Anda di halaman 1dari 13

The

new engl and jour nal

of

medicine

Praktek Klinis
Perawatan pasien dewasa setelah menderita pelecehan seksual
Judith A. Linden, M.D.
Isi jurnal ini dimulai dengan gambaran kasus yang menyoroti masalah klinis yang umum. Bukti
yang mendukung berbagai strategi ini kemudian disajikan, diikuti oleh review pedoman formal,
ketika hal itu terjadi. Artikel ini berakhir dengan rekomendasi klinis dari penulis.
Seorang wanita umur 20-Tahun mendatangi unit gawat darurat dengan laporan telah menerima
pelecehan seksual 24 jam sebelumnya. Dia melaporkan bahwa seorang pria yang dia temui di pesta
kampus membawa dia ke apartemennya, dimana pria itu telah melakukan kekerasan seksual dan
memperkosanya, termasuk dengan penetrasi vagina. Dia tidak melaporkan hal ini ke polisi tetapi
menginformasikan kepada seorang teman, yang mendorongnya untuk mencari perawatan medis.
Bagaimana pasien ini harus dievaluasi dan diobati?
Masalah Klinis
Pelecehan seksual adalah istilah yang luas yang mencakup pemerkosaan, menyentuh kelamin yang
tidak diinginkan, dan bahkan melihat secara paksa atau keterlibatan dalam pornografi.
Pemerkosaan adalah istilah hukum dan di Amerika Serikat menunjuk kepada setiap penetrasi
lubang (mulut, vagina, atau anus) yang melibatkan kekerasan atau ancaman dengan kekerasan atau
ketidakmampuan (yaitu, terkait dengan usia muda atau tua, Cacat kognitif atau fisik, atau karena
diberi obat atau alkohol) dan ketidaksadaran. Definisi perkosaan termasuk percobaan
pemerkosaan, meskipun bukti percobaan perkosaan sering bergantung lebih banyak pada bukti
kekerasan.
Pelecehan seksual adalah masalah yang kompleks, dengan melibatkan aspek medis,
psikologis dan hukum. Survei yang dilakukan pada suatu populasi besar menunjukkan
lazimnya dalam jangka waktu yang panjang korban sejumlah 13-39% diantaranya wanita dan
3% diantaranya pria.1,2 Data ini adalah perkiraan yang masih rendah, karena sebagian besar
studi tidak meliputi rentan populasi (misalnya, tunawisma, gelandangan atau orang-orang
pada lembaga tertentu). Populasi tertentu yang berada pada tingkat risiko untuk serangan
seksual, meliputi penyandang cacat fisik atau mental; tunawisma; gay, lesbian, biseksual atau
transgendered; pengguna alkohol dan obat-obatan; mahasiswa; dan orang-orang di bawah
usia 24 tahun. 3,6 Pelecehan seksual yang difasilitasi oleh penggunaan alkohol dan obatobatan, yang dalam beberapa kasus yang secara sengaja digunakan oleh korban, semakin
dikenal dan lebih umum terjadi di antara mahasiwa daripada pelecehan dengan kekerasan.3,7
Hanya 16% s.d 38% dari korban pemerkosaan melaporkan pemerkosaan ke lembaga hukum, dan
hanya 17% s.d 43% melakukan evaluasi medis setelah perkosaan; sepertiga dari korban perkosaan
tidak pernah melaporkan pelecehan tersebut kepada dokter.1,2,8,9 Meskipun ulasan ini berfokus
pada evaluasi perempuan, pria juga dapat melapor setelah menderita pelecehan seksual. Pria yang
melaporkan cedera fisik mungkin lebih malu-malu untuk melaporkan bagian yang mendapat

