Pembimbing :
dr. Dyah Nuraini W, Sp.S
Oleh :
Rika Susanti
030.09.206
LEMBAR PENGESAHAN
Nama
: Rika Susanti
NIM
: 030.09.206
Fakultas
: Kedokteran
Universitas
: Trisakti
Tingkat
Bidang Pendidikan
Diajukan
: November 2015
Pembimbing
Mengetahui
Pembimbing
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkah rahmat dan hidayah-Nya penulis
masih diberikan kesempatan untuk menyelesaikan Referat tepat pada waktunya
dengan judul Meningitis Virus pada Anak. Adapun Referat ini dibuat untuk
memenuhi sebagaian salah satu persyaratan kelulusan dalam Kepaniteraan Klinik
Ilmu Penyakit Saraf di RSUD Semarang.
Dalam
menyelesaikan
Referat
ini,
penulis
menyadari
segala
RIKA SUSANTI
DAFTAR ISI
Halaman
Lembar Pengesahan........................................................................................................i
Kata Pengantar...............................................................................................................ii
Daftar Isi.......................................................................................................................iii
BAB I
Pendahuluan....................................................................................................1
BAB II Anatomi..........................................................................................................3
BAB III Tinjauan Pustaka.............................................................................................9
BAB IV Kesimpulan....................................................................................................28
Daftar Pustaka ......................................................................................................... 29
BAB I
PENDAHULUAN
Kasus meningitis pertama ditemukan oleh Gaspard Vieusseux pada tahun 1805
dengan nama epidemic cerebrospinal fever. Definisi dari meningitis adalah adanya
suatu inflamasi pada leptomeningen, sebagai respons dari adanya infeksi oleh
patogen, hingga dapat mengenai liquor cerebrospinal (LCS)
(1).
Ditemukan di
beberapa kasus yang cukup parah, peradangan dapat terus berlanjut, hingga mengenai
piamater atauapun araknoidmater. Sampai saat ini, meningitis tetap dianggap sebagai
suatu kegawatdaruratan pada anak, terutama akibat sekuele neurologis yang dapat
bersifat permanen.
Penyebab infeksi susunan saraf pusat, bervariasi dari virus, bakteri, ataupun
jamur, dimana pada infeksi ini, terjadi suatu iritasi meningens (2). Organisme biasanya
memasuki meningens melalui infeksi fokal yang menyebar melalui hematogen hingga
mencapai otak atauapun dapat secara langsung berkembang biak di jaringan otak.
Meningitis piogenik (bakteri) terdiri dari peradangan meningens dan liquor
cerebrospinal, serta ruang subaraknoid (3). Jika tidak diobati, meningitis bakteri dapat
mengakibatkan kelemahan pada bayi, hingga mungkin disertai kematian. Sehingga
meningitis bakterial, telah dianggap luas sebagai meningitis yang paling parah.
Penyakit ini amat fatal, terutama sebelum era antimikroba mulai seirng digunakan.
Semenjak muncul dan sering digunakannya terapi antimikroba, terjadi penurunan
angka kematian yang cukup drastis. Sekarang ini, masalah yang lebih harus
diperhatikan adalah munculnya strain bakteri resisten. Hal ini telah mendorong
perubahan dalam protokol antibiotik di beberapa negara yang telah lebih berkembang,
seperti Amerika Serikat dan Jerman (3).
BAB II
ANATOMI
2.2
pelindung dan pelindung otak. Terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: (4,5)
1. Duramater
Duramater atau pachymeninx merupakan lapisan paling luar terbentuk atas
struktur fibrosa yang kuat. Kedua lapisan dura ini umumnya melekat rapat, kecuali di
beberapa tempat, seperti di daerah pembentukan sinus venosus dan tempat dimana
bagian meningeal membentuk sekat di antara bagian-bagian otak. Duramater
dipisahkan dari araknoidmater oleh suatu celah sempit yang disebut sebagai ruang
subdural.
