Anda di halaman 1dari 55

LAPORAN CASE STUDY

BANGSAL NEUROLOGI

“BPPV (Benign Paroxysmal Positional Vertigo)+ HIPERTENSI”

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)

DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH M. NATSIR

Preseptor :

dr. Yulson, Sp.S

Disusun Oleh :

Wahyu Alfath Firdaus S.Farm (1941012013)

Putri Eka Septiana S.Farm (1941013008)

Siti Aisyah S.Farm (1941013010)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU

YAYASAN UNIV RIAU

PEKANBARU

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan

hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report Study Praktek

Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Rumah Sakit Umum Daerah Mohammad

Natsir.

Dalam proses penyelesaian laporan kasus ini penulis banyak mendapatkan

bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh sebab itu pada kesempatan ini

penulis menyampaikan ucapan banyak terima kasih kepada :

1 dr. Yulson, Sp.S selaku preseptor yang telah meluangkan waktu untuk

memberikan bimbingan, petunjuk, arahan sehingga laporan Case Study ini

dapat diselesaikan.

2 Ibu Rina Afrianti, M.Farm.,Apt selaku preseptor yang telah meluangkan

waktu untuk memberikan bimbingan, petunjuk, arahan sehingga laporan Case

Study ini dapat diselesaikan.

3 Bapak Adrizal, S.Farm., Apt selaku kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Umum DaerahMohammad Natsir serta seluruh apoteker yang bertugas yang

telah yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, ilmu, pengalaman dan

bantuan kepada penulis untuk melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker

(PKPA) di Rumah Sakit Umum Daerah Mohammad Natsir.

4 Staf Bangsal Neurologi Rumah Sakit Umum DaerahMohammad Natsir yang

telah memberikan bantuan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan

Case Study ini.

Terimakasih atas semua bimbingan, bantuan, dan dukungan, yang telah

diberikan kepada penulis, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua untuk

i
perkembangan ilmu pengetahuan pada masa mendatang khususnya tentang

pengobatan penyakit “BPPV + Hipertensi”

Penulismenyadari laporan kasus ini memiliki banyak kekurangan dan

jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang

membangun dari semua pihak.

Solok, Agustus 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR……………………………………………………. i

DAFTAR ISI ……….……………………………………………………. iii

BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………………. 4


1.1 Latar Belakang………………………………………………………… 4

BAB II. TINJAUAN UMUM …………………………………………… 7


2.1 Diabetes Mellitus……………………………………………………… 7
2.1.1 Definisi …………………………………………………………. 7
2.1.2 Patofisiologi dan Etiologi………………………………………. 7
2.1.3 Manifestasi Klinik ……………………………………………… 7
2.1.4 Terapi…………………………………………………………… 8
2.1.5 Penatalaksanaan Diabetes Mellitus ……………………………. 12
2.2Gastritis ……………………………………………………………… 12
2.2.1 Definisi …………………………………………………………. 12
2.2.2 Klasifikasi……………………………………………………….. 13
2.2.3 Epidemiologi …………………………………………………… 14
2.2.4 Etiologi ………………………………………………………… 15
2.2.5 Patofisiologi …………………………………………………… 18
2.2.6 Manifestasi Klinik………………………………………………. 19
2.2.7 Diagnosis……………………………………………………….. 20
2.2.8 Komplikasi……………………………………………………… 21
2.2.9 Penatalaksanaan Gastritis …………………………………….. 21

BAB III. TINJAUAN KASUS …………………………………………. 26


3.1 Identitas Pasien ……………………………………………………….. 26
3.2 Riwayat Penyakit ………………………………………………… 26
3.2.1 Keluhan Utama ………………………………………………… 26
3.2.2 Riwayat Penyakit Terdahulu …………………………………… 27
3.2.3 Riwayat Penyakit Keluarga ……………………………………. 27
3.3 Data Penunjang ……………………………………………………….. 27

ii
3.3.1 Data Pemeriksaan Fisik………………………………………… 27
3.3.2 Data Organ Vital ……………………………………………….. 28
3.3.3 Data Laboratorium …………………………………………….. 28
3.4 Diagnosis…………………………………………………………….. 29
3.4.1 Diagnosis Awal ………………………………………………… 29
3.4.2 Diagnosis Akhir………………………………………………… 29
3.5 Follow Up ……………………………………………………………. 30
3.6 Tinjauan Farmakologi Obat…………………………………………… 38

BAB IV. PEMBAHASAN ………………………………………………. 54

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………….. 59


5.1 Kesimpulan …………………………………………………………… 59
5.2 Saran ………………………………………………………………….. 59

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 60

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem keseimbangan merupakan sebuah sistem yang penting untuk kehidupan

manusia. Sistem keseimbangan membuat manusia mampu menyadari kedudukan

terhadap ruangan sekitar. Keseimbangan merupakan sebuah sistem yang saling

berintegrasi yaitu sistem visual, vestibular, sistem propioseptik, dan serebelar.

Gangguan pada sistem keseimbangan tersebut akan menimbulkan berbagai keluhan,

diantaranya berupa sensasi berputar yang sering disebut vertigo (Sjahrir, 2008).

Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) adalah gangguan keseimbangan

perifer yang sering dijumpai. Gejala yang dikeluhkan adalah pusing yang datang tiba

– tiba pada perubahan posisi kepala. Vertigo pada BPPV termasuk vertigo perifer

karena kelainannya terdapat pada telinga dalam, yaitu pada sistem

vestibularis.Vertigo berlangsung beberapa detik saja dan paling lama satu menit

kemudian reda kembali. Penyebabnya biasanya tidak diketahui namun sekitar 50%

diduga karena proses degenerasi yang mengakibatkan adanya deposit batu di kanalis

semisirkularis posterior sehingga bejana menjadi hipersensitif terhadap perubahan

gravitasi yang menyertai keadaan posisi kepala. Penderita benign paroxysmal

positional vertigo (BPPV) paling sering dijumpai pada usia 60 sampai 75 tahun dan

wanita lebih sering daripada pria (Sielski et al., 2015).

Angka kejadian vertigo di Amerika Serikat berkisar 64 dari 100.000 orang, wanita

cenderung lebih sering terserang (64%), kasus Benigna Paroxysmal Positional

4
Disease (BPPV) sering terjadi pada usia rata-rata 51-57 tahun, jarang pada usia 35

tahun tanpa riwayat trauma kepala (George, 2009). Pada suatu follow up study

menunjukkan bahwa BPPV memiliki resiko kekambuhan sebanyak 50% selama 5

tahun. Di Indonesia, data kasus di R.S. Dr Kariadi Semarang menyebutkan bahwa

kasus vertigo menempati urutan ke 5 kasus terbanyak yang dirawat di bangsal saraf.

Sekitar 50%, penyebab BPPV adalah idiopatik, selain idiopatik, penyebab

terbanyak adalah trauma kepala (17%) diikuti dengan neuritis vestibularis (15%),

migraine, implantasi gigi dan operasi telinga, dapat juga sebagai akibat dari posisi

tidur yang lama pada pasien post operasi atau bed rest total lama.

Hipertensi atau darah tinggi adalah penyakit kelainan jantung dan pembuluh

darah yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah. WHO (World Health

Organization) memberikan batasan tekanan darah normal adalah 140/90 mmHg.

Batasan ini tidak membedakan antara usia dan jenis kelamin (Marliani, 2007).

Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan

sistoliknya di atas 140 mmHg dan diastolik di atas 90 mmHg.

