TINJAUAN PUSTAKA
3.1
Definisi
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang
disebabkan oleh virus dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk DBD. 3 DBD
adalah salah satu manifestasi simptomatik dari infeksi virus dengue.
3.2
Epidemiologi1
bebas demam berdarah menjadi pemilik masalah DHF yang serius. Setiap 10
tahun, jumlah rata-rata tahunan kasud DF/DHF dilaporkan ke WHO terus tumbuh
secaraeksponensial. Dari taun 2000 hingga 2008, jumlah rata-rata kasus tahunan
adalah 1 656 870, hampir tiga setengah angka untuk tahun 1990-1999, yaitu 479
848. Pada tahun 2008, dari 69 negara yang tercatat dalam WHO wilayah TimurSelatan Asia, Pasifik Barat dan Amerika melaorkan aktivitas demam berdarah.
3.3
Etiologi4
Virus dengue termasuk familia Flaviridae, dari genus Flavivirus. Atas
Patofisiologi5
Virus demam berdarah akan masuk ke dalam makrofag. Menurut antibody
21
22
dalam pembuluh darah. Perlu dipahami bahwa apabila kita telah mengetahui kalau
kebocoran plasma dipengaruhi oleh tekanan onkotik, penggunaan koloid untuk
meningkatkan tekanan osmotik dapat dilakukan apabila telah diketahui adanya
tanda-tanda kebocoran plasma. Pelebaran celah endotel dapat juga menyebabkan
leukosit keluar dari intravaskular mengejar makrofag yang mengandung virus
dengue, sehingga dapat dimengerti terjadi leukopenia pada DBD.6
Manisfestasi trombositopeni pada infeksi dengue memiliki beberapa
hipotesa penyebab:
1. Terjadi destruksi trombosit akibat interaksi antibody-antigen virus dengue di
permukaan trombosit;
2. Kerusakan dinding endotel oleh virus dengue sehingga menyebabkan interaksi
trombosit dengan kolagen subendotel sehingga terjadilah agregasi dan destruksi
trombosit;
3. IL-6 menginduksi antibodi IgM antitrombosit sehingga terjadilah destruksi
trombosit;
4. Manifestasi pendarahan pada DBD meningkatkan kebutuhan akan trombosit.
Manifestasi (nomor 3) menguatkan bahwa tidak perlu diberikan infus trombosit
pada pederita DBD, karena pada akhirnya trombosit yang di berikan akan
didestruksi dengan adanya antibodi antitrombosit.
Pada kasus dengue, ada masa inkubasi (virus dengue ada dalam tubuh tapi
tidak ada manifestasi klinis penyakit), fase akut (demam hari I-IV), dan fase kritis
(hari V-VII), dan fase konvalesense. Proses plasma leakage hanya terjadi pada
fase kritis, dan hanya terjadi dalam 24-48 jam. Untuk mengidentifikasi fase kritis
perhatikan bahwa pada sekitar hari kelima demam sudah mulai turun, tetapi
kematrokit makin meningkat, leukosit makin anjlok, dan trombosit juga makin
anjlok. Leukopeni rata-rata selalu mendahului trombositopeni, dan trombositopeni
mendahului plasma leakage. Pemeriksaan serologi baru dapat terdeteksi setelah
hari kelima, karena disitu kemungkinan besar konsentrasi antibodi cukup di atas
batas deteksi alat. Sedangkan pemeriksaan antigen NS1 dapat dilakukan dari H-1
sampai dengan hari keempat, kadar optimal NS1 adalah pada hari ketiga.
Pemeriksaan antigen NS1 ada dua, yaitu dengan ELISA dan rapid test.
24
Pemeriksaan dengan ELISA lebih akurat tetapi membutuhkan waktu yang lama (4
jam). Sedangkan pemeriksaan dengan rapid test hanya mebutuhkan waktu 5
menit.6
NS1 merupakan non structure protein yang terdapat pada permukaan virus,
merupakan antigen yang letaknya paling luar sehingga paling mudah terdeteksi
dan merupakan biang kerok utama manifestasi respon imun yang telah
diterangkan sebelumnya.
Menurut penemu alat rapid test untuk NS1 ini, hari ketiga merupakan
puncak kadar NS1 sehingga paling memungkinkan deteksi NS1 pada hari itu.
