Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
UNIVERSITAS INDONESIA
MEI 2021
DAFTAR ISI
PENYAKIT GLOMERULAR 3
1.1 Nephritic Syndrome 3
1.2 Nephrotic Syndrome 7
1.3 Nephritis 13
BATU GINJAL 17
HIPERTENSI RENAL 23
GAGAL GINJAL 27
4.1 Gagal Ginjal Akut 28
4.2 Gagal Ginjal Kronis 29
REFERENSI 47
1. PENYAKIT GLOMERULAR
1.1 Nephritic Syndrome
1.1.1 Definisi
Sindrom nefritik adalah sekumpulan penyakit atau gejala yang timbul akibat
adanya peradangan glomerulus (glomerulonefritis) pada ginjal. Peradangan ini
menyebabkan munculnya sel darah merah, sejumlah protein, dan sel darah
putih dalam urin. Sindrom nefritik muncul sebagai hematuria, peningkatan
tekanan darah, penurunan output urin, dan edema. Proteinuria dan hematuria
yang terkait dengan sindrom nefritik disebabkan oleh perubahan inflamasi
pada glomerulus, seperti infiltrasi oleh leukosit, hiperplasia sel glomerulus,
kerusakan kapiler, pada lesi parah dapat terjadi nekrosis. Kerusakan inflamasi
juga dapat mengganggu aliran glomerulus dan filtrasi, mengakibatkan
insufisiensi ginjal, cairan retensi dan hipertensi. Glomerulonefritis dapat dibagi
menjadi tiga, yaitu:
● Glomerulonefritis akut, yang berkembang pesat dan kembali normal
(sembuh).
● Glomerulonefritis progresif cepat, yang mungkin dipulihkan dengan
pengobatan agresif.
● Glomerulonefritis kronis, yang dapat bertahan selama bertahun-tahun
dan berlanjut perlahan ke gagal ginjal.
1.1.4 Tes
● Tes urine
Urinalisis dapat mengungkapkan kelainan pada urin, seperti protein
dalam jumlah besar. Sampel yang diambil adalah urin 24 jam.
● Tes darah
Tes darah dapat menunjukkan kadar protein albumin yang rendah dan
turunnya kadar protein darah secara keseluruhan. Kehilangan albumin
sering dikaitkan dengan peningkatan kolesterol darah dan trigliserida
darah. Kadar nitrogen kreatinin dan urea dalam darah juga dapat
diukur untuk menilai fungsi ginjal secara keseluruhan.
● Biopsi ginjal adalah satu-satunya cara diagnosis pasti untuk penyakit
glomerulus. Biopsi dilakukan dengan mengambil sampel kecil jaringan
ginjal. Selama biopsi ginjal, jarum dimasukkan melalui kulit dan
masuk ke ginjal, lalu jaringan ginjal dikumpulkan dan dikirim ke
laboratorium untuk diuji.
1.1.5 Patofisiologi
Patofisiologi tergantung pada penyebab sindrom nefritik. Pada sindrom
nefritik, terjadi gangguan struktural pada membran basal glomerulus.
Penghalang filtrasi glomerulus (GFB) dibentuk oleh jalinan laminin,
proteoglikan, dan kolagen tipe IV, berfungsi menyaring air dan zat terlarut
berukuran kecil dan sedang. Tiga lapisan penghalang filtrasi glomerulus adalah
endotelium, membran basal glomerulus (GBM), dan podosit. Podosit adalah
bagian dari lapisan viseral kapsul bowman, lapisan sel epitel kuboid yang
mengubah dan membentuk ekstensi sitoplasma yang membungkus membran
basal kapiler. Pada sindrom nefritik, terjadi kerusakan pada GFB dan dapat
terjadi melalui beberapa mekanisme berikut.
● Kerusakan langsung pada lapisan sel endotel
● Deposisi kompleks imun di ruang subendotel, subepitel, dan mesangial
● Gangguan membran basal glomerulus oleh penyakit ginjal primer atau
sistemik sekunder
● Kerusakan lapisan seluler podosit
Sumber:
https://calgaryguide.ucalgary.ca/nephritic-syndrome-pathogenesis-and-clinical-findings/
1. Diabetes melitus
2. Immunitas tubuh (lupus, vasculitis antibodi, toksisitas akibat obat nonsteroidal
anti-inflammatory drug, dan lain-lain)
3. Infeksi (hepatitis B, HIV, hepatitis C, amyloidosis, dan lain-lain)
1.2.4 Tes
Nephrotic Syndrome dapat diidentifikasi dengan tes urin. Kadar
protein pada urin dapat diukur dengan menggunakan dipstick. Dipstick
merupakan kertas kecil yang telah diberikan bahan kimia, perubahan warna
pada dipstick dapat mengindikasikan kehadiran albumin pada urin. Sampel
urin akan dikumpulkan di dalam sebuah container. Dipstick akan diletakkan di
dalam urin sampel, ketika ada albumin pada sampel urin tersebut, maka
dipstick akan berubah warna. Ada beberapa tes yang dapat dilakukan untuk
memastikan bahwa adanya albumin/ protein pada urea mengarah kepada
nephrotic syndrome. Tes-tes tersebut sebagai berikut:
3. Tes Darah
Pada kondisi nephrotic syndrome, kadar protein/ albumin di dalam plasma
darah mengalami penurunan. Umumnya berkisar kurang dari 2.5 g/dL.
