PENDAHULUAN
1
meninggal dunia dengan rincian sekitar 67% pasien berjenis kelamin laki-laki dan
sekitar 33% adalah wanita.4
Salah satu bakteri penyebab meningitis saat ini yaitu Streptococcus suis.
Kasus infeksi Streptococcus suis dijumpai pertama kali pada manusia saat wabah
streptokokosis di Denmark pada tahun 1968, diikuti negara-negara Eropa lain
seperti Belanda, Inggris, Perancis dan negara-negara Asia seperti China dengan 204
kasus dan 38 kematian di Hongkong. Di kawasan Asia Tenggara kasus infeksi
Streptococcus suis pada manusia dijumpai di Thailand, Vietnam bahkan di
Indonesia yang melibatkan kematian babi di Bali dan Papua juga diduga disebabkan
oleh Streptococcus suis. Tingginya tingkat konsumsi babi di Indonesia bagian timur
seperti Papua, Bali, Nusa Tenggara, dibandingkan dengan daerah-daerah Indonesia
yang lain memperbesar risiko terjadinya streptokokosis oleh Streptococcus suis.19
Penyakit meningitis dapat membunuh dalam hitungan jam dan memakan
lebih dari seratus nyawa setiap tahunnya. Hal ini tidak hanya terkait dengan risiko
yang signifikan dari mortalitas, tetapi juga dengan morbiditas jangka panjang.
Mereka yang sembuh dapat mengalami kecacatan yang secara dramatis mengubah
kehidupan mereka termasuk amputasi jaringan parut, defisit sensorik, gangguan
intelektual, epilepsy, gangguan kognitif dan gangguan psikologis. Tingginya angka
mortalitas dan morbiditas dari meningitis membuat penulis tertarik untuk
membahas lebih mendalam mengenai meningitis.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Diafragma ini memisahkan pituitary gland dari hypothalamus dan
chiasma opticum.
Lapisan endosteal (lapisan sebelah luar) sering dianggap sebagai
periosteum merupakan lapisan dura mater yang kaya akan pembuluh darah,
saraf dan melapisi permukaan cranium sebelah dalam. Lapisan endosteal ini
melekat sangat erat dengan tulang di daerah basis crani. Adapun pembuluh
darah yang terdapat pada lapisan endosteal merupakan cabang-cabang
pembuluh darah yang berasal dari arteri carotis interna, arteri maxilaris,
arteri pharyngeus ascendens, arteri occipitalis dan arteri vertebralis. Dari
sudut klinis, yang terpenting adalah arteri meningea media (cabang dari
arteria maxillaris) karena arteri ini umumnya sering pecah pada keadaan
trauma kapitis. Pada durameter terdapat banyak ujung-ujung saraf sensorik,
dan peka terhadapa rangsangan sehingga jika terjadi stimulasi pada ujung
saraf ini dapat menimbulkan sakit kepala yang hebat.1
Mulai dari foramen magnum lapisan dura mater tampak terbagi
menjadi dua lapisan yaitu kearah arah kaudal tepatnya kearah kanalis
vertebralis, lapisan endosteal melapisi permukaan sebelah dalam dari
kanalis vertebralis dan lapisan meningeal melanjutkan diri sebagai lapisan
dura mater sekitar medula spinalis.1
4
Gambar 2. Septum sinus dura mater
(Sumber: Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 5th ed. Philadelphia, PA:
Saunders/Elsevier;2011. Pp 102-120)
2. Arachnoidea
Arachnoidea merupakan suatu membran yang impermeable halus, yang
menutupi otak dan terletak diantara pia mater dan durameter. Membran ini
dipisahkan dari durameter oleh ruang potensial yaitu spatium subdurale dan
dari pia mater oleh cavum subarachnoid yang berisi cerebrospinal fluid.
Cavum subarachnoid (subarachnoid space) merupakan suatu
rongga/ruangan yang dibatasi oleh arachnoid dibagian luar dan pia mater
pada bagian dalam. Dinding subarachnoid space ini ditutupi oleh sel
mesothelial yang pipih. Pada daerah tertentu arachnoid menonjol ke dalam
sinus venosus membentuk villi arachnoidales. Agregasi ini berfungsi
sebagai tempat perembesan cairan cerebrospinal ke dalam aliran darah.
Cavum subarachnoid terutama sangat lebar dalam batang otak yang terdapat
dalam bentuk:1
A. Cisterna cerebellomedularis (cisterna magna), merupakan suatu ruangan
subarachnoid yang lebar di sebelah dorsal medulla oblongata dan
disebelah kaudal cerebellum. Jadi ruangan subarachnoid ini terdapat
disekitar apertura mediana ventriculi quarti (foramen Magendi). Pada
saat pungsi oksipital, ujum jarum pungsi diarahkan pada ruang ini untuk
mengambil cairan liquor cerebrospinalis.
5
B. Cisterna pontis, merupakan suatu ruangan subarachnoid yang lebar
sepanjang cekungan di garis median pada permukaan ventral pons,
sekitar arteri basilaris.
C. Cisterna interpeduncularis (basalis), suatu ruangan subarachnoid yang
relatif luas di daerah fossa interpedincullaris (mesencephalon) diantara
tepi-tepi medial polus cerebri temporalis dekstra dan sinistra.
3. Pia mater
Lapisan pia mater berhubungan erat dengan otak dan sumsum tulang
belakang. Pia mater juga mengikuti tiap sulcus dan gyrus. Pia mater ini
merupakan lapisan dengan banyak pembuluh darah dan terdiri atas jaringan
penyambung yang halus serta dilalui pemmbuluh darah yang memberi
nutrisi pada jaringan saraf. Astrosit susunan saraf pusat mempunyai ujung-
ujung yang berakhir sebagai end feet dalam pia mater untuk membentuk
selaput pia-glia. Selaput ini berfungsi untuk mencegah masuknya bahan-
bahan yang merugikan ke dalam susunan saraf pusat.
Piameter membentuk tela choroidea, atap ventriculus tertius dan
quartus dan menyatu dengan ependymal membentuk plexus choroideus
dalam ventriculus lateralis, tertius dan quartus.
Sedangkan encephalon adalah bagian sistem saraf pusat yang
terdapat di dalam cranium terdiri atas proencephalon (disebut juga forebrain
yaitu bagian dari otak yang berkembang dari anterior tiga vesikel primer
terdiri atas diensefalon dan telensefalon), mesencephalon (disebut juga
brainstem yaitu bagian dari otak yang berkembang dari bagian tengah tiga
vesikel primer, terdiri atas tektum dan pedunculus) dan rhombencephalon
(disebut juga hindbrain, terdiri atas metensefalon (serebelum dan pons) dan
mielensefalon (medulla oblongata).
6
ekstrakranial melalui vena emisare dan diploe. Sinus ini bermuara pada
confluens sinuum.
b. Sinus sagitalis inferior, merupakan sinus durae matris yang terdapat
sepanjang tepi inferior falx cerebri dan menyalurkan isinya kedalam sinus
rektus.
c. Sinus rektus, merupakan sinus durae matris yang terletak pada garis
pertemuan antara falx cerebri dan tentorium cerebelli. Sinus ini menerima
darah venosa dari sinus sagitalis inferior dan vena crebri magna (Galeni).
Vena cerebri magna menerima darah venosa dari vena yang melayani
elemen-elemen saraf di dalam substansia hemispherium cerebri.
d. Confluens sinuum, merupakan sinus durae matris yang terletak disekitar
pretuberantia occipitalis interna, pada pertemuan sinus sagitalis superior,
sinus rektus dan kedua sinus tranversus.
e. Sinus tranversus, merupakan sinus durae matris yang terletak sepanjang
sulkus sinus tranversi oksipitalis dan merupakan struktur yang bilateral.
f. Sinus segmoideus, merupakan sinus durae matris yang terletak sepanjang
sulkus sinus sigmoidei, lanjutan dari sinus tranversus dan menuangkan
isinya ke vena jugularis interna.
g. Sinus kavernosus, merupakan sinus durae matris yang memiliki struktur
bilateral disebelah kanan dan kiri korpus sphenoidalis dan hipofisis cerebri.
Disebelah anterior dan posterior kedua sinus cavernosus itu dihubungkan
satu dengan yang lain oleh sinus intracavernosus.
7
b. Ventrikulus tertius, merupakan ruangan yang bebentuk celah di garis
median pada diencepalon. Liquor cerebrospinalis yang terbentuk pada
ventrikel lateral dapat mengalir masuk ke dalam ventriculus tertius melalui
monro. Ke arah kaudal ventriculus tertius mempunyai hubungan dengan
ventriculus quadratus melalui aquaduktus mesencepali (cerebri).
c. Aquaduktus mesencepali, merupakan suatu saluran pada diameter
mesecepalon dengan diameter sangat kecil. Meskipun sempit saluran ini
harus tetap terbuka karena berfungsi untuk pengaliran liquor cerebrospinalis
yang lancar dari ventriculus tertius menuju ventriculus quartus.
d. Ventrikulus quartus merupakan suatu ruangan berbentuk rhomboid yang
terletak pada sebelah dorsal pons dan medulla oblongata serta disebelah
ventral dari cerebellum. Ventrikulus quartus melanjutkan diri kearah kaudal
menjadi kanalis sentralis yang terletak pada bagian kaudal medulla
oblongata.
e. Kanalis sentralis merupakan suatu saluran sempit yang terletak pada
separuh bagian kaudal medulla oblongata dan medulla spinalis. Lumen
kanalis sentralis tidak seluruhnya terbuka.
8
2.4 Sistem liquor cerebrospinal
Liquor cerebrospinal (LCS) merupakan suatu cairan yang memberikan
dukungan mekanik pada otak yang bekerja pelindung otak. Liquor
cerebrospinal terbentuk melalui proses sekresi aktif oleh lapisan epitelium
ependymale pada pleksus choroideus dan sebagian juga terbentuk di sekitar
cabang-cabang pembuluh darah cerebral di dalam substansia saraf pusat.
Pleksus choroideus merupakan anyaman pembuluh darah kapiler di dalam di
dalam lapisan pia meter yang menonjol ke dalam lumen ventriculi encephali.
Lapisan pia meter dengan plexus choroideus disebut tela choroidea. Sebagian
besar liquor cerebrospinal dibentuk oleh plexus choroideus pada ventrikel
lateral. Peredaran liquor cerebrospinal dimulai dari ventrikel lateral, liquor
cerebrospinal mengalir ke dalam ventriculus tertius melalui foramen
intreventrikularia. Dalam ventriculus tertius (ventrikel III) jumlah liquor
bertambah oleh karena ada pembentukan liquor juga pada atap ventriculus III.
