Anda di halaman 1dari 24

4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis (TB)


2.1.1. Definisi Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang paru dan organ lainnya.
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim)
paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. Manusia
adalah satu-satunya tempat untuk bakteri tersebut menyerang (Permenkes RI,
2016)(Depkes RI, 2007).

2.1.2. Etiologi
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara
lain: M.tuberculosis, M.africanum, M. bovis, M. Leprae dsb. Yang juga dikenal
sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri Mycobacterium selain
Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran
nafas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang
terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TB
(Permenkes RI, 2016).
Mycobacterium tuberculosis juga bersifat aerob, berarti kuman ini lebih
menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya, yaitu bagian apikal
paru-paru, sehingga bagian apikal merupakan tempat predileksi penyakit
tuberkulosis. Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraselular yaitu
dalam sitoplasma makrofag. Makrofag semula yang memfagositosis malah
kemudian ditempati karena banyak mengandung lipid (Depkes, 2011).
5

2.1.3. Gejala Klinis TB Paru


Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu
atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur
darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat
badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam
meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula
pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma,
kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih
tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas,
dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Depkes, 2007).
Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan
gejala sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah
gejala respiratori.
1. Gejala respiratori
Gejala respiratori sangat bervariasi dari mulai tidak bergejala sampai
gejala yang cukup berat bergantung dari luas lesi. Gejala respiratorik
terdiri dari:
a. Batuk produktif ≥ 2 minggu.
b. Batuk darah.
c. Sesak nafas.
d. Nyeri dada.
2. Gejala sistemik
Gejala sistemik yang timbul dapat berupa:
a. Demam.
b. Keringat malam.
c. Anoreksia.
d. Berat badan menurun
(PDPI, 2011).

2.1.4. Patogenesis
6

Port de’entri kuman M.Tuberkulosis adalah saluran pernafasan, saluran


pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi tuberkulosis
terjadi melalui udara, yaitu inhalasi droplet nuclei berukuran 1-5 mikron yang
mengandung basil-basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi saat
orang tersebut batuk atau bersin. Penyakit dapat menyebar melalui kelenjar
getah bening atau pembuluh darah. Partikel dapat masuk ke alveolar bila
ukuran partikel <5 mikrometer, basil yang lebih besar tertahan di saluran
pernapasan atas atau jatuh ke tanah. Pada partikel yang berukuran lebih besar,
kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari
percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya. Namun,
pada partikel kecil, karena ukuran yang sangat kecil menyebabkan mudahnya
melewati atau menembus system mukosilier, akhirnya basil tuberkel mencapai
dan bersarang di bronkiolus dan alveolus (Depkes, 2011).
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya di bagian
bawah lobus atas paru-paru atau bagian atas lobus bawah basil tuberkel ini
membangkitkan reaksi peradangan. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh
neutrofil, kemudian baru makrofag, kemudian makrofag akan melakukan 3
fungsi penting: (Depkes, 2011)
1. Menghasilkan enzim proteolitik dan metabolit lain yang mempunyai efek
mikrobakterisidal
2. Menghasilkan mediator terlarut (sitokin) sebagai respon terhadap
M.tuberkulosis berupa IL-1, IL-6, TNF-α (Tumor Necrosis Faktor Alfa),
TGF-β (Transforming Growth Factor Beta)
3. Memproses dan mempresentasikan antigen mikobakteri pada limfosit T.
Sitokin yang dihasilkan makrofag mempunyai potensi untuk menekan
efek imunoregulator dan menyebabkan manifestasi klinis terhadap
tuberkulosis. IL-1 merupakan pirogen endogen menyebabkan demam. IL-6
akan meningkatkan produksi immunoglobulin oleh sel B yang teraktivasi,
menyebabkan hiperglobulinemia yang banyak dijumpai pada pasien
tuberkulosis. TGF berfungsi sama dengan IFN untuk meningkatkan metabolit
nitrit oksida dan membunuh bakteri serta diperlukan untuk pembentukan
granuloma untuk mengatasi infeksi mikobakteri. Selain itu, TNF dapat
menyebabkan efek pathogenesis seperti demam dan nekrosis jaringan yang
7

