Anda di halaman 1dari 30

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1

Definisi
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang

disebabkan oleh virus dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk DBD. 3 DBD
adalah salah satu manifestasi simptomatik dari infeksi virus dengue.
3.2

Epidemiologi1

Gambar. Penyebaran kasus DD/DBD yang dilaporkan WHO

Selama tahun 1980, insidens meningkat tajam dan distribusi virus


diperluas ke pulau-pulau Pasifik dan tropis Amerika. Dalam wilayah terakhir,
spesies kembali memenuhi sebagian besar negara tropis di tahun 1980-an karena
pembubaran program pemberantasan Ae. Aegypti di awal 1970an. Peningkatan
penularan penyakit dan frekuensi epidemis juga merupakan hasil dari peredaran
beberapa serotipe di Asia. Ini membewa munculnya DHF di Kepulauan Pasifik,
Karibia, dan Amerika Tengah dan Selatan. Dengan demikian, dalam waktu kurang
dari 20 tahun pada tahun 1998, daerah tropis Amerika dan Pulau Pasifik pergi dari

bebas demam berdarah menjadi pemilik masalah DHF yang serius. Setiap 10
tahun, jumlah rata-rata tahunan kasud DF/DHF dilaporkan ke WHO terus tumbuh
secaraeksponensial. Dari taun 2000 hingga 2008, jumlah rata-rata kasus tahunan
adalah 1 656 870, hampir tiga setengah angka untuk tahun 1990-1999, yaitu 479
848. Pada tahun 2008, dari 69 negara yang tercatat dalam WHO wilayah TimurSelatan Asia, Pasifik Barat dan Amerika melaorkan aktivitas demam berdarah.
3.3

Etiologi4
Virus dengue termasuk familia Flaviridae, dari genus Flavivirus. Atas

dasar ekologinya Flavivirus disebut Arbovirus atau virus athropoda-borne untuk


menunjukkan bahwa virus ini ditransmisikan oleh serangga.
Semua Flavivirus memiliki kelompok epitop pada selubung protein yang
menimbulkan terjadinya cross reaction (reaksi silang) pada uji serologis, hal ini
menyebabkan diagnosis pasti uji serologis sulit ditegakkan. Ada 4 serotipe dari
virus dengue yaitu Den-1, Den-2, Den-3, Den-4. Infeksi salah satu serotipe virus
Den akan menghasilkan antibodi protektif untuk serotipe tersebut pada waktu
yang lama, tetapi tidak ada cross protection (perlindungan silang) terhadap
serotipe virus Den yang lain.
3.4

Patofisiologi5
Virus demam berdarah akan masuk ke dalam makrofag. Menurut antibody

dependent enhancement, antigen infeksi pertama pada makrofag justru menjadi


semacam opsonisasi untuk memfasilitasi virus menempel ke permukaan makrofag
dan masuk ke dalamnya. Makrofag akan melepaskan monokin, sitokin, histamine,
dan interferon, yang akan mengakibatkan celah endotel melebar, selanjutnya
terjadi kebocoran cairan intravaskular ke ruang eks-travaskular. Konsekuensinya,
terjadi hipovolemia, hemokonsentrasi, tubuh lemah, edema, dan kongesti visceral.
Perenggangan celah antar sel endotel dapat juga disebabkan oleh virus dengue itu
sendiri. Saat sel endotel terinfeksi DV, terjadi kerusakan sel endotel. Akan tetapi
pelebaran celah sel endotel terutama disebabkan oleh pelepasan sitokin inflamasi.

21

Adapun mekanisme hipotesis antibody dependent enhancement dijelaskan sebagai


berikut :

Gambar. Homologus antibodies form non-infectious complexes


Manusia yang pernah terinfeksi demam berdarah akan membuat serum
antibodi yang dapat menetralkan virus dengue yang serotipenya sama (homolog).

Gambar. Heterologous antibodies form infectious complexes


Dalam infeksi berikutnya, antibodi heterolog yang sudah ada sebelumnya
membentuk kompleks dengan serotipe virus baru yang menginfeksi, tetapi tidak
menetralkan virus baru.