Prevalensi hipertensi usia > 18 tahun berdasar diagnosis tenaga kesehatan sebesar

9.4% dan dari pengukuran tekanan darah 25.8%. Diperkirakan 1-8% pasien hipertensi

usia 30 -70 tahun berlanjut menjadi krisis hipertensi. Sebanyak 20% pasien hipertensi

yang datang ke UGD merupakan pasien krisis hipertensi dan 88.53% merupakan

pasien dengan hipertensi urgensi (Salkic,2014).

Berdasarkan paparan diatas maka pasien perlu mendapatkan perhatian khusus

dalam penggunaan obat karena pasien mengalami komplikasi penyakit, oleh karena

itu kami mengangkat kasus ini untuk mendapatkan gambaran penggunaan obat secara

5
rasional pada pasien yang mengalami komplikasi penyakit BPPV dan Hipertensi di

RSUD M.Natsir Solok.

6
BAB II

TINJAUAN UMUM

2.1 Benign Proxysmal Positional Vertigo (BPPV)

2.1.1 Definisi

Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) adalah gangguan paling umum

pada sistem vestibular telinga dalam, yang merupakan bagian vital dari menjaga

keseimbangan. BPPV jinak artinya tidak mengancam jiwa atau progresif secara

umum. BPPV menghasilkan sensasi berputar yang disebut vertigo yang bersifat

paroksismal dan posisional, artinya terjadi tiba-tiba dan dengan perubahan posisi

kepala.

2.1.2 Patofisiologi dan Etiologi

Patofisiologi BPPV yang banyak diyakini saat ini adalah berdasarkan teori

canalithiasis. Teori ini menduga adanya debris otokonia yang lepas dari membran

otolith di utrikulus dan masuk ke kanalis semisirkularis. Debris yang disebut juga

kanalit ini akan mengganggu fungsi kupula sebagai organ detektor perubahan posisi

kepala dan mengirimkan impuls yang salah ke otak, akibatnya terjadi vertigo.

Kanalit paling sering terjadi di kanalis semisirkularis posterior.

Organ vestibular di setiap telinga termasuk utrikulus, sakula, dan tiga kanal

setengah lingkaran. Kanal setengah lingkaran mendeteksi gerakan rotasi. Kanal ini

terletak di sudut kanan satu sama lain dan diisi dengan cairan yang disebut

endolymph. Ketika kepala berputar, cairan endolymphatic tertinggal karena inersia

7
dan memberikan tekanan terhadap cupula, reseptor sensorik di dasar kanal. Reseptor

kemudian mengirimkan impuls ke otak tentang gerakan kepala.

2.1.3 Manifestasi Klinik

Gejala-gejala klinis dari BPPV adalah pusing, ketidakseimbangan, sulit untuk

berkonsentrasi, dan mual. Kegiatan yang dapat menyebabkan timbulnya gejala

dapat berbeda-beda pada tiap individu, tetapi gejala dapat dikurangi dengan

perubahan posisi kepala mengikuti arah gravitasi. Gejala dapat timbul dikarenakan

perubahan posisi kepala seperti saat melihat keatas, berguling, atau pun saat bangkit

dari tempat tidur (Bhattacharyya et al., 2008).

2.1.4 Terapi

Vestibularsuppressant dan obat-obat antiemetik adalah pilihan utama pada

pengobatan vertigo.

a. Vestibular Supressant

Vestibular supressant adalah obat yang mengurangi nistagmuse yang

disebabkan oleh ketidakseimbangan vestibular. Vestibular konvensional terdiri

dari tiga kelompok obat utama: antikolinergik, antihistamin dan benzodiazepin.

1) Antikolinergik

Antikolinergik adalah vestibular suppressant sentral yang mengurangi

kecepatan nystagmus vestibular pada manusia. Semua antikolinergik yang

digunakan secara konvensional dalam penatalaksanaan vertigo memiliki efek

samping seperti mulut kering, pupil melebar, dan sedasi.

8
2) Antihistamin

Semua penggunaan antihistamin tunggal untuk mengendalikan vertigo juga

memiliki aktivitas antikolinergik yang substansial, dan sebagian besar atau

semua efek vestibular suppressant berasal dari aktivitas

antikolinergiknya.Namun, bisa diterima bahwa antihistamin yang bekerja

sentral dapat mencegah mabuk perjalanan dan mengurangi keparahan gejala-

gejalanya bahkan jika diminum setelah timbulnya gejala.

a) Benzodiazepin

Obat Benzodiazepine adalah modulator GABA, berkerja terpusat untuk

menekan respons vestibular.Dalam dosis kecil, benzodiazepin sangat

berguna untuk penatalaksanaan vertigo.

b) Calcium Channel Antagonists

Antagonis saluran kalsium mungkin memiliki kegunaan dalam

pengobatan pusing. Dua contoh kelompok ini, flunarizine dan cinnarizine.

Ada beberapa alasan mengapa antagonis saluran kalsium dapat membantu

dalam penatalaksanaan vertigo. Beberapa antagonis saluran kalsium telah

terbukti sebagai vestibular suppressant.

b. Antiemetik

Beberapa antihistamin yang biasa digunakan sebagai vestibular supressant

memiliki sifat antiemetik yang signifikan (mis. Meklozin). Ketika agen oral tepat,

meclozine umumnya yang pertama digunakan, karena jarang menyebabkan efek

samping yang lebih parah daripada kantuk. Fenotiazin, seperti proklorperazin dan

9
promethazin, adalah antiemetik yang efektif, karena aktivitas antagonis reseptor

dopamin, tetapi juga bertindak di tempat lain. Misalnya, promethazine

berhubungan dengan antagonis reseptor H1 dan muskarinik. Karena obat-obatan

ini dapat menyebabkan efek samping yang signifikan, seperti dystonia, obat ini

digolongkan sebagai obat lini kedua yang penggunaannya harus singkat dan hati-

hati. Antagonis dopamin seperti fenotiazin juga berpotensi memperlambat

kompensasi vestibular

10
2.2 Hipertensi

2.2.1 Definisi

Hampir semua consensus/ pedoman utama baik dari dalam walaupun

luarnegeri, menyatakan bahwa seseorang akan dikatakan hipertensi

bilamemiliki tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan

darahdiastolik ≥ 90 mmHg, pada pemeriksaan yang berulang (Weber MA,

Schiffrin EL, White WB, Mann S, Lindholm LH, Kenerson JG, et al. Clinical

Practice Guidelines for the Maganement of Hypertension in the Community.

A Statement by the American Society of Hypertension and the International

Society of Hypertension. ASH paper. The Journal of Clinical Hypertension,

2013). Klasifikasi hipertensi menurut JNC VII, 2003 :

Klasifikasi Sistolik (mm Hg) Diastolic (mmHg)

Tekanan darah

Normal <120 <80

Prehipertensi 120-139 80-89

Hipertensi stage 1 140-159 90-99

Hipertensi stage 2 160 atau >160 100 atau > 100

2.2.2 Patofisiologi dan Etiologi

Hipertensi merupakan penyakit yang dapat disebabkan oleh penyebab

yang spesifik (hipertensi sekunder) atau mekanisme patofisiologi yang tidak

diketahui penyebabnya (hipertensi primer atau essensial).Hipertensi sekunder

11
bernilai kurang dari 10% kasus hipertensi, pada umumnya kasus tersebut

disebabkan oleh penyakit ginjal kronis atau renovaskuler. Kondisi lain yang

dapat menyebabkan hipertensi sekunder antara lain feokromasitom, sindrom

cushing, hipertiroid, hiperparatiroid, aldosterone primer, kehamilan, destruktif

sleep apnea, dan kerusakan aorta. Beberapa obat yang dapat meningkatkan

tekanan darah adalah kortikosteroid, estrogen, AINS (Anti Inflamasi Non

Steroid), amfetamin, sibutramin, siklosporing, takrolimus, eritropoietin, dan

venlafaksine.

