Anda di halaman 1dari 49

MAKALAH PATOFISIOLOGI

PENYAKIT SISTEM PERKEMIHAN

Dosen Pengampu:

dr. Engkus Kusdinar Achmad, M.P.H.

Disusun Oleh:

Dayu Nazella (2006471334 )

Farisa Lukman Gismar (2006522884)

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM STUDI GIZI

MEI 2021
DAFTAR ISI

PENYAKIT GLOMERULAR 3
1.1 Nephritic Syndrome 3
1.2 Nephrotic Syndrome 7
1.3 Nephritis 13

BATU GINJAL 17

HIPERTENSI RENAL 23

GAGAL GINJAL 27
4.1 Gagal Ginjal Akut 28
4.2 Gagal Ginjal Kronis 29

PENYAKIT KANDUNG KEMIH 36


5.1 Cystitis 36
5.2 Neoplasma 40

REFERENSI 47
1. PENYAKIT GLOMERULAR
1.1 Nephritic Syndrome
1.1.1 Definisi
Sindrom nefritik adalah sekumpulan penyakit atau gejala yang timbul akibat
adanya peradangan glomerulus (glomerulonefritis) pada ginjal. Peradangan ini
menyebabkan munculnya sel darah merah, sejumlah protein, dan sel darah
putih dalam urin. Sindrom nefritik muncul sebagai hematuria, peningkatan
tekanan darah, penurunan output urin, dan edema. Proteinuria dan hematuria
yang terkait dengan sindrom nefritik disebabkan oleh perubahan inflamasi
pada glomerulus, seperti infiltrasi oleh leukosit, hiperplasia sel glomerulus,
kerusakan kapiler, pada lesi parah dapat terjadi nekrosis. Kerusakan inflamasi
juga dapat mengganggu aliran glomerulus dan filtrasi, mengakibatkan
insufisiensi ginjal, cairan retensi dan hipertensi. Glomerulonefritis dapat dibagi
menjadi tiga, yaitu:
● Glomerulonefritis akut, yang berkembang pesat dan kembali normal
(sembuh).
● Glomerulonefritis progresif cepat, yang mungkin dipulihkan dengan
pengobatan agresif.
● Glomerulonefritis kronis, yang dapat bertahan selama bertahun-tahun
dan berlanjut perlahan ke gagal ginjal.

Beberapa penyakit glomerulus cenderung menyebabkan sindrom nefrotik,


sedangkan yang lain menyebabkan sindrom nefritik. Namun, selain
glomerulopati perubahan minimal (yang hampir selalu menyebabkan sindrom
nefrotik), semua penyakit glomerulus kadang-kadang menghasilkan
manifestasi nefritik dan nefrotik campuran.

1.1.2 Etiologi dan Faktor Risiko


Sindrom nefritik dapat terjadi karena berbagai penyebab, yaitu:

1. Penyakit glomerulus primer: seperti nefropati IgA (penyakit Berger)


atau glomerulonefritis membranoproliferatif. Nefropati IgA adalah
penyebab yang sangat umum dari sindrom nefritik.
2. Infeksi bakteri: seperti methicillin-resistant staphylococcus aureus
(MRSA), pneumonia pneumokokus, tifoid, endokarditis infektif, atau
sifilis sekunder. Sindrom nefritik setelah infeksi tenggorokan karena
streptokokus cukup umum terjadi, terutama pada anak-anak.
3. Infeksi virus: Seperti hepatitis B, gondongan, campak, cacar air atau
demam kelenjar (mononukleosis).
4. Penyakit inflamasi / sistemik multisistem: Seperti vaskulitis, Sindrom
Goodpasture, granulomatosis dengan poliangiitis, Henoch-Schönlein
purpura, atau lupus (lupus eritematosus sistemik).

Tiga mekanisme inflamasi yang diinduksi antibodi telah dicurigai sebagai


proses patogenetik utama pada kebanyakan bentuk glomerulonefritis, yaitu
sebagai berikut.
● Pembentukan kompleks imun in situ melibatkan pengikatan dari
antibodi yang bersirkulasi ke antigen intrinsik atau antigen asing dalam
glomerulus, menyebabkan inflamasi. Misalnya anti glomerular
membran basal (GBM) autoantibodi mengikat a epitop yang sangat
spesifik pada 4 rantai kolagen tipe IV di GBM. Kompleks imun yang
dihasilkan di dinding kapiler glomerulus menarik leukosit dan
mengaktifkan komplemen dan mediator inflamasi humoral lainnya,
mengakibatkan cedera inflamasi.
● Deposisi kompleks imun yang bersirkulasi di glomerulus memicu
peradangan yang mirip dengan inflamasi yang diproduksi oleh
pembentukan kompleks imun in situ. Misalnya, antibodi yang
bersirkulasi dapat mengikat antigen dilepaskan ke sirkulasi oleh infeksi
bakteri atau virus untuk menghasilkan kompleks imun. Jika kompleks
ini lolos dari fagositosis, mereka dapat mengendap di glomerulus dan
memicu peradangan.
● Autoantibodi sitoplasma antineutrofil (ANCA) menyebabkan
glomerulonefritis yang parah, dengan sedikit atau tanpa pewarnaan
glomerular immunofluorescent untuk imunoglobulin. Pada pasien
sering kali beredar autoantibodi khusus untuk antigen di sitoplasma
neutrofil, yang paling umum adalah anti-myeloperoxidase
(MPO-ANCA) atau anti-proteinase-3 (PR3-ANCA), yang dapat
memediasi inflamasi glomerulus dengan mengaktifkan neutrofil.
Bahkan kecil stimulasi neutrofil dan monosit, seperti dengan
peningkatan tingkat sirkulasi sitokin selama infeksi virus,
menyebabkan mereka mengekspresikan MPO permukaan dan PR3,
yang kemudian dapat berinteraksi dengan ANCA. Ini hasil interaksi
dalam adhesi ke sel endotel di mikrovaskulatur, terutama kapiler
glomerulus, di mana sel meningkatkan inflamasi vaskular kondisi
seperti glomerulonefritis, arteritis dan venulitis.

1.1.3 Tanda dan Gejala


Gejala umum sindrom nefritik adalah:
● Darah dalam urin (urin tampak gelap, berwarna seperti teh, atau keruh)
● Output urin menurun (sedikit atau tidak ada urin yang diproduksi)
● Pembengkakan pada wajah, rongga mata, tungkai, lengan, tangan,
kaki, perut, atau area lainnya
● Tekanan darah tinggi

Gejala lain yang mungkin terjadi antara lain:


● Penglihatan kabur, biasanya dari pecahnya pembuluh darah di retina
mata
● Batuk mengandung lendir atau berwarna merah muda, bahan berbusa
dari penumpukan cairan di paru-paru
● Sesak napas, akibat penumpukan cairan di paru-paru
● Perasaan sakit umum (malaise), mengantuk, bingung, pegal dan nyeri,
sakit kepala
Gejala gagal ginjal akut atau penyakit ginjal jangka panjang (kronis) dapat
terjadi.

1.1.4 Tes
● Tes urine
Urinalisis dapat mengungkapkan kelainan pada urin, seperti protein
dalam jumlah besar. Sampel yang diambil adalah urin 24 jam.
● Tes darah
Tes darah dapat menunjukkan kadar protein albumin yang rendah dan
turunnya kadar protein darah secara keseluruhan. Kehilangan albumin
sering dikaitkan dengan peningkatan kolesterol darah dan trigliserida
darah. Kadar nitrogen kreatinin dan urea dalam darah juga dapat
diukur untuk menilai fungsi ginjal secara keseluruhan.
● Biopsi ginjal adalah satu-satunya cara diagnosis pasti untuk penyakit
glomerulus. Biopsi dilakukan dengan mengambil sampel kecil jaringan
ginjal. Selama biopsi ginjal, jarum dimasukkan melalui kulit dan
masuk ke ginjal, lalu jaringan ginjal dikumpulkan dan dikirim ke
laboratorium untuk diuji.

1.1.5 Patofisiologi
Patofisiologi tergantung pada penyebab sindrom nefritik. Pada sindrom
nefritik, terjadi gangguan struktural pada membran basal glomerulus.
Penghalang filtrasi glomerulus (GFB) dibentuk oleh jalinan laminin,
proteoglikan, dan kolagen tipe IV, berfungsi menyaring air dan zat terlarut
berukuran kecil dan sedang. Tiga lapisan penghalang filtrasi glomerulus adalah
endotelium, membran basal glomerulus (GBM), dan podosit. Podosit adalah
bagian dari lapisan viseral kapsul bowman, lapisan sel epitel kuboid yang
mengubah dan membentuk ekstensi sitoplasma yang membungkus membran
basal kapiler. Pada sindrom nefritik, terjadi kerusakan pada GFB dan dapat
terjadi melalui beberapa mekanisme berikut.
● Kerusakan langsung pada lapisan sel endotel
● Deposisi kompleks imun di ruang subendotel, subepitel, dan mesangial
● Gangguan membran basal glomerulus oleh penyakit ginjal primer atau
sistemik sekunder
● Kerusakan lapisan seluler podosit

Glomerulonefritis poststreptokokus, nephritic syndrome yang umum,


terjadi setelah sakit tenggorokan atau impetigo kulit oleh strain nefritogenik
streptokokus grup A. Antibodi diproduksi untuk melawan antigen nefritogenik
dari bakteri streptokokus grup A. Kompleks imun yang dihasilkan membentuk
endapan di dalam atau di sekitar membran basal glomerulus. Penumpukan ini
mengaktifkan kaskade komplemen yang ‘memanggil’ sel kekebalan seperti sel
T, sel plasma, dan makrofag. Kaskade koagulasi juga diaktifkan sehingga
menghasilkan trombosis mikro. Akibatnya, gangguan penghalang filtrasi
glomerulus pada sindrom nefritik memungkinkan sel darah merah, albumin,
dan molekul besar tidak tersaring dan lolos bersama urin yang dihasilkan
ginjal dan mengakibatkan sindrom nefritik.

Sumber:
https://calgaryguide.ucalgary.ca/nephritic-syndrome-pathogenesis-and-clinical-findings/

1.2 Nephrotic Syndrome


1.2.1 Definisi
Nephrotic Syndrome merupakan sekelompok kelainan yang
disebabkan oleh pengeluaran protein yang terlalu banyak melalui urin.
Pengeluaran protein melalui urin berlangsung dengan sangat cepat sehingga
tubuh tidak dapat mengkompensasi protein yang hilang tersebut sehingga
konsentrasi protein pada plasma darah akan mengalami penurunan. Biasanya
jumlah protein yang terdapat pada urin lebih besar dari 3.5 gram pada periode
24 jam.