22

Gambar. Heterologous complexes enter more monocytes where virus replicates


Peningkatan antibodi-terikat adalah proses di mana strain tertentu dari
virus dengue, bergabung dengan antibodi non-penetral, menginisiasi munculnya
monosit yang lebih banyak, sehingga meningkatkan produksi virus. Monosit yang
terinfeksi melepaskan mediator vasoaktif, mengakibatkan permeabilitas pembuluh
darah meningkat dan manifestasi perdarahan yang menjadi ciri DBD dan DSS
Dengan demikian, manifestasi klinis yang paling penting dalam penyakit
DBD adalah kebocoran plasma. Dan untuk mengetahui tanda-tanda kebocoran
plasma bukannya trombosit yang dipantau tetapi hematokrit. Selain itu, penting
juga pemantauan urine output dan hemostasis. Dari pengalaman dokter, apabila
tidak terjadi pendarahan massive, trombosit 3.000 atau 7.000 juga tidak
mengakibatkan kematian pasien.
Adapun tingkat keparahan sindrom kebocoran kapiler tergantung ukuran
celah endotel dan lokasi atau daerah yang terkena infeksi, komposisi matriks
kompartemen perivaskular, dan perbedaan tekanan hidrostatik dan tekanan
onkotik di intra dan ekstravaskular.
Tekanan hidrostatik dipengaruhi oleh tekanan pompa jantung yang
mendorong plasma keluar dari intravaskular ke ekstravaskular. Tekanan onkotik
adalah nilai tekanan zat-zat yang terkandung dalam darah yang memiliki sifat
osmolaritas untuk menahan plasma tetap berada pada intravaskular. Pada arteri
tekanan hidrostatik lebih besar dari tekanan onkotik maka plasma bisa keluar ke
ekstravaskular memberikan nutrisi dan oksigen pada jaringan tubuh. Sedangkan di
mikrokapiler tekanan hidrostatik lebih kecil dari tekanan onkotik sehingga cairan
tubuh yang telah kehilangan nutrisi dan mengandung CO2 dapat dikembalikan ke
23

dalam pembuluh darah. Perlu dipahami bahwa apabila kita telah mengetahui kalau
kebocoran plasma dipengaruhi oleh tekanan onkotik, penggunaan koloid untuk
meningkatkan tekanan osmotik dapat dilakukan apabila telah diketahui adanya
tanda-tanda kebocoran plasma. Pelebaran celah endotel dapat juga menyebabkan
leukosit keluar dari intravaskular mengejar makrofag yang mengandung virus
dengue, sehingga dapat dimengerti terjadi leukopenia pada DBD.6
Manisfestasi trombositopeni pada infeksi dengue memiliki beberapa
hipotesa penyebab:
1. Terjadi destruksi trombosit akibat interaksi antibody-antigen virus dengue di
permukaan trombosit;
2. Kerusakan dinding endotel oleh virus dengue sehingga menyebabkan interaksi
trombosit dengan kolagen subendotel sehingga terjadilah agregasi dan destruksi
trombosit;
3. IL-6 menginduksi antibodi IgM antitrombosit sehingga terjadilah destruksi
trombosit;
4. Manifestasi pendarahan pada DBD meningkatkan kebutuhan akan trombosit.
Manifestasi (nomor 3) menguatkan bahwa tidak perlu diberikan infus trombosit
pada pederita DBD, karena pada akhirnya trombosit yang di berikan akan
didestruksi dengan adanya antibodi antitrombosit.
Pada kasus dengue, ada masa inkubasi (virus dengue ada dalam tubuh tapi
tidak ada manifestasi klinis penyakit), fase akut (demam hari I-IV), dan fase kritis
(hari V-VII), dan fase konvalesense. Proses plasma leakage hanya terjadi pada
fase kritis, dan hanya terjadi dalam 24-48 jam. Untuk mengidentifikasi fase kritis
perhatikan bahwa pada sekitar hari kelima demam sudah mulai turun, tetapi
kematrokit makin meningkat, leukosit makin anjlok, dan trombosit juga makin
anjlok. Leukopeni rata-rata selalu mendahului trombositopeni, dan trombositopeni
mendahului plasma leakage. Pemeriksaan serologi baru dapat terdeteksi setelah
hari kelima, karena disitu kemungkinan besar konsentrasi antibodi cukup di atas
batas deteksi alat. Sedangkan pemeriksaan antigen NS1 dapat dilakukan dari H-1
sampai dengan hari keempat, kadar optimal NS1 adalah pada hari ketiga.
Pemeriksaan antigen NS1 ada dua, yaitu dengan ELISA dan rapid test.

24

Pemeriksaan dengan ELISA lebih akurat tetapi membutuhkan waktu yang lama (4
jam). Sedangkan pemeriksaan dengan rapid test hanya mebutuhkan waktu 5
menit.6
NS1 merupakan non structure protein yang terdapat pada permukaan virus,
merupakan antigen yang letaknya paling luar sehingga paling mudah terdeteksi
dan merupakan biang kerok utama manifestasi respon imun yang telah
diterangkan sebelumnya.
Menurut penemu alat rapid test untuk NS1 ini, hari ketiga merupakan
puncak kadar NS1 sehingga paling memungkinkan deteksi NS1 pada hari itu.
Akan tetapi setelah hari kelima, jumlah antigen sudah menurun sampai tidak bisa
terdeteksi. Untuk antibodi, dapat dideteksi setelah kelima demam. Pemeriksaan
NS1 tidak bisa menggantikan pemeriksaan antibodi. Akan tetapi tidak dapat
menentukan infeksi yang terjadi primer atau sekunder. Kita juga telah melupakan
uji tourniquet. Padahal uji tourniquet merupakan uji yang paling sederhana dan
spesifik untuk DBD. Perbedaan antara demam dengue dengan demam berdarah
dengue, pada DBD sudah pasti terjadi plasma leakage, sedangkan pada demam
dengue tidak terjadi.6