Berbeda dengan kadar protein yang rendah, kadar kolesterol dan trigliserida
mengalami peningkatan.
4. Ultrasound
Jenis tes ini menggunakan gelombang suara agar dapat memvisualisasikan
organ, jaringan dan struktur lain di bagian dalam tubuh. Diagnostic
Ultrasound dapat digunakan untuk memberikan informasi mengenai ginjal dan
jika ada kondisi yang tidak normal atau abnormalitas pada ginjal. Biasanya,
pasien akan diminta untuk menjalankan proses ultrasound ginjal sebelum
biopsy ginjal untuk melihat kondisi ginjal secara keseluruhan.
5. Biopsy Ginjal
Pada jenis tes ini, sampel jaringan dari ginjal pasien akan diambil dan diuji
menggunakan mikroskop. Biopsy ginjal dikatakan paling akurat karena
langsung menggunakan sampel dari ginjal tersebut. Jaringan ginjal dapat
diambil dari tubuh pasien dengan memasukkan jarum suntik kecil ke dalam
kulit ke area ginjal. Jaringan ginjal dapat menunjukan inflamasi, infeksi atau
penumpukan protein (immunoglobulin).
1.2.5 Patofisiologi
c
Sumber foto: Rubin, E dan Reisner, H. M., 2013. Essentials of Rubin’s Pathology. 6th ed.
Lippincott Williams & Wilkins
1. Edema
Ketika konsentrasi protein di plasma darah mengalami penurunan, tekanan
onkotik plasma juga akan mengalami penurunan. Penurunan tekanan onkotik
ini akan meyebabkan keluarnya cairan ke jaringan tubuh. Tidak hanya itu,
penurunan tekanan onkotik plasma akan menurunkan volume plasma darah
dan laju filtrasi glomerulus. Reseptor akan mendeteksi penurunan laju filtrasi
ini dan mendorong sekresi aldosterone. Aldosteron akan meningkatkan retensi
air. Keluarnya cairan ke jaringan tubuh dengan retensi air dapat menyebabkan
edema. Edema merupakan kondisi dimana bagian tubuh mengalami
pembengkakan akibat menumpuknya cairan di jaringan tubuh.
2. Hiperlipidemia
Ketika konsentrasi protein di plasma darah mengalami penurunan, hati akan
meningkatkan sintesis protein termasuk lipoprotein sebagai upaya
menggantikan protein yang hilang. Peningkatan dalam sintesis protein
(lipogenesis) tersebut yang menyebabkan hiperlipidemia. Hiperlipidemia
merupakan kondisi dimana kadar lipid pada plasma darah tinggi.
1.3 Nephritis
1.3.1 Definisi
Nefritis atau glomerulonefritis adalah sekelompok penyakit yang
menyebabkan peradangan (pembengkakan) pada nefron. Nefritis mengganggu
fungsi normal nefron atau alat filtrasi pada ginjal sehingga mengurangi
kemampuan ginjal untuk menyaring darah. Terdapat beberapa jenis nefritis
akut, yaitu:
● Nefritis interstisial
Pada nefritis interstisial, ruang antara tubulus ginjal menjadi meradang,
peradangan ini menyebabkan ginjal membengkak.
● Pielonefritis
Pielonefritis adalah peradangan pada ginjal, umumnya karena infeksi
bakteri. Pada sebagian besar kasus, infeksi dimulai di dalam kandung
kemih dan kemudian berpindah ke ureter dan masuk ke ginjal. Ureter
adalah dua tabung yang mengangkut urin dari setiap ginjal ke kandung
kemih.
● Glomerulonefritis
Nefritis akut jenis ini menghasilkan peradangan pada glomerulus.
Glomerulus adalah kelompok kecil kapiler yang mengangkut darah dan
berperilaku sebagai unit penyaringan. Glomerulus yang rusak dan
meradang akan berkurang kemampuan menjalankan fungsi normalnya
sehingga tidak dapat menyaring darah dengan baik.
Terdapat kelompok tertentu yang berisiko lebih besar terkena nefritis akut.
