Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI FISIOLOGI
1. Anatomi Darah

Gambar 2.1 Anatomi Darah Pada Pasien Thalasemia


Sumber: Aslinar (2017)

a. Sel Darah Merah


Kandungan dalam darah berupa air 91%, protein 3% (albumin, globulin,
protombin dan fibrinigen), mineral 0,9% (natrium klorida, natrium bikarbonat,
garam fosfat, magnesium, kalsium, dan zat besi) serta bahan organik 0,1%
(glukosa, lemak asam urat, kreatinin, kolesterol, dan asam amino) (Sausan,
2020).
Sel darah merah (eritrosit) bentuknya seperti cakram atau bikonkaf dan
tidak mempunyai inti. Ukuran diameter kira-kira 7,7 unit (0,007 mm), tidak
dapat bergerak. Banyaknya kira-kira 5 juta dalam 1 mm3 (41/2 juta).
Warnanya kuning kemerahan, karena didalamnya mengandung suatu zat yang
disebut hemoglobin, warna ini akan bertambah merah jika di dalamnya banyak
mengandung oksigen. Eritrosit terbungkus dalam membran sel dengan
permeabilitas tinggi. Membran ini elastis dan flexible, sehingga
memungkinkan eritrosit menembus kapilar (pembuluh darah terkecil). Setiap
eritrosit mengandung sekitar 300 juta molekul hemoglobin, sejenis pernafasan
yang mengikat oksigen. Volume hemoglobin mencapai sepertiga volume sel.
Hemoglobin adalah protein pigmen yang memberi warna merah pada darah.
Setiap hemoglobin terdiri dari protein yang disebut globin dan pigmen non-
protein yang disebut heme. Setiap heme berikatan dengan rantai polipeptida
yang mengandung besi (Fe2+). Funsi utama hemoglobin adalah mengangkut
oksigen dari paru-paru membentuk oksihemoglobin (Sausan, 2020).
Fungsi sel darah merah adalah mengikat oksigen dari paru–paru untuk
diedarkan ke seluruh jaringan tubuh dan mengikat karbon dioksida dari
jaringan tubuh untuk dikeluarkan melalui paru–paru. Pengikatan oksigen dan
karbon dioksida ini dikerjakan oleh hemoglobin yang telah bersenyawa
dengan oksigen yang disebut oksihemoglobin (Hb + oksigen 4 Hb-oksigen)
jadi oksigen diangkut dari seluruh tubuh sebagai oksihemoglobin yang
nantinya setelah tiba di jaringan akan dilepaskan: Hb-oksigen Hb + oksigen,
dan seterusnya. Hb tadi akan bersenyawa dengan karbon dioksida dan disebut
karbon dioksida hemoglobin (Hb + karbon dioksida Hb-karbon dioksida) yang
mana karbon dioksida tersebut akan dikeluarkan di paru-paru (Nugrahaeni,
2014).
Sel darah merah (eritrosit) diproduksi di dalam sumsum tulang merah,
limpa dan hati. Pembentukan eritrosit disebut juga eritropoiesis. Eritropoiesis
terjadi di sumsum tulang. Pembentukannya diatur oleh suatu hormon
glikoprotein yang disebut dengan eritropoietin. Sel pertama yang diketahui
sebagai rangkaian pembentukan eritrosit disebut Proeritroblas. Dengan
rangsangan yang sesuai maka dari sel-sel tunas (stem cell) ini dapat dibentuk
banyak sekali sel. Proeritoblas kemudian akan membelah beberapa kali. Sel-
sel baru dari generasi pertama ini disebut sebagai basofil eritroblas sebab
dapat di cat dengan zat warna basa. Sel-sel ini mengandung sedikit sekali
hemoglobin. Pada tahap berikutnya akan terbentuk cukup hemoglobin yang
disebut Polikromatofil eritroblas. Sesudah terjadi pembelahan berikutnya
maka akan terbentuk lebih banyak lagi hemoglobin. Sel-sel ini disebut
Ortokromatik eritroblas dimana warnanya menjadi merah. Akhirnya bila
sitoplasma dari sel-sel ini sudah dipenuhi oleh hemoglobin hingga mencapai
konsentrasi kurang lebih 34%, nukleus akan memadat sampai ukurannya
menjadi kecil dan terdorong dari sel. Sel-sel ini di sebut retikulosit. Retikulosit
berkembang menjadi eritrosit dalam satu sampai dua hari setelah di lepaskan
dari sumsum tulang dan siap diedarkan dalam sirkulasi darah, yang kemudian
akan beredar di dalam tubuh selama kebih kurang 114-115 hari, setelah itu
akan mati. Hemoglobin yang keluar dari eritrosit yang mati akan terurai
menjadi dua zat yaitu hematin yang mengandung zat besi (Fe) yang berguna
untuk membuat eritrosit baru dan hemoglobin yaitu suatu zat yang terdapat
didalam eritrisit yang berguna untuk mengikat oksigen dan karbon dioksida.
Eritrosit yang telah tua akan dimakan oleh sel-sel fagosit yang ada di dalam
hati dan limpa. Di dalam hati hemoglobin akan di ubah menjadi pigmen
empedu (Bilirubin) yang berwarna kehijauan (Nugrahaeni, 2014).
Jumlah normal pada orang dewasa kira- kira 11,5-15 gram dalam 100 cc
darah. Normal Hb wanita 11,5 mg% dan laki-laki 13,0 mg%. Sel darah merah
memerlukan protein karena strukturnya terdiri dari asam amino dan
memerlukan pula zat besi, sehingga diperlukan diit seimbang zat besi. Di
dalam tubuh banyaknya sel darah merah ini bisa berkurang, demikian juga
banyaknya hemoglobin dalam sel darah merah. Apabila kedua-duanya
berkurang maka keadaan ini disebut anemia, yang biasanya disebabkan oleh
perdarahaan yang hebat, penyakit yang melisis eritrosit, dan tempat
pembuatan eritrosit terganggu (Nugrahaeni, 2014).