3.5

Patogenesis7
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes

aegepty atau Aedes albopictus. Organ sasaran dari virus ini adalah organ hepar,
nodus limfatikus, sumsum tulang serta paru-paru. Data dari berbagai penelitian
menunjukan bahwa sel-sel monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada
infeksi ini. Dalam peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit
perifer.
Virus Den mampubertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam sel
tersebut. Infeksi virus dengue mulai dengan menempelnya virus gemonnya masuk
ke dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk
komponen-komponennya, baik komponen antara maupun komponen struktural

25

virus. Setelah komponen struktural dirakit virus dilepaskan dari dalam sel. Proses
perkembangbiakan virus DEN terjadi di sitoplasma sel.
Patogenesisnya terjadinya syok berdasarkan hipotesis The Secondary
Heterologous Infection Theory yang dirumuskan oleh Suvatte tahun 1977.
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada
seorang pasien, respon antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu
beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan
menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu replikasi virus
dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat
terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya
kompleks antigen antibodi (virus antibodi kompleks) yang selanjutnya akan
mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari
ruang intravaskuler ke ruang ekstravaskuler. Pada pasien dengan syok berat,
volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama
24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya peningkatan kadar
hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga
serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan
menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal, oleh karena itu
pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.
Hipotesis kedua menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus
binatang lain, dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus
mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk.
Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan
peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi, dan mempunyai
potensi untuk menimbulkan wabah yang besar. Kedua hipotesis tersebut didukung
oleh data epidemiologis dan laboratoris.

26

Gambar. Replikasi virus

Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen


antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen juga menyebabkan agregasi
trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel
pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan akan menyebabkan perdarahan pada
DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen
antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosine di
phospat) sehingga trombosit melekat satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan
trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial sistem) sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet
factor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulopati
intravaskuler deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen
degradation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit
sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak namun tidak berfungsi
baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman
sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas
kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan massif pada
DBD diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat
KID), kelainan fungsi trombosit dan kerusakan dinding endotel kapiler.
Akibatnya, perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.

27

Gambar. Secondary heterlogous dengue infection

A.

Perubahan hematologi
Infeksi virus dengue menyebabkan terjadinya perubahan yang komplek

dan unik pada berbagai mekanisme homeostatik dalam tubuh penderita. Komplek
virus antibody yang terbentuk akan dapat mengaktifkan sistem koagulasi yang
dimulai dari aktivasi faktor XII (Hageman) menjadi bentuk aktif (XIIa).
Selanjutnya faktor XIIa ini akan mengaktifkan faktor koagulasi lainnya secara
berurutan mengikuti suatu kaskade sehingga akhirnya terbentuk fibrin. Disamping
itu, selain terhadap sistem koagualsi, faktor XI Ia juga akan mengaktifkan sistem
fibrinolisis, sistem kinin dan sistem komplemen yang kesemuanya memberikan
gambaran betapa kompleksnya akibat yang ditimbulkan oleh virus DBD tersebut.
Secara klinis dapat dijumpai gejala perdarahan sebagai akibat trombositopenia
berat, masa perdarahan dan masa protrombin yang memanjang, penurunan kadar
faktor pembekuan II, V, VII, VIII, IX dan X bersama hipofibrinogenemia dan
peningkatan produk pemecahan fibrin (FDP). Sedangkan aktivasi sistem kinin
akan menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah dengan akibat
kebocoran plasma yang ditandai dengan peningkatan hematokrit dan efusi cairan
serosa. Terbentuknya bradikinin mengakibatkan pelebaran pembuluh darah yang
dapat berlanjut dengan turunnya tekanan darah. Berbagai kelainan hematologi