Pada dasarnya, duramater ini terdiri atas dua lapis, yaitu lapisan endosteal dari
lapisan meningeal. Kedua lapisan ini selalu melekat rapat, kecuali di beberapa area,
seperti tempat terbentuknya sinus venosus.
-
Lapisan endosteal
Sebetulnya merupakan lapisan periosteum yang menutupi bagian dalam tulang.
Lapisan meningeal
Merupakan lapisan duramater yang sejati, disebut juga sebagai cranial
duramater. Fungsinya adalah membungkus otak dan berlanjut terus melewati
foramen magnum, menjadi dura mater spinalis. Lapisan meningeal membentuk
empat septum, yang berfungsi untuk menahan pergeseran otak. Keempat
septum ini adalah:
o Falx Cerebri
Merupakan lipata duramater yang terletak pada garis tengah di antara kedua
hemisfer serebri. Bagian anteriornya melekat pada crista galli, sedangkan
bagian posteriornya nanti menyatu dengan permukaan atas tentorium
cerebelli.
o Tentorium Cerebelli
Merupakan lipatan duramater yang berbentuk bulan sabit, letaknya menutupi
fossa cranii posterior. Septum ini juga menutupi bagian atas serebelum dan
menopang lobus occipitalis serebri.
o Falx Cerebelli
Merupakan lipata duramater yang kecil, melekat pada protuberantia occipitalis
interna.
o Diaphragm Sellae
Merupakan lipatan sirkuler kecil dari duramater, yang menutupi sella
tursica dan fossa pituitary pada os sphenoidalis. Diafragma ini memisahkan
pituitary gland dari hipotalamus dan kiasma optikum.
Pada perpisahan antara kedua lapisan duramater ini, di antaranya
terdapat sinus duramatris yang berisi darah vena. Sinus venosus ini menerima
drainase darah dari vena di otak dan mengalir menuju vena jugularis interna.
Pada lapisan-lapisan dura mater ini, terdapat banyak cabang-cabang pembuluh
darah yang berasal dari arteri karotis interna, arteri maxillaris, arteri
occipitalis, dan arter vertebralis. Pada penerapan secara klinis, yang terpenting
adalah arteri meningea media (cabang dari arteri maxillaris), karena arteri ini
umumnya sering pecah pada kasus-kasus trauma kapitis. Selain itu, pada dura
mater juga terdapat banyak ujung-ujung serabut saraf sensorik yang amat peka
terhadap regangan.
2. Araknoidmater
Lapisan ini merupakan suatu septic imparmeabel yang halus, menutupi otak,
dan letaknya ada di antara piamater dan duramater. Lapisan ini dipisahkan dari
duramater oleh suatu ruang yang disebut spatium subdurale, dan dipisahkan dari
piamater oleh ruang subaraknoid yang berisi liquor cerebrospinal (LCS). Pada daerah
tertentu, ada bagian dari araknoid yang menonjol ke dalam sinus venosus,
2.3
bebas protein. Cairan ini memiliki karakteristik yang mirip dengan air, dan dapat
ditemukan di rongga subaraknoid serta dalam susunan ventrikel (.4,5).
1. Pembentukan liquor cerebrospinal
Liquor cerebrospinal ini adalah hasil sekresi oleh plexus koroidalis, yang
terletak di ventrikel serebri. Plexus koroidalis ini adalah suatu struktur yang
memang secara khusus berfungsi dalam mensekresi, mendialisa, dan menyerap
liquor cerebrospinal.
2. Sirkulasi liquor cerebrospinal
Setelah disekresi oleh plexus koroidalis pada ventrikel lateral, LCS mengalir
melalui foramina intraventrikular dan masuk ke ventrikel ketiga. Setelah itu,
LCS mengalir melewati aquaductus Sylvii dan menuju ventrikel keempat,
kemudian masuk ke ruang subaraknoid melalui foramen Magendie dan foramen
Luscka. Dari sini, sebagian besar LCS mengalir ke bagian medial dan lateral
dari hemisfer serebri. Di ruang subaraknoid, LCS merembes masuk melalui
granulasi arachnoid, untuk nanti bersatu dengan darah vena di dalam sinus
sagittalis posterior. Sebagian kecil LCS mengalir ke ruang subaraknoid di
medulla spinalis.
