Malassezia merupakan genus ragi lipofilik yang dapat berkolonisasi di kulit dan
menyebabkan berbagai macam penyakit kulit.1 Malassezia terdiri dari beberapa spesies yang
dibedakan berdasarkan morfologi, ultrastruktur, fisiologi dan biomolekularnya. Hingga saat
ini sudah ditemukan 14 spesies yang terdiri dari: M. globosa; M. restricta; M. obtusa; M.
slooffiae; M. sympodialis; M. Furfur; M. Pachydermatis; M. dermatis, M. japonica, M.
yamotoensis, M. caprae, M. Nana; M. Equina dan M. cuniculi.2
Kelompok genus Malassezia sudah biasa dikenal sebagai penyebab kelainan kulit
pada individu yang sehat, namun informasi tentang infeksi Malassezia hingga saat ini masih
terbatas. Sebagian besar infeksi yang disebutkan dalam literatur diasosiasikan dengan
Malassezia furfur dan Malassezia pachydermatus. Malassezia furfur yang merupakan ragi
lipofilik dan spora saprofit pada manusia, telah dianggap sebagai salah satu penyebab wabah
nosokomial pada Neonatal Intensive Care Unit (NICU) dan juga ditemukan sporadis pada
pasien immunocompromised. Sebaliknya, Malassezia pachydermatis merupakan ragi zoofilik
sering diasosiasikan dengan otitis eksterna dan dermatitis seboroik pada anjing. Meskipun M.
Pachydermatis jarang ditemukan di kulit manusia, namun dapat menyebabkan infeksi
nosokomial pada neonatus yang sakit berat.3
Peran patogenik dari Malassezia pada penyakit kulit selama ini selalu menjadi
kontroversi. Ragi Malassezia komensal telah jelas ditemukan pada kulit manusia tanpa
adanya tanda infeksi namun dengan jumlah jamur yang tinggi, seperti pada pityriasis
versicolor. Mereka juga diasosiasikan dengan kelainan kulit lain dengan karakteristik
inflamasi, seperti dermatitis seboroik, atopik dermatitis, folikulitis dan psoriasis, di mana
peran mereka dalam patogenesis tidak jelas atau di beberapa kasus menjadi spekulatif.4
Tujuan dari refrat ini adalah menjelaskan overview patogenesis, gejala klinis,
diagnosa dan tatalaksana dari berbagai macam penyakit yang disebabkan dari infeksi
Malassezia.
EPIDEMIOLOGI
Perhatian terhadap malassezia meningkat akhir – akhir ini sejak diketahui adanya
potensi hubungan antara berbagai macam penyakit kulit dengan infeksi dalam pembuluh
darah.2 Identifikasi spesies Malassezia selama ini dilakukan dengan metode biokimiawi
seperti evaluasi kemampuan penggunaan Tween atau polyethoxylated castor oil dan
hidrolisis esculin.5 Kemudian sejak tahun 2000 penggunaan kultur independen mulai
digunakan untuk mendeteksi Malassezia yang berkembang lagi saat ini teknologi dengan
menggunakan PCR untuk menganalisis sekuens gen rRNA dan rantai polimerase.6,7
Hingga saat ini tidak ada metode standar untuk menentukan penyebabaran
epidemiologi infeksi malassezia, namun perlu dicatat bahwa data epidemiologis distribusi
dengan menggunakan teknik molekular non kultur memberikan hasil yang lebih akurat,
meskipun kultur konvensional dan metode identifikasi dapat mengevaluasi lebih jauh faktor
virulensi yang mungkin ada seperti produksi fosfolipase dan indole serta sintesis melanin.8
Berdasarkan data epidemiologis dengan menggunakan kultur dapat disimpulkan
terdapat 7 spesies Malassezia yang paling sering ditemukan antara lain: M. Furfur; M.obtusa;
M. Globosa; M. Slooffiae; M. Sympodialis; M.pachydermatis dan M. Restricta. Sedangakan
penyebaran berdasarkan letak geografis memberikan distribusi yang lebih nyata misalnya M.
dermatis paling sering ditemukan di Asia Timur (Jepang dan Korea Selatan), sedangkan M.