Dari ventriculus III liquor kemudian mengalir menuju ventrikulus quartus
(ventrikel IV) melalui aquaduktus mesencephali (aquaduktus sylvi). Dalam
ventrikel IV juga terjadi pembentukan liquor tambahan yang berasal dari plexus
choroideus yang terdapat di velum medulare kaudal. Dari ventrikulus IV
sebagian besar liquor mengalir masuk cavitas subarachnoidalis melalui apertura
mediana dan apertura lateral ventriculi quarti. Sesudah mencapai cavitas
subarachnoidalis sekitar batang otak sebagian liquor mengalir ke arah kranial.
Pada permukaan cerebrum dan cerebellum jumlah liquor bertambah dengan
diterimanya cairan jaringan yang disalurkan melalui ruang sekitar pembuluh
darah cerebral (spatium perivaskular Virchow-Robin). Pada permukaan otak
liquor terutama mengalir disekitar sulci dan sebagian besar liquor akan diserap
kedalam sinus sagitalis superior melalui villi arachnoidalis. Kembali lagi pada
ventrikel IV, sebagian kecil liquor juga dapat mengalir kearah kanalis centralis
pada bagian kaudal medulla oblongata dan medulla spinalis.1
9
Gambar 4. Sirkulasi liquor cerebrospinal
(Sumber: Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 5th ed. Philadelphia, PA:
Saunders/Elsevier;2011. Pp 102-120)
2.5 Meningitis
2.5.1 Definisi
Meningitis merupakan infeksi akut yang terjadi pada selaput meningen (selaput yang
menutupi otak dan medulla spinalis). Meningitis merupakan keadaan darurat
neurologis yang membutuhkan penanganan, diagnosis dan manajemen yang cepat
untuk mencegah kematian dan cacat sisa neurologis.12
10
meningitis purulenta. Meningitis serosa ditandai dengan jumlah sel dan protein yang
meninggi disertai cairan serebrospinal yang jernih. Meningitis purulenta atau
meningitis bakteri adalah adalah meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan
eksudat berupa pus serta bukan disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus.
Meningitis Meningococcus merupakan meningitis purulenta yang paling sering
terjadi.
Meningitis yang disebabkan oleh bakteri berakibat lebih fatal dibandingkan
meningitis penyebab lain karena mekanisme kerusakan dan gangguan otak yang
disebabkan oleh bakteri maupun produk bakteri lebih berat. Agen infeksi meningitis
purulenta mempunyai kecenderungan pada golongan umur tertentu, yaitu golongan
neonatus paling banyak disebabkan oleh Escherichia Coli, Streptococcus beta
haemolyticus dan Listeria monocytogenes. Golongan umur dibawah 5 tahun (balita)
disebabkan oleh H.influenzae, Meningococcus dan Pneumococcus. Golongan umur
5-20 tahun disebabkan oleh Haemophilus influenzae, Neisseria meningitidis dan
Streptococcus pneumococcus serta pada usia dewasa (>20 tahun) disebabkan oleh
Meningococcus, Pneumococcus, Staphylocccus, Streptococcus dan Listeria.15
Penyebab meningitis serosa yang paling banyak ditemukan adalah kuman
Tuberculosis dan virus.15
Tabel 1. Penyebab umum meningitis bakteri berdasarkan usia dan faktor risiko
Neonatus (Usia < 3 bulan) Escherichia coli; Streptococcus grup B;
Listeria monocytogenes
Bayi dan anak (usia >3 bulan) S. pneumonia; N. meningitidis; H. infl uenzae
Dewasa usia <50 tahun S. pneumonia; N. meningitidis
(imunokompeten)
Dewasa usia >50 tahun S. pneumonia; N. meningitidis; Listeria
monocytogenes
Fraktur kranium/pasca-bedah Staphylococcus epidermidis; Staphylococcus
Saraf aureus; bakteri gram negatif
(KlebsiellaProteus, Pseudomonas, E. coli);
Streptococcus grup A dan D; S. pneumonia; H.
influenzae
Kebocoran CSS Bakteri gram negatif; S. pneumonia
Kehamilan Listeria monocytogenes
Imunodefi siensi Listeria monocytogenes; bakteri gram negatif;
S. pneumonia; Pseudomonas aeruginosa;
Streptococcus grup B; Staphylococcus aureus
(Sumber: Meisadona, G., Soebroto, A.D. and Estiasari, R., 2015. Diagnosis dan
Tatalaksana Meningitis Bakterialis'. CDK-224, 42, pp.15-19)
11
Streptococcus suis
Klasifikasi dan sifat
Killper-Bälz dan Schleifer mengklasifikasikan Streptococcus suis dalam
Kingdom Bacteria, Phylum Firmicutes, Class Bacili, Order Lactobacillales,
Family Streptococcaceae, Genus Streptococcus, Species Streptococcus suis.
Streptococcus suis merupakan bakteri Gram positif, bersifat anaerob fakultatif
dan berdasarkan klasifikasi Lancefield`s, mempunyai struktur dinding sel yang
masuk dalam klasifikasi Streptococcus group D.17
Streptococcus suis berbentuk sferik, tunggal, berpasangan maupun
tersusun dalam bentuk rantai panjang, koloni tumbuh seperti titik-titik embun
pada permukaan media kultur, tumbuh baik pada kondisi mikroaerofilik atau
fakultatif anaerob dan bersifat α-, β-, ataupun γ hemolitik. Streptococcus suis
yang diklasifikasikan dalam strain serotipe 2 merupakan agen infeksi yang
mempunyai virulensi tinggi dan sering ditemukan pada hewan sakit.16 Infeksi
Streptococcus suis serotipe 2 pada manusia dapat menyebabkan septisemia dan
meningitis yang sering kali diperparah dengan endophthalmitis dan cochleitis.16
Infeksi ini seringkali disebabkan oleh serotipe 2 dan sedikit oleh serotipe
4 dan 1. Streptococcus suis kemungkinan masuk melalui luka kecil atau melalui
pernafasan. Streptococcus suis berperan sebagai agen zoonotik berbagai
penyakit berbahaya pada manusia, terutama pada manusia yang pekerjaannya
terekspos babi atau produk olahan babi.16
Mekanisme pathogenesis infeksi Streptococcus suis seperti teori
Trojan-horse style yang memperlihatkan kemampuan Streptococcus suis untuk
bertahan dalam sel mononuklear. Bakteri yang bertahan dalam sel mononuklear
mampu menyebar dan menyebabkan lesi meningitis yang patognomonik,
ditandai dengan tidak ditemukannya lesi pada sel endotel jaringan
mikrovaskular otak.16
Streptococcus suis menggunakan wilayah tonsil sebagai jalan untuk
masuk ke host, kemudian masuk ke leukosit mononuklear dan menuju cairan
cerebrospinal (CSF) melalui choroid plexus. Stimulasi produksi sitokin oleh
makrofag yang terinfeksi, diduga menyebabkan peradangan yang menembus
12
dari darah ke CSF. Peningkatan sel pada CSF memblok area fluid efflux,
meningkatkan tekanan intrakranial dan dapat membahayakan sistem saraf.18
Virus yang menyebabkan meningitis pada prinsipnya adalah virus
golongan enterovirus dimana termasuk didalamnya adalah coxsackie virus,
echovirus dan pada pasien yang tidak vaksinasi (poliovirus). Virus golongan
enterovirus dan arbovirus (St. Louis, LaCrosse, California vencephalitis
viruses) adalah golongan virus yang paling sering menyebabkan
meningoencephalitis. Selain itu virus yang dapat menyebabkan meningitis yaitu
HSV, EBV, CMV lymphocytic choriomeningitis virus, dan HIV. Virus mumps
adalah virus yang paling sering menjadi penyebab pada pasien yang tidak
tervaksinasi sebelumnya. Sedangkan virus yang jarang menyebabkan
meningitis yaitu Borrelia burgdorferi (lyme disease), B. hensalae (cat-scratch
virus), M. tuberculosis, Toxoplasma, Jamus (cryptococcus, histoplasma, dan
coccidioides) dan parasit (Angiostrongylus cantonensis, Naegleria fowleri,
Acanthamoeba).2
2.5.3 Epidemiologi
Meningitis bakterial terjadi pada kira-kira 3 per 100.000 orang setiap tahunnya
di negara-negara barat. Studi populasi secara luas memperlihatkan bahwa
meningitis virus lebih sering terjadi, sekitar 10,9 per 100.000 orang, dan lebih
sering terjadi pada musim panas. Di Brasil, angka meningitis bakterial lebih tinggi,
yaitu 45,8 per 100,000 orang setiap tahun. Afrika Sub-Sahara sudah mengalami
epidemik meningitis meningokokus yang luas selama lebih dari satu abad, sehingga
disebut “sabuk meningitis”. Epidemik biasanya terjadi dalam musim kering
(Desember sampai Juni) dan gelombang epidemik bisa berlangsung dua atau tiga
tahun dan mereda selama musim hujan. Angka serangan dari 100–800 kasus per
100.000 orang terjadi di daerah ini yang kurang terlayani oleh pelayanan medis.
Kasus-kasus ini sebagian besar disebabkan oleh meningokokus. Epidemik terbesar
yang pernah tercatat dalam sejarah melanda seluruh wilayah ini pada 1996–1997,
yang menyebabkan lebih dari 250.000 kasus dan 25.000 kematian.4
Walaupun pola siklus epidemik di Afrika tidak dipahami dengan baik,
beberapa faktor sudah dikaitkan dengan perkembangan epidemik di daerah sabuk
13
meningits. Faktor-faktor itu termasuk: kondisi medis (kerentanan kekebalan tubuh
penduduk), kondisi demografis (perjalanan dan perpindahan penduduk dalam
jumlah besar), kondisi sosial ekonomi (penduduk yang terlalu padat dan kondisi
kehidupan yang miskin), kondisi iklim (kekeringan dan badai debu) dan infeksi
konkuren (infeksi pernafasan akut).4
Di Indonesia pada tahun 2010 jumlah kasus meningitis terjadi pada laki-laki
sebesar 12.010 pasien, pada wanita sekitar 7.371 pasien dan dilaporkan pasien yang
meninggal dunia sebesar 1.025. Jumlah pasien meningitis di RSUD Dr. Soetomo
pada tahun 2010 sebesar 40 pasien, 60% diantaranya adalah laki-laki dan 40%
diantaranya adalah wanita dan dilaporkan sekitar 7 pasien meninggal dunia. Pada
tahun 2011 dilaporkan 36 pasien dengan diagnosis meningitis dan 11 pasien
meninggal dunia, sekitar 67% pasien berjenis kelamin laki-laki dan sekitar 33%
adalah wanita.4
Salah satu bakteri penyebab meningitis saat ini adalah Streptococcus suis.