Faktor risiko nefritis akut meliputi:
● Riwayat keluarga penyakit ginjal dan infeksi
● Menderita penyakit sistem kekebalan, seperti lupus
● Konsumsi terlalu banyak antibiotik atau obat pereda nyeri
● Pascaoperasi saluran kemih
1.3.3 Tanda dan Gejala
● Hematuria, adanya darah pada urin sehingga urin berwarna merah
muda atau warna cola
● Albuminuria, adanya protein dalam urin dan dapat menyebabkan urin
berbusa
● Hipertensi
● Edema, pembengkakan pada wajah, kaki, tungkai dan tangan karena
ketidakseimbangan garam dan air di dalam tubuh
● Anemia, kurangnya sel darah merah pada darah, dapat menyebabkan
kelelahan dan sesak napas
● Gagal ginjal, yang mungkin memerlukan dialisis atau transplantasi
Gejala yang dialami dapat berbeda-beda tergantung penyebab dan tingkat
kerusakan ginjal.
1.3.4 Tes
Nefritis mungkin tidak terdeteksi sampai timbul kerusakan signifikan pada
ginjal. Namun, nefritis seringkali ditemukan melalui beberapa pemeriksaan
rutin, yaitu:
● Pemeriksaan tekanan darah, jika tekanan darah tinggi perlu
ditelusuri lebih lanjut penyebabnya
● Tes darah untuk mengecek fungsi ginjal
● Tes urin untuk mengetahui apakah terkandung darah atau protein pada
urin
Terkadang diperlukan tes lebih lanjut untuk mendeteksi nefritis, yaitu sebagai
berikut.
● Biopsi ginjal
Sebuah jarum dimasukkan melalui kulit ke dalam ginjal untuk
mengambil sepotong kecil jaringan ginjal untuk diperiksa di bawah
mikroskop.
● Ultrasonografi
Dilakukan menggunakan sebuah alat yang digerakkan di atas kulit,
berfungsi mengirim dan menerima sinyal untuk membuat gambar
organ, termasuk ginjal dan kandung kemih.
● Pemindaian Tomografi Terkomputerisasi (CT)
Panjang gelombang frekuensi radio yang kuat digunakan untuk
memberikan gambaran yang jelas dan rinci tentang ginjal dan kandung
kemih.
● Pencitraan Resonansi Magnetik (MRI)
Panjang gelombang medan magnet yang kuat digunakan untuk
memberikan gambaran yang jelas dan rinci tentang ginjal dan kandung
kemih.
1.3.5 Patofisiologi
Pada kebanyakan kasus glomerulonefritis akut, infeksi streptokokus
beta-hemolitik grup A pada tenggorokan mendahului timbulnya
glomerulonefritis dalam 2 sampai 3 minggu. Ini juga dapat mengikuti impetigo
rendah (infeksi kulit) dan infeksi virus akut (infeksi saluran pernapasan bagian
atas, gondongan, virus varicella zoster, virus Epstein-Barr, hepatitis B, dan
infeksi virus human immunodeficiency). Pada beberapa pasien, antigen di luar
tubuh (mis., obat-obatan, serum asing) memulai proses, mengakibatkan
kompleks antigen-antibodi disimpan di glomeruli. Pada pasien lain, jaringan
ginjal itu sendiri berfungsi sebagai antigen pemicu.
Sumber gambar:
https://www.brainkart.com/article/Acute-Glomerulonephritis---Primary-Glomerular-Diseases
_32222/
2. BATU GINJAL
2.1 Definisi
Batu ginjal atau nephrolithiasis adalah kondisi dimana ada batu yang terbentuk
pada ginjal. Urolithiasis merupakan kata umum yang digunakan jika terdapat
pembentukan batu pada sistem perkemihan. Batu yang terbentuk disebut dengan
calculi, dimana dalam Bahasa Latin memiliki arti batu kecil atau pebbles. Batu ginjal
biasanya memiliki ukuran yang beragam, mulai dari berdiameter kurang dari 1 mm
hingga hampir sebesar renal pelvis. Batu tersebut memiliki banyak jenis berdasarkan
komponen penyusunya. Jenis batu ginjal sebagai berikut:
1. Calcium Stones
75% dari batu ginjal berjenis kalsium. Kalsium ini biasanya dalam bentuk kalsium
oksalat (CaOx), kalsium fosfat (CaP) atau campuran dari keduanya. Batu ginjal jenis
ini terbuat oleh brushite (kalsium hidrogen fosfat) atau hidroksiapatite. Banyak faktor
yang berkontribusi kepada perkembangan batu ginjal kalsium seperti hypercalciuria,
hyperuricosuria, hyperoxaluria dan lain-lain.
2. Infection Stones
15% dari batu ginjal merupakan hasil dari infeksi. Biasanya jenis ini yang memiliki
gejala klinis. Infeksi oleh bakteri jenis Proteus atau Providencia akan menyebabkan
presipitasi magnesium ammonium sulfate (struvite) atau calcium phosphate (apatite).
Batu akibat infeksi dapat bersifat keras atau halus dan rapuh.
