Anda di halaman 1dari 16

PITRIASIS VERSIKOLOR

Definisi

Pitiriasis versikolor (PV) adalah penyakit jamur superfisial ringan akibat


infeksi kulit kronis oleh jamur lipofilik genus Malassezia spp. Manifestasi
klinis khas berupa bercak diskret atau konfluens dengan perubahan warna yang
tertutup skuama halus, terutama pada bagian atas dan ekstremitas proksimal.
Perubahan warna dapat berupa hipo-, hiperpigmentasi, dan eritematosa.
Sinonim PV antara lain tinea versikolor, dermatomycosis furfuracea, tinea
flavea, liver spots, chromophytosis, tinea alba, achromia parasitica,
malasseziasis, panu. 1,2,3

Epidemiologi

Prevalensi PV di seluruh dunia mencapai 50% pada daerah panas, lembab dan
hanya 1,1% pada daerah beriklim dingin dan merupakan dermatomikosis
terbanyak kedua di antara dermatofitosis lain di Indonesia. 2,3 Lingkungan yang
hangat dan lembab diperkirakan menjadi salah satu faktor pencetus. Indonesia
terletak pada garis ekuator dengan temperatur sepanjang tahun sekitar 30°C dan
kelembaban 70%. PV lebih banyak dijumpai pada kelompok usia dewasa muda
baik laki-laki maupun perempuan. Pada laki-laki terbanyak dijumpai pada usia
21-25 tahun, sedangkan pada perempuan terbanyak dijumpai pada usia 26-30
tahun. Di daerah tropis, laki-laki cenderung lebih banyak menderita PV
dibandingkan dengan perempuan, yang dikaitkan dengan jenis pekerjaan.3

2.1.3. Etiologi dan Patogenesis


PV disebabkan oleh organisme normal pada kulit berupa jamur lipofilik
yang dahulu disebut sebagai Pityrosporum orbiculare dan Pityrosporum ovale,
tetapi saat ini telah diklasifikasikan dalam satu genus Malassezia. Awalnya
dianggap hanya satu spesies, yakni M. furfur, namun analisis genetik
menunjukkan berbagai spesies yang berbeda dan dengan teknik molekular saat
ini telah diketahui 14 spesies yaitu M. furfur, M. sympoidalis, M. globosa, M.
obtusa, M. restricta, M. slooffiae, M. dermatis, M. japonica, M. yamotoensis,
M. caprae, M. nana, M. equine, M cuniculi, dan M. pachydermatis.1,5
Malassezia spp. merupakan ragi saprofitik, dimorfik yang hidup
komensal pada kulit terutama di daerah badan, kepala, dan leher yang
cenderung banyak mengandung lemak. Beberapa studi, menunjukkan spesies
utama yang berhubungan dengan PV adalah M. furfur, M. sympoidalis, dan M.
globosa dengan perbedaan urutan spesies predominan, yang tampaknya
dipengaruhi lokasi geografis dan metode isolasi. Studi di Indonesia melaporkan
identifikasi dan isolasi Malassezia spp. dari PV di negara tropis dengan M.
furfur sebagai spesies terbanyak, diikuti dengan M. sympoidalis, dan M.
globosa dan tidak terdapat predisposisi usia, jenis kelamin, maupun lokasi
anatomi lesi untuk spesies tertentu.3,4
PV terjadi karena bentuk ragi yang saprofit pada kulit berkembang
menjadi bentuk miselium parasitik dan menimbulkan gejala klinis. Faktor -
faktor yang mempengaruhi proses tersebut antara lain lingkungan, kadar CO2
yang meningkat pada kondisi oklusif, sebum pada dewasa muda, hiperhidrosis,
penggunaan kortikosteroid sistemik, penyakit Cushing, kondisi imunosupresif,
dan malnutrisi. Kehamilan serta penggunaan kontrasepsi oral juga dianggap
memudahkan terjadinya PV. Faktor genetik yang poligenik mungkin
berpengaruh terhadap kerentanan terhadap PV, dan hal tersebut cenderung
mempengaruhi awitan yang lebih muda pada pasien laki-laki, dan tingkat
rekurensi yang tinggi pada pengobatan, serta durasi penyakit yang lebih lama.
Sejauh ini belum diketahui gen yang berperan pada kerentanan terhadap PV.
Meskipun penyebab dianggap berasal dari organisme yang normal di kulit,
diduga ada kemungkinan transmisi dari individu lain. Belum ada penjelasan
mengenai gatal yang muncul pada lesi, akan tetapi terdapat hipotesis bahwa
lingkungan yang lembab dan basah meningkatkan virulensi jamur sehingga
muncul rasa gatal segera setelah paparan sinar matahari, berkeringat, maupun
mandi.1,3,6
Crowson dan Magro, menjelaskan bahwa pada varian PV bentuk atrofi
tidak dijumpai infiltrat eosinofil di dermis sehingga dapat ditafsirkan bahwa
proses imunitas lebih didominasi oleh limfosit Th-1 dan ditandai oleh aktivasi
histiosit dan peningkatan peran sitokin interferon-γ (IFN-γ). Aktivasi histiosit
juga akan meningkatkan produksi elastase sehingga mungkin dapat
menjelaskan terjadinya elastolisis pada kasus PV yang disertai atrofi lesi.
Faktor lain pada respon imun yang diperantai oleh Th-1 adalah peningkatan
produksi TNF-α yang akan mengakibatkan apoptosis keratinosit dan rete ridge
epidermis menjadi datar. Malassezia juga mempengaruhi produksi sitokin
proinflamasi oleh sel mononuklear. Pada populasi Malassezia yang rendah,
produksi IL-1β dan TNF-α cenderung terpacu, sementara jika populasi tinggi
produksi sitokin tersebut akan terhambat. TNF-α akan menekan melanogenesis
melalui hambatan jalur NF-kB dengan menekan aktivitas promoter tirosinase.
Hal ini sesuai dengan fakta bahwa pada kasus PV dengan lesi hipopigmentasi
umumnya organisme hanya dijumpai di bagian superfisial stratum korneum.10