1.2.2 Etiologi dan Faktor Risiko


Penyebab penyakit nephrotic syndrome dapat dibagi menjadi 2 jenis
yaitu penyebab primer dan sekunder. Penyebab primer nephrotic syndrome
meliputi:

1. Focal segmental glomerulosclerosis (kondisi dimana pembuluh darah


glomerulus terdapat sclerosis)
2. Membranous nephropathy (kondisi dimana pembuluh darah glomerulus
mengalami kerusakan dan penebalan sehingga protein dapat melewatinya)
3. Minimal-change nephrophathy (kelainan pada ginjal yang menyebabkan
banyak protein yang keluar melalui urin)
4. Hereditary nephropathies

Penyebab sekunder nephrotic syndrome meliputi:

1. Diabetes melitus
2. Immunitas tubuh (lupus, vasculitis antibodi, toksisitas akibat obat nonsteroidal
anti-inflammatory drug, dan lain-lain)
3. Infeksi (hepatitis B, HIV, hepatitis C, amyloidosis, dan lain-lain)

Penyebab nephrotic syndrome yang paling sering ditemui pada anak-anak


adalah minimal change glomerulosclerosis. Pada orang dewasa, penyebab
nephrotic syndrome yang paling sering ditemui adalah membranous
nephropathy

Faktor resiko nephrotic syndrome sebagai berikut:


1. Genetik
Nephrotic syndrome dapat diturunkan dari orang tua kepada anak secara
genetik. Mutasi resesif pada NPHS1, NPHS2, LAMB2, and PLCE1 dapat
menyebabkan nephrotic syndrome pada saat anak-anak. Mutasi resesif pada
CD2AP and MYO1E dapat menyebabkan nephrotic syndrome yang nantinya
dapat berkembang menjadi ESRD (End Stage Renal Disease). Penurunan
autosom dominan penyebab nephrotic syndrome jarang terjadi. Mutasi
dominan biasanya terjadi pada gen ACTN4, TRPC6, and INF2.

2. Penderita penyakit yang mempengaruhi ginjal (lupus, diabetes melitus, focal


segmental glomerulosclerosis)
Penyakit diabetes dan FSGS merupakan salah satu penyebab primer dan
sekunder dari nephrotic syndrome.

3. Penderita infeksi seperti HIV, Hepatitis B dan C, Malaria


Nephrotic syndrome juga dapat disebabkan oleh infeksi. Sebagai contoh, HIV
dapat merusak kinerja nephron pada ginjal, alhasil proses filtrasi ginjal dapat
terganggu. Ada beberapa penelitian yang menyatakan bahwa pembawa HBV
(Hepatitis B Virus) pada anak-anak dapat menuju kepada berkembangnya
membranous nephropathy lalu nephrotic syndrome.

1.2.3 Tanda dan Gejala


1. Pembengkakkan pada kaki, tangan, wajah (disebabkan oleh edema)
2. Urin berbusa (foamy or bubbly), protein pada urin dapat menurunkan
surface tension urin. Surface tension merupakan gaya yang mengikat
molekul air
3. Peningkatan berat badan (disebabkan oleh retensi cairan tubuh)
4. Kelelahan atau fatigue
5. Penurunan nafsu makan (albuminuria dapat menurunkan konsentrasi
protein di plasma darah, hal ini dapat menyebabkan malnutrisi dan
perubahan persepsi terhadap konsumsi makanan)

1.2.4 Tes
Nephrotic Syndrome dapat diidentifikasi dengan tes urin. Kadar
protein pada urin dapat diukur dengan menggunakan dipstick. Dipstick
merupakan kertas kecil yang telah diberikan bahan kimia, perubahan warna
pada dipstick dapat mengindikasikan kehadiran albumin pada urin. Sampel
urin akan dikumpulkan di dalam sebuah container. Dipstick akan diletakkan di
dalam urin sampel, ketika ada albumin pada sampel urin tersebut, maka
dipstick akan berubah warna. Ada beberapa tes yang dapat dilakukan untuk
memastikan bahwa adanya albumin/ protein pada urea mengarah kepada
nephrotic syndrome. Tes-tes tersebut sebagai berikut:

1. Tes Urin 24 Jam


Pada jenis tes ini, urin harus dikumpulkan selama periode 24 jam. Sampel urin
yang dikumpulkan nantinya akan diukur di laboratorium

2. Tes UACR (Urine Albumin-to-Creatine Ratio)


Jenis tes ini dapat memperkirakan jumlah albumin yang terekskresi melalui
urin per hari. Jenis tes ini dinilai lebih akurat dibandingkan tes urin
menggunakan dipstick karena tidak terpengaruhi oleh perbedaan konsentrasi
urin. Seseorang dinyatakan memiliki kondisi albuminuria ketika hasil tes
UACR berada diatas 30 mg/hari. Rumus menghitung estimasi albumin yang
dikeluarkan melalui urin per hari sebagai berikut:

3. Tes Darah
Pada kondisi nephrotic syndrome, kadar protein/ albumin di dalam plasma
darah mengalami penurunan. Umumnya berkisar kurang dari 2.5 g/dL.
Berbeda dengan kadar protein yang rendah, kadar kolesterol dan trigliserida
mengalami peningkatan.

4. Ultrasound
Jenis tes ini menggunakan gelombang suara agar dapat memvisualisasikan
organ, jaringan dan struktur lain di bagian dalam tubuh. Diagnostic
Ultrasound dapat digunakan untuk memberikan informasi mengenai ginjal dan
jika ada kondisi yang tidak normal atau abnormalitas pada ginjal. Biasanya,
pasien akan diminta untuk menjalankan proses ultrasound ginjal sebelum
biopsy ginjal untuk melihat kondisi ginjal secara keseluruhan.

5. Biopsy Ginjal
Pada jenis tes ini, sampel jaringan dari ginjal pasien akan diambil dan diuji
menggunakan mikroskop. Biopsy ginjal dikatakan paling akurat karena
langsung menggunakan sampel dari ginjal tersebut. Jaringan ginjal dapat
diambil dari tubuh pasien dengan memasukkan jarum suntik kecil ke dalam
kulit ke area ginjal. Jaringan ginjal dapat menunjukan inflamasi, infeksi atau
penumpukan protein (immunoglobulin).

1.2.5 Patofisiologi

c
Sumber foto: Rubin, E dan Reisner, H. M., 2013. Essentials of Rubin’s Pathology. 6th ed.
Lippincott Williams & Wilkins

Peningkatan protein pada urin (proteinuria) pada nephrotic syndrome


umumnya disebabkan oleh kerusakan pada membran basal glomerulus. Pada
kondisi normal, membrane basal glomerulus dilapisi oleh sel podosit. Sel
podosit bersama dengan slit diaphragm membentuk filter glomerulus. Filter
tersebut yang mencegah masuknya senyawa besar seperti protein untuk
memasuki nephron ginjal. Ketika membrane basal ini mengalami kerusakan,
glomerulus akan gagal untuk menyaring protein ke dalam ginjal. Alhasil,
protein akan masuk membrane glomerulus dan ikut diproses menjadi urin.

Kerusakan pada glomerulus biasanya disebabkan oleh beberapa


penyakit lainnya seperti minimal change glomerulopathy, membranous
glomerolupathy, focal segmental glomeruloclerosis, type 1
membranoproliferative glomerulonephritis dan lain-lain. Penyakit yang paling
sering terjadi pada orang dewasa adalah minimal-change glomerulopathy.
Penyakit yang paling sering terjadi pada anak-anak adalah membranous
glomerulopathy dan focal segmental glomerulosclerosis.

Patofisiologi penyakit nephrotic syndrome sebagai berikut:

1. Glomerulus mengalami kerusakan (pada membrane basal)


2. Permeabilitas glomerulus terhadap protein akan meningkat sehingga protein
dapat masuk ke dalam glomerulus
3. Lebih banyak protein yang akan dikeluarkan melalui urin (proteinuria)
4. Menurunkan konsentrasi protein di plasma darah (hipoproteinemia)

Kondisi hipoproteinemia ini dapat menyebabkan 2 hal yaitu edema dan


hiperlipidemia. Proses terjadinya edema dan hiperlipidemia sebagai berikut:

1. Edema
Ketika konsentrasi protein di plasma darah mengalami penurunan, tekanan
onkotik plasma juga akan mengalami penurunan. Penurunan tekanan onkotik
ini akan meyebabkan keluarnya cairan ke jaringan tubuh. Tidak hanya itu,
penurunan tekanan onkotik plasma akan menurunkan volume plasma darah
dan laju filtrasi glomerulus. Reseptor akan mendeteksi penurunan laju filtrasi
ini dan mendorong sekresi aldosterone. Aldosteron akan meningkatkan retensi
air. Keluarnya cairan ke jaringan tubuh dengan retensi air dapat menyebabkan
edema. Edema merupakan kondisi dimana bagian tubuh mengalami
pembengkakan akibat menumpuknya cairan di jaringan tubuh.
2. Hiperlipidemia
Ketika konsentrasi protein di plasma darah mengalami penurunan, hati akan
meningkatkan sintesis protein termasuk lipoprotein sebagai upaya
menggantikan protein yang hilang. Peningkatan dalam sintesis protein
(lipogenesis) tersebut yang menyebabkan hiperlipidemia. Hiperlipidemia
merupakan kondisi dimana kadar lipid pada plasma darah tinggi.

1.3 Nephritis
1.3.1 Definisi
Nefritis atau glomerulonefritis adalah sekelompok penyakit yang
menyebabkan peradangan (pembengkakan) pada nefron. Nefritis mengganggu
fungsi normal nefron atau alat filtrasi pada ginjal sehingga mengurangi
kemampuan ginjal untuk menyaring darah. Terdapat beberapa jenis nefritis
akut, yaitu:
● Nefritis interstisial
Pada nefritis interstisial, ruang antara tubulus ginjal menjadi meradang,
peradangan ini menyebabkan ginjal membengkak.
● Pielonefritis
Pielonefritis adalah peradangan pada ginjal, umumnya karena infeksi
bakteri. Pada sebagian besar kasus, infeksi dimulai di dalam kandung
kemih dan kemudian berpindah ke ureter dan masuk ke ginjal. Ureter
adalah dua tabung yang mengangkut urin dari setiap ginjal ke kandung
kemih.
● Glomerulonefritis
Nefritis akut jenis ini menghasilkan peradangan pada glomerulus.
Glomerulus adalah kelompok kecil kapiler yang mengangkut darah dan
berperilaku sebagai unit penyaringan. Glomerulus yang rusak dan
meradang akan berkurang kemampuan menjalankan fungsi normalnya
sehingga tidak dapat menyaring darah dengan baik.