4. Cystine Stones
Batu ginjal jenis ini berkisar hanya 1% dan merupakan kelainan genetik pada
transportasi asam amino dan cystine. Umumnya terjadi pada anak-anak ketika
memiliki penyakit keturunan cystinuria. Cystinuria merupakan kondisi dimana
terbentuk batu asam amino (cystine) pada ginjal, ureter atau kandung kemih
Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan resiko terkena penyakit batu
ginjal, faktor-faktor tersebut sebagai berikut:
3. Genetik
Memiliki riwayat penyakit batu ginjal atau kelainan pada gen di autosom dapat
meningkatkan resiko terkena penyakit tersebut (genetic susceptibility).
4. Hipertensi
5. Obesitas
6. Penderita kelainan pada anatomi ginjal
Memiliki kelainan pada anatomi ginjal (seperti medullary sponge kidney, uteropelvic
junction stenosis, horseshoe kidney, dan lain-lain.
2. Urin yang berbau tidak enak dan terlihat keruh (disebabkan oleh ammonia)
3. Meningkatnya frekuensi urin (dalam jumlah yang sedikit)
4. Sensasi perih atau terbakar ketika urinasi
5. Rasa nyeri pada tubuh bagian belakang atau samping yang tidak hilang
6. Demam dan rasa mual
2.4 Tes
Batu ginjal dapat diidentifikasi dengan menggunakan beberapa tes. Tes yang
dapat digunakan meliputi tes laboratorium (tes darah dan tes urin) dan tes pencitraan
(X-ray dan CT scan). Penjelasan tes tersebut sebagai berikut:
1. Tes Urin
Sampel urin dapat dikumpulkan di laboratorium. Sampel tersebut nanti dapat diukur
apabila terdapat mineral atau darah pada urin yang dapat membentuk batu ginjal. Tes
ini dapat membantu dokter dalam mengindetifikasi jenis dari batu ginjal.
2. Tes Darah
Sampel darah akan diambil dan diteliti di laboratorium. Sampel darah dapat
menunjukan apabila terdapat jumlah mineral yang berlebih pada darah.
3. Abdominal X-ray
Tes ini menggunakan radiasi dengan dosis rendah untuk melihat bagian dalam
abdomen tubuh. Teknisi X-ray akan mengatur posisi mesin sehingga berada di atas
abdomen dan pasien akan diminta untuk menahan nafas ketika foto sedang diambil
agar hasilnya tidak buram. Abdominal X-ray dapat menunjukan lokasi batu ginjal
pada saluran perkemihan.
2.5 Patofisiologi
Proses pembentukan batu ginjal dapat disebut sebagai biomineralization.
Proses ini melibatkan perubahan fisik dan kimiawi serta pemekatan urin
(supersaturation of urine). Supersaturation of urine merupakan kondisi dimana suatu
solusi memiliki kandungan solvent yang lebih banyak daripada semestinya. Akibat
dari supersaturasi ini, senyawa dalam urin dapat mengalami proses nukleasi dan
membentuk kristal. Kristalisasi dapat terbentuk ketika konsentrasi 2 ion melebihi
tingkat saturasi di dalam solusi tersebut. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
proses tersebut seperti kadar pH dan konsentrasi senyawa tertentu.
1. Crystal Nucleation
Proses pembentukan batu ginjal dimulai dengan pembentukan nukleus (nidus) dari
urin pada ginjal. Senyawa pada urin dapat berpresipitasi dan membentuk gumpalan.
Ketika nukleus sudah terbentuk, proses kristalisasi dapat berlangsung. Sel epitel, sel
darah merah dan senyawa lain di urin dapat membentuk pusat nukleus dari kristal.
Matriks organik dan mukopolisakarida dapat membantu mengikat semua senyawa
(binding agent). Nanobakter pada urin berkontribusi dalam struktur kristal tersebut.
2. Crystal Growth
Pada tahap ini, kristal pada urin saling menempel dan mengambil senyawa-senyawa
lainnya untuk memperbesar kristal tersebut. Proses pertumbuhan ini lambat dan
memerlukan waktu yang cukup lama.
3. Crystal Aggregation
Proses agregrasi merupakan kondisi dimana kristal kecil telah bergabung dengan
senyawa-senyawa lainnya untuk membentuk batu yang lebih besar. Tahap ini
merupakan tahap yang paling penting.
Pada tekanan darah tinggi berbahaya yang disebut hipertensi maligna, gejalanya
meliputi:
● Sakit kepala parah
● Mual atau muntah
● Kebingungan
● Mimisan
3.4 Tes
Pada saat pemeriksaan, dokter mungkin mendengar suara mendesing yang disebut
bruit, saat memasang stetoskop di area perut pasien hipertensi renal. Selanjutnya, tes
berikut dapat dilakukan untuk mengukur kadar zat tertentu di dalam tubuh sebagai
indikasi hipertensi renal, yaitu:
● Kadar kolesterol
Kadar kolesterol yang tinggi dapat menjadi salah satu indikasi hipertensi
● Tingkat renin dan aldosteron
Kadar aldosteron yang tinggi pada sampel darah yang diambil dapat menjadi
salah satu penyebab hipertensi dan menandakan adanya kelainan pada ginjal.
