Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Nasofaring


Nasofaring merupakan organ berbentuk kuboid yang terletak di belakang
rongga hidung, superior dari soft palate dengan diameter anteroposterior 2-4
cm dan tinggi 4 cm. Nasofaring dibagi dalam beberapa regio, yaitu dinding
anterior, posterosuperior, dan lateral. Pada bagian anterior, nasofaring
berhubungan dengan rongga hidung melalui bagian posterior dari koana dan di
dinding lateral berisi muara tuba Eustachius dan fossa Rosenmuller (resesus
faringeal) yang berbatasan dengan dinding posterolateral. Dinding
posterolateral berisi jaringan adenoid yang di belakangnya berbatasan dengan
fasia prevertebralis.5,6

Gambar 2.1 Anatomi Nasofaring

Fossa Rosenmuller merupakan area yang menjadi asal dari sebagian


besar sel karsinoma nasofaring. Area ini berhubungan secara anatomis dengan
beberapa organ penting yang menjadi tempat penyebaran tumor dan
menentukan presentasi klinis serta prognosis. Area-area tersebut adalah :
Anterior : tuba Eustachius
Antero-lateral : otot levator veli palatini

2
3

Posterior : retropharyngeal space


Superior : foramen laserum di bagian medial, apeks
petrosus dan kanalis karotikus di bagian
posterior, serta foramen ovale dan spinosum di
bagian anterolateral
Lateral : otot tensor veli palatini dan pharyngeal space
Inferior : otot konstriktor superior

Gambar 2.2 Potongan horizontal nasofaring pada tingkat sinus morgagni

(A:Pharyngobasilar Fascia, B:Buccopharyngeal Fascia, C:Alar Fascia, D:Prevertebral


Fascia, S:Kanalis Karotikus; 1.Otot Pterigoid Lateral, 2.Otot Pterigoid Medial, 3.Otot Tensor
Veli Palatini, 4.Otot Levator Veli Palatini, 5.Parapharyngeal Space, 6.Fossa Rossenmuller,
7.Stiloid Prosesus, 8.Rouviere Node, 9.Retropharyngeal Space)

Suplai darah nasofaring berasal dari cabang arteri karotis eksternal,


sedangkan drainase vena adalah melalui pleksus faring ke vena jugular internal.

Persarafan nasofaring berasal dari cabang saraf kranial V2, IX, dan X, serta

saraf simpatik.5
4

Gambar 2.3 Vaskularisasi dan Inervasi Kepala dan Leher

Nasofaring memiliki banyak jaringan limfatik dan saluran getah bening


sehingga dapat mempermudah dan mempercepat terjadinya metastasis.
Kelenjar getah bening eselon pertama berada di ruang parafaring dan
retrofaring, dimana terdapat kelenjar getah bening yang berpasangan, yang
dinamakan Rouviere node. Drainase ke daerah jugular dapat melalui kelenjar
getah bening parafaring atau melalui saluran langsung. Sedangkan di bagian
segitiga posterior terdapat jalur langsung terpisah yang mengarah ke kelenjar
getah bening di tulang belakang. Drainase lebih lanjut dapat terjadi ke leher
bagian kontralateral, ke bagian servikal, kemudian ke kelenjar getah bening di
supraklavikula.5
5

Gambar 2.4 Kelenjar Getah Bening Kepala dan Leher

2.2 Karsinoma Nasofaring


2.2.1 Insidensi
Penemuan kasus baru KNF setiap tahun di berbagai penjuru dunia
cukup bervariasi. Penelitian di 17 negara Eropa, ditemukan rata-rata 187
kasus baru setiap tahun. Di Rio de Janeiro ditemukan 16 kasus baru dan di
Nigeria 12 kasus baru setiap tahun, sedangkan di Israel hanya ditemukan 3
kasus baru setiap tahun. Kasus baru yang sangat banyak, ditemukan di
Hongkong, yaitu 1146 kasus setiap tahun.7
Insidensi KNF yang paling tinggi ditemukan di daerah Cina Selatan,
dengan frekuensi 100 kali dibanding frekuensi karsinoma nasofaring pada
ras Kaukasia. Prevalensi karsinoma nasofaring di Provinsi Guangdong
China Selatan adalah 39,84/100.000 penduduk. Ras Mongoloid merupakan
faktor dominan timbulnya karsinoma nasofaring, sehingga sering terjadi
pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand,
Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Ditemukan cukup banyak pula di
Yunani, Afrika bagian utara seperti Aljazair dan Tunisia, pada orang
Eskimo di Alaska, diduga penyebabnya adalah karena mereka memakan
6