merupakan ciri khas tuberkulosis. Sedangkan TGF menekan proliferasi sel T


dan menghambat fungsi efektor makrofag (Depkes, 2011).
Karbohidrat dan komponen glikolipid pada dinding sel mikobakteri sama
fungsinya dengan protein yang disekresikan yaitu akan meningkatkan efek
imunosupresi makrofag pada pasien TB. Lipoarabinoman, suatu kompleks
heteropolisakarida yang terletak didalam membrane sel mikobakteri akan
menekan respon proliferasi terhadap M.tuberkulosis melalui rangsangan
terhadap makrofag oleh IFN dan akan mengambil radikal bebas oksigen serta
menghambat kerusakan oleh pathogen intraseluler. Dengan menghindari
aktivasi makrofag, lipoarabinoman yang berasal dari strain M.tuberkulosis
virulen berperan sebagai faktor virulen yang menyebabkan organisme terlepas
dari mekanisme eliminasi sitokin (Depkes, 2011).
Kuman yang bersarang di jaringan paru akan membentuk sarang
tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau sarang (focus)
Ghon. Dimana alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan akan
mengalami gejala pneumonia akut. Semua proses ini berjalan 3-8 minggu.
Kompleks primer ini dapat sembuh dengan sendirinya sehingga tidak ada sisa
yang tertinggal dan pada orang dengan system imun baik, bentuk dormant akan
akan tetap sepanjang hidup (Depkes, 2011).

2.1.5. Klasifikasi TB Paru


Berdasarkan hasil pemerikasaan sputum, TB paru dikategorikan menjadi:
1. TB Paru BTA positif
a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan BTA positif.
b. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
c. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan positif.

2. TB Paru BTA Negatif


a. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran
klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif.
b. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan
menunjukkan tuberkulosis positif (PDPI, 2011).
8

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi


beberapa tipe pasien, yaitu:
1. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
3. Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif.
4. Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
5. Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain
untuk melanjutkan pengobatannya.
6. Kasus Lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas. Dalam
kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil
pemeriksaan masih BTA (+) setelah selesai pengobatan ulangan (Depkes,
2007).

2.1.6. Suspek dan Diagnosis TB


Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis,
pemeriksaan klinis, pemeriksaan labotarorium dan pemeriksaan penunjang
lainnya (Permenkes RI, 2016).
1. Keluhan dan hasil anamnesis meliputi: (Permenkes RI, 2016)
Keluhan yang disampaikan pasien, serta wawancara rinci berdasar
keluhan pasien. Pemeriksaan klinis berdasarkan gejala dan tanda TB yang
meliputi:
a. Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur
darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat
badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,
demam meriang lebih dari satu bulan. Pada pasien dengan HIV positif,
9

batuk sering kali bukan merupakan gejala TB yang khas, sehingga gejala
batuk tidak harus selalu selama 2 minggu atau lebih.
b. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain
TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.
Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap
orang yang datang ke fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap
sebagai seorang terduga pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak
secara mikroskopis langsung.
c. Selain gejala tersebut, perlu dipertimbangkan pemeriksaan pada orang
dengan faktor risiko, seperti kontak erat dengan pasien TB, tinggal di daerah
padat penduduk, wilayah kumuh, daerah pengungsian, dan orang yang
bekerja dengan bahan kimia yang berrisiko menimbulkan paparan infeksi
paru.

Orang dengan gejala-gejala diatas dapat didiagnosis sebagai Suspek


Tuberculosis Paru yang berarti orang tersebut dicurigai menderita TB paru.
Diagnosis TB paru dapat ditegakkan jika sudah dilaksanakan pemeriksaan
bakteriologis seperti pemeriksaaan mikroskopis, tes cepat molekulat TB dan
biakan (Permenkes RI, 2016)

2. Pemeriksaan Laboratorium (Permenkes RI, 2016)


a. Pemeriksaan Bakteriologi
1) Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak selain berfungsi untuk menegakkan diagnosis,
juga untuk menentukan potensi penularan dan menilai keberhasilan
pengobatan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan
dengan mengumpulkan 2 contoh uji dahak yang dikumpulkan berupa
dahak Sewaktu-Pagi (SP):
a) S (Sewaktu): dahak ditampung di fasyankes.
b) P (Pagi): dahak ditampung pada pagi segera setelah bangun tidur.
Dapat dilakukan dirumah pasien atau di bangsal rawat inap
bilamana pasien menjalani rawat inap.
BTA (+) adalah jika salah satu atau kedua contoh uji dahak
menunjukkan hasil pemeriksaan BTA positif. Pasien yang menunjukkan
hasil BTA (+) pada pemeriksaan dahak pertama, pasien dapat segera
ditegakkan sebagai pasien dengan BTA (+).
2) Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) TB
10

Pemeriksaan tes cepat molekuler dengan metode Xpert MTB/RIF.


TCM merupakan sarana untuk penegakan diagnosis, namun tidak dapat
dimanfaatkan untuk evaluasi hasil pengobatan.
3) Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan dapat dilakukan dengan media padat
(Lowenstein-Jensen) dan media cair (Mycobacteria Growth Indicator
Tube) untuk identifikasi Mycobacterium tuberculosis.
11

Pengobatan TB
lini 1

Gambar 2.1. Alur Diagnosis TB Paru (Kemenkes RI, 2016).

2.1.7 Program TB Paru


Penatalaksanaan TB meliputi penemuan pasien dan pengobatan yang
dikelola dengan menggunakan strategi DOTS.

Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci: (Junaidi, 2005)


12

1. Komitmen politis
2. Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
3. Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tata
laksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan.
4. Jaminan ketersediaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang bermutu.
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian
terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan.
Saat ini Pengendalian TB melalui Gerakan Terpadu Nasional mengacu
pada STOP TB Partnership yang merupakan gerakan global sejak tahun 2000,
untuk mempercepat aksi sosial dan politik dalam rangka menghentikan
penyebaran TB di seluruh dunia. Salah satu kekuatan utama dari kemitraan
adalah kolaborasi antara komunitas penelitian TB dengan para pelaksana
program TB di lapangan, yang terwujud dalam beberapa kelompok kerja
utamanya dengan saling mengkoordinasikan (Notoadmojo, 2005).
The Partnership telah mengembangkan Rencana Global Pengendalian
TB Tahun 2006–2010 yang ditujukan untuk menselaraskan agenda global dan
mencapai target dalam Millenium Development Goals (MDGs) (Junaidi, 2005).
Tujuan penanggulangan TB Paru, antara lain:
a. Jangka Panjang .
Menurunkan angka kesakitan dan angka kematian yang diakibatkan
penyakit TB paru dengan cara memutuskan rantai penularan, sehingga
penyakit TB paru tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat
Indonesia.
b. Jangka Pendek.
1. Tercapainya angka kesembuhan minimal 85 % dari semua penderita
baru BTA positif yang ditemukan.
2. Tercapainya cakupan penemuan penderita secara bertahap sehingga
pada tahun 2006 dapat mencapai 70 % dari perkiraan semua penderita
baru BTA positif

2.1.8. Pengobatan TB (Permenkes RI, 2016)


13

Tabel 2.1. Jenis, sifat dan dosis Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Dosis yang
direkomendasikan
Jenis OAT Sifat Sediaan Dosis (mg/kg)
3x
Harian
seminggu
100 mg, 5 10
Isoniazid (H) Bakterisid Tablet
300 mg (4-6) ( 8-12)

150 mg, 10 10
Rifampicin (R) Bakterisid Tablet/Kapsul
300 mg (8-12) (8-12)
25 35
Pyrazinamide (Z) Bakterisid Tablet 400 mg
(20-30) (30-40)
Powder dalam 15 15
Streptomisin (S) Bakterisid 1g
vial (12-18) (12-18)
Bakteriosta 100 mg, 15 30
Ethambutol (E) Tablet
tik 400 mg (15-20) (20-35)
Sumber: Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis

1. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
a. Pasien baru TB paru BTA (+)
b. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks (+)
c. Pasien TB ekstra paru
2. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
a. Pasien kambuh
b. Pasien gagal
Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus)

2.1.9. Indikator Program TB


Untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator sebagai alat ukur
kemajuan program (Marker of progress). Dalam menilai kemaujuan atau
keberhasilan program pengendalian TB digunakan beberapa indikator
(Permenkes RI, 2016).
- Angka notifikasi kasus TB (Case Notification Rate=CNR)dan
- Angka keberhasilan pengobatan TB (Treatment success Rate =TSR)

Indikator penemunan TB
14

- Proporsi pasien baru TB patuh terkonfirmasi bakteriologis diantara terduga


TB
- Proporsi pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis diantara semua TB
paru diobati
- Proporsi pasien TB terkonfirmasi bakteriologis yang diobati antara pasien
TB terkonfirmasi bakteriologis
- Proporsi Pasien TB anak diantara seluruh pasien TB
- Angka penemuan kasus TB (CDR)
- Proporsi pasien TB yang di tes HIV
- Proporsi pasien TB yang di tes HIV dan hasilnya positif
- Proporsi pasien TB RR/MDR yang terkonfirmasi dibanding perkiraan
kasus TB RR/MDR yang ada
- Proporsi pasien terbukti TB RR/MDR yang dilakukan konfirmasi
pemeriksaan uji kepekaan OAT lini kedua
- Proporsi pengobatan pasien TB RR/MDR diobati diantara pasien TB
RR/MDR ditemukan

2.2. Case Detection Rate


Case detection rate (CDR) adalah presentase jumlah penderita baru BTA
positif yang ditemukan dibanding jumlah penderita baru BT positif yang
diperkirakan ada dalam wilayah tersebut. Case detection rate (CDR)
menggambarkan cakupan penemuan penderita baru BTA positif diwilayah
tersebut (Mulyadi, Suangkupon, Dermawan, 2011).
Rumus :

Angka perkiraan nasional penderita baru BTA positif adalah 130/100.000


penduduk (100 – 200 per 100.000 penduduk)

