Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH KEPERAWATAN ANAK II

SIMULASI TENTANG PENGAMBILAN KEPUTUSAN DAN ADVOKASI


PASIEN PADA KASUS BERKAITAN DENGAN PENYAKIT KRONIS PADA
ANAK SISTEM PERKEMIHAN (HIPOSPADIA)

Dosen Pembimbing: Iqlima Dwi Kurnia, S.Kep., Ns., M.Kep.

Kelas : A2/2017

Oleh :

Veny Widi Andara A. 131711133002

Arik Setyani 131711133008

Maftuhatul Maghfiroh 131711133036

Mega Puji Ayu Lestari 131711133050

Cindy Triand Sofie R. 131711133051

Irawati Dewi 131711133069

Cicilia Wahyu 131711133070

Annisa Nur Ilmastuti 131711133089

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2019
1
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan petunjuk, rakhmat,
kekuatan dan hidayah-Nya kepada kami, demikian juga kepada dosen pembimbing dan
teman-teman yang telah membantu memberikan bahan serta petunjuk, sehingga makalah
“Simulasi Tentang Pengambilan Keputusan Dan Advokasi Pasien Pada Kasus Berkaitan
Dengan Penyakit Kronis Pada Anak Sistem Perkemihan (Hipospadia)” ini dapat
diselesaikan.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Komunitas Program
Studi Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan, Universitas Airlangga guna memenuhi
tugas perkuliahan. Harapan kami semoga makalah ini bermanfaat dan dapat menambah
pengetahuan serta pengalaman bagi para pembaca.

Mengingat berbagai keterbatasan waktu, biaya dan fisik, penulis menyadari


sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh untuk dikatakan sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan makalah ini.

Surabaya, 20 Oktober 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..................................................................................................................... i

Daftar Isi ............................................................................................................................. ii

BAB I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang ......................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................2

1.3 Tujuan ..................................................................................................................2

BAB II Tinjauan Pustaka

2.1 Definisi Hipospadia .............................................................................................3

2.2 Embriologi Genetalia Eksterna Pada Laki-Laki ...................................................3

2.3 Klasifikasi Hipospadia ..........................................................................................4

2.4 Etiologi Hipospadia ..............................................................................................6

2.5 Patofisiologi Hipospadia .......................................................................................8

2.6 WOC Hipospadia ................................................................................................10

2.7 Manifestasi Klinis Hipospadia ............................................................................13

2.8 Pemeriksaan Penunjang ......................................................................................13

2.9 Penanganan Hipospadia ......................................................................................13

2.10 Konsep Pengambilan Keputusan ......................................................................14

2.11 Konsep Legal Etik.............................................................................................16

2.12 Prosedur Operasi Hipospadia ............................................................................17

BAB III Tinjauan Kasus

3.1 Resume Kasus .....................................................................................................20

ii
3.2 Pengambilan Keputusan Pada Operasi Hipospadia ............................................21

BAB IV Penutup

4.1 Kesimpulan .........................................................................................................25

4.2 Saran ...................................................................................................................25

Daftar Pustaka ....................................................................................................................26

Lampiran ............................................................................................................................27

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hipospadia merupakan salah satu kelainan kongenital pada laki-laki yang
sering dijumpai. Angka kejadian hipospadia di Italia dilaporkan 3 - 4 per 1000
kelahiran hidup (Ghirri et al., 2009). Kasus ini dilaporkan sekitar 0,3-1% kelahiran
hidup di Amerika (Carmichael et al., 2003; Porter et al., 2005; Fisch et al., 2009).
Namun kejadian hipospadia lebih tinggi ditemukan di Child Health Care Center
Rotterdam tahun 2000 yaitu sebanyak 53 orang dari 7.292 bayi laki-laki (0,73%)
(Pierik et al., 2002). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Pande dkk ditemukan 65
kasus hipospadia dari tahun 2011 - 2014 (Pande dkk., 2015), sedangkan Bayu dkk
mendapatkan jumlah penderita hipospadia sebanyak 15 kasus dalam periode tahun
2009 - 2011 (Bayu dkk., 2014).
Dampak kesehatan pada pasien hipospadia cukup signifikan. Hipospadia dapat
menyebabkan konsekuensi mental dan fisik yang serius. Pasien hipospadia lebih
rentan terdiagnosis gangguan intelektual, gangguan emosi, dan Attention Deficit
Hyperactivity Disorder (ADHD). Akibat ganguan fungsi seksual dan gangguan
psikososial yang dialaminya, biasanya pasien dengan hipospadia membutuhkan
koreksi bedah. Hipospadia lebih sering terjadi pada bayi yang berat badan lahir
rendah, usia ibu terlalu tua, ibu yang mengalami infeksi selama hamil, ibu dengan
hipertensi atau preeklamsia, mengonsumsi alkohol dan obat-obatan, serta bekerja di
bidang agrikultural. Meskipun sejumlah faktor risiko hipospadia telah diidentifikasi,
tetapi sebagian besar etiologinya tetap belum diketahui. Kemungkinan gabungan
antara monogenik dan multifaktorial yang berimplikasi terhadap genetik dan
lingkungan disebut sebagai penyebab terbesarnya.
Terapi yang digunakan yaitu dengan cara dilakukan pembedahan. Tujuan
pembedahan adalah agar penis menjadi lurus dengan cara melakukan eksisi korde
(orthoplasty), memindahkan muara uretra pada ujung penis (urehtroplasty), dan
membentuk glans penis seanatomis mungkin (glanulosplasty) (Pedoman Diagnosis
dan Terapi, 2010). Pembedahan orthoplasty, urehtroplasty, dan glanuloplasty
merupakan jenis pembedahan bersih terkontaminasi. Pembedahan bersih

1
terkontaminasi adalah pembedahan yang membuka traktus digestivus, traktus bilier,
traktus urinarius, traktus respiratorius sampai orofaring, traktus reproduksi kecuali
ovarium ataupun operasi yang tanpa pencemaran nyata. Komplikasi dini yang dapat
terjadi adalah edema lokal dan perdarahan. Perdarahan pasca operasi dini dapat
diatasi dengan kompresi hingga perdarahan akan berhenti dengan sendirinya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi dari hipospadia pada anak?
2. Apa saja klasifikasi dari hipospadia yang terjadi pada anak?
3. Bagaimana hipospadia pada anak dapat terjadi?
4. Apa saja tanda dan gejala hipospadia pada anak?
5. Bagaimana proses perjalanan penyakit hipospadia pada anak?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang hipospadia pada anak?
7. Bagaimana penatalaksanaan hipospadia pada anak?

1.3 Tujuan
a) Tujuan Umum
Agar mahasiswa/mahasiswi memperoleh informasi dan gambaran tentang
penyakit hipospadia pada anak.
b) Tujuan Khusus
1) Mampu menjelaskan konsep teori tentang penyakit hipospadia pada anak.
2) Mampu melaksanakan pengkajian pada anak dengan penyakit hipospadia.
3) Mampu menentukan diagnosa keperawatan anak dengan penyakit hipospadia.
4) Mampu membantu pasien mengambil keputusan pada pasien dengan penyakit
hipospadia yang terjadi pada anak.
5) Mampu melakukan advokasi kepada pasien dengan penyakit hipospadia yang
terjadi pada anak.