Multifaktor yang dapat menyebabkan hipertensi primer, adalah :

a. Ketidaknormalan humoral meliputi sistem renin angiostensin-aldosteron,

hormone natriuretik, atau hiperinsulinemia.

b. Masalah patologi pada sistem syaraf pusat, serabut saraf otonom, volume

plasma, dan konstriksi arteriol

c. Devisiensi senyawa sintesis local vasodilator pada endothelium vaskular,

misalnya prostaksiklin, bradikinin, dan nitrit oksida, atau terjadinya

peningkatan produksi senyawa vasokonstriktor, seperti angiostensi II dan

angiostensi I.

d. Asupan natrium tinggi dan peningkatan sirkulasi hormone natriuretic yang

menginhibisi transport natrium intraseluler, menghasilkan peningkatan

reaktivitas vaskuler dan tekanan darah.

e. Peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler, memicu perubahan vaskuler,

fungsi otot halus dan peningkatan resistensi vaskuler perifer. (iso terapi)

2.2.3 Manifestasi Kilinik

12
Penderita hipertensi primer yang sederhana pada umunya tidak disertai

gejala, akan tetapi pnderita hipertensi sekunder dapat disertai gejala suatu

penyakit pnderita feokromositoma dapat mengalami sakit kepala paroksimal,

berkeringat, takikardia, palpitasi, dan hipotensi orstotatik. Pada

ladosteronemia primer yang mungki terjadi adalah gejala hypokalemia keram

otot dan kelelahan. Penderita hipertensi sekunder pada sindrom chusing dapat

terjadi peningkatan berat badan, polyuria, edema, irregular menstruasi,

jerawat, atau kelelahan otot.(iso terapi)

2.2.4 Terapi

Secara keseluruhan tujuan penanganan hipertensi adalah mengurangi

morbiditas dan kematian.Target nilai tekanan darahnya adalah kurang dari

140/90 untuk hipertensi tidak komplikasi kurang dari 130/80 untuk penderita

diabetes mellitus serta ginjal kronik. Tekanan darah sewaktu merupakan

indikasi yang baik untuk resiko kardiovaskular daripada tekanan darah

diastolic dan seharusnya dijadikan tanda klinik primer dalam mengontrol

hipertensi.( iso terapi)

a. Terapi Non-Farmakologi

Penderita hipertensi dianjurkan untuk memodifikasi gaya hidup,

termasuk penurunan berat badan jika kelebihan berat badan, melakukan diet

makanan yang mengadopsi metode DASH (Dietary Aproaches to Stop

Hypertension), mengurangi asupan natrium hingga lebih kecil sama dengan

2,4 g/hari (6 g/hari NaCl), melakukan aktivitas fisik seperti aerobik,

13
mengurangi konsumsi alcohol dan menghentikan kebiasaan merokok.

Penderita yang didiagnosis hipertensi tahap 1 atau 2 sebaiknya ditempatkan

pada terapi modifikasi gaya hidup dan terapi obat secara bersamaan. (iso

terapi)

b. Terapi Farmakologi

Pemilihan obat tergantung pada derajat meningkatnya tekanan darah

dan keberadaan compelling indications / indikasi dengan penyakit lain.

Kebanyakan penderita hipertensi tahap 1 sebaiknya terapi diawali dengan

diuretik tiazida, penderita hipertensi tahap dua pada umumnya diberikan

terapi kombinasisalah satu obatnya diuretic tiazid kecuali terrdapat

kontraindikasi.

Golongan diuretik, beta bloker, inhibitor Angiostensin-Converting

enzyme (ACE), Angiostensin II Reseptor Blocker (ARB), dan Calcium

Channel Blocker (CCB) merupakan agen primer berdasarkan pada data

kerusakan organ target atau morbiditas dan kematian kardiovaskuler.

Golongan alfa Blocker, Alfa 2 Agonis Central , Inhibitor Adrenergikdan

vasodilator merupakan alternative yang dapat digunakan penderita setelah

mendapatkan pilihan pertama.

14
a) Diuretik

Diuretic bekerja meningkatkan ekresi natrium, air, dan klorida

sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler.Akibatnya

terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah.Selain mekanisme

tersebut, beberapa diuretik juga menurunkan resistensi perifer sehingga

menambahkan efek hipotensinya.Diuretic terdiri atas 3 golongan yaitu

thiazid, loop diuretik, dan diuretic hemat kalium. (saku)

b) Tiazid

Golongan thiazid yang paling sering digunakan adalah

hydrocjlorthiazide (HCT).HCT kurang efektif digunakan pada pasien

15
dengan gangguan fungsi ginjal, dan dapat memperburuk fungsi ginjal.

HCT seringkali dikombinasikan dengan antihipertensi lain karena dapat

meningkatkan efektivitas antihipertensi lain dengan mekanisme kerja yang

berbeda sehingga dosisnya dapat dikurangi. (saku)

c) Lopp diuretik

Loop diuretik memiliki mula kerja yang lebih cepat dan efek

diuretiknya lebih kuat dibandingkan golongan thiazid. Obat golongan ini

cepat sekali menguras cairan tubuh dan elektrolit, sehingga tidak

dianjurkan sebagai obat antihipertensi kecuali pada pasien hipertensi yang

juga menderita retensi cairan yang berat. Contoh loop diuretic yang sering

digunakan adalah furosemide. (saku)

d) Diuretik Hemat Kalium

Diuretik hemat kalium merupakan antihipertensi yang lemah jika

digunakan tunggal. Efek hipotensi akan terjadi apabila diuretic

dikombinasikan dengan diuretic hemat kalium thiazid atau jerat Henle.

Diuretik hemat kalium dapat mengatasi kekurangan natrium dan kalium

yang disebabkan oleh diuretic lainnya. (iso farmko

e) Inhibitor Angiostensin-Converting enzyme (ACE)

ACE membantu produksi angiostensin II yang berperan penting

dalam regulasi tekanan darah arteri, dimana tempat utama untuk

memproduksi angiostensi dua ini adalah pembuluh darah bukan ginjal.

inhibitor ACE mencegah perubahan angiostensin I menjadi angiostensin II

(vasokonstriktor potensial dan stimulus sekresi aldosteron). Inhibitor

16
ACE ini juga mencegah degradasi bradikinin dan menstimulasi sintesis

senyawa vasodilator lainnya termasuk prostaglandin E2 dan prostaksiklin.

Dosis awal inhibitor ACE sebaiknya dosis rendah kemudian ditambah

perlahan. Hipotensi akut dapat terjadi pada onset terapi inhibitor ACE

terutama pada penderita yang kekurangan natrium atau volume, jantung,

orang lanjut usia, penggunaan bersama dengan vasodilator atau diuretk.

Penderita dengan factor resiko tersebut dosisnya diawali dengan setengah

dosis normal kemudian diikuti dengan penambahan dosis. (interval waktu

6 minggu).