2.3. Puskesmas
2.3.1 Definisi Puskesmas
Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota
yang bertanggungjawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu
wilayah kerja (Kemenkes RI No. 128 Tahun 2004).
1. Unit Pelaksana Teknis
Sebagai unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (UPTD),
puskesmas berperan menyelenggarakan sebagian dari tugas teknis
15

operasional Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan merupakan unit


pelaksana tingkat pertama serta ujung tombak pembangunan kesehatan di
Indonesia.
2. Pembangunan Kesehatan
Pembangunan kesehatan adalah penyelenggaraan upaya kesehatan oleh
bangsa Indonesia untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan
hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat
yang optimal.
3. Penanggungjawab Penyelenggaraan
Penanggungjawab utama penyelenggaraan seluruh upaya pembangunan
kesehatan di wilayah kabupaten/kota adalah Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, sedangkan puskesmas bertanggungjawab hanya sebagian
upaya pembangunan kesehatan yang dibebankan oleh dinas kesehatan
kabupaten/kota sesuai dengan kemampuannya.
4. Wilayah Kerja
Secara nasional, standar wilayah kerja puskesmas adalah satu kecamatan,
tetapi apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari dari satu puskesmas,
maka tanggungjawab wilayah kerja dibagi antar puskesmas, dengan
memperhatikan keutuhan konsep wilayah (desa/kelurahan atau RW).
Masing-masing puskesmas tersebut secara operasional bertanggungjawab
langsung kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (Kemenkes RI No. 128
tahun 2004).

Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan


upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat
pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk
mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah
kerjanya (Permenkes RI no. 75 Tahun 2014).
Pembangunan kesehatan yang diselenggarakan di Puskesmas bertujuan
untuk mewujudkan masyarakat yang:
1. Memiliki perilaku sehat yang meliputi kesadaran, kemauan dan
kemampuan hidup sehat;
2. Mampu menjangkau pelayanan kesehatan bermutu
3. Hidup dalam lingkungan sehat; dan
16

4. Memiliki derajat kesehatan yang optimal, baik individu, keluarga,


kelompok dan masyarakat.
(Permenkes RI No. 75 Tahun 2014).

2.3.2. Upaya Kesehatan Puskesmas


Untuk tercapainya visi pembangunan kesehatan melalui puskesmas,
yakni terwujudnya Kecamatan Sehat Menuju Indonesia Sehat, puskesmas
bertanggung jawab menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan upaya
kesehatan masyarakat, yang keduanya jika ditinjau dari sistem kesehatan
nasional merupakan pelayanan kesehatan tingkat pertama. Upaya kesehatan
tersebut dikelompokkan menjadi dua yakni:
1. Upaya Kesehatan Wajib
Upaya kesehatan wajib puskesmas adalah upaya yang ditetapkan
berdasarkan komitmen nasional, regional dan global serta yang mempunyai
daya ungkit tinggi untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Upaya
kesehatan wajib ini harus diselenggarakan oleh setiap puskesmas yang ada
di wilayah Indonesia.
Upaya kesehatan wajib tersebut adalah:
a. Upaya Promosi Kesehatan
b. Upaya Kesehatan Lingkungan
c. Upaya Kesehatan Ibu dan Anak serta Keluarga Berencana
d. Upaya Perbaikan Gizi
e. Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular.
f. Upaya Pengobatan.
2. Upaya Kesehatan Pengembangan
Upaya kesehatan pengembangan puskesmas adalah upaya yang ditetapkan
berdasarkan permasalahan kesehatan yang ditemukan di masyarakat serta
yang disesuaikan dengan kemampuan puskesmas. Upaya kesehatan
pengembangan dipilih dari daftar upaya kesehatan pokok puskesmas yang
telah ada, yakni:
a. Upaya Kesehatan Sekolah
b. Upaya Kesehatan Olah Raga
c. Upaya Perawatan Kesehatan Masyarakat
d. Upaya Kesehatan Kerja
e. Upaya Kesehatan Gigi dan Mulut
f. Upaya Kesehatan Jiwa
g. Upaya Kesehatan Mata
h. Upaya Kesehatan Usia Lanjut
i. Upaya Pembinaan Pengobatan Tradisional.
17