b. Sel Darah Putih


Bentuk dan sifat leukosit berlainan dengan sifat eritrosit apabila kita lihat
di bawah mikroskop maka akan terlihat bentuknya yang dapat berubah-ubah
dan dapat bergerak dengan perantaraan kaki palsu (pseudopodia), mempunyai
bermacam- macam inti sel sehingga ia dapat dibedakan menurut inti selnya,
warnanya bening (tidak berwarna), banyaknya dalam 1 mm3 darah kira-kira
6000-9000. Leukosit memiliki sebuah nukleus, tidak berwarna dan
menunukkan gerakan amuboid. Leukosit keluar dari pembuluh kapiler apabila
ditemukan antigen. Proses keluarnya leukosit disebut dengan Diapedesis.
Rentang kehidupan Leukosit, setelah diproduksi di sumsum tulang, leukosit
bertahan kurang lebih satu hari dalam sirkulasi sebelum masuk ke jaringan.
Sel ini tetap dalam jaringan selama beberapa hari, beberapa minggu, atau
beberapa bulan, tergantung jenis leukositnya (Devi, 2015).
Fungsi sel darah putih sebagai pertahanan tubuh yaitu membunuh dan
memakan bibit penyakit atau bakteri yang masuk ke dalam jaringan RES
(sistem retikuloendotel), tempat pembiakannya di dalam limpa dan kelenjar
limfe; sebagai pengangkut yaitu mengangkut atau membawa zat lemak dari
dinding usus melalui limpa terus ke pembuluh darah. Sel leukosit disamping
berada di dalam pembuluh darah juga terdapat di seluruh jaringan tubuh
manusia. Pada kebanyakan penyakit disebabkan oleh masuknya kuman atau
infeksi maka jumlah leukosit yang ada di dalam darah akan lebih banyak dari
biasanya. Hal ini disebabkan sel leukosit yang biasanya tinggal di dalam
kelenjar limfe, sekarang beredar dalam darah untuk mempertahankan tubuh
dari serangan penyakit tersebut. Jika jumlah leukosit dalam darah melebihi
10000/mm3 disebut leukositosis/leukimia dan kurang dari 6000 disebut
leukopenia. Sedangkan leukosita ini menyebabkan mudah alergi.
Sel darah putih meliputi:
1) Agranulosit
Sel leukosit yang tidak mempunyai granula didalamnya yang terdiri dari:
a) Limfosit merupakan macam leukosit yang dihasilkan dari jaringan
RES dan kelenjar limfe, bentuknya ada yang besar dan kecil, di dalam
sitoplasmanya tidak terdapat glandula dan intinya besar, banyaknya
kira- kira 20%-15% dan fungsinya membunuh dan memakan bakteri
yang masuk ke dalam jaringan tubuh. Rentang hidupnya dapat
mencapai beberapa tahun.
Struktur: limfosit mengandung nukleus bulat berwarna biru gelap yang
dikelilingi lapisan tipis sitoplasma. Ukurannya bervariasi ; ukuran kecil
5µm sampai 8 µm. Ukuran terbesar 15 µm. Asal dan fungsi: limfosit
berasal dari sel-sel batang sumsum tulang merah, tetapi melanjutkan
diferensiasi dan poliferasinya dalam organ lain. Sel ini berfungsi dalam
reaksi imunologis.
b) Monosit dibuat di sumsum merah, lebih besar dari limfosit, mencapai
3-8% jumlah total.
Struktur: merupakan sel darah terbesar. Di bawah mikroskop terlihat
bahwa protoplasmanya lebar, warna biru abu-abu mempunyai bintik-
bintik sedikit kemerahan. Inti selnya bulat dan panjang, warnanya
lembayung muda. Fungsi: sangat fagositik dan sangat aktif. Sel ini siap
bermigrasi melalui pembuluh darah. Jika monosit telah meninggalkan
aliran darah, maka sel ini menjadi histiosit jaringan (makrofag tetap)
(Nugrahaeni, 2014).

2) Granulosit
Disebut juga leukosit granular terdiri dari:
a) Neutrofil (polimorfonuklear leukosit) banyaknya mencapai 50% -60%.
Struktur: neutrofil memiliki granula kecil berwarna merah muda dalam
sitoplasmanya dan banyak bintik-bintik halus atau glandula.
Nukleusnya memiliki tiga sampai lima lobus yang terhubungkan
dengan benang kromatin tipis. Diametrnya mencapain9 µm -12 µm.
b) Eusinofil mencapai 1-3% jumlah sel darah putih
Struktur: memiliki granula sitoplasma yang kasar dan besar, dengan
pewarnaan oranye kemerahan. Sel ini memiliki nukleus berlobus dua,
dan berdiameter 12µm-15µm.
Fungsi: merupakan fagositik lemah, jumlahnya akan menigkat saat
terjadi alergi atau penyakit parasit, tetapi akan berkurang selama sters
berkepanjangan. Sel ini berfungsi dalam detoksifikasi hestamin yang
diproduksi sel mast dan jaringan yang cedera saat inflamasi
berlangsung.
c) Basofil mencapai kurang dari 1% jumlah leukosit
Struktur: memiliki sejumlah granula sitoplasma besar yang bentuknya
tidak beraturan dan akan berwarna keunguan sampai hitam serta
memperlihatkan nukleus berbentuk S dan diameternya 12µm-15µm.
Fungsi: basofil menyerupai sel mast. Sel ini mengandung histamin
mungkin untuk menigkatkan aliran darah ke jaringan yang cedera dan
juga antiglukagon heparin mungkin untuk membantu mencegah
penggumpalan darah intravaskuler, fungsi sebenarnya belum diketahui.
(Nugrahaeni, 2014)

c. Trombosit (Sel Pembeku atau Keping Darah)