a. Perubahan Pigmen pada Pitriasis Versikolor

Jamur ini mampu menghalangi sinar matahari dan mengganggu proses


penggelapan kulit. Lesi hipopigmentasi yang terjadi diduga adanya peran
asam azeleat, suatu asam dikarboksilat metabolit Malassezia spp. yang
bersifat menghambat tirosinase dalam alur produksi melanin. Ukuran
melanosom yang lebih kecil dan hanya sedikit termelanisasi diproduksi,
tetapi tidak ditransfer ke keratinosit dengan baik, hal ini terjadi pada orang
dengan kulit lebih gelap. Hipopigmentasi akan menetap beberapa bulan
bahkan tahun dan menjadi lebih jelas pada musim panas dikarenakan kulit
normal sekitar menjadi lebih gelap karena paparan sinar matahari. Selain itu
Malassezia spp. menghasilkan sejumlah senyawa indol, metabolit
tryptophan-dependent yang diduga mengakibatkan hipopigmentasi tanpa
gejala inflamasi yang merupakan gambaran klinis PV pada umumnya.
Senyawa indol tersebut ada yang mempengaruhi melanogenesis dan ada
yang mampu menyebabkan downregulation proses inflamasi, antara lain.2,3,5
b. Proses Repigmentasi

Beberapa penelitian menunjukkan peran dari metabolit Malassezia


yang memiliki efek toksik pada melanosit, yaitu asam dikarboksilat dan
lipoperoksidase. Pada pemeriksaan ultrastruktural ditemukan pula kerusakan
berat dari melanosit, bervariasi mulai melanosom hingga gangguan
degenerasi mitokondria. Salah satu asam dikarboksilat yang diproduksi M.
furfur adalah asam azeleat yang mungkin menyebabkan efek sitotoksik.
Kerusakan dari melanosit ini mungkin dapat menjelaskan mengapa
repigmentasi membutuhkan waktu yang lama dari bulan hingga tahun.
Penelitian lain menunjukkan fakta bahwa skuama dari PV menghambat
repigmentasi. Area sekitar PV setelah terapi akan tetap hipopigmentasi
untuk periode waktu tertentu.15,16

Dengan semakin berkembangnya pengetahuan mengenai patogenesis


perubahan pigmen pada PV maka proses repigmentasi mulai
dipertimbangkan dengan menggunakan beberapa agen terapi baru, antara
lain penggunaan nitric oxide-liberating cream atau aplikasi solusio
cycloserine yang menghasilkan kesembuhan dengan repigmentasi cepat.7,17