1.3.2 Etiologi dan Faktor Risiko


Sebagian besar nefritis disebabkan oleh sistem kekebalan tubuh
individu yang bereaksi untuk gangguan atau pemicu tertentu, seperti
obat-obatan, racun, infeksi atau perubahan cara berperilaku sistem kekebalan.
Sistem kekebalan memicu terbentuknya antibodi untuk menyerang bakteri atau
racun. Antibodi yang terbentuk dan terakumulasi dapat merusak nefron pada
ginjal sehingga menyebabkan pembengkakan dan jaringan parut.
Nefritis interstisial akut (AIN) dikaitkan dengan pengobatan, infeksi,
dan penyakit sistemik. Obat-obatan adalah penyebab AIN yang paling umum
pada semua kelompok umur. Antibiotik (penisilin, sefalosporin, ciprofloxacin)
dan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) sering dikaitkan dengan AIN.
Penghambat pompa proton (PPI), 5-aminosalisilat, rifampisin, allopurinol, dan
asiklovir adalah obat umum lainnya yang dapat menyebabkan AIN. AIN juga
dikenal sebagai lesi ginjal yang paling umum pada kasus cedera ginjal akut
yang terkait dengan penghambat checkpoint imun (misalnya, pembrolizumab).

Infeksi organisme berikut juga dapat menyebabkan AIN, yaitu:


● Bakteri, yaitu E. coli, Campylobacter, Salmonella, streptococci
● Virus, yaitu Human immunodeficiency virus (HIV), cytomegalovirus,
virus Epstein-Barr, campak, gondongan, polioma, virus herpes
simpleks
● Spirochetes, yaitu Leptospirosis, sifilis
● Parasit, yaitu Toksoplasmosis, leishmaniasis
● Jamur, yaitu Histoplasmosis, coccidioidomycosis
Nefritis interstitial akut idiopatik ditemukan pada entitas penyakit unik tertentu
seperti sindrom TINU (nefritis tubulointerstitial dan sindrom uveitis) dan
penyakit anti tubular basement membrane (anti-TBM). Sindrom TINU muncul
dengan onset uveitis bilateral granulomatosa akut (kemerahan, nyeri, dan
fotofobia) dan fungsi ginjal abnormal akibat nefritis interstisial. Keterlibatan
ginjal biasanya mendahului manifestasi mata, tetapi dapat juga terjadi secara
bersamaan.

Terdapat kelompok tertentu yang berisiko lebih besar terkena nefritis akut.
Faktor risiko nefritis akut meliputi:
● Riwayat keluarga penyakit ginjal dan infeksi
● Menderita penyakit sistem kekebalan, seperti lupus
● Konsumsi terlalu banyak antibiotik atau obat pereda nyeri
● Pascaoperasi saluran kemih
1.3.3 Tanda dan Gejala
● Hematuria, adanya darah pada urin sehingga urin berwarna merah
muda atau warna cola
● Albuminuria, adanya protein dalam urin dan dapat menyebabkan urin
berbusa
● Hipertensi
● Edema, pembengkakan pada wajah, kaki, tungkai dan tangan karena
ketidakseimbangan garam dan air di dalam tubuh
● Anemia, kurangnya sel darah merah pada darah, dapat menyebabkan
kelelahan dan sesak napas
● Gagal ginjal, yang mungkin memerlukan dialisis atau transplantasi
Gejala yang dialami dapat berbeda-beda tergantung penyebab dan tingkat
kerusakan ginjal.

1.3.4 Tes
Nefritis mungkin tidak terdeteksi sampai timbul kerusakan signifikan pada
ginjal. Namun, nefritis seringkali ditemukan melalui beberapa pemeriksaan
rutin, yaitu:
● Pemeriksaan tekanan darah, jika tekanan darah tinggi perlu
ditelusuri lebih lanjut penyebabnya
● Tes darah untuk mengecek fungsi ginjal
● Tes urin untuk mengetahui apakah terkandung darah atau protein pada
urin

Terkadang diperlukan tes lebih lanjut untuk mendeteksi nefritis, yaitu sebagai
berikut.
● Biopsi ginjal
Sebuah jarum dimasukkan melalui kulit ke dalam ginjal untuk
mengambil sepotong kecil jaringan ginjal untuk diperiksa di bawah
mikroskop.
● Ultrasonografi
Dilakukan menggunakan sebuah alat yang digerakkan di atas kulit,
berfungsi mengirim dan menerima sinyal untuk membuat gambar
organ, termasuk ginjal dan kandung kemih.
● Pemindaian Tomografi Terkomputerisasi (CT)
Panjang gelombang frekuensi radio yang kuat digunakan untuk
memberikan gambaran yang jelas dan rinci tentang ginjal dan kandung
kemih.
● Pencitraan Resonansi Magnetik (MRI)
Panjang gelombang medan magnet yang kuat digunakan untuk
memberikan gambaran yang jelas dan rinci tentang ginjal dan kandung
kemih.

1.3.5 Patofisiologi
Pada kebanyakan kasus glomerulonefritis akut, infeksi streptokokus
beta-hemolitik grup A pada tenggorokan mendahului timbulnya
glomerulonefritis dalam 2 sampai 3 minggu. Ini juga dapat mengikuti impetigo
rendah (infeksi kulit) dan infeksi virus akut (infeksi saluran pernapasan bagian
atas, gondongan, virus varicella zoster, virus Epstein-Barr, hepatitis B, dan
infeksi virus human immunodeficiency). Pada beberapa pasien, antigen di luar
tubuh (mis., obat-obatan, serum asing) memulai proses, mengakibatkan
kompleks antigen-antibodi disimpan di glomeruli. Pada pasien lain, jaringan
ginjal itu sendiri berfungsi sebagai antigen pemicu.
Sumber gambar:
https://www.brainkart.com/article/Acute-Glomerulonephritis---Primary-Glomerular-Diseases
_32222/

2. BATU GINJAL
2.1 Definisi
Batu ginjal atau nephrolithiasis adalah kondisi dimana ada batu yang terbentuk
pada ginjal. Urolithiasis merupakan kata umum yang digunakan jika terdapat
pembentukan batu pada sistem perkemihan. Batu yang terbentuk disebut dengan
calculi, dimana dalam Bahasa Latin memiliki arti batu kecil atau pebbles. Batu ginjal
biasanya memiliki ukuran yang beragam, mulai dari berdiameter kurang dari 1 mm
hingga hampir sebesar renal pelvis. Batu tersebut memiliki banyak jenis berdasarkan
komponen penyusunya. Jenis batu ginjal sebagai berikut:

1. Calcium Stones
75% dari batu ginjal berjenis kalsium. Kalsium ini biasanya dalam bentuk kalsium
oksalat (CaOx), kalsium fosfat (CaP) atau campuran dari keduanya. Batu ginjal jenis
ini terbuat oleh brushite (kalsium hidrogen fosfat) atau hidroksiapatite. Banyak faktor
yang berkontribusi kepada perkembangan batu ginjal kalsium seperti hypercalciuria,
hyperuricosuria, hyperoxaluria dan lain-lain.

2. Infection Stones
15% dari batu ginjal merupakan hasil dari infeksi. Biasanya jenis ini yang memiliki
gejala klinis. Infeksi oleh bakteri jenis Proteus atau Providencia akan menyebabkan
presipitasi magnesium ammonium sulfate (struvite) atau calcium phosphate (apatite).
Batu akibat infeksi dapat bersifat keras atau halus dan rapuh.

3. Uric acid Stones


3-10% dari batu ginjal berjenis asam urat. Namun, 25% batu ginjal asam urat terdapat
pada pasien dengan kondisi hiperusemia dan GOUT. Umumnya, penyebab dari uric
acid nephrolithiasis bersifat idiopatik dan lebih banyak terdapat pada pria
dibandingkan wanita.

4. Cystine Stones
Batu ginjal jenis ini berkisar hanya 1% dan merupakan kelainan genetik pada
transportasi asam amino dan cystine. Umumnya terjadi pada anak-anak ketika
memiliki penyakit keturunan cystinuria. Cystinuria merupakan kondisi dimana
terbentuk batu asam amino (cystine) pada ginjal, ureter atau kandung kemih

2.2 Etiologi dan Faktor Risiko


Etiologi dari penyakit batu ginjal bersifat multifaktorial. Multifaktorial
memiliki arti bahwa ada banyak penyebab atau kontribusi pada penyakit ini.
Faktor-faktor yang dapat berkontribusi kepada pembentukan batu ginjal sebagai
berikut:

1. Peningkatan konsentrasi garam pada urin


Peningkatan eksresi garam melalui urin menyebabkan urin menjadi lebih pekat.atau
supersaturated. Tidak hanya itu, garam pada urin dapat membentuk calculi (batu
kristal)
2. Infeksi pada saluran perkemihan
Infeksi dapat berkontribusi pada pembentukan batu ginjal karena dapat menurunkan
solubilitas garam pada urin sehingga dapat membentuk kristal. Tidak hanya itu,
kelompok bakteri juga berperan sebagai situs proses kristalisasi oleh garam.

3. Obstruksi pada saluran perkemihan

Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan resiko terkena penyakit batu
ginjal, faktor-faktor tersebut sebagai berikut:

1. Perilaku hidup (lifestyle) dan status gizi (dietary/ nutritional factors)


Orang yang mengonsumsi protein hewani dan garam secara berlebihan memiliki
resiko terkena batu ginjal. Tidak hanya itu, defisiensi konsumsi sitrat dan serat dapat
meningkatka resiko terkena batu ginjal.

2. Penderita kelainan metabolik


Kelainan metabolik yang dimaksud seperti hypercalciuria, hypocitraturia,
hyperoxyaluria dan memiliki riwayat GOUT (kelainan metabolic terhadap asam urat)

3. Genetik
Memiliki riwayat penyakit batu ginjal atau kelainan pada gen di autosom dapat
meningkatkan resiko terkena penyakit tersebut (genetic susceptibility).