pelecehan seksual.10
Bahkan dalam ketiadaan cedera fisik, yang terjadi di sekitar setengah dari kasus, korban sering
takut, trauma secara emosional, dan malu. Mereka sering takut bahwa mereka tidak dapat
dipercaya atau bahwa informasi tentang pemerkosaan mereka akan dirilis untuk public. 1
Mereka juga mungkin takut untuk keselamatan mereka jika mereka tahu si pelaku atau jika
pelaku memiliki akses tentang informasi pribadi mereka. 1,2 Banyak korban pemerkosaan
meragukan bahwa kasus mereka yang dituntut akan berhasil, rasa takut ini yang sering
dijadikan alasan untuk takut melapor. Di Amerika Serikat, kurang dari setengah dari kasuskasus pemerkosaan berhasil dituntut.11,12
Ulasan ini ditujukan untuk pasien dewasa yang menjadi korban kekerasan seksual dan
fokus pada perawatan jangka pendek. Merawat korban pelecehan seksual anak berbeda
dalam banyak hal, dan evaluasi dalam kasus tersebut sering mengacu kepada praktisi
yang khusus menangani secara pediatric tentang pelecehan seksual anak anak.
S t r a tegi & Bukti
Korban pemerkosaan sering pergi ke unit gawat darurat tetapi mungkin juga pergi ke dokter
perawatan primer. Jika korban ada dalam batas waktu untuk pengumpulan bukti-bukti dan ingin
memiliki bukti-bukti yang dikumpulkan, mereka harus dirujuk ke pusat perawatan lokal perkosaan
atau unit gawat darurat, menurut protokol lokal. Batas waktu untuk pengumpulan bukti tergantung
pada yurisdiksi dan berkisar dari 72 sampai 120 jam. Evaluasi dan perawatan korban pelecehan
seksual bersifat intensive dan optimal yang harus disediakan oleh tim itu termasuk dokter UGD atau
petugas medis lainnya yang mengawasi perawatan dan mengobati cedera, pemeriksa yang sudah
terlatih menangani kasus penyerangan seksual, dan pekerja sosial atau konselor yang menangani
pemerkosaan (yang memiliki keahlian reaksi akut terhadap pemerkosaan dan dapat membantu
dalam memberikan dukungan, menjelaskan pilihan, dan menjelaskan proses rumah sakit).
Konselor mengenai korban perkosaan juga mensuport keluarga dan teman-teman korban. Dalam
beberapa pusat rehabilitasi, perawat pemeriksa korban penyerangan seksual (SANE) yang memiliki
pelatihan ekstensif dan pengalaman, bertanggung jawab untuk memeriksa korban cedera, menyiapkan
dokumentasi secara objectif, dan mengumpulkan bukti sementara menjaga dan menawarkan dukungan
dan arahan kepada komunitas. Menjaga bukti penahanan memerlukan dokumen transfer dari bukti-bukti
dari semenjak file itu dibuka sampai disegel dan ditempatkan di daerah yang aman. Beberapa daerah
memiliki tim respon kasus penyerangan seksual (SART), tim yang terkoordinasi meliputi perwakilan dari
perawatan kesehatan, forensik, Lokal Krisis Center korban perkosaan, penegak hukum, dan kejaksaan.
Saat ini ada sekitar 650 SANE atau SART program di Amerika Serikat, dan program-program
ini telah terhubung dengan peningkatan sesuai dengan pedoman pengobatan medis, peningkatan
kualitas pengumpulan bukti dan kemungkinan peningkatan bahwa tuntutan yang diajukan dapat
dikabulkan/dieksekusi, dibandingkan dengan perawatan rutin.13-17
Evaluasi untuk cedera akut traumatis
Pada umumnya kasus trauma yang dilaporkan hingga dua pertiga dari korban pemerkosaan yang
melapor ke Unit Gawat Darurat lebih sering daripada genital trauma.18,19 Cedera mungkin

termasuk percobaan cekikan; cedera traumatis tumpul untuk kepala, wajah, tubuh, atau anggota
badan; dan cedera akibat penetrasi.
Luka pada saat mempertahankan diri seperti luka lecet dan memar, dapat diamati
pada tangan dan permukaan ekstensor lengan dan paha medial. Luka-luka ringan,
seperti gigitan, mungkin juga terjadi. Cedera seharusnya diperlakukan mengacu
kepada trauma protocol yang sudah ada.
Cedera Anogenital
Cedera Anogenital tidak selalu terlihat setelah serangan seksual, dan dokter harus
memahami bahwa tidak adanya cedera tersebut bukannya menandakan tidak adanya
pelecehan seksual.
Meskipun inspeksi visual mengidentifikasi cedera anogenital kurang dari setengah dari korban,
penggunaan teknik visualisasi canggih, seperti kolposkopi dan pewarnaan toluidine biru,
meningkatkan identifikasi persentase dari 53% ke 84%.18-23 Lokasi yang umum terjadi pada cedera
genital termasuk robekan atau abrasi posterior fourchette (dimana 2 labia minora bertemu secara
posterior), abrasi atau memar pada labia minora dan fossa navicularis (secara langsung pada
anterior fourchette), dan eccyhmosis atau robeknya selaput dara (Fig. 1). 24 Tingkat rata-rata cedera
genital bervariasi sesuai dengan usia korban (lebih umum pada usia muda dan lebih tua), status
perawan, tingkat resistensi, waktu dari kejadian sampai pada pemeriksaan (lebih umum jika korban
diperiksa dalam waktu 24 jam), dan jumlah pelaku pelecehan atau jenis pelecehan. Meskipun
secara relatif frekuensi cedera rendah, dokumentasi cedera seperti ini meningkatkan kemungkinan
berhasilnya penuntutan.25-28