Weller, dkk. mempelajari efek menguntungkan dari nitric oxide (NO)


di kulit. Peneliti ini menemukan bahwa nitric oxide diproduksi di permukaan
kulit dan berfungsi sebagai perlindungan terhadap infeksi jamur superfisial.
Melanosit dan keratinosit memproduksi nitric oxide sebagai respon sitokin
inflamasi dan produksi nitric oxide pada keratinosit dipicu oleh radiasi
ultraviolet. Nitric oxide meningkatkan aktivitas tirosinase dan
melanogenesis sehingga mampu mempercepat proses repigmentasi pada
PV.2,17

Gambaran Klinis

Gambaran klinis PV umumnya berupa makula atau patch warna putih,


merah atau kecoklatan yang tidak gatal, terkadang rasa gatal terutama saat
berkeringat. Penggunaan terminologi versikolor sangat sesuai untuk penyakit
ini karena warna skuama bervariasi dari putih kekuningan, kemerahan, hingga
coklat. Pigmentasi lesi yang muncul bervariasi bergantung dari warna pigmen
normal pasien, paparan sinar matahari, dan derajat keparahan penyakit. Pada
orang kulit putih, lesi berwarna lebih gelap dibandingkan dengan kulit normal
tetapi tidak menjadi tan pada pajanan matahari; sementara pada orang-orang
berkulit gelap, lesi cenderung lebih putih atau hipopigmentasi. Pada lesi awal
biasanya akan muncul area hipopigmentasi sedangkan pada lesi yang lebih
lama akan muncul area hiperpigmentasi, kedua hal ini dapat muncul pada satu
pasien. Lesi awal berupa makula atau patch berbatas tegas, tertutup skuama
halus yang terkadang tidak tampak jelas. Untuk menunjukkan adanya skuama
pada lesi yang kering dapat digores dengan ujung kuku sehingga batas lesi akan
tampak lebih jelas (finger nail sign) atau dengan menggunakan kaca objek,
scalpel, atau ujung kuku (coup d’ongle of Besnier). Pada penyakit yang telah
lanjut lesi akan menjadi bercak luas, berkonfluens atau tersebar. Bentuk lesi
bervariasi dan dapat ditemukan lesi seperti bentuk papuler ataupun
perifolikuler.1,2,3,18

Gambar 1. Gambaran klinis PV berdasarkan warna lesi. A. Lesi hiperpigmentasi


karena hiperemia akibat respon inflamasi dan peningkatan melanin.
B. Lesi hipopigmentasi, batas jelas dengan skuama tipis. 2
Gambar 2. Gambaran klinis PV berdasarkan bentuk lesi.
A. Bentuk makuler B. Bentuk papuler. C. Bentuk perifolikuler.2

Predileksi umumnya dimulai di dada atau punggung atas kemudian meluas


ke bahu, lengan atas, dan daerah perut. Bila penyakit tidak diobati, lesi akan
meluas ke daerah panggul, tungkai atas hingga fosa poplitea. Meskipun relatif
jarang, lesi juga dapat mengenai aksila, inguinal, atau fosa poplitea yang disebut
sebagai tipe inversa; selain itu juga terdapat pada telapak tangan dan genitalia.
Variasi klinis yang jarang terjadi dan dilaporkan secara sporadis antara lain bentuk
atrofikans, periareolar atau imbrikata.1,2,18,20
Gambaran klinis PV pada pasien dengan infeksi HIV sama dengan pasien
seronegatif HIV, hanya lebih luas, sedangkan pada pasien imunokompromais lain,
misalnya penerima cangkok organ, lebih sering terjadi folikulitis Malassezia.
Pada kasus yang lama tanpa pengobatan, lesi dapat bergabung membentuk
gambaran seperti pulau yang luas berbentuk polisiklik. Pada sebagian besar kasus
pengobatan akan menyebabkan lesi berubah menjadi makula hipopigmentasi yang
menetap.3,21,22

Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan langsung dengan larutan KOH terhadap sediaan skuama yang


berasal dari kerokan atau menggunakan selotip akan menunjukkan hifa atau
miselia jamur yang seperti putung rokok pendek, berbentuk seperti huruf i,j, dan
v, serta spora bulat atau oval dalam jumlah banyak dan cenderung bergerombol,
sehingga memberi gambaran khas sebagai spaghetti and meat ball atau banana
and grapes. Temuan miselium memastikan diagnosis, dan lebih dominan daripada
spora. Pengecatan dengan larutan KOH 10-20% dan tinta Parker biru-hitam
memberi warna biru pada jamur yang mempermudah pemeriksaan.16