Akan tetapi setelah hari kelima, jumlah antigen sudah menurun sampai tidak bisa
terdeteksi. Untuk antibodi, dapat dideteksi setelah kelima demam. Pemeriksaan
NS1 tidak bisa menggantikan pemeriksaan antibodi. Akan tetapi tidak dapat
menentukan infeksi yang terjadi primer atau sekunder. Kita juga telah melupakan
uji tourniquet. Padahal uji tourniquet merupakan uji yang paling sederhana dan
spesifik untuk DBD. Perbedaan antara demam dengue dengan demam berdarah
dengue, pada DBD sudah pasti terjadi plasma leakage, sedangkan pada demam
dengue tidak terjadi.6
3.5
Patogenesis7
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes
aegepty atau Aedes albopictus. Organ sasaran dari virus ini adalah organ hepar,
nodus limfatikus, sumsum tulang serta paru-paru. Data dari berbagai penelitian
menunjukan bahwa sel-sel monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada
infeksi ini. Dalam peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit
perifer.
Virus Den mampubertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam sel
tersebut. Infeksi virus dengue mulai dengan menempelnya virus gemonnya masuk
ke dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk
komponen-komponennya, baik komponen antara maupun komponen struktural
25
virus. Setelah komponen struktural dirakit virus dilepaskan dari dalam sel. Proses
perkembangbiakan virus DEN terjadi di sitoplasma sel.
Patogenesisnya terjadinya syok berdasarkan hipotesis The Secondary
Heterologous Infection Theory yang dirumuskan oleh Suvatte tahun 1977.
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada
seorang pasien, respon antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu
beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan
menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu replikasi virus
dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat
terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya
kompleks antigen antibodi (virus antibodi kompleks) yang selanjutnya akan
mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari
ruang intravaskuler ke ruang ekstravaskuler. Pada pasien dengan syok berat,
volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama
24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya peningkatan kadar
hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga
serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan
menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal, oleh karena itu
pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.
Hipotesis kedua menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus
binatang lain, dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus
mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk.
Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan
peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi, dan mempunyai
potensi untuk menimbulkan wabah yang besar. Kedua hipotesis tersebut didukung
oleh data epidemiologis dan laboratoris.
26
27
A.
Perubahan hematologi
Infeksi virus dengue menyebabkan terjadinya perubahan yang komplek
dan unik pada berbagai mekanisme homeostatik dalam tubuh penderita. Komplek
virus antibody yang terbentuk akan dapat mengaktifkan sistem koagulasi yang
dimulai dari aktivasi faktor XII (Hageman) menjadi bentuk aktif (XIIa).
Selanjutnya faktor XIIa ini akan mengaktifkan faktor koagulasi lainnya secara
berurutan mengikuti suatu kaskade sehingga akhirnya terbentuk fibrin. Disamping
itu, selain terhadap sistem koagualsi, faktor XI Ia juga akan mengaktifkan sistem
fibrinolisis, sistem kinin dan sistem komplemen yang kesemuanya memberikan
gambaran betapa kompleksnya akibat yang ditimbulkan oleh virus DBD tersebut.
Secara klinis dapat dijumpai gejala perdarahan sebagai akibat trombositopenia
berat, masa perdarahan dan masa protrombin yang memanjang, penurunan kadar
faktor pembekuan II, V, VII, VIII, IX dan X bersama hipofibrinogenemia dan
peningkatan produk pemecahan fibrin (FDP). Sedangkan aktivasi sistem kinin
akan menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah dengan akibat
kebocoran plasma yang ditandai dengan peningkatan hematokrit dan efusi cairan
serosa. Terbentuknya bradikinin mengakibatkan pelebaran pembuluh darah yang
dapat berlanjut dengan turunnya tekanan darah. Berbagai kelainan hematologi
28
telah terbukti menyertai perjalanan penyakit DBD, keadaan ini dipakai sebagai
penunjang diagnosis dan untuk penatalaksanaan yang tepat serta untuk penelitian
lebih jauh mengenai patofisiologi DBD.
Trombositopenia mulai tampak beberapa hari setelah panas, dan mencapai
titik terendah pada fase syok. Penyebab trombositopenia pada DBD masih
kontroversial. Sebagian peneliti mengatakan kemungkinan penyebabnya ialah
trombopoesis yang menurun dan destruksi trombosit dalam darah yang
meningkat. Peneliti lain menemukan adanya gangguan fungsi trombosit.