Beberapa tes pencitraan juga dapat dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya
penyempitan arteri ginjal, yaitu:
● Renografi penghambatan angiotensin converting enzyme (ACE)
Renografi merupakan pemeriksaan menggunakan radionuklida (zat radioaktif)
dan menunjukkan hasil kurva renogram untuk menilai fungsi ginjal.
Sumber gambar:
https://radiologykey.com/percutaneous-management-of-renovascular-diseases/
Mekanisme hipertensi pada stenosis arteri ginjal diduga berkaitan dengan aktivasi
aksis renin-angiotensin. Penurunan tekanan perfusi ginjal distal pada stenosis
menyebabkan peningkatan kadar renin serum. Renin yang meningkat menghasilkan
produksi angiotensin II yang meningkat juga. Hasilnya adalah vasokonstriksi,
penurunan ekskresi natrium di ginjal yang terkena, dan aktivasi sistem saraf simpatis.
Pada stenosis unilateral, vasokonstriksi dianggap sebagai mekanisme utama
hipertensi. Pada stenosis bilateral, retensi natrium dan volume adalah penyebab utama
hipertensi.
4. GAGAL GINJAL
Gagal ginjal atau renal failure merupakan kondisi dimana ginjal tidak dapat
melakukan fungsinya (regulatory dan eksresi) dengan baik. Dapat dua jenis gagal
ginjal yaitu gagal ginjal akut (dimana fungsi ginjal menurun secara cepat) dan gagal
ginjal kronis (dimana fungsi ginjal menurun dengan lambat tetapi secara progresif).
Uremia merupakan salah satu sindrom gagal gingal dimana terdapat asidosis
metabolik karena ketidakmampuan ginjal untuk mensekresi produk limbah dari
metabolisme tubuh.
Perbedaan gagal ginjal akut dan kronis yang paling signifikan adalah dalam
waktunya. Gagal ginjal akut terjadi secara tiba-tiba (dalam waktu yang singkat) dan
memiliki potensi untuk kembali normal jika penyebabkan diatasi. Gagal ginjal kronis
berlangsung secara perlahan-lahan dan bersifat irreversible atau dapat menyebabkan
gagal ginjal permanen
4.1.2 Etiologi
Gagal ginjal akut dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Beberapa
faktor tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan area disfungsi menjadi:
1. Prerenal
Gagal ginjal akut prerenal merupakan penyebab paling umum gagal ginjal
akut yang disebabkan oleh perfusi ginjal yang tidak optimal. Perfusi yang
tidak optimal ini dapat disebabkan oleh hipotensi, hypovolemia,
vasokonstriksi ginjal dan lain-lain.
2. Intrarenal
Jenis ini umumnya disebabkan oleh cedera pada ginjal, glomerulus dan
tubulus seperti ischemic acute tubular necrosis, nephrotoxic ATN, acute
glomerulonephritis dan lain-lain. Namun, penyebab paling umum pada
intrarenal adalah ischemia. Biasanya sering terjadi setelah proses operasi atau
sepsis berat.
3. Postrenal
Gagal ginjal akut postrenal jarang terjadi dan disebabkan oleh obstruksi pada
saluran perkemihan yang mempengaruhi ginjal secara bilateral seperti bilateral
ureteral obstruction, bladder outlet obstruction-prostatic hypertrophy, urethral
obstruction dan lain-lain. Obstruksi ginjal dapat menyebabkan peningkatan
pada tekanan intraluminal di area obstruksi dan penurunan pada laju filtrasi
glomerulus.
Tabel ...
Pre-renal Hipovolemua
Hemorrghage
Dehidrasi
Hipotensi Sistemik atau hipoperfusi
Stenosis pada pembuluh ginjal
4.2.2 Etiologi
Berdasarkan data oleh Indonesian Renal Registry (IRR), penyebab
gagal ginjal kronis terbanyak sebagai berikut: glomerunefritis (28%), diabetes
militus (26%) dan hipertensi (23%). Glomerunefritis merupakan penyakit
ginjal yang disebabkan oleh inflamasi struktur glomerular sehingga sel darah
merah dan protein masuk ke dalam urin. Salah satu penyebab
glomerulonephritis akut primer adalah glomerulonephritis akut pasca infeksi
oleh bakteri, virus, jamur, parasit dan lain-lain.