2
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Hipospadia


Hipospadia didefinisikan sebagai suatu defek dalam pembentukan aspek
ventral dari penis yang disertai dengan abnormalitas dari meatus uretra dimana
meatus uretra berada di proksimal dari ujung penis dan letaknya di bagian ventral
dengan bentuk penis yang melengkung ke arah ventral (dengan atau tanpa chordae)
serta adanya defisiensi dari kulit preputium bagian ventral atau disebut pula dorsal
hood (Lambert et al, 2011). Merupakan kelainan kongenital yang sering terjadi pada
bayi laki-laki, dengan angka kejadian mencapai 1 dari 300 kelahiran (Snodgrass dan
Bush, 2014).

2.2 Embriologi Genetalia Eksterna Pada Laki-Laki


Pertumbuhan awal genitalia eksterna pada laki-laki hampir sama dengan
pertumbuhan genitalia eksterna wanita. Diferensiasi seks pada genitalia eksterna
terjadi antara minggu ke 7-17 usia kehamilan. Dibawah pengaruh gen SRY pada
lengan pendek kromosom Y terjadi diferensiasi genitalia pria, yang selanjutnya
memacu pertumbuhan testis dengan memberi sinyal pertumbuhan pertama pada sel
sertoli. Sel sertoli membantu perkembangan germ cell dan sel leydig. Dibawah
pengaruh testosteron yang diproduksi oleh sel leydig testis yang selanjutnya
dikonversi menjadi dihidrotestosteron, genitalia eksterna laki-laki berkembang
menjadi duktus genitalis dan genitalia eksterna. Mesoderm dari genitalia eksterna
membesar membentuk corpus cavernosa dan gland penis, sedangkan endoderm
mengalami tubularisasi dari proksimal menuju ke arah distal membentuk urethra
penis dan ektoderm berkembang menjadi kulit penis dan prepusium.

3
Gambar 2. Embriologi genitalia eksterna laki-laki.

Keterangan gambar: (A) Minggu ke-7 usia kehamilan, prekusor diferensiasi sex
dimulai. (B) Perkembangan genitalia eksterna laki-laki pada minggu ke-7 sampai
minggu ke-17 usia kehamilan.

Pada perkembangan genitalia eksterna laki-laki ditandai oleh pemanjangan


cepat tuberkulum genital yang disebut phallus. Selama proses pemanjangan, phallus
menarik lipatan urethra kearah distal hingga membentuk urethra penis. Namun,
saluran urethra tersebut tidak memanjang hingga ke ujung phallus. Bagian paling
distal urethra terbentuk saat sel-sel ectoderm dari ujung gland penis menembus ke
arah dalam dan membentuk korda epitel pentek. Korda tersebut kemudian
membentuk lumen dan disebut orificium urethra eksterna.

2.3 Klasifikasi Hipospadia


Secara umum pembagian tipe hipospadia didasarkan pada letak dari
meatusnya. Sejumlah pakar telah menyusun pembagian tersebut, dimulai dari
Smith yang membagi hipospadia menjadi tiga derajat, yaitu :
1. Derajat satu bila letak meatusnya dari corona sampai shaft penis bagian
distal.
2. Derajat dua mulai dari distal shaft sampai penoscrotal junction.

4
3. Derajat tiga mulai dari penoscrotal junction sampai ke perineum.

Gambar Beragam klasifikasi hipospadia berdasarkan lokasi muara uretra (Hadidi et al,
2004)

Kemudian menyusul pakar-pakar lain dengan klasifikasinya. Namun klasifikasi-


klasifikasi tersebut tidak terlalu memperhitungkan berat ringannya chordae dan
pengaruhnya terhadap lokasi muara uretra. Barca pada tahun 1973 menyusun pembagian
hipospadia berdasarkan letak muara uretra setelah dilakukan release dari curvatura penis
(Hadidi et al, 2004).
Klasifikasi hipospadia berdasarkan pada lokasi muara uretra. Klasifikasi yang
paling umum dipublikasikan adalah dari Duckett tahun 1996 sebagaimana diperlihatkan
pada gambar berikut Duckett membagi hipospadia ke dalam:
1. Anterior sebanyak 50% dengan 3 subtipe, yaitu glandular, sub coronal, dan distal
penile.
2. Pertengahan sebanyak 30% dengan 2 subtipe, yaitu mid shaft dan proximal penile.
3. Posterior sebanyak 20% dengan 3 subtipe, yaitu penoscrotal, scrotal, dan perineal.
Hipospadia dapat muncul dalam bentuk isolated dimana hipospadia adalah satu-
satunya defek/kelainan tanpa disertai simptom lain. Bila hipospadia muncul bersamaan
dengan malformasi lain baik di traktus reproduksi maupun jauh dari sistem reproduksi,
maka ia disebut sebagai hipospadia sindromik, contohnya Reinfenstein, sindrom Wolf-
Hirschhorn, de-lange, sindrom Fraser, dan sindrom Smith Lemli Opitz.

5
Hipospadia distal lebih banyak dijumpai pada populasi barat, sedang hipospadia
proksimal lebih banyak di Asia (Subramaniam et al, 2011).

Gambaran klinis Hipospadia A. Glandular. B. Subcoronal. C. Midshaft. D. Penoscrotal.


E. Scrotal. F. Perineal (Baskin dan Ebbers, 2006)

2.4 Etiologi Hipospadia


Sampai saat ini, etiologi dari hipospadia masih belum diketahui. Kelainan ini
dianggap sebagai suatu penyakit multifaktorial dimana beberapa faktor risiko berperan
dalam perkembangan penyakit ini. Faktor risiko-faktor risiko berikut ini dianggap
mempengaruhi terjadinya hipospadia:
1. Faktor Genetik
Terdapat kecederungan familial clustering pada hipospadia, dimana kerabat
laki- laki dengan hipospadia memiliki kecederungan terjadi kelainan yang sama.
Penelitian oleh Sorensen (1953) menyatakan bahwa 28% dari 103 kasus dengan
hipospadia non-sindromik memiliki paling tidak satu anggota keluarga dengan
hipospadia. Semakin berat hipospadia, semakin tinggi insidennya pada kerabat derajat
pertama (first-degree). Risiko berulangnya kelainan ini pada saudara laki-laki adalah
sebesar 12% sampai 14% atau 15% dan sekitar 7% sampai 9% risiko penurunan ke
anak laki-laki. Banyak peneliti mencari tahu kandidat gen yang mungkin menjadi
etiologi dari hipospadia. Terdapat beberapa gen yang dipercaya terlibat dalam