Gambar 1. Situs anatomi pada alat kelamin bagian luar dari wanita dewasa

Catatan Forensik dan P e n g u m p u l a n B u k t i


Meskipun secara akut penilaian dan pengobatan cedera traumatis lebih diutamakan daripada
pengumpulan bukti, pengukuran harus diambil untuk memfasilitasi penyimpanan bukti di ruang
trauma. Jika pasien diangkut dari lokasi dengan ambulan, lembaran yang digunakan olehnya harus
diamankan dan dilipat untuk mempertahankan bukti, seperti serat-serat asing dan serpihanserpihan dari tindakan pelecehan seksual tersebut.
Ketika melepaskan pakaian korban yang memerlukan pemotongan, perlu dijaga agar tidak
memotong melalui lubang-lubang yang ada atau pada bekas robekan, karena ini dapat membantu
menguatkan bukti-bukti yang ada pada korban. Jika ada pengikat atau bekas ikatan pada anggota
badan atau leher, jika memotong tali tersebut jangan pada simpulnya, yang mungkin menjadi bukti
sidik jari dari pelaku. Sebelum Foley kateter ditempatkan, bukti yang mungkin berisi DNA dapat
dikumpulkan dari vagina atau penis. Foto-foto dari cedera harus diambil oleh dokter jika dari
manajemen cedera akut serius tidak memperbolehkan pelaksanaan pemeriksaan secara terperinci
pada kasus kekerasan seksual. Kinerja dari prosedur ini konsisten dengan protokol SANE yang
direkomendasikan dan mencegah hilangnya bukti-bukti penting.
Setelah pengecekan medis, pasien seharusnya ditawarkan untuk pengumpulan bukti-bukti.
Pengumpulan bukti forensik adalah proses bertingkat yang dapat dilakukan selama 6 jam atau
lebih sampai dengan selesai dan yang paling baik adalah dilakukan oleh personil yang sudah
terlatih. Tujuannya adalah untuk merekam laporan korban dari serangan, mengumpulkan dan
merekam bukti untuk mendukung laporan ini, dan mengumpulkan DNA. Teknik DNA yang sangat
sensitif dapat membantu dalam mengidentifikasi pelaku dengan mencocokan DNA terhadap
kombinasi indeks system DNA (CODIS) dari database pelaku, yang dikelola oleh FBI.
Pengumpulan bukti memerlukan persetujuan korban pada tiap tahapnya. Pemeriksa harus berhatihati untuk menjelaskan setiap tahapan dari proses pemeriksaan dan alasan di balik setiap tahap
tersebut.
Pasien harus diberi kesempatan untuk menentukan kecepatan pemeriksaan dan diingatkan pada
pilihan untuk mengurangi setiap bagian dari proses pemeriksaan.
Tempat kumpulan bukti-bukti berisi form dokumentasi sebagai panduan untuk pemeriksa. Gambar
2 meringkas rincian kejadian yang penting untuk didokumentasikan dan langkah-langkah dalam
pengumpulan sampel bukti. (Rincian tambahan disediakan dalam lampiran tambahan, tersedia
dengan teks lengkap dari artikel ini di NEJM.org.)
Medis harus memahami bahwa bukanlah tanggung jawab mereka untuk menentukan apakah
pelecehan seksual telah terjadi, karena sebuah keputusan jarang dilakukan hanya berdasarkan
pemeriksaan saja tetapi akan dibuat di ruang sidang pada saat kondisi yang tepat.
Dalam kasus pelecehan seksual yang diakibatkan oleh dugaan penggunaan alkohol atau obat, hasil
pemeriksaan toksologi secara komprehensif dapat dikirim ke laboratorium kriminal. Indikasi untuk
pengujian termasuk amnesia, kebingungan, dan hilangnya kontrol pergerakan.

Batas waktu untuk pengujian bervariasi merujuk pada yurisdiksi yang ada (biasanya, 72-96 jam).
Pasien harus memahami bahwa beberapa pemeriksaan akan mengungkap konsumsi dari obat resep
dan obat bukan resep, hasil ini dapat diterima sebagai bukti di pengadilan. Kesalahan seharusnya
tidak ditujukan kepada korban, terlepas dari apakah obat atau alkohol tersebut dikonsumsi secara
sengaja.
Pencegahan Penularan Infeksi secara Seksual
Setiap pasien seharusnya diberikan profilaksis di Unit Gawat Darurat berkenaan dengan penularan
infeksi secara seksual. Pusat Pencegahan & Pengontrol Penyakit (CDC) telah mengeluarkan
rekomendasi pengobatan untuk mencegah penularan infeksi secara seksual, meliputi gonorrhea,
chlamydia, trichomoniasis, dan hepatitis B (Tabel 1). 29 Syphilis kurang lazim, dan profilaksis
untuk gonorrhea dapat juga untuk syphilis. Kebanyakan ahli mencegah pengujian untuk infeksi
menular seksual di Unit Gawat Darurat, kecuali pengujian klinis yang ditunjukkan oleh gejalagejala. Suatu pengecualian dalam kasus dugaan pelecehan seksual terhadap anak, dimana hasil
screening positif untuk infeksi menular seksual dapat dianggap sebagai bukti pelecehan.
Jika si pelaku diketahui positif HIV, Pusat Pencegahan & Pengontrol Penyakit (CDC) juga
merekomendasikan HIV postexposure prophylaxis. Penggunaan postexposure prophylaxis untuk
HIV dalam kondisi yang lain didiskusikan di bawah ini pada area ketidakpastian.
Gambar 2.
Langkah-langkah dalam memperoleh sampel untuk pengumpulan bukti-bukti sebuah
pelecehan seksual
Step 1
Persetujuan and Lembar Isian
Checkbox Rekam Medis
Penjelasan Rekam Medis
Dokumentasi Cedera
Checkbox Cedera
Rekam Medis
Prosedur yang berkaitan dengan kelamin, masalah medis yang dapat mempengaruhi pemeriksaan
Gejala-gejala setelah kekerasan seksual
Daerah yang nyeri, pendarahan
Penjelasan terperinci dari kekerasan seksual
Perincian tentang kemungkinan terjadinya penetrasi,
Kurangnya kesadaran, penggunaan ancaman atau kekerasan
Waktu, Tempat, Area Sekitarnya
Jumlah pelaku kejahatan seksual
Ancaman, Kekerasan, Senjata, Pembatasan-Pembatasan
Jenis Penetrasi (walaupun sekecil mungkin)
Perlakuan di luar kemaluan (menjilati, meludah, menggigit)
Kehilangan kesadaran, kehilangan control pergerakan, amnesia