Kasus infeksi Streptococcus suis dijumpai pertama kali pada manusia saat wabah
streptokokosis di Denmark pada tahun 1968, diikuti negara-negara Eropa lain
seperti Belanda, Inggris, Perancis dan negara-negara Asia seperti China dengan 204
kasus dan 38 kematian di Hongkong. Di kawasan Asia Tenggara kasus infeksi
Streptococcus suis pada manusia dijumpai di Thailand, Vietnam bahkan di
Indonesia yang melibatkan kematian babi di Bali dan Papua juga diduga disebabkan
oleh Streptococcus suis. Tingginya tingkat konsumsi babi di Indonesia bagian timur
seperti Papua, Bali, Nusa Tenggara dibandingkan dengan daerah-daerah Indonesia
yang lain memperbesar risiko terjadinya streptokokosis oleh Streptococcus suis.
Streptococcus suis serotipe 2 adalah penyebab paling umum pada manusia. Insiden
relatif tinggi rata-rata pada usia pasien (47-55 tahun) serta rasio pasien yang tinggi
dari laki-laki ke perempuan (3,5: 1,0 ke 6.5: 1.0), mendukung gagasan bahwa
infeksi Streptococcus suis umumnya merupakan penyakit akibat kerja. Risiko
tahunan mengembangkan Streptococcus suis meningitis antara pekerja rumah
potong hewan dan peternak babi telah diperkirakan 3 kasus per 100.000 penduduk,
risiko lebih rendah untuk tukang daging selain itu juga didapatkan 1 kasus per
100.000 penduduk di negara-negara maju.19
14
2.5.4 Patofisiologi
Dalam proses perjalanan penyakit meningitis yang disebabkan oleh bakteri, invasi
organisme bakteri dalam mencapai saraf pusat biasanya melalui penyebaran yang
berdekatan, penyebaran hematogen, inokulasi langsung, atau reaktivasi infeksi
laten. Penyebaran bersebelahan terjadi ketika infeksi pada struktur yang berdekatan
(seperti rongga sinus atau tengah telinga) menyerang secara langsung melalui
barrier darah-otak. Penyebaran hematogen terjadi ketika infeksi disebabkan oleh
benih dari CSF (seperti pneumokokus pneumonia). Reaktivasi infeksi laten hasil
dari aktivitas virus, jamur, atau patogen mikobakteri di tulang belakang, otak, atau
saluran saraf. Inokulasi langsung dari bakteri ke dalam SSP adalah hasilnya trauma,
cacat bawaan, atau komplikasi bedah saraf.2
Setelah melalui penghalang darah-otak, patogen berkembang dan
mereplikasi karena pertahanan tubuh terbatas dalam SSP. Kerusakan jaringan
neurologis adalah hasil dari reaksi imun host untuk komponen seluler bakteri
(seperti lipopolisakarida, asam teikoik, dan peptidoglikan) yang memicu produksi
sitokin, terutama tumor necrosis faktor a (TNF-a) dan interleukin 1 (IL-1), serta
mediator inflamasi lainnya. Bakteriolisis yang dihasilkan dari terapi antibiotik
selanjutnya berkontribusi pada proses inflamasi.2
Sitokin meningkatkan permeabilitas penghalang pada darah-otak, yang
memungkinkan masuknya neutrofil dan pertahanan sel tuan rumah lainnya yang
berkontribusi terhadap perkembangan edema serebral dan peningkatan
karakteristik tekanan intrakranial dari meningitis. Peningkatan tekanan intrakranial
bertanggung jawab atas tanda dan gejala asli dari meningitis klinis: sakit kepala,
leher kaku, diubah status mental, fotofobia, dan kejang. Perubahan patofisiologi
mungkin mengakibatkan iskemia otak dan kematian.2
15
Gambar 5. Patofisiologi meningitis
(Sumber: Goodwin, S.D. and Hartis, C.E.,. 2012. Infeksi Sistem Saraf Pusat.Pp 12-
30)
16
- Tanda dan gejala pada neonates, bayi dan anak: pola makan dan tidur
terganggu, muntah, iritabilitas, letargi, menggembung ubun ubun (fontanela
menonjol) dan gangguan pernafasan.
Pada meningitis yang disebabkan oleh Streptococcus suis, Salah satu gejala
yang paling terlihat adalah hilangnya pendengaran subjektif, yang dapat dilaporkan
hingga setengah dari presentasi pasien.13 Sekitar 6% persen dari 31% pasien dengan
meningitis suis juga memiliki temuan pada kulit, termasuk petechiae, purpura, dan
ekimosis, yang semuanya dapat luas, dan hemoragik bula dan nekrosis kulit
(gambaran dari purpura fulminans).13 Masa inkubasi Streptococcus suis yaitu 2-5
hari.
Gangguan pendengaran pada meningitis yang disebabkan oleh
Streptococcus suis adalah sensorineural hearing loss, dalam rentang frekuensi
tinggi dan bisa mendalam (> 80 dB) pada pengujian audiometri orang dewasa di
Vietnam. Di antara orang dewasa di Vietnam, 93 (66,4%) dari 140 pasien dievaluasi
didapatkan kehilangan pendengaran ringan sampai berat.14
Penegakan diagnosis meningitis bakteri Streptococcus suis yaitu berdasarkan
gejala klinis yang mendukung meningitis bakteri disertai riwayat paparan dengan
babi, adanya gangguan pendengaran dan gambaran cairan cerebrospinal yang
pleositosis. Diagnosis pasti sangat tergantung daripada pemeriksaan dan kultur
cairan cerebrospinal.25
17
2.Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat mendukung diagnosis meningitis biasanya
dilakukan pemeriksaan rangsang meningeal. Yaitu sebagai berikut :
a. Pemeriksaan Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi
kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan
tahanan pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot.
b. Pemeriksaan Kernig
Pasien berbaring terlentang, dilakukan fleksi pada sendi panggul
kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mengkin tanpa
rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak
mencapai sudut 135° (kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna) disertai
spasme otot paha biasanya diikuti rasa nyeri.
18
positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada sendi
panggul dan lutut kontralateral.
19
Neutrofil Tak ada >80% <50% <50% <50 %
Glukosa 75% Rendah (<40% Normal Rendah Rendah
glukosa glukosa darah) (<50% (<80%
darah glukosa glukosa
darah) darah)
Protein <0,4 g/L 1-5 g/L >0,4-0,9 g/L 1-5 g/L 0 ,5-5 g/L
Lainnya Gram positif <90%; PCR kultur positif Kultur Gram
kultur positif <80%; <50% positif 50- negatif;
kultur darah positif 80% kultur positif
<60% 25-
50%
(Sumber: Goodwin, S.D. and Hartis, C.E.,. 2012. Infeksi Sistem Saraf Pusat.Pp 12-30)
b. Pemeriksaan darah20
Dilakukan pemeriksaan darah rutin, laju endap darah (LED), kadar
glukosa, kadar ureum dan kreatinin, fungsi hati, elektrolit.
1) Pemeriksaan LED meningkat pada meningitis TB
2) Pada meningitis bakteri didapatkan peningkatan leukosit
polimorfonuklear dengan shift ke kiri.
3) Elektrolit diperiksa untuk menilai dehidrasi.
4) Glukosa serum digunakan sebagai perbandingan terhadap glukosa pada
cairan cerebrospinal.
5) Ureum, kreatinin dan fungsi hati penting untuk menilai fungsi organ
dan penyesuaian dosis terapi.
6) Tes serum untuk sipilis jika diduga akibat neurosipilis.
c. Kultur20
Kultur bakteri dapat membantu diagnosis sebelum dilakukan lumbal
pungsi atau jika tidak dapat dilakukan oleh karena suatu sebab seperti
adanya hernia otak. Sampel kultur dapat diambil dari darah (50% sensitif
jika disebabkan oleh bakteri H. Influenzae, S. Pneumoniae, N.
Meningitidis), nasofaring, sputum, urin, lesi kulit.
d. Diagnosis mikrobiologi
Penentuan Streptococcus suis ke tingkat spesies dapat dilakukan dengan
tes biokimia, seperti optochin, Voges-Proskauer, salisin, trehalosa, dan
6,5% natrium klorida. sistem komersial (misalnya, API Strep;
Biomerieux) juga dapat digunakan. Beberapa sistem identifikasi
biokimia komersial juga melaporkan Streptococcus suis biotipe I atau II.
20
Meskipun Streptococcus suis dapat di identifikasi dari CSF atau sampel
darah dengan menggunakan teknik mikrobiologi standar, sering salah
diidentifikasi, atau infeksi tidak terdiagnosis.23 Streptococcus suis sering
salah diidentifikasi dan dilaporkan sebagai spesies Streptococcus, a-
hemolitik atau viridans streptococci, Enterococcus faecalis, viridans
Aerococcus, atau bahkan S. Pneumoniae hasil kultur dapat negatif
sebagai akibat penggunaan antibiotik sebelum pengambilan spesimen.
Pelaksanaan teknik molekuler tidak selalu dapat dilaksanakan di daerah
Streptococcus suis sangat tinggi. Namun, perbaikan besar dapat dicapai
dengan peningkatan kapasitas mikrobiologi sederhana. Sebagai aturan
praktis, dokter dan laboratorium mikrobiologi di daerah dengan industri
ternak babi harus mempertimbangkan Streptococcus suis jika diperoleh
optochin tahan streptokokus dari sampel CSF pasien dengan
meningitis.21
e. Radiologi
Pemeriksaan radiologis meliputi pemeriksaan foto thorax, foto kepala,
CT-Scan dan MRI. Foto thorax untuk melihat adanya infeksi sebelumnya
pada paru-paru misalnya pada pneumonia dan tuberkulosis.
Pemeriksaan CT-Scan dan MRI tidak dapat dijadikan pemeriksaan
diagnosis pasti meningitis. Beberapa pasien dapat ditemukan adanya
enhancemen meningeal, namun jika tidak ditemukan bukan berarti
meningitis dapat disingkirkan. Berdasarkan pedoman pada Infectious
Diseases Sosiety of America (IDSA), berikut ini adalah indikasi CT-Scan
kepala sebelum dilakukan lumbal pungsi yaitu dalam keadaan
Immunocompromised, riwayat penyakit pada sistem syaraf pusat (tumor,
stroke, infeksi fokal), terdapat kejang dalam satu minggu sebelumnya,
papilledema, gangguan kesadaran, defisit neurologis fokal.