6
terjadinya hipospadia antara lain gen activating transcription factor 3 (ATF 3), steroid
5-alpha reductase type 2 (SRD5A2), 17-β hydroxysteroid dehydrogenase (HSD17B3),
gen androgen receptor (AR-gene), dan gen-gen lain yang diusulkan seperti gen
homeobox (Hoxa-13), fibroblast growth factor (Fgf-10), sonic hedgehog (Shh).
2. Faktor Endokrin
Perkembangan genitalia eksterna laki-laki memerlukan proses yang kompleks.
Defek pada sintesis hormon androgen karena defek pada gen hingga produksi yang
inadekuat atau karena adanya endocrine disruptor dapat menyebabkan terjadinya
hipospadia.
3. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan memiliki kemungkinan mengganggu sistem endokrin baik
laki-laki maupun wanita. Banyak studi mengusulkan bahwa paparan Endocrine
Disrupting Chemicals (EDC) menyebabkan hipospadia karena hormon sex berperan
besar dalam perkembangan genital selama masa fetus. Bahan kimia EDC tersebut
dapat berperan sebagai zat estrogenik maupun antiandrogenik. Salah satu contoh dari
bahan kimia EDC adalah zat yang terkandung dalam herbisida, fungisida, insektisida,
dan produk industri dan produk akhirnya (seperti plastik, kosmetik, cat, dan
sebagainya). Suatu studi kasus-kontrol di Inggris Tenggara menemukan bahwa
penggunaan insect repellent / obat pembasmi serangga (termasuk didalamnya obat
nyamuk) memperlihatkan hubungan yang signifikan secara statistik dengan risiko
hipospadia (OR: 1.76, 95% CI 1.08- 2.86). Zat polutan tersebut masuk ke dalam
tubuh melalui makanan, inhalasi, absorbsi atau bahkan bisa melewati plasenta. Satu
studi menyatakan bahwa paparan pestisida pada ibu hamil meningkatkan 36% risiko
terjadinya hipospadia, sedangkan paparan pestisida pada ayah terkait dengan 19%
peningkatan risiko hipospadia.
4. Lain-lain
Faktor risiko dari ibu seperti usia ibu yang tua dikaitkan dengan peningkatan
hipospadia hingga 20% serta peningkatan 50% hipospadia berat lahir dari ibu yang
berusia > 35 tahun. Karakteristik kehamilan seperti BBLR (berat bayi lahir rendah),
kehamilan kembar, persalinan prematur (< 37 minggu usia kehamilan) serta
primiparitas juga dikaitkan dengan hipospadia. BBLR sering dialami pada ibu dengan
kehamilan kembar yang menandakan terdapatnya insufisiensi plasenta dalam
menyediakan nutrisi dan gonadotropin bagi janin. Suatu studi menyatakan bahwa
kehamilan kembar dan BBLR (< 2500 g) terkait dengan hipospadia dengan masing-

7
masing rasio odds (OR= 2.5; 95%CI:1.1-6.1) dan (OR= 2.3 ; 95% CI:1.2-4.2),
berturut-turut. Selain itu penggunaan progestin dan derivatnya selama awal kehamilan
maupun untuk mencegah komplikasi atau keguguran selama kehamilan meningkatkan
risiko hipospadia derajat dua dan tiga dengan crude OR 3,7. Faktor risiko lain seperti
ayah merokok masih menjadi kontroversi. Ayah merokok sebelum kehamilan
dikaitkan dengan hipospadia karena dianggap mengurangi produksi sperma,
mengganggu motilitas sperma, dan morfologinya.

2.5 Patofisiologi Hipospadia

Sekitar minggu ke-6 gestasi, tuberkulum genital berkembang ke arah anterior


menuju ke arah sinus urogenital. Pada minggu ke-8 terjadi maskulanisasi genetalia
eksterna laki-laki karena pengaruh dari sintesis testosteron oleh testis fetus. Sintesis
testosteron dilakukan oleh sel leydig dari testis fetus, dimana sel 16 Leydig tersebut
dirangsang oleh hCG (Human Chorionic Gonadotropin). Testosteron diubah menjadi
bentuk yang lebih poten oleh enzim 5-reduktase tipe II menjadi dihidrotestosteron. Untuk
dihidrotestosteron menjadi lebih efektif, dihidrotestosteron harus berikatan dengan
reseptor androgen yang berada di jaringan genital. Salah satu tanda pertama dari
maskulanisasi adalah menjauhnya jarak antara anus dengan genital diikuti dengan
pemanjangan dari phallus, pembentukan uretra dan pembentukan preputium.Uretra
dibentuk dari gabungan tepi medial lipatan endodermal uretra. Peristiwa penggabungan
tepi medial lipatan endodermal uretra ini dimulai dari arah proksimal ke distal dan
berakhir pada akhir trimester pertama. Tepi ektodermal uretra bergabung menjadi
preputium. Kegagalan menyatunya lipatan endodermal uretra ini yang memicu terjadinya
hipospadia (Örtqvist L et al,2016; Kalfa et al, 2013).

Terhentinya perkembangan kanalisasi menyebabkan abnormalitas cakupan ventral


dari mesenkim perineal midline sepanjang uretral plate pada saat kanalisasi,
menghasilkan pembukaan uretral ektopik. Pembukaan uretral umumnya terhenti saat
mendekati coronal groove dari glans. Penghentian ini terjadi selama minggu 14 dan 15
massa perkembangan. Semakin lambat penghentian terjadi maka semakin distal
hipospadia terjadi (Örtqvist L et al, 2016).

Penghentian dini perkembangan menghentikan fusi dari lipatan luar genital


menghasilkan dua hemiskrotal. Kulit prepusium yang terbelah atau abnormal juga

8
merupakan konsekuensi dari penghentian perkembangan uretra. Pada usia kehamilan
delapan minggu, lipatan preputial muncul di kedua sisi batang penis dan bergabung pada
dorsum penis. Karena tidak lengkapnya perkembangan uretra, 17 lipatan preputial tidak
bisa melingkar di sisi ventral. Konsekuensinya adalahpreputiumtidak terdapat pada sisi
ventral, danjaringan preputial yang berlebihan pada dorsum. Raphe median dari phallus
juga berkembang secara tidak normal. Kekurangan pertumbuhan mesenkimal dapat
menyebabkan rangkaian raphe zig-zag yang berakhir dan terbagi menjadi duacabang, satu
pada setiap sisi distal menuju "dog ears" atau sudut dari preputium yang terbelah. Area
segitiga antara dua cabang yang tidak memiliki fasia Buck dan jaringan
subkutan,merupakan aspek penting selama operasi. Kelengkungan penis abnormal yang
diamati pada saat ereksi terjadi pada banyak pasien dengan hipospadia, namun lebih
sering terjadi danlebih berat pada pasien dengan hipospadia tipe proksimal. Pada kasus
yang lebih proksimal, kelengkungan penis disebabkan oleh apoptosis plat uretra / korpus
spongiosum karena tidak adanyastimulasi androgenik menghasilkan lengkungan pada
corpus cavernosa. Jaringan fibrosa, yang dipotong selama koreksi kelengkungan, disebut
chordee.Kelengkungan penis pada pasien dengan hipospadia distal lebih banyak
disebabkan oleh kurangnya panjang kulit atau pertumbuhan periurethral (Örtqvist L et al,
2016).

9
2.7 Manifestasi Klinis Hipospadia
Kondisi hipospadia pada setiap penderita bisa berbeda-beda. Pada sebagian besar
kasus, lubang kencing terletak di bagian bawah kepala penis, dan sebagian lain memiliki
lubang kencing di bagian bawah batang penis. Posisi lubang kencing juga bisa berada di
area skrotum (buah zakar), tetapi kondisi ini jarang terjadi.
Akibat letak letak lubang kencing yang tidak normal, anak dengan hipospadia
akan mengalami gejala seperti di bawah ini:
a) Percikan urine tidak normal saat buang air kecil.
b) Kulup hanya menutupi bagian atas kepala penis.
c) Bentuk penis melengkung ke bawah.