4.2.4 Tes
Penyakit gagal ginjal dapat diidentifikasi dengan beberapa test. Tes ini
juga dapat membantu dalam pencarian penyebab gagal ginjal. Tes tersebut
meliputi tes laboratorium seperti tes darah dan tes urin, tes pecitraan seperti
ultrasound, CT Scan, MRI, serta biopsy ginjal. Penjelasan tes-tes tersebut
sebagai berikut:
1. Tes Darah
Sampel darah dapat dikumpulkan dan diuji di laboratorium. Penyakit pada
ginjal dapat diidentifikasi dengan melihat konsentrasi urea atau serum kreatin
pada darah
2. Tes Urin
Sampel urin dapat dikumpulkan dan diuji di laboratorium. Gagal ginjal dapat
diidentifikasi keberadaan atau penyebabnya dengan melihat kandungan urin.
5. CT Scan
Jenis CT Scan yang digunakan untuk mendidentifikasi gagal ginjal disebut
dengan CT Urologi. Jenis tes ini digunakan untuk melihat dan menilai dengan
utuh bagian dari sistem urinaria mulai dari ginjal sampai ke vesika urinaria.
7. Biopsy Ginjal
Pada jenis tes ini, sampel jaringan dari ginjal pasien akan diambil dan diuji
menggunakan mikroskop. Biopsy ginjal dikatakan paling akurat karena
langsung menggunakan sampel dari ginjal tersebut. Jaringan ginjal dapat
diambil dari tubuh pasien dengan memasukkan jarum suntik kecil ke dalam
kulit ke area ginjal. Jaringan ginjal dapat menunjukan inflamasi, infeksi atau
penumpukan protein (immunoglobin).
4.2.5 Patofisiologi
Sumber foto: Reisner, E. dan Reisner, H., 2017. Crowley’s An Introduction to Human
Disease Pathology and Pathophysiology Correlations. Burlington: Jones & Bartlett
Learning
Ginjal pada kondisi normal memiliki sekitar 1 juta nefron.
Penyakit-penyakit seperti glomerulonephritis, diabeters, hipertensi, polycystic
kidney disease, penyakit autoimun ginjal dan penyakit-penyakit ginjal lainnya
dapat merusak nefron dan menurunkan jumlah nefron sebanyak 20-30%. Pada
kondisi ini, fungsi ginjal tetap bisa dijaga oleh nefron yang tersisa. Kurangnya
jumlah nefron dari normal menyebabkan nefron yang tersisa harus kerja lebih
berat untuk menjaga fungsi normal ginjal. Setiap nefron yang tersisa
mendapatkan volume dan tekanan darah yang lebih besar dari sebelumnya.
1. Genetik
Memiliki riwayat penyakit ginjal atau gagal ginjal dapat meningkatkan resiko
terkena gagal ginjal.
2. Gaya Hidup
Orang dengan gaya hidup atau lifestyle yang tidak baik seperti perokok atau
pengkonsumsi alkohol berat dapat meningkatkan resiko terkena penyakit gagal
ginjal.
3. Diabetes
Kadar gula darah yang tinggi dapat merusak pembuluh darah ginjal. Ketika
pembuluh darah ginjal mengalami kerusakan, fungsi ginjal pun akan
terpengaruhi. Tidak hanya itu, penderita diabetes juga memiliki resiko terkena
hipertensi. Kedua hal tersebut dapat meningkatkan resiko terjadinya gagal
ginjal.
5. Umur
Resiko terkena gagal ginjal meningkat seiring bertambahnya usia. Hal ini
disebabkan karena menurunya fungsi ginjal seiring bertambahnya usia. Tidak
hanya itu, orang tua menjadi lebih rentan terhadap diabetes dan hipertensi
yang merupakan faktor resiko utama penyakit gagal ginjal.
Beberapa orang lebih berisiko menderita infeksi kandung kemih atau infeksi saluran
kemih berulang, salah satunya adalah wanita. Alasan utamanya adalah anatomi fisik,
wanita memiliki uretra yang lebih pendek sehingga mengurangi jarak yang harus
ditempuh bakteri dari luar untuk mencapai kandung kemih.
Kelompok wanita dengan risiko terbesar mengalami ISK antara lain yaitu:
● Aktif secara seksual. Hubungan seksual dapat menyebabkan bakteri terdorong
masuk ke dalam uretra.
● Menggunakan jenis kontrasepsi tertentu. Wanita yang menggunakan
diafragma berisiko lebih tinggi terkena ISK. Diafragma yang mengandung
agen spermisida semakin meningkatkan risiko infeksi.
● Hamil. Perubahan hormon selama kehamilan dapat meningkatkan risiko
infeksi kandung kemih.
● Menopause. Tingkat hormon yang berubah pada wanita pascamenopause
sering dikaitkan dengan ISK.
5.1.4 Tes
● Analisa urin. Untuk dugaan infeksi kandung kemih, dokter mungkin
meminta sampel urin untuk menentukan apakah ada bakteri, darah,
atau nanah dalam urin.
● Sistoskopi. Tes ini dilakukan dengan memasukkan cystoscope atau
tabung tipis dengan lampu dan kamera melalui uretra ke dalam
kandung kemih untuk melihat tanda-tanda penyakit. Dengan
menggunakan cystoscope, dokter juga dapat mengambil sampel kecil
jaringan (biopsi) untuk analisis lab, tetapi tes ini kemungkinan besar
tidak diperlukan jika ini adalah pertama kalinya mengalami tanda atau
gejala sistitis.