28

telah terbukti menyertai perjalanan penyakit DBD, keadaan ini dipakai sebagai
penunjang diagnosis dan untuk penatalaksanaan yang tepat serta untuk penelitian
lebih jauh mengenai patofisiologi DBD.
Trombositopenia mulai tampak beberapa hari setelah panas, dan mencapai
titik terendah pada fase syok. Penyebab trombositopenia pada DBD masih
kontroversial. Sebagian peneliti mengatakan kemungkinan penyebabnya ialah
trombopoesis yang menurun dan destruksi trombosit dalam darah yang
meningkat. Peneliti lain menemukan adanya gangguan fungsi trombosit.
Ditemukannya kompleks imun pada permukaan trombosit diduga sebagai
penyebab agregasi trombosit yang kemudian akan dimusnahkan sistem
retikuloendotelial khususya limpa dan hati.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme:
1. Supresi sumsum tulang
2. Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit
B. Sistem respon imun
Setelah virus dengue masuk dalam tubuh manusia, virus berkembang biak
dalam sel retikuloendotelial yang selanjutnya diikuiti dengan viremia yang
berlangsung 5-7 hari. Akibat infeksi virus ini muncul respon imun baik humoral
maupun selular, antara lain anti netralisasi, anti-hemaglutinin, anti komplemen.
Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, pada infeksi dengue
primer antibodi mulai terbentuk, dan pada infeksi sekunder kadar antibodi yang
telah ada meningkat (booster effect).

Gambar. Perubahan kadar antibodi pada perjalanan infeksi

29

Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar


demam hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan
menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar
antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi
primer dan sekunder. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam
hari ke-14 sedang pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua.
Oleh karena itu diagnosa dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan
mendeteksi antibodi IgM setelah hari sakit kelima, diagnosis infeksi sekunder
dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibody IgG dan IgM
yang cepat.
3.6

Manifestasi Klinis1

Manifestasi klinis menurut kriteria diagnosis WHO 2011, infeksi dengue


dapat terjadi asimtomatik dan simtomatik. Infeksi dengue simtomatik terbagi
menjadi undifferentiated fever (sindrom infeksi virus) dan demam dengue (DD)
sebagai infeksi dengue ringan; sedangkan infeksi dengue berat terdiri dari demam

30

berdarah dengue (DBD) dan expanded dengue syndrome atau isolated


organopathy. Perembesan plasma sebagai akibat plasma leakage merupakan tanda
patognomonik DBD, sedangkan kelainan organ lain serta manifestasi yang tidak
lazim dikelompokkan ke dalam expanded dengue syndrome atau isolated
organopathy. Secara klinis, DD dapat disertai dengan perdarahan atau tidak;
sedangkan DBD dapat disertai syok atau tidak (Gambar 1).
a. Undifferentiated fever (sindrom infeksi virus)
Pada undifferentiated fever, demam sederhana yang tidak dapat dibedakan dengan
penyebab virus lain. Demam disertai kemerahan berupa makulopapular, timbul
saat demam reda. Gejala dari saluran pernapasan dan saluran cerna sering
dijumpai.
b. Demam dengue (DD)
Anamnesis didapatkan keluhan demam mendadak tinggi, disertai nyeri kepala,
nyeri otot & sendi/tulang, nyeri retro-orbital, photophobia, nyeri pada punggung,
facial flushed, lesu, tidak mau makan, konstipasi, nyeri perut, nyeri tenggorok,
dan depresi umum.
Pemeriksaan fisik :

Demam: 39-40C, berakhir 5-7 hari

Pada hari sakit ke 1-3 tampak flushing pada muka (muka kemerahan),
leher, dan dada

Pada hari sakit ke 3-4 timbul ruam kulit makulopapular/rubeolliform

Mendekati akhir dari fase demam dijumpai petekie pada kaki bagian
dorsal, lengan atas, dan tangan

Convalescent rash, berupa petekie mengelilingi daerah yang pucat pada


kulit yg normal, dapat disertai rasa gatal

Manifestasi perdarahan
o Uji bendung positif dan/atau petekie

31

o Mimisan hebat, menstruasi yang lebih banyak, perdarahan saluran


cerna

(jarang

terjadi,

dapat

terjadi

pada

DD

dengan

trombositopenia)
c. Demam berdarah dengue
Terdapat tiga fase dalam perjalanan penyakit, meliputi fase demam, kritis, dan
masa penyembuhan (convalescence, recovery).
Fase demam

Anamnesis
Demam tinggi, 2-7 hari, dapat mencapai 40C, serta terjadi kejang demam.
Dijumpai facial flush, muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri
tenggorok dengan faring hiperemis, nyeri di bawah lengkung iga kanan,
dan nyeri perut.

Pemeriksaan fisik
o Manifestasi perdarahan

Uji bendung positif (10 petekie/inch2) merupakan


manifestasi perdarahan yang paling banyak pada fase
demam awal.

Mudah lebam dan berdarah pada daerah tusukan untuk jalur


vena.

Petekie pada ekstremitas, ketiak, muka, palatum lunak.

Epistaksis, perdarahan gusi

Perdarahan saluran cerna

Hematuria (jarang)

Menorrhagia

o Hepatomegali teraba 2-4 cm di bawah arcus costae kanan dan


kelainan fungsi hati (transaminase) lebih sering ditemukan pada
DBD.