4. Hipertensi
5. Obesitas
6. Penderita kelainan pada anatomi ginjal
Memiliki kelainan pada anatomi ginjal (seperti medullary sponge kidney, uteropelvic
junction stenosis, horseshoe kidney, dan lain-lain.

7. Pengguna obat-obatan litogenik


Obat-obatan seperti indivanir (Crixivan), sulfonamida (Sulfadiazine), agen uricosuric
yang memiliki solubilitas yang rendah dapat mendorong pembentukan kalkuli
sehingga dapat meningkatkan resiko terbentuknya batu ginjal.
2.3 Tanda dan Gejala

1. Darah pada urin


Batu ginjal yang kecil dapat pindah menuju ke ureter dengan bantuan otot polos pada
ureter. Permukaan batu yang kasar dapat menyebabkan luka pada ureter ketika
dipindahkan sehingga terdapat darah pada urin.

2. Urin yang berbau tidak enak dan terlihat keruh (disebabkan oleh ammonia)
3. Meningkatnya frekuensi urin (dalam jumlah yang sedikit)
4. Sensasi perih atau terbakar ketika urinasi
5. Rasa nyeri pada tubuh bagian belakang atau samping yang tidak hilang
6. Demam dan rasa mual

2.4 Tes
Batu ginjal dapat diidentifikasi dengan menggunakan beberapa tes. Tes yang
dapat digunakan meliputi tes laboratorium (tes darah dan tes urin) dan tes pencitraan
(X-ray dan CT scan). Penjelasan tes tersebut sebagai berikut:

1. Tes Urin
Sampel urin dapat dikumpulkan di laboratorium. Sampel tersebut nanti dapat diukur
apabila terdapat mineral atau darah pada urin yang dapat membentuk batu ginjal. Tes
ini dapat membantu dokter dalam mengindetifikasi jenis dari batu ginjal.

2. Tes Darah
Sampel darah akan diambil dan diteliti di laboratorium. Sampel darah dapat
menunjukan apabila terdapat jumlah mineral yang berlebih pada darah.

3. Abdominal X-ray
Tes ini menggunakan radiasi dengan dosis rendah untuk melihat bagian dalam
abdomen tubuh. Teknisi X-ray akan mengatur posisi mesin sehingga berada di atas
abdomen dan pasien akan diminta untuk menahan nafas ketika foto sedang diambil
agar hasilnya tidak buram. Abdominal X-ray dapat menunjukan lokasi batu ginjal
pada saluran perkemihan.

4. Computed Tomography (CT Scan)


CT Scan merupakan perpaduan antara X-ray dan teknologi komputer untuk
memvisualisasikan saluran perkemihan. Terkadang, pasien akan diberikan contrast
medium (pewarna dye atau substansi lain) agar gambar struktur di dalam tubuh
menjadi semakin jelas. CT Scan dapat menunjukan lokasi dan ukuran dari batu ginjal.

2.5 Patofisiologi
Proses pembentukan batu ginjal dapat disebut sebagai biomineralization.
Proses ini melibatkan perubahan fisik dan kimiawi serta pemekatan urin
(supersaturation of urine). Supersaturation of urine merupakan kondisi dimana suatu
solusi memiliki kandungan solvent yang lebih banyak daripada semestinya. Akibat
dari supersaturasi ini, senyawa dalam urin dapat mengalami proses nukleasi dan
membentuk kristal. Kristalisasi dapat terbentuk ketika konsentrasi 2 ion melebihi
tingkat saturasi di dalam solusi tersebut. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
proses tersebut seperti kadar pH dan konsentrasi senyawa tertentu.

1. Crystal Nucleation
Proses pembentukan batu ginjal dimulai dengan pembentukan nukleus (nidus) dari
urin pada ginjal. Senyawa pada urin dapat berpresipitasi dan membentuk gumpalan.
Ketika nukleus sudah terbentuk, proses kristalisasi dapat berlangsung. Sel epitel, sel
darah merah dan senyawa lain di urin dapat membentuk pusat nukleus dari kristal.
Matriks organik dan mukopolisakarida dapat membantu mengikat semua senyawa
(binding agent). Nanobakter pada urin berkontribusi dalam struktur kristal tersebut.

2. Crystal Growth
Pada tahap ini, kristal pada urin saling menempel dan mengambil senyawa-senyawa
lainnya untuk memperbesar kristal tersebut. Proses pertumbuhan ini lambat dan
memerlukan waktu yang cukup lama.

3. Crystal Aggregation
Proses agregrasi merupakan kondisi dimana kristal kecil telah bergabung dengan
senyawa-senyawa lainnya untuk membentuk batu yang lebih besar. Tahap ini
merupakan tahap yang paling penting.

4. Crystal Cell Interaction


Pada tahap ini, batu ginjal yang sudah besar berikatan dengan sel epitel pada
permukaan tubulus ginjal. Interaksi antara sel epitel and kristal menyebabkan
pergerakan kristal dari sisi basolateral sel ke membran basal. Proses ini dapat
menyebabkan cedera pada sel epitel ginjal. Cedera tersebut disebabkan oleh paparan
oksalat yang tinggi atau akibat kristal yang tajam.

5. Endositosis of CaOx Crystals


Saat kristal berikatan dengan microvilli ginjal, ada beberapa yang di endositosis.
Proses ini dilakukan oleh sel microvilli yang berikatan dengan kristal.

Ada beberapa senyawa yang dapat menghambat ataupun mendorong proses


pembentukan batu ginjal. Senyawa penginhibisi pembentukan bantu ginjal sebagai
berikut:

1. Senyawa polyanion (glycosaminoglycans, glycoprotein) dapat melapisi kristal dan


mencegah pelekatan kristal kepada sel epitel ginjal
2. THP (Tamm-Horsfall glycoprotein) akan menghinbisi proses agregrasi kristal
pada kondisi pH tinggi

Senyawa pendorong pembentukan bantu ginjal sebagai berikut:

1. THP (Tamm-Horsfall glycoprotein) dapat menginisiasi interaksi pelekatan kristal


kepada sel epitel
2. Reactive oxygen species (ROS) dan oxidative stress dipercaya dapat menginisiasi
pembentukan batu ginjal
3. HIPERTENSI RENAL
3.1 Definisi
Hipertensi ginjal (atau hipertensi renovaskular), terkadang juga disebut stenosis arteri
ginjal, adalah tekanan darah tinggi yang disebabkan oleh penyempitan arteri yang
membawa darah ke ginjal. Ginjal yang tidak mendapatkan cukup darah akibat
penyempitan arteri akan bereaksi dengan membuat hormon yang menyebabkan
peningkatan tekanan darah.

3.2 Etiologi dan Faktor Risiko


Penyebab paling umum dari stenosis arteri ginjal adalah penyumbatan pada
arteri akibat kolesterol tinggi. Masalah ini terjadi ketika zat lengket berlemak yang
disebut plak menumpuk di lapisan dalam arteri, menyebabkan kondisi yang dikenal
sebagai aterosklerosis.
Ketika arteri yang membawa darah ke ginjal menyempit, lebih sedikit darah
yang mengalir ke ginjal. Ginjal akan merespons sebagai usaha mempertahankan
keseimbangan normalnya, tetapi ginjal salah merespons dengan anggapan bahwa
aliran darah yang kurang tersebut adalah tekanan darah rendah. Akibatnya, ginjal
melepaskan hormon yang memerintahkan tubuh untuk menahan lebih banyak garam
dan air. Inilah yang menyebabkan tekanan darah meningkat dan terjadi hipertensi.

Faktor risiko aterosklerosis:


● Tekanan darah tinggi
● Merokok
● Diabetes
Diabetes mellitus terbukti menjadi faktor risiko independen untuk percepatan
perkembangan aterosklerosis. Saat ini jelas bahwa patogenesis diabetes
mellitus dan aterosklerosis terkait erat, tetapi mekanisme dan interaksi
molekuler dari keterkaitan ini masih dalam pembahasan. Di antara mekanisme
patologis yang diketahui menghubungkan diabetes dan aterosklerosis adalah
dislipidemia, hiperglikemia dengan produksi AGE, peningkatan stres
oksidatif, dan peradangan.
● Kolesterol Tinggi
● Penggunaan alkohol berat
● Bertambahnya usia
● Fibromuskular displasia adalah penyebab lain dari stenosis arteri ginjal yang
sering terjadi pada wanita di bawah usia 50 tahun. Kondisi ini disebabkan oleh
pertumbuhan sel yang tidak normal di dinding arteri yang menuju ke ginjal.
Akibatnya, terjadi penyempitan atau penyumbatan arteri yang berujung pada
hipertensi renal.

Semua faktor risiko tersebut menunjukkan kaitannya dalam penumpukan kadar


kolesterol dan lemak yang menimbulkan sumbatan arteri.

3.3 Tanda dan Gejala


Gejala hipertensi renovaskular meliputi:
● Tekanan darah tinggi di usia muda
● Tekanan darah tinggi yang tiba-tiba memburuk atau sulit dikendalikan
● Ginjal yang tidak berfungsi dengan baik
● Penyempitan pembuluh darah lainnya di tubuh, seperti ke kaki, otak, mata dan
tempat lain
● Penumpukan cairan secara tiba-tiba di kantung udara paru-paru (edema paru)

Pada tekanan darah tinggi berbahaya yang disebut hipertensi maligna, gejalanya
meliputi:
● Sakit kepala parah
● Mual atau muntah
● Kebingungan
● Mimisan

3.4 Tes
Pada saat pemeriksaan, dokter mungkin mendengar suara mendesing yang disebut
bruit, saat memasang stetoskop di area perut pasien hipertensi renal. Selanjutnya, tes
berikut dapat dilakukan untuk mengukur kadar zat tertentu di dalam tubuh sebagai
indikasi hipertensi renal, yaitu:
● Kadar kolesterol
Kadar kolesterol yang tinggi dapat menjadi salah satu indikasi hipertensi
● Tingkat renin dan aldosteron
Kadar aldosteron yang tinggi pada sampel darah yang diambil dapat menjadi
salah satu penyebab hipertensi dan menandakan adanya kelainan pada ginjal.