Gambar 3. Gambaran spaghetti and meatballs Malassezia pada preparat


KOH 2 Pemeriksaan dengan lampu Wood juga dapat digunakan
untuk konfirmasi

diagnosis terutapa untuk bercak PV subklinis, warna kuning kehijauan akan


berpendar pada sepertiga kasus saja. Hal ini mungkin dapat disebabkan infeksi
oleh spesies non-fluoresens karena hanya M. furfur yang menghasilkan
fluorochromes. Infeksi M. furfur akan menunjukkan adanya pendaran berwarna
kuning kehijauan pada lesi yang bersisik karena adanya pityrialactone.
Pityrialactone adalah salah satu metabolit indol menyerap cahaya dan berpendar
di bawah lampu UV 365 nm. Pemeriksaan dengan lampu Wood kadangkala dapat
menunjukkan lesi yang lebih luas atau banyak dibandingkan dengan pengamatan
biasa. Perlu diketahui bahwa tidak semua lesi PV menunjukkan fluoresensi
dengan lampu Wood.1,2,3,15

Biopsi kulit jarang diperlukan untuk diagnosis PV, walaupun hifa dan spora
yang terdapat di stratum korneum dapat terlihat dengan pengecatan Periodic Acid
Schiff (PAS)atau methenamine silver. Pada lesi terdapat hiperkeratotik dan koloni
hifa dan spora, subepidermal fibroplasia, tidak ada melanosit dan infiltrat sel
radang minimal. Organisme terkadang tampak di sekitar folikel rambut dan di
sekitar muara folikel.
Penatalaksanaan Pitriasis Versikolor dan Terapi Repigmentasi

a. Terapi Topikal dan Sistemik


Beberapa agen topikal yang efektif dalam pengobatan tinea
versikolor antara lain selenium sulfida, zinc pyrition, sodium sulfasetamid,
siklopiroksolamin, begitu juga golongan azole dan preparat anti jamur
alilamin. Protokol yang digunakan secara luas dan tidak mahal yaitu
penggunaan losion selenium sulfida 2,5% yang diaplikasikan pada area
yang terkena selama 7-10 menit kemudian dibersihkan. Penggunaan harian
dipertimbangkan pada kasus yang luas, aplikasi 3-4 kali per minggu
umumnya cukup adekuat dan frekuensinya dapat diturunkan hingga sekali
atau dua kali dalam sebulan dan digunakan sebagai regimen pemeliharaan
untuk mencegah kekambuhan. Sebagai alternatif, dapat digunakan
ketokonazole shampo 2% pada area yang terkena, didiamkan selama 5
menit kemudian dibilas; pengobatan ini diulang selama tiga hari berturut-
turut. Terbinafin solusio 1% yang diaplikasikan dua kali sehari pada area
yang terkena selama 7 hari dapat memberikan kesembuhan lebih dari 80%.
Walaupun terapi topikal ideal untuk infeksi yang terlokalisir, atau ringan
terapi sistemik mungkin diperlukan untuk pasien dengan penyakit yang
luas, sering berulang, atau jika tidak berhasil dengan agen topikal.1,2
Ketokonazole, flukonazole, dan itrakonazole merupakan terapi oral
pilihan dengan berbagai variasi dosis yang efektif. Ketokonazole oral 200
mg per hari selama 7 atau 10 hari atau itrakonazole 200-400 mg per hari
selama 3-7 hari hampir secara umum efektif. Ketokonazole oral yang
diberikan dosis tunggal 400 mg merupakan regimen yang gampang
diberikan dengan hasil yang sebanding. Dosis tunggal itrakonazole 400 mg
juga menunjukkan efektivitas lebih dari 75% dan dalam satu penelitian
memiliki efektivitas yang sama dengan itrakonazole selama 1 minggu.
Flukonazole juga efektif diberikan dosis tunggal 400 mg. Terbinafin oral
merupakan suatu alilamin, tidak direkomendasikan untuk pengobatan
kelainan terkait Malassezia, karena obat ini tidak dihantarkan secara
efisien ke permukaan kulit. Potensi toksisitas obat serta interaksi melalui
pengaruh azoel pada isoenzim sitokrom P450 harus diperhatikan pada
penggunaan azole oral untuk pengobatan tinea versikolor. Pengobatan
yang paling banyak digunakan untuk pengobatan PV adalah golongan
azol, oleh karena efektivitasnya yang tinggi.30
Rekurensi yang relatif sering dan bercak hipopigmentasi yang
bertahan lama merupakan masalah paling sering dihadapi pada pengobatan
PV. Pengobatan kombinasi dengan terapi topikal dan sistemik, dapat
digunakan, meskipun belum ada pustaka yang melaporkan tentang
keuntungan terapi kombinasi tersebut. Terapi kombinasi ini dapat
digunakan, mengingat angka rekurensi dari PV yang tinggi dan adanya
faktor risiko yang sulit dihindari. 3 Sebagai contoh kombinasi topikal
sampo selenium sulfida 1,8% sekali seminggu, 1 jam sebelum mandi pagi
dan ketokonazol 400mg/minggu pada hari yang sama selama 3 bulan. Cara
tersebut dapat dipilih terutama untuk kasus dengan lesi yang luas.2,3