makanan yang diawetkan dalam musim dingin yang menggunakan bahan


pengawet nitrosamin.7,8,9
Prevalensi KNF di Indonesia hampir merata di seluruh daerah yaitu
3,9 per 100.000 penduduk setiap tahun. Di Rumah Sakit H. Adam Malik
Medan, Sumatera Utara, penderita KNF paling banyak ditemukan pada
suku Batak yaitu 46,7% dari 30 kasus. Di RSUP H. Adam Malik Medan,
ditemukan 113 penderita KNF pada tahun 2009. Dari seluruh penderita
yang menjalani radioterapi di Poliklinik Radioterapi RSUD Dr. Soetomo
selama periode tahun 1991-1997 tercatat 749 penderita KNF baru, dan
angka ini menempati peringkat kedua setelah kanker leher rahim.
Sedangkan penelitian yang dilakukan di RSCM Jakarta selama periode
1988-1992 didapatkan kasus KNF sebanyak 71,77% di antara 712 tumor
ganas tubuh, dan kebanyakan penderita KNF tersebut datang pada stadium
lanjut.10
Sebagian besar penderita KNF berumur di atas 20 tahun yaitu
antara 50–70 tahun, dan ditemukan paling banyak pada usia produktif yaitu
antara 30-59 tahun (80%), dengan puncak antara 40–49 tahun. Insidensi
KNF meningkat setelah umur 20 tahun dan tidak ada lagi peningkatan
setelah umur 60 tahun. Sedangkan berdasaran jenis kelamin, ditemukan
kecenderungan penderita KNF lebih banyak pada laki-laki daripada
perempuan. Dari beberapa penelitian, ditemukan perbandingan penderita
laki-laki dan perempuan adalah 2-4 : 1.7

2.2.2 Etiologi
Penyebab pasti KNF masih belum diketahui, namun gabungan dari
beberapa faktor intrinsik dan ektrinsik diyakini sebagai penyebab, yaitu
faktor genetik, lingkungan, dan virus Epstein Barr (EBV).
7

2.2.2.1 Faktor Genetik


Kerentanan genetik sebagai faktor predisposisi KNF
didasarkan atas fakta banyaknya penderita dari bangsa atau ras
China. Selain itu KNF juga banyak dijumpai pada ras mongoloid,
termasuk bangsa-bangsa di Asia terutama Asia Tenggara yang masih
tergolong rumpun Melayu. Insiden KNF di China maupun negara di
Asia Tenggara lebih besar 10-50 kali dibandingkan negara lainnya.
Adanya riwayat tumor ganas dalam keluarga merupakan salah satu
faktor resiko KNF. Secara umum didapatkan sekitar 10% dari
penderita KNF mempunyai keluarga yang menderita keganasan
nasofaring atau organ lain, dan 5% diantaranya sama-sama menderita
KNF dalam keluarganya.11,12
Hilangnya alel HLA kelas I atau kelas II (alelle HLA loss) pada
gen HLA tertentu diperkirakan menyebabkan kegagalan interaksi

HLA- peptide complex dengan limfosit T c/s (CD8+) atau limfosit T

helper (CD4+). Hal ini disebabkan karena tidak dimunculkannya

antigen virus/tumor pada epitop (antigenic determinant) sehingga


keberadaan virus EB didalam sel inang (limfosit B dan sel epitel
faring) atau sel kanker tidak dapat dikenali oleh sel imunokompeten.
Adanya kelainan genetik ini akan sangat merugikan karena sel yang
terinfeksi virus maupun sel kanker dapat terhindar dari penghancuran
melalui mekanisme imunologik, berakibat pertumbuhan kanker yang
terus berlangsung.11,12