10 inhibitor ACE tersedia di Amerika serikat, dosisnya bias satu kali

sehari untuk hipertensi kecuali kaptopril ( 2 atau 3 kali sehari). Absorbs

kaptopril dikurangi sekitar 30%-40% jika diberikan bersamaan

makanan.Beberapa contoh sediaan beredar inhibitor ACE diantaranya,

kaptopril, benazepril, delapril, enalapril maleat, osinopril, lisinopril,

perindopril, kuinapril, ramipril, dan silazapril. (iso terapi)

f) Angiostensin II Reseptor Blocker (ARB)

Obat antihipertensi golongan ARB menahan langsung reseptor

angiostensin I yang merupakan reseptor yang memperantai efek

vasokontriksi, pelepasan aldosterone, aktivasi simpatetik, pelepasan

hormon antidiuretik, dan konstriksi arteriol eferen glomerulus.Beberapa

contoh sediaan beredar ARB diantaranya, losartan dan valsartan. (iso

terapi)

17
g) Calcium Channel Blocker (CCB)

Calcium Channel Blocker menyebabkan relaksasi jantung dan otot

polos dengan menghambat saluran kalsium yang sensitive terhadap

tegangan, sehingga mengurangi masuknya kalsium ekstraseluler ke dalam

sel. Relaksasi otot polos vaskuler menyebabkan vasodilatasi dan

berhubungan dengan reduksi tekanan darah. Antagonis kanal kalsium

dihidropiridin dapat menyebabkan aktifasi reflex simpatetik dan semua

golongan ini kecuali amlodipine menyebabkan efek inotropic negatif.

Contoh sediaan yang beredar diantaranya, amlodipine, verapamil,

diltiazem, dan nifedipin. (iso terapi)

h) Alfa Blocker

golongan alfa bloker merupakan penghambat alfa satu yang

menginhibisi ketokolamin pada sel otot polos vaskuler perifer yang

memberikan efek vasodilatasi. Golongan ini tidak mengubah aktivitas

reseptor alfa dua sehingga tidak menimbulkan efek takikardia.Contoh obat

yang termasuk golonga ini adalah parazosin, terazosin, dan doksazosin.

Obat doksazosin dan kemungkinan obat penghambat reseptor alfa

satu lainnya tidak melindungi peristiwa kardiovaskular seperti terapi lain,

maka obat ini hanya digunakan untuk kasus yang unik, seperti pada pria

yang menderita hyperplasia prostat jinak, jika pasien tersebut telah

mendapatkan terapi antihipertensi standar lainnya (diuretic, beta bloker,

atau inhibitor ACE). (iso terapi)

i) Alfa 2 Agonis Central

18
Golongan alfa 2 agonis central pada umumnya menurunkan tekanan

darah dengan cara menstimulasi reseptor alfa dua adrenergic diotak, yang

mengurangi aliran simpatetik dari pusat vasomotor dan meningkatkan

tonus vegal. Stimulasi reseptor alfa dua presinaptik secara perifer

menyebabkan penurunan tonus sinaptik.Oleh karena itu, dapat terjadi

penurunan denyut jantung, curah jantung, resistensi perifer total, aktivitas

renin plasma, dan reflek baroreseptor. Contoh obat yang termasuk

kedalam golongan agonis alfa dua adalah klonidin, guanabenz, guanfasin,

dan methyldopa. (iso terapi)

j) Vasodilator

Hidralazin dan minoksidil menyebabkan secara langsung relaksasi

otot polos arteriol.Aktivitas reflek baroreseptor dapat meningkatkan aliran

simpatetik atau pusat vasomotor, meningkatnya denyut jantung, dan

pelepasan renin.Oleh karena itu, efek hipotesif dari vasodilator langsung

berkurang pada penderita yang juga mendapatkan pengobatan inhibitor

simpatetik dan diuretik. (iso trpi.

19
BAB III

TINJAUAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Data Umum

No. MR : 1723XXX

Nama Pasien : Ny. Y

Agama : Islam

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 63 Tahun

Alamat : Salayo, Jorong Galanggang Tangah Kab.

Solok

Ruangan : Bangsal Neurologi

Diagnosa : BPPV + Hipertensi

Mulai Perawatan : 30 Juli 2019

Selesai Perawatan : 05 Agustus 2019

Dokter Yang Merawat : dr.Yulson, Sp. S

20
3.2 Riwayat Penyakit

3.2.1 Keluhan Utama

Pasien masuk ke IGD dengan keluhan pusing berputar sejak sore dan kedua

mata tidak bisa dibuka.

Riwayat Penyakit Sekarang

 Pasien mengeluhkan mual (+) dan muntah (+)

 Pusing beputar di pengaruhi oleh perubahan posisi

 Riwayat hipertensi (+), DM (-), Jantung (-)

 Telinga berdengung (+)

3.2.2 Riwayat Penyakit Terdahulu

Pasien tidak mempunyai riwayat penyakit terdahulu

3.2.3. Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga pasien tidak mempunyai riwayat penyakit.

3.3 Data Penunjang

3.3.1 Pemeriksaan Fisik

 Kesadaran Umum : Sedang

 TD : 180/100 mmHg

 RR : 20

 Nadi : 100

 Suhu : 37 ⸰C

 Skala nyeri : 27 – 30

21
3.3.2. Data Organ Vital

Tanggal
Data Klinik
30/7 31/7 1/8 2/8 3/8 4/8 5/8

Suhu (0C) 36,8 36 36,3 36,4 36,3 36,1 36,4

Nadi 89 68 86 82 78 62 76

(kali per menit)

Nafas 24 20 20 20 19 19 20

(kali per menit)

Tekanan Darah 180/100 130/80 130/90 140/80 130/80 130/90 120/70

(mmHg)

3..3 Data Laboratorium

Pemeriksaan Nilai Normal 30 Juli 2019 18 Juni 2019

Hemoglobin (g/dL) 11,5-16,5 g/dl 12,9 g/dl

Eritrosit [104/μL] 4,0 -5,0 4,1

Hematokrit 37 - 45 % 38,8

Nilai-nilai MC

MCV (fL) 82 – 92 84,2

MCH (pg) 27 – 31 28,0

MCHC (g /dL) 32 - 37 33,2

RDW-CV (%) 11,5 – 14,5 13,6

22
Leukosit[103/μL] 4 – 11 6,3

Trombosit[103/μL] 150–400 230

Gula Darah < 200 108

Sewaktu(mg/dL)

Ureum(mg/dL) 20 – 50 25

Keratinin(mg/dL) 0,5 – 1,5 0,70

Trigliserida 40 – 160 mg/dl 69

Kolesterol total 150 -220 238

Asam urat 3.4 – 7.0 2,72

3.6 Diagnosis

3.4.1 Diagnosis Awal

 Vertigo perifer + Hipertensi

3.4.2 Diagnosis Akhir

 BPPV + Hipertensi

23
3.5 FOLLOW UP

Tanggal S O A P

30/07/19  Pusing berputar Suhu : 37 oC  Pasien tidak Terapi yang diberikan :

(IGD)  Telinga berdengung HR :180/90 mmHg mendapatlan terapi - IVFD RL 12 jam/kolf

 Nyeri kepala hilang Nadi : 100 kali/menit untuk gejala mual dan - Betahistin 3 x 1

timbul RR: 20 kali/menit muntah - Parasetamol 3 x 1

 Riwayat Hipertensi KU : Sedang - Amlodipin 1 x 1

(-) ADL masih dibantu - Candesartan 1 x 1

 Mual (+) - EKG

 Muntah (+) - Sarankan kepada dokter

untuk menambahkan

antiemetik berupa

Domperidon.