Tabel 1. Daftar obat untuk Pitiriasis Versikolor yang ada di Indonesia2,3

Nama Sediaan/dosis Cara penggunaan Keterangan


Obat topikal

Berbagai derivat Krim 1-2% 1-2x/hari Untuk lesi


azol, missal Terbatas
mikonazol
Terbinafin Krim 1-2x/hari Untuk lesi
terbatas. Tidak

dianjurkan FDA
untuk PV
Ketokonazole Sampo 2% 1x 5 menit/hari
sebelum mandi
Selenium sulfide Sampo 1,8% a. Minimum Mewarnai
1x10 pakaian, tidak
menit/hari untuk wajah dan
sebelum mandi
Genitalia
b. Setiap dua hari
sekali tiap
malam
sebelum tidur
Sodium tiosulfat Solusio 20-25% 2x/hari setiap hari Bau menyengat
sulit hilang,
sebaiknya tidak
untuk wajah
Propylene glycol Solusio 50% 2X/hari
Zinc pyrithioe Sampo Dioleskan 5
menit/hari selama 2
minggu

Obat sistemik
Ketoconazol Tablet 200mg a. 1 tablet/hari Perhatian pada
selama 7-10 efek samping dan
hari interaksi obat
b. Dosis tunggal
2 tablet atau
diulang hingga
4 dosis dalam 2
minggu
Itrakonasol Kapsul 100 mg a. 800-1000mg Untuk kasus
terbagi dalam 5 rekalsitran.
hari Perhatian pada
b. 200-400 efek samping dan
mg/hari selama
3-7 hari interaksi obat
c. 400 mg dosis
tunggal
Flukonasol Tablet 50 mg 400 mg dosis Tidak dianjurkan
dan 150 mg tunggal atau di FDA untuk PV
ulang setelah 2
minggu

Terapi topikal yang mengandung asam salisilat 3-6%, asam undesilenat


tolnaftat, masih dapat digunakan untuk PV lesi terbatas, meskipun
efektivitasnya lebih rendah dibandingkan dengan obat antijamur baru. Secara
in vitro, Malasseziaspp. sensitif terhadap terbinafin, akan tetapi pemberian
terbinafin oral tidak efektif untuk pengobatan PV. Sediaan terbinafin topikal
bentuk gel 1% dan solusio 1% sekali sehari dilaporkan berhasil baik pada PV
dan telah disetujui FDA (Food and Drug Association), meskipun bentuk krim
tidak dianjurkan. Studi di Indonesia menggunakan solusio 1% memberikan
hasil yang kurang memuaskan.2,3,31

Tujuan pengobatan yaitu membuat Malassezia sebagai koloni normal


atau komensal pada tubuh, bukan untuk mengeradikasi Malaseezia. Angka
kekambuhan antara 60-80% dalam 2 tahun pertama. Terapi preventif yang
dapat digunakan antara lain berupa obat topikal 1-2 kali per bulan; ketokonazol
400mg sekali sebulan atau 200mg/ hari selama tiap hari berturut-turut di awal
bulan; atau itrakonazol 2 kali 200mg/ hari setiap bulan. Meskipun demikian,
sebaiknya diobati ulang saat PV kambuh daripada pemberian terapi supresif
atau preventif dalam jangka lama.1,2,30

b. Terapi Baru

Repigmentasi memerlukan waktu yang lama sampai beberapa bulan.