● BUN - tes darah


Hasil tes nitrogen urea darah diukur dalam miligram per desiliter (mg / dL) di
Amerika Serikat dan dalam milimol per liter (mmol / L) secara internasional.
Secara umum, sekitar 7 hingga 20 mg / dL (2,5 hingga 7,1 mmol / L) dianggap
normal, tetapi rentang normal dapat bervariasi, tergantung pada referensi yang
digunakan oleh lab, dan usia. Kadar nitrogen urea cenderung meningkat
seiring bertambahnya usia. Bayi memiliki tingkat yang lebih rendah dan
kisaran pada anak-anak bervariasi. Secara umum, tingkat nitrogen urea darah
yang tinggi di atas normal menandakan ginjal tidak berfungsi dengan baik.

● Kreatinin - tes darah


Uji kreatinin dapat dilakukan dengan dua cara yaitu uji kreatinin darah dan uji
kreatinin urin. Selama tes ini, darah dikumpulkan dari pembuluh darah di
lengan Anda dan kemudian dikirim ke laboratorium untuk dianalisis lebih
lanjut. Kisaran normal kreatinin (untuk orang dewasa) dalam darah umumnya
sekitar 0,84 hingga 1,21 miligram per desiliter (mg / dL) pada unit AS dan
74,3 hingga 107 mikromol per liter (umol / L) pada unit Eropa. Pada tes urin,
kisaran kreatinin urin normal dalam sampel urin 24 jam yaitu 955 hingga
2.936 miligram per 24 jam (mg / hari) untuk pria; 601 hingga 1.689 mg / 24
jam untuk wanita (unit AS) dan 8,4 hingga 25,9 milimol per 24 jam (mmol /
hari) untuk pria; 5,3 hingga 14,9 mmol / hari untuk wanita (unit Eropa).

● Kalium - tes darah


Tubuh harus mempertahankan jumlah kalium dalam darah pada kisaran 3,6
hingga 5,2 milimol per liter (mmol / L). Kadar kalium yang tinggi dapat
menyebabkan hipertensi dan kadar kalium tinggi pada tes merupakan salah
satu indikasinya.
● Uji pembersihan kreatinin
Uji pembersihan kreatinin (creatinine clearance test) dilakukan dengan
membandingkan kadar kreatinin di urin dan kadar kreatinin di dalam darah
untuk mengetahui fungsi ginjal.

Beberapa tes pencitraan juga dapat dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya
penyempitan arteri ginjal, yaitu:
● Renografi penghambatan angiotensin converting enzyme (ACE)
Renografi merupakan pemeriksaan menggunakan radionuklida (zat radioaktif)
dan menunjukkan hasil kurva renogram untuk menilai fungsi ginjal.

● Ultrasonografi Doppler arteri ginjal


Berbeda dengan pemeriksaan USG pada umumnya yang hanya mampu
menunjukkan gambar jaringan atau organ tubuh, USG Doppler dapat
digunakan untuk melihat kondisi aliran dan pembuluh darah pada organ yang
dituju.

● Angiografi resonansi magnetik (MRA)


Magnetic resonance angiography (MRA) adalah pemeriksaan MRI pada
pembuluh darah.

● Angiografi arteri ginjal


Angiografi arteri ginjal adalah prosedur pemeriksaan dengan bantuan foto
Rontgen untuk melihat kondisi pembuluh darah arteri dan vena pada ginjal.
3.5 Patofisiologi

Sumber gambar:
https://radiologykey.com/percutaneous-management-of-renovascular-diseases/

Mekanisme hipertensi pada stenosis arteri ginjal diduga berkaitan dengan aktivasi
aksis renin-angiotensin. Penurunan tekanan perfusi ginjal distal pada stenosis
menyebabkan peningkatan kadar renin serum. Renin yang meningkat menghasilkan
produksi angiotensin II yang meningkat juga. Hasilnya adalah vasokonstriksi,
penurunan ekskresi natrium di ginjal yang terkena, dan aktivasi sistem saraf simpatis.
Pada stenosis unilateral, vasokonstriksi dianggap sebagai mekanisme utama
hipertensi. Pada stenosis bilateral, retensi natrium dan volume adalah penyebab utama
hipertensi.

4. GAGAL GINJAL

Gagal ginjal atau renal failure merupakan kondisi dimana ginjal tidak dapat
melakukan fungsinya (regulatory dan eksresi) dengan baik. Dapat dua jenis gagal
ginjal yaitu gagal ginjal akut (dimana fungsi ginjal menurun secara cepat) dan gagal
ginjal kronis (dimana fungsi ginjal menurun dengan lambat tetapi secara progresif).
Uremia merupakan salah satu sindrom gagal gingal dimana terdapat asidosis
metabolik karena ketidakmampuan ginjal untuk mensekresi produk limbah dari
metabolisme tubuh.

Perbedaan gagal ginjal akut dan kronis yang paling signifikan adalah dalam
waktunya. Gagal ginjal akut terjadi secara tiba-tiba (dalam waktu yang singkat) dan
memiliki potensi untuk kembali normal jika penyebabkan diatasi. Gagal ginjal kronis
berlangsung secara perlahan-lahan dan bersifat irreversible atau dapat menyebabkan
gagal ginjal permanen

4.1 Gagal Ginjal Akut


4.1.1 Definisi
Gagal ginjal akut atau acute kidney injury atau failure merupakan
kondisi dimana terdapat penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba. Kondisi ini
juga diikuti oleh penurunan filtrasi glomerulus, penurunan output urin dan
penumpukan produk limbah metabolisme di darah (diakibatkan oleh
peningkatan konsentrasi kreatin dan nitrogen di darah).

4.1.2 Etiologi
Gagal ginjal akut dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Beberapa
faktor tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan area disfungsi menjadi:

1. Prerenal
Gagal ginjal akut prerenal merupakan penyebab paling umum gagal ginjal
akut yang disebabkan oleh perfusi ginjal yang tidak optimal. Perfusi yang
tidak optimal ini dapat disebabkan oleh hipotensi, hypovolemia,
vasokonstriksi ginjal dan lain-lain.

2. Intrarenal
Jenis ini umumnya disebabkan oleh cedera pada ginjal, glomerulus dan
tubulus seperti ischemic acute tubular necrosis, nephrotoxic ATN, acute
glomerulonephritis dan lain-lain. Namun, penyebab paling umum pada
intrarenal adalah ischemia. Biasanya sering terjadi setelah proses operasi atau
sepsis berat.
3. Postrenal
Gagal ginjal akut postrenal jarang terjadi dan disebabkan oleh obstruksi pada
saluran perkemihan yang mempengaruhi ginjal secara bilateral seperti bilateral
ureteral obstruction, bladder outlet obstruction-prostatic hypertrophy, urethral
obstruction dan lain-lain. Obstruksi ginjal dapat menyebabkan peningkatan
pada tekanan intraluminal di area obstruksi dan penurunan pada laju filtrasi
glomerulus.

Tabel ...

Area Disfungsi Penyebab

Pre-renal Hipovolemua
Hemorrghage
Dehidrasi
Hipotensi Sistemik atau hipoperfusi
Stenosis pada pembuluh ginjal

Intra-renal Acute Tubular Necrosis


Glomerulopathy
Acute Interstitial Necrosis
Renal Artery Occlusion

Post-renal Obstruct Uropathies (bilateral – fibrosis)


Ureteral Destruction (edema, tumor, stones, clots)
Bladder Neck Obstruction (enlarged prostate)
Neurogenic Bladder

4.2 Gagal Ginjal Kronis


4.2.1 Definisi
Gagal ginjal kronis atau acute renal failure merupakan kondisi
hilagnya fungsi ginjal secara progresif dan irreversible yang disebabkan oleh
penyakit ginjal akut. 50% - 75% dari gagal ginjal kronis disebabkan oleh
diabetes dan hipertensi. Penyakit-penyakit lainnya yang dapat berkembang
menjadi gagal ginjal kronis meliputi chronic pyelonephritis, congential
polycystic renal disease, chronic glomerulonephritis dan penyakit autoimun
yang menyerang ginjal.

4.2.2 Etiologi
Berdasarkan data oleh Indonesian Renal Registry (IRR), penyebab
gagal ginjal kronis terbanyak sebagai berikut: glomerunefritis (28%), diabetes
militus (26%) dan hipertensi (23%). Glomerunefritis merupakan penyakit
ginjal yang disebabkan oleh inflamasi struktur glomerular sehingga sel darah
merah dan protein masuk ke dalam urin. Salah satu penyebab
glomerulonephritis akut primer adalah glomerulonephritis akut pasca infeksi
oleh bakteri, virus, jamur, parasit dan lain-lain.

Diabetes Melitus adalah suatu penyakit atau gangguan metabolisme


kronis dengan multietiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah
yang disertai oleh gangguang metabolisme karbohidrat, lipid dan protein
sebagai akibat dari penurunan fungsi insulin tubuh. Insufisiensi insulin ini
disebabkan oleh gangguan produksi insulin oleh sel beta kelenjar pankreas
atau kurang responsifnya tubuh terhadap insulin. Penyakit diabetes melitus
diawali oleh hiperglikemia dimana glukosa dapat bereaksi dengan asam amino
bebas dan menghasilkan AGE’s (advance glycosylation end-products).
Peningkatan AGE ini dapat merusak glomerulus ginjal. Tidak hanya itu,
terjadi akselerasi jalur poliol dan aktivasi protein kinase C. Akselerasi jalur
poliol dapat menyebabkan peningkatan sorbitol dalam jaringan akibat
meningkatnya reduksi glukosa oleh aktivitas enzim aldose reductase.
Peningkatan sorbitol ini dapat menurunkan kadar inositol yang dapat
menyebabkan gangguan osmolaritas pada membran basal ginjal

Hipertensi merupakan kondisi dimana tekanan sistolik seseorang sama


dengan atau lebih tinggi dari 160 mmHg dan tekanan diastolik sama dengan
atau lebih tinggi dari 90 mmHg secara konsisten dalam beberapa waktu.
Tekanan darah tinggi atau hipertensi yang berlangsung lama dapat merusak
pembuluh darah. Hal tersebut dapat menurunkan suplai darah ke ginjal. Tidak
hanya itu, tekanan darah tinggi dapat merusak penyaring atau nefron ginjal.
Alhasil, ginjal dapat berhenti mengeksresi limbah dari darah. Ginjal memiliki
peran penting dalam menjaga kadar darah dalam batas normal sehingga
kerusakan pada ginjal dapat menurunkan kemampuan ginjal untuk menjaga
tekanan darah dan tekanan darah dapat terus meningkat.