3. Absorpsi liquor cerebrospinal
Vili araknoidalis adalah tempat absorpsi LCS, untuk nanti bersatu dengan darah
vena pada sinus duramatris. Vili ini terletak di ruang subaraknoid. Seiring
dengan bertambah tuanya seseorang, vili ini akan membesar, dan disebut
sebagai pacchionian bodies atau arachnoid granulation.
4. Komposisi liquor cerebrospinal
Pada orang dewasa, rata-rata volume LCS adalah 135 ml. Dari total
keseluruhan ini, diperkirana bahwa 80 ml berada di dalam ventrikel, sedangkan
55ml sisanya terdapat di dalam ruang subaraknoid. Komposisi dari LCS terdiri
atas air, sedikit protein, gas (O2 dan CO2), natrium, kalium, kalsium, klorida,
dan sedikit sel darah putih (limfosit dan monosit)
5. Fungsi liquor cerebrospinal
Liquor cerebrospinal memiliki berbagai fungsi, yang pertama adalah untuk
mempertahan keseimbangan antara neuron dan glia. Kedua, adalah sebagai
bantalan yang melindungi otak dan medulla spinalis dari benturan. Ketiga,
seringkali diambil untuk dianalisa dan dijadikan sebagai penunjang septic.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1
Defenisi
Meningitis adalah terjadinya suatu proses peradangan atau inflamasi pada
3.2
Etiologi
Penyebab dari meningitis, berdasarkan mikroorganismenya, dapat dibagi
(8)
liquor cerebrospinal. Selain didasari oleh infeksi itu sendiri, meningitis juga dapat
diakibatkan oleh penyakit non-infeksi, seperti pada penyakit HIV dan keganasan.
3.2.1 Virus
Meningitis septic, dikenal sebagai sindrom inflamasi meningeal, adalah suatu
kondisi dimana patogen bakterialnya tidak dapat teridentifikasi. Berdasarkan
penelitian, 1 dari 4 kasus meningitis septic, disebabkan oleh virus.
Meningitis virus pada umunya tidak menimbulkan gejala yang terlalu berat dan
dapat sembuh sendiri, tanpa pengobatan spesifik
(8)
enteriovirus, mengenai terutama anak berusia lebih muda dari 1 tahun. Dari sekian
banyak septic enterovirus, yang paling sering teridentifikasi sebagai etiologi
meningitis adalah septic coksackie-virus A9, B2, B4, dan echo-virus 6, 9, 11, 30.
Enterovirus ditransmisikan melalui jalur fekal-oral. Kasus meningitis enterovirus,
biasanya tidak disertai komplikasi apapun, bersifat jinak, dan jarang terdapat sekuel.
Insidensi meningitis oleh virus herpes simplex juga cukup tinggi, dengan 75%
di antaranya disebabkan oleh HSV-2. Pada neonatus, biasanya bermanifestasi sebagai
lesi kulit lokal. Transmisinya dapat terjadi ketika bayi dilahirkan secara per vaginam,
melalui jalan lahir yang terinfeksi, ataupun infeksi asendes melalui septic amnion
10
yang utuh. Infeksi ini lebih sering terjadi pada bayi yang lahir dari ibu yang menderita
infeksi primer aktif (50%), dibandingkan dengan ibu yang menderita herpes genital
rekuren (5%).
Selain infeksi secara langsung, meningitis septic non-infeksius juga dapat
dadasari oleh obat atau penyakit vaskuler. Obat yang paling sering terlibat adalah
golongan NSAID, seperti ibuprofen, immunoglobulin IV, dan antimikroba seperti
trimethoprim-sulfametoksazol. Sedangkan untuk penyakit vaskuler, yang sering
terkait adalah penyakit sistemik lupus eritematosus dan penyakit Kawasaki.