Temuan pada CT-Scan dan MRI dapat normal, penipisan sulcus,
enhancement kontras yang lebih konveks. Pada fase lanjut dapat pula
ditemukan infark vena dan hidrosefalus komunikans.
21
Gambar 9. CT-Scan pada meningitis bakteri dengan ependimal enhancement dan
ventrikulitis
(Sumber: Mahar M & Priguna S, 2008. Neurologi Klinis Dasar. Cetakan ke-12. PT.
Dian Rakyat, Jakarta)
2.5.7 Penatalaksanaan
Pengenalan terapi antibiotik dan vaksin telah mengurangi kematian yang terkait
dengan meningitis. Tujuan pengobatan untuk infeksi SSP ini merupakan
pencegahan kematian dan defisit sisa neurologis, membasmi atau mengontrol
mikroorganisme secara kausatif, memperbaiki tanda dan gejala klinis, serta
mengidentifikasi langkah-langkah untuk mencegah infeksi di masa depan (seperti
vaksinasi). Pemilihan antibiotik yang tepat adalah langkah yang krusial, karena
harus bersifat bakterisidal pada organisme yang dicurigai dan dapat masuk ke CSS
dengan jumlah yang efektif. Pemberian antibiotik harus segera dimulai sambil
menunggu hasil tes diagnostik dan nantinya dapat diubah setelah ada temuan
22
laboratorik. Pilihan antibiotik empirik pada pasien mengitis bakteri harus
berdasarkan epidemiologi lokal, usia pasien dan adanya penyakit yang mendasari
atau faktor risiko penyerta. Adapun jenis antibiotik yang dapat diberikan dapat
dilihat pada tabel dibawah.3
Tabel 3. Terapi empirik pada meningitis bakterial
Karakter pasien Etiologi tersering Pilihan antibiotik
Neonatus Streptococcus grup B, L Ampicillin plus cefotaxime
monocytogenes, E.Coli
Usia 2 bulan – 18 tahun N. meningitidis, S. pnemoniae, Ceftriaxone atau cefotaxime,
H. influenzae dapat ditambahkan vancomycin
Usia 18-50 tahun S. pnemoniae dan Ceftriaxone dapat ditambahkan
N.meningitidis vancomycin
Usia > 50 tahun S. pnemoniae, Vancomycin plus ampicillin plus
L.monocytogenes. bakteri ceftriaxone
gram negative
Kondisi imunokompromised S.pnemoniae, N.meningitidis, Vancomycin plus ampicillin plus
L.monocytogenes, S.aureus, cefepime atau meropenem
S.aureus, Salmonella spp,
basil negative aerob
Fraktur basis cranium S.pnemoniae, H. influenzae, Vancomycin plus cefotaxime
grup A Beta hemoliticus atau ceftriaxone
streptococci
Cedera kepala pasca bedah Staphylococcus basil gram Vancomycin plus ceftazidime,
otak negatif aerob (P.aeroginosa) cefepime atau meropenem
(Sumber: Meisadona, G., Soebroto, A.D. and Estiasari, R., 2015. Diagnosis dan
Tatalaksana Meningitis Bakterialis'. CDK-224, 42, pp.15-19.)
Antibiotik empirik bisa diganti dengan antibiotik yang lebih spesifik jika
hasil kultur sudah ada. Untuk pengobatan empiris, ceftriaxone dengan atau tanpa
vankomisin adalah pilihan yang baik sampai diagnosis laboratorium dikonfirmasi.
Dosis yang direkomendasikan untuk meningitis S. suis (ceftriaxone 2 g setiap 12
jam selama 14 hari untuk orang dewasa). Telah mencapai tingkat kesembuhan yang
tinggi dari 97%.24 Adapun jenis terapi antibiotik spesifik untuk meningitis bakterial
dapat dilihat pada tabel 4. Durasi terapi antibiotik bergantung pada bakteri
penyebab, keparahan penyakit, dan jenis antibiotik yang digunakan. WHO
merekomendasikan terapi antibiotik paling sedikit selama 5 hari pada situasi
nonepidemik atau jika terjadi koma atau kejang yang bertahan selama lebih dari 24
jam. Algoritma penatalaksanaan pasien meningitis dapat dilihat pada gambar
dibawah.2
23
Tabel 4. Terapi antibiotik spesifik untuk meningitis bacterial
Mikroorganisme Terapi standar Terapi alternatif
H. influenza B-laktamase Ampisilin Sefalosporin generasi III;
negative kloramfenikol
H. influenza B-laktamase Sefalosporin generasi III Kloramfenikol; sefepim
positif
N. meningitidis Penisilin G atau ampisilin Sefalosporin generasi III;
kloramfenikol
S. pneumoniae Sefalosporin generasi III Vankomisin; meropenem
Enterobacteriaceae Sefalosporin generasi III Meropenem atau sefepim
P. aeruginosa Seftazinim atau sefepim Meropenem; piperisilin
L. monocytogenes Ampisilin atau penisilin G Trimetoprim/sulfametoksazol
S. agalactiae Ampisilin atau penisilin G Sefalosporin generasi III;
vankomisin
S. aureus sensitif metisilin Nafsilin atau oksasilin Vankomisin
S. aureus resisten metisilin Vankomisin Linezolid; daptomisin
S. epidermidis Vankomisin
(Sumber: Meisadona, G., Soebroto, A.D. and Estiasari, R., 2015. Diagnosis dan
Tatalaksana Meningitis Bakterialis'. CDK-224, 42, pp.15-19.)
24
Terapi dexametasone yang diberikan sebelum atau bersamaan dengan dosis
pertama antibiotik dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas secara bermakna,
terutama pada meningitis pneumokokal. Dexametasone dapat menurunkan respons
inflamasi di ruang subaraknoid yang secara tak langsung dapat menurunkan risiko
edema serebral, peningkatan tekanan intrakranial, gangguan aliran darah otak,
vasculitis dan cedera neuron. Dexametasone diberikan selama 4 hari dengan dosis
10 mg setiap 6 jam secara intravena. Penggunaan dexametasone sebagai
pengobatan tambahan untuk mengurangi angka kematian dan meningkatkan hasil
dari meningitis bakteri masih kontroversial. Dalam randomized, double blind, uji
klinis terkontrol plasebo di Vietnam, dexametasone (0,4 mg / kg dua kali sehari
selama 4 hari) mengakibatkan penurunan yang signifikan dalam risiko kematian
pada 1 bulan) dan dalam risiko kematian dan kecacatan pada 6 bulan pada pasien
dengan meningitis bakteri.24
2.5.8 Profilaksis
Profilaksis pada meningitis dapat dikelompokan menjadi dua yaitu
imunisasi dan kemoprofilaksis. Pada kemoprofilaksis, individu yang mengalami
kontak dengan pasien meningitis meningokokal harus diberi antibiotik profilaksis.
Pilihan antibiotik yang biasa diberikan adalah ciprofloxacin 500 mg dosis tunggal
atau rifampicin 2 x 600 mg selama 2 hari. Profilaksis tidak dibutuhkan jika durasi
sejak penemuan kasus meningitis meningokokal sudah lebih dari 2 minggu.
Imunisasi S. pneumoniae, H.influenza dan N.meningitidis diketahui menurunkan
insiden meningitis secara bermakna.5
2.5.9 Komplikasi
Komplikasi serta sequelle yang timbul biasanya berhubungan dengan proses
inflamasi pada meningen dan pembuluh darah cerebral seperti kejang, paresis
nervus cranial, lesi cerebral fokal dan hidrosefalus. Selain itu komplikasi juga dapat
disebabkan oleh infeksi yang menyebar ke organ tubuh lainnya seperti infeksi
ocular, athritis, purpura, perikarditis, myokarditis, endocarditis, epididimitis,
orchitis, infeksi saluran nafas bagaian atas, infeksi paru, infeksi telinga dan
pendarahan adrenal.26
25
2.5.10 Prognosis
Meningitis yang tidak diobati dapat berakhir fatal. Meningitis pneumokokal
memiliki tingkat fatalitas tertinggi, yaitu 19-37%. Pada sekitar 30% pasien yang
bertahan hidup, terdapat sekuel defisit neurologik seperti gangguan pendengaran
dan defisit neurologik fokal lain. Individu yang memiliki faktor risiko prognosis
buruk adalah pasien immunocompromised, usia di atas 65 tahun, gangguan
kesadaran, jumlah leukosit CSS yang rendah, dan infeksi pneumokokus.5
26
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis pada tanggal 12 Oktober 2018
pada pukul 20.05 WITA.
a. Keluhan utama : Penurunan kesadaran
b. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Sanjiwani Gianyar tanggal 12 Oktober
2018 pada pukul 20.05 WITA rujukan dari Rumah Sakit Ganesha dan
bersama keluarganya dengan keluhan yaitu penurunan kesadaran sejak
tadi siang kurang lebih 30 menit yang lalu SMRS. Menurut keluarga,
pasien ditemukan tidak sadarkan diri di kamarnya. Tidak ada faktor
yang memperberat ataupun memperingan dari gejala pasien. Awalnya
pasien ingin beristirahat dikamarnya, kemudian anaknya ingin
membangunkannya tetapi pasien tidak merespon sama sekali. Keluhan
lain yang dirasakan pasien yaitu: mual dan muntah disangkal, pasien
sebelumnya tidak mengalami kejang.
27
2 hari SMRS, pasien sempat mengeluh demam. Demam muncul
dengan suhu yang tinggi serta terus menerus. Tidak ada faktor yang
memperberat dan memperingan keluhan pasien. Keluhan lain seperti
sesak nafas (-), batuk (-), pusing(-), pilek(-), nyeri telan(-), suara serak(-
). BAB(+), BAK(+), mual (-), muntah (-).
24 jam SMRS, pasien mengeluhkan nyeri kepala terus-menerus dan
dirasa semakin memberat walaupun pasien sudah meminum obat
warung. Nyeri kepala dirasakan seperti ditusuk-tusuk. Nyeri kepala
menyebabkan pasien tidak dapat beraktivitas dan nyeri dirasa sedikit
berkurang ketika pasien beristirahat. Pasien mengaku tidak merasakan
pusing berputar. Pasien juga mengaku tidak disertai mual dan muntah,
BAB (+), BAK (+).