Trombosit merupakan benda-benda kecil yang mati yang bentuk dan
ukurannya bermacam-macam, ada yang bulat dan lonjong, warnanya putih,
normal pada orang dewasa 200.000-300.000/mm3.bagian ini merupakan
fragmen sel tanpa nukleus yang berasal dari sumsum tulang. Ukuran trombosit
mencapai setengah ukuran sel darah merah. Sitoplasmanya terbungkus suatu
membran plasma dan mengandung berbagai jenis granula yang berhubungan
dengan proses koagulasi darah. Fungsinya memegang peranan penting dalam
pembekuan darah (hemostasis). Jika banyaknya kurang dari normal, maka
kalau ada luka darah tidak lekas membeku sehingga timbul perdarahan yang
terus- menerus. Trombosit lebih dari 300.000 disebut trombositosis. Trombosit
yang kurang dari 200.000 disebut trombositopenia. Trombosit memiliki masa
hidup dalam darah antara 5-9 hari. Trombosit yang tua atau mati diambil dari
sistem peredaran darah, terutama oleh makrofag jaringan. Lebih dari separuh
trombosit diambil oleh makrofag dalam limpa, pada waktu darah melewati
organ tersebut (Nugrahaeni, 2014).
Di dalam plasma darah terdapat suatu zat yang turut membantu
terjadinya peristiwa pembekuan darah, yaitu Ca2+ dan fibrinogen. Fibrinogen
mulai bekerja apabila tubuh mendapat luka. ketika kita luka maka darah akan
keluar, trombosit pecah dan mengeluarkan zat yang dinamakan trombokinase.
Trombokinasi ini akan bertemu dengan protrombin dengan pertolongan Ca2+
akan menjadi trombin. Trombin akan bertemu dengan fibrin yang merupakan
benang-benang halus, bentuk jaringan yang tidak teratur letaknya, yang akan
menahan sel darah, dengan demikian terjadilah pembekuan. Protrombin di
buat didalam hati dan untuk membuatnya diperlukan vitamin K, dengan
demikian vitamin K penting untuk pembekuan darah (Nugrahaeni, 2014).

d. Plasma Darah
Bagian cairan darah yang membentuk sekitar 5% dari berat badan,
merupakan media sirkulasi elemen-elemen darah yang membentuk sel darah
merah, sel darah putih, dan sel pembeku darah juga sebagai media transportasi
bahan organik dan anorganik dari suatu jaringan atau organ. Plasma darah
adalah bagian darah yang cair. Plasma darah tersusun dari 91,5% air dan 8,5%
zat-zat terlarut. Dalam plasma darah terlarut molekul-molekul dan berbagai
ion, yang meliputi glukosa sebagai sumber utama energi untuk sel-sel tubuh
dan asam-asam amino. Ion-ion yang banyak terdapat dalam plasma darah
adalah natrium (Na+) dan klor (Cl-). Ion-ion dan molekul tersebut akan
diedarkan ke seluruh tubuh atau berfungsi untuk membentuk peredaran zat-zat
lainnya. Kira-kira 7% plasma darah terdiri dari molekul-molekul protein, yaitu
serum albumin 4%; serum globulin 2,7%; dan fibrinogen 0,3% (Devi, 2015).
Berikut adalah jenis-jenis plasma darah:
1) Serum adalah cairan darah yang tidak mengandung fibrinogen (komponen
untuk proses pembekuan darah). Serum berfungsi sebagai penghasil zat
antibodi yang dapat membunuh bakteri atau benda asing yang masuk ke
dalam tubuh kita.
2) Albumin adalah protein plasma yang terbanyak ,tetapi ukurannya paling
kecil. Albumin disintesis di hati dan bertanggung jawab untuk tekanan
osmotik koloid darah.
3) Globulin membentuk sekitar 30% protein plasma. Ada dua globulin yaitu
alfa dan beta globulin dan gamma globulin. Berfungsi untuk membentuk
zat antibody
4) Fibrinogen disintesis di hati dan merupakan komponen asensial dalam
mekanisme pembekuan darah.
Protein plasma juga berperan sebagai antibodi. Antibodi merupakan
protein yang dapat mengenali dan mengikat antigen tertentu. Sedangkan
antigen merupakan molekul (protein) asing yang memacu pembentukan
antibodi. Antibodi terebntuk jika ada antigen yang masuk ke dalam tubuh.
Antibodi ini berasal dari globulin dalam sel-sel plasma. Antibodi bekerja
melalui dua cara yang berbeda untuk mempertahankan tubuh terhadap
penyebab penyakit, yaitu dengan menyerang langsung penyebab penyakit
tersebut, atau dengan mengaktifkan sistem komplemen yang kemudian akan
merusak penyebab penyakit tersebut. Antibodi dapat melemahkan penyebab
penyakit dengan cara sebagai berikut:
1) Aglutinasi: terbentuknya gumpalan-gumpalan yang terdiri dari struktur
besar berupa antigen pada permukaannya, misalnya bekteri atau sel darah
merah.
2) Presipitasi: terbentuknya molekul yang besar antara antigen yang larut,
misalnya racun tetanus dengan sehingga berubah menjadi tidak larut dan
akan mengendap
3) Netralisasi: antibodi yang bersifat antigenik akan menutupi tempat-tempat
yang toksik dari agen penyebab penyakit
4) Lisis: beberapa antibodi yang bersifat antigenik yang sangat kuat kadamg-
kadang mampu langsung menyerang membran sel agen penyebab penyakit
sehingga menyebabkan sel-sel tersebut rusak.
Pada penyakit ginjal plasma albumin turun sehingga terdapat kebocoran
albumin yang besar melalui glomerulus ginjal. Hampir 90% dari plasma darah
terdiri dari air, di samping itu terdapat pula zat-zat lain yang terlarut di
dalamnya (Devi, 2015).