2.2.2.2 Faktor Lingkungan


Insidensi KNF yang tinggi di lokasi geografi tertentu
mengindikasikan adanya faktor atau bahan kimia tertentu di
lingkungan yang dapat menginduksi terjadinya KNF (environmental
carcinogens) antara lain adat kebiasaan atau gaya hidup (life style
related cancer), termasuk kebiasaan makan (diet habits). Karsinogen
8

lingkungan bertindak sebagai kofaktor atau promotor timbulnya


KNF.12
Penelitian in vitro membuktikan bahwa aktivasi virus Epstein-
Barr dapat menyebabkan perubahan sel normal menjadi sel kanker.
Penelitian epidemiologi menunjukkan hubungan yang kuat antara
meningkatnya kejadian KNF dengan konsumsi bahan makanan
berupa ikan atau udang yang diawetkan dengan garam (diasinkan),
seperti ikan asin (dry salted fish), pindang asin dan udang asin, atau
yang dikeringkan dengan pengasapan. Penelitian pada penduduk ras
Cina di Hongkong dan Malaysia ditemukan ikan asin terbukti
sebagai faktor risiko yang sangat kuat terhadap kejadian KNF. Bubur
ikan asin yang banyak di konsumsi penduduk di daerah Cina Selatan
sejak kecil, dikenal sebagai “Cantonese salted fish” terbukti
mengandung nitrosamin. Nitrosamin merupakan pro karsinogen dan
promotor aktivasi EBV diketemukan dalam kadar yang tinggi pada
ikan asin. Pro karsinogen merupakan karsinogen yang memerlukan
perubahan metabolis agar menjadi karsinogen aktif (ultimate
carcinogen), sehingga dapat menimbulkan perubahan DNA, RNA,
atau protein sel tubuh.6,11,13,14

2.2.2.3 Virus Epstein-Barr


Virus Epstein-Barr (EBV) termasuk famili virus herpes yang
merupakan penyebab mononukleosis akut dan salah satu faktor
etiologi pada KNF, karsinoma gaster serta limfoma akut.7
Penularan EBV lewat orofaring terjadi karena kontak oral yang
intim, atau melalui saliva yang tertinggal pada peralatan makan.
Kebiasaan makan secara tradisional dengan menggunakan sumpit
untuk mengambil hidangan makanan diduga berkaitan dengan
tingginya infeksi virus EB pada ras Cina. Karena mudah dan
cepatnya terjadi penularan maka hampir semua individu dibawah 25
tahun sudah terinfeksi virus EB.11
9

2.2.3 Patogenesis
KNF terjadi akibat perubahan genetik yang dipengaruhi oleh faktor
lingkungan, baik virus maupun faktor kimiawi. Keterlibatan faktor
kerentanan genetik dan delesi pada kromosom 3p/9p berperan pada tahap
awal perkembangan kanker. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan
genetik dapat dirangsang oleh karsinogen kimia di lingkungan yang
menyebabkan transformasi epitel normal ke lesi pra-kanker tingkat rendah,
seperti NPIN I dan II. Penemuan berikutnya menunjukkan bahwa infeksi
laten virus EB berperan dalam progresi lesi pra-kanker tingkat rendah ke
tingkat tinggi yaitu NPIN III. Infeksi laten virus EB juga berperan penting
dalam proses seleksi klonal dan perkembangan lebih lanjut.6
Ekspresi bcl-2 yang terdapat di dalam sel displastik dari lesi pra-
kanker tingkat tinggi (NPIN III) berperan dalam menghambat proses
apoptosis. Kemudian faktor lingkungan, perubahan genetik seperti aktivasi
telomerase, inaktivasi gen p16/p15, delesi kromosom 11q dan 14q juga
berperan dalam tahap awal perkembangan KNF.6
Peran LOH (Loss of Heterozygosity) pada kromosom 14q dan
overekspresi dari gen c-myc, protein ras dan p53 berperan dalam progresi
karsinoma yang invasif. Selain itu, mutasi gen p53 dan perubahan genetik
lainnya juga berperan dalam proses metastasis.6

Gambar 2.5 Patogenesis Karsinoma Nasofaring


10

2.2.4 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
nasofaring, pemeriksaan radiologi, pemeriksaan serologi, dan pemeriksaan
patologi.5,11,15