Aktifitas setelah perlakuan seksual


Makan atau Minum
Merokok
Muntah
Buang air kecil, buang air besar, douching, enema
Mandi atau shower
Ganti pakaian
Hubungan konsensual terakhir
Step2 Control swabs (dengan menggunakan air steril)
Step3 Uji toxic dalam waktu 72 jam; indikasi-indikasi meliputi :
Waktu hilangnya kesadaran, kurangnya control pergerakan, amnesia atau tingkat
Kebingungan. Kemungkinan pasien telah diberi obat
Step4 Sampel darah atau air liur untuk DNA korban
Step5 Oral swabs and smears (jika < 24 jam sejak oral penetration)
Step6 Potongan kuku (Jika korban menggores pelaku dengan kuku atau pada kuku terdapat
serpihan-serpihan)
Step7 Pengumpulan benda asing : mengumpulkan serpihan yang jatuh ketika pasien membuka
baju
Step8 Pengumpulan pakaian :
Pakaian dalam, pakaian yang robek yang dipakai selama kejadian
Memeriksa seluruh tubuh untuk melihat luka-luka atau sekresi, dokumentasi dengan PE
Form, mengambil gambar, jika perlu
Step9 Jika terdapat bekas gigitan, swab sedikit dengan 2 moist swabs
Step10 Head-hair combings
Dengan pasien dalam posisi lithotomy, memeriksa luka-luka dan mendokumentasikan
Step11 Pubic-hair combings
Step12 External genital swabs
Step13 Vaginal swabs and smears
Step14 Perianal swabs
Step15 Anorectal swabs and smears (jika < 24 jam sejak penetrasi)
Step16 Tambahan swabs, Swabs dari berbagai area yang kemungkinan terdapat sperma yang

mengering atau sekresi air liur


Step17 Selesaikan mengisi form dari Step1, segel dalam amplop pada kit kekerasan seksual
Table 1. Terapi Obat untuk Pencegahan Penularan Infeksi secara Seksual dan Hamil setelah
pelecehan seksual

Infection
or Condition

Recommended Treatment

Gonorrhea

Ceftriaxone (250 mg intramuscularly) or


cefixime (400 mg orally in a single dose);
azithromycin (2 g orally in a single dose) in
patients with penicillin allergy

Chlamydia

Azithromycin (1 g orally in a single dose) or


doxycycline (100 mg orally twice a day
for
7 days)

Comments
Avoid the use of ceftriaxone and cefixime in patients with severe anaphylactic reactions to
penicillin and avoid the use of
azithromycin in patients with erythromycin
allergy; drugs may cause diarrhea and
nausea
Avoid the use of doxycycline in pregnant
wom- en or in children <8 yr of age

Trichomoniasis

Metronidazole (2 g orally in a single dose)

Avoid use with alcohol; drug may cause


nausea and vomiting

Hepatitis B

Hepatitis B vaccination if not already immunized,


Administer the second dose at 12 mo and
with first dose given in the emergency
the third dose at 46 mo
department

HIV*

Combination therapy with tenofovir plus


emtric- itabine (Truvada) (1 tab orally once
a day for
28 days) or combination therapy with
lami- vudine plus zidovudine (Combivir) (1
tab orally twice a day for 28 days); if higher
risk, consider adding combination therapy
with lopinavir plus ritonavir (Kaletra) (400
mg of lopinavir and 100 mg of ritonavir
[two tabs] orally twice a day for 28 days)

Tetanus

Tetanus booster (if indicated)

Pregnancy

Levonorgestrel, or Plan B (1.5 mg orally in


a single dose)

Treat if assailant is HIV-positive and there was


significant exposure; consider risk according to type of assault, preferably in consultation with local specialist, who should also
be consulted if the patient is pregnant
Side effects are as follows Truvada: headache, diarrhea, nausea and vomiting, renal
toxicity, lactic acidosis; Combivir: headache, fatigue, insomnia, nausea and vomiting, pancreatitis, elevated liver enzymes,
neutropenia, anemia, lactic acidosis;
Kaletra: rash, nausea, vomiting, abdominal
pain, taste changes, elevated liver
enzymes

Drug may cause nausea, vomiting, vaginal


bleeding, abdominal cramping, early
or late menses

* Most experts recommend treatment if the assailant is known or suspected to be positive for the human immunodeficiency virus (HIV). Multiple regimens are available, and other regimens may be advised by specialists in HIV prophylaxis, depending on the preference of the patient, resistance pattern to antiretroviral medications in the area, and the
availability of medication. An antiemetic (e.g., ondansetron or prochlorperazine) should be prescribed, since the
medi- cations administered may cause nausea.