2.8 Pemeriksaan Penunjang


1. Jarang dilakukan pemeriksaan tambahan untuk mendukung diagnosis hipospadia.
Tetapi dapat dilakukan pemeriksaan ginjal seperti USG mengingat hipospadia sering
disertai kelainan pada ginjal.
2. Ultrasound perinatal untuk mendeteksi agnesis ginjal.
3. Segera setelah lahir, scan computerized axial tomography (CAT) atau ultrasound
ginjal digunakan untuk mendiagnosis kelainan.
4. Uretroskopi dan sistoskopi membantu dalam mengevaluasi perkembangan reproduksi
internal.
5. Urografi untuk mendeteksi kelainan kongenital lain pada ureter dan ginjal.

2.9 Penanganan Hipospadia


Jika posisi lubang kencing sangat dekat dari posisi yang seharusnya, dan bentuk
penis tidak melengkung, penanganan tidak diperlukan. Namun bila letak lubang kencing
jauh dari posisi normalnya, operasi perlu dilakukan.
Operasi bertujuan untuk menempatkan lubang kencing ke posisi yang seharusnya,
dan untuk memperbaiki kelengkungan penis. Operasi dapat dilakukan dua kali,
tergantung pada tingkat keparahannya.
Pada banyak kasus, fungsi penis anak akan kembali normal setelah operasi.
Idealnya, operasi dilakukan ketika bayi berusia 6 sampai 12 bulan.
Penting untuk diingat, jangan menyunat anak sebelum operasi dilakukan. Dokter
bedah memerlukan cangkok dari kulup, untuk membuat lubang kencing baru.

13
2.10 Konsep Pengambilan Keputusan
Perkembangan praktik keperawatan serta tuntutan layanan kesehatan yang
semakin berkembang dan sering mengalami perubahan menyebabkan tugas dalam
pengambilan keputusan semakin berat untuk profesi keperawatan. Dalam hal ini,
terdapat teori-teori yang melekat dalam pengambilan keputusan klini, teori tersebut
diantaranya:
1. Teori Utilitarisme
Ketika keputusan diambil, memaksimalkan kesenangan, meminimalkan
ketidaksenangan.
2. Teori Deontology
Menurut Immanuel Kant sesuatu dikatakan baik bila bertindak baik. Contohnya bila
berjanji ditepati, bila pinjam harus dikembalikan.
3. Teori Hedonisme
Menurut Aristippos, sesuai kodratnya setiap manusia mencari kesenangan dan
menghindari ketidaksenangan.
4. Teori Eudemonisme
Menurut Aristoteles, setiap kegiatannya manusia mengejar suatu tujuan, ingin
mencapai suatu yang baik.

Sedangkan dalam proses pengambilan keputusan dapat diterapkan langkah-


langkah tertentu. Terdapat beberapa pendapat mengenai proses pengambilan keputusan,
diantaranya adalah sebagai berikut.

1. Langkah-langkah proses pengambilan keputusan dalam Oteng (1993):


a. Penentuan masalah
b. Analisa situasi yang ada
c. Pengembangan alternatif-alternatif
d. Analisa alternatif-alternatif
e. Pilihan anternatif yang paling baik
2. Langkah-langkah pemecahan masalah (dalam Materi Keterampilan ManajerIal
SPMK, Nurs, 2003):
a. Mengetahui hakekat dari masalah dengan mendefinisikan masalah yang
dihadapi.
b. Mengumpulkan fakta-fakta dan data yang relevan.

14
c. Mengolah fakta dan data.
d. Menentukan beberapa alternatif pemecahan masalah.
e. Memilih cara pemecahan dari alternatif yang dipilih.
f. Memutuskan tindakan yang akan diambil.
g. Evaluasi.
3. Model pemecahan masalah (Megan, 1989)
a. Mengkaji situasi
b. Mendiagnosa masalah etik moral
c. Membuat tujuan dan rencana pemecahan
d. Melaksanakan rencana
e. Mengevaluasi hasil
4. Proses pengambilan keputusan menurut Campbell (1997):
a. Menentukan tujuan
b. Mengidentifikasi pilihan
c. Menganalisis informasi
d. Menentukan pilihan
5. Proses pengambilan keputusan menurut Adair (2007):
a. Mendefinisikan tujuan
b. Mengumpulkan data yang relevan
c. Menghasilkan pilihan yang layak
d. Membuat keputusan
e. Mengimplementasikan dan mengevaluasi
6. Proses pengambilan keputusan menurut Thohiron (2013):
a. Identifikasi masalah
Dalam hal ini pemimpin diharapkan mampu mengindentifikasikan masalah yang
ada di dalam suatu organisasi.
b. Pengumpulan dan menganalisis data
Pemimpin diharapkan dapat mengumpulkan dan menganalisis data yang dapat
membantu memecahkan masalah yang ada
c. Pembuatan alternatif-alternatif kebijakan
Setelah masalah dirinci dengan tepat dan tersusun baik, maka perlu dipikirkan
cara-cara pemecahannya.
d. Pemilihan salah satu alternatif terbaik

15
Pemilihan satu alternatif yang dianggap paling tepat untuk memecahkan
masalah tertentu dilakukan atas dasar pertimbangan yang matang atau
rekomendasi. Dalam pemilihan satu alternatif dibutuhkan waktu yang lama
karena hal ini menentukan alternatif yang dipakai akan berhasil atau sebaliknya.
e. Pelaksanaan keputusan
Ketika menerima dampak yang negatif, pemimpin harus juga mempunyai
alternatif yang lain.
f. Pemantauan dan pengevaluasian hasil pekerjaan
Setelah keputusan dijalankan seharusnya pimpinan dapat mengukur dampak dari
keputusan yang telah dibuat.

Dalam Nurs (2003), untuk mengambil suatu keputusan, harus memerhatikan


hal-hal sebagai berikut:

1. Dalam proses pengambilan keputusan tidak terjadi secara kebetulan


2. Pengambilan keputusan dilakukan secara sistematik, yaitu: tersedianya sumber-
sumber untuk melaksanakan keputusan yang akan diambil, kua- lifikasi tenaga kerja
yang tersedia, falsafah yang dianut organisasi, situasi lingkungan internal dan
eksternal yang akan mempengaruhi administrasi dan manajemen di dalam
organisasi.
3. Masalah harus diketahui dengan jelas.
4. Pemecahan masalah harus didasarkan pada fakta-fakta yang terkumpul dengan
sistematis.
5. Keputusan yang baik adalah keputusan yang telah dipilih dari berbagai alter- natif
yang telah dianalisa secara matang.