2. Fisiologi Darah
a. Sebagai alat pengangkut yaitu:
1) Mengambil oksigen atau zat pembakaran dari paru-paru untuk diedarkan
keseluruh jaringan tubuh
2) Mengangkut karbon dioksida dari jaringan untuk dikeluarkan melalui
paru-paru
3) Mengambil zat-zat makanan dari usus halus untuk diedarkan dan
dibagikan ke seluruh jaringan atau alat tubuh
4) Mengangkat atau mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna bagi tubuh
untuk dikeluarkan melalui ginjal dan kulit.
5) Mengedarkan hormon;hormon untuk membantu proses fisiologis
b. Sebagai pertahanan tubuh terhadap serangan penyakit dan racun dalam tubuh
dengan perantaraan leukosit dan antibody atau zat–zat anti racun
c. Menyebarkan panas keseluruh tubuh
d. Menjaga keseetimbangan asam basa jaringan tubuh untuk menghindari
kerusakan
(Devi, 2015).

B. DEFINISI
Thalasemia merupakan suatu sindrom kelainan darah yang diwariskan
(inherited) dan merupakan kelompok penyakit hemoglobinopati, yaitu kelainan yang
disebabkan oleh gangguan sintesis hemoglobin akibat mutasi di dalam atau dekat gen
globin. Kelainan hemoglobin pada penderita thalasemia akan menyebabkan eritrosit
mudah mengalami destruksi, sehingga usia sel-sel darah merah menjadi lebih pendek
dari normal yaitu berusia 120 hari (Marnis, Indriati, & Nauli, 2018).
Thalasemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan ditandai oleh
defisiensi produk rantai globulin pada hemoglobin (Suriadi, 2010). Penyakit
thalasemia merupakan salah satu penyakit genetik tersering di dunia. Penyakit genetic
ini diakibatkan oleh ketidakmampuan sumsum tulang membentuk protein yang
dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin (Potts & Mandleco, 2007). Hemoglobin
merupakan protein kaya zat besi yang berada di dalam sel darah merah yang
berfungsi untuk mengangkut oksigen dari paru-paru keseluruh bagian tubuh
(McPhee & Ganong, 2010) dalam (Rosnia Safitri, Juniar Ernawaty, 2015).

C. ETIOLOGI
Thalassemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan
secara resesif. ditandai oleh defisiensi produksi globin pada hemoglobin. Dimana
terjadi kerusakan sel darah merah di dalam pembuluh darah sehingga umur
sel darah merah menjadi pendek (kurang dari 100 hari). Kerusakan tersebut karena
hemoglobin yang tidak normal (hemoglobinopatia). Sebagian besar penderita
thalassemia terjadi karena factor turunan genetik pada sintesis hemoglobin yang
diturunkan oleh orang tua (Suriadi, 2006).
Sementara menurut Ngastiyah (2006) Penyebab kerusakan tersebut karena
hemoglobin yang tidak normal (hemoglobinopatia) dan kelainan hemoglobin ini
karena adanya gangguan pembentukan yang disebabkan oleh gangguan struktural
pembentukan hemoglobin (hemoglobin abnormal) misalnya pada HbS, HbF, HbD
dan sebagainya, selain itu gangguan jumlah (salah satu/beberapa) rantai globin seperti
pada thalassemia.

Ketidakseimbangan dalam rantai protein globin alfa dan beta, yang diperlukan
dalam pembentukan hemoglobin, disebabkan oleh sebuah gen cacat yang diturunkan.
Untuk menderita penyakit ini, seseorang harus memiliki 2 gen dari kedua orang
tuanya. Jika hanya 1 gen yang diturunkan, maka orang tersebut hanya menjadi
pembawa tetapi tidak menunjukkan gejala-gejala dari penyakit ini.

D. KLAFIKASI
Klasifikasi dari penyakit thalassemia menurut Suriadi (2006) yaitu:
1. Thalassemia Alfa
Thalassemia alfa merupakan jenis thalassemia yang mengalami penurunan
sintesis dalam rantai alfa.

2. Thalassemia beta
Thalassemia beta merupakan jenis thalassemia yang mengalami penurunan
pada rantai beta. Sedangkan berdasarkan jumlah gen yang mengalami gangguan,
Hockenberry & Wilson (2009) mengklasifikasikan thalasemia menjadi:
a) Thalasemia minor
Thalasemia minor merupakan keadaan yang terjadi pada seseorang yang
sehat namun orang tersebut dapat mewariskan gen Thalasemia pada
anak-anaknya. Thalasemia trait sudah ada sejak lahir dan tetap akan ada
sepanjang hidup penderita. Penderita tidak memerlukan transfusi darah dalam
hidupnya.
b) Thalasemia intermedia
Thalasemia intermedia merupakan kondisi antara thalasemia mayor
dan minor. Penderita thalasemia ini mungkin memerlukan transfusi darah
secara berkala, dan penderita Thalasemia jenis ini dapat bertahan hidup
sampai dewasa.
c) Thalasemia mayor

Thalasemia jenis ini sering disebut Cooley Anemia dan terjadi apabila kedua
orangtua mempunyai sifat pembawa Thalasemia (Carrier). Anak-anak
dengan Thalasemia mayor tampak normal saat lahir, tetapi akan menderita
kekurangan darah pada usia 3-18 bulan. Penderita Thalasemia mayor akan
memerlukan transfusi darah secara berkala seumur hidupnya dan dapat
meningkatkan usia hidup hingga 10-20 tahun. Namun apabila penderita tidak
dirawat penderita Thalasemia ini hanya bertahan hidup sampai 5-6 tahun
(Potts & Mandleco, 2007). (Bakta, 2003; Permono, dkk, 2006;
Hockenberry & Wilson, 2009). Thalasemia mayor biasanya menjadi
bergejala sebagai anemia hemolitik kronis yang progresif selama 6 bulan
kehidupan. Transfusi darah reguler diperlukan pada penderita ini untuk
mencegah kelemahan yang amat dan gagal jantung yang disebabkan oleh
anemia (Nelson, 2000) dalam (Putri, 2015).

E. EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan data WHO (2019) terdapat sekitar 7% populasi dunia sebagai
pembawa sifat thalasemia dengan kematian sekitar 50.000-100.000 anak dimana 80%
nya terjadi di negara berkembang. Indonesia merupakan negara yang berada dalam
sabuk thalasemia dengan prevalensi kejadian thalasemia mencapai sekitar 3,8% dari
seluruh populasi. Berdasarkan data dari Yayasan Thalasemia Indonesia, terjadi
peningkatan kasus thalasemia yang terus menerus sejak tahun 2012 (4896) hingga
tahun 2018 (8761) (Kemenkes, 2019).
Menurut Riskesdas 2018, 8 provinsi dengan prevalensi lebih tinggi dari
prevalensi nasional, antara lain Provinsi Aceh (13,4), DKI Jakara (12,3), Sumatera
Selatan (5,4), Gorontalo (3,1), Kepulauan Riau (3,0), Nusa Tenggara Barat (2,6),
Maluku (1,9), dan Papua Barat (2,2). Berdasarkan data YTI dan POPTI tahun 2014,
dari hasil skrining pada masyarakat umum dari tahun 2008-2017, didapatkan
pembawa sifat sebanyak 699 orang (5,8%) dari 12.038 orang yang diperiksa,
sedangkan hasil skrining pada keluarga thalasemia (ring 1) tahun 2009-2017
didapatkan sebanyak 1.184 orang (28,61%) dari 4.137 orang. Sedangkan
berdasarkan data RSCM, sampai dengan bulan Oktober 2016 terdapat 9.131 pasien
thalassemia yang terdaftar di seluruh Indonesia (Riskesdas, 2018).
Menurut data Kemenkes RI tahun 2016 angka kejadian kasus thalassemia pada
anak di Kalimantan ditemukan bahwa Provinsi Kalimantan Barat memiliki angka
kejadian kasus tertinggi sebanyak 116 kasus, Provinsi Kalimantan Timur ditemukan
76 kasus, Provinsi Kalimantan Selatan ditemukan 48 kasus sedangkan Provinsi
Kalimantan Selatan ditemukan jumlah kasus thalassemia sebanyak 13 kasus dan
banyak terjadi pada anak usia < 15 tahun (4.710 kasus).

F. MANIFESTASI KLINIS
Pada beberapa kasus Thalassemia dapat ditemukan gejala-gejala seperti badan
lemah, mudah lelah, pucat, kulit kekuningan (jaundice), urin gelap, cepat lelah,
denyut jantung meningkat, tulang wajah abnormal dan pertumbuhan terhambat  serta 
permukaan  perut  yang  membuncit dengan pembesaran hati dan limpa (Kemenkes,
2019).
Pasien  Thalassemia  mayor  umumnya  menunjukkan  gejala-gejala fisik
berupa hambatan pertumbuhan, anak menjadi kurus, perut membuncit  akibat 
hepatosplenomegali  dengan  wajah  yang  khas, frontal bossing, mulut tongos
(rodent like mouth), bibir agak tertarik, dan maloklusi gigi. Perubahan ini terjadi
akibat sumsum tulang yang terlalu  aktif  bekerja  untuk  menghasilkan  sel  darah 
merah,  pada Thalassemia bisa menyebabkan penebalan dan pembesaran tulang
terutama tulang kepala dan wajah, selain itu anak akan mengalami pertumbuhan
yang terhambat. Akibat dari anemia kronis dan transfusi berulang,  maka  pasien 
akan mengalami  kelebihan  zat besi  yang kemudian akan tertimbun di setiap organ,
terutama otot jantung, hati, kelenjar pankreas, dan kelenjar pembentuk hormon
lainnya, yang dikemudian hari akan menimbulkan komplikasi. Perubahan tulang
yang paling sering terlihat terjadi pada tulang tengkorak  dan  tulang  wajah.  Kepala 
pasien  Thalassemia  mayor menjadi besar dengan penonjolan pada tulang frontal
dan pelebaran diploe (spons tulang) tulang tengkorak hingga beberapa kali lebih
besar dari orang normal (Kemenkes, 2019).

G. PATOFISIOLOGI
1. Narasi
Kelebihan pada rantai alpha ditemukan pada beta thalasemia dan kelebihan
rantai beta dan gama ditemukan pada alpha thalasemia. Kelebihan rantai
polipeptida ini mengalami presippitasi dalam sel eritrosit. Globin intra eritrosik
yang mengalami presipitasi, yang terjadi sebagai rantai polipeptida alpa dan beta,
atau terdiri dari hemoglobin tak stabil- badan Heinz, merusak sampul eritrosit
dan menyebabkan hemolisis. Reduksi dalam hemoglobin menstimulasi bone
marrow memproduksi RBC yang lebih. Dalam stimulasi yang konstan pada
bone marrow, produksi RBC secara terus-menerus pada suatu dasar kronik, dan
dengan cepatnya destruksi RBC, menimbulkan tidak adekuatnya sirkulasi
hemoglobin. Kelebihan produksi dan destruksi RBC, menimbulkan tidak
adekuatnya sirkulasi hemoglobin. Kelebihan produksi dan destruksi RBC
menyebabkan bone marrow menjadi tipis dan mudah pecah atau rapuh (Sausan,
2020).
Penyebab anemia pada talasemia bersifat primer dan sekunder.
Penyebab primer adalah berkurangnya sintesis Hb A dan eritropoesis yang tidak
efektif disertai penghancuran sel-sel eritrosit intrameduler. Penyebab sekunder
adalah karena defisiensi asam folat, bertambahnya volume plasma
intravaskuler yang mengakibatkan hemodilusi, dan destruksi eritrosit oleh system
retikuloendotelial dalam limfa dan hati. Penelitian biomolekular menunjukkan
adanya mutasi DNA pada gen sehingga produksi rantai alfa atau beta dari
hemoglobin berkurang. Tejadinya hemosiderosis merupakan hasil kombinasi
antara transfusi berulang, peningkatan absorpsi besi dalam usus karena
eritropoesis yang tidak efektif, anemia kronis serta proses hemolysis (Sausan,
2020).
2. Pathway Klinik