● Pencitraan. Tes pencitraan biasanya tidak diperlukan, tetapi dalam
beberapa kasus, terutama bila tidak ada bukti infeksi yang ditemukan,
pencitraan dapat membantu. Misalnya, sinar-X atau ultrasound dapat
membantu dokter menemukan penyebab potensial peradangan
kandung kemih lainnya, seperti tumor atau kelainan struktural.
5.1.5 Patofisiologi
Patogen menginvasi daerah periuretra dan naik melalui uretra ke atas menuju
kandung kemih. Fimbria memungkinkan perlekatan dan penetrasi sel epitel
kandung kemih. Setelah penetrasi, bakteri terus bereplikasi dan dapat
membentuk biofilm. Ini menyebabkan infeksi atau peradangan pada kandung
kemih yang disebut sebagai sistitis.
https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1473309904011478
5.2 Neoplasma
5.2.1 Definisi
Neoplasma merupakan m. Neoplasma dapat bersifat jinak atau ganas
(kanker). Kandung kemih merupakan tempat paling umum terjaidinya
neoplasma atau tumor. Umumnya, tumor pada kandung kemih terjadi pada
orang tua (sekitar 65 tahun) dan jarang terjadi pada orang dibawah 50 tahun.
Sekitar 90% tumor pada kandung kemih diklasifikasikan sebagai urothelial
malignant neoplasms atau yang dulu disebut sebagai transitional cell
neoplasms. Jenis neoplasma seperti squamous cell carcinomas,
adenocarcinoma, neuroendocrine carcinomas dan sarcomas jarang terjadi.
1. Exophytic Papilloma
Papiloma jenis ini dilapisi oleh epitel urothelial. Exophytic papilloma bersifat
jinak, tetapi ada beberapa yang dapat berkembang menjadi ganas.
2. Inverted Papilloma
Papilloma jenis ini jarang ditemukan dan biasanya ditemukan sebagai lesi
nodular mucosal pada kandung kemih. Inverted papilloma lebih banyak
ditemui pada laki-laki dan bersifat jinak sehingga dapat disembuhkan melalui
pengankutan sederhana.
Ada jenis lain dari neoplasma kandung kemih yaitu: squamous cell
carcinoma dan adenocarcinoma. Squamous cell carcinoma merupakan 3
hingga 8% dari neoplasma kandung kemih dan adenocarcinoma merupakan
1% dari neoplasma kandung kemih. Squamous cell carcinoma berasal dari sel
tipis akibat inflammasi atau iritasi yang telah berlangsung selama
bertahun-tahun sedangkan adenocarcinoma umumnya terbentuk pada kelenjar.
1. Umur
80% dari penderita neoplasma gagal ginjal berusia sekitar 50 -80 tahun.
2. Jenis Kelamin
Laki-laki memiliki faktor resiko terkena neoplasma kandung kemih 4 kali
lebih tinggi dibandingkan perempuan.
3. Perokok
6. Schistosomiasis
Schitosomiasis atau bilharzia merupakan penyakit yang disebabkan oleh
infeksi cacing parasit yang hidup di air pada daerah subtropis dan tropis.
Penyakit ini dapat menyebabkan granulomatous cystic kronis yang dapat
berkembang menjadi sel karsinoma.
7. Paparan terhadap azo dyes
Dyes atau pewarna yang digunakan pada industri biasanya menggunakan
amina aromatik. Paparan terhadap amina aromatik dapat meningkatkan resiko
terkena neoplasma kandung kemih.
1. Hematuria
Hematuria merupakan kondisi dimana terdapat darah pada urin. Hematuria
dapat disebabkan ketika tumor atau neoplasma mengalami hemorrhage.
2. Dysuria
Dysuria merupakan kondisi dimana timbul rasa nyeri atau perih yang timbul
akibat buang air kecil.
5.2.4 Tes
1. Tes Darah
2. Tes Urin
3. Sitoskopi
Tes ini menggunakan sebuah tuba kecil dengan kamera yang dimasukkan ke
dalam tubuh melalui urethra. Tes ini digunakan untuk memvisualisasikan
bagian dalam kandung kemih.
4. Biopsi Jaringan
Tes ini menggunakan sampel jaringan dari kandung kemih untuk diuji
keberadaan tumor atau kanker.
5. CT Scan
CT Scan menggunakan X-ray dan komputer untuk membentuk gambaran
3-dimensi kandungan kemih. Tes in dapat digunakan untuk melihat jika tumor
atau kanker telah menyebar dari kandung kemih.
7. X-ray
Tes ini juga dapat digunakan untuk memvisualisasikan tumor atau kanker pada
kandung kemih.