3 jam SMRS, pasien terbangun karena nyeri kepala dirasakan
semakin memberat. Nyeri kepala dirasakan seperti ditusuk-tusuk. Pasien
hanya mampu berbaring di tempat tidur. Nyeri kepala tidak berkurang
dengan istirahat, tidak disertai mual muntah. 1 jam SMRS pasien marah-
marah tanpa sebab pada keluarganya. Ia menjadi gelisah dan sering
berteriak. Kesemutan/baal disangkal, penglihatan ganda disangkal,
bicara pelo disangkal, wajah merot disangkal.
c. Riwayat penyakit dahulu
Keluarga pasien mengatakan bahwa keluhan seperti ini baru pertama
kali dirasakan pasien. Menurut keterangan keluarga, pasien sehari
sebelumnya sempat demam. Riwayat menderita penyakit kronis seperti
hipertensi, diabetes mellitus, jantung, kolesterol tinggi, asam urat
disangkal. Riwayat kejang sebelumnya pada pasien disangkal. Rriwayat
trauma pada kepala disangkal. Riwayat batuk kronis disangkal.
d. Riwayat penyakit keluarga
Dikeluarga pasien tidak ada yang memiliki riwayat serupa, penyakit
kronis lain seperti hipertensi, penyakit jantung dan diabetes militus
disangkal oleh keluarga pasien.
28
e. Riwayat pribadi dan sosial
Pasien merupakan seorang pekerja swasta, pasien tinggal bersama istri
dan anaknya. Selain sebagai pegawai swasta, pasien juga memiliki
ternak babi. Pasien sebelumnya sempat mengkonsumsi daging babi dari
ternaknya sekitar 4 hari SMRS. Riwayat merokok dan minum minuman
alkohol disangkal. Pasien juga mengaku jarang melakukan olahraga.
b. Pemeriksaan Neurologi
GCS : E2V1M4
Meningeal Sign
Kaku Kuduk : (+)
Tanda Kernig : (+)
Tanda Brudzinski I/II/III/IV : (+/+/+/+)
Peningkatan Tekanan Intrakranial
Muntah : (-)
Sakit kepala : (+)
Kejang : (-)
29
Nervus Kranialis
Nervus I Meatus Nasi Dextra Meatus Nasi Sinistra
Subjektif : sulit dinilai (sdn) sulit dinilai (sdn)
Objektif : sdn sdn
Nervus II Okuli Dextra Okuli Sinistra
Visus : sdn sdn
Kampus : sdn sdn
Hemianopsia : (-) (-)
Scotoma : (-) (-)
Fundus : tde tde
Nervus III, IV, VI Oculi dextra Okuli sinistra
Gerakan bola mata : sdn sdn
Kedudukan bola mata : dalam batas normal (dbn) dbn
Nistagmus : (-) (-)
Celah mata : dbn dbn
Ptosis : sdn sdn
Pupil
Ukuran : ø 3mm, Isokor ø 3mm, Isokor
Bentuk : Bulat Bulat
Reflek pupil
RC Langsung : (+) (+)
RC Tidak langsung : (+) (+)
Doll’s eye phenomena: (-) (-)
Strabismus : (-) (-)
Nervus V Kanan Kiri
Motorik
Membuka & Menutup mulut : sdn sdn
Palpasi otot masseter & temporalis: sdn sdn
Kekuatan gigitan : sdn sdn
Sensorik : sdn sdn
30
Refleks kornea & konjungtiva Kanan Kiri
RC Langsung : (+) (+)
RC Tidak langsung : (+) (+)
Reflek kornea - mandibular : sdn sdn
Reflek bersin : sdn sdn
Reflek nasal becterew : sdn sdn
Reflek maseter : sdn sdn
Trismus : (-) (-)
Reflek menetek : (-) (-)
Reflek snout : (-) (-)
Nyeri tekan : (-) (-)
Nervus VII Kanan Kiri
Otot wajah dalam istirahat : dbn dbn
Mengerutkan dahi : sdn sdn
Menutup mata : sdn sdn
Meringis : sdn sdn
Bersiul atau mencucu : sdn sdn
Gerakan involunter
Tic : (-) (-)
Spasmus : (-) (-)
Indra pengecap
Asam : sdn sdn
Asin : sdn sdn
Pahit : sdn sdn
Manis : sdn sdn
Sekresi air mata : (+) (+)
Hiperakusis : (-) (-)
Tanda chavostek : (-) (-)
Nervus VIII Kanan Kiri
Mendengar suara bisik : sdn sdn
Tes garpu tala
Test rinne : sdn sdn
31
Test weber : sdn sdn
Test schwabach : sdn sdn
Bing : sdn sdn
Tinnitus : (-) (-)
Keseimbangan : sdn sdn
Vertigo : (-) (-)
Nervus IX, X, XI, XII
Pallatum mole : sdn
Menelan : sdn
Disartria : (-)
Disfonia : sdn
Lidah
Tremor : (-)
Atrofi : (-)
Fasikulasi : (-)
Ujung lidah sewaktu Istirahat : dbn
Ujung lidah sewaktu Dijulurkan : sdn
Reflek muntah : sdn
Mengangkat bahu : sdn sdn
Fungsi m. sterno-cleido-mastoideus : sdn sdn
Inervasi simpatetik : dbn dbn
Inervasi parasimpatetik : dbn dbn
Sistem Motorik
Dextra Sinistra
Tenaga : sdn sdn
sdn sdn
kesan lateralisasi : tidak ada
Tonus : Normal (N) Normal (N)
Normal (N) Normal (N)
Tropik : N N
N N
32
Gerakan Spontan Abnormal
Tremor : (-)
Khorea : (-)
Ballismus : (-)
Mioklonus : (-)
Atetosis : (-)
Distonia : (-)
Spasme : (-)
Tic : (-)
Refleks
Refleks Fisiologis
Dextra Sinistra
Biceps : (+) (+)
Triceps : (+) (+)
Radioperiost : (+) (+)
Klonus lutut : (-) (-)
Klonus kaki : (-) (-)
Refleks Patologis
Babinski : (-) (-)
Oppenheim : (-) (-)
Chaddock : (-) (-)
Gordon : (-) (-)
Schaefer : (-) (-)
Rossolimo : (-) (-)
Mendel- Beckhterew: (-) (-)
Hoffman-trommer : (-) (-)
Sensibilitas
Perasa raba : sdn sdn
Perasa nyeri : sdn sdn
Perasa suhu : sdn sdn
33
Propioseptif : sdn sdn
Vibrasi : sdn sdn
Stereognosis : sdn sdn
Grafestesia : sdn sdn
Topognosis : sdn sdn
Koordinasi
Uji telunjuk hidung : sdn sdn
Uji hidung telunjuk hidung: sdn sdn
Uji diadokinesis : sdn sdn
Vegetatif
Vasomotorik : dbn
Sudomotorik : dbn
Pilo-erektor : dbn
Miksi : dbn
Defekasi : dbn
Potens & libido : dbn
Vertebra
Bentuk
Normal : (+)
Scoliosis : (-)
Hiperlordosis : (-)
Pergerakan
Leher : dbn
Pinggang : dbn
34
Test Lhermitte : (-)
Test Naffziger : (-)
Gejala-Gejala Serebral
Ataksia : (-)
Disartria : (-)
Tremor : (-)
Nistagmus : (-)
Fenomena rebound : (-)
Vertigo : (-)
Dan lain-lain : (-)
Gejala-Gejala Ekstrapiramidal
Tremor : (-)
Rigiditas : (-)
Bradikinesia : (-)
Fungsi Luhur
Kesadaran kualitatif : Stupor
Ingatan baru : sulit dinilai
Ingatan lama : sulit dinilai
Orientasi
Diri : sulit dinilai
Tempat : sulit dinilai
Waktu : sulit dinilai
Situasi : sulit dinilai
Intelegensia : sulit dinilai
Daya pertimbangan : sulit dinilai
Reaksi emosi : sulit dinilai
Afasia
Ekspresif : (-)
Represif : (-)
35
3.4 Pemeriksaan penunjang (12 Oktober 2018)
a. Darah Lengkap
WBC : 16,28 103/μL (H)
RBC : 4,11 103/μL (N)
HGB : 12,6 g/dL (N)
HCT : 35,6 % (L)
MCV : 86,7 fL (N)
MCH : 30,8 pg (N)
MCHC : 35,5 g/dL (N)
PLT : 282 103/μL (N)
b. Kimia Darah
GDS : 138 mg/dL (N)
Ureum : 11,4 mg/dL (N)
Creatinin : 1,3 mg/dL (N)
36
c. Urine Lengkap (12 Oktober 2018)
37
d. Analisa Cairan Otak (LCS) (20 Oktober 2018)
Sampel : cairan LCS sebanyak 3 cc dalam botol, warna bening dan jernih,
tidak ada bekuan.
Hasil Pemeriksaan :
No. Parameter Hasil Nilai Normal
1 Makroskopik
Warna Bening Tidak Berwarna
Kekeruhan Jernih Jernih
2 Jumlah sel WBC 290/uL 0,5/uL
3 % Monokulear (MN) 47 100%
4 %Polimorfonuklear (PMN) 53 0%
5 None Negatif Negatif
6 Pandy Negatif Negatif
7 Protein 0,16 g/dL 0,15-0,45 g/dL
8 Glukosa 35 mg/dL 45-70 mg/dL
38
e. EKG (12 Oktober 2018)
39
f. Foto Thorax AP (12 Oktober 2018)
40
g. CT-Scan Kepala (12 Oktober 2018)
41
3.5 Resume
Pasien laki-laki usia 50 tahun, kinan, datang ke IGD RSUD Sanjiwani
Gianyar tanggal 12 Oktober 2018 pada pukul 20.05 WITA rujukan dari
Rumah Sakit Ganesha dan bersama dengan keluarganya dengan keluhan
yaitu penurunan kesadaran sejak tadi siang kurang lebih 30 menit yang lalu
SMRS. Menurut keluarga, pasien ditemukan tidak sadarkan diri di
kamarnya. Keluhan lain yang dirasakan pasien yaitu mual dan muntah
disangkal, demam sejak dua hari SMRS, pasien juga mengeluh nyeri kepala
seperti tertusuk-tusuk sejak sehari yang lalu SMRS. Keluarga pasien juga
mengatakan bahwa pasien sebelumnya tidak mengalami kejang.
Dari hasil pemeriksaan fisik, didapatkan pada status present tekanan
darah: 80/60 mmHg, nadi 86 kali/menit, laju pernafasan 22 kali/menit, suhu
39oC. Pada status generalis dalam batas normal. Pada status neurologis GCS
pasien : E2V1M4, pada pemeriksaan meningeal sign : kaku kuduk (+),
kernig sign (+), dan burdzinski I, II, III, IV (+). Reflek fisiologis pada ke
empat ekstremitas normal. Pada pemeriksaan refleks patologis tidak
ditemukan kelainan.