3.2.2 Bakteri
Meningitis bakteri insidensinya lebih tinggi dibandingkan dengan meningitis
virus. Bakteri penyebabnya juga bervariasi sesuai dengan kelompok umur. Selain itu,
gejala yang ditimbulkan oleh meningitis bakteri, pada umumnya lebih berat
dibandingkan meningitis virus.
Pada masa neonatus (1 bulan pertama kehidupan), bakteri yang sering
menyebabkan meningitis adalah Streptococcus group B dan Listeria monocytogenes.
Berdasarkan penelitian yang ada, terdapat cukup banyak kasus, di mana traktus
genitalia maternal merupakan sumber dari patogen pada meningitis di neonatus. Di
sini, meningitis dibagi menjadi 2 fase, yaitu fase onset dini (7 hari pertama
kehidupan) dan fase onset lambat (7-31 hari pertama kehidupan). Insidensi fase onset
dini adalah 1 dari 1.000 bayi lahir hidup, sedangkan fase onset lambat adalah 0,3
kasus per 1.000 bayi lahir hidup. Fakto resiko meningitis neonatus adalah bayi yang
dilahirkan preterm (7,9).
Sedangkan pada kelompok anak usia 2 bulan 12 tahun, biasanya disebabkan
oleh Haemophillus influenza tipe B, Streptococcus pneumonia, dan Neisseriae
meningitides. Data dari Center for Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun
2000, memaparkan bahwa terdapat 700 kasus meningitis bakteri, dengan 200
kematian di Amerika Serikat. Oleh karena itu, sejak Februari 2000, vaksin konjugasi
protein polisakarida 7-valen (Prevnar, Wyeth Pharmaceuticals, Philadephia)
11
3.2.3 Jamur
Meningitis jamur menduduki insidensi terendah, dibandingkan dengan 2
kelompok etiologi lainnya. Biasanya sering pada anak dengan imunosupresif dan
penderita leukemia. Etiologi jamur yang sering ditemukan adalah Cryptococcus
neoformans, Coccidioides immits, Candida albicans, dan Aspergillus.Infeksi jamur
pada susunan saraf pusat, dapat mengakibatkan meningitis akut, subaktus, dan
kronis(1).
3.3
Patofisiologi
12
Meningitis viral
Virus dapat memasuki tubuh melalui beberapa jalan, contohnya adalah kulit,
saluran pernafasan, dan saluran pencernaan. Setelah masuk ke dalam tubuh, virus
akan menyebar dan menimbulkan viremia, melalui cara-cara seperti berikut: (10)
-
13
Invasi secara langsung dan jaringan dihancurkan akibat translokasi DNA dari
virus ke jaringan
Reaksi tubuh kita terhadap antigen virus tersebut, mengakibatkan demyelinisasi
dan penghancuran vaskuler
3.4
Manifestasi Klinis
Meninigitis memiliki trias gejala klinis yang cukup khas, yaitu onset demam
yang mendadak, sakit kepala, dan kaku kuduk. Selain itu, pasien juga dapat
mengeluhkan gejala lainnya seperti:
-
Meningitis Bakterial
Tidak terdapat satupun gejala patognomonik dari meningitis bakterial. Gejala
klinis meningitis bakterial sangatlah luas, tidak spesifik, sehingga ada kalanya
beberapa kasus dimana anak tersebut menderita meningitis, namun tidak ada gejala.
Gejala klinisnya bervariasi pada usia pasien, lama sakit, dan respon tubuh terhadap
infeksi (1,3).
Meningitis yang terjadi pada bayi baru lahir amatlah sulit untuk didiagnosis.
Hal ini dikarenakan tidak adanya gejala khas. Biasanya pasien mengeluhkan demam,
namun itupun hanya ditemukan pada sekitar 50% dari seluruh kasus meningitis.
Selain itu, keluhan pasien adalah tampak lemah, tidak mau makan, muntah,
penurunan kesadaran, leher yang kaku, serta respirasi yang tidak beraturan, dan
14
gejala-gejala sepsis. Oleh karena itu, pada setiap pasien sepsis, kita harus mencurigai
adanya kemungkinan meningitis (7,8).