2.2.4.1 Gejala Klinis


Gejala yang timbul pada KNF biasanya berhubungan dengan
letak tumor, penyebaran, dan stadiumnya. Karena nasofaring terletak di
daerah yang sulit dilihat dari luar, gejala dini sering tidak dikenali
sehingga penderita kebanyakan datang dengan keluhan benjolan di
leher akibat penyebaran tumor ke kelenjar getah bening regional.
Biasanya keluhan pertama yang muncul adalah keluhan pada telinga
atau hidung yang bersifat unilateral. Keluhan di telinga dapat berupa
gejala oklusi tuba Eustachius sampai otitis media serosa dan perforasi
membran timpani. Gejala pada hidung dapat berupa sumbatan hidung
dengan atau tanpa ingus yang bercampur darah atau berupa epistaksis.
Gangguan penciuman dan obstruksi biasanya menetap dan bertambah
berat akibat massa tumor yang menutupi koana. Gejala lanjut yang
paling sering dijumpai dan mendorong pasien untuk datang berobat
adalah pembesaran kelenjar getah bening leher unilateral atau bilateral.6
Gejala lain yang dapat terjadi adalah kelumpuhan saraf
intrakranial. Tumor dapat meluas kearah superior menuju ke intra
kranial dan menjalar sepanjang fosa kranii media (penjalaran
petrosfenoid). Biasanya tumor masuk rongga tengkorak melalui
foramen laserum, menimbulkan kerusakan atau lesi pada grup anterior
saraf otak yaitu N. III, IV, V dan N VI. Paling sering terjadi gangguan
N.VI (keluhan diplopia) yang disusul N.V (keluhan neuralgi trigeminal
dan parestesi wajah). Peneliti luar negeri melaporkan saraf kranial yang
tersering mengalami gangguan adalah N. V, kemudian disusul N. VI.
Bila semua saraf grup anterior terkena gangguan maka timbul
kumpulan gejala yang disebut sebagai sindroma petrosfenoid yaitu
11

neuralgia trigeminal dan oftalmoplegia unilateral, amaurosis dan nyeri


kepala hebat karena penekanan tumor pada dura mater. Terkenanya N.
III menimbulkan gejala ptosis dan klinis didapatkan fiksasi bola mata
(oftalmoplegi) kecuali untuk pergerakan ke lateral karena kelumpuhan
muskulus rektus internus superior dan inferior serta muskulus palpebrae
inferior dan obliqus. Gangguan N.IV menimbulkan kelumpuhan
muskulus obliqus inferior bolamata. Lesi saraf ini jarang merupakan
kelainan yang berdiri sendiri tetapi lebih sering diikuti kelumpuhan
N.III. Biasanya penekanan saraf-saraf ini terjadi didalam atau pada
dinding lateral sinus kavernosus. Gangguan N.VI mengakibatkan
kelumpuhan m. rektus bulbi lateral sehingga timbul keluhan
penglihatan dobel dan mata tampak juling (strabismus konvergen).
Keluhan lain akibat perluasan ke intra kranial berupa sakit kepala yang
sering kali hebat. Perluasan tumor kearah anterior menuju rongga
hidung, sinus paranasal, fosa pterigopalatina dan dapat sampai apeks
orbita. Tumor besar dapat mendesak palatum mole, menimbulkan gejala
obstruksi jalan napas atas dan jalan makanan. Perluasan tumor kearah
postero-lateral menuju ke ruang parafaring dan fosa pterigopalatina
yang kemudian masuk foramen jugulare (penjalaran retroparotidian).
Disini yang terkena adalah grup posterior syaraf otak yaitu N. VII
sampai dengan N. XII, serta nervus simpatikus servikalis yang berjalan
menuju fasia orbitalis. Bila terjadi kelumpuhan N. IX, X, XI dan XII
disebut sebagai sindroma retroparotidean, atau sindroma Jackson.6
Manifestasi kelumpuhan saraf tersebut adalah sebagai berikut6:
N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior,
dan gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah.
N. X : hiper/hipo/anestesi mukosa palatum mole, faring dan laring
(gejala regurgitasi, bindeng) disertai gangguan menelan,
respirasi dan salivasi.
12

N. XI : hemiparesis palatum mole dan sulit mengangkat bahu karena


kelumpuhan atau atrofi otot trapesius dan sternokleidomastoid.
N.XII: gangguan menelan, hemiparalisis dan atrofi lidah unilateral.

Gejala penekanan saraf-saraf ini dapat disertai gejala akibat


kelumpuhan dari nervus simpatikus servikalis berupa penyempitan
fisura palpebralis, enoftalmi dan miosis yang dikenal sebagai sindroma
Horner. Nervus VII dan N.VIII jarang terkena karena letaknya tinggi
dan berada dalam kanal tulang. Kelainan neurologik pada KNF ini
berkisar antara 29-53%. Tumor di postero-lateral nasofaring dapat
menginfiltrasi otot-otot mengunyah, terutama otot pterigoid internus
yang berakibat trismus. Perluasan tumor kearah inferior menuju rongga
mulut atau regio retrotonsil yang juga dapat berakibat sumbatan jalan
makan dan napas.11.6