Upaya laboratorium medis dan laboratorium kesehatan masyarakat serta


upaya pencatatan dan pelaporan tidak termasuk pilihan karena ketiga upaya ini
merupakan pelayanan penunjang dari setiap upaya wajib dan upaya
pengembangan puskesmas.
Perawatan kesehatan masyarakat merupakan pelayanan penunjang, baik
upaya kesehatan wajib maupun upaya kesehatan pengembangan. Apabila
perawatan kesehatan masyarakat menjadi permasalahan spesifik di daerah
tersebut, maka dapat dijadikan sebagai salah satu upaya kesehatan
pengembangan.
Upaya kesehatan pengembangan puskesmas dapat pula bersifat upaya
inovasi, yakni upaya lain di luar upaya puskesmas tersebut di atas yang sesuai
dengan kebutuhan. Pengembangan dan pelaksanaan upaya inovasi ini adalah
dalam rangka mempercepat tercapainya visi puskesmas.
Pemilihan upaya kesehatan pengembangan ini dilakukan oleh puskesmas
bersama Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan
masukan dari BPP. Upaya kesehatan pengembangan dilakukan apabila upaya
kesehatan wajib puskesmas telah terlaksana secara optimal, dalam arti target
cakupan serta peningkatan mutu pelayanan telah tercapai. Penetapan upaya
kesehatan pengembangan pilihan puskesmas ini dilakukan oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota. Dalam keadaan tertentu, upaya kesehatan
pengembangan puskesmas dapat pula ditetapkan sebagai penugasan oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota.
Apabila puskesmas belum mampu menyelenggarakan upaya kesehatan
pengembangan, padahal menjadi kebutuhan masyarakat, maka Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota bertanggunjawab dan wajib menyelenggarakannya.
Untuk itu Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota perlu dilengkapi dengan berbagai
unit fungsional lainnya.
Dalam keadaan tertentu, masyarakat membutuhkan pula pelayanan rawat
inap. Untuk ini di puskesmas dapat dikembangkan pelayanan rawat inap
tersebut, yang dalam pelaksanaannya harus memperhatikan berbagai
persyaratan tenaga, sarana dan prasarana sesuai standar yang telah ditetapkan.
18

Lebih lanjut, di beberapa daerah tertentu telah muncul pula kebutuhan


masyarakat terhadap pelayanan medik spesialistik. Dalam keadaan ini, apabila
ada kemampuan, di puskesmas dapat dikembangkan pelayanan medik
spesialistik tersebut, baik dalam bentuk rawat jalan maupun rawat inap.
Keberadaan pelayanan medik spesialistik di puskesmas hanya dalam rangka
mendekatkan pelayanan rujukan kepada masyarakat yang membutuhkan.
Status dokter dan atau tenaga spesialis yang bekerja di puskesmas dapat
sebagai tenaga konsulen atau tenaga tetap fungsional puskesmas yang diatur
oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.
Perlu diingat meskipun puskesmas menyelenggarakan pelayanan medik
spesialistik dan memiliki tenaga medis spesialis, kedudukan dan fungsi
puskesmas tetap sebagai sarana pelayanan kesehatan tingkat pertama yang
bertanggungjawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan dan
pelayaan kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya. (Kemenkes RI No. 128
Tahun 2004).
Upaya kesehatan masyarakat tingkat pertama meliputi upaya kesehatan
masyarakat esensial dan upaya kesehatan masyarakat pengembangan.
a. Upaya kesehatan masyarakat esensial meliputi:
pelayanan promosi kesehatan;
b. pelayanan kesehatan lingkungan;
c. Pelayanan kesehatan ibu, anak, dan keluarga berencana;
d. Pelayanan gizi
Upaya kesehatan masyarakat esensial harus diselenggarakan oleh setiap
Puskesmas untuk mendukung pencapaian standar pelayanan minimal
kabupaten/kota bidang kesehatan.
Upaya kesehatan masyarakat pengembangan merupakan upaya kesehatan
masyarakat yang kegiatannya memerlukan upaya yang sifatnya inovatif
dan/atau bersifat ekstensifikasi dan intensifikasi pelayanan, disesuaikan dengan
prioritas masalah kesehatan, kekhususan wilayah kerja dan potensi sumber
daya yang tersedia di masing-masing Puskesmas. Upaya kesehatan masyarakat
tingkat pertama yang dapat dilakukan oleh Puskesmas merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini (Permenkes RI no. 75 Tahun 2014).

2.3.3. Azas Penyelenggaraan Puskesmas


19

Penyelenggaraan upaya kesehatan wajib dan upaya kesehatan


pengembangan harus menerapkan azas penyelenggaraan puskesmas secara
terpadu. Azas penyelenggaraan puskesmas tersebut dikembangkan dari ketiga
fungsi puskesmas. Dasar pemikirannya adalah pentingnya menerapkan prinsip
dasar dari setiap fungsi puskesmas dalam menyelenggarakan setiap upaya
puskesmas, baik upaya kesehatan wajib maupun upaya kesehatan
pengembangan. Azas penyelenggaraan puskesmas yang dimaksud adalah:
1. Azas Pertanggung Jawaban
Azas penyelenggaraan puskesmas yang pertama adalah
pertanggungjawaban wilayah. Dalam arti puskesmas bertanggungjawab
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang bertempat tinggal di
wilayah kerjanya. Untuk ini puskesmas harus melaksanakan berbagai
kegiatan, antara lain sebagai berikut:
a. Menggerakkan pembangunan berbagai sektor tingkat kecamatan,
sehingga berwawasan kesehatan
b. Memantau dampak berbagai upaya pembangunan terhadap kesehatan
masyarakat di wilayah kerjanya
c. Membina setiap upaya kesehatan strata pertama yang diselenggarakan
oleh masyarakat dan dunia usaha di wilayah kerjanya
d. Menyelenggarakan upaya kesehatan strata pertama (primer) secara
merata dan terjangkau di wilayah kerjanya.
Diselenggarakannya upaya kesehatan strata pertama oleh puskesmas
pembantu, puskesmas keliling, bidan di desa serta berbagai upaya kesehatan di
luar gedung puskesmas lainnya (outreach activities) pada dasarnya merupakan
realisasi dari pelaksanaan azas pertanggungjawaban wilayah (Kemenkes RI
No. 128 Tahun 2004).
2. Azas Pemberdayaan Masyarakat
Azas penyelenggaraan puskesmas yang kedua adalah pemberdayaan
masyarakat. Dalam arti puskesmas wajib memberdayakan perorangan,
keluarga dan masyarakat, agar berperan aktif dalam penyelenggaraan
setiap upaya puskesmas. Untuk ini, berbagai potensi masyarakat perlu
dihimpun melalui pembentukkan Badan Penyantun Puskesmas (BPP).
Beberapa kegiatan yang harus dilaksanakan oleh puskesmas dalam rangka
pemberdayaan masyarakat antara lain sebagai berikut.
20