obtusa paling sering ditemukan di Swedia, Canada, Bosnia, dan Herzegovina namun juga
dilaporkan di Iran dan Indonesia.8
Di lain pihak data epidemiologis dengan menggunakan identifikasi DNA Malassezia
dari kulit spesimen memberikan hasil yang menarik. Tidak ada perbedaan signifikan dari
distribusi spesies Malassezia yang ditemukan pada kulit relawan sehat dengan pasien
psoriasis. Selain itu juga tidak didapatkan perbedaan pada sekuens ribosomal DNA (rDNA)
pada strain yang mengkolonisasi kulit sehat dan kulit yang terkena psoriasis. Spesies
predominan yang ditemukan pada penelitian non kultur adalah jenis M. globosa dan M.
restricta di mana keduanya ditemukan di kulit hampir semua manusia. Namun hasil penelitian
ini justru menimbulkan keraguan dari potensi patogenisnya dikarenakan mereka ditemukan
baik di kulit sehat maupun kulit yang sakit sama rata. 8
PATOGENESIS
Patofisiologi dari infeksi Malassezia sebagian besar masih belum diketahui hingga
saat ini, hal ini disebabkan oleh adanya interaksi kompleks antara jamur Malassezia dengan
kulit. Pada kulit yang sehat spesies Malassezia merupakan flora normal yang biasa
ditemukan.9 Dalam keaadaan normal jamur Malassezia memanfaatkan nutrisi esensial untuk
pertumbuhan mereka tanpa menimbulkan gangguan pada kulit (Gambar 1).10 Ketika proses
ini terganggu, Malassezia akan beradaptasi dengan cara memodifikasi ekspresi enzim yang
terlibat dalam pengambilan energi, seperti lipase dan fosfolipase dan pada waktu yang sama
mensintesis sususan indole bioaktif yang bekerja menembus arylhydrocarbon receptor (AhR),
yang diekspresikan pada hampir semua tipe epidermis.10
Terdapat berbagai macam jenis interaksi antara kulit dengan Malassezia baik pada
keaadan sehat maupun pada kulit yang menunjukkan gejala klinis penyakit. Hal ini menjadi
tantangan terbesar dalam memahami proses patogenesis infeksi Malassezia. Interaksi yang
muncul antara lain (a) Malassezia komensal pada kulit sehat di mana hingga saat ini belum
ada bukti yang kuat adanya hubungan mutualistik antara spesies Malassezia dengan kulit; (b)
perubahan fungsi melanosit kulit seperti yang terjadi pityriasis versicolor, yang menghasilkan
hipo atau hiperpigmentasi kulit dengan perubahan ringan pada perisai epidermal dan tanpa
adanya tanda-tanda inflamasi; (c) inflamasi tanpa adanya pembentukan imunitas termediasi
antibodi seperti pada dermatitis seboroik dan ketombe; (d) induksi dari imunitas spesifik pada
dermatitis atopik; dan (e) invasi dan inflamasi pada folikel rambut (Malassezia folikulitis).10
PITYRIASIS VERSICOLOR
Pityriasis versicolor merupakan penyakit infeksi jamur kronis superficial yang
disebabkan oleh Malassezia yang ditandai dengan lesi kulit hiper atau hipopigmentasi
berbentuk bulat atau oval yang paling sering ditemukan pada daerah seboroik seperti leher,
dada, bagian atas lengan (Gambar 2).12 Berdasarkan hasil temuan histopatologis pada kulit
yang terkena PV menunjukkan bahwa abnormalitas folikular meliputi atrofi, degenerasi,
miniaturisasi, keratotic plugs dan dilatasi infundibular, yang disertai hiperkeratosis dan
akantosis ringan.11 Pityriasis versicolor paling sering disebabkan oleh M. globosa dan M.
furfur (Tabel 1).23 Pada umumnya lesi bersifat asimtomatik, namun kadang dapat muncul
keluhan gatal. PV paling sering muncul pada remaja dan dewasa muda, di mana aktivitas
kelenjar sebaseus berada di tingkat paling tinggi.13 Selain itu terdapat faktor-faktor lain yang
mempengaruhi antara lain suhu tinggi pada musim panas, iklim tropis dan faktor penjamu,
seperti hiperhidrosis, penggunaan kortikosteroid sistemik dan infeksi HIV.11
Tabel 1. Distribusi spesies pada pityriasis versicolor (PV), dermatitis seboroik (SD),
dermatitis atopik (AD) dan psoriasis (PS) pada spesies M. globosa (hitam) dan M.