Tidak hanya penyakit atau kondisi-kondisi tersebut, gagal ginjal kronis


juga dapat disebabkan oleh gaya hidup (lifestyle). Gaya hidup yang tidak baik
seperti minum alkohol, merokok dan sebagainya dapat merusak organ vital
dan salah satunya adalah ginjal. Hal ini dapat menyebabkan penurunan pada
fungsi ginjal.

ppc 4.2.3 Tanda dan Gejala


Gejala dari penyakit gagal ginjal bersifat non-spesifik. Gejala-gejala
tersebut umumnya baru dapat diidentifikasi ketika 80% dari fungsi ginjal
sudah hilang. Sign and symptoms dari penyakit gagal ginjal sebagai berikut:

1. Kelelahan dan kelemahan


2. Kehilangan nafsu makan
3. Pusing dan mual
4. Anemia moderat (disebabkan oleh ketidakmampuan ginjal untuk
memproduksi eritropoietin untuk produksi sel darah merah)
5. Peningkatan berat badan (disebabkan oleh retensi cairan pada ginjal)
6. Peningkatan volume dan tekanan darah (disebabkan oleh retensi caran dan
peningkatan pada volume intravaskuler)

4.2.4 Tes
Penyakit gagal ginjal dapat diidentifikasi dengan beberapa test. Tes ini
juga dapat membantu dalam pencarian penyebab gagal ginjal. Tes tersebut
meliputi tes laboratorium seperti tes darah dan tes urin, tes pecitraan seperti
ultrasound, CT Scan, MRI, serta biopsy ginjal. Penjelasan tes-tes tersebut
sebagai berikut:
1. Tes Darah
Sampel darah dapat dikumpulkan dan diuji di laboratorium. Penyakit pada
ginjal dapat diidentifikasi dengan melihat konsentrasi urea atau serum kreatin
pada darah

2. Tes Urin
Sampel urin dapat dikumpulkan dan diuji di laboratorium. Gagal ginjal dapat
diidentifikasi keberadaan atau penyebabnya dengan melihat kandungan urin.

3. Creatinine Clearance Test


Tes ini digunakan untuk mengukur GFR (glomerular filtration rate).
Glomerular filtration rate merupakan jumlah volume cairan yang dapat
dikeluarkan/ dieksresi oleh ginjal pada satuan waktu. Tes ini dapat mengukur
berapa banyak plasma darah yang harus mengalir ke dalam ginjal per menit
untuk menghilangkan semua kreatin yang ada. Tes ini dapat memberikan
estimasi tingkat kerusakan pada ginjal dan dapat digunakan untuk melihat
perkembangan penyakit ginjal. Tes ini biasanya menggunakan sampel urin dan
darah.
`
4. Ultrasound
Jenis tes ini menggunakan gelombang suara agar dapat memvisualisasikan
organ, jaringan dan struktur lain di bagian dalam tubuh. Diagnostic
Ultrasound dapat digunakan untuk memberikan informasi mengenai ginjal dan
jika ada kondisi yang tidak normal atau abnormalitas pada ginjal. Biasanya,
pasien akan diminta untuk menjalankan proses ultrasound ginjal sebelum
biopsy ginjal untuk melihat kondisi ginjal secara keseluruhan

5. CT Scan
Jenis CT Scan yang digunakan untuk mendidentifikasi gagal ginjal disebut
dengan CT Urologi. Jenis tes ini digunakan untuk melihat dan menilai dengan
utuh bagian dari sistem urinaria mulai dari ginjal sampai ke vesika urinaria.

6. MRI (Magnetic Resonance Imaging)


Tes ini menggunakan gelombang magnet dan frekuensi radio untuk
menghasilkan gambar ginjal secara detail. Umumnya, jenis MRI yang
digunakan untuk mengidentifikasi gagal ginjal adalah plain multicontrast
MRI.

7. Biopsy Ginjal
Pada jenis tes ini, sampel jaringan dari ginjal pasien akan diambil dan diuji
menggunakan mikroskop. Biopsy ginjal dikatakan paling akurat karena
langsung menggunakan sampel dari ginjal tersebut. Jaringan ginjal dapat
diambil dari tubuh pasien dengan memasukkan jarum suntik kecil ke dalam
kulit ke area ginjal. Jaringan ginjal dapat menunjukan inflamasi, infeksi atau
penumpukan protein (immunoglobin).

4.2.5 Patofisiologi

Sumber foto: Reisner, E. dan Reisner, H., 2017. Crowley’s An Introduction to Human
Disease Pathology and Pathophysiology Correlations. Burlington: Jones & Bartlett
Learning
Ginjal pada kondisi normal memiliki sekitar 1 juta nefron.
Penyakit-penyakit seperti glomerulonephritis, diabeters, hipertensi, polycystic
kidney disease, penyakit autoimun ginjal dan penyakit-penyakit ginjal lainnya
dapat merusak nefron dan menurunkan jumlah nefron sebanyak 20-30%. Pada
kondisi ini, fungsi ginjal tetap bisa dijaga oleh nefron yang tersisa. Kurangnya
jumlah nefron dari normal menyebabkan nefron yang tersisa harus kerja lebih
berat untuk menjaga fungsi normal ginjal. Setiap nefron yang tersisa
mendapatkan volume dan tekanan darah yang lebih besar dari sebelumnya.

Peningkatan volume dan tekanan darah dapat menyebabkan kerusakan


pada arterioles dan kapiler glomerulus. Kerusakan ini dimulai dengan
pelebaran dinding pembuluh kapiler glomerulus dan arteriole sehingga dapat
mempersempit lumen (arteriolosclerosis). Tidak hanya itu, pada glomerulus
juga dapat berkembang jaringan parut (glomerulosclerosis). Tubulus juga
mengalami kerusakan akibat kerusakan pada pembuluh ginjal.

Kerusakan ini menyebabkan lebih banyak nefron yang rusak dan


nefron yang tersisa harus mampu mengkompensasi kerusakan tersebut dengan
beban kerja yang jauh lebih berat. Jumlah nefron yang hilang akan terus
meningkat seiring berjalannya siklus hingga sampai di kondisi dimana ginjal
tidak dapat melakukan fungsinya lagi. Ketika ginjal tidak dapat melakukan
fungsinya lagi, keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa tidak dapat
dijaga. Hal ini dapat menyebabkan asidosis metabolic (ketidakseimbangan pH
cairan tubuh) dan anemia yang disebabkan oleh ketidakmampuan ginjal untuk
memproduksi eritropoietin.

4.2.6 Faktor Resiko


Faktor resiko yang paling dominan terkena penyakit gagal ginjal
adalah diabetes dan tekanan darah yang tinggi (hipertensi). Tidak hanya
diabetes dan hipertensi, ada beberapa faktor resiko lainnya yang berkontribusi
kepada terjadinya penyakit gagal ginjal.

1. Genetik
Memiliki riwayat penyakit ginjal atau gagal ginjal dapat meningkatkan resiko
terkena gagal ginjal.

2. Gaya Hidup
Orang dengan gaya hidup atau lifestyle yang tidak baik seperti perokok atau
pengkonsumsi alkohol berat dapat meningkatkan resiko terkena penyakit gagal
ginjal.

3. Diabetes
Kadar gula darah yang tinggi dapat merusak pembuluh darah ginjal. Ketika
pembuluh darah ginjal mengalami kerusakan, fungsi ginjal pun akan
terpengaruhi. Tidak hanya itu, penderita diabetes juga memiliki resiko terkena
hipertensi. Kedua hal tersebut dapat meningkatkan resiko terjadinya gagal
ginjal.

4. Tekanan darah tinggi


Tekanan darah yang tinggi atau hipertensi dapat merusak pembuluh darah dan
menurunkan asupan oksigen yang dibutuhkan nefron. Nefron yang tidak
mendapatkan oksigen yang cukup dapat menjadi rusak dan tidak dapat
menjalankan fungsinya dengan baik. Tidak hanya itu, tekanan darah yang
tinggi dapat menyebabkan pembuluh darah menjadi lebih sempit dan keras.
Hal ini dapat menyebabkan kurangnya asupan oksigen untuk jaringan ginjal.
Ketika fungsi ginjal terganggu, ginjal tidak dapat menjaga tekanan darah.
Kedua hal tersebut dapat meningkatkan resiko terjadinya gagal ginjal.

5. Umur
Resiko terkena gagal ginjal meningkat seiring bertambahnya usia. Hal ini
disebabkan karena menurunya fungsi ginjal seiring bertambahnya usia. Tidak
hanya itu, orang tua menjadi lebih rentan terhadap diabetes dan hipertensi
yang merupakan faktor resiko utama penyakit gagal ginjal.

6. Penyakit ginjal lainnya


Penderita penyakit ginjal lainnya seperti glomerulonephritis, penyakit ginjal
autoimun, penyakit ginjal polisistik dan sebagainya dapat meningkatkan resiko
terjadinya gagal ginjal.

5. PENYAKIT KANDUNG KEMIH


5.1 Cystitis
5.1.1 Definisi
Cystitis atau pyelonephritis adalah infeksi atau peradangan saluran kemih
(ISK) yang hanya memengaruhi kandung kemih atau saluran kemih bagian
atas. Sistitis adalah infeksi saluran kemih yang paling umum dan dapat terjadi
sebagai penyakit akut atau kronis.