Pada bayi berusia di kisaran 3 bulan 2 tahun, gejala yang biasanya timbul
adalah demam, kejang, muntah, dan gelisah. Selain itu, tumbuh dan kembang anak
juga dapat terhambat. Diagnosis baru dapat lebih ditegakkan melalui pemeriksaan
fisik. Dapat ditemukan tanda-tanda yang jelas, seperti ubun-ubun yang tegang dan
menonjol, serta dapat ditemukan tanda kaku kuduk. Perlu ditekankan bahwa gejala
klinis dan pemeriksaan fisik yang bermakna pada anak berusia kurag dari 1 tahun,
tidak dapat diandalkan sebagai dasar diagnosis. Disarankan untuk dilakukan pungsi
lumbal untuk mendapatkan liquor cerebrospinal, lalu dianalisis. Kembali lagi, bahwa
pada setiap anak yang demam berkepanjangan ataupun berulang, perlu dicurigai
kemungkinan adanya meningitis.
Pada anak yang telah lebih dewasa, berusia di atas 2 tahun, dapat ditemui gejala
yang lebih khas, berupa gangguan tingkah laku, dan penurunan kesadaran yang lebih
jelas. Pada pemeriksaan fisik, selain kaku kuduk yang positif, tanda Kernig dan
Brudzinski dapat ditemukan positif secara lebih nyata.
15
Stadium prodromal:
o Gejala biasanya diawali dengan terjadinya iritasi selaput otak
o Meningitis mulai perlahan, biasanya kenaikan suhu hanya hingga batasan
o
sub-febris
Gejala klinis yang dapat timbul adalah anak menjadi apatis dan tidurnya
sering terganggu
Pada stadium ini, kelainan neurologis belum ada yang tampak
- Stadium transisi:
o Stadium prodromal akan berlanjut menjadi stadium transisi
o Gejala klinis yang dikeluhkan biasanya adalah demam yang lebih jelas dan
o
16
Secara keseluruhan, kelainan-kelainan yang berasal dari susunan saraf pusat ini,
disebabkan oleh inflamasi lokal pada meninges dan gangguan suplai darah ke saraf.
Saraf kranial yang paling sering terkena adalah nervus IV, VI, dan VII. Ditemukannya
tanda meningeal, diakibatkan karena adanya nekrosis korital dan vaskulitis oklusif.
Meningitis Viral
Pada umumnya, gejala klinis yang ditimbulkan meningitis viral, tidaklah
biasanya
berlangsung
mendadak,
walaupun
tidak
menutupi
(2,10)
Berikut ini dilampirkan table gejala yang secara kasar dapat membantu
mengarahkan dalam mencari etiologi meningitis viral.
Etiologi
Enterovirus
Gejala Klinis
Gastroenteritis, rash, faringitis
17
Morbilivirus
Herpes simplesk virus
Epstein-barr virus
HIV
Mumps virus
splenomegaly
Imunodefisiensi dan pneumonia
Parotitis
Meningitis Jamur
Gejala klinis yang ditimbulkan meningitis jamur, sama seperti dengan
Pemeriksaan Penunjang
Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal dilakukan untuk memperoleh liquor cerebrospinal, untuk nanti
dianalisa lebih lanjut. Hal ini cukup sering dilakukan untuk menegakkan etiologi
meninigitis (11).
Indikasi
Indikasi untuk dilakukan tindakan ini adalah(11):
18
Terdapat kejang
Ditemukannya defisit neurologis berupa paresis ataupun paralisis nervus
kranialis
Penurunan kesadaran hingga koma
Ubun-ubun yang besar dan menonjol
Kaku kuduk (+)
Leukemia
Sepsis
Prosedur untuk melakukan tindakan ini akan dibahas secara bertahap (11):
1. Pasien diposisikan memiring ke salah satu sisi tubuh. Leher diflelsikan
maksimal (dahi ditempelkan ke dinding dada) dan ekstremitas bawah
difleksikan maksimal juga (lutut ditempelkan ke dinding abdomen), serja
kolumna vertebralis disejajarkan dengan tempat tidur
19
2. Tentukan daerah pungsi lumbal, yaitu L4-L5, dengan menemukan garis potong
sumbu kolumna vertebralis dan garis antara kedua spina ishdkiadika anterior
superior (SIAS) kiri dan kanan.