3.6 Diagnosa
Diagnosis Topik : Meningen dan parenkim otak
Diagnosis Klinis : Penurunan kesadaran, nyeri kepala, demam akut
Diagnosis Etiologi : Infeksi (Suspek bakteri Streptococcus suis)
Diagnosis Kerja : Meningitis bakteri dd meningitis TB, meningitis
virus
3.7 Penatalaksanaan
head up 30o
O2 4 lpm nasal kanul
IVFD NaCl 0,9% 30 tpm
Drip norepinefrin 0,05-4 g/kgbb pada pukul 20.20, TD= 100/70
Inj Ceftriaxon 2x2 gr (skin test dahulu) selama 14 hari
Dexametasone 4x 10 mg (iv) selama 4 hari setiap 6 jam, tapering off
42
Paracetamol 3x1 fls
Inj ranitidine 2x1 amp (iv)
Inj diazepam 1 amp pelan (bila kejang)
KIE: Menjelaskan kepada keluarga mengenai definisi, penyebab, gejala
dan terapi dari penyakit pasien, jaga higienitas (kebersihan) diri serta
lingkungan dan terapkan pola hidup sehat.
3.8 Planning
- Kultur gram likuor cerebrospinal
- Kultur darah
R.Fisiologis R.Patologis
Sensibilitas : dbn
Tanggal Status Present: Meningitis hari IVFD NaCl 0,9% 30 tpm
15/10/2018 TD: 120/80 mmHg, N : 84x/menit ke- III Inj Ceftriaxon 2x2 gr
Keluhan: RR : 20x/menit, Tax: 36,0ºC Dexametasone 4x 10 mg
Pasien mengeluhkan Status Generalis: dbn (iv) setiap 6 jam
sakit kepala (+) Status Neurologis: Paracetamol 3x1 fls
menurun, ma/mi GCS : E4V5M6 Inj ranitidine 2x1 amp (iv)
43
(+/+), BAB/BAK (- MS : kaki kuduk (+), kernig sign Inj diazepam 1 amp pelan
/+), mual/muntah (+), brudzinski I dan II (+) (bila kejang)
(-/-) NC : RP+/+ isokor
Motorik
Tenaga Tonus
R.Fisiologis R.Patologis
Sensibilitas : dbn
Tanggal Status Present: Meningitis hari IVFD NaCl 0,9% 30 tpm
16/10/2018 TD: 110/60 mmHg, N : 80x/menit ke-IV Inj Ceftriaxon 2x2 gr
Keluhan: RR : 20x/menit, Tax: 36,0ºC Dexametasone 4x 10 mg
Pasien mengeluhkan Status Generalis: dbn (iv) setiap 6 jam, tapering
sakit kepala (+) Status Neurologis: off
menurun, ma/mi GCS : E4V5M6 Paracetamol 3x1 fls
(+/+), BAB/BAK (- MS : (-) Inj ranitidine 2x1 amp (iv)
/+), mual/muntah NC : RP+/+ isokor Inj diazepam 1 amp pelan
(-/-) Motorik (bila kejang)
Tenaga Tonus
R.Fisiologis R.Patologis
Sensibilitas : dbn
Tanggal Status Present: Meningitis hari IVFD NaCl 0,9% 30 tpm
17/10/2018 TD: 120/70 mmHg, N : 80x/menit ke-V Inj Ceftriaxon 2x2 gr
Keluhan: RR : 16x/menit, Tax: 36,0ºC Dexametasone 4x 5 mg (iv)
Pasien mengeluhkan Status Generalis: dbn setiap 6 jam
sakit kepala (+) Status Neurologis: Paracetamol 3x1 fls
menurun, ma/mi GCS : E4V5M6 Inj ranitidine 2x1 amp (iv)
(+/+), BAB/BAK (- MS : (-)
/+), mual/muntah NC : RP+/+ isokor
44
(-/-), kejang (-) Motorik Inj diazepam 1 amp pelan
Tenaga Tonus (bila kejang)
R.Fisiologis R.Patologis
Sensibilitas : dbn
Tanggal Status Present: Meningitis hari IVFD NaCl 0,9% 30 tpm
18/10/2018 TD: 120/70 mmHg, N : 85x/menit ke VI Inj Ceftriaxon 2x2 gr
Keluhan: RR : 20x/menit, Tax: 36,0ºC Paracetamol 3x1 fls
Pasien mengeluhkan Status Generalis: dbn Inj ranitidine 2x1 amp (iv)
sakit kepala (+) Status Neurologis: Inj diazepam 1 amp pelan
menurun, ma/mi GCS : E4V5M6 (bila kejang)
(+/+), BAB/BAK (- MS : (-)
/+), mual/muntah NC : RP+/+ isokor
(+/-), kejang (-) Motorik
Tenaga Tonus
R.Fisiologis R.Patologis
Sensibilitas : dbn
Tanggal Status Present: Meningitis hari IVFD NaCl 0,9% 30 tpm
19/10/2018 TD: 110/70 mmHg, N : 85x/menit ke-VII Inj Ceftriaxon 2x2 gr
Keluhan: RR : 18x/menit, Tax: 36,0ºC Paracetamol 3x1 fls
Pasien mengeluhkan Status Generalis: dbn Inj ranitidine 2x1 amp (iv)
sakit kepala (+) Status Neurologis: Inj diazepam 1 amp pelan
menurun, ma/mi GCS : E4V5M6 (bila kejang)
(+/+), BAB/BAK (- MS : (-) Planning: Lumbal pungsi
/+), mual/muntah NC : RP+/+ isokor dan konsul teman sejawat
(-/-), kejang (-), Motorik (TS) Kulit dan Kelamin
keluhan lain dari Tenaga Tonus
45
pasien terdapat lesi di
sekitar bibir pasien.
R.Fisiologis R.Patologis
Sensibilitas : dbn
Tanggal Status Present: Meningitis IVFD NaCl 0,9% 30 tpm
20/10/2018 TD: 110/60 mmHg, N : 80x/menit bakteri ec susp Inj Ceftriaxon 2x2 gr
Keluhan: RR : 20x/menit, Tax: 36,0ºC infeksi S.suis Paracetamol 3x1 fls
Pasien mengeluhkan Status Generalis: dbn hari ke-VIII Inj ranitidine 2x1 amp (iv)
sakit kepala (+) Status Neurologis: Herpes Labialis Inj diazepam 1 amp pelan
menurun, ma/mi GCS : E4V5M6 Sudden deafnes (bila kejang)
(+/+), BAB/BAK (- MS : (-) aurikular Hasil lumbal pungsi:
/+), mual/muntah NC : RP+/+ isokor dekstra (AD) kemungkinan meningitis
(-/-), kejang (-), Motorik bakteri
keluhan lain dari Tenaga Tonus
Jawaban Konsul TS Kulit
pasien terdapat lesi di
dan Kelamin (Herpes
sekitar bibir pasien
Labialis)
dan pendengaran
Acyclovir 3x400 mg
telinga kanan
Neutropin vit 1x1 tab
menurun
Kesan lateralisasi: tidak ada Natrium fisudat cr 2x/hari
Trofik Kompres terbuka Nacl
0,9%
Rawat poliklinis
Planning: pemeriksaan
nervus VIII pemeriksaan
R.Fisiologis R.Patologis pendengaran (tes
garputala) dan konsul TS
Sp.THT-KL
Sensibilitas : dbn
Tanggal Status Present: Meningitis IVFD NaCl 0,9% 30 tpm
21/10/2018 TD: 100/70 mmHg, N : 80x/menit bakteri ec susp Inj Ceftriaxon 2x2 gr
Keluhan: RR : 18x/menit, Tax: 36,0ºC infeksi S.suis Dexametasone 4x 2,5 mg
Pasien mengeluhkan Status Generalis: dbn hari ke-IX (iv) setiap 6 jam
sakit kepala (+) Status Neurologis: Tuli sensoneural Paracetamol 3x1 fls
menurun, ma/mi GCS : E4V5M6 AD Inj ranitidine 2x1 amp (iv)
(+/+), BAB/BAK (- MS : (-) Inj diazepam 1 amp pelan
/+), mual/muntah NC : RP+/+ isokor. Tes rine -/+, (bila kejang)
(-/-), kejang (-). scwabah -/+, weber: lateralisasi ke Jawaban konsulan TS
Keluhan lain telinga kiri, kesan: tuli sensoneural
Sp.THT-KL didapatkan
pendengaran telinga aurikular dekstra (AD).
sudden sensoneural hearing
Motorik
46
kanan menurun dan Tenaga Tonus loss (SSNHL) AD atau tuli
telinga sakit +/- sensoneural AD. Dari
Sp.THT-KL diberikan
terapi mecobalamin 3x 500
mg (PO)
Kesan lateralisasi: tidak ada
Trofik
R.Fisiologis R.Patologis
Sensibilitas : dbn
Tanggal Status Present: Meningitis IVFD NaCl 0,9% 30 tpm
22/10/2018 TD: 110/80 mmHg, N : 80x/menit bakteri ec susp Inj Ceftriaxon 2x2 gr
Keluhan: RR : 20x/menit, Tax: 36,0ºC infeksi S.suis Paracetamol 3x1 fls
Pasien mengeluhkan Status Generalis: dbn hari ke-X Inj ranitidine 2x1 amp (iv)
sakit kepala (+) Status Neurologis: Tuli sensoneural Inj diazepam 1 amp pelan
menurun, ma/mi GCS : E4V5M6 AD (bila kejang)
(+/+), BAB/BAK (- MS : (-) Mecobalamin 3x 500 mg
/+), mual/muntah NC : RP+/+ isokor. Tes rine -/+, (PO)
(-/-), kejang (- scwabah -/+, weber: lateralisasi ke
).Keluhan lain telinga kiri, kesan: tuli sensoneural
pendengaran telinga aurikular dekstra (AD).
kanan menurun. Motorik
Tenaga Tonus
R.Fisiologis R.Patologis
Sensibilitas : dbn
Tanggal Status Present: Meningitis IVFD NaCl 0,9% 30 tpm
23/10/2018 TD: 110/60 mmHg, N : 80x/menit bakteri ec susp Inj Ceftriaxon 2x2 gr
Keluhan: RR : 20x/menit, Tax: 36,0ºC infeksi S.suis Paracetamol 3x1 fls
Pasien mengeluhkan Status Generalis: dbn hari ke-XI Inj ranitidine 2x1 amp (iv)
sakit kepala (-), Status Neurologis: Tuli sensoneural Inj diazepam 1 amp pelan
ma/mi (+/+), GCS : E4V5M6 AD (bila kejang)
BAB/BAK (+/+), MS : (-) Mecobalamin 3x 500 mg
mual/muntah NC : RP+/+ isokor. Tes rine -/+, (PO)
scwabah -/+, weber: lateralisasi ke
47
(-/-), kejang (- telinga kiri, kesan: tuli sensoneural
).Keluhan lain aurikular dekstra (AD).