24
31/06/2019  Pusing telah Suhu : 36,2oC  Keputusan penggunaan Terapi yang diberikan :

berkurang TD :130/80 mmHg obat antihipertensi - IVFD RL 12 jam/kolf

 Nyeri kepala hilang HR : 68 kali/menit tunggal tepat, karena - Betahistin 3 x 1

timbul RR: 20 kali/menit tekanan darah pasien - Parasetamol 3 x 1

 Tekanan darah Kolesterol total : 238 mg/dl sudah turun mendekati - Candesartan 1 x 1

sudah turun (150-220 mg/dL) normal. - Simvastatin 1x 1

 Amlodipine di ADL masih dibantu  Penambahan

hentikan antihiperkolesterol

sudah tepat, karena

kadar kolesterol pasien

tinggi.

01/08/2019  Pusing (+) Suhu : 36,3 C  Terapi dilanjutkan Terapi yang diberikan :

TD :130/90 mmHg - IVFD RL 12 jam /Kolf

HR :86 kali/menit - Betahistin 3 x 1

25
RR: 20 kali/menit - Parasetamol 3 x 1

ADL Masih dibantu - Candesartan 1 x 1

- Simvastatin 1x 1

02/08/2019  Nyeri kepala (+) Suhu : 36,4 oC  Terapi dilanjutkan Terapi yang diberikan :

TD :140/80 mmHg - IVFD RL 12 jam /Kolf

HR :82 kali/menit - Betahistin 3 x 1

RR: 20 kali/menit - Parasetamol 3 x 1

ADL masih dibantu - Candesartan 1 x 1

- Simvastatin 1x 1

03/08/2019  Sakit kepala sudah Suhu : 36,3 oC  Terapi sesuai Indikasi Terapi yang diberikan :

berkurang. TD :130/70 mmHg dan dilanjutkan - Betahistin 3 x 1

 Pusing sudah HR :78 kali/menit - Parasetamol 3 x 1

berkurang RR: 19 kali/menit - Candesartan 1 x 1

26
 Gelisah Kesadaran : CM - Simvastatin 1x 1

 Dokter meresepkan ADL masih dibantu - Diazepam 3 x 1

obat penenang yaitu

diazepam

04/08/2019  Pusing sudah Suhu : 36,1 oC Terapi dilanjutkan Terapi yang diberikan :

berkurang TD : 130/90 mmHg - Betahistin 3 x 1

 Gelisah HR : 62 kali/menit - Parasetamol 3 x 1

RR : 19 kali/menit - Candesartan 1 x 1

ADL masih dibantu - Simvastatin 1x 1

- Diazepam 3 x 1

05/08/2019  Keluhan berkurang Suhu : 36,4 oC Terapi yang diberikan Terapi yang diberikan :

 Pasien boleh pulang, TD : 120/70 mmHg sesuai indikasi - Paracetamol 3 x 1

dan control ke poli HR : 76 kali/menit - Betahistin 3 x 1

27
RR : 20 kali/menit - Cndesartan 1 x 1

ADL masih dibantu - Simvastatin 1 x 1

- Diazepam 1 x 1

28
DOKUMEN FARMASI PASIEN

4.1. Lembar Pengobatan

No. RM: 1723.XX Keluhan Utama: Pusing berputar


MRS/KRS:30 juli 2019 Diagnosa: BPPV + Hipertensi
Inisial Pasien: Ny.. Y
Umur/BB/Tinggi: 63 tahun/
Alamat: Selayo-solok

Tanggal
Juli – Agustus
Obat Dosis di R/ Rute Frekuensi
30/7 31/7 1/8 2/8 3/8 4/8 5/8

RL 500 cc iv bolus 12 jam/kolf √ √ √ √ √ //

Amlodipin 5 mg po 1x1 √ //

Candesartan 8 mg po 1 x1 √ √ √ √ √ √ √

Betahistin 6 mg po 3x1 √ √ √ √ √ √ √

Paracetamol 500 mg po 3x1 √ √ √ √ √ √ √

Simvastatin 10 mg po 1x1 √ √ √ √ √ √

Diazepam 2 mg po 3x1 √ √ √
29
Keterangan :

// Terapi dihentikan

√ Terapi diberikan

4.2 Lembar Identifikasi Obat dan Perhitungan Dosis

No. Jenis Obat Dosis Literatur Dosis yang diberikan Komentar

1. RL Dosis sesuai literatur

Amlodipine Dosis awal 1x5 mg/hari, Dosis 1 x 5 mg Dosis sesuai literatur


2.
maksimal 10 mg/hari.

3. Candesartan Dosis awal 1x8 mg/hari, Dosis 1 x 8 mg Dosis sesuai literatur


penunjang lazim 1x8 mg/hari
4. Betahistin 1-2 tab(6-12 mg) diberikan 3x sehari 1 x 6 mg Dosis sesuai literatur

500 mg – 1000 mg per kali, diberikan


5. Paracetamol 3 x 500 mg Dosis sesuai literatur
tiap 4 – 6 jam. Maksimum 4 g per
hari.
6. Simvastatin 5 -10 mg/ hari, dosis tungggal pada 1 x 10 mg Dosis sesuai literatur
malam hari. Maksimal 40 mg/hari

30
sebagai dosis tunggal pada malam hari.
7 Diazepam Dewasa : 3 – 4 x 10 – 20 mg sehari. 1 x 2 mg Sesuai literature

4.3 Drug Related Problem (DRP)

No DRP Keterangan

1 Ada indikasi tetapi tidak diterapi -

2 Pemberian obat tanpa indikasi -

3 Pemilihan obat yang tidak tepat -

4 Dosis terlalu tinggi atau rendah -

5 ROTD (Reaksi Obat yang Tidak Diinginkan) -

6 Interaksi Obat -

31
Lembar 3 – Lembar Identifikasi Obat

No. Jenis Obat Tanggal Indikasi Obat Komentar dan Alasan

Mulai

1. IVFD Ringer 30 juli-2 Mengembalikan Untuk mencegah pasien dari

Laktat agustus keseimbangan kekurangan elektrolit dan

2019 eletrolit menjaga keseimbangan

volume cairan pasien

2. Amlodipin 30 Juli Anti Hipertemsi Amlidipin merupakan obat

2019 antihipertensi golongan CCB

yang menurunkan tekanan

darah dengan menimbulkan

efek vasodilatasi yang kuat,

32
obat ini dilaporkan sangar

bermanfaat bagi untuk

hipertensi pada usia lanjut.

3. Candesartan 30 juli – Anti Hipertensi Merupakan obat yang

5 digunakan menurunkan

Agustus tekanan darah,yang bekerja

2019 memblokade reseptor AT1

sehingga menyebabkan

vasodilatasi, peningkatan

ekresi Na dan cairan

(mengurangi volume

plasma), menurunkan

hipertropi vascular.

33
4. Betahistin 30 Juli – Obat Vertigo Merupakan obat untuk
mengatasi pusing berputar
5
yang dialami pasien.
Agustus
Betahistine memiliki afinitas
2019 akut sebagai antagonis
histamin H3 reseptor dan
afinitas yang lemah sebagai
agonis histamin H1 reseptor.
Betahistine bekerja sebagai
dilator pembulih darah di
telinga tengah yang dapat
mengurangi tekanan berlebih
dari cairan endolimfe.
Betahistine memiliki dua
jenis cara kerja:

Pertama, menstimulasi
reseptor H1 yang terletak di
pembuluh darah telinga
dalam. Efek ini akan

34
menyebabkan vasodilatasi
dan meningkatkan
permeabilitas, sehingga dapat
mengurangi masalah hidrops
endolimfatik.