Semakin berkembangnya pengetahuan mengenai patogenesis PV, sedang
dikembangkan berbagai terapi baru, antara lain penggunaan nitric oxide-
liberating cream selama 10 hari, atau aplikasi solusio cycloserine selama 5
hari, yang menghasilkan kesembuhan dengan repigmentasi cepat. Terapi
fotodinamik dengan 5-aminolevulenic acid juga digunakan untuk terapi area
terbatas. Adapalane gel juga menunjukkan efikasi yang sama dengan
ketoconazole 2% krim pada PV.

1.
Nitric oxide (NO) dikenal sebagai molekul reaktif yang terlibat dalam berbagai
fungsi sel tubuh, yaitu meningkatkan aliran darah, relaksasi otot, modulasi
respon imun, dan peningkatan fungsi ginjal. Pada beberapa kasus, tubuh
menggunakan NO sebagai perlindungan terhadap patogen dan invasi mikroba
umumnya. Nitric oxide adalah salah satu efektor sitotoksik yang penting dalam
pertahanan respon imun terhadap mikroorganisme intraseluler dan patogen,
seperti jamur, yang terlalu besar untuk difagositosis. Nitric oxide diproduksi
oleh beberapa enzim yang dikenal sebagai nitric oxide synthases. Nitric oxide
diproduksi di permukaan kulit dan berfungsi sebagai perlindungan terhadap
infeksi jamur superfisial. Melanosit dan keratinosit memproduksi NO sebagai
respon sitokin inflamasi dan produksi NO pada keratinosit dipacu sebagai
antibiotik yang efektif melawan bakteri dan sebagai lini kedua terapi untuk
infeksi Mycobacterium tuberculosis. Cycloserine bekerja dengan menghambat
enzim yaitu alanine racemase dan D-alanin ligase yang menyebabkan deplesi
D-alanin. Laporan kasus ini adalah yang pertama menunjukkan hasil yang
impresif dari aplikasi TAM inhibitor topikal untuk PV. Hasil ini mampu
menunjukkan pentingnya jalur metabolik Trp pada patogenesis PV dan
membantu mengembangkan pendekatan terapi baru serta pencegahannya.
Pembentukan metabolit dari Trp harus dihentikan pada stadium awal karena
apabila efek farmakologi telah terbentuk dan berkembang maka intervensi
terapi akan sulit.11
3. Terapi Fotodinamik
Investigasi eksperimental in vitro telah menunjukkan bahwa beberapa strain
jamur dapat menjadi tidak aktif dengan radiasi gelombang cahaya tampak
dengan adanya photosensitizer. Terapi fotodinamik telah banyak digunakan di
seluruh dunia dan terbukti efektif untuk tumor kulit begitu pula untuk penyakit
inflamasi maupun infeksi kulit lain. Pada infeksi dermatofit, secara in vitro
terapi fotodinamik menunjukkan degradasi hifa dan inaktivasi dari spora.
Jumlah cahaya yang sesuai harus menembus sampai stratum korneum dan
folikel rambut, biasanya berada pada spektrum regio cahaya merah. Kim
melaporkan penggunaan 5-aminolevulinic acid (ALA) dikombinasi dengan
terapi fotodinamik untuk lesi hiperpigmentasi PV menunjukkan hasil yang
memuaskan. ALA 20% topikal dalam petrolatum diaplikasikan pada lesi dan
ditutup dengan bahan oklusif polyurethane film. Setelah 4 jam, ALA yang
berlebih dibersihkan dan lesi disinari dengan cahaya dari diode pemancar
cahaya (gelombang cahaya 630±50nm). Intensitas cahaya yang digunakan
adalah 100 J/cm2 dan dosis cahaya yang diberikan adalah 70-80J/cm2.
Prosedur diulangi 2 minggu kemudian dengan peningkatan dosis cahaya
kelipatan 10 J/ cm2. Lesi membaik dalam 4minggu dan pasien diobservasi
sampai dengan 3bulan tanpa reinfeksi.34
4. Adapalene
Adapalene gel, derivat tretinoin adalah salah satu agen non spesifik untuk
pengobatan PV memberikan efikasi yang sama dibandingkan dengan
ketokonazole 2% krim 2 kali sehari selama 2 minggu. Adapalene, analog asam
retinoat selektif memiliki kerja yang cepat dan profil tolerabilitas yang aman
dibandingkan dengan retinoat lain. Pada pasien yang menggunakan
kortikosteroid terdapat penurunan epidermal turnover sehingga PV kerap
muncul. Adapalene diduga mampu melepaskan keratinosit abnormal dan
menormalkan kembali disfungsi keratinisasi dari keratinosit serta disfungsi
epidermal turnover pada lesi PV. Kelebihan lainnya, adapalene mampu
menurunkan sekresi sebum dari kelenjar sebasea, sehingga adapalene gel
topikal mampu menciptakan lingkungan yang kurang nyaman untuk
Malassezia spp. sehingga menurunkan propagasi Malassezia spp. dan jumlah
spora serta hifa dengan cara eliminasi bersamaan dengan lepasnya keratinosit
abnormal pada lapisan keratin. Hal ini menyebabkan PV lebih mudah diobati.
Pada salah satu mekanisme lesi hiperpigmentasi dinyatakan bahwa faktor
inflamasi turut berperan. Adapalene memiliki aktivitas anti inflamasi.
Berdasarkan kemampuan imunomodulasi, banyak penelitian yang menemukan
bahwa adapalene gel topikal mengurangi reaksi inflamasi. Efek imunomodulasi
dari adapalene gel topikal akan menurunkan reaksi inflamasi pada lesi PV
sehingga akan memperbaiki gejala klinis. Dengan demikian walaupun
adapalene bukan golongan anti jamur, akan tetapi mampu menghilangkan
jamur dengan mengganggu lingkungan yang dibutuhkan oleh Malassezia spp.
untuk hidup. Mekanisme terapi tersebut akan mengurangi kemungkinan
resistensi obat terhadap jamur.
DAFTAR PUSAKA