32

Berbeda dengan DD, pada DBD terdapat hemostasis yang tidak normal,
perembesan plasma (khususnya pada rongga pleura dan rongga peritoneal),
hipovolemia, dan syok, karena terjadi peningkatan permeabilitas kapiler.
Perembesan plasma yang mengakibatkan ekstravasasi cairan ke dalam rongga
pleura dan rongga peritoneal terjadi selama 24-48 jam.
Fase kritis
Fase kritis terjadi pada saat perembesan plasma yang berawal pada masa
transisi dari saat demam ke bebas demam (disebut fase time of fever
defervescence) ditandai dengan,

Peningkatan hematokrit 10%-20% di atas nilai dasar

Tanda perembesan plasma seperti efusi pleura dan asites, edema pada
dinding kandung empedu. Foto dada (dengan posisi right lateral decubitus
= RLD) dan ultrasonografi dapat mendeteksi perembesan plasma tersebut.

Terjadi penurunan kadar albumin >0.5g/dL dari nilai dasar / <3.5 g% yang
merupakan bukti tidak langsung dari tanda perembesan plasma

Tanda-tanda syok: anak gelisah sampai terjadi penurunan kesadaran,


sianosis, nafas cepat, nadi teraba lembut sampai tidak teraba. Hipotensi,
tekanan nadi 20 mmHg, dengan peningkatan tekanan diastolik. Akral
dingin, capillary refill time memanjang (>3 detik). Diuresis menurun (<
1ml/kg berat badan/jam), sampai anuria.

Komplikasi berupa asidosis metabolik, hipoksia, ketidakseimbangan


elektrolit, kegagalan multipel organ, dan perdarahan hebat apabila syok
tidak dapat segera diatasi.

Fase penyembuhan (convalescence, recovery)


Fase penyembuhan ditandai dengan diuresis membaik dan nafsu makan
kembali merupakan indikasi untuk menghentikan cairan pengganti. Gejala umum
dapat ditemukan sinus bradikardia/ aritmia dan karakteristik confluent petechial
rash seperti pada DD.

33

d. Expanded dengue syndrome


Manifestasi berat yang tidak umum terjadi meliputi organ seperti hati, ginjal,
otak,dan jantung. Kelainan organ tersebut berkaitan dengan infeksi penyerta,
komorbiditas, atau komplikasi dari syok yang berkepanjangan.
Perjalanan penyakit Infeksi Dengue
Dalam perjalanan penyakit infeksi dengue, terdapat tiga fase perjalanan infeksi
dengue, yaitu:
1. Fase demam: viremia menyebabkan demam tinggi
2. Fase kritis/perembesan plasma: onset mendadak adanya perembesan
plasma dengan derajat bervariasi pada efusi pleura dan asites.
3. Fase

recovery/penyembuhan/

convalescence:

perembesan

plasma

mendadak berhenti disertai reabsorpsi cairan dan ekstravasasi plasma.

Pemeriksaan Penunjang8

3.7

Untuk membantu menegakkan diagnosis demam berdarah dengue dapat dilakukan


dengan pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis.

Laboratorium

34

1. Pemeriksaan darah perifer, yaitu hemoglobin, leukosit, hitung jenis,


hematokrit, dan trombosit. Antigen NS1 dapat dideteksi pada hari ke-1
setelah demam dan akan menurun sehingga tidak terdeteksi setelah hari
sakit ke-5-6. Deteksi antigen virus ini dapat digunakan untuk diagnosis
awal menentukan adanya infeksi dengue, namun tidak dapat membedakan
penyakit DD/DBD.
2. Uji serologi IgM dan IgG anti dengue
o Antibodi IgM anti dengue dapat dideteksi pada hari sakit ke-5
sakit, mencapai puncaknya pada hari sakit ke 10-14, dan akan
menurun/ menghilang pada akhir minggu keempat sakit.
o Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer dapat terdeteksi pada
hari sakit ke-14. dan menghilang setelah 6 bulan sampai 4 tahun.
Sedangkan pada infeksi sekunder IgG anti dengue akan terdeteksi
pada hari sakit ke-2.
o Rasio IgM/IgG digunakan untuk membedakan infeksi primer dari
infeksi sekunder. Apabila rasio IgM:IgG >1,2 menunjukkan infeksi
primer namun apabila IgM:IgG rasio <1,2 menunjukkan infeksi
sekunder.

Pemeriksaan radiologis

Pemeriksaan foto dada dalam posisi right lateral decubitus dilakukan atas
indikasi,

35

o Distres pernafasan/ sesak


o Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat
kelainan radiologis terjadi apabilapada perembesan plasma telah
mencapai 20%-40%
o Pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan, dan untuk
menilai edema paru karena overload pemberian cairan.
o Kelainan radiologi yang dapat terjadi: dilatasi pembuluh darah paru
terutama daerah hilus kanan, hemitoraks kanan lebih radioopak
dibandingkan yang kiri, kubah diafragma kanan lebih tinggi daripada
kanan, dan efusi pleura.
o Pada pemeriksaan ultrasonografi dijumpai efusi pleura, kelainan
dinding vesika felea, dan dinding buli-buli.
3.8

Diagnosis
Diagnosis

DBD/DSS

ditegakkan

berdasarkan

kriteria

klinis

dan

laboratorium (WHO, 2011).1


Kriteria klinis

Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terusmenerus selama 2-7 hari

Manifestasi perdarahan, termasuk uji bendung positif, petekie, purpura,


ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan/melena

Pembesaran hati
Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (20
mmHg), hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien
tampak gelisah.