Kedua, betahistine memiliki

efek kuat sebagai antagonis

reseptor H3, sehingga akan

meningkatkan jumlah

neurotransmiter yang

dikeluarkan oleh nerve

ending. Jumlah

neurotransmiter yang

meningkat akan menambah

efek vasodilatasi di telinga

35
dalam

5. Paracetamol 30 Juli – Merupakan obat Merupakan obat yang

5 analgetik - digunakan untuk mengatasi

Agustus antipiretik nyeri sedang – berat dan

2019 menurunkan suhu tubuh.

Bekerja dengan cara

menghambat sintesis

prostaglandin sehingga dapat

mengurangi nyeri ringan –

sedang dan bekerja pada

pusat pengatur suhu di

hipotalamus untuk

menurunkan suhu tubuh.

36
6. Lantus 18-21 Merupakan obat Merupakan obat antidiabetes

(Insulin Juni anti Diabetes parenteralyang mengandung

Glargine) mellitus tipe 2 insulin glisine yang termasuk

ke dalam golongan

insulin long acting .

7. Neurodex 22 juni Merupakan Merupakan vitamin yang

vitamin B penting untuk metabolisme.

komplek Vitamin merupakan enyawa

organik yang diperlukan

tubuh dalam jumlah kecil

untuk mempertahankan

kesehatan dan seringkali

bekerja sebagai kofaktor

untuk enzim metabolisme.

37
38
4.4 Tinjauan Farmakologi Obat

(Basic Pharmacology & Drug Notes, 2017)

1. Amlodipin

Kelas Terapi Antihipertensi golongan CCB

Indikasi Hipertensi , profilaksis angina

Kontra Indikasi Hipersensitif terhadap CCB dihidropiridin, syok

kardiogenik, angina pectoris tidak stabil, stenosis

aorta yang signifikan.

Dosis Dosis umum:

Hipertensi:

- Dosis awal 1x5 mg/hari

- Dosis maksimal 10 mg/hari.

- Pasien lanjut usia atau gangguan fungsi hati dosis

awal 1x2.5 mg/ hari

Infark Miokard akut: 5 – 10 mg/hari

Efek Samping Edema pretibial, gangguan tidur, sakit kepala, letih,

hipotensi, tremor, aritmia, takikardi, mual, nyeri perut,

ruam kulit, wajah memerah.

Sediaan - Tablet 5 mg dan 10 mg

(Divask, Lovask, Norvask)

39
2. Candesartan

Kelas Terapi Antihipertensi golongan ARB

Indikasi Obat hipertensi

Indikasi ARB kurang lebih sama dengan ACEI. ARB

merupakan alternatif yang berguna untuk pasien yang

harus menghentikan ACEI akibat batuk yang

persisten. ARB digunakan sebagai alternatif dari

ACEI inhibitor dalam tatalaksana gagal jantung atau

nefropati akibat diabetes.

Kontra Indikasi Kehamilan (obat harus dihentikan bila pemakai

ternyata hamil), menyusui, stenosis arteri renalis

bilateral atau stenosis pada satu – satunya ginjal yang

masih berfungsi.

Dosis  Hipertensi :

- Dosis awal 1x8 mg/hari

- Gangguan fungsi hati 1x2 mg/hari, gangguan

fungsi ginjal atau volume dplesi intravaskular

1x4 mg/hari.

- Tingkatkan jika perlu pada interval 4 minggu

hingga maksimal 1x32 mg/hari

- Dosis penunjang lazim 1x8 mg/hari

 Gagal jantung :

40
- Dosis awal 1 x 4 mg/hari, tingkatkan pada

interval sedikitnya 2 minggu hingga dosis target

32 mg sekali sehari atau hingga dosis maksimal

yang masih dapat ditoleransi.

Efek Samping - Hipotensi dapat terjadi pada pasien dengan kadar

renin tinggi seperti hipovolemia, gagal jantung,

hipertensi renovaskular, dan sirosis hepatis.

- Hipokalemia dapat terjadi pada keadaan tertentu

misalnya insufisiensi ginjal.

- Efek samping lainnya : pusing, sakit kepala, diare,

penurunan Hb, ruan, abnormmal taste sensation

(metalic taste)

Interaksi Obat - Penggunaan bersama diuretik hemat kalium,

OAINS, dan suplementasi kalium akan

menyebabkan hiperkalemia.

Sediaan - Kapsul 8 mg

- Kapsul 16 mg

3. Betahistin Mesylate

Kelas Terapi Obat Vertigo

Indikasi Vertigo dan pusing pada penyakit meniere, sindrom

meniere, dab vertigo perifer

Kontra Indikasi Hipersensitif, feokromositoma

41
Perhatian Asma bronkial, tukak peptik, atau riwayat tukak

peptik, hamil, laktasi, anak < 12 tahun.

Dosis 1-2 tab(6-12 mg) diberikan 3x sehari

Efek Samping Gangguan gastrointestinal, ruam kulit, gatal

Sediaan Tablet/kaplet : 6 mg

Tablet : 8 mg, 12 mg dan 24 mg

4. Paracetamol

Kelas Terapi Analgetik – Antipiretik

Indikasi Nyeri ringan sampai sedang, demam

Kontra Indikasi Hipersensitif, gangguan hati

Perhatian Gangguan fungsi hati, ginjal, ketergantungan alkohol

Dosis Dewasa : 500 mg – 1000 mg per kali, diberikan tiap 4

– 6 jam. Maksimum 4 g per hari.

Anak < 12 tahun : 10 mg/kgBB/kali (bila ikterika : 5

mg/kgBB/kali). Diberikan tiap 4-6 jam.

Maksimum 4 dosis sehari.

Efek Samping Reaksi alergi, ruam kulit berupa eritema atau urtikaria,

kelainan darah, hipotensi dan kerusakan hati

Interaksi Obat - Kolestiramin menurunkan absorbsi paracetamol

- Metoclorpramid dan domperidone meningkatkan

efek paracetamol

- Paracetamol meningkatkan kadar warfarin

42
Sediaan - Tablet/kaplet 500 mg

- Tablet 600 mg, 1000 mg

- Syrup 120 mg/5 mL

- Sediaan drops 60 mg/0.6 mL

- Sediaan rectal tube 125 mg/2,5 mL; 250 mg/ 4 mL

- Sediaan infus 10 mg/mL

5. Simvastatin

Kelas Terapi Obat hiperkolesterolemia

Indikasi - Terapi tambahan pada diet untuk menurunkan

kolesterol pada Hiperkolesterolemia primer atau

dislipidemia campuran

- Mengurangi insiden kejadian koroner klinis dan

memperlambat progresi asterosklerosis koroner

pada pasien dengan penyakit jantung koroner dan

kadar kolesterol 5.5 mmol/atau lebih

Kontra Indikasi Pasien dengan penyakit hati yang aktif, kehamilan,

menyusui dan hipersensitif

Dosis Oral :

Awal : 5 -10 mg/ hari, dosis tungggal pada malam hari.

Maksimal 40 mg/hari sebagai dosis tunggal pada

malam hari.

Efek Samping Konstipasi, diare, mual muntah, nyeri perut

Sediaan Tablet 5 mg, 10 mg, dan 20 mg

43
6. Diazepam

Kelas Terapi Sedativ

Indikasi Pmaikain jangka pendek pada ansietas dan insomnia

Kontra Indikasi Depresi pernafasan, gangguan hati, miatenia gravis,

insufisiensi pulmonal.