Pernikahan penderita thalasemia carrier

keturunan thalasemia

Gangguan sintesis rantai globulin α dan β

Ketidakseimbangan pembentukan
Rantai α kurang terbentuk daripada
rantai globin α dan β
rantai β

Thalasemia β Thalasemia α
Gangguan pembentukan rantai globin α dan β

Pembentukan rantai globin α dan β

Penimbunan dan pengendapan rantai globin α dan β di dinding eritrosit

Tidak terbentuk HbA

Kerusakan dinding eritrosit

Hemolisis

Eritropoesis darah yang tidak efektif

Pembentukan Hb

Eritrosit hipokrom dan mikrositer

Anemia
Anemia

Pengikatan O2 menurun Kekentalan Hipoksia jaringan


darah
Aliran darah ke
organ vital dan Rangsangan Perfusi ke
jaringan Tahanan simpatik jaringan GIT
aliran darah
dan
O2dan nutrisi pembuluh
tidak ditranspor darah Kerja saluran <<O2 untuk
adekuat cerna metabolisme
saluran cerna

Pucat, akral
dingin, CRT > 3
detik Jumlah darah
kembali ke
jantung

Ketidakefektifan
perfusi jaringan Mortilitas
perifer usus

CO
Beban kerja Digesti dan
jantung absorbsi
makanan
Makanan
terganggutertahan
Payah jantung di lambung

Menekan organ
abdomen
Distensi
abdomen

Merangsang
hipotalamus

Persepsi
kenyang

Anoreksia
Intake nutrisi

BB
H. KOMPLIKASI
Ketidakseimbangan nutrisi:
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan thalassemia menurut Kemenkes (2019) adalah:
kurang dari kebutuhan
1. Kelainan Tulang
Tulang penderita thalasemia menjadi tipis dan rapuh (osteoporosis), sehingga penderita berisiko untuk mengalami patah
tulang. Kondisi ini terjadi akibat sumsum tulang bekerja keras dalam menghasilkan sel darah, sehingga rongga sumsum
tulang melebar.

2. Pembesaran Limpa
Kerusakan sel darah merah akibat thalasemia dapat menyebabkan limpa harus bekerja lebih keras untuk menghancurkan
sel darah yang rusak. Hal ini mengkibatkan organ limpa semakin membesar. Jika limpa membesar, bukan hanya sel darah
rusak yang akan dihancurkan, melainkan juga darah yang sehat dari pendonor.

3. Gangguan Jantung
Thalasemia yang parah juga dapat menimbulkan gangguan jantung, seperti gangguan irama jantung (aritmia) dan gagal
jantung.
4. Pertumbuhan Pada Anak Menjadi Terhambat
Thalasemia dapat menyebabkan pertumbuhan anak menjadi lambat. Selain itu, anak juga akan terlambat mengalami pubertas.

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis untuk Thalassemia terdapat dua yaitu secara screening test dan definitive test. Di daerah endemik, anemia
hipokrom mikrositik perlu diragui sebagai gangguan Thalassemia (Wiwanitkit, 2007).
1. Screening Test
a. Interpretasi apusan darah
Dengan apusan darah anemia mikrositik sering dapat dideteksi pada kebanyakkan Thalassemia kecuali
Thalassemia α silent carrier. Pemeriksaan apusan darah rutin dapat membawa kepada diagnosis Thalassemia tetapi
kurang berguna untuk skrining.

b. Pemeriksaan Osmotic Fragility (OF)


Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan fragiliti eritrosit. Secara dasarnya resistan eritrosit untuk lisis bila
konsentrasi natrium klorida dikurangkan dikira. Studi yang dilakukan menemui probabilitas formasi pori-pori pada
membran yang regang bervariasi mengikut order ini: Thalassemia < kontrol < spherositosis (Wiwanitkit, 2007). Studi OF
berkaitan kegunaan sebagai alat diagnostik telah dilakukan dan berdasarkan satu penelitian di Thailand, sensitivitinya
adalah 91.47%, spesifikasi 81.60, false positive rate 18.40% dan false negative rate 8.53% (Wiwanitkit,2007).
c. Indeks Eritrosit
Dengan bantuan alat indeks sel darah merah dapat dicari tetapi hanya dapat mendeteksi mikrositik dan
hipokrom serta kurang memberi nilai diagnostik. Maka metode matematika dibangunkan (Wiwanitkit, 2007).

d. Model Matematika
Membedakan anemia defisiensi besi dari Thalassemia β berdasarkan parameter jumlah eritrosit digunakan.
Beberapa rumus telah dipropose seperti 0.01 x MCH x (MCV)², RDW x MCH x (MCV)²/Hb x 100, MCV/RBC dan
MCH/RBC tetapi kebanyakkannya digunakan untuk membedakan anemia defisiensi besi dengan Thalassemia β
(Wiwanitkit, 2007).
Sekiranya Indeks Mentzer = MCV/RBC digunakan, nilai yang diperoleh sekiranya >13 cenderung ke arah
defisiensi besi sedangkan <13 mengarah ke Thalassemia trait. Pada penderita Thalassemia trait kadar MCV rendah,
eritrosit meningkat dan anemia tidak ada ataupun ringan. Pada anemia defisiensi besi pula MCV rendah, eritrosit
normal ke rendah dan anemia adalah gejala lanjut (Yazdani, 2011).