Kriteria laboratorium

Trombositopenia (100.000/mikroliter)

Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit 20% dari nilai


dasar / menurut standar umur dan jenis kelamin

36

Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan:

Dua

kriteria

klinis

pertama

ditambah

trombositopenia

dan

hemokonsentrasi/ peningkatan hematokrit >20%.

Dijumpai hepatomegali sebelum terjadi perembesan plasma

Dijumpai tanda perembesan plasma


o Efusi pleura (foto toraks/ultrasonografi)
o Hipoalbuminemia

Perhatian
o Pada kasus syok, hematokrit yang tinggi dan trombositopenia yang
jelas, mendukung diagnosis DSS.
o Nilai LED rendah (<10mm/jam) saat syok membedakan DSS dari
syok sepsis.

37

3.9

Diagnosis Banding
Pada awal perjalanan penyakit diagnosis mencakup infeksi bakteri, virus

atau infeksi protozoa seperti demam dengue, campak, influenza, demam


chikungunya, leptospirosis dan malaria. Adanya trombositopenia yang jelas
disertai hemokonsentrasi dapat membedakan DBD dengan penyakit lain.
DBD harus dibedakan pada demam chikungunya. Pada demam
chikungunya biasanya seluruh anggota keluarga dapat terserang dan penularannya
mirip dengan influenza. Demam chikungunya memperlihatkan serangan demam
mendadak, masa demam lebih pendek, suhu lebih tinggi, hampir selalu disertai
ruam makulopapular, injeksi konjungtiva dan lebih sering dijumpai nyeri sendi.
Pada demam chikungunya tidak ditemukan perdarahan gastrointestinal dan
syok.5,6

38

Gambar. Manifestasi mayor pada dengue dan chikunguya 2

3.10

Penatalaksanaan1

39

Tanda kegawatan9
Tanda kegawatan dapat terjadi pada setiap fase pada perjalanan penyakit
infeksi dengue, seperti berikiut.

Tidak ada perbaikan klinis/perburukan saat sebelum atau selama masa


transisi ke fase bebas demam / sejalan dengan proses penyakit

Muntah yg menetap, tidak mau minum

Nyeri perut hebat

Letargi dan/atau gelisah, perubahan tingkah laku mendadak

Perdarahan: epistaksis, buang air besar hitam, hematemesis, menstruasi


yang hebat, warna urin gelap (hemoglobinuria)/hematuria

Giddiness (pusing/perasaan ingin terjatuh)

Pucat, tangan - kaki dingin dan lembab

Diuresis kurang/tidak ada dalam 4-6 jam

40

Monitor perjalanan penyakit DD/DBD1


Parameter yang harus dimonitor mencakup,

Keadaan umum, nafsu makan, muntah, perdarahan, dan tanda dan gejala
lain

Perfusi perifer sesering mungkin karena sebagai indikator awal tanda syok,
serta mudah dan cepat utk dilakukan

Tanda vital: suhu, nadi, pernapasan, tekanan darah, diperiksa minimal


setiap 2-4 jam pada pasien non syok & 1-2 jam pada pasien syok.

Pemeriksaan hematokrit serial setiap 4-6 jam pada kasus stabil dan lebih
sering pada pasien tidak stabil/ tersangka perdarahan.

Diuresis setiap 8-12 jam pada kasus tidak berat dan setiap jam pada pasien
dengan syok berkepanjangan / cairan yg berlebihan.

Jumlah urin harus 1 ml/kg berat badan/jam ( berdasarkan berat badan


ideal)

Indikasi pemberian cairan intravena9

Pasien tidak dapat asupan yang adekuat untuk cairan per oral ataumuntah

Hematokrit meningkat 10%-20% meskipun dengan rehidrasi oral

Ancaman syok atau dalam keadaan syok

Prinsip umum terapi cairan pada DBD1,10

Kristaloid isotonik harus digunakan selama masa kritis.

Cairan koloid digunakan pada pasien dengan perembesan plasma hebat,


dan tidak ada respon pada minimal volume cairan kristaloid yang
diberikan.

Volume cairan rumatan + dehidrasi 5% harus diberikan untuk menjaga


volume dan cairan intravaskular yang adekuat.

Pada pasien dengan obesitas, digunakan berat badan ideal sebagai acuan
untuk menghitung volume cairan.