Pencegahan Kehamilan
Risiko kehamilan setelah pemerkosaan perkiraannya 5%.30 Progestin hanya pada darurat
kontrasepsi (1,5 mg levonorgestrel), yang diberikan dengan dosis satu kali dalam 120 jam
setelah hubungan seksual, telah terbukti menjadi 98.5% efektif dalam mencegah kehamilan.
Saat khasiat menurun dengan meningkatnya waktu ketika tidak terlindungi, obat harus diberikan
dalam 72 jam setelah terjadinya pelecehan seksual. Meskipun obat ini tidak boleh diberikan jika
orang sudah hamil, tidak menimbulkan aborsi, dan tidak ada bukti bahwa hal itu menyebabkan
kerusakan pada kehamilan. Efek samping termasuk mual, kelelahan, sakit perut, dan perdarahan
vagina.31
Intervensi Krisis dengan Dukungan Emosional
Tidak ada reaksi yang normal untuk perkosaan. Reaksi-reaksi akut berkisar dari tekanan emosional
parah sampai emosional mati rasa, saraf tawa, kemarahan, dan penolakan. Banyak korban
mengalami rasa malu, menyalahkan diri sendiri, dan keraguan diri. Penyedia Medis harus memberi
penekanan bahwa korban tidak harus disalahkan, tidak peduli apa yang terjadi sebelum terjadinya
pelecehan seksual. Longitudinal data menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual telah
menaikan resiko untuk pasca traumatic stress disorder (PTSD) (30%), depresi tinggi (30%), dan
keinginan bunuh diri (33%) atau percobaan lainnya (13%).1 Faktor risiko untuk PTSD setelah
pemerkosaan meliputi depresi sebelumnya, penyalahgunaan alkohol, dan meningkatkan keparahan
cedera selama kekerasan seksual.1
Korban pemerkosaan juga mengalami peningkatan risiko untuk masalah medis yang
kronis, nyeri panggul kronis, fibromyalgia, dan fungsional gastrointestinal disorders. 32
Penyedia perawatan harus meminta masukan dari pekerja sosial atau konselor
pemerkosaan untuk mengevaluasi segera pasien dan kondisi emosi setelahnya dan
keselamatan pasien dan merumuskan rencana keselamatan pasien.
Tindak Lanjut dan Laporan Wajib
Korban pemerkosaan harus dirujuk untuk tindak lanjut medis (pengujian untuk kehamilan,
HIV, dan hepatitis) dan juga dukungan psikiatri. Pasien harus didorong untuk menindaklanjuti
kepada dokter perawatan primer. Pusat krisis korban perkosaan dapat memberikan dukungan
yang berkelanjutan, konseling personal gratis dan layanan hukum. Beberapa wilayah hukum
mungkin mewajibkan melaporkan pemerkosaan (dengan mengidentifikasi informasi) atau
senjata yang terkait cedera pada orang dewasa. Semua wilayah hukum memerlukan laporan
adanya pelecehan seksual terhadap seorang anak, orang tua atau orang cacat.33
Area-Area yang Tidak Pasti
HIV-postexposure profilaksis mungkin diberikan jika pasien ada dalam waktu 72 jam setelah
serangan seksual, tetapi penggunaannya kontroversial dalam kasus di mana pelaku tidak
diketahui atau yang telah diketahui HIV positif. Dalam ketiadaan data dari uji secara acak, bukti
untuk penggunaan profilaksis HIV dalam kasus penyerangan seksual adalah diperkirakan dari
kajian maternalfetal transmisi dan paparan dari pekerja kesehatan. Pengobatan dengan agen
antiretroviral pada kondisi ini mengurangi tingkat penularan HIV dari 70 hingga 80%.34,35