Ditemukannya kompleks imun pada permukaan trombosit diduga sebagai
penyebab agregasi trombosit yang kemudian akan dimusnahkan sistem
retikuloendotelial khususya limpa dan hati.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme:
1. Supresi sumsum tulang
2. Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit
B. Sistem respon imun
Setelah virus dengue masuk dalam tubuh manusia, virus berkembang biak
dalam sel retikuloendotelial yang selanjutnya diikuiti dengan viremia yang
berlangsung 5-7 hari. Akibat infeksi virus ini muncul respon imun baik humoral
maupun selular, antara lain anti netralisasi, anti-hemaglutinin, anti komplemen.
Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, pada infeksi dengue
primer antibodi mulai terbentuk, dan pada infeksi sekunder kadar antibodi yang
telah ada meningkat (booster effect).
29
Manifestasi Klinis1
30
Pada hari sakit ke 1-3 tampak flushing pada muka (muka kemerahan),
leher, dan dada
Mendekati akhir dari fase demam dijumpai petekie pada kaki bagian
dorsal, lengan atas, dan tangan
Manifestasi perdarahan
o Uji bendung positif dan/atau petekie
31
(jarang
terjadi,
dapat
terjadi
pada
DD
dengan
trombositopenia)
c. Demam berdarah dengue
Terdapat tiga fase dalam perjalanan penyakit, meliputi fase demam, kritis, dan
masa penyembuhan (convalescence, recovery).
Fase demam
Anamnesis
Demam tinggi, 2-7 hari, dapat mencapai 40C, serta terjadi kejang demam.
Dijumpai facial flush, muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri
tenggorok dengan faring hiperemis, nyeri di bawah lengkung iga kanan,
dan nyeri perut.
Pemeriksaan fisik
o Manifestasi perdarahan
Hematuria (jarang)
Menorrhagia
32
Berbeda dengan DD, pada DBD terdapat hemostasis yang tidak normal,
perembesan plasma (khususnya pada rongga pleura dan rongga peritoneal),
hipovolemia, dan syok, karena terjadi peningkatan permeabilitas kapiler.
Perembesan plasma yang mengakibatkan ekstravasasi cairan ke dalam rongga
pleura dan rongga peritoneal terjadi selama 24-48 jam.
Fase kritis
Fase kritis terjadi pada saat perembesan plasma yang berawal pada masa
transisi dari saat demam ke bebas demam (disebut fase time of fever
defervescence) ditandai dengan,
Tanda perembesan plasma seperti efusi pleura dan asites, edema pada
dinding kandung empedu. Foto dada (dengan posisi right lateral decubitus
= RLD) dan ultrasonografi dapat mendeteksi perembesan plasma tersebut.
Terjadi penurunan kadar albumin >0.5g/dL dari nilai dasar / <3.5 g% yang
merupakan bukti tidak langsung dari tanda perembesan plasma
33
recovery/penyembuhan/
convalescence:
perembesan
plasma
Pemeriksaan Penunjang8
3.7
Laboratorium
34
Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan foto dada dalam posisi right lateral decubitus dilakukan atas
indikasi,
35
Diagnosis
Diagnosis
DBD/DSS
ditegakkan
berdasarkan
kriteria
klinis
dan
Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terusmenerus selama 2-7 hari
Pembesaran hati
Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (20
mmHg), hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien
tampak gelisah.
Kriteria laboratorium
Trombositopenia (100.000/mikroliter)
36
Dua
kriteria
klinis
pertama
ditambah
trombositopenia
dan
Perhatian
o Pada kasus syok, hematokrit yang tinggi dan trombositopenia yang
jelas, mendukung diagnosis DSS.
o Nilai LED rendah (<10mm/jam) saat syok membedakan DSS dari
syok sepsis.
37
3.9
Diagnosis Banding
Pada awal perjalanan penyakit diagnosis mencakup infeksi bakteri, virus
38
3.10
Penatalaksanaan1
39
Tanda kegawatan9
Tanda kegawatan dapat terjadi pada setiap fase pada perjalanan penyakit
infeksi dengue, seperti berikiut.
40
Keadaan umum, nafsu makan, muntah, perdarahan, dan tanda dan gejala
lain
Perfusi perifer sesering mungkin karena sebagai indikator awal tanda syok,
serta mudah dan cepat utk dilakukan
Pemeriksaan hematokrit serial setiap 4-6 jam pada kasus stabil dan lebih
sering pada pasien tidak stabil/ tersangka perdarahan.