2.11 Konsep Legal Etik


Dalam area praktik keperawatan, semua pemberi pelayanan dibatasii oleh
prinsip-prinsip etik tertentu yang mengharuskan pemberi pelayanan kesehatan dan
orang tua secara teoritis mampu untuk bekerja bersama untuk mencapai suatu
konsensus. Adapun prinsip-prinsip tersebut adalah autonomy, beneficence, non
maleficence dan justice.
1. Autonomy (menghormati autonomi pasien)
Prinsip etik ini menempatkan pasien dalam hal ini anak sebagai orang yang
memiliki kebebasan dan kemerdekaan untuk memilih tindakan tertentu yang

16
memperbolehkan setiap orang untuk memutuskan apa yang terbaik untuk dirinya.
Anak yang masih muda dianggap tidak kompeten dan kurang pengetahuan untuk
membuat keputusan sehingga dalam hal ini orang tua memiliki otoritas dalam
proses pengambilan keputusan.
2. Beneficence (berbuat baik)
Prinsip etik ini menyatakan secara tidak langsung bahwa kewajiban moral dari
perawat adalah untuk memberikan kebaikan dan meembantu orang lain. Pemikiran
tenaga professional harus didasarkan pada ‘scintific research” dan ”evidence”.
Beuchamp dan Childress menulis: “dalam bentuk yang umum, dasar-dasar
beneficence mempunyai tujuan untuk membantu orang lain melebihi kepentingan
dan minat mereka”. Dasar dari beneficence mengandung dua elemen, yaitu
keharusan secara aktif untuk kebaikan berikutnya, dan tuntutan untuk melihat
berapa banyak aksi kebaikan berikutnya dan berapa banyak kekerasan yang terlibat.
3. Non malaficence (tidak merugikan orang lain)
Tujuan dari prinsip ini adalah untuk melindungi seseorang yang tidak mampu
(cacat) atau orang yang non-otonomi. Prinsip ini mengharuskan pemberi pelayanan
untuk menghindari hal yang berbahaya (Do no harm). Jawaban etik yang benar
adalah dengan elihat kebaikan lebih lanjut dari diri seseorang, tidak diperbolehkan
untuk menyakiti orang lain. Prinsip ini mengemukakan bahwa keharusan untuk
tidak melukai orang lin lebih kuat dibandingkan keharusan untuk berbuat baik.
4. Justice (keadilan)
Beuchamp dan Childress menyatakan bahwa teori ini sangat erat kaitannya dengan
sikap adil seseorang pada orang lain, seperti memutuskan siapa yang membutuhkan
pertolongan kesehatan terlebih dahulu dilihat dari keparahan penyakitnya. Rawls
merumuskan konsepsi khusus teori keadilan dalam bentuk dua prinsip keadilan
yaitu: 1) setiap orang memiliki hak sama sejauh yang dapat dicakup keseluruhan
sistem kesamaan kemerdekaan fundamental yang setara bagi kemerdekaan semua
warga yang lain; ketidaksamaan-ketidaksamaan sosial dan ekonomi didata
sedemikian sehingga keduanya: (a) paling menguntungkan bagi yang paling
tertinggalm dan (b) melekat pada posisi-posisi dan jabatan-jabatan terbuka bagi
semua di bawah syarat kesamaan kesempatan yang fair.
2.12 Prosedur Operasi Hispospedia
Waktu yang optimal dalam pelaksanaan operasi hipospadia adalah saat usia
anak 3 sampai 18 bulan. Karena pada usia ini anak-anak akan mengalami amnesia dari

17
prosedur operasi dan 70-80% kelainan dapat ditangani tanpa perlu dirawat. erdapat 2
tahap dari operasi hipospadia, yang pertama adalah eksisi korde dan tunneling, dan
yang kedua adalah rekonstruksi uretra (uretroplasty)
1. Eksisi korde
Setelah insisi dari hipospadia telah dilakukan dan flap telah diangkat, seluruh
jaringan yang dapat mengakibatkan bengkok diangkat dari sekitar meatus dan
dibawah glans. Setelah itu dilakukan tes ereksi artificial. Bila korde tetap ada, maka
diperlukan reseksi lanjutan.
2. Urethroplasty
Terdapat banyak teknik yang dapat digunakan untuk urethroplasty, namun yang
akan dibahas adalah teknik MAGPI yang cukup umum digunakan.
3. MAGPI (Meatal Advancement and Glanuloplasty Incorporated)
Teknik MAGPI ini dapat digunakan untuk pasien dengan hipospadia glanular distal.
Setelah penis terlihat lurus pada tes ereksi artifisial, insisi sirkumsis dilakukan. Skin
hook diletakkan pada tepi ujung dari saluran uretra glanular lalu kemudian ditarik ke
arah lateral. Gerakan ini dapat meningkatkan transverse band dari mukosa yang
nantinya akan diinsisi longitudinal pada garis tengah. Insisi pada dinding dorsal
glanular uretra ini nantinya akan ditutup dengna jahitan transversal dengan chromic
catgut 6-0. Skin hook ditempatkan pada tepi kulit dari korona pada garis tengah
ventral. Dengan traksi distal, ujung glans ditarik ke depan dan dijahitkan pada garis
tengah dengan jahitan subkutikuler. Epitel glans ditutup dengan jahitan interrupted .
Kelebihan kulit dari prepusium dorsal dapat dijahitkan untuk penutupan kulit.

Prosedur pelaksanaan kordektomy dan urethroplasty untuk penanganan


hipospadia adalah sebagai berikut.
1) Persiapan Pre Operasi
a. Informed Consent
b. Laboratorium
c. Pemeriksaan Tambahan
d. Antibiotik Profilaksi
e. Cairan dan darah
2) Anestesi
Umum dengan endotracheal
3) Persiapan Lokal Daerah Operasi

18
a. Penderita diatur dalam posisi supine
b. Lakukan desinfeksi dan asepsi mulai level papila mammae sampai pedis kanan
dan kiri.
4) Tindakan Operasi
Eksisi korde
1) Setelah insisi dari hipospadia telah dilakukan dan flap telah diangkat, seluruh
jaringan yang dapat mengakibatkan bengkok diangkat dari sekitar meatus dan
dibawah glans.
2) Setelah itu dilakukan tes ereksi artificial. Bila korde tetap ada, maka diperlukan
reseksi lanjutan.

MAGPI (Meatal Advancement and Glanuloplasty Incorporated)


1) Teknik MAGPI ini dapat digunakan untuk pasien dengan hipospadia glanular
distal.
2) Setelah penis terlihat lurus pada tes ereksi artifisial, insisi sirkumsis dilakukan.
3) Skin hook diletakkan pada tepi ujung dari saluran uretra glanular lalu kemudian
ditarik ke arah lateral.
4) Gerakan ini dapat meningkatkan transverse band dari mukosa yang nantinya
akan diinsisi longitudinal pada garis tengah.
5) Insisi pada dinding dorsal glanular uretra ini nantinya akan ditutup dengna
jahitan transversal dengan chromic catgut 6-0.
6) Skin hook ditempatkan pada tepi kulit dari korona pada garis tengah ventral.
7) Dengan traksi distal, ujung glans ditarik ke depan dan dijahitkan pada garis
tengah dengan jahitan subkutikuler.
8) Epitel glans ditutup dengan jahitan interrupted
9) Kelebihan kulit dari prepusium dorsal dapat dijahitkan untuk penutupan kulit