3. Lakukan tindakan antiseptic pada kulit di sekitar daerah pungsi, dengan alcohol
70%. Lalu, tutup dengan duk steril berlubang, posisikan dimana daerah pungsi
lumbal dibiarkan terbuka.
4. Pastikan kembali daerah pungsi lumbal dengan menekankan ibu jari tangan
yang telah menggunakan sarung tangan steril. Berikanlah kekuatan yang cukup
pada penekanan, lakukan selama 15-30 detik, untuk menandai titik pungsi
tersebut.
5. Tusukkan jarum spinal pada tempat yang telah ditentukan. Masukkan jarum
secara perlahan, sampai menembus duramater.
6. Lepaskan stylet perlahan-lahan dan liquor cerebrospinal akan keluar.
7. Cabut jarum dan tutup lubang tusukan dengan plester steril.
Analisis LCS
Pada pungsi lumbal yang berhasil, LCS yang keluar ditampung dalam botol
steril untuk dianalisis secara lengkap. Perlu diperhatikan adalah kejernihan dan warna
dari LCS tersebut. Pada keadaan normal, LCS berwarna jernih. Setelah itu, ditentukan
akan adanya peningkatan protein pada LCS dengan menggunakan uji Pandy dan
Nonne.
Pada uji Pandy, LCS diteteskan ke dalam tabung reaksi yang sebelumnya telah
diisi dengan 1 ml carbolic acid. Bila kadar protein meninggi, akan didapatkan warna
putih keruh pada tabung reaksi tersebut. Sedangkan pada uji Nonne, 0.5 ml LCS
diteteskan ke dalam tabung reaksi yang sebelumnya diisi dengan 1 ml larutan
ammonium-sulfat. BIla kadar protein meninggi, didapati cincin putih pada perbatasan
antara cairan ammonium-sulfat dan LCS tersebut (11).
Meningitis Bakterial (1,9)
-
Meningitis Jamur(1,9)
-
21
Agent
Bacterial
Opening
WBC
Pressure
(mg/dL)
200-300
L
100-5000;
> 100
meningitis
Glucose
< 40
Protein
Microbiology
Spesific
>80%
pathogen
PMNs
demonstrated
in
60%
Gram
of
stains
and 80% of
Viral
90-200
meningitis
Tuberculous
180-300
meningitis
Cryptococca
180-300
l meningitis
Aseptic
90-200
meningitis
Normal
Normal,
lymphocyte
PCR assasys
100-500;
mumps
Reduced,
Acid-fast
lymphocyte
< 40
s
10-200;
Reduced
lymphocyte
s
10-300;
Normal
Normal
elevated
bacillus stain,
Elevated,
culture PCR
India
ink,
> 100
crypococcal
50-200
antigen
Negative
lymphocyte
80-200
values
cultures
Viral
10-300;
s
0-5;
findings
50-75
15-40
on
workup
Negative
lymphocyte
findings
workup
on
*Polymorphonuclear lymphocytes
*Polymerase chain reaction
3.6
Diagnosis
22
Meningitis Viral
Diagnosis meningitis viral hanya dapat ditegakkan melalui isolasi virus.
Namun, pada praktek sehari-hari, jarang dilakukan pemeriksaan serologis, oleh
karena banyaknya jenis virus yang dapat menyebabkan meningitis.
Diagnosis biasanya dapat didasarkan atas usia pasien dan gejala klinis yang ada.
Walaupun, sekali lagi, gejala klinis tidak dapat menggambarkan etiologi pasti
meningitis virus. Biakan LCS dapat dilakukan, guna menyingkirkan kemungkinan
penyebab lainnya (1,8,10).