5.1.2 Etiologi dan Faktor Risiko


● Sistitis bakteri
ISK biasanya terjadi ketika bakteri di luar tubuh memasuki saluran kemih
melalui uretra dan mulai berkembang biak. Sebagian besar kasus sistitis
disebabkan oleh sejenis bakteri Escherichia coli (E. coli). Infeksi kandung
kemih bakteri dapat terjadi pada wanita akibat hubungan seksual, tetapi wanita
yang tidak aktif secara seksual juga rentan terhadap infeksi saluran kemih
bagian bawah karena area genital wanita sering menjadi tempat bakteri yang
dapat menyebabkan sistitis karena uretranya yang pendek.
● Sistitis tidak menular
Meskipun infeksi bakteri adalah penyebab sistitis yang paling umum, sejumlah
faktor non-infeksi juga dapat menyebabkan kandung kemih meradang. Sistitis
tidak menular di antaranya yaitu:
● Sistitis interstisial. Penyebab peradangan kandung kemih kronis ini
tidak jelas. Kebanyakan kasus didiagnosis pada wanita. Kondisi ini
bisa sulit didiagnosis dan diobati.
● Sistitis yang diinduksi obat. Obat-obatan tertentu, terutama obat
kemoterapi siklofosfamid dan ifosfamid, dapat menyebabkan radang
kandung kemih saat komponen obat yang rusak keluar dari tubuh
melalui urin.
● Sistitis radiasi. Pengobatan radiasi pada area panggul dapat
menyebabkan perubahan inflamasi pada jaringan kandung kemih.
● Sistitis benda asing. Penggunaan kateter dalam jangka panjang dapat
menyebabkan kerentanan terhadap infeksi bakteri dan kerusakan
jaringan, yang keduanya dapat menyebabkan peradangan.
● Sistitis kimiawi. Beberapa orang mungkin hipersensitif terhadap bahan
kimia yang terkandung dalam produk tertentu, seperti sabun,
semprotan kebersihan wanita atau jelly spermicidal, dan mungkin
mengembangkan reaksi tipe alergi di dalam kandung kemih,
menyebabkan peradangan.
● Sistitis berhubungan dengan kondisi lain. Sistitis terkadang dapat
terjadi sebagai komplikasi dari gangguan lain, seperti diabetes, batu
ginjal, prostat yang membesar, atau cedera tulang belakang.

Beberapa orang lebih berisiko menderita infeksi kandung kemih atau infeksi saluran
kemih berulang, salah satunya adalah wanita. Alasan utamanya adalah anatomi fisik,
wanita memiliki uretra yang lebih pendek sehingga mengurangi jarak yang harus
ditempuh bakteri dari luar untuk mencapai kandung kemih.

Kelompok wanita dengan risiko terbesar mengalami ISK antara lain yaitu:
● Aktif secara seksual. Hubungan seksual dapat menyebabkan bakteri terdorong
masuk ke dalam uretra.
● Menggunakan jenis kontrasepsi tertentu. Wanita yang menggunakan
diafragma berisiko lebih tinggi terkena ISK. Diafragma yang mengandung
agen spermisida semakin meningkatkan risiko infeksi.
● Hamil. Perubahan hormon selama kehamilan dapat meningkatkan risiko
infeksi kandung kemih.
● Menopause. Tingkat hormon yang berubah pada wanita pascamenopause
sering dikaitkan dengan ISK.

Faktor risiko lain pada pria dan wanita meliputi:


● Gangguan aliran urin. Hal ini dapat terjadi pada kondisi seperti batu di
kandung kemih atau, pada pria, prostat membesar.
● Perubahan sistem kekebalan. Hal ini dapat terjadi dengan kondisi tertentu,
seperti diabetes, infeksi HIV dan pengobatan kanker. Sistem kekebalan yang
tertekan meningkatkan risiko bakteri dan dalam beberapa kasus dapat
menimbulkan infeksi kandung kemih akibat virus.
● Penggunaan kateter kandung kemih dalam waktu lama. Tabung ini mungkin
diperlukan pada orang dengan penyakit kronis atau pada orang dewasa yang
lebih tua. Namun, penggunaan jangka panjang dapat meningkatkan kerentanan
terhadap infeksi bakteri serta kerusakan jaringan kandung kemih.
Pada pria tanpa masalah kesehatan predisposisi, sistitis jarang terjadi.

5.1.3 Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala sistitis sebagai berikut.
● Dorongan yang kuat dan terus menerus untuk buang air kecil
● Sensasi terbakar saat buang air kecil
● Sering buang air kecil dalam jumlah sedikit
● Darah dalam urin (hematuria)
● Buang air kecil berwarna keruh atau berbau menyengat
● Rasa tidak nyaman pada panggul
● Perasaan tertekan di perut bagian bawah
● Demam ringan
● Pada anak kecil, sering mengompol tanpa disengaja pada siang hari
juga mungkin merupakan tanda infeksi saluran kemih (ISK),
sedangkan jika mengompol pada malam hari saja mungkin tidak terkait
dengan ISK.

5.1.4 Tes
● Analisa urin. Untuk dugaan infeksi kandung kemih, dokter mungkin
meminta sampel urin untuk menentukan apakah ada bakteri, darah,
atau nanah dalam urin.
● Sistoskopi. Tes ini dilakukan dengan memasukkan cystoscope atau
tabung tipis dengan lampu dan kamera melalui uretra ke dalam
kandung kemih untuk melihat tanda-tanda penyakit. Dengan
menggunakan cystoscope, dokter juga dapat mengambil sampel kecil
jaringan (biopsi) untuk analisis lab, tetapi tes ini kemungkinan besar
tidak diperlukan jika ini adalah pertama kalinya mengalami tanda atau
gejala sistitis.
● Pencitraan. Tes pencitraan biasanya tidak diperlukan, tetapi dalam
beberapa kasus, terutama bila tidak ada bukti infeksi yang ditemukan,
pencitraan dapat membantu. Misalnya, sinar-X atau ultrasound dapat
membantu dokter menemukan penyebab potensial peradangan
kandung kemih lainnya, seperti tumor atau kelainan struktural.

5.1.5 Patofisiologi
Patogen menginvasi daerah periuretra dan naik melalui uretra ke atas menuju
kandung kemih. Fimbria memungkinkan perlekatan dan penetrasi sel epitel
kandung kemih. Setelah penetrasi, bakteri terus bereplikasi dan dapat
membentuk biofilm. Ini menyebabkan infeksi atau peradangan pada kandung
kemih yang disebut sebagai sistitis.

https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1473309904011478
5.2 Neoplasma
5.2.1 Definisi
Neoplasma merupakan m. Neoplasma dapat bersifat jinak atau ganas
(kanker). Kandung kemih merupakan tempat paling umum terjaidinya
neoplasma atau tumor. Umumnya, tumor pada kandung kemih terjadi pada
orang tua (sekitar 65 tahun) dan jarang terjadi pada orang dibawah 50 tahun.
Sekitar 90% tumor pada kandung kemih diklasifikasikan sebagai urothelial
malignant neoplasms atau yang dulu disebut sebagai transitional cell
neoplasms. Jenis neoplasma seperti squamous cell carcinomas,
adenocarcinoma, neuroendocrine carcinomas dan sarcomas jarang terjadi.

Urothelial papilloma pada kandung kemih jarang terjadi dan umumnya


terjadi akibat dari hematuria. Papilloma merupakan kurang dari 1% dari
penyebab tumor pada kandung kemih dan umumnya terdapat pada pria dewasa
diatas 50 tahun. Ada 2 jenis papilloma yaitu:

1. Exophytic Papilloma
Papiloma jenis ini dilapisi oleh epitel urothelial. Exophytic papilloma bersifat
jinak, tetapi ada beberapa yang dapat berkembang menjadi ganas.

2. Inverted Papilloma
Papilloma jenis ini jarang ditemukan dan biasanya ditemukan sebagai lesi
nodular mucosal pada kandung kemih. Inverted papilloma lebih banyak
ditemui pada laki-laki dan bersifat jinak sehingga dapat disembuhkan melalui
pengankutan sederhana.

Urothelial carcinoma in situ menyebabkan penebalan/ atypia seluler


yang tidak merata di lapisan basal kandung kemih. Atypia seluler meliputi
hilangnya polaritas, pembesaran, hperkromatisme, perubahan bentuk dan
lain-lain. Carcinoma in situ biasanya memiliki peluang 33% untuk
berkembang menjadi carcinoma invasive. Carcinoma in situ biasanya bersifat
multifocal.

Jenis-jenis tumor atau neoplasma pada kandung kemih sebagai berikut:


1. Papillary urothelial neoplasm of low malignant potential
Jenis tumor ini berada diantara papilloma urothelial jinak dan low-grade
papillary urothelial carcinoma. Jenis ini tidak menyebabkan atypia dan dapat
berkembang menjadi higher grade tumor.

2. Low-grade papillary urothelial carcinoma


Jenis tumor ini dilapisi oleh neoplastic urothelial epithelium dan memiliki
atypia. Sekita 10% dari tumor ini dapat menyerang bagian lamina propria dari
kandung kemih.

3. High-grade papillary urothelial carcinoma


Jenis neoplasm aini menunjukan hiperkromasia nukleus dan pleomorfisme.
Epitelium menjadi tidak rapih dan terdapat mitosis pada semua lapisan. 80%
dari neoplasm aini menyerang bagian lamina propria kandung kemih.

4. Invasive urothelial carcinoma


Jenis neoplasma ini sangat ganas dan dapat berkembang dari lesi papilla atau
flat carcinoma in situ. Jenis ini menyerang hinga ke dalam dinding kandung
kemih.

Ada jenis lain dari neoplasma kandung kemih yaitu: squamous cell
carcinoma dan adenocarcinoma. Squamous cell carcinoma merupakan 3
hingga 8% dari neoplasma kandung kemih dan adenocarcinoma merupakan
1% dari neoplasma kandung kemih. Squamous cell carcinoma berasal dari sel
tipis akibat inflammasi atau iritasi yang telah berlangsung selama
bertahun-tahun sedangkan adenocarcinoma umumnya terbentuk pada kelenjar.

5.2.2 Etiologi dan Faktor Risiko


Ada beberapa faktor yang berkontribusi dalam perkembangan dan
pembentukan neoplasma kandung kemih. Faktor-faktor tersebut sebagai
berikut:
1. Inhalasi asap rokok, karsinogen dari industry, diesel exhaust, volatiles of coal
tar
2. Obat-obatan seperti cyclophosphazine, chloronaphazine, phenacetin,
nitrosamines
3. Kontak dengan chlorinated water atau pewarna sintetis
4. Ingestion of bracken fern (Pteridium aquillinum) and/ or arsenic
5. Infeksi dari Schistosoma haematobium, Enterobacteria (Cystitis) dan virus
Papilloma
6. Karsinogen endogenic seperti tryptophan metabolitis atau amina lainnya
7. Faktor herediter (mutasi atau malfungsi pada gen suppresor

Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan resiko terkena


neoplasma kandung kemih, faktor-faktor tersebut sebagai berikut:

1. Umur
80% dari penderita neoplasma gagal ginjal berusia sekitar 50 -80 tahun.

2. Jenis Kelamin
Laki-laki memiliki faktor resiko terkena neoplasma kandung kemih 4 kali
lebih tinggi dibandingkan perempuan.