Perhatian Kemampuan mengenudi dan mengopersikan mesin,

lansia, kemilan, menyusui,

Dosis Ansietas :

- Oral 2 – 3 x 2 – 5 mg/ hari

- Injeksi 5 – 10 mg iv

Efek Samping Mengantuk, lemah otot, ataksia, depresi pernafasan,

ketergantungan.

Sediaan - Tablet 2 mg, 5 mg

- Suppositoria 5 mg, 10 mg

- Injeksi 5 mg/ml

7. RL

Vitamin B komplek mencakup sejumlah vitamin dengan rumus kimia dan efek

biologik yang sangat berbeda yang digolongkan bersama karena dapat diperoleh dari

sumber yang sama antara lain hati dan ragi. Yang termasuk dalam golongan vitamin

ini adalah thiamin (B1), riboflavin (B2), nicotinamide (niasin), pyridoxine (B6),

asam panthotenat, biotin, kolin, inositol, asam para amino benzoat,

cyanocobalamine (B12), asam folat.

44
45
BAB IV

PEMBAHASAN

Seorang pasienperempuan Ny.A.Myang berumur 67 tahun masuk ke Rumah Sakit

M.Natsir Solok pada tanggal 17 juni 2019.Pasien masuk ke IGD dengan mengeluhkan

badan terasa letih dan lemas sejak 1 hari yang lalu, nafsu makan berkurang, mata terasa

kabur, mual, batuk. Menurut keterangan, pasien memiliki riwayat diabetes mellitus dan

hipertensi.Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, tekanan darah

120/80 mmHg, pernafasan 20 kali/menit, nadi 86 kali/menit, suhu 36,70C dan GDR nya

346 mg/dl. Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah lengkap dan

pemeriksaan kimia klinik oleh dr.L.D. Sp.PD, pasien didiagnosa DM tipe II + gastritis.

Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, nilai MCV dibawah nilai normal

79,2 fL. MCV adalah indeks untuk menentukan ukuran sel darah merah (eritrosit).Jika

nilai MCV mengalami penurunan menunjukkan bahwa ukuran sel darah merah di

bawah normal atau disebut juga mikrositosis.Ukuran eritrosit yang terlalu kecil berarti

hanya mampu membawa jumlah oksigen dalam jumlah sedikit, sehingga menyebabkan

tubuh menjadi lemas dan lesu (Kemenkes RI, 2011).

Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, didapatkan kadar glukosa darah

random pada pasien melebihi nilai normal yaitu 356 mg/dL. Diabetes mellitusadalah

suatu penyakit gangguan metabolisme yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa

di dalam darah (hiperglikemia) yaitu >200 mg/dL. DMtipe II disebabkan oleh resistensi

insulin, yaitu keadaan dimana insulin tidak dapat bekerja optimal pada sel-sel targetnya

seperti sel otot, sel lemak dan sel hati, sehingga glukosa dalam darah tidak dapat diubah

menjadi energi pada sel target tersebut (Surya, 2016).

46
Pada hari perawatan di IGD tanggal 17 juni 2019, pasien diberikan infus Ringer

Laktat untuk membantu keseimbangan elektrolit pasien sehingga kadar elektrolit dalam

tubuh pasien tetap seimbang. Gula darah pasien sebelum dirujuk dari puskesmas 346

mg/dL, maka dilakukan sliding scale setiap 4 jam dengan regular insulin (RI) 16 IU.

Sliding scale adalah metode terapi insulin pada pasien diabetes yang memiliki GDR >

200 mg/dL.

Sliding scale pemakaian insulin di RSUD M. Natsir Solok adalah :

GDR (mg/dL) Regular Insulin (IU)

< 200 0

200 – 250 8

250 – 300 12

300 – 350 16

>350 20

Regular Insulin termasuk insulin rapid acting (kerja cepat) yang digunakan 5

sampai 15 menit sebelum makan.Setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium

didapatkan kadar gula darah sewaktu288 mg/dL. Pada pemeriksaan taggal 19 juni 2019

didapatkan hasil bahwa gula darah pasien naik kembali menjadi297 mg/dL untuk kadar

gula darah puasa dan gula darah 2 jam PP 356 mg/dL.

Parasetamol diindikasikan sebagai analgetik dan antipiretik . Parasetamol

bekerja menghambat sintesis prostaglandin sehingga dapat mengurangi nyeri ringan

sampai sedang. Untuk dosis dewasa parasetamol digunakan sebanyak 500 mg- 1000 mg

per kali, diberikan tiap 4 – 6 jam (buku saku).

47
Domperidon diindikasikan sebagai antiemetik yaitu untuk menghilangkan mual

dan muntah. Domperidon bekerja pada chemoreseptor trigger zone. Kelebihan obat ini

dibandingkat metoclorpamide dan fenotiazin adalah sedikit menyebabkan efek sedasi

karena tidak menembus sawar otak.Ranitidine digunakan untuk mengobati gastritis.

Gastritis merupakan golongan antagonis reseptor H2 yang bekerja dengan cara

memblok reseptor histamin pada sel pariental sehingga sel pariental tidak dapat

dirangsang untuk mengeluarkan asam lambung.

Setelah dilakukan follow up pada tanggal 21Juni 2019, pasien mengeluhkan kaki

kesemutan atau rasa kebas. Maka dokter memberikan terapi gabapentin 1 x 1 peroral

dan neurodex 1 x 1 peroral. Gabapentin telah digunakan secara luas dan sebagian besar

dari penggunaan ini telah dilaporkan sebagai off label, termasuk penggunaan nyeri

neuropati diabetik (Fukada, et al., 2012). Neuropati menyebabkan terjadinya gangguan

saraf yang menimbulkan rasa kebas. Nyeri neuropati diabetik terjadi oleh karena adanya

lesi atau disfungsi saraf akibat hiperglikemia kronis melalui mekanisme perifer dan

sentral (Lestari, dkk., 2016). Pemberian neurodex (Vitamin B kompleks) bertujuan

untuk melindungi dan menjaga fungsi saraf agar berjalan normal. Neurodex digunakan

untuk meredakan kebas, kesemutan dan gangguan saraf tepi (neuropati) akibat

komplikasi pada pasien diabetes.

Pasien diberikan terapi insulin yaitu injeksi Apidra dan injeksi Lantus. Apidra

merupakan nama dagang dari insulin glulisine rapid acting (kerja cepat). Insulin Apidra

diberikan 3x sehari 5 sampai 15 menit sebelum makan. Lantus merupakan nama dagang

dari insulin glargin long acting (kerja panjang). Insulin Lantus diberikan 1x sehari

sebelum tidur.Pemberian kombinasi insulin kerja cepat dan panjang pada malam hari

dilakukan untuk mencegah terjadi hiperglikemia pada malam hari (Surya, 2016).

48
Berdasarkan monitoring masalah yang terkait dengan obat, semua terapi yang

diberikan sudah sesuai dengan indikasi medis, dosis yang digunakan untuk terapi pada

pasien sudah tepat, dan tidak ditemukan interaksi obat yang diberikan. Untuk waktu dan

cara pemberian obat dibutuhkan kompetensi apoteker agar pengobatan yang efektif

dapat tercapaidan juga meminimalkan resiko terjadiya interaksi dan efek samping obat;

bentuk sediaan yang diberikan telah tepat sesuai dengan kondisi pasien dan diharapkan

kepatuhan pasien dalam penggunaan obat.