3.7
Komplikasi (1)
a. Kejang
Kejang merupakan komplikasi yang penting, sangat ditakutkan oleh keluarga
pasien, dan insidensinya cukup tinggi (hampir 1 dari 5 pasien). Kemungkinan kejang
lebih tinggi pada anak berusia kurang dari 1 tahun, mencapai 40$. Pada pasien yang
sampai di fase kejang ini, biasanya aka nada komplikasi neurologis yang sifatnya
dapat menjadi permanen.
b. Edema serebral
Komplikasi ini paling sering terjadi pada kasus-kasus meningitis bakterial.
Serta merupakan penyebab kematian yang penting.
Kelumpuhan saraf kranial dan infark serebri.
Kelumpuhan saraf kranial serta terganggunya aliran darah, merupakan sekunder
dari adanya peningkatan tekanan intrakranial. Pada beberapa kasus yang cuku parahm
pungsi lumbal mungkin diperlukan untuk mengurangi tekanan intrakranial.
Pada infark serebri, terjadi pembengkakan sel endotel dan proliferasi ke dalam
lumen pembuluh darah, serta infiltrasi dinding pembuluh darah oleh sel-sel inflamasi.
Secara umum, infark diakibatkan oleh thrombosis pembuluh darah, dengan vena lebih
sering terkena dibandingkan arteri.
23
c. Efusi Subdural
Pada setiap kasus meningitis, harus dipikarkan akan adanya kemunginan efusi
subdural, terutama pada kasus dengan demam terus menerus selama 72 jam,
walaupun telah diberikan pengobatan yang adekuat. Selain itu, pasien yang
berpredileksi mengalami komplikasi efusi subdural, biasanya mengeluhkan ubunubun yang besar dan membenjol, timbul kelainan neurologis fokal, serta muntah
proyektil. Selanjutnyam efusi subdural memiliki 3 kemungkinan, yaitu kering sendiri
(bila jumlahnya sedikit), menetap ataupun bertambah banyak, dan menjadi
empyema(8).
Pengobatan efusi subdural, masih kontroversial, tetapi biasanya dilakukan tap
subdural apabila terjadi penekanan jaringan otak, demam yang menetap, dan
penurunan kesadaran tanpa perbaikan. Jika setelah 2 minggu, tetap tidak kering,
pasien perlu dikonsulkan ke bedah saraf, untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.
d. Gangguan cairan dan elektrolit
Komplikasi ini paling sering ditemukan pada meningitis bakterial, kadang
disertai dengan hypervolemia, oliguria, gelisah, iritabel, dan kejang. Hal ini
diakibatkan oleh sekresi anti-diuretic hormone yang berlebihan. Oleh karena itu,
harus dipastikan bahwa dilakukan cek elektrolit yang rutin pada pasien meningitis.
3.8
Pengobatan
Meningitis Viral
Kebanyakan kasus meningitis virus bersifat self-limited dan terapi yang
diberikan cukup terapi simtomatik. Bahkan, pada beberapa kasus, pasien tidak
diindikasikan untuk rawat inap. Pada pasien dengan defisiensi imunitas ataupun
sepsis berat pada neonatus, dapat diberikan immunoglobulin intravena.
Bukti anekdotla mendukung pemberian asiklovir untuk bagian dari terapi
meningitis Herpes Simplex virus, Epstein-barr virus, dan Varicella zoster virus.
24
Terapi ini biasanya diindikasikan untuk pasien dengan meningitis HSV primar dan
pasien meningitis viral yang memiliki gejala dan defisit neurologis yang berat. Selain
asiklovir, dapat diberikan juga famsiklovir, dan valasiklovir. Studi membuktikkan
bahwa penggunaan ketiga golongan ini, memiliki efektifitas yang sama-sama baik.
Dosis asiklovir yang biasa digunakan adalah 10 mg/kg BB, diberikan setiap 8 jam.
Hingga saat ini, belum ada rumusan pasti untuk penggunaan famsiklovir, karena
memang penggunaan obat ini masih jarang, tetapi, suatu studi menyimpulkan bahwa
dosis famsiklovir untuk anak-anak berkisar di 150-500 mg/hari. Untuk valaskilovir,
dosis yang direkomendasikan adalah 20mg / kg BB, 3x sehari, dengan dosis
maximum adalah 1000mg dalah 1 hari (8,9,10).