restricta (putih).23
Penanganan PV dengan menggunakan terapi topikal dan sistemik menggunakan
golongan azole sudah dirasakan cukup efektif. PV relatif lebih mudah diterapi dengan
menggunakan terapi antijamur topikal, namun angka rekurensi juga lebih besar. Dokter kulit
dapat mempertimbangkan penggunaan terapi profilaksis pada pasien yang mengalami
kambuhan yang sering dengan menggunakan single dose itraconazole 400mg sekali
sebulan.11
DERMATITIS SEBOROIK
Dermatitis Seboroik merupakan salah satu kelainan kulit yang sering terjadi,
bervariasi dari bentuk ringan berupa skuama halus sampai papul eritematosa dengan skuama
kasar berminyak dan kekuningan dengan krusta pada area predileksi disertai rasa gatal dan
tidak nyaman (Gambar 3).15 Predileksinya adalah area yang memiliki banyak kelenjar sebasea
termasuk skalp, lipatan nasolabial, alis, belakang telinga dan dada (Gambar 4). 11,16
Banyak pasien dewasa biasanya memiliki kulit yang berminyak dan skuama berwarna
putih kekuningan hingga abu-abu. Dermatitis seboroik pada orang dewasa dapat berlangsung
lama, dan melewati periode remisi serta eksaserbasi. Sebagian besar kasus dapat terkontrol
secara adekuat, tergantung dari pengobatan dan faktor lainnya.12 Pada bayi, sering ditemukan
skuama kekuningan berminyak yang melekat pada kepala disebut cradle cap. Untuk bentuk
yang ringan, dapat sembuh dengan menggunakan pencuci rambut yang mengandung sulfur,
asam salisilat atau keduanya secara rutin. Namun apabila tidak ditangani dengan baik dan
cepat, skuama dapat berakumulasi disertai inflamasi dan infeksi sekunder (Gambar 5).12
DERMATITIS ATOPIK
Dermatitis atopik merupakan kelainan inflamasi kulit yang sering diakibatkan oleh
penyebab atopik, seperti rhinitis alergi dan asma dengan profil dominan sitokin Th2. 5 Ciri
khas dari DA adalah penyakit kronis, bentuk kambuhan dari eczema dengan gatal yang parah,
gangguan barrier, berkembang di kulit yang kering dan sensitisasi terhadap lingkungan dang
alergi makan yang dimediasi IgE seperti kutu rumah, mikroba, serbuk sari cedar dan
gandum.20
Beberapa penelitian dengan menggunakan PCR menunjukkan bahwa DNA spesies
Malassezia ditemukan pada 90% sampel kulit yang mengalami dermatitis atopik, dan M.
globosa serta M. restricta merupakan 2 spesies yang paling sering ditemukan pada pasien
DA. Kemudian berdasarkan analisis kuantitatif pada microbiota Malassezia ditemukan
bahwa pada pasien dengan DA berat, kolonisasi meningkat hingga 2-5 kali dibandingkan
dengan DA sedang sampai ringan dan orang sehat. Tingginya deteksi dan kolonisasi
Malassezia pada lesi DA menandakan bahwa organisme tersebut memainkan peran penting
dalam gejala eksaserbasi DA (Tabel 2).21
1. Miceli, M. H., Díaz, J. A., & Lee, S. A. (2011). Emerging opportunistic yeast
infections. The Lancet infectious diseases, 11(2), 142-151.
2. Pedrosa, A. F., Lisboa, C., & Rodrigues, A. G. (2014). Malassezia infections: a medical
conundrum. Journal of the American Academy of Dermatology, 71(1), 170-176.
3. Dokos, C., Pana, Z. D., & Tragiannidis, A. (2011). Malassezia species: A rare cause of
invasive fungal infections in immunocompromised patients. Current fungal infection
reports, 5(1), 18-22.
4. Crespo Erchiga V, Hay RJ (2010) Pityriasis versicolor and other Malasssezia skin
diseases. In: Boekhout T, Guého E, Mayser P, Velegraki A, editors. Malassezia and the
skin. Berlin Heidelberg: Springer-Verlag. pp. 175–199.
5. Sugita T, Zhang E, Tanaka T et al. (2012). Atopic dermatitis and skin fungal
microorganism. In: Jorge E-G, Itaru D, eds. Atopic dermatitis disease etiology and
clinical management. Rijeka, Croatia: InTech; 123–139.