Meskipun risiko tertular HIV dari penyerangan seksual rendah, ada laporan kasus seperti pada transmisi
literature.36,37 kejadian penularan HIV setelah terisolasi kontak seksual dengan orang HIV positif tidak diketahui
tetapi diperkirakan sekitar 1 hingga 2 kasus per 1000 setelah penetrasi vagina dan 1 sampai 3 kasus per 100
setelah penetrasi anal. Peningkatan risiko dengan tahap yang lebih tinggi dari infeksi HIV dan viral load lebih
tinggi pada si pelaku dan dengan adanya genital trauma atau kelamin bisul dan coinfections pada korban.38,39 suatu
studi melaporkan prevalensi HIV infeksi dari 1% di kalangan orang-orang terhukum yang telah dihukum akibat
pelanggaran seksual.40 Berdasarkan prevalensi ini dan risiko penularan yang sudah dilaporkan, perkiraan risiko
penularan adalah sekitar 1 atau 2 kasus per 100.000 untuk serangan vagina dan 2 atau 3 per 10.000 untuk
serangan anal (meskipun trauma yang terjadi selama serangan dapat meningkatkan risiko).
Saat ini, CDC tidak memiliki pedoman untuk HIV profilaksis dalam kasus penyerangan
seksual ketika status HIV dari si penyerang tidak diketahui, dan keputusan harus dibuat
secara individual, memperhitungkan risiko perkiraan infeksi pada pelaku, sifat serangan,
dan preferensi pasien. Korban harus mengetahui rendahnya risiko penularan,
kemungkinan efek samping obat, dan pentingnya kepatuhan yang ketat terhadap
perlakuan dan tindak lanjutnya, karena tidak tuntasnya perawatan dikaitkan dengan
peningkatan tingkat kegagalan prophylaxis.
Prosentase tindak lanjut dan penyelesaian HIV profilaksis setelah penyerangan seksual telah
dilaporkan sekitar 18-33%.41-43 Keputusan untuk memulai prophylaxis harus dibuat dalam
unit gawat darurat, setelah berkonsultasi dengan seorang spesialis lokal di HIV profilaksis jika
mungkin, dan pasien harus diberikan obat starter pack di sebuah klinik (Tabel 1). Jika tidak ada
spesialis lokal yang tersedia, 24 jam konsultasi untuk penyedia layanan tersedia di nasional
Postexposure profilaksis Hotline. (Daftar sumber daya klinis disediakan dalam lampiran
tambahan.) Pasca paparan profilaksis HIV baru saja dibahas dalam jurnal.44
Peran dari jenis psikoterapi dalam mengurangi gejala psikologis setelah perkosaan masih
belum jelas. Data pendukung yang terbatas berpotensi keuntungan dari inisiasi awal cognitive
behavioral terapi, yang melibatkan pendidikan pasien tentang reaksi normal terhadap
serangan, pelatihan relaksasi, merangsang untuk menceritakan pengalaman, paparan tentang
ketakutan (tapi dengan kondisi yang aman) dan restrukturisasi kognitif.45,46
Dalam satu uji acak, wanita yang menerima awal cognitive behavioral terapi setelah
penyerangan seksual terdapat pengurangan gejala PTSD secara signifikan daripada
mereka yang menerima hanya konseling, tetapi perbedaan tidak lagi signifikan dalam 3
months.45 lebih banyak data yang diperlukan dari percobaan secara acak & terkontrol,
untuk menilai dan membandingkan dampak dari berbagai intervensi pada risiko PTSD,
kecemasan, dan lain atau gejala sisa dari penyerangan seksual.

Petunjuk
Pedoman untuk pengobatan pasien setelah penyerangan seksual telah dikeluarkan oleh
departemen kehakiman, 47 The American College of emergency physicians, 48 dan WHO.49 The
CDC telah menerbitkan pedoman untuk pengobatan setelah paparan infeksi.29 menular seksual
(lihat lampiran tambahan untuk link ke sumber-sumber dan sumber-sumber lainnya)
Rekomendasi yang diberikan dalam artikel ini konsisten dengan panduan ini. Kongres Amerika
Obstetricians dan Gynekologis merekomendasikan skrining semua wanita untuk history sexual
assault pada setiap kunjungan dan menawarkan alat untuk membantu praktisi.50
Kesimpulan dan Rekomendasi
Pasien yang ada untuk perawatan setelah serangan seksual, seperti wanita dijelaskan dalam
vignette, pertama harus dievaluasi untuk traumatic physical injuries akut . Dia kemudian diberikan
profilaksis untuk mencegah infeksi menular seksual dan kehamilan dan, jika diindikasikan,
pengujian toxicologic untuk mengidentifikasi obat yang mungkin telah diberikan kepadanya.
Perawatan harus dikoordinasikan oleh dokter UGD, dan pasien harus diberi dukungan emosional
oleh anggota staf, konselor korban perkosaan atau pekerja sosial, dan jika ada SANE.
Pasien harus diberikan kumpulan bukti forensik (lebih bagus dilakukan oleh SANE), menurut
protokol negara. Pengumpulan bukti ditawarkan di sebagian besar negara bahkan jika pasien tidak
ingin cepat-cepat melaporkan serangan seksual ke polisi. Anggota staf harus menawarkan untuk
memanggil polisi jika korban memutuskan untuk melaporkan serangan seksual. Akhirnya,
perencanaan yang aman untuk melepas korban kekerasan seksual, termasuk rencana tindak lanjut
perawatan medis dan dukungan psikologis sangatlah penting.