Gejala lain KNF adalah trismus yang disebabkan oleh infiltrasi


tumor pada muskulus pterigoideus yang menyebabkan gangguan
membuka mulut. Apabila tumor telah menginvasi otot levator velli
palatini maka akan mengakibatkan paralisis palatum. Keadaan ini
jarang terjadi, dan biasanya akibat gejala sisa radioterapi berupa fibrosis
otot tersebut.6
Gejala metastasis jauh jarang terjadi, dan yang paling sering
adalah metastasis ke paru-paru, tulang, dan hepar. Metastase ke otak
terjadi melalui penjalaran secara hematogen, sedangkan penyebaran ke
hipofisis dapat terjadi akibat perluasan langsung dari tumor primer.
Metastasis KNF ke epidural medula spinalis dapat menyebabkan
penekanan medula spinalis, dengan gejala sisa paraplegia dan
inkontinensia.7

2.2.4.2 Pemeriksaan Nasofaring


Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan
dengan cara rinoskopi posterior (tidak langsung) dengan
13

menggunakan kaca laring yang kecil, dan cara nasofaringoskopi


langsung dengan alat endoskop/nasofaringoskop kaku (rigid
nasopharyngoscope). Alat ini terdiri dari berbagai sudut
pencahayaan, biasanya dihubungkan dengan sumber cahaya dan
monitor TV. Penggunaan alat ini dapat melalui hidung (transnasal),
atau mulut (trans-oral). Alat-alat tersebut dapat digunakan untuk
melihat keadaan massa di nasofaring, berupa massa yang eksofitik
atau berupa penonjolan submukosa.11
Dengan pemeriksaan rinoskopi posterior sering ditemukan
kesulitan karena yang dilihat hanya berupa gambaran atau bayangan
yang ada di kaca. Pada kasus yang sulit, diperlukan pemeriksaan
dengan teknik nasofaringoskopi, dan jika perlu digunakan anestesi

lokal. Flexible fibrescope atau endoskop Hopkins kaku 00 dan 300

cukup baik dipakai untuk pemeriksaan nasofaring secara lebih rinci.


Dengan alat ini dapat dideteksi seluruh permukaan rongga hidung dan
nasofaring.7

Gambar 2.9 Nasofaringoskopi tumor


14

2.2.4.3 Pemeriksaan Radiologi


Pemeriksaan radiologi diperlukan untuk mendapatkan informasi
adanya tumor, perluasan, serta kekambuhan paska terapi. Pemeriksaan
radiologi untuk karsinoma nasofaring terdiri dari foto polos tengkorak,
CT scan, dan MRI.6,15,16
1. Foto polos tengkorak dilakukan untuk mengetahui adanya jaringan
lunak di dinding posterior pada proyeksi lateral, melihat struktur
tulang dan foramen pada proyeksi basis, serta mengetahui ekspansi
tumor ke hidung dan sinus paranasal pada proyeksi antero-posterior
dan Waters.

2. Tomografi Komputer (CT scan) mempunyai keuntungan dan nilai


diagnosis tinggi yaitu kemampuan membedakan berbagai densitas di
nasofaring dan dapat menilai perluasan tumor, penyebaran ke kelenjar
limfa leher, destruksi tulang serta penyebaran ke intrakranial.

Gambar 2.10 CT Scan Karsinoma Nasofaring

3. MRI (Magnetic Resonance Imaging) merupakan pemeriksaan


tambahan dari CT scan karena dapat membedakan antara jaringan
lunak dan cairan misalnya retensi cairan akibat invasi ke sinus
paranasal.
15

Gambar 2.11 MRI sagital menunjukkan tumor pada atap dan


dinding posterior nasofaring

2.2.4.4 Pemeriksaan Serologi


Pemeriksaan serologi sangat menunjang diagnosis KNF. Virus
Epstein-Barr yang diketahui sebagai etiologi KNF mengandung antigen
virus, antara lain EBV- VCA, EA, LMA 1-6 dan EBNA 1-3.
Pemeriksaan serologi dilakukan untuk mendeteksi antibodi yang
terbentuk yaitu IgA anti EBV-VCA, IgA anti EBV-EA, antibodi terhadap
antigen membran, antibodi terhadap inti virus (Epstein Barr Nuclear
Antigen/EBNA), antibodi terhadap EBV-Dnase dan antibody dependent
cellular cytotoxicity (ADCC). Titer antibodi spesifik ini dapat ditemukan
dengan pemeriksaan imunofluoresensi (IF), enzyme linked
immunosorbent assay (ELISA) dan radio-immuno assay. Dapat juga
menggunakan teknik PCR pada material yang diperoleh dari aspirasi
biopsi jarum halus pada metastase kelenjar getah bening leher. Virus
Epstein Barr biasanya ditemukan pada undifferentiated carcinoma dan
nonkeratinizing squamous cell carcinoma. Pada pasien KNF dapat
dideteksi antibodi IgG yang ditemukan pada awal infeksi virus dan
antibodi IgA yang ditemukan pada kapsid antigen virus. Ig A anti VCA
adalah antibodi yang paling spesifik untuk diagnosis dini KNF dan dapat
16