a. Upaya kesehatan ibu dan anak: posyandu, polindes, Bina Keluarga


Balita (BKB)
b. Upaya pengobatan: posyandu, Pos Obat Desa (POD)
c. Upaya perbaikan gizi: posyandu, panti pemulihan gizi, Keluarga Sadar
Gizi (Kadarzi)
d. Upaya kesehatan sekolah: dokter kecil, penyertaan guru dan orang
tua/wali murid, Saka Bakti Husada (SBH), Pos Kesehatan Pesantren
(Poskestren)
e. Upaya kesehatan lingkungan: Kelompok Pemakai Air (Pokmair), Desa
Percontohan Kesehatan Lingkungan (DPKL)
f. Upaya kesehatan usia lanjut: posyandu usila, panti wreda
g. Upaya kesehatan kerja: Pos Upaya Kesehatan Kerja (Pos UKK)
h. Upaya kesehatan jiwa: posyandu, Tim Pelaksana Kesehatan Jiwa
Masyarakat (TPKJM)
i. Upaya pembinaan pengobatan tradisional: Taman Obat Keluarga
(TOGA), Pembinaan Pengobat Tradisional (Battra) Upaya pembiayaan
dan jaminan kesehatan (inovatif): dana sehat, Tabungan Ibu Bersalin
(Tabulin), mobilisasi dana keagamaan (Kemenkes RI No. 128 Tahun
2004).

3. Azas Keterpaduan
Azas penyelenggaraan puksesmas yang ketiga adalah keterpaduan.
Untuk mengatasi keterbatasan sumberdaya serta diperolehnya hasil yang
optimal, penyelenggaraan setiap upaya puskesmas harus diselenggarakan
secara terpadu, jika mungkin sejak dari tahap perencanaan. Ada dua
macam keterpaduan yang perlu diperhatikan, yakni:
a. Keterpaduan lintas program
Keterpaduan lintas program adalah upaya memadukan penyelenggaraan
berbagai upaya kesehatan yang menjadi tanggungjawab puskesmas.
Contoh keterpaduan lintas program antara lain:
i. Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS): keterpaduan KIA dengan
P2M, gizi, promosi kesehatan, pengobatan
ii. Upaya Kesehatan Sekolah (UKS): keterpaduan kesehatan lingkungan
dengan promosi kesehatan, pengobatan, kesehatan gigi, kesehatan
reproduksi remaja dan kesehatan jiwa
iii. Puskesmas keliling: keterpaduan pengobatan dengan KIA/KB, gizi,
promosi kesehatan, kesehatan gigi
21

iv. Posyandu: keterpaduan KIA dengan KB, gizi P2M, kesehatan jiwa,
promosi kesehatan.

b. Keterpaduan lintas sektor


Keterpaduan lintas sektor adalah upaya memadukan penyelenggaraan
upaya puskesmas (wajib, pengembangan dan inovasi) dengan berbagai
program dari sector terkait tingkat kecamatan, termasuk organisasi
kemasyarakatan dan dunia usaha. Contoh keterpaduan lintas sektor
antara lain sebagai berikut.
i. Upaya Kesehatan Sekolah: keterpaduan sektor kesehatan dengan
camat, lurah/kepala desa, pendidikan, agama
ii. Upaya promosi kesehatan: keterpaduan sektor kesehatan dengan
camat, lurah/kepala desa, pendidikan, agama, pertanian
iii. Upaya kesehatan ibu dan anak: keterpaduan sektor kesehatan
dengan camat, lurah/kepala desa, organisasi profesi, organisasi
kemasyarakatan, PKK, PLKB
iv. Upaya perbaikan gizi: keterpaduan sektor kesehatan dengan amat,
lurah/kepala desa, pertanian, pendidikan, agama, koperasi, dunia
usaha, PKK, PLKB
v. Upaya pembiayaan dan jaminan kesehatan: keterpaduan sektor
kesehatan dengan camat, lurah/kepala desa, tenaga kerja, koperasi,
dunia usaha, organisasi kemasyarakatan
vi. Upaya kesehatan kerja: keterpaduan sektor kesehatan dengan
camat, lurah/kepala desa, tenaga kerja, dunia usaha (Kemenkes RI
No. 128 Tahun 2004).