3. Perokok

4. Pengguna obat-obatan seperti cyclophosphamide dan analgesics

5. Pengguna terapi radiasi (umumnya untuk pengobatan kanker prostat, serviks


dan lain-lain)

6. Schistosomiasis
Schitosomiasis atau bilharzia merupakan penyakit yang disebabkan oleh
infeksi cacing parasit yang hidup di air pada daerah subtropis dan tropis.
Penyakit ini dapat menyebabkan granulomatous cystic kronis yang dapat
berkembang menjadi sel karsinoma.
7. Paparan terhadap azo dyes
Dyes atau pewarna yang digunakan pada industri biasanya menggunakan
amina aromatik. Paparan terhadap amina aromatik dapat meningkatkan resiko
terkena neoplasma kandung kemih.

5.2.3 Tanda dan Gejala

1. Hematuria
Hematuria merupakan kondisi dimana terdapat darah pada urin. Hematuria
dapat disebabkan ketika tumor atau neoplasma mengalami hemorrhage.

2. Dysuria
Dysuria merupakan kondisi dimana timbul rasa nyeri atau perih yang timbul
akibat buang air kecil.

3. Rasa nyeri pada tulang (disebabkan oleh metastasis)

4. Flank pain (disebabkan oleh tumor yang bersift invasif)


5. Obstuksi pada sistem perkemihan (disebabkan oleh sifat invasif dari tumor)
6. Peningkatan frekuensi urinasi

5.2.4 Tes
1. Tes Darah

2. Tes Urin

3. Sitoskopi
Tes ini menggunakan sebuah tuba kecil dengan kamera yang dimasukkan ke
dalam tubuh melalui urethra. Tes ini digunakan untuk memvisualisasikan
bagian dalam kandung kemih.

4. Biopsi Jaringan
Tes ini menggunakan sampel jaringan dari kandung kemih untuk diuji
keberadaan tumor atau kanker.
5. CT Scan
CT Scan menggunakan X-ray dan komputer untuk membentuk gambaran
3-dimensi kandungan kemih. Tes in dapat digunakan untuk melihat jika tumor
atau kanker telah menyebar dari kandung kemih.

6. IVP (Intravenous Pyelogram)


Tes ini menggunakan X-ray dan pewarna(dye) untuk memvisualisasikan ginjal
dan saluran perkemihan. Tes ini dapat memberikan gambar ginjal, kandung
kemih dan ureter.

7. X-ray
Tes ini juga dapat digunakan untuk memvisualisasikan tumor atau kanker pada
kandung kemih.
5.2.5 Patofisiologi

Sumber foto: Rubin, E dan Reisner, H. M., 2013. Essentials of Rubin’s Pathology. 6th ed. Lippincott
Williams & Wilkins
Merokok merupakan salah satu penyebab neoplasma kandung kemih
yang sering ditemukan. Tidak hanya merokok, faktor lain seperti infeksi,
radiasi, senyawa arylamin dan senyawa kimia lainnya dapat menyebabkan
kerusakan pada DNA yang nantinya dapat berkembang menjadi neoplasma
kandung kemih.

1. Merokok (merokok penyebabkan akumulasi zat kimiawi yang


berbahaya pada urin)

2. Infeksi (infeksi seperti Schistosomiasis)


3. Radiasi

4. Senyawa arylamin dan senyawa kimia lainnya


Bahan kimia atau pewarna yang digunakan industry (umumnya amina
aromatic) dapat menyebabkan neoplasma kandung kemih. Arylamina
akan dikonjugasi oleh asam glukoronik di ginjal dan hasil konjugasi
akan diekskresi melalui urin. Di dalam kandung kemih, beta
glukoronidase menghidrolisis hasil konjugasi tersebut dan
menghasilkan ion arylnitrenium yang reaktif. Ion ini dapat berikatan
dengan guanin pada DNA dan bertindak sebagai mutagen. Mutagen ini
dapat menyebabkan kerusakan pada DNA.

DNA yang mengalami kerusakan dapat kembali normal jika diperbaiki.


Namun, ketika kerusakan pada DNA sudah parah, DNA tidak dapat diperbaiki. Hal
ini dapat menyebabkan kelainan atau penyimpangan pada sela tau gen ketika terjadi
mutasi pada gen p53. Gen p53 merupakan tumor suppressing gene yang dapat
menurunkan laju pembelahan sel, memperbaiki DNA yang rusak sehingga tidak
terbentuk tumor. Ketika gen ini mengalami mutasi, DNA yang rusak tadi dapat
menyebabkan penyimpangan dalam perkembangan atau pembelahan jaringan. Tidak
hanya itu, delesi pada gen p53 dapat menyebabkan disregulasi pada siklus sel dan
mutasi pada CDK inhibitor (cyclin-dependant kinase) atau delesi tumor suppressor
gene RB1. Semua hal tersebut dapat berkontribusi kepada pembentukan neoplasma
atau tumor kandung kemih.
REFERENSI

Ada. 2020. Signs of nephritic syndrome | Ada. [online] Available at:


<https://ada.com/conditions/nephritic-syndrome/#causes> [Accessed 16 May 2021].

Alelign, T., dan Petros, B., 2018. Kidney Stone Disease: An Update on Current Concepts.
[online] Ncbi.nlm.nih.gov. Available at:
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5817324/> [Accessed 17 May 2021]

American Heart Association, 2016. How High Blood Pressure Can Lead to Kidney Damage
or Failure. Heart.org. Available at:
<https://www.heart.org/en/health-topics/high-blood-pressure/health-threats-from-high-blood-
pressure/how-high-blood-pressure-can-lead-to-kidney-damage-or-failure#:~:text=Over%20ti
me%2C%20high%20blood%20pressure%20harms%20renal%20blood%20vessels&text=flo
w%20through%20them.-,Over%20time%2C%20uncontrolled%20high%20blood%20pressur
e%20can%20cause%20arteries%20around,blood%20to%20the%20kidney%20tissue>
[Accessed 17 May 2021]

Chung, K. T., 2013. The Etiology of Bladder Cancer and its Prevention. [online] Available at:
<https://www.researchgate.net/publication/273797368_The_Etiology_of_Bladder_Cancer_an
d_its_Prevention> [Accessed 17 May 2021]

Ha, T. S., 2017. Genetics of hereditary nephrotic syndrome: a clinical review. [online]
Ncbi.nlm.nih.gov. Available at:
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5383633/#:~:text=Hereditary%2C%20auto
somal%2Ddominant%20NS%20is,14%2C17%2C37> [Accessed 17 May 2021]

Hashmi, M. and Pandey, J., 2020. Nephritic Syndrome. [online] Ncbi.nlm.nih.gov. Available
at: <https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK562240/#article-25697.s3> [Accessed 16 May
2021].

Hashmi, M. and Pandey, J., 2020. Nephritic Syndrome. [online] Ncbi.nlm.nih.gov. Available
at:
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK562240/#:~:text=The%20major%20underlying%
20pathology%20is,blood%20cells%20in%20the%20urine.> [Accessed 17 May 2021].

Healthline. 2019. Acute Nephritis: Types, Causes, and Symptoms. [online] Available at:
<https://www.healthline.com/health/acute-nephritic-syndrome#risk-factors> [Accessed 17
May 2021].

Kidney.org.au. 2017. [online] Available at:


<https://kidney.org.au/uploads/resources/nephritis-kidney-health-australia-fact-sheet.pdf>
[Accessed 17 May 2021].

Mayoclinic.org. 2020. Cystitis - Diagnosis and treatment - Mayo Clinic. [online] Available at:
<https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/cystitis/diagnosis-treatment/drc-20371311>
[Accessed 17 May 2021]

Medlineplus.gov. 2020. Renovascular hypertension: MedlinePlus Medical Encyclopedia.


[online] Available at: <https://medlineplus.gov/ency/article/000204.htm> [Accessed 17 May
2021].

Mirrakhimov, A. E., Ali, A. M., Barbaryan, A., Prueksaritanond, S., dan Hussain, N., 2014.
Primary Nephrotic Syndrome in Adults as a Risk Factor for Pulmonary Embolism: An
Up-to-Date Review of the Literature. [online] Ncbi.nlm.nih.gov. Available at:
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4009182/#:~:text=Common%20primary%2
0causes%20of%20NS,and%20medications)%20%5B2%5D> [Accessed 17 May 2021]

Naik, R. and Annamaraju, P., 2020. Interstitial Nephritis. [online] Ncbi.nlm.nih.gov.


Available at: <https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK564349/> [Accessed 17 May 2021].

National Institute of Diabetes and Digestive Kidney Diseases, 2012. Urine


Albumin-to-Creatinine Ratio (UACR). [online] Available at:
<https://www.niddk.nih.gov/health-information/professionals/advanced-search/quick-referen
ce-uacr-gfr> [Accessed 17 May 2021]

National Institute of Diabetes and Digestive Kidney Diseases, 2017. Diagnosis of Kidney
Stones. [online] Niddk.nih.gov. Available at:
<https://www.niddk.nih.gov/health-information/urologic-diseases/kidney-stones/diagnosis>
[Accessed 17 May 2021]

National Institute of Diabetes and Digestive Kidney Diseases, 2017. Diabetic Kidney
Disease. Niddk.nih.gov. Available at:
<https://www.niddk.nih.gov/health-information/diabetes/overview/preventing-problems/diab
etic-kidney-disease#how> [Accessed 17 May 2021]

Reisner, E. dan Reisner, H., 2017. Crowley’s An Introduction to Human Disease Pathology
and Pathophysiology Correlations. Burlington: Jones & Bartlett Learning

Rubin, E. and Reisner, H., 2013. Essentials of Rubin's pathology. Philadelphia, PA:
Lippencott Williams and Watkins

Suzanne Smeltzer, B. and Diseases, A., n.d. Acute Glomerulonephritis - Primary Glomerular
Diseases. [online] BrainKart. Available at:
<https://www.brainkart.com/article/Acute-Glomerulonephritis---Primary-Glomerular-Disease
s_32222/> [Accessed 17 May 2021].
Wong, E., 2012. Pathogenesis of urinary tract infection | McMaster Pathophysiology Review.
[online] Pathophys.org. Available at: <http://www.pathophys.org/uti/uti-patho/> [Accessed
17 May 2021].

Anda mungkin juga menyukai