No potential conf lict of interest relevant to this article was reported. Disclosure forms provided by the author are available with the full text of this
article at NEJM.org.
I thank Joan Sham, R.N., and Lucia Zuniga, R.N., of the Massachusetts SANE Program; Patricia Mitchell, R.N., James Feldman, M.D., Jeffrey
Schneider, M.D., and Andrew Ulrich, M.D., of Boston Medical Center and Boston Universit y School of Medicine; and my husband, Stephen Marcus,
for their expert review and comments on earlier versions of the manuscript; and Kathleen Shea for her assistance in the preparation of the
manuscript.
Reference s
Rape in America: a report to the nation. Arlington, VA:
National Victim Center, 1992.
2. Tjaden PG, Thoennes N. Extent, nature, and consequences
of rape victimization: findings from the National Violence
Against Women Survey. Washington, DC: National Institute of
Justice, 2006. (NCJ 210346.)
3. Krebs CP, Lindquist CH, Warner TD, Fisher BS, Martin
SL. College womens experiences with physically forced, alcohol- or other drug-enabled, and drug- facilitated sexual
assault before and since entering college. J Am Coll Health
2009;
57:639-47.
4. Acierno R, Resnick H, Kilpatrick DG, Saunders B, Best CL.
Risk factors for rape, physical assault, and posttraumatic stress
disorder in women: examination of dif- ferential multivariate
relationships. J Anx- iety Disord 1999;13:541-63.
5. Fisher BS, Cullen FT, Turner MG. The sexual victimization
of college women. Washington, DC: National Institute of
Justice, 2000. (NCJ 182369.)
6.
Balsam KF, Rothblum ED, Beauchaine TP. Victimization
over the life span: a com- parison of lesbian, gay, bisexual, and
het- erosexual siblings. J Consult Clin Psychol
2005;73:477-87.
7. Lawyer S, Resnick H, Bakanic V, Bur- kett T, Kilpatrick D.
Forcible, drug-facili- tated, and incapacitated rape and sexual
1.

assault among undergraduate women. J


Am
Coll Health 2010;58:453-60.
8. Feldhaus KM, Houry D, Kaminsky
R. Lifetime sexual assault prevalence
rates and reporting practices in an
emergency department population. Ann
Emerg Med
2000;36:23-7.
9. Tjaden PG, Thoennes N. Full report
of the prevalence, incidence, and
consequences of violence against women:
findings from the National Violence
Against Women Sur- vey. Washington,
DC: National Institute of Justice, 2000.
(NCJ 183781.)
10. Kaufman A, Divasto P, Jackson R,
Voorhees D, Christy J. Male rape
victims: noninstitutionalized assault. Am
J Psychi- atry 1980;137:221-3.
11. Spohn C, Beichner D, Davis-Frenzel
E. Prosecutorial justif ications for sexual
as- sault case rejection: guarding the
gate- way to justice. Soc Probl
2001;48:206-35.
12. Campbell R, Patterson D, Bybee
D, Dworkin ER. Predicting sexual
assault prosecution outcomes: the role of
medical forensic evidence collected by
sexual as- sault nurse examiners. Crim
Justice Behav
2009;36:712-27.
13. Crandall CS, Helitzer D. Impact
evalu- ation of a sexual assault nurse
examiner
(SANE)
program.
Washington, DC: Na- tional Institute
of Justice, 2003. (203276.)
14. Campbell R, Patterson D, Lichty
LF.

The effectiveness of sexual assault nurse


examiner (SANE) programs: a review of
psychological, medical, legal, and community outcomes. Trauma Violence Abuse
2005;6:313-29.
15. Sievers V, Murphy S, Miller JJ. Sexual
assault evidence collection more accurate
when completed by sexual assault nurse
examiners: Colorados experience. J Emerg
Nurs 2003;29:511-4.
16. Ledray LE, Simmelink K. Eff icacy
of SANE evidence
collection:
a
Minnesota
study.
J
Emerg
Nurs
1997;23:75-7.
17.
Nugent-Boracove ME, Fanf lik P,
Trout- man D, Johnson N, Burgess A, Lewis
OCon- nor A. Testing the eff icacy of
SANE/SART programs: do they make a
difference in sexual assault arrest and
prosecution out- comes? Washington,
DC: National Insti- tute of Justice, 2006.
(214252.)
18. Palmer CM, McNulty AM, DEste C,
Donovan B. Genital injuries in women reporting sexual assault. Sex Health 2004;1:
55-9.
19. Riggs N, Houry
D, Long G,
Markov- chick V, Feldhaus KM. Analysis
of 1,076 cases of sexual assault. Ann
Emerg Med
2000;35:358-62.
20. Sugar NF, Fine N, Eckert LO. Physical
injury after sexual assault: f indings of
a large case series. Am J Obstet
Gynecol
2004;190:71-6.

clinic a l pr ac tice
21. Hilden M, Schei B, Sidenius K. Genito-

anal injury in adult female victims of


sexual
assault.
Forensic
Sci
Int
2005;154:200-5.
22. Coker AL, Walls LG, Johnson JE. Risk
factors for traumatic physical injury
during sexual assaults for male and female victims. J Interpers Violence 1998;13:
605-20.
23. Cartwright PS. Factors that correlate
with injury sustained by survivors of sexual assault. Obstet Gynecol 1987;70:44-6.
24. Sommers MS. Def ining patterns of
genital injury from sexual assault: a review.
Trauma Violence Abuse 2007;8:270-80.
25. McGregor MJ, Le G, Marion SA,
Wiebe E. Examination for sexual assault:
is the documentation of physical injury
associated with the laying of charges? A
retrospective cohort study. CMAJ 1999;
160:1565-9.
26. Rambow B, Adkinson C, Frost TH,
Peterson GF. Female sexual assault: medical and legal implications. Ann Emerg
Med
1992;21:727-31.
27. Sachs CJ, Chu LD. Predictors of genitorectal injury in female victims of suspected sexual assault. Acad Emerg Med
2002;9:146-51.
28. Gray-Eurom K, Seaberg DC, Wears
RL. The prosecution of sexual assault
cases: correlation with forensic evidence.
Ann Emerg Med 2002;39:39-46.
29. Workowski KA, Berman S. Sexually
transmitted diseases treatment guidelines, 2010. MMWR Recomm Rep 2010;
59:1-110. [Erratum, MMWR Recomm Rep
2011;60:18.]
30. Holmes MM, Resnick HS, Kilpatrick
DG, Best CL. Rape-related pregnancy: estimates and descriptive
characteristics
from a national sample of women. Am J
Obstet Gynecol 1996;175:320-4.
31. von Hertzen H, Piaggio G, Ding JH,
et al. Low dose mifepristone and t wo