19
BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1 Resume Kasus

An I. berjenis kelamin laki-laki berusia 10 bulan MRS pada tanggal 10 September


2018. An. I di diagnosa dengan Hipospadia tipe peneana proximal. Ibu pasien
mengatakan bahwa saat kecing, urine tidak keluar melalui ujung penis, melainkan urine
keluar pada pangkal penis. Selama hamil, Ibu klien melakukan ANC sebanyak 4-5 kali di
puskesmas. Ibu pasien tidak memiliki riwayat hipertensi maupun perdarahan selama
kehamilan An. I. Pasien akan dilakukan tindak operasi untuk menempatkan uretra pada
tempat seharusnya, yang akan dilakukan oleh Dr. A sebagai DPJP dan dibantu oleh Ners
B sebagai PPJP. Ibu pasien memngkhawatirkan kondisi sang anak jika tidak segera
dilakukan penangan akan menyulitkan aktivitas sang anak dikemudian hari. Dr. A
menyarankan untuk dilakukan tindakan operasi pada An. I ,tetapi Ibu pasien meragukan
tindakan operasi karena kurangnya pengetahuan dari Ibu Pasien.

Pasien lahir di klinik bidan, dan persalinan dibantu oleh bidan secara spontan pada
umur kehamilan 38 minggu, BBL 2900 gram, PB 40 cm. Anak langsung mennagis, tidak
ada kejang maupun iktenik. Ibu pasien juga menyatakan turin membawa anaknya untuk
imunisasi di bidan dan kontrol di puskesmas. Imunisasi yang telah dilakukan adalah :
BCG, Hepatitis B, DPT, Polio dan campak. Pasien belum pernah menjalani operasi.
Keluarga juga menyatakan bahwa pasien belum pernah jatuh dan mengalami kecelakaan
hingga terluka. Keluarga mengatakan bahwa pasien tidak memiliki riwayat alergi.

Kondisi sosial ekonomi pasien termasuk menengah kebawah. Ayah pasien hanya
bekerja sebagai kuli bangunan. Pasien tinggal bersama dengan ayah, ibu, dan saudara
perempannya yang berusia 5 tahun. Ibu pasien mengatakan bahwa dalam keluarganya
tidak ada yang memiliki riwayat penyakit seperti hipertensi, diabetes, atau penyakit
genetik lainnya.

Ibu pasien membawa pasien berobat ke RS UNAIR untuk memeriksakan mengapa


urine yang keluar tidak melalui ujung penis. Ibu pasien mengatakan bahwa pasien tidak
memiliki masalah terhadap pola makannya. Pasien tidak memiliki riwayat sesak nafas dan
asma. Ibu pasien mengatakan pasien tidur dari jam 20.00 - 06.30, pasien juga tidur siang
mulai pukul 11.00 - 15.00.

20
Sebelum dan selama sakit ibu pasien mengatakan bahwa pasien BAB 1x sehari,
dan BAK sebanyak 5-6 kali setiap hari. Ibu pasien mengatakan bahwa ia merasa cemas
atas kondisi anaknya dan tidak tahu harus apa yang terjadi dengan anaknya.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan data sebagai berikut :

Pasien composmentis, nadi : 120x/menit, suhu 36.7°C, dengan RR: 22x/menit. BB


belum dikaji. Kulit pasien kuning langsat, tidak ada ikterik. CRT <2 detik, kulit pasien
teraba hangat normal. Bentuk kepala pasien norman, rambut berawarna hitam, lebat dan
rapi. Tidak terdapat ketombe maupun lesi. Wajah pasien simetris.

Pada pemeriksaan mata tidak ditemukan anemis, ikterik maupun edema dan
refleks terhadap cahaya baik. Bentuk telinga juga normal, lubang telinga bersih dan tidak
keluar cairan. Pada hidung, tidak ditemukan adanya sekret yang keluar dari hidung. Mulut
utuh, tidak sumbing, tidak ada sariawan dan membran mukosa bibir lembab. Bentuk leher
simetris dan tidak menggunakan alat bantu apapun. Dada simetris dan tidak terdapat nyeri
tekan. Bentuk abdomen juga simetris dan tidak ditemukan nyeri tekan atau hepatomegaly
maupun splenomegaly. Pasien berjenis kelamin laki-laki, lubang uretra tidak berada pada
ujung melainkan di pangkal penis. Pasien akan direncanakan dilakukan tindakn operasi
atau pembedahan

3.2 Pengambilan Keputusan pada Operasi Hipospedia


Langkah-langkah pemecahan masalah (dalam Materi Keterampilan Manajerial
SPMK, Nurs, 2003):
a. Mengetahui hakekat dari masalah dengan mendefinisikan masalah yang dihadapi
Dalam langkah-langkah pengambilan keputusan yang pertama adalah
mengidentifikasi masalah. Masalah pada kasus ini adalah diagnosa medis pada An. I
dengan usia 10 bulan yang menderita kelainan pada libang uretranya, yaitu hipospadia
tipe peneana proximal. Ibu pasien mengatakan bahwa pada saat kencing, urine An. I
tidak keluar melalui ujung penis melainkan keluar dari pangkal penis.
b. Mengumpulkan fakta-fakta dan data yang relevan
Pengumpulan data atau informasi dikerjakan secara berkesinambungan melalui proses
yang sistematis, sehingga upaya untuk mengantisipasi keadaan/masalah yang
mungkin timbul akan lebih mudah dilaksanakan selain itu juga tentukan siapa yang
terlibat dalam pengambilan keputusan dalam tindakan yang akan dilakukan pada
pasien. Dalam kasus ini data yang didapatkan adalah pernyataan ibu pasien yang

21
mengatakan bahwa ketika buang air kecil urine keluar pada pangkal penis. Orang
yang terlibat dalam kasus ini adalah Ibu pasien, ayah pasien, keluarga terdekat pasien,
dokter bedah, Dr. A sebagai DPJP dan Ners B sebagai PPJP An. I. Ibu pasien
mengkhawatirkan apabila tidakl segera di tatalaksani maka akan menggangu aktivitas
An. I di kemudian hari. Dr. A menyarankan untuk dilakukan tindakan operasi pada
uretra An. I, tetapi Ibu pasien masih meragukan tindakan operasi tersebut dikarenakn
kurangnya pengetahuan sang Ibu terkait dengan tindakan operasi.
c. Mengolah fakta dan data
Fakta-fakta dan data yang telah terkumpul dengan baik diolah secara sistematis yang
akhirnya akan merupakan suatu informasi yang akan digunakan sebagai bahan untuk
pengambilan keputusan. Analisa fakta dan data perlu dihubungkan dengan
serangkaian pertanyaan sebagai berikut:
1. Situasi yang bagaimanakah yang menimbulkan masalah?
Dalam kasus ini terdapat dua dilema yang di alami oleh Ibu pasien terkait
penyakit kelainan Hipospadia yang diderita An. I. Dimana Ibu pasien
mengkhawatirkan kondisi sang anak di kemudian hari, selain itu Ibu pasien juga
masih meragukan akan keberhasilan tindakan operasi yang akan dilakukan, karena
Ibu pasien kurang mengetahui terkait tindakan tersebut.
2. Apa pengaruh dan hubungan antara masalah yang dihadapi dengan tujuan,
rencana dan kebijakan organisasi?
Hipospadia jika tidak ditangani sejak dini, dapat membuat anak kesulitan buang
air kecil dalam posisi berdiri. Jika dibiarkan sampai beranjak dewasa, hipospadia
bisa menyebabkan gangguan ejakulasi. Akibatnya, penderita akan sulit memiliki
anak. Maka Dr. A menyarankan kepada Ibu Pasien untuk dilakukan tindak operasi
pada An. I. Operasi bertujuan untuk menempatkan lubang kencing ke posisi yang
seharusnya, dan untuk memperbaiki kelengkungan penis nagar kembali ke bentuk
yang normal. Tindakan operasi harus dilakukan sebelum anak memasuki usia
sekolah. Diharapkan anak tidak malu dengan keadaannya setelah tahu bahwa anak
laki-laki yang lain kalau BAK berdiri sedangkan anak pengidap hipospadia harus
jongkok seperti anak perempuan (karena lubang keluar kencingnya berada di
sebelahi bagi bawah penis). Selain itu jika hipospadia ini tidak dioperasi, maka
setelah dewasa dia akan sulit untuk melakukan penetrasi / coitus. Selain penis
tidak dapat tegak dan lurus (pada hipospadia penis bengkok akibat adanya
chordae), lubang keluar sperma terletak dibagian bawah.