3.9
Pencegahan
Meningitis Viral
Seseorang yang menderita infeksi virus dapat sewaktu-waktu berkembang
menjadi meningitis. Tidak terdapat vaksin untuk penyebab tersering dari meningitis
virus. Cara terbaik untuk mencegahnya adalah dengan mencegah terjadinya infeksi
virus. Namun, hal ini sulit dilakukan oleh karena seseorang dapat menderita infeksi
virus dan menyebarkan virus tersebut walaupun tidak terlihat sakit.
Berikut beberapa cara untuk mengurangi resiko terserang infeksi virus atau
menyebarkannya ke orang lain (9):
-
Cuci tangan dengan benar dan sering, terutama setelah mengganti popok,
benda lain dengan seseorang yang sakit atau dengan orang lain saat kita sakit.
Pastikan seluruh anggota keluarga sudah divaksin.
25
Pastikan bahwa jadwal imunisasi anak berjalan dengan tepat waktu. Karena
vaksinasi lainnya, misalnya vaksin MMR, terbukti dapat membantu mencegah
terjadinya meningitis.
Hindari gigitan nyamuk atau serangga lain yang dapat menjadi vector penyakit.
26
BAB IV
KESIMPULAN
Meningitis merupakan infeksi pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh
bakteri, virus, dan jamur. Hal ini dapat membahayakan kehidupan anak, karena
menyebabkan kerusakan permanen pada penderita yang hidup. Insidens meningitis
sangat bervariasi. Amat bergantung kepada tingkat sosio ekonomi dan kesehatan
masyarakat, umum, status gizi serta faktor genetik yang menentukan respon imun
seseorang.
Tanpa memandang etiologi, kebanyakan gejala-gejala yang timbul tidak ada
yang spesifik. Gejala klinis seperti demam terus-menerus yang tidak dapat
diterangkan penyebabnya, kejang berulang, kesadaran menurun, dan gejala lain yang
berpotensi menjadi meningitis harus diwaspadai sejak awal. Tingkat keparahan
penyakit dan gejala klinis, sangat ditentukan oleh patogen penyebab meningitisnya,
hospes, dan mekanisme penyebaran infeksinya.
Penyakit ini menyebabkan angka kesakitan dan kematian yang cukup
signifikan, di seluruh dunia. Oleh karena ini, keadaan ini harus ditangani sebagai
suatu emergensi.
Penatalaksanaan pada penderita meningitis harus tepat dan adekuat tergantung
penyebab terjadinya meningitis. Selain itu, penting juga untuk memantau ketat
tumbuh kembang pasien yang sembuh dari meningitis. Prognosisnya tergantung pada
faktor stadium penyakit saat pengobatan dan umur pasien, Kurang lebih 18% dari
yang bertahan hidup mempunyai neurologis normal.
28
DAFTAR PUSTAKA
Accessed
on 10/11/2015
5. Grays Anatomy. 2nd edition. Elsevier Saunder: 2009
6. Fenichel GM. Clinical Pediatric Neurology. 5th edition. Philadelphia: Elsevier
saunders; 2005
7. Muller ML, Jaimovich D, Windle ML, Domachowske J, Tolan RW Jr, Steele
RW. Bacterial Meningitis. University of New Mexico School of Medicine.
USA: 2009.
8. Mann K, Jackson MA. Meningitis. Pediatr. Rev. 2008; 29: p.417-430.
9. Lazoff M, Slabinski MS, Talaver F, Weiss EL, Halamka JD, Kulkarni L.
Meningitis. Society for Academic Emergency Medicine. USA: 2010.
10. Triant VA. Viral Meningitis. The Health Care of Homeless Persons Part 1.
p.175-180.
11. Riordan FAI, Cant AJ. When to do a lumbar puncture. Arch Dis Child.
2002;87:p.235-237.
29