pendengaran telinga Motorik
kanan menurun. Tenaga Tonus
R.Fisiologis R.Patologis
Sensibilitas : dbn
Tanggal Status Present: Meningitis IVFD NaCl 0,9% 30 tpm
24/10/2018 TD: 120/80 mmHg, N : 80x/menit bakteri ec susp Inj Ceftriaxon 2x2 gr
Keluhan: RR : 20x/menit, Tax: 36,0ºC infeksi S.suis Paracetamol 3x1 fls
sakit kepala (-), Status Generalis: dbn hari ke-XII Inj ranitidine 2x1 amp (iv)
ma/mi (+/+), Status Neurologis: Tuli sensoneural Inj diazepam 1 amp pelan
BAB/BAK (+/+), GCS : E4V5M6 AD (bila kejang)
mual/muntah MS : (-) Mecobalamin 3x 500 mg
(-/-), telinga sakit (+/- NC : RP+/+ isokor. Tes rine -/+, (PO)
). Keluhan lain scwabah -/+, weber: lateralisasi ke
pendengaran telinga telinga kiri, kesan: tuli sensoneural
kanan menurun. aurikular dekstra (AD).
Motorik
Tenaga Tonus
R.Fisiologis R.Patologis
Sensibilitas : dbn
Tanggal Status Present: Meningitis IVFD NaCl 0,9% 30 tpm
25/10/2018 TD: 110/70 mmHg, N : 80x/menit bakteri ec susp Inj Ceftriaxon 2x2 gr (iv)
Keluhan: RR : 20x/menit, Tax: 36,0ºC infeksi S.suis Dexametasone 2 x 2,5 mg
sakit kepala (-), Status Generalis: dbn hari ke-XIII (iv) setiap 6 jam (hari ke-
ma/mi (+/+), Status Neurologis: XIV stop)
GCS : E4V5M6
48
BAB/BAK (+/+), MS : (-) Tuli sensoneural Paracetamol 3x1 fls
mual/muntah NC : RP+/+ isokor. Tes rine -/+, AD Inj ranitidine 2x1 amp (iv)
(-/-).Keluhan lain scwabah -/+, weber: lateralisasi ke Inj diazepam 1 amp pelan
pendengaran telinga telinga kiri, kesan: tuli sensoneural (bila kejang)
kanan menurun. aurikular dekstra (AD). Mecobalamin 3x 500 mg
Motorik (PO)
Tenaga Tonus
Trofik
R.Fisiologis R.Patologis
Sensibilitas : dbn
Tanggal Status Present: Meningitis IVFD NaCl 0,9% 30 tpm
26/10/2018 TD: 100/60 mmHg, N : 80x/menit bakteri ec susp Inj Ceftriaxon 2x2 gr (stop
Keluhan: RR : 18x/menit, Tax: 36,0ºC infeksi S.suis hari ke-XV)
Pasien mengeluhkan Status Generalis: dbn hari ke-XIV Paracetamol 3x1 fls
sakit kepala (+) Status Neurologis: Tuli sensoneural Inj ranitidine 2x1 amp (iv)
menurun, ma/mi GCS : E4V5M6 AD Inj diazepam 1 amp pelan
(+/+), BAB/BAK (-/- MS : (-) (bila kejang)
), mual/muntah NC : RP+/+ isokor. Tes rine -/+, Mecobalamin 3x 500 mg
(-/-).Keluhan lain scwabah -/+, weber: lateralisasi ke (PO)
pendengaran telinga telinga kiri, kesan: tuli sensoneural
kanan menurun. aurikular dekstra (AD).
Motorik
Tenaga Tonus
R.Fisiologis R.Patologis
Sensibilitas : dbn
Tanggal Status Present: Meningitis IVFD NaCl 0,9% 30 tpm
27/10/2018 TD: 110/70 mmHg, N : 80x/menit bakteri ec susp Paracetamol 3x500 mg (po)
Keluhan: RR : 20x/menit, Tax: 36,0ºC infeksi S. suis k/p
Status Generalis: dbn hari ke-XV
49
sakit kepala (-), Status Neurologis: Tuli sensoneural Ranitidine 2x1 tab
ma/mi (+/+), GCS : E4V5M6 AD Vit C 500 mg tab 1x1
BAB/BAK (+/+), MS : (-) Mecobalamin 3x 500 mg
mual/muntah NC : RP+/+ isokor. Tes rine -/+, (PO)
(-/-).Keluhan lain scwabah -/+, weber: lateralisasi ke
pendengaran telinga telinga kiri, kesan: tuli sensoneural
kanan menurun. aurikular dekstra (AD).
Motorik
Tenaga Tonus
R.Fisiologis R.Patologis
Sensibilitas : dbn
Tanggal Status Present: Meningitis IVFD NaCl 0,9% 30 tpm
28/10/2018 TD: 110/70 mmHg, N : 80x/menit bakteri ec susp Paracetamol 3x500 mg (po)
Sakit kepala (-), RR : 20x/menit, Tax: 36,0ºC infeksi S.suis k/p
ma/mi (+/+), Status Generalis: dbn hari ke-XVI Ranitidine 2x1 tab
BAB/BAK (+/+), Status Neurologis: Tuli sensoneural Vit C 500 mg tab 1x1
mual/muntah GCS : E4V5M6 AD Mecobalamin 3x 500 mg
(-/-). Keluhan lain MS : (-) (PO)
pendengaran telinga NC : RP+/+ isokor. Tes rine -/+,
kanan menurun. scwabah -/+, weber: lateralisasi ke
telinga kiri, kesan: tuli sensoneural
aurikular dekstra (AD).
Motorik
Tenaga Tonus
R.Fisiologis R.Patologis
Sensibilitas : dbn
50
Tanggal Status Present: Meningitis Paracetamol 3x500 mg (po)
29/10/2018 TD: 110/70 mmHg, N : 80x/menit bakteri ec susp k/p
Keluhan: RR : 20x/menit, Tax: 36,0ºC infeksi S.suis Ranitidine 2x1 tab
sakit kepala (-), Status Generalis: dbn hari ke-XVII Vit C 500 mg tab 1x1
ma/mi (+/+), Status Neurologis: Tuli sensoneural Mecobalamin 3x 500 mg
BAB/BAK (+/+), GCS : E4V5M6 AD (PO)
mual/muntah MS : (-) Poliklinis
(-/-).Keluhan lain NC : RP+/+ isokor
pendengaran telinga Motorik
kanan menurun. Tenaga Tonus
R.Fisiologis R.Patologis
Sensibilitas : dbn
51
BAB IV
PEMBAHASAN
52
1. Penurunan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal dan kaku kuduk
Contoh : gangguan iskemik, gangguan metabolik, intoksikasi, infeksi
sistemis, hipertermia, dan epilepsi
2. Penurunan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal tapi disertai kaku kuduk
Contoh : perdarahan subarachnoid dan radang selaput otak (meningitis)
3. Penurunan kesadaran dengan kelainan fokal
Contoh : tumor otak, perdarahan otak, infark otak, dan abses otak
Berdasarkan gejala yang dikeluhkan keluarga pasien kemungkinan
penurunan kesadaran yang dialami oleh pasien saat ini disebabkan oleh meningitis
karena pada pasien tidak ditemukan lateralisasi dan ditemukan adanya demam yang
menandakan adanya suatu reaksi infeksi. Selain penurunan kesadaran, keluarga
juga mengatakan terdapat keluhan tambahan yaitu pasien sehari SMRS mengalami
nyeri kepala hebat, riwayat mengkonsumsi daging babi, riwayat kontak dengan babi
4 hari SMRS dan pada saat di rawat di ruangan didapatkan pendengaran telinga
kanan menurun. Berdasarkan keluhan tambahan tersebut setelah dicocokan dengan
tinjauan pustaka sudah sesuai dengan manifestasi klinis pada meningitis bakteri
S.suis yaitu gejala klinis yang mendukung meningitis bakteri, riwayat paparan
dengan babi dan adanya gangguan pendengaran. Untuk memastikannya diperlukan
pemeriksaan fisik dan penunjang.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien stupor (GCS: E2V1M4),
tekanan darah 80/60 mmHg, nadi 86 x/menit, frekuensi napas 22 x/menit, suhu
axilla 380C, status general dalam batas normal, stastus neurologis didapatkan pada
pemeriksaan kaku kuduk terdapat tahanan pada leher pasien, pada pemeriksaan
kernig sign terdapat tahanan pada kaki pasien saat ingin diekstensikan, dan pada
pemeriksaan brudzinski I,II,III,IV didapatkan hasil positif. Pada pemeriksaan
N.VIII didapatkan tes rine -/+, scwabah -/+, weber: lateralisasi ke telinga kiri,
kesan: tuli sensoneural aurikular dekstra (AD). Pemeriksaan motorik didapatkan
tenaga ekstrimitas kanan kiri atas bawah sulit dinilai karena pasien mengalami
penurunan kesadaran. Trofik normal pada semua ekstrimitas, reflek fisiologi masih
normal dan reflek patologi negatif pada semua ekstrimitas. Dari pemeriksaan
penunjang berupa CT-Scan, tidak didapatkan infark dan pendarahan intrakranial.
Dari pemeriksaan penunjang darah lengkap ditemukan peningkatan WBC sebesar
53
16,28. Dari pemeriksaan urinalisis, masih dalam batas normal. Dari pemeriksaan
likuor cerebrospinal, warna cairan liquor cerebrospinal didapatkan berwarna bening
jernih, jumlah sel leukosit 290/uL, dominasi sel PMN (53%), dan glukosa 35
mg/dL. Dari pemeriksaan ekg, masih dalam batas normal. Dari pemeriksaan foto
thorak, cor dan pulmo masih dalam batas normal. Berdasarkan hasil pemeriksaan
fisik pasien mengarah ke diagnosis meningitis suis. Hal ini sesuai dengan teori yang
menyatakan bahwa pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya demam, nyeri
kepala, kaku kuduk, tanda kernig positif, brudzinki (I,II,III,IV) positif, adanya tuli
sensoneural AD. Sedangkan pada pemeriksaan CT-Scan, masih dalam batas
normal, tidak ditemukan adanya infark dan pendarahan intrakranial sehingga dapat
menyingkirkan diagnosis banding (stroke dan tumor). Selain itu, hasil CT-Scan
yang normal dapat menjadi salah satu indikasi dilakukannya pungsi lumbal. Pada
pemeriksaan ekg dan foto thorak, tidak didapatkan adanya kelainan sehingga dapat
menyingkirkan penurunan kesadaran akibat gangguan kardiorespirasi. Adapun
perbandingan antara teori meningitis suis dengan hasil anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan penunjang dan penatalaksaan pada pasien (kasus) dapat dilihat
pada tabel dibawah.