dipakai sebagai tumor marker. Antibodi ini dianggap positif bila titernya
> 5. Kadang-kadang titernya meninggi sebelum gejala KNF timbul.
Antibodi IgA terhadap viral capsid antigen EBV ternyata lebih spesifik
dibandingkan dengan IgG. Pembentukan IgA anti EBV-VCA terjadi
setelah sintesis DNA virus, dengan demikian antibodi ini berkaitan
dengan fase lanjut dari infeksi virus EB. Imunoglobulin A anti VCA ini
akan tetap ada seumur hidup, titernya akan meningkat sesuai dengan
stadium penyakitnya. Imunoglobulin A anti EBV-VCA ini dapat
merupakan pertanda tumor (tumor marker) yang spesifik untuk deteksi
KNF terutama pada stadium dini (nilai diagnostik), memantau hasil
pengobatan dan memperkirakan kekambuhan (nilai prognostik).11

IgG anti EBV-EA terbentuk sebelum sintesis DNA virus yaitu pada
fase dini siklus replikasi virus. Adanya kenaikan titer IgG anti EBV-EA
sudah ditemukan sebelum metastasis secara klinik terjadi. Titer IgG anti
EBV-EA dianggap positif bila  1/80. Berdasarkan pemeriksaan
imunofluoresensi, IgG anti EBV-EA dapat dibedakan menjadi 2 tipe
yaitu tipe terbatas (EA-restricted) dan tipe menyebar (EA-diffuse).
Penurunan titer IgG anti EBV-EA (D) didapatkan pada semua penderita
KNF yang telah mendapatkan pengobatan dengan radiasi dan tidak pada
penderita dengan kanker kepala dan leher lainnya. Bila titernya
meningkat lagi harus dicurigai adanya kekambuhan atau metastasis.
Dengan demikian pemeriksaan IgG anti EBV-EA lebih berguna untuk
menentukan perjalanan penyakit dan prognosis KNF.14

2.2.4.5 Pemeriksaan Patologi (Biopsi)


Diagnosis pasti KNF ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
jaringan tumor di nasofaring (ditemukan sel-sel ganas) yang diperoleh
dari jaringan hasil biopsi. Apabila penderita yang menunjukkan hasil
pemeriksaan serologi yang positif, tetapi hasil biopsi negatif tetap tidak
dapat dianggap menderita KNF. Ada beberapa cara melakukan biopsi,
yaitu biopsi buta (blind biopsy), biopsi buta terpimpin (guided biposy),
17

biopsi dengan nasofaringoskopi direkta, dan biopsi dengan


fibernasolaringoskop.11

2.2.5 Stadium Tumor


Tabel 2.1 Klasifikasi stadium karsinoma nasofaring menurut
American Joint Comittee on Cancer (AJCC) tahun 200217