2. Definitive Test
a. Elektroforesis hemoglobin
Pemeriksaan ini dapat menentukan pelbagai jenis tipe hemoglobin di dalam darah. Pada dewasa konstitusi
normal hemoglobin adalah Hb A1 95-98%, Hb A2 2-3%, Hb F 0.8-2% (anak di bawah 6 bulan kadar ini tinggi
sedangkan neonatus bisa mencapai 80%). Nilai abnormal bisa digunakan untuk diagnosis Thalassemia seperti pada
Thalassemia minor Hb A2 4-5.8% atau Hb F 2-5%, Thalassemia Hb H: Hb A2 <2% dan Thalassemia mayor Hb F 10-
90%. Pada negara tropikal membangun, elektroporesis bisa juga mendeteksi Hb C, Hb S dan Hb J (Wiwanitkit, 2007).

b. Kromatografi Hemoglobin
Pada elektroforesis hemoglobin, HB A2 tidak terpisah baik dengan Hb C. Pemeriksaan menggunakan high
performance liquid chromatography (HPLC) pula membolehkan penghitungan aktual Hb A2 meskipun terdapat
kehadiran Hb C atau Hb E. Metode ini berguna untuk diagnosa Thalassemia β karena ia bisa mengidentifikasi
hemoglobin dan variannya serta menghitung konsentrasi dengan tepat terutama Hb F dan Hb A2 (Wiwanitkit,
2007).

c. Molecular Diagnosis
Pemeriksaan ini adalah gold standard dalam mendiagnosis Thalassemia. Molecular diagnosis bukan saja dapat
menentukan tipe Thalassemia malah dapat juga menentukan mutasi yang berlaku (Wiwanitkit, 2007).

J. PENATALAKSANAAN MEDIS
Pengobatan Thalasemia bergantung pada jenis dan tingkat keparahan dari gangguan. Seseorang pembawa atau yang
memiliki sifat alfa atau beta Thalasemia cenderung ringan atau tanpa gejala dan hanya membutuhkan sedikit atau tanpa
pengobatan. Terdapat tiga standar perawatan umum untuk Thalasemia tingkat menengah atau berat, yaitu transfusi darah,
terapi besi dan chelation, serta menggunakan suplemen asam folat. Selain itu, terdapat perawatan lainnya adalah dengan
transplantasi sum-sum tulang belakang, pendonoran darah tali pusat, dan HLA (Children's Hospital & Research Center Oakland,
2005).
1. Transfusi Darah
Transfusi yang dilakukan adalah transfusi sel darah merah. Terapi ini merupakan terapi utama bagi orang-orang yang
menderita Thalasemia sedang atau berat. Transfusi darah dilakukan melalui pembuluh vena dan memberikan sel darah merah
dengan hemoglobin normal. Untuk mempertahankan keadaan tersebut, transfusi darah harus dilakukan secara rutin karena
dalam waktu 120 hari sel darah merah akan mati. Khusus untuk penderita beta Thalasemia intermedia, transfusi darah hanya
dilakukan sesekali saja, tidak secara rutin. Sedangkan untuk beta Thalasemia mayor (Cooleys Anemia) harus dilakukan
secara teratur (Children's Hospital & Research Center Oakland, 2005). Terapi diberikan secara teratur untuk
mempertahankan kadar Hb di atas 10 g/dl (Arnis, 2016).

2. Terapi Khelasi Besi (Iron Chelation)


Hemoglobin dalam sel darah merah adalah zat besi yang kaya protein. Apabila melakukan transfusi darah secara teratur
dapat mengakibatkan penumpukan zat besi dalam darah. Kondisi ini dapat merusak hati, jantung, dan organ-organ
lainnya. Untuk mencegah kerusakan ini, terapi khelasi besi diperlukan untuk membuang kelebihan zat besi dari tubuh.
Terdapat dua obat-obatan yang digunakan dalam terapi khelasi besi menurut National Hearth Lung and Blood Institute
(2008) yaitu:
a) Deferoxamine
Deferoxamine adalah obat cair yang diberikan melalui bawah kulit secara perlahan-lahan dan biasanya dengan bantuan
pompa kecil yang digunakan dalam kurun waktu semalam. Terapi ini memakan waktu lama dan sedikit memberikan rasa
sakit. Efek samping dari pengobatan ini dapat menyebabkan kehilangan penglihatan dan pendengaran.
b) Deferasirox adalah pil yang dikonsumsi sekali sehari. Efek sampingnya adalah sakit kepala, mual, muntah, diare,
sakit sendi, dan kelelahan.

3. Suplemen Asam Folat Asam folat adalah vitamin B yang dapat membantu pembangunan sel-sel darah merah yang
sehat. Suplemen ini harus tetap diminum di samping melakukan transfusi darah ataupun terapi khelasi besi.
a) Transplantasi sum-sum tulang belakang Bone Marrow Transplantation (BMT) sejak tahun 1900 telah
dilakukan. Darah dan sumsum transplantasi sel induk normal akan menggantikan sel- sel induk yang rusak. Sel-sel
induk adalah sel- sel di dalam sumsum tulang yang membuat sel-sel darah merah. Transplantasi sel induk adalah
satu-satunya pengobatan yang dapat menyembuhkan Thalasemia. Namun, memiliki kendala karena hanya sejumlah kecil
orang yang dapat menemukan pasangan yang baik antara donor dan resipiennya (Okam, 2001).

b) Pendonoran darah tali pusat (Cord Blood) Cord


Cord blood adalah darah yang ada di dalam tali pusat dan plasenta. Seperti tulang sumsum, itu adalah sumber kaya
sel induk, bangunan blok dari sistem kekebalan tubuh manusia. Dibandingkan dengan pendonoran sumsum tulang, darah
tali pusat non-invasif, tidak nyeri, lebih murah dan relatif sederhana (Okam, 2001).
c) HLA (Human Leukocyte Antigens)
Human Leukocyte Antigens (HLA) adalah protein yang terdapat pada sel dipermukaan tubuh. Sistem kekebalan
tubuh kita mengenali sel kita sendiri sebagai 'diri' dan sel „asing' sebagai lawan didasarkan pada protein HLA ditampilkan
pada permukaan sel kita. Pada transplantasi sumsum tulang, HLA ini dapat mencegah terjadinya penolakan dari
tubuh serta Graft versus Host Disease (GVHD). HLA yang terbaik untuk mencegah penolakan adalah melakukan donor
secara genetik berhubungan dengan penerima (Okam, 2001).