22
d. Menentukan beberapa alternatif pemecahan masalah.
Penatalaksanaan Hipospadia adalah dengan tindakan operasi. operasi hipospadia ada
dua macam yaitu operasi hipospadia satu tahap (One Stage Urethroplasty) dan
operasi dua tahap.
1. Operasi hipospadia satu tahap (One Stage Urethroplasty) adalah tehnik operasi
sederhana yang sering dapat digunakan, terutama untuk hipospadia tipe distal.
Tipe distal ini yang meatusnya letak anterior atau yang middle.. Meskipun sering
hasilnya kurang begitu bagus untuk kelainan yang berat. Sehingga banyak dokter
lebih memilih untuk melakukan 2 tahap.
2. Operasi dengan dua tahap
Biasanya digunakan untuk tipe hipospadia proksimal yang disertai dengan
kelainan yang jauh lebih berat, maka one stage urethroplasty nyaris tidak dapat
dilakukan. Tipe hipospadia proksimal seringkali di ikuti dengan kelainan-kelainan
yang berat seperti korda yang berat, globuler glans yang bengkok kearah ventral
(bawah) dengan dorsal skin hood dan propenil bifid scrotum.
e. Memilih cara pemecahan dari alternatif yang dipilih
Alternatif yang dapat digunakan untuk menatalaksani kondisi An. I dengan
Hipospadia tipe peneana proximal ini adalah tindakan operasi atau pembedahan.
untuk tipe hipospadia yang letak lubang air seninya lebih kearah proksimal (jauh dari
tempat semestinya) diikuti dengan penis yang bengkok dan kelainan lain di skrotum
atau sisa kulit yang sulit di”tarik” pada saat dilakukan operasi pembuatan uretra
(saluran kencing). Kelainan yang seperti ini harus dilakukan 2 tahap. Operasi
Hipospadia dua tahap, tahap pertama dilakukan untuk meluruskan penis supaya posisi
meatus (lubang tempat keluar kencing) nantinya letaknya lebih proksimal (lebih
mendekati letak yang normal), memobilisasi kulit dan preputium untuk menutup
bagian ventral / bawah penis. Tahap selanjutnya (tahap kedua) dilakukan uretroplasti
(pembuatan saluran kencing / uretra) sesudah 6 bulan. Dokter akan menentukan
tehnik operasi yang terbaik.
f. Memutuskan tindakan yang akan diambil
Dalam kasus ini pengambilan keputusaan diserahkan kepada orang tua An. I, dengan
berbagai pertimbangan yang telah dijelaskan mulai dari apabila tidak dilakukan
operasi maka konsekuensi apa yang diterima dan keuntungan jika dilakukan tidakana
operasi.
g. Evaluasi

23
Untuk mengadakan penilaian yang baik, diperlukan obyektivitas dalam melakukan
penilaian atau evaluasi. Biasanya suatu hal yang sangat sukar bagi seseorang untuk
menilai dirinya sendiri secara obyektif. Oleh karena itu pelaksanaan penilaian dapat
diserahkan kepada pihak ketiga yang tidak terlibat langsung dalam proses
pengambilan keputusan untuk memperoleh tingkat obyektivitas setinggi mungkin.

24
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Hipospadia merupakan suatu kelainan kongenital yang dapat di deteksi ketika atau
segera setelah bayi lahir, atau instilah lainya yaitu adanya kelainan pada muara uretra
pria. Dan biasanya tampak disisi ventral batang penis. Kelainan tersebut sering
diasosiasikan sebagai suatu chordee yaitu penis yang menekuk kebawah
Terapi untuk hipospadia adalah dengan pembedahan untuk mengembalikan
penampilan dan fungsi normal penis. Pembedahan biasanya tidak di jadwalkan sampai
bayi berusia 1-2th ketika ukuran penis dinyatakan sebagai ukuran yang layak di operasi.
Komplikasi potensial mliputi infeksi dan obstruksi uretra.

4.2 Saran
Dengan munculnya penyakit penyakit Hiospadia tersebut perlu sebaiknya agar
dapat segera ditangani sejak awal untuk mengetahui ada atau tidaknya masalah lebih
lanjut, serta perlu kita ketahui akan tindakan-tindakan untuk proses penyembuhan
penyembuhan penyakit ini

25
DAFTAR PUSTAKA

Mufida, Khilayatul, dkk. 2015. Analisis Prevalensi dan Faktor Risiko Pasien Dengan
Isolated Hypospadias di Laboratorium Cebior. Fakultas Kedokteran. Universitas
Diponegoro. [Tesis]
Lorraine M. Wilson. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi 6, Volume 2.
Jakarta: EGC, 2006.
Amir Syarif, dkk. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik
FKUI, 2007.
Vikawati, Nura Eky. (2015). ANALISIS POLIMORFISME V89L GEN SRD5A2 DAN
MIKRODELESI GEN AZF DAN SRY PADA PASIEN HIPOSPADIA
ISOLATED. Masters thesis, Master Program of Biomedical Science. Semarang :
Diponegoro University.
Mufida, Khilayatul and Juniarto, Zulfa and Faradz , Sultana MH (2015) ANALISIS
PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO PASIEN DENGAN ISOLATED
HYPOSPADIAS DI LABORATORIUM CEBIOR. Undergraduate thesis, Faculty of
Medicine. Semarang : Diponegoro University.
Corwin, Elizabeth J.(2009). Pathofisologi : Buku saku. Jakarta : EGC.

Muttaqin, Arief. (2011). Asuhan Keperawatn Gangguan sistem Perkemihan. Jakarta :


Salemba medika.

Purnomo, Basuko. (2011). Dasar-dasar Urologi edisi ketiga. Malang : Sagung seto.

Van der Horst, H. & De Wall, L. (2017). Hypospadias, All There is to Know. European
Journal of Pediatrics, 176(4), pp. 435-41.