Tabel 5. Perbandingan antara teori meningitis suis dengan temuan pada kasus
Teori Kasus
Anamnesis
- Nyeri kepala +
- Demam +
- Kaku leher +
- Penurunan kesadaran +
- Fotopobia -
- Kejang -
- Malaise, gelisah +
- Penurunan pendengaran +
- Riwayat kontak dengan babi
+
Pemeriksaan fisik
- Kaku kuduk (+) +
- Kernig (+) +
- Brudzinski I (+) +
- Brudzinski II (+) +
- Brudzinski III (+) +
- Brudzinski IV (+) +
Pemeriksaan penunjang
- Darah lengkap: leukositosis +
54
- Pungsi lumbal: keruh, tekanan - (telah dilakukan namun hasil yang
meningkat, leukosit (100- didapat bening/jernih, leukosit 290
6000/mm3), PMN > 80%, glukosa u/L, PMN 53%, glukosa 35 mg/dL)
<40%, protein 1-5 g/L karena sebelumnya diberikan
- Kultur : Gram positif <90%; antibiotik
kultur positif <80%; kultur darah - (belum dilakukan)
positif <60%
Penatalaksanaan
- Tidak dikultur: antibiotik empiris +
dan dexametasone
- Sudah dikultur: antibiotik spesifik -
dan dexametasone
(Sumber: Goodwin, S.D. and Hartis, C.E.,. 2012. Infeksi Sistem Saraf Pusat.Pp 12-
30)
Pada pemeriksaan likuor cerebrospinal pasien, didapatkan warna cairan
liquor cerebrospinal bening jernih, jumlah sel leukosit 290/uL, dominasi sel PMN
(53%), dan glukosa 35 mg/dL sehingga jika dicocokan dengan teori maka
didapatkan kemungkinan meningitis bakteri. Warna likuor cerebrospinal yang
bening jernih kemungkinan dapat disebabkan karena pemeriksaan lumbal pungsi
dilakukan setelah pemberian antibiotik. Hasil likuor cerebrospinal pada pasien ini
juga memperkuat diagnosis kearah meningitis bakteri et causa suspek infeksi
S.suis. Etiologi meningitis bakteri pada pasien ini masih suspek dikarenakan untuk
diagnosis pasti dari meningitis suis diperlukan analisis kultur gram likuor
cerebrospinal.
Pada pasien penatalaksanaan yang diberikan adalah O2 4 lpm nasal kanul,
IVFD NaCl 0,9% 30 tpm, Inj ceftriaxon 2x2 gr, dexametasone 4x 10 mg (iv)
selama 4 hari setiap 6 jam, paracetamol 3x1 fls, Inj ranitidine 2x1 amp (iv), dan
diberikan Inj diazepam 1 amp pelan apabila pasien kejang serta dilakukan
monitoring vital sign, status neurologi dan keluhan dari pasien. Penatalaksanaan
yang diberikan sesuai dengan tinjauan pustaka teori yang ada, penatalaksanaan
pada pasien meningitis bakteri yaitu:
1. pemberian cairan NaCl untuk menjaga elektrolit tubuh,
2. terapi antibiotik empiris berupa ceftriaxone
Ceftriaxone merupakan golongan sefalosporin yang mempunyai
spektrum luas dengan waktu paruh eliminiasi 8 jam. Efektif terhadap
mikroorganisme gram positif dan gram negatif. Ceftriaxone juga stabil
55
terhadap enzim betalaktamase yang dihasilkan oleh bakteri. Pemberian
ceftriaxone pada kasus ini juga didasarkan pada data epidemiologi, usia
dan penyakit yang mendasari sesuai tabel 6 dibawah ini.
Tabel 6. Terapi antibiotik empiris pada meningitis
Karakter pasien Etiologi tersering Pilihan antibiotik
Cedera kepala pasca bedah Staphylococcus basil gram Vancomycin plus ceftazidime,
otak negatif aerob (P.aeroginosa) cefepime atau meropenem
(Sumber: Meisadona, G., Soebroto, A.D. and Estiasari, R., 2015. Diagnosis dan
Tatalaksana Meningitis Bakterialis'. CDK-224, 42, pp.15-19.)
Karena pasien berusia 18-50 tahun terapi antibiotik empiris yang
disarankan adalah ceftriaxone dengan atau tanpa vancomycin. Selain
itu, pada kecurigaan meningitis karena S.suis, terapi empiris yang
dianjurkan berupa ceftriaxone 2 g setiap 12 jam selama 14 hari untuk
orang dewasa.24
3. Paracetamol
Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam
arakhidonat menjadi prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat
siklooksigenase secara berbeda. parasetamol menghambat
siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada aspirin, inilah yang
menyebabkan Parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui
efek pada pusat pengaturan panas.24
56
4. Dexametasone
Dexametasone adalah glukokortikoid sintetik dengan aktivitas
imunosupresan dan anti-inflamasi. Sebagai imunosupresan
Dexametasone bekerja dengan menurunkan respon imun tubuh terhadap
stimulasi rangsang. Aktivitas anti-inflamasi Dexametasone dengan jalan
menekan atau mencegah respon jaringan terhadap proses inflamasi dan
menghambat akumulasi sel yang mengalami inflamasi, termasuk
makrofag dan leukosit pada tempat inflamasi. Dexametasone merupakan
anti inflamasi yang direkomendasikan penggunaannya pada pasien gejala
neurologis dan peningkatan tekanan intrakranial. Dexametasone dapat
meminimalkan resiko obliterasi endarteritis serta meminimalkan resiko
adhesi arachnoid.22
5. Ranitidin
Ranitidin adalah anatagonis reseptor H2 bekerja menghambat sekresi
asam lambung. Pada pasien diberikan ranitidine untuk mengatasi efek
samping kortikosteroid terhadap lambung dan mencegah stress ulcer.
6. Diazepam
Diazepam (N-demethylated) merupakan golongan benzodiazepin yang
larut dalam lemak. Diazepam cepat diabsorbsi dari saluran
gastrointestinal pada saat pemberian secara oral (penyerapan diazepam
lebih dari 90%), dengan konsentrasi puncak sekitar 60-90 menit pada
dewasa. Masa kerja diazepam ditentukan laju metabolisme dan eliminasi
obat. Diazepam dimetabolisme oleh enzim hati. Dua metabolit utama
diazepam adalah desmethyldiazepam dan oxazepam. Pengaruh metabolit
ini seperti mengantuk sekitar 6-8 jam setelah pemberian diazepam.24
Pada pasien ini tidak diberikan antibiotik spesifik karena sesuai tinjauan
pustaka dan algoritma menyebutkan terapi antibiotika spesifik diberikan jika telah
diperiksa kultur gram likuor cerebrospinal sedangkan pada pasien belum dilakukan
kultur likuor cerebrospinal.
57
BAB V
SIMPULAN
58
DAFTAR PUSTAKA
59
12. Corrêa-Lima, A. R. M., Valença, M. M., & Andrade-Valença, L. (2015). Risk
factors for acute symptomatic seizure in bacterial meningitis in
children. Journal of child neurology, 30(9), 1182-1185.
13. Hasbu, Rodrigo, May 7, 2013. Meningitis. Article. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/232915-overview#showall (Accesed:
9/11/2018)
14. Elbers AR, Vecht U, Osterhaus AD, et al. Low prevalence of antibodies
against the zoonotic agents Brucella abortus, Leptospira spp., Streptococcus
suis serotype II, hantavirus, and lymphocytic choriomeningitis virus among
veterinarians and pig farmers in the southern part of The Netherlands. Vet Q
1999;21:50–4.
15. Strangmann E, Froleke H, Kohse KP. Septic shock caused by Streptococcus
suis: case report and investigation of a risk group. Int J Hyg Environ Health
2002;205:385–92.
16. Segura M, Gottschalk M. 2004. Extracellular virulence factors of
streptococci associated with animal diseases. J. frontiers in bioscience: 9
1157-1188.
17. Salasia O.I.S., Wibowo H.M., Khusnan, 2005, karakterisasi isolat
sthapylococcus. Bagian patologi klinik, fakultas kedokteran hewan UGM,
Jurnal sain Veteriner. Vol 23 No. 2, Yogyakarta.
18. Arends JP, Zanen HC. Meningitis caused by Streptococcus suis in humans.
Rev Infect Dis 2012;10:131–7.
19. Lun S, Willson PJ. Putative mannose-specific phosphotransferase system
component IID represses expression of suilysin in serotype 2 Streptococcus
suis. Vet Microbiol 2005;105:169–80.
20. Nghia HDT, Hoa NT, Linh le D, et al. Human case of Streptococcus suis
serotype 16 infection. Emerg Infect Dis 2008;14:155–7.
21. Walsh B, Williams AE, Satsangi J. Streptococcus suis type 2: pathogenesis
and clinical disease. Rev Med Microbiol 1992;3:65–71.
22. Vilaichone RK, Vilaichone W, Nunthapisud P, Wilde H. Streptococcus suis
infection in Thailand. J Med Assoc Thai 2002;85(Suppl1):S109–17. 27.
60
Voutsadakis IA. Streptococcus suis endocarditis and colon carcinoma: a case
report. Clin Colorectal Cancer 2006;6:226–8.
23. Markam, S., 2012. Penuntun Neurologi, Cetakan Pertama. Binarupa Aksara,
Jakarta.
24. Tsai HC, Lee SS, Wann SR, Huang TS, Chen YS, Liu YC. Streptococcus suis
meningitis with ventriculoperitoneal shunt infection and spondylodiscitis. J
Formos Med Assoc 2005;104:948–50.
25. Susilawathi, Ni Made, dr, Sp.S (K). 2018. Meningitis Streptococcus Suis.
Seminar Nasional Emergency in Neuorology Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana. Pp 1-5.
26. Iskandar Japardi, dr. 2002. Meningitis Meningococcus. Bagian Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Pp 1-8
61