1. Hay RJ and Ashbee HR. Mycology. In: Burns T, Breathnach S, Cox N,


Griffiths C, editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed. Oxford: Wiley-
Blackwell; 2010. p. 36.10 – 36.12.
2. Kimdu RV and Garg A. Yeast Infection: Candidiasis, tinea (pityriasis)
versicolor, and Malassezia (pityrosporum) folliculitis. In: Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ and Wolff K, editors. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill; 2012. p.
2298-311.
3. Radiono S, Suyoso S, Bramono K. Pitiriasis Versikolor. Dalam: Bramono K,
Suyoso S, Indriatmi W, Ramali LM, Widaty S, Ervianti E, editor.
Dermatomikosis Superfisialis. Edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2013. h.
24-34.
4. Radiono S, Suyoso S, Bramono K. Pitiriasis Versikolor. Dalam: Bramono K,
Suyoso S, Indriatmi W, Ramali LM, Widaty S, Ervianti E, editor.
Dermatomikosis Superfisialis. Edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2013. h.
24-34.
5. Gaitanis G, Magiatis P, Hantschke M, Bassukas ID, Velegrakid A. The
Malassezia genus in skin and systemic diseases. Clin Microbiol Rev 2012; 25:
106-41.
6. Mayser PA, Lang SK, Hort W. Pathogenicity of Malassezia Yeasts. In: Brakhage
AA, Zipfel PF. editors. The Mycota VI. 2nd ed. Berlin: Springer; 2008. p. 115-54.
7. Mayser P and Rieche I. Rapid reversal of hyperpigmentation in pityriasis
versicolor upon short term topical cycloserine application. Mycoses 2009; 52:
541-3.
8. Hu SW, Bigby M. Pityriasis versicolor: a systematic review of interventions. Arch
Dermatol 2010; 146:1132.
9. Mayser P and Rieche I. Rapid reversal of hyperpigmentation in pityriasis
versicolor upon short term topical cycloserine application. Mycoses 2009; 52:
541-3.
10. Crowson AN, Magro CM.Atropyhing tinea versicolor : A clinical and
histological study of 12 patients. Int J Dermatol 2003; 42: 928-32.
11. Akaberi AA, Amini SS, Hajihosseini H. An Unusual Form of Tinea Versicolor:
A Case Report. Iran J of Dermatol 2009; 12(3): 30-1.
12. Zuther K, Mayser P, Hettwer U, Wu W, Spiteller P, Kindler BL, et al. The
tryptophan aminotransferase Tam1 catalyses the single biosynthetic step for
tryptophan-dependent pigment synthesis in Ustilago maydis. Mol Microbiology
2008; 68:152-72.
13. Ashbee HR and Evans EGV. Immunology of diseases associated with species
Malassssezia. Clin Microbiol Rev 2002; 15:21-57.
14. Gaitanis G, Chasapi V, Velegraki A. Novel application of the Masson-Fontana
stain for demonstrating Malassezia species melanin like pigment production in
vitro and in clinical specimens. J Clin Microbiol 2005; 43:4147-51.
15. Erchiga VC and Hay RJ. Pityriasis Versicolor and Other Malassezia Skin
Diseases. In: Boekhout T, Gueho -Kellerman E, Mayser P, Velegraki A. editors.
Malassezia and the Skin. 9th ed. Berlin: Springer; 2010, p.175-99.