regimens
of
levonorgestrel
for
emergency contraception:
a
WHO
multicentre ran- domised trial. Lancet
2002;360:1803-10.
32. Paras ML, Murad MH, Chen LP, et
al. Sexual abuse and lifetime diagnosis
of so- matic disorders: a systematic
review
and meta-analysis. JAMA
2009;302:550-61.
33. Scalzo TP. Rape and
sexual
assault reporting
requirements for
competent adult victims. Alexandria,
VA: American Prosecutors Research
Institute, 2006.
34. Connor EM, Sperling RS, Gelber R,
et al. Reduction of maternal-infant
transmis- sion of human immunodef
iciency virus type 1 with zidovudine
treatment. N Engl J Med 1994;331:117380.
35. Cardo DM, Culver DH, Ciesielski
CA, et al. A casecontrol study of
HIV sero- conversion in health care
workers after percutaneous exposure.
N Engl J Med
1997;337:1485-90.
36. Vandercam B, Therasse P, Aziz
M, Lachapelle JM, Van Cangh PJ. HIV
infec- tion and rape. Acta Urol Belg
1992;60:7781.
37. Murphy S, Kitchen V, Harris JRW,
For- ster SM. Rape and subsequent
seroconver- sion
to
HIV.
BMJ
1989;299:718.
38. Boily MC, Baggaley RF, Wang L, et
al. Heterosexual risk of HIV-1 infection
per sexual act: systematic review and
meta- analysis of observational studies.
Lancet Infect Dis 2009;9:118-29.
39. Quinn TC, Wawer MJ, Sewankambo
N, et al. Viral load and heterosexual
trans- mission of human immunodef
iciency vi- rus type 1. N Engl J Med
2000;342:921-9.
40. Rich JD, Macalino G, Merchant RC,
et al. HIV seroprevalence of adult males
in- carcerated for a sexual offense in
Rhode
Island,
1994-1999.
JAMA
2002;288:164-5.
41. Linden JA, Oldeg P, Mehta SD,
Mc- Cabe KK,
LaBelle
C. HIV
postexposure prophylaxis in
sexual
assault: current

practice
and
patient
adherence to
treat- ment
recommendations in a large urban teaching hospital. Acad
Emerg Med 2005;
12:640-6.
42. Wiebe ER, Comay SE, McGregor M, Ducceschi S. Offering
HIV prophylaxis to people who have been sexually assaulted:
16 months experience in a sexual assault service. CMAJ
2000;162:641-5.
43. Du Mont J, Myhr TL, Husson H, Mac- donald S, Rachlis
A, Loutfy MR. HIV postexposure prophylaxis use among Ontario female adolescent sexual assault vic- tims: a prospective
analysis. Sex Transm Dis 2008;35:973-8.
44. Landovitz RJ, Currier JS. Postexpo- sure prophylaxis for
HIV infection. N Engl J Med 2009;361:1768-75.
45. Foa EB, Zoellner LA, Feeny NC. An evaluation of three
brief programs for fa- cilitating recovery after assault. J Trauma
Stress 2006;19:29-43.
46. Vickerman KA, Margolin G. Rape treat- ment outcome
research: empirical findings and state of the literature. Clin
Psychol Rev
2009;29:431-48.
47. A national protocol for sexual assault medical forensic
examiners. Washington, DC: Department of Justice, 2004.
(NCJ
206554.)
48. American College of Emergency Physi- cians. Management of
the patient with the complaint of sexual assault. (ht t p://w w w
.acep.org/Content.aspx?id = 29562&terms
= sexual%20assault.)
49. Guidelines for medico-legal care for victims of sexual
violence. Geneva: World Health Organization, 2003.
50. The American Congress of
Obstetri- cians and
Gynecologists. Screening tools
sexual assault. (http://ww w.acog.org/
departments/dept_notice.cfm?bulletin
= 1477&recno = 17.)
Copyright 2011 Massachusetts Medical Society.

specialties and topics at


nejm. org

Specialty pages at the Journals Web site (NEJM.org) feature articles in cardiology,
endocrinology, genetics, infectious disease, nephrology, pediatrics, and many
other medical specialties. These pages, along with collections of articles on
clinical and nonclinical topics, offer links to interactive and multimedia content
and feature recently published articles as well as material from the NEJM archive
(18121989).

Anda mungkin juga menyukai