Maritska, et al. (2015). Profile of Hypospadias Cases in Central Java, Indonesia. Journal of
Biomedicine and Translational Research, 1(1), pp. 16-21.

26
LAMPIRAN

NASKAH ROLE PLAY

An I. berjenis kelamin laki-laki berusia 10 bulan MRS pada tanggal 10 September 2018. An.
I di diagnose dengan Hipospadia tipe peneana proximal. Ibu pasien mengatakan bahwa saat
kecing, urine tidak keluar melalui ujung penis, melainkan urine keluar pada pangkal penis.
Pasien compos mentis, nadi : 120x/menit, suhu 36.7°C,dengan RR: 22x/menit. BB belum
dikaji. Kulit pasien kuning langsat, tidak ada ikterik. CRT <2 detik, kuli pasien teraba hangat
normal. Ibu pasien mengatakan bahwa dalam keluarganya tidak ada yang memiliki riwayat
penyakit seperti hipertensi, diabetes, atau penyakit genetic lainnya. Ibu pasien
memngkhawatirkan kondisi sang anak jika tidak segera dilakukan penanganan akan
menyulitkan aktivitas sang anak dikemudian hari.

Pagi itu di RSUA kota surabaya, terbaring lemah seorang anak berusia 10 bulan, Sang Ibu
selalu setia mendampingi sang anak. Pintu ruangan terbuka, masuklah perawat yang bertugas
jaga pagi,

Perawat A : ‘’Permisi, selamat pagi’’

Ibu Klien : ‘’Iya, selamat pagi’’

Perawat A : ‘’Ibu keluarga dari An. A ?’’

Ibu Klien : ‘’Iya benar ners, saya ibunya’’

Perawat A : ‘’Baik ibu bisa ikut saya sebentar ke ners station soalnya ada yang perlu
dibicarakan’’

Ibu Klien : ‘baik Ners”

#Ners Station

Tak lama kemudian Sang Ibu menuju ners station untuk menemui dokter.

Ibu Klien : ‘’Permisi ners tadi saya disuruh kesini ada apa yaa ?’’

Perawat B : ‘’Ibu keluarga dari An. A ?’’

Ibu Klien : ‘’Iya ners’’

27
Perawat B : ‘’Dokter ini ibu dari keluarga An. A’’

Dokter : ‘’Oh iyaa sebentar (berjalan menemui ibu An. A) Selamat pagi ibu (bersalaman)’’

Perawat B : ‘’iya selamat pagi (bersalaman)’’

Dokter : ‘’Jadi begini bu setelah saya lihat hasil pemeriksaan An.A , An. A harus dilakukan
operasi. Hipospadia jika tidak ditangani sejak dini, dapat membuat anak kesulitan buang air
kecil dalam posisi berdiri. Jika dibiarkan sampai beranjak dewasa, hipospadia bisa
menyebabkan gangguan ejakulasi. Akibatnya, penderita akan sulit memiliki anak”

Ibu Klien : ‘operasinya seperti apa dokter ?’

Dokter : ‘’ jadi nanti anak ibu akan dibuatkan lubang baru di penis anak ibu. Operasi
dilakukan dengan mengambil sebagian kulit luar atau jaringan dari area lain untuk
membentuk tabung. Tabung ini akan memperpanjang uretra sehingga ujung uretra
dapat berada pada ujung penis. Bayi yang lahir dengan hipospadia sebaiknya tidak
disunat pada saat lahir. Kulit lebih yang dipotong saat s unat dibutuhkan untuk
memperbaiki saluran uretra saat operasi. Jadi anak ibu bisa kencing ke posisi yang
seharusnya, dan untuk memperbaiki kelengkungan penis nagar kembali kebentuk yang
normal bu

Ibu Klien : “ tap saya khawatir dan bingung akan keberhasilan tindakan operasi yang akan
dilakukan”

Dokter : ‘’Kalau ibu masih bingung silahkan dipikirkan dulu, untuk lebih jelasnya nanti ners
B bisa membantu ibu untuk penjelasannya’’

Perawat B : ‘’Iya baik dok’’

Dokter : ‘’kalau begitu saya permisi dulu sebentar yaa bu ada pasien lain yang saya harus
tanganin, ners B nanti kalau

Perawat B : ‘’iya dokter’’

Ibu Klien : ‘’terima kasih ya dok’’

Dokter : ‘’iya bu sama-sama’’(pergi meninggalkan ners station)

Perawat B : ‘’Jadi gimana bu apakah ibu masih bingung?’’

Ibu klien : ‘’iya ners saya masih khawatir dan bingung tentang penjelasan dokter tadi”

28
Perawat B : ‘’jadi gini bu setiap tindakan yang dilakukan itu pasti memiliki kelebihan dan
kekurangannya bu’’ jadi begini bu, tindakan operasi ini dilakukan karena memiliki beberapa
tujua . Operasi dilakukan dengan mengambil sebagian kulit luar atau jaringan dari area
lain untuk membentuk tabung. Tabung ini akan memperpanjang uretra sehingga ujung
uretra dapat berada pada ujung penis. Bayi yang lahir dengan hipospadi a sebaiknya
tidak disunat pada saat lahir. Kulit lebih yang dipotong saat sunat dibutuhkan untuk
memperbaiki saluran uretra saat operasi. Jadi anak ibu bisa kencing ke posisi yang
seharusnya, dan untuk memperbaiki kelengkungan penis nagar kembali kebentuk yang
normal bu. Operasi ini juga punya beberapa komplikasi yang nantinya bisa terjadi pasca
operasi seperti istula uretra, yaitu keadaan di mana terbentuk lubang yang menyebabkan urine
bocor keluar. Kondisi penis melengkung akibat hipospadia juga dapat kembali terjadi pada
masa pubertas. Risiko komplikasi lainnya akibat prosedur operasi hipospadia, yaitu
hematoma (gumpalan darah yang besar), penyempitan pada uretra, masalah kosmetik (kulit
berlebih atau bekas luka), gangguan pancaran urine dan gejala iritatif, serta disfungsi ereksi.

Ibu klien : “oh baik Ners, kekhawatiran saya sedikit terjawab dengan penjelasan Ners, kalo
begitu saya akan hubungi suami saya dulu ya”

Sang Ibu menelepon suaminya yang saat itu sedang bekerja untuk meminta persetujuan
darinya, dan setlah berbincang cukup lama, sang ibu akhirnya mendapatkan keputusan

Ibu klien : ‘’jadi begini ners ayahnya juga bilang tidak apa-apa dilakukan saja tindakan itu’’

Perawat B : ‘’baik bu kalo seperti itu, ibu silahkan menandatangani ini (menyerahkan inform
consent)’’

Ibu klien : ‘’ini sudah ners’’

Perawat B : ‘’baik bu nanti saya kabari untuk kapan tindakannya akan dilakukan’’

Ibu klien : ‘’iya ners pokoknya lakukan tindakan yang terbaik untuk anak saya’’

Perawat B : ‘’iya bu terima kasih”

Ibu klien : ‘’iya sama-sama’’ (pergi meninggalkan ners station)

29

Anda mungkin juga menyukai