T : Tumor primer
Tx : Tumor primer tidak dapat ditemukan
T0 : Tidak ditemukan adanya tumor primer
Tis : Karsinoma in situ
T1 : Tumor terbatas pada nasofaring
T2 : Tumor meluas sampai jaringan lunak pada orofaring dan
rongga hidung
T2a : Tumor tanpa perluasan ke daerah parafaring
T2b : Dengan perluasan ke daerah parafaring
T3 : Tumor meluas ke struktur tulang sekitarnya dan atau ke
sinus paranasal
T4 : Tumor meluas ke daerah intrakranial atau terlibatnya saraf
kranialis, fossa infratemporal, hipofaring, orbita, atau ruang
Mastikator
N : Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) regional
Nx : Pembesaran KGB regional tidak dapat ditentukan
N0 : Tidak ada pembesaran KGB regional
N1 : Metastasis unilateral KGB dengan ukuran ≤ 6 cm dalam
ukuran terbesar, terletak di atas fosa supraklavikular
N2 : Metastasis bilateral KGB dengan ukuran ≤ 6 cm dalam
ukuran terbesar, terletak di atas fosa supraklavikular
N3 : Metastasis KGB dengan ukuran > 6 cm atau terletak pada
fosa supraklavikular
N3a : Ukuran KGB > 6 cm
N3b : menginvasi KGB fosa supraklavikular
M : Metastasis jauh
Mx : Adanya metastasis jauh tidak dapat ditentukan
M0 : Tidak ada metastasis jauh
M1 : Terdapat metastasis jauh
Stadium
Stadium 0 : Tis – N0 – M0
Stadium I : T1 – N0 – M0
Stadium IIA : T2a – N0 – M0
Stadium IIB : T1 – N1 – M0; T2a – N1 – M0; T2b – N0,N1 – M0
Stadium III : T1 – N2 – M0; T2a,T2b – N2 – M0; T3 –
N0,N1,N2 – M0
Stadium IVA : T4 – N0,N1,N2 – M0
18

Stadium IVB : Semua T – N3 – M0


Stadium IVC : Semua T – semua N – M1

2.2.6 Penatalaksanaan

2.2.6.1 Radioterapi
Radioterapi merupakan pengobatan utama pada kKNF.
Radioterapi juga efektif terhadap terapi paliatif pada kasus yang sudah
metastasis jauh. Radioterapi pada penderita KNF tanpa metastasis
merupakan terapi kuratif utama yang dapat diberikan dalam dua tipe
yaitu radioterapi eksternal dan brakhiterapi.7
Radioterapi mematikan sel dengan cara merusak DNA dan
mengakibatkan destruksi sel tumor. Disamping itu radioterapi memiliki
kemampuan untuk mempercepat proses apoptosis sel tumor. Ionisasi
yang ditimbulkan oleh radiasi dapat mematikan sel tumor. Radioterapi
memiliki kemampuan mengurangi rasa sakit dengan mengecilkan
ukuran tumor sehingga mengurangi pendesakan di area sekitarnya.
Disamping itu juga berguna sebagai terapi paliatif untuk pasien dengan
perdarahan dari massa tumor.7
Dosis radiasi yang dibutuhkan untuk eradikasi tumor tergantung
dari besarnya tumor. Untuk KNF yang masih dini (T1 dan T2)
diberikan radiasi dengan dosis sebesar 1,8-20 Gy per fraksi, 5 kali
seminggu tanpa istirahat selama sekitar 6–7,5 minggu sampai mencapai
dosis total 60-70 Gy. Sedangkan untuk KNF dengan ukuran tumor yang
lebih besar (T3 dan T4) diberikan dosis total radiasi pada tumor primer
di nasofaring yang lebih tinggi yaitu 70–75 Gy. Bila tidak didapatkan
metastasis di KGB leher (N0) maka diberikan radiasi profilaktik dengan
dosis sekitar 40-50 Gy dalam empat atau empat setengah minggu,
sedangkan bila ada pembesaran KGB di leher (metastasis regional)
diberikan radiasi yang dosisnya sama dengan tumor primernya. Bila
masih didapatkan residu tumor, diberikan radiasi tambahan (booster)
19

dengan area diperkecil hanya pada tumornya saja sebesar 10-15 Gy


sehingga mencapai dosis total sebesar 75-80 Gy. Selain radiasi
eksterna, radiasi tambahan dapat diberikan dengan cara radiasi interna
(brakhitherapi).6,11
Brakhiterapi adalah pemberian ion radiasi dosis tinggi terhadap
jaringan dengan volume kecil. Pemberian brakhiterapi terhadap tumor
primer KNF dapat dibagi berdasarkan beberapa indikasi. Indikasi
tersebut adalah tumor persisten lokal setelah 4 bulan pemberian
radioterapi primer sebagai terapi tambahan setelah radioterapi eksternal
dan untuk tumor persisten regional dimana brakhiterapi diberikan pada
penderita yang akan menjalani diseksi leher.7
Brakhiterapi dilakukan dengan menggunakan endotracheal tube.
Pada awalnya brakhiterapi hanya diberikan pada tumor primer T1 atau
T2 yang rekuren setalah pemberian radioterapi eksternal. Biasanya
diberikan pada tumor yang hanya melibatkan nasofaring, para-
nasofaring, dan atau fosa posterior nasal. Diberikan dosis 45–50 Gy
kemudian diikuti dengan tambahan dosis 20 Gy.7