5.2.5 Patofisiologi
Sumber foto: Rubin, E dan Reisner, H. M., 2013. Essentials of Rubin’s Pathology. 6th ed. Lippincott
Williams & Wilkins
Merokok merupakan salah satu penyebab neoplasma kandung kemih
yang sering ditemukan. Tidak hanya merokok, faktor lain seperti infeksi,
radiasi, senyawa arylamin dan senyawa kimia lainnya dapat menyebabkan
kerusakan pada DNA yang nantinya dapat berkembang menjadi neoplasma
kandung kemih.
Alelign, T., dan Petros, B., 2018. Kidney Stone Disease: An Update on Current Concepts.
[online] Ncbi.nlm.nih.gov. Available at:
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5817324/> [Accessed 17 May 2021]
American Heart Association, 2016. How High Blood Pressure Can Lead to Kidney Damage
or Failure. Heart.org. Available at:
<https://www.heart.org/en/health-topics/high-blood-pressure/health-threats-from-high-blood-
pressure/how-high-blood-pressure-can-lead-to-kidney-damage-or-failure#:~:text=Over%20ti
me%2C%20high%20blood%20pressure%20harms%20renal%20blood%20vessels&text=flo
w%20through%20them.-,Over%20time%2C%20uncontrolled%20high%20blood%20pressur
e%20can%20cause%20arteries%20around,blood%20to%20the%20kidney%20tissue>
[Accessed 17 May 2021]
Chung, K. T., 2013. The Etiology of Bladder Cancer and its Prevention. [online] Available at:
<https://www.researchgate.net/publication/273797368_The_Etiology_of_Bladder_Cancer_an
d_its_Prevention> [Accessed 17 May 2021]
Ha, T. S., 2017. Genetics of hereditary nephrotic syndrome: a clinical review. [online]
Ncbi.nlm.nih.gov. Available at:
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5383633/#:~:text=Hereditary%2C%20auto
somal%2Ddominant%20NS%20is,14%2C17%2C37> [Accessed 17 May 2021]
Hashmi, M. and Pandey, J., 2020. Nephritic Syndrome. [online] Ncbi.nlm.nih.gov. Available
at: <https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK562240/#article-25697.s3> [Accessed 16 May
2021].
Hashmi, M. and Pandey, J., 2020. Nephritic Syndrome. [online] Ncbi.nlm.nih.gov. Available
at:
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK562240/#:~:text=The%20major%20underlying%
20pathology%20is,blood%20cells%20in%20the%20urine.> [Accessed 17 May 2021].
Healthline. 2019. Acute Nephritis: Types, Causes, and Symptoms. [online] Available at:
<https://www.healthline.com/health/acute-nephritic-syndrome#risk-factors> [Accessed 17
May 2021].
Mayoclinic.org. 2020. Cystitis - Diagnosis and treatment - Mayo Clinic. [online] Available at:
<https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/cystitis/diagnosis-treatment/drc-20371311>
[Accessed 17 May 2021]
Mirrakhimov, A. E., Ali, A. M., Barbaryan, A., Prueksaritanond, S., dan Hussain, N., 2014.
Primary Nephrotic Syndrome in Adults as a Risk Factor for Pulmonary Embolism: An
Up-to-Date Review of the Literature. [online] Ncbi.nlm.nih.gov. Available at:
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4009182/#:~:text=Common%20primary%2
0causes%20of%20NS,and%20medications)%20%5B2%5D> [Accessed 17 May 2021]
National Institute of Diabetes and Digestive Kidney Diseases, 2017. Diagnosis of Kidney
Stones. [online] Niddk.nih.gov. Available at:
<https://www.niddk.nih.gov/health-information/urologic-diseases/kidney-stones/diagnosis>
[Accessed 17 May 2021]
National Institute of Diabetes and Digestive Kidney Diseases, 2017. Diabetic Kidney
Disease. Niddk.nih.gov. Available at:
<https://www.niddk.nih.gov/health-information/diabetes/overview/preventing-problems/diab
etic-kidney-disease#how> [Accessed 17 May 2021]
Reisner, E. dan Reisner, H., 2017. Crowley’s An Introduction to Human Disease Pathology
and Pathophysiology Correlations. Burlington: Jones & Bartlett Learning
Rubin, E. and Reisner, H., 2013. Essentials of Rubin's pathology. Philadelphia, PA:
Lippencott Williams and Watkins
Suzanne Smeltzer, B. and Diseases, A., n.d. Acute Glomerulonephritis - Primary Glomerular
Diseases. [online] BrainKart. Available at:
<https://www.brainkart.com/article/Acute-Glomerulonephritis---Primary-Glomerular-Disease
s_32222/> [Accessed 17 May 2021].
Wong, E., 2012. Pathogenesis of urinary tract infection | McMaster Pathophysiology Review.
[online] Pathophys.org. Available at: <http://www.pathophys.org/uti/uti-patho/> [Accessed
17 May 2021].