6. Gao Z, Perez-Perez GI, Chen Y et al. (2010). Quantitation of major human
cutaneous bacterial and fungal populations. J Clin Microbiol. 3575–3581.
7. Findley K, Oh J, Yang J et al. (2013). Topographic diversity of fungal and
bacterial communities in human skin. Nature. 498: 367–370.
8. Gaitanis, G., Magiatis, P., Hantschke, M., Bassukas, I. D., & Velegraki, A. (2012). The
Malassezia genus in skin and systemic diseases. Clinical microbiology reviews, 25(1),
106-141.
9. Bolognia, JL, Jorizzo, JJ, Schaffer, JV, Callen, JP, Cerroni, L, Heymann, WR, Hruza,
GJ, Mancini, AJ, McGrath, J, Patterson, JW & Schwarz, T 2012, Dermatology, 3rd
edition. Elsevier, London.
10. Velegraki, A., Cafarchia, C., Gaitanis, G., Iatta, R. and Boekhout, T., 2015. Malassezia
infections in humans and animals: pathophysiology, detection, and treatment. PLoS
pathogens, 11(1), p.e1004523.
11. Harada K, Saito M, Sugita T, Tsuboi R (2015). Malassezia species and their associated
skin diseases. Journal of Dermatology, 42: 253–254.
12. Habif TP (2004). Clinical dermatology: a color guide to diagnosis and therapy.
Edinburgh, Mosby.pp.530-533.
13. Hay RJ. Malassezia, dandruff and seborrhoeic dermatitis: an overview. Br J Dermatol
2011; 165(Suppl 2): 2–8.
14. Rook, A. and Burns, T. (2010). Rook's textbook of dermatology. 8th ed. Chichester,
West Sussex, UK: Wiley-Blackwell, pp.32.10-32.13.
15. Zisova LG (2010). Malassezia species and seborrheic dermatitis. Folia Med (Plovdiv),
51 (1): 23-33.
16. Daili ESS, Menaldi SL, Wisnu IM (2005). Penyakit kulit yang umum di Indonesia.
Jakarta: PT Medical Multimedia Indonesia, p: 24.
17. Mahmoudabadi AZ, Zarrin M, Mehdinezhad F (2013). Seborrheic dermatitis due to
Malassezia species in Ahvaz Iran. Iranian Journal of Microbiology, 5 (3): 268-271.
18. Wolff K, Johnson RA (2009). Fitzpatrick’s color atlas and synopsis of clinical
dermatology. Edisi ke 6. The McGraw-Hill Companies, p: 48.
19. Rubenstein, R.M. and Malerich, S.A., 2014. Malassezia (pityrosporum) folliculitis. The
Journal of clinical and aesthetic dermatology, 7(3), p.37.
20. Zhang E, Tanaka T, Tajima M, et al. (2011). Anti-Malassezia-specific IgE antibodies
production in Japanese patients with head and neck atopic dermatitis: relationship
between the level of specific IgE antibody and the colonization frequency of cutaneous
Malassezia species and clinical severity. J Allergy (Cairo).2011:645-670.
21. Kaga M, Sugita T, Nishikawa A et al.(2011). Molecular analysis of the cutaneous
Malassezia microbiota from the skin of patients with atopic dermatitis of different
severities. Mycoses.54: e24–e28.
22. Zhao Y, Li L, Wang JJ et al. (2010). Cutaneous malasseziasis: four case
reports of atypical dermatitis and onychomycosis caused by Malassezia. Int J Dermatol
2010; 49: 141–145.
23. Tamraz, H., Raffoul, M., Kurban, M., Kibbi, A. G., & Abbas, O. (2013). Confluent and
reticulated papillomatosis: clinical and histopathological study of 10 cases from
Lebanon. Journal of the European Academy of Dermatology and Venereology, 27(1).
24. Boekhout, T., Guého-Kellermann, E., Mayser, P., & Velegraki, A. (Eds.).
(2010). Malassezia and the skin: science and clinical practice. Springer Science &
Business Media.
25. Zhao, Y., Li, L., Wang, J. J., Kang, K. F., & Zhang, Q. Q. (2010). Cutaneous
malasseziasis: four case reports of atypical dermatitis and onychomycosis caused by
Malassezia. International journal of dermatology, 49(2), 141-145.