Diuresis setiap 8-12 jam pada kasus tidak berat dan setiap jam pada pasien
dengan syok berkepanjangan / cairan yg berlebihan.
Pasien tidak dapat asupan yang adekuat untuk cairan per oral ataumuntah
Pada pasien dengan obesitas, digunakan berat badan ideal sebagai acuan
untuk menghitung volume cairan.
41
Pemeriksaan laboratorium baik pada kasus syok maupun non syok saat
tidak ada perbaikan klinis walaupun penggantian volume sudah cukup,
maka perhatikan ABCS yang terdiri dari, A Acidosis: gas darah, B
Bleeding: hematokrit, C Calsium: elektrolit, Ca++ dan S Sugar: gula
darah (dekstrostik)
Medikamentosa
o Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian parasetamol
bukan aspirin.
42
antasid,
anti
emetik)
untuk
mengurangi
beban
Supportif
o Cairan: cairan pe oral + cairan intravena rumatan per hari + 5%
defisit
o Diberikan untuk 48 jam atau lebih
o Kecepatan cairan IV disesuaikan dengan kecepatan kehilangan
plasma, sesuai keadaan klinis, tanda vital, diuresis, dan hematokrit
b. Fase Kritis
Pada fase kritis pemberian cairan sangat diperlukan yaitu kebutuhan rumatan
+ deficit, disertai monitor keadaan klinis dan laboratorium setiap 4-6 jam.
43
Cairan: 20 ml/kg cairan bolus dalam 10-15 menit, bila tekanan darah
sudah didapat cairan selanjutnya sesuai algoritma pada derajat III
Bila syok belum teratasi: setelah 10ml/kg pertama diulang 10 ml/kg, dapat
diberikan bersama koloid 10-30ml/kgBB secepatnya dalam 1 jam dan
koreksi hasil laboratorium yang tidak normal
44
Apabila jalur intravena tidak didapatkan segera, coba cairan elektrolit per oral bila
pasien sadar atau jalur intraoseus. Jalur intraoseus dilakukan dalam keadaan
darurat atau setelah dua kali kegagalan mendapatkan jalur vena perifer atau
setelah gagal pemberian cairan melalui oral. Cairan intraosesus harus dikerjakan
secara cepat dalam 2-5 menit
Perdarahan hebat
DBD ensefalopati
DBD ensefalopati dapat terjadi bersamaan dengan syok atau tidak.
Jika ensefalopati terjadi pada DBD tanpa syok dan masa krisis sudah
dilewati maka,
o Cegah / turunkan peningkatan tekanan intrakranial dengan,
45
Memberikan
cairan
mempertahankan
volume
intravena
minimal
intravaskular,
total
untuk
cairan
Intubasi
segera
untuk
mencegah
hiperkarbia
dan
46
c. Fase Recovery
Pada fase penyembuhan diperlukan cairan rumatan atau cairan oral, serta
monitor tiap 12-24 jam.
Indikasi untuk pulang11
Pasien dapat dipulangkan apabila telah terjadi perbaikan klinis sebagai
berikut.
Perbaikan klinis, tidak ada demam, tidak ada distres pernafasan, dan nadi
teratur
Diuresis baik
Tidak ada kegawatan napas karena efusi pleura, tidak ada asites
3.11
Komplikasi11
DHF mengakibatkan pendarahan pada semua organ tubuh, seperti
pendarahanginjal, otak, jantung, paru paru, limpa dan hati. Sehingga tubuh
kehabisan darah dancairan serta menyebabkan kematian.
47
Ensepalopati.
Gangguan kesadaran yang disertai kejang.
Disorientasi, prognosa buruk.
DAFTAR PUSTAKA
1. World
Health
Organization-South
East
Asia
Regional
Office.
Departemen
Kesehatan
RI
dan
Direktorat
Jenderal
48
2010
sept
1.
Available
from:
http://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/clinical.html.
9. WHO. Dengue for Diagnosis, treatment, prevention and control. 2009:1146
10. Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid
therapy. Pediatrics 1957;19:823
11. Demam Berdarah Dengue. Naskah lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter
Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tata laksana
Kasus DBD. Hadinegoro SR, Satari HI, penyunting. Balai Penerbit,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 2005.
12. Rahman AKMM, Ahmad M, Begum RS, Hossain MZ, Hoque SA, Matin
A. Typhoid fever in children An update. J Chaka Med Coll 2010; 19(2):
135-143
49