4. Azas Rujukan
Azas penyelenggaraan puskesmas yang keempat adalah rujukan.
Sebagai sarana pelayanan kesehatan tingkat pertama, kemampuan yang
dimiliki oleh puskesmas terbatas. Padahal puskesmas berhadapan langsung
dengan masyarakat dengan berbagai permasalahan kesehatannya. Untuk
membantu puskesmas menyelesaikan berbagai masalah kesehatan tersebut
dan juga untuk meningkatkan efisiensi, maka penyelenggaraan setiap
upaya puskesmas (wajib, pengembangan dan inovasi) harus ditopang oleh
azas rujukan.
22

Secara skematis pelaksanaan azas rujukan dapat digambarkan


sebagai berikut.

Gambar 2.2. Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan

2.3.4. Manajemen Puskesmas


Untuk terselenggaranya berbagai upaya kesehatan perorangan dan upaya
kesehatan masyarakat yang sesuai dengan azas penyelenggaraan puskesmas,
perlu ditunjang oleh manajemen puskesmas yag baik. Manajemen puskesmas
adalah rangkaian kegiatan yang bekerja secara sistematik untuk menghasilkan
luaran puskesmas yang efektif dan efisien. Rangkaian kegiatan sistematis yang
dilaksanakan oleh puskesmas membentuk fungsi-fungsi manajemen. Ada tiga
fungsi manajemen pusksesmas yang dikenal yakni Perencanaan, Pelaksanaan
dan Pengendalian, serta Pengawasan dan Pertanggungjawaban. Semua fungsi
manajemen tersebut harus dilaksanakan secara terkait dan berkesinambungan
(Kemenkes RI No. 128 Tahun 2004) & (Azwar, 2010).
A. Perencanaan
Perencanaan adalah proses penyusunan rencana tahunan puskesmas
untuk mengatasi masalah kesehatan di wilayah kerja pusksesmas. Rencana
tahunan puskesmas dibedakan atas dua macam. Pertama, rencana tahunan
upaya kesehatan wajib. Kedua, rencana tahunan upaya kesehatan
pengembangan (Kemenkes RI No. 128 Tahun 2004).
23

1. Perencanaan Upaya Kesehatan Wajib


Jenis upaya kesehatan wajib adalah sama untuk setiap puskesmas, yakni
Promosi Kesehatan, Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Ibu dan Anak
termasuk Keluarga Berencana, Perbaikan Gizi Masyarakat, Pencegahan
dan Pemberantasan Penyakit Menular serta Pengobatan.
2. Perencanaan Upaya Kesehatan Pengembangan
Jenis upaya kesehatan pengembangan dipilih dari daftar upaya
kesehatan pokok puskesmas yang telah ada, atau upaya inovasi yang
dikembangkan sendiri. Upaya laboratorium medik, upaya laboratorium
kesehatan masyarakat dan pencatatan dan pelaporan tidak termasuk
pilihan karena ketiga upaya ini merupakan upaya penunjang yang harus
dilakukan untuk kelengkapan upaya-upaya puskesmas. Langkah-
langkah perencanaan upaya kesehatan pengembangan yang dilakukan
oleh puskesmas mencakup hal-hal sebagai berikut (Departemen
Kesehatan RI. 2007):

Penyusunan Perencanaan Tingkat Puskesmas (PTP) dilakukan


melalui 4 (empat) tahap sebagai berikut : (DEPKES RI, 2016).
1. Tahap Persiapan
Tahap ini mempersiapkan staf Puskesmas yang terlibat dalam proses
penyusunan PTP agar memperoleh persamaan pandangan dan pengetahuan
tentang tahap perencanaan. Tahap ini dilakukan dengan cara sebagai
berikut.
a. Kepala Puskesmas membentuk Tim penyusun PTP yang anggotanya
staf puskesmas
b. Kepala puskesmas menjelaskan pedoman PTP kepada tim
c. Puskesmas mempelajari kebijakan dan pengarahan yang telah
ditetapkan oleh Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten, Dinas Kesehatan
Provinsi dan Departemen Kesehatan (Azwar, 2010).
2. Tahap Analisis Situasi
Tahap ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai
keadaan dan permasalahan yang dihadapi Puskesmas melalui proses
analisis terhadap data yang dikumpulkan. Tim yang telah disusun oleh
Kepala Puskesmas melakukan pengumpulan data. Ada 2 (dua)
kelompok data yang perlu dikumpulkan yaitu data umum yang terdiri
24

dari peta wilayah kerja serta fasilitas kesehatan, data sumber daya, data
peran serta masyarakat, data penduduk dan sasaran program, data
sekolah dan data kesehatan lingkungan serta ada pula data khusus yang
terdiri dari status kesehatan, kejadian luar biasa, cakupan program
pelayanan kesehatan 1 (satu) tahun terakhir di tiap desa/kelurahan dan
hasil survey bila ada (Azwar, 2010).