41

Kecepatan cairan intravena harus disesuaikan dengan keadaan klinis.

Transfusi suspensi trombosit pada trombositopenia untuk profilaksis tidak


dianjurkan

Pemeriksaan laboratorium baik pada kasus syok maupun non syok saat
tidak ada perbaikan klinis walaupun penggantian volume sudah cukup,
maka perhatikan ABCS yang terdiri dari, A Acidosis: gas darah, B
Bleeding: hematokrit, C Calsium: elektrolit, Ca++ dan S Sugar: gula
darah (dekstrostik)

Tata laksana infeksi dengue berdasarkan fase perjalanan penyakit1


a. Fase Demam
Pada fase demam, dapat diberikan antipiretik + cairan rumatan / atau cairan oral
apabila anak masih mau minum, pemantauan dilakukan setiap 12-24 jam

Medikamentosa
o Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian parasetamol
bukan aspirin.

42

o Diusahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan


(misalnya

antasid,

anti

emetik)

untuk

mengurangi

beban

detoksifikasi obat dalam hati.


o Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati apabila terdapat
perdarahan saluran cerna kortikosteroid tidak diberikan.
o Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati.

Supportif
o Cairan: cairan pe oral + cairan intravena rumatan per hari + 5%
defisit
o Diberikan untuk 48 jam atau lebih
o Kecepatan cairan IV disesuaikan dengan kecepatan kehilangan
plasma, sesuai keadaan klinis, tanda vital, diuresis, dan hematokrit

b. Fase Kritis
Pada fase kritis pemberian cairan sangat diperlukan yaitu kebutuhan rumatan
+ deficit, disertai monitor keadaan klinis dan laboratorium setiap 4-6 jam.

43

DBD dengan syok berkepanjangan (DBD derajat IV)

Cairan: 20 ml/kg cairan bolus dalam 10-15 menit, bila tekanan darah
sudah didapat cairan selanjutnya sesuai algoritma pada derajat III

Bila syok belum teratasi: setelah 10ml/kg pertama diulang 10 ml/kg, dapat
diberikan bersama koloid 10-30ml/kgBB secepatnya dalam 1 jam dan
koreksi hasil laboratorium yang tidak normal

Transfusi darah segera dipertimbangkan sebagai langkah selanjutnya


(setelah review hematokrit sebelum resusitasi)

Monitor ketat (pemasangan katerisasi urin, katerisasi pembuluh darah vena


pusat / jalur arteri)

Inotropik dapat digunakan untuk mendukung tekanan darah

44

Apabila jalur intravena tidak didapatkan segera, coba cairan elektrolit per oral bila
pasien sadar atau jalur intraoseus. Jalur intraoseus dilakukan dalam keadaan
darurat atau setelah dua kali kegagalan mendapatkan jalur vena perifer atau
setelah gagal pemberian cairan melalui oral. Cairan intraosesus harus dikerjakan
secara cepat dalam 2-5 menit
Perdarahan hebat

Apabila sumber perdarahan dapat diidentifikasi, segera hentikan. Transfusi


darah segera adalah darurat tidak dapat ditunda sampai hematokrit turun
terlalu rendah. Bila darah yang hilang dapat dihitung, harus diganti.
Apabila tidak dapat diukur, 10 ml/kg darah segar atau 5 ml/kg PRC harus
diberikan dan dievaluasi.

Pada perdarahan saluran cerna, H2 antagonis dan penghambat pompa


proton dapat digunakan.

Tidak ada bukti yang mendukung penggunaan komponen darah seperti


suspense trombosit, plasma darah segar/cryoprecipitate. Penggunaan
larutan tersebut ini dapat menyebabkan kelebihan cairan.

DBD ensefalopati
DBD ensefalopati dapat terjadi bersamaan dengan syok atau tidak.

Ensefalopati yang terjadi bersamaan dengan syok hipovolemik, maka


penilaian ensefalopati harus diulang setelah syok teratasi.
o Apabila kesadaran membaik setelah syok teratasi, maka kesadaran
menurun atau kejang disebabkan karena hipoksia yang terjadi pada
syok
o Pertahankan oksigenasi jalan napas yg adekuat dengan terapi
oksigen.

Jika ensefalopati terjadi pada DBD tanpa syok dan masa krisis sudah
dilewati maka,
o Cegah / turunkan peningkatan tekanan intrakranial dengan,

45

Memberikan

cairan

mempertahankan

volume

intravena

minimal

intravaskular,

total

untuk
cairan

intravena tidak boleh >80% cairan rumatan

Ganti ke cairan kristaloid dengan koloid segera apabila


hematokrit terus meningkat dan volume cairan intravena
dibutuhkan pada kasus dengan perembesan plasma yang
hebat.