Setelah menjalani perawatan selama 5 hari pasien diperbolehkan pulang dan

dianjurkan menjalani rawat jalan.Pada saat pasien pulang pasien mendapatkan obat

Paracetamol, Ranitidine, Domperidon, Gabapentin, Neurodex, Ciprofloxacin dan

apidra.Terapi farmakologi DM tipe 2 dimulai dengan pemberian terapi tunggal, apabila

target HbA1c tidak dicapai selama 3 bulan maka dapat digunakan 2 kombinasi terapi.

Apabila target HbA1c tidak dapat dicapai selama 3 bulan maka dapat menggunakan 3

kombinasi terapi, dan apabila selama 3 bulan HbA1c tidak tercapai maka dapat

menggunakan kombinasi terapi injeksi (Dipiro, et al., 2015).Berdasarkan algoritma

pengobatan DM tipe 2 kombinasi terapi yang umum digunakan adalah glimepirid dan

metformin. Glimepirid merupakan obat anti diabetes golongan sulfonilurea yang bekerja

merangsang sekresi insulin pada pankreas, sedangkan metformin merupakan obat anti

diabetes golongan biguanida yang bekerja menghambat gluconeogenesis dan

meningkatkan penggunaan glukosa di jaringan.Sehingga kombinasi kedua obat tersebut

mempunyai efek saling sinergis (Depkes RI, 2005).

Berdasarkan monitoring masalah yang terkait dengan obat, semua terapi yang

diberikan sudah sesuai dengan indikasi medis dan dosis yang digunakan untuk terapi

pada pasien sudah tepat, pada waktu pemberian obat dibutuhkannya kompetensi

49
apoteker untuk penentuan waktu pemberian obat agar pengobatan pasien efektif

sehingga meminimalkan resiko terjadiya interaksi dan efek samping obat. Bentuk

sediaan yang diberikan telah tepat sesuai dengan kondisi pasien dan diharapkan

kepatuhan pasien dalam penggunaan obat; namun terdapat permasalahan terkait dosis

obat pada kasus tersebut.

Pada saat pasien pulang, pasien diberi edukasi mengenai cara penggunaan obat,

waktu penggunaan obat, pasien dianjurkan mengkonsumsi obat secara rutin dan teratur,

olahraga yang cukup minimal 30 menit dalam sehari, menghindari faktor pemicu

kekambuhan penyakit dan menjaga pola makan.

50
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Semua pengobatan yang diberikan pada Ny.A.M sudah sesuai dengan indikasi

2. Diperlukan peran apoteker untuk penentuan waktu dan cara pemberian obat agar

pengobatan lebihefektif .

5.2 Saran

1. Menjelaskan pada keluaga pasien aturan dan cara pemberian obat serta

mengkonsumsi obat secara teratur.

2. Terapkan pola hidup yang sehat dengan caramengurangi makanan yang

mengandung natrium tinggi, dan hindari meminum kopi.

3. Pasien disarankan untuk melakukan olahraga yang cukup minimal 30 menit

dalam sehari dan memperhatikan kebersihan lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, C., Braun, C. 2007. Pathophysiology: Functional Alterations in Human


Health Philadelphia; Lippincott Williams and Wilkins.

Anwar, Jazanul. 2000. Obat-obat saluran cerna. Dalam S. G. Ganiswarna, R.Setiabudy,


F.D. Suyatna,Purwantyastuti, Nafrialdi : Farmakologi dan terapi.Jakarta : Hipokr
ates. hal. 61.

51
Departemen Kesehatan RI. 2006. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi.
Jakarta: Depkes RI.

Dipiro, Joseph T., B.G. Wells. T. L. Schwinghammer., C.V. Dipiro. 2015.


Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition. USA: McGraw-Hill.

Feldman RA. 2001. Epidemiologic observations and open questions about disease and
infection caused by Helicobacter pylori In: Achtman M, Suerbaum S, eds.
Helicobacter pylori: molecular and cellular biology. Wymondham, United
Kingdom: Horizon Scientific Press,:29-51.

Finkel R., Clark M.A., Cubeddu L.X., Harrey R.A., Champe P.C., 2009, Lippincott’s
Illustrated Review Pharmacology 4thEd, Pliladelphia: Williams & Wilkins (329-
335, 502-509).

Fukada, Christine., J. C. Kohler., H. Boon., Z. Austin dan M. Krahn. 2012. Prescribing


Gabapentin Off Label: Perspective from Psychiatry, Pain and Neurology
Specialists. Can Pharm J, 145: 280-284.

Greenberg, JS. 2002. Comprehensive Stress Management. 7th ed. Mc Grew-Hill


Inc.New York.

Gupta, MK. 2008. Kiat mengendalikan pikiran dan bebas stres. Jakarta : PT Intisari
Mediatama.

Hirlan. 2009. Gastritis dalam Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta:
InternaPublishing.

Karwati, D., Lina, N., Korneliani, K. 2013. Hubungan Frekuensi Konsumsi Makanan
Berisiko Gastritis Dan Stress Dengan Kejadian Gastritis Pada Wanita Usia 20-44
Tahun Yang Berobat Di Puskesmas Cilembang Tahun 2012.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.2011. Pedoman Interpretasi Data Klinik.


Jakarta: Kemenkes RI

Kumar, V., Cotran, RS., Robbins, SL. 2005. The Oral cavity and the Gastrointestinal
Tract In: Robbins Basic Pathology 7th Ed. Philladephia. WB Saunders
Company. 543–90.

Lestari, Luh Kadek Trisna., T. E. Purwata dan IGN P. Putra. 2016. Terapi Insulin
menurunkan Kejadian Nyeri Neuropati Diabetik dibandingkan dengan Oral Anti
Diabetes pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2.Jurnal Universitas Udayana,
47(1): 67-74.

Mansjoer, A. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Ed. II Jilid II. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI. Hlm 492.

52
Mukherjee, 2009, Gstritis, Chronic, viewed 21 September 2010,
<http://emedicine.medscape.com/article/176156-overview>.

Muttaqin, A., Sari, K. 2011. Gangguan Gastrointestinal. Jakarta: Salemba Medika.

Mycek, M. J, Harvey, R.A. dan Champe, P.C., 2001, Farmakologi Ulasan Bergambar
2nd ed. H. Hartanto, ed., Jakarta, Widya Medika.

Pangestu, A. 2003. Paradigma Baru Pengobatan Gastritis dan Tukak Peptik. Diambil
dari http://www.pgh.or.id//lambung-per.htm Diakses tanggal 25 Juni 2019.

Price and Wilson. 2005. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Vol.2. Jakarta:
EGC.

Priyanto. 2009. Farmakoterapi dan Terminologi Medis. Jawa Barat: Lembaga Studi dan
Konsultasi Farmakologi.

Rahmiati, S., dan Supami, W., 2012, Kajian Interaksi Obat Antihipertensi pada Pasien
Hemodialisis di Bangsal Rawat Inap RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta
Periode tahun 2010, Jurnal Ilmiah Kefarmasian, 2 (1).

Sepulveda AR., 2008. Gastritis chronic. Diambil dari: http://www.emedicine.com/


med/topic3394.htm. Diakses tanggal 25 Juni 2016

Sukandar, Elin Yulinah., R. Andrajati., J.I. Sigit., I.K. Adnyana., A.P. Setiadi dan
Kusnandar. 2008. Iso Farmakoterapi Edisi 1. Jakarta: ISFI Penerbitan.

Surya, Dharma. 2016. Patofisiologi Farmakologi Farmakoterapi. Yogyakarta: Gre


Publishing.

Suyono, S. (2006).Penatalaksnaan DM Terpadu Patofisiologi DM (Ed.2). Jakarta:FKUI

53

Anda mungkin juga menyukai