3. Tahap Penyusunan Rencana Usulan Kegiatan (RUK)


Penyusunan RUK ini terdiri dari 2(dua) langkah, yaitu analisa
masalah dan rencana usulan kegiatan.
a. Analisa Masalah
Analisa masalah dapat dilakukan melalui kesepakatan kelompok tim
penyusun PTP dan konsil kesehatan kecamatan/Badan Penyantun
Puskesmas melalui tahap:
i. Identifikasi Masalah
Masalah adalah kesenjangan antara harapan dan kenyataan.
Identifikasi masalah dilaksanakan dengan membuat daftar
masalah yang dikelompokkan menurut jenis program, cakupan,
mutu, ketersediaan sumber daya.
25

ii. Menetapkan Urutan Prioritas Masalah


Mengingat adanya keterbatasan kemampuan mengatasi
masalah secara sekaligus, maka perlu dipilih prioritas masalah
dengan jalan kesepakatan tim. Dalam penetapan urutan prioritas
masalah dapat menggunakan berbagai macam metode seperti
kriteria matriks, MCUA, Hanlon, CARL dsb.
Contoh kriteria matriks: masing-masing kriteria ditetapkan
dengan nilai 1-5. Nilai semakin besar jika tingkat urgensinya sangat
mendesak, atau tingkat perkembangannya dan tingkat keseriusan
semakin memprihatinkan bila tidak diatasi. Kemudian kalikan
tingkat urgensi (U) dengan tingkat perkembangan (G), dan tingkat
keseriusan (S). Prioritas masalah diurutkan berdasarkan hasil
perkalian yang besar dan disusun dalam matriks.
Tabel 2.2. Metode USG
Masala Masalah 1 Masalah 2 Masalah 3
h
Kriteria
Tingkat Urgensi (U)
Tingkat Keseriusan (S)
Tingkat Perkembangan
(G)
UxSxG

iii. Merumuskan Masalah


Hal ini mencakup apa masalahnya, siapa yang terkena
masalahnya, berapa besar masalahnya, dimana masalah itu terjadi
dan bilamana masalah itu terjadi (what, who, when, where, how).
iv. Mencari Akar Penyebab Masalah
Mencari akar penyebab masalah dapat dilakukan dengan
menggunakan metode diagram sebab akibat dari Ishikawa
(disebut juga diagram tulang ikan karena digambarkan
membentuk tulang ikan). Kemungkinan penyebab masalah dapat
berasal dari:
 Input (sumber daya) : Jenis dan jumlah alat, obat,
tenaga serta prosedur kerja manajemen alat, obat dan dana.
26

 Proses (Pelaksanaan kegiatan): frekuensi, kepatuhan pelayanan


medis dan non medis.
 Lingkungan
Kategori yang dapat digunakan antara lain adalah man, money,
material dan method.

Gambar 2.3. Diagram Fishbone

v. Menetapkan Pemecahan Masalah


Untuk menetapkan cara pemecahan masalah dapat
dilakukan dengan kesepakatan diantara anggota tim. Bila tidak
terjadi kesepakatan dapat digunakan kriteria matriks. Untuk itu
harus dicari alternatif pemecahan masalahnya.

Tabel 2.3. Contoh Tabel Cara Pemecahan Masalah


No. Prioritas Penyebab Alternatif Pemecahan Ket
Masalah Masalah Pemecahan Masalah
27

Masalah Terpilih

1.
2.
3.

b. Penyusunan Rencana Usulan Kegiatan


Meliputi upaya kesehatan wajib, upaya kesehatan
pengembangan dan upaya kesehatan penunjang, yang
meliputi kegiatan tahunan yang akan datang, kebutuhan
sumber daya berdasarkan ketersediaan sumber daya yang
ada, rekapitulasi rencana usulan kegiatan dan sumber daya
yang dibutuhkan ke dalam format RUK puskesmas.

4. Tahapan Penyusunan Rencana Pelaksanaan Kegiatan (RPK)


Tahap penyusunan rencana pelaksanaan kegiatan baik
upaya kesehatan wajib, upaya pengembangan upaya kesehatan
penunjang maupun upaya inovasi dilaksanakan secara bersama,
terpadu dan terintegritasi. Hal ini sesuai dengan azas
penyelenggaraan Puskesmas yaitu keterpaduan.

Anda mungkin juga menyukai