Diuretik diberikan apabila ada indikasi tanda dan gejala


kelebihan cairan

Posisikan pasien dengan kepala lebih tinggi 30 derajat.

Intubasi

segera

untuk

mencegah

hiperkarbia

dan

melindungi jalan napas.

Dipertimbangkan steroid untuk menurunkan tekanan


intrakranial, dengan pemberian deksametasone 0,15mg/kg
berat badan/dosis intravena setiap 6-8 jam.

o Menurunkan produksi amonia

Berikan laktulosa 5-10 ml setiap 6 jam untuk menginduksi


diare osmotik.

Antibiotik lokal akan mengganggu flora usus maka tidak


diperlukan pemberian

o Pertahankan gula darah 80-100 mg/dl, kecepatan infus glukosa


yang dianjurkan 4-6 mg/kg/jam.
o Perbaiki asam basa dan ketidakseimbangan elektrolit
o Vitamin K1 IV dengan dosis:umur < 1tahun: 3mg, <5 tahun: 5mg,
>5 tahun:10mg.
o Anti kejang phenobarbital, dilantin, atau diazepam IV sesuai
indikasi.
o Transfusi darah, lebih baik PRC segar sesuai indikasi. Komponen
darah lain seperti suspense trombosit dan plasma segar beku tidak

46

diberikan karena kelebihan cairan dapat meningkatkan tekanan


intrakranial.
o Terapi antibiotik empirik apabila disertai infeksi bakterial.
o Pemberian H2 antagonis dan penghambat pompa proton untuk
mencegah perdarahan saluran cerna.
o Hindari obat yang tidak diperlukan karena sebagai besar obat
dimetabolisme di hati.

Hemodialisis pada kasus perburukan klinis dapat dipertimbangkan.

c. Fase Recovery
Pada fase penyembuhan diperlukan cairan rumatan atau cairan oral, serta
monitor tiap 12-24 jam.
Indikasi untuk pulang11
Pasien dapat dipulangkan apabila telah terjadi perbaikan klinis sebagai
berikut.

Bebas demam minimal 24 jam tanpa menggunakan antipiretik

Nafsu makan telah kembali

Perbaikan klinis, tidak ada demam, tidak ada distres pernafasan, dan nadi
teratur

Diuresis baik

Minimum 2-3 hari setelah sembuh dari syok

Tidak ada kegawatan napas karena efusi pleura, tidak ada asites

Trombosit >50.000 /mm3. Pada kasus DBD tanpa komplikasi, pada


umumnya jumlah trombosit akan meningkat ke nilai normal dalam 3-5
hari.

3.11

Komplikasi11
DHF mengakibatkan pendarahan pada semua organ tubuh, seperti
pendarahanginjal, otak, jantung, paru paru, limpa dan hati. Sehingga tubuh
kehabisan darah dancairan serta menyebabkan kematian.
47

Ensepalopati.
Gangguan kesadaran yang disertai kejang.
Disorientasi, prognosa buruk.

DAFTAR PUSTAKA

1. World

Health

Organization-South

East

Asia

Regional

Office.

Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and


Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011.p.1-67.
2. Buku ajar Infeksi dan Penyakit Tropis IDAI Edisi II. Editor : Sumarmo, S
Purwo Sudomo, Harry Gama, Sri rejeki.Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI. Jakarta 2002.
3. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue.
Dalam: Sudoyo, A. et.al. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.
Edisi 4. Jakarta:Pusat Penerbitan IPD FKUI, 2006.p.1774-9
4. Halstead S.B. 2008. Dengue in Tropical Medicine, Science and Practice.
Imperial College Press, London; 5:285-306
5. Soegijanto, S. Ilmu penyakit Anak Diagnosis & Penatalaksanaan. Jakarta :
Salemba Medika. 2002.
6. Hadinegoro SRS,Soegijanto S, Wuryadi S, Surososo T. Tatalaksana
Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue pada Anak. Naskah Lengkap
Pelatihan bagi Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam
dalam tatalaksana kasus DBD. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2004
7. Hadinegoro SRH, et al. (editor). Tata laksana demam berdarah dengue di
Indonesia.

Departemen

Kesehatan

RI

dan

Direktorat

Jenderal

Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. 2004

48

8. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue Clinical Guidance.


Updated

2010

sept

1.

Available

from:

http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html.
9. WHO. Dengue for Diagnosis, treatment, prevention and control. 2009:1146
10. Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid
therapy. Pediatrics 1957;19:823
11. Demam Berdarah Dengue. Naskah lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter
Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tata laksana
Kasus DBD. Hadinegoro SR, Satari HI, penyunting. Balai Penerbit,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2005.
12. Rahman AKMM, Ahmad M, Begum RS, Hossain MZ, Hoque SA, Matin
A. Typhoid fever in children An update. J Chaka Med Coll 2010; 19(2):
135-143

49

Anda mungkin juga menyukai