16. Oliveira JR, Mazocco VT, Steiner D. Pityriasis Versicolor. An bras Dermatol
2012; 77(5): 611-8.
17. Jowkar F, Jamshidzadeh A, Pakninyat S, Namazi MR. Efficacy of nitric oxide
liberating cream on pityriasis versicolor. J Derm Treat 2010; 21:93-6.
18. El-Gothamy ZMG. A review of pityriasis versicolor. J Egypt Wom Dermatol
Soc 2004; 1:38-43.
19. Smith BL, Koestenblatt EK, Weinberg JM. Areolar and periareolar Pityriasis
Versicolor. JEADV 2004;18:736-48.
20. Zawar V, Chuh A. Pityriasis Versicolor imbricate – overlapping parallel scale in
a novel variant of pityriasis versicolor. JEADV 2008; 22: 1143-4.
21. Venkatesen P, Prefect JR, Myers SA. Evaluation and management of fungal
infection in immunocompromissed patients. Dermatol Ther 2009; 12: 87-107.
22. Hussein MM, Naby HE, Salem AASM, Abdo HM, Hassan HM. Comparative
study for the reliability of cellophane tape and standard KOH mount in diagnosis
of pityriasis versicolor. The Gulf J of Dermatol and Venereol 2010; 17(2): 29-
34.
23. Aljabre SHM, Alzayir AAA, Abdulghani M, Osman OO. Pigmentary changes of
tinea versicolor in dark skinned patients. Int J Dermatology 2001; 40: 273-5.
24. Callen JP. Vitiligo. In: Frankel DH, editor. Field Guide to Clinical
Dermatology, 2nd ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p. 158
25. Ortonne, Jean-Paul., Passeron, Thierry. Vitiligo and Other Disorders of
Hypopigmentation. In : Bolognia, J.L., Jorizzo, J.L., Schaffer, J.V., editors.
Dermatology. 3rded. New York: Elseviers; 2012: p. 1049-74.
26. Vachiramon, V., Thadanipon, K. Postinflammatory Hypopigmentation. Clinical
and Experimental Dermatology. Thailand. 2011: 708-14.
27. Halder, Rebat, M ., Nandedkar, Maithily.A., Neal, Kenneth, W. Pigmentary
Disorders in Pigmented Skins. In: Halder, Rebat, M. Dermatology and
Dermatological Therapy of Pigmented Skins. 2006: p. 114-43.
28. Kahn IW, Schmidt B, Aberer W, Abere E. Pinta in Austria (or Cuba?) Import of
an extinct disease.
29. Westerhof W, Relyved GN, Kingswijk MM. Propionibacterium acnes and the
pathogenesis of Progressive macular hypomelanosis.
30. Mellen LA., Vallee J, Feldman SR, Fleischer AB. Treatment of pityriasis
versicolor in United States. J Dermatolog Treat 2004; 15: 89-92.
31. Budimulja U, Paul C. One-week terbinafine 1% solution in pityriasis versicolor:
twice-daily application is more effective than once-daily. J Dermatolog Treat
2002; 13: 39-40.
32. Charles AJ. Superficial cutaneous fungal infections in tropical countries.
Dermatol Ther 2009; 22:550-9.
33. Shi TW, Ren XK, Yu HX, Tang YB. Roles of Adapalene in the Treatment of
Pityriasis Versicolor. Dermatology 2012; 224:184-8.
34. Kim YC. Successful Treatment of Pityriasis Versicolor With 5-Aminolevulinic
Acid Photodynamic Therapy. Arch Dermatol Sep 2007; 143(9):1218-20.
.

Anda mungkin juga menyukai