2.2.6.2 Kemoterapi
Kemoterapi biasanya digunakan pada kasus KNF yang rekuren
atau yang telah mengalami metastasis. Mekanisme kerja kemoterapi
adalah sebagai antimetabolit, mengganggu struktur dan fungsi DNA
serta inhibitor mitosis. Antimetabolit bekerja dengan menghambat
biosintesis purin atau pirimidin, sehingga dapat mengubah struktur
DNA dan menahan replikasi sel.6,7
Obat kemoterapi dapat bekerja menghambat pembelahan sel
pada semua siklus sel (Cell Cycle non Specific) baik dalam siklus
pertumbuhan sel maupun dalam keadaan istirahat, yaitu cisplatin,
doxorubicin, dan bleomycin. Disamping itu ada juga obat kemoterapi
yang hanya bekerja menghambat pembelahan sel pada siklus
20

pertumbuhan tertentu (Cell Cycle phase specific), yaitu metrotrexate


dan 5-fluorouracil (5-FU).6,7
Kemoterapi dapat diberikan secara bersamaan dengan radioterapi
(kemoradioterapi) yang dimaksudkan untuk mempertinggi manfaat
radioterapi. Kemoradioterapi dapat mengontrol tumor secara
lokoregional dan meningkatkan survival pasien dengan cara mengatasi
sel kanker secara sistemik lewat mikrosirkulasi. Kemoradioterapi juga
dapat mengontrol metatasis jauh dan mengontrol mikrometastasis.
Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif
terhadap kemoterapi dan mengubah sel kanker yang radioresisten
menjadi lebih sensitif terhadap radiasi.6,7,18

2.2.7 Deteksi Dini


Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, KNF disebabkan oleh
multifaktor yaitu infeksi virus EB, pengaruh faktor lingkungan, ras (genetik), dan
sebagainya. Pencegahan KNF harus ditujukan untuk menghindarkan,
mengurangi atau menghilangkan faktor-faktor tersebut. Salah satu hambatan
utama dalam pencegahan adalah belum diketahuinya dengan pasti bagaimana,
dalam keadaan apa dan sejauh mana faktor-faktor tersebut berpengaruh dalam
patogenesis KNF.11
Di Indonesia, beberapa faktor yang dapat diidentifikasi terutama
berhubungan dengan faktor kebiasaan dan lingkungan terutama pada
penduduk golongan sosial ekonomi rendah. Faktor-faktor tersebut misalnya
makan ikan asin, pemakaian kecap, pemakaian kayu bakar, lampu minyak,
dan asap obat nyamuk. Faktor lingkungan yang buruk, baik di rumah maupun
di tempat kerja dengan ventilasi yang kurang akan menambah besarnya faktor
risiko.11
Untuk menghindari, mengurangi, atau menghilangkan faktor-faktor
risiko tersebut perlu diadakan penyuluhan kepada masyarakat, baik oleh
pemerintah maupun badan-badan swasta (LSM) yang bergerak dalam usaha
penanggulangan kanker. Usaha yang tak kalah pentingnya yaitu upaya yang
21

untuk meningkatkan status sosial ekonomi penduduk terutama penduduk


pedesaan.11
Dengan ditemukan bukti-bukti yang kuat bahwa virus EB memegang
peranan yang penting dalam patogenesis KNF maka saat ini telah mulai
dilakukan berbagai penelitian untuk membuat vaksin terhadap virus EB.
Apabila vaksin yang efektif telah ditemukan, maka vaksinasi dapat segera
diberikan terutama pada golongan penduduk dengan risiko tinggi terkena
KNF.11
Selain itu, mengingat letak nasofaring tidak mudah diperiksa, gejala
dini sering tidak dikenali sehingga penderita kebanyakan datang pada stadium
lanjut, perlu dilakukan skrining KNF untuk deteksi dini, sehingga dapat
dilakukan penanganan lebih awal dan menurunkan tingkat mortalitas.6

Untuk mencapai tujuan ini perlu kerjasama dari berbagai sektor


terkait seperti Dinas Kesehatan, Pemda, LSM, Institusi Pendidikan
Dokter/Perawat, IDI dan profesi (Perhati-KL, IAPI). Selain itu dokter atau
tenaga kesehatan pada lini pertama perlu meningkatkan pengetahuan
mengenai KNF.11,12

Gambar 2.12 Algoritma Skrining Karsinoma Nasofaring 19

Anda mungkin juga menyukai