipengaruhi oleh respon dari
neuroendokrin terhadap faktor stress, anastesi, narkotika kurangnya intake
makanan tinggi serat. Sehingga pemberian obat-obatan narkotika untuk
mengatasi nyeri setelah operasi dapat mempengaruhi sistem pencernaan. Mual,
muntah selain terjadi karena pemakaian narkotik juga disebabkan oleh distensi
abdomen, nyeri dan ketidak seimbangan elektrolit.
Selama latihan, darah akan mengalir melalui perut oleh karena itu dengan
latihan yang teratur dapat meningkatkan nafsu makan, tonus otot meningkat yang
mana akan meningkatkan digestif dan eliminasi. Dapat disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan pengaruh antara yang melakukan ambulasi dini ROM aktif
dan ROM pasif terhadap peristaltik usus.
REFERENSI

Latief SA, Suryadi KA. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia 2009.

Omuigui . The Anaesthesia Drugs Handbook, 2nded, Mosby year Book Inc, 1995.

Dachlan, R.,dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan


Terapi FK UI. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai