Oleh :
Banatidika Ikrarida D G99181013
Pembimbing :
Bara Adithya, dr., Sp.An
Tubuh manusia terdiri dari dua bagian utama yaitu bagian yang padat dan bagian
yang cair. Bagian padat terdiri dari tulang, kuku, otot, dan jaringan yang lain.
Sedangkan bagian yang cair berupa cairan intraselular dan ekstraselular. Pada anak,
jaringan lemak yang dimiliki lebih sedikit dan organ visera yang dimiliki lebih
besar.Dengan demikian, persentase air dalam tubuh anak relatif lebih besar dibanding
orang dewasa. Kebutuhan air pada anak untuk setiap kilogram berat badannya pun
lebih banyak dibanding orang dewasa. Ada beberapa aspek yang menyebabkan hal
tersebut, di antaranya; luas permukaan tubuh anak relatif lebih besar sehingga
kehilangan air melalui kulit lebih banyak, fungsi konsentrasi air kemih oleh ginjal
yang belum sempurna, dan frekuensi nafas yang lebih cepat.Air juga sangat
dibutuhkan dalam proses pertumbuhan.
Cairan dan elektrolit di dalam tubuh merupakan satu kesatuan yang sangat
dibutuhkan oleh sel-sel dalam tubuh agar dapat menjaga dan mempertahankan
fungsinya. Komposisi cairan dan elektrolit di dalam tubuh sudah diatur sedemikian
rupa agar keseimbangan fungsi organ vital dapat dipertahankan. Apabila terjadi
gangguan keseimbangan, baik cairan atau elektrolit, maka akan memberikan
pengaruh pada yang lainnya. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dalam
tubuh dapat terjadi pada keadaan diare, muntah-muntah, sindrom malabsorbsi,
ekskresi keringat yang berlebih pada kulit, pengeluaran cairan yang tidak bias
(insesible water loss) secara berlebihan oleh paru-paru, perdarahan, berkurangnya
kemampuan pada ginjal dalam mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit dalam
tubuh. Dalam keadaan tersebut, pasien perlu diberikan terapi cairan agar volume
cairan tubuh yang hilang, dengan segera dapat digantikan.
Terapi cairan merupakan terapi yang sangat mempengaruhi keberhasilan penanganan
pasien kritis. Selain dapat mengganti cairan yang hilang, terapi cairan dapat dilakukan
untuk mengganti kehilangan cairan yang sedang berlangsung, mencukupi kebutuhan
per hari, mengatasi syok, dan mengatasi kelainan akibat terapi lain. Administrasi
terapi cairan melalui intravena adalah salah satu rute terapi yang paling umum dan
penting dalam pengobatan pasien bedah, medis dan sakit kritis. Pemilihan pemberian
terapi cairan untuk perbaikan dan perawatan stabilitas hemodinamik pada tubuh
cukup sulit, karena pemilihannya tergantung pada jenis dan komposisi elektrolit dari
cairan yang hilang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Cairan Tubuh
Komponen terbesar dari tubuh adalah air. Air merupakan pelarut bagi semua yang
terlarut. Air tubuh total atau total body water (TBW) adalah persentase dari berat air
dibagi dengan berat badan total, yang bervariasi berdasarkan kelamin, umur, dan
kandungan lemak yang ada di dalam tubuh. Kandungan air dalam tubuh sampai
sekitar 60 persen pada laki laki dewasa. Sedangkan untuk wanita dewasa terkandung
50 persen dari total berat badan. Pada neonatus dan anak-anak, presentase ini relatif
lebih besar dibandingkan orang dewasa. Pada fetus, ekstraseluler lebih banyak dari
intraseluler, dan ekstraseluler menurun seiring pertambahan usia.Cairan ekstraseluler
menurun tajam setelah lahir sebagian besar karena postnatal diuresis, disamping
karena peningkatan pertumbuhan sel dan penurunan relatif rata-rata pertumbuhan
kolagen terhadap otot selama awal kehidupan
Gambar 1. Proporsi berat badan dan cairan dalam tubuh
TBW dibagi dalam 2 komponen utama yaitu cairan intraseluler (CIS) dan cairan
ekstra seluler (CES)
Best Practice & Research Clinical Anaesthesiology 23 (2009) 145–157
Gambar 2. Persentase total body weight (TBW)
Cairan intra seluler merupakan 40% dari TBW. Komposisi CIS dan kandungan airnya
bervariasi menurut fungsi jaringan yang ada. Misalnya, jaringan lemak memiliki
jumlah air yang lebih sedikit dibanding jaringan tubuh lainnya. Komposisi dari CIS
bervariasi menurut fungsi suatu sel. Namun terdapat perbedaan umum antara CIS dan
cairan interstitial. CIS mempunyai kadar Na+, Cl- dan HCO3- yang lebih rendah
dibanding CES dan mengandung lebih banyak ion K+ dan fosfat serta protein yang
merupakan komponen utama intra seluler.
Komposisi CIS ini dipertahankan oleh membran plasma sel dalam keadaan stabil
namun tetap ada pertukaran. Transpor membran terjadi melalui mekanisme pasif
seperti osmosis dan difusi, yang mana tidak membutuhkan energi sebagaimana
transport aktif.
Sekitar sepertiga dari TBW merupakan cairan ekstraseluler (CES), yaitu seluruh
cairan di luar sel. Dua kompartemen terbesar dari cairan ekstrasluler adalah cairan
interstisiel, yang merupakan tiga perempat cairan ekstraseluler, dan plasma, yaitu
seperempat cairan ekstraseluler. Plasma adalah bagian darah nonselular dan terus
menerus berhubungan dengan cairan interstisiel melalui celah-celah membran kapiler.
Celah ini bersifat sangat permeabel terhadap hampir semua zat terlarut dalam cairan
ekstraseluler, kecuali protein. Karenanya, cairan ekstraseluler terus bercampur,
sehingga plasma dan interstisiel mempunyai komposisi yang sama kecuali untuk
protein, yang konsentrasinya lebih tinggi pada plasma.
Cairan transeluler merupakan cairan yang disekresikan dalam tubuh terpisah dari
plasma oleh lapisan epithelial serta peranannya tidak terlalu berarti dalam
keseimbangan cairan tubuh, akan tetapi pada beberapa keadaan dimana terjadi
pengeluaran jumlah cairan transeluler secara berlebihan maka akan tetap
mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh. Cairan yang termasuk
cairan transseluler yaitu :Cairan serebrospinal, cairan dalam kelenjar limfe, cairan
intra okular, cairan gastrointestinal dan empedu, cairan pleura, peritoneal, dan
perikardial.
Natrium merupakan kation utama ekstraseluler dan aktif secara osmotik menjaga
volume intravaskuler dan interstisial. Kalium merupakan kation utama intraseluler,
sehingga ber-peranan menjaga osmolalitas intrasel dan memelihara volume sel.
Kalium penting untuk membangkitkan sel-sel saraf dan otot, bertanggung jawab
terhadap kontraktilitas otot (bercorak maupun polos) terutama otot jantung.
Tabel 1. Komposisi cairan tubuh dalam plasma, interstitial dan intraseluler
Kebutuhan Air dan Elektrolit
1 kcal = 1 ml H2O.
1. Bila berat badan anak adalah 8 kg, maka kebutuhan air dalam 24 jam adalah 800
mL
2. Bila berat badan anak adalah 15 kg, maka kebutuhan air dalam 24 jam adalah 1250
mL
3. Bila berat badan anak adalah 30 kg, maka kebutuhan air dalam 24 jam adalah 1700
mL
Natrium : 2 – 4 mEq/100mlH2O/hari.
Kalium : 1 – 2 mEq/100mlH2O/hari.
Klorida : 2 – 4 mEq/100mlH2O/hari.
Orang dewasa:
Hiperventilasi
Anak-anak memerlukan cairan dan elektrolit lebih banyak dari pada dewasa, karena
itu mudah terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Hal ini karena:
-Insensible loss yang tinggi (minute ventilation tinggi, rasio surface area : volume
tinggi, epidermis immature pada bayi preterm).
Cairan tubuh terdiri dari air, elektrolit dan non elektrolit. Air sebagai pelarut,
elektrolit dan non elektrolit sebagai terlarut. Distribusi antar kompartemen ditentukan
oleh permeabilitas membran dan osmolal gradient. Walaupun demikian
keseimbangan-nya menganut hukum iso-osmolaritas, neutralitas elektron dan
keseimbangan asam basa.
Selain permeabilitas kapiler dan colloid osmotic pressure, jumlah cairan interstitial
dipengaruhi tekanan hidrostatik kapiler (hukum Starling). Air dari ruang interstitial
dibawa oleh saluran lymphe melalui duktus thorasikus ke vena cava. Tidak ada
hubungan antara osmolalitas dengan volume cairan ekstraseluler. Hipo atau
hiperosmolar dapat berhubungan dengan volume yang kurang, normal, atau berlebih.
Perpindahan air dan zat terlarut di antara bagian-bagian tubuh melibatkan mekanisme
transport pasif dan aktif. Mekanisme transport pasif tidak membutuhkan energi
sedangkan mekanisme transport aktif membutuhkan energi. Difusi dan osmosis
adalah mekanisme transport pasif. Sedangkan mekanisme transport aktif berhubungan
dengan pompa Na-K yang memerlukan ATP.
a. Osmosis
Tekanan osmotik plasma darah ialah 285 ± 5 mOsm/L. Larutan dengan tekanan
osmotik kira-kira sama disebut isotonik (NaCl 0,96%, Dekstrosa 5%, Ringer-laktat),
lebih rendah disebut hipotonik (akuades) dan lebih tinggi disebut hipertonik.
b. Difusi
Difusi ialah proses bergeraknya molekul lewat pori-pori. Larutan akan bergerak dari
konsentrasi tinggi ke arah larutan berkonsentrasi rendah. Tekanan hidrostatik
pembuluh darah juga mendorong air masuk berdifusi melewati pori-pori tersebut. Jadi
difusi tergantung kepada perbedaan konsentrasi dan tekanan hidrostatik.
Pompa natrium kalium merupakan suatu proses transport yang memompa ion natrium
keluar melalui membran sel dan pada saat bersamaan memompa ion kalium dari luar
ke dalam. Tujuan dari pompa natrium kalium adalah untuk mencegah keadaan
hiperosmolar di dalam sel.
Air melintasi membran sel dengan mudah, tetapi zat-zat lain sulit atau diperlukan
proses khusus supaya dapat melintasinya, karena itu komposisi elektrolit di dalam
dan di luar sel berbeda. Cairan intraselular banyak mengandung ion K, ion Mg dan
ion fosfat, sedangkan ekstraselular banyak mengandung ion Na dan ion Cl.
Gangguan cairan tubuh dapat dibagi dalam tiga bentuk yakni perubahan :
1. Volume,
2. Konsentrasi,
3. Komposisi.
Ketiga macam gangguan tersebut mempunyai hubungan yang erat satu dengan yang
lainnya sehingga dapat terjadi bersamaan. Namun demikian, dapat juga terjadi secara
terpisah atau sendiri yang dapat member gejala-gejala tersendiri pula. Yang paling
sering dijumpai dalam klinik adalah gangguan volume.
1. Perubahan Volume
Defisit Volume
Pada keadaan akut, kehilangan cairan yang cepat akan menimbulkan tanda gangguan
pada susunan saraf pusat dan jantung. Pada kehilangan cairan yang lambat, lebih
dapat ditoleransi sampai defisit volume cairan ekstraseluler yang berat.
Dehidrasi
2. Perubahan Konsentrasi
Defisit natrium (mEq total) = (Na serum yang diinginkan – Na serum sekarang) x
0,6 x BB (kg)
Defisit Klorida (mEq total) = (Cl serum yang diinginkan [mEq/liter] – Cl serum
yang diukur) x 0,45 x BB (kg)
3. Perubahan komposisi
Perubahan komposisi dapat terjadi tersendiri tanpa mempengaruhi osmolaritas cairan
ekstraseluler. Sebagai contoh misalnya kenaikan konsentrasi K dalam darah dari 4
mEq menjadi 8 mEq, tidak akan mempengaruhi osmolaritas cairan ekstraseluler tetapi
sudah cukup mengganggu otot jantung. Demikian pula halnya dengan gangguan ion
kalsium, dimana pada keadaan hipokalsemia kadar Ca kurang dari 8 mEq, sudah akan
timbul kelainan klinik tetapi belum banyak menimbulkan perubahan osmolaritas.
B. Terapi Cairan
Resusitasi cairan
Terapi rumatan
Bertujuan untuk memelihara keseimbangan cairan tub uh dan nutrisi yang diperlukan
oleh tubuh
Hal ini digambarkan dalam diagram berikut :
Secara garis besar, cairan intravena dibagi menjadi dua, yaitu cairan kristaloid dan
koloid.
a. Cairan Kristaloid
Kristaloid berisi elektrolit (contoh kalium, natrium, kalsium, klorida). Kristaloid
tidak mengandung partikel onkotik dan karena itu tidak terbatas dalam ruang
intravascular dengan waktu paruh kristaloid di intravascular adalah 20-30 menit.
Prinsip cairan kristaloid adalah to expand the interstitiel fluid volume. Beberapa
peneliti merekomendasikan untuk setiap 1 liter darah, diberikan 3 liter kristaloid
isotonik. Kristaloid murah, mudah dibuat, dan tidak menimbulkan reaksi imun.
Larutan kristaloid adalah larutan primer yang digunakan untuk terapi intravena
prehospital. Tonisitas kristaloid menggambarkan konsentrasi elektrolit yang
dilarutkan dalam air, dibandingkan dengan yang dari plasma tubuh. Ada 3 jenis
tonisitas kritaloid, diantaranya:
- Isotonis.
Ketika kristaloid berisi sama dengan jumlah elektrolit plasma, ia memiliki
konsentrasi yang sama dan disebut sebagai “isotonik” (iso, sama; tonik,
konsentrasi). Ketika memberikan kristaloid isotonis, tidak terjadi perpindahan yang
signifikan antara cairan di dalam intravascular dan sel. Dengan demikian, hampir
tidak ada atau minimal osmosis. Keuntungan dari cairan kristaloid adalah murah,
mudah didapat, mudah penyimpanannya, bebas reaksi, dapat segera dipakai untuk
mengatasi defisit volume sirkulasi, menurunkan viskositas darah, dan dapat
digunakan sebagai fluid challenge test. Efek samping yang perlu diperhatikan
adalah terjadinya edema perifer dan edema paru pada jumlah pemberian yang
besar. Contoh larutan kristaloid isotonis: Ringer Laktat, Normal Saline (NaCl
0.9%), dan Dextrose 5% in ¼ NS
- Hipertonis
Jika kristaloid berisi lebih elektrolit dari plasma tubuh, itu lebih terkonsentrasi dan
disebut sebagai “hipertonik” (hiper, tinggi, tonik, konsentrasi). Administrasi dari
kristaloid hipertonik menyebabkan cairan tersebut akan menarik cairan dari sel ke
ruang intravascular. Efek larutan garam hipertonik lain adalah meningkatkan curah
jantung bukan hanya karena perbaikan preload, tetapi peningkatan curah jantung
tersebut mungkin sekunder karena efek inotropik positif pada miokard dan
penurunan afterload sekunder akibat efek vasodilatasi kapiler viseral. Kedua
keadaan ini dapat memperbaiki aliran darah ke organ-organ vital. Efek samping
dari pemberian larutan garam hipertonik adalah hipernatremia dan hiperkloremia.
Contoh larutan kristaloid hipertonis: Dextrose 5% dalam ½ Normal Saline,
Dextrose 5% dalam Normal Saline, Saline 3%, Saline 5%, dan Dextrose 5% dalam
RL.
- Hipotonis
Ketika kristaloid mengandung elektrolit lebih sedikit dari plasma dan kurang
terkonsentrasi, disebut sebagai “hipotonik” (hipo, rendah; tonik, konsentrasi).
Ketika cairan hipotonis diberikan, cairan dengan cepat akan berpindah dari
intravascular ke sel. Contoh larutan kristaloid hipotonis: Dextrose 5% dalam air, ½
Normal Saline.
b. Cairan Koloid
Cairan koloid mengandung zat-zat yang mempunyai berat molekul tinggi dengan
aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama
dalam ruang intravaskuler. Koloid digunakan untuk resusitasi cairan pada pasien
dengan defisit cairan berat seperti pada syok hipovolemik/hermorhagik sebelum
diberikan transfusi darah, pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan
kehilangan protein jumlah besar (misalnya pada luka bakar). Cairan koloid
merupakan turunan dari plasma protein dan sintetik yang dimana koloid memiliki
sifat yaitu plasma expander yang merupakan suatu sediaam larutan steril yang
digunakan untuk menggantikan plasma darah yang hilang akibat perdarahan, luka
baker, operasi, Kerugian dari ‘plasma expander’ ini yaitu harganya yang mahal dan
dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (walau jarang) dan dapat menyebabkan
gangguan pada cross match. Berdasarkan jenis pembuatannya, larutan koloid
terdiri dari:
1. Koloid Alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia ( 5% dan
25%). Dibuat dengan cara memanaskan plasma 60°C selama 10 jam untuk
membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selain
mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta globulin.
Selain albumin, aktivator Prekallikrein (Hageman’s factor fragments) terdapat
dalam fraksi protein plasma dan sering menimbulkan hipotensi dan kolaps
kardiovaskuler.
2. Koloid Sintetik
Dextran
Koloid ini berasal dari molekul polimer glukosa dengan jumlah yang besar.
Dextrans diproduksi untuk mengganti cairan karena peningkatan berat
molekulnya, sehingga memiliki durasi tindakan yang lebih lama di dalam
ruang intravaskular. Namun, obat ini jarang digunakan karena efek samping
terkait yang meliputi gagal ginjal sekunder akibat pengendapan di dalam
tubulus ginjal, gangguan fungsi platelet, koagulopati dan gangguan pada
cross-matching darah. Tersedia dalam bentuk Dextran 40 (Rheomacrodex)
dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70 (Macrodex) dengan berat
molekul 60.000-70.000.
1. Cairan Pemeliharaan
Lakukan penilaian cairan dan elektrolit pasien dengan anamnesis, pemeriksaan fisik,
monitor klinis, dan pemeriksaan laboratorium. Cari defisit, kehilangan yang sedang
berlangsung, distribusi yang tidak normal atau permasalahan kompleks lainnya.
Periksa kehilangan yang sedang berlangsung dan perkirakan jumlahnya dengan
mengecek untuk muntah dan kehilangan NG tube, diare, kehilangan darah yang
berlangsung. Periksa redistribusi dan masalah kompleks lainnya dengan memeriksa
pembengkakan, sepsis berat, dan lainnya. Berikan tambahan cairan dari kebutuhan
pemeliharaan rutin, mengatur sumber-sumber cairan dan elektrolit yang lain. Monitor
dan periksa ulang pasien setelah meresepkan.
Yang dimaksud adalah cairan kristaloid yang digunakan khusus, misalnya natrium
bikarbonat 7,5%, kalsium glukonas, untuk tujuan koreksi khusus terhadap
gangguan keseimbangan elektrolit.
4. Cairan Nutrisi
Cairan nutrisi biasanya digunakan untuk nutrisi parenteral pada pasien yang tidaak
mau makan, tidak boleh makan dan tidak bisa makan peroral. Jenis cairan nutrisi
parenteral pada saat ini sudah dalam berbagai komposisi baik untuk parenteral
parsial atau total maupun untuk kasus penyakit tertentu. Adapun syarat pemberian
nutrisi parenteral yaitu berupa:
Menurut National Confidential Enquiry into Patient Outcome and Death menyatakan
bahwa pasien dengan hipovolemik yang mendapatkan terapi cairan perioperative
dengan jumlah tidak adekuat mengalami peningkatan angka mortalitas 20,5%
dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan terapi cairan dengan jumlah yang
adekuat.
a. Untuk mengganti puasa diberikan cairan pemeliharaan. Pada bayi atau anak,
untuk dosis cairan pemeliharaan biasanya diberikan 4 ml/kg/BB/jam untuk 10 kg
BBI, 2 ml/kgBB/jam untuk 10 kgBB II dan 1 ml/kgBB/jam untuk seterusnya.
Selain itu jika berdasar berat badan, maka bisa digunakan sesuai rumus Holliday
and Segar.
b. Untuk koreksi defisit puasa atau dehidrasi diberikan cairan kristaloid
c. Perdarahan akut diberikan cairan kristaloid dan koloid atau transfusi
3. Mengganti cairan yang hilang dari proses evaporasi, insensible water loss dan
perdarahan operasi.
Hal yang terpenting juga berdasarkan dari kondisi klinis pasien dan prosedur
operasi yang akan pasien jalani. Jumlah kehilangan darah dapat dihitung dengan
beberapa cara diantaranya:
Jumlah darah yang tertampung di dalam botol penampung atau tabung suction
Tambahan berat kasa yang digunakan ( 1 gram = 1 ml darah )
Ditambah dengan factor koreksi sebesar 25% kali jumlah yang terukur ditambah
terhitung (jumlah darah yang tercecer dan melekat pada kain penutup lapangan
operasi).
a. Dewasa:
Pasien yang diperbolehkan makan/minum pasca bedah, diberikan cairan
pemeliharaan
Apabila pasien puasa dan diperkirakan < 3 hari diberikan cairan nutrisi dasar yang
mengandung air, eletrolit, karbohidrat, dan asam amino esensial. Sedangkan
apabila diperkirakan puasa > 3 hari bisa diberikan cairan nutrisi yang sama dan
pada hari ke lima ditambahkan dengan emulsi lemak
Pada keadaan tertentu, misalnya pada status nutrisi pra bedah yang buruk segera
diberikan nutrisi parenteral total
b. Bayi dan anak, memiliki prinsip pemberian cairan yang sama, hanya komposisinya
berbeda, misalnya dari kandungan elektrolitnya, jumlah karbohidrat dan lain – lain.
c. Pada keadaan tertentu misalnya pada penderita syok atau anemia, penatalaksanaanya
disesuaikan dengan etiologinya.
Satu atau lebih komplikasi yang terjadi pasca operasi memberikan dampak buruk dalam
jangka waktu pendek atau panjang. Pencegahan angka morbiditas pada pasca operasi
adalah kunci untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas
BAB III
KESIMPULAN
Terapi cairan secara garis besar dibagi menjadi kristaloid dan koloid.
Kristaloid merupakan larutan berbasis air yang mengandung elektrolit atau gula
yang paling sering dan paling pertama digunakan sebagai cairan resusitasi.
Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia dengan mudah di
setiap pusat kesehatan, tidak perlu dilakukan cross match, sedangkan koloid
mengandung zat-zat yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas
osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama dalam
ruang intravaskuler dan baik untuk resusitasi cairan pada pasien dengan defisit
cairan berat seperti pada syok hipovolemik/hermorhagik. Berdasarkan
penggunaannya dibagi menjadi cairan pemeliharaan, pengganti, nutrisi, dan
untuk tujuan khusus.
Jalur pemberian cairan dapat melalu kanulasi vena sentral dan perifer
dimana masing memiliki indikasi tersendiri. Pemberian cairan perioperative juga
diperlukan pada saat sebelum, selama, dan setelah atau pasca operasi.
Pemantauan kehilangan darah pada pasien perioperative juga menentukan jenis
terapi cairan yang akan diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
Kisara, A., Satoto, H., and Arifin, J., 2010. Pengelolaan Cairan Pediatrik. JAI
(Jurnal Anestesiologi Indonesia), Volume 2(2).
Ikatan Dokter Anak Indonesia., 2016. Konsensus Air pada Anak Sehat. Jakarta:
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
Kushartono, H., 2006. Terapi Cairan dan Elektrolit Pada Anak. Divisi Pediatri
Gawat Darurat Ilmu Kesehatan Anak, FK UNAIR. Surabaya
Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Management of Patients with Fluid
and Electrolyte Disturbances. Dalam Morgan & Mikhail’s Clinical
th
Anesthesiology 5 ed. New York: Mc-Graw Hill. 2013; 4 (49): h. 1107 – 40.
31
Niemi TT, Miyasitha R, Yamakage M. Colloid solutions: a clinical update.
Japanese Society of Anesthesiologist. 2010.
Hines RL, Marschall KE. Fluid, Electrolytes, and Acid-Base Disorders. Dalam
Handbook for Stoelting’s Anesthesia and Co-Existing Disease 4th ed.
Philadelphia: Elsevier Inc. 2013; 18: h.216 – 230.
Gaol, H. L., Tanto, C. & Pryambodho, 2014. Terapi Cairan. In: C. Tando, F.
Liwang, S. Hanifati & E. A. Pradipta, eds. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta:
Media Aesculapius, pp. 561-564.
Brugnolli, A, RN, MSN, Canzan F, RN, MSN, PhD. 2017. Fluid Therapy
Management in Hospitalized Patients: Results From a Cross-sectional Study
32