K. PENATALAKSANAAN NON MEDIS

Pada dasarnya perawatan thalasemia sama dengan pasien anemia lainnya, yaitu memerlukan perawatan tersendiri
dan perhatian lebih Masalah pasien yang perlu diperhatikan adalah risiko terjadi komplikasi akibat tranfusi yang berulang-
ulang, gangguan rasa aman dan nyaman, kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit dan cemas orang tua terhadap
kondisi anak (Ngastiyah, 2005).
Menurut Suriadi (2006) tindakan keperawatan yang dapat dilakukan terhadap pasien dengan thalassemia di
antaranya membuat perfusi jaringan pasien menjadi adekuat kembali, mendukung anak tetap toleran terhadap aktivitasnya,
memenuhi kebutuhan nutrisi yang adekuat dan membuat keluarga dapat mengatasi masalah atau stress yang terjadi pada
keluarga. Selain tindakan keperawatan yang di atas tadi, perawat juga perlu menyiapkan klien untuk perencanaan pulang
seperti memberikan informasi tentang kebutuhan melakukan aktivitas sesuai dengan tingkat perkembangan dan kondisi fisik
anak, jelaskan terapi yang diberikan mengenai dosis dan efek samping, jelaskan perawatan yang diperlukan di rumah, tekankan
untuk melakukan control ulang sesuai waktu yang di tentukan (Suriadi, 2006).
L. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian merupakan langkah pertama dari proses keperawatan. Kegiatan
yang dilakukan pada saat pengkajian adalah mengumpulkan data, memvalidasi
data, megorganisasikan data dan mencatat yang diperoleh. Langkah ini merupakan
dasar untuk perumusan diagnose keperawatan dan mengembangkan rencana
keperawatan sesuai kebutuhan pasien serta melakukan implementasi keperawatan.
a. Asal Keturunan/Kewarganegaraan
Thalasemia banyak dijumpai pada bangsa disekitar laut tengah
(mediterania). Seperti turki, yunani, Cyprus, dll. Di Indonesia sendiri
thalassemia cukup banyak dijumpai pada anak, bahkan merupakan penyakit
darah yang paling banyak diderita.

b. Umur
Pada thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas, gejala tersebut telah
terlihat sejak anak berumur kurang dari 1 tahun. Sedangkan pada
thalasemia minor yanmbg gejalanya lebih ringan, biasanya anak baru datang
berobat pada umur sekitar 4-6 tahun.

c. Riwayat Kesehatan Anak


Anak cenderung mudah terkena infeksi saluran napas bagian atas infeksi
lainnya. Hal ini mudah dimengerti karena rendahnya Hb yang berfungsi sebagai
alat transport.

d. Pertumbuhan dan perkembangan


Sering didapatkan data mengenai adanya kecenderungan gangguan
terhadap tumbuh kembang sejak anak masih bayi, karena adanya pengaruh
hipoksia jaringan yang bersifat kronik. Hal ini terjadi terutama untuk thalassemia
mayor. Pertumbuhan fisik anak adalah kecil untuk umurnya dan ada
keterlambatan dalam kematangan seksual, seperti tidak ada pertumbuhan rambut
pubis dan ketiak. Kecerdasan anak juga dapat mengalami penurunan. Namun
pada jenis thalasemia minor sering terlihat pertumbuhan dan perkembangan
anak normal.

e. Pola Makan
Karena adanya anoreksia, anak sering mengalami susah makan, sehingga
berat badan anak sangat rendah dan tidak sesuai dengan usianya.

f. Pola Aktivitas
Anak terlihat lemah dan tidak selincah anak usianya. Anak banyak tidur
atau istirahat, karena bila beraktivitas seperti anak normal mudah merasa lelah.

g. Riwayat Kesehatan Keluarga


Karena merupakan penyakit keturunan, maka perlu dikaji apakah orang tua
yang menderita thalassemia. Apabila kedua orang tua menderita thalassemia, maka
anaknya berisiko menderita thalassemia mayor. Oleh karena itu, konseling
pranikah sebenarnya perlu dilakukan karena berfungsi untuk mengetahui adanya
penyakit yang mungkin disebabkan karena keturunan.

h. Riwayat ibu saat hamil (Ante Natal Core – ANC)


Selama Masa Kehamilan, hendaknya perlu dikaji secara mendalam adanya
faktor risiko thalassemia. Sering orang tua merasa bahwa dirinya sehat. Apabila
diduga faktor resiko, maka ibu perlu diberitahukan mengenai risiko yang
mungkin dialami oleh anaknya nanti setelah lahir. Untuk memestikan
diagnosis, maka ibu segera dirujuk ke dokter.

i. Data keadaan fisik anak thalassemia yang sering didapatkan


diantaranya adalah:
1) Keadaan umum: anak biasanya terlihat lemah dan kurang bergairah serta tidak
selincah aanak seusianya yang normal
2) Kepala dan bentuk muka.Anak yang belum/tidak mendapatkan pengobatan
mempunyai bentuk khas, yaitu kepala membesar dan bentuk mukanya
adalah mongoloid, yaitu hidung pesek tanpa pangkal hidung, jarak kedua
mata lebar, dan tulang dahi terlihat lebar
3) Mata dan konjungtiva terlihat pucat kekuningan
4) Mulut dan bibir terlihat pucat kehitaman
5) Dada: pada inspeksi terlihat bahwa dada sebelah kiri menonjol akibat adanya
pembesaran jantung yang disebabkan oleh anemia kronik
6) Perut, Kelihatan membuncit dan pada perabaan terdapat pembesaran limpa
dan hati ( hepatosplemagali)
7) Pertumbuhan fisiknya terlalu kecil untuk umurnya dan BB nya kurang dari
normal. Ukuran fisik anak terlihat lebih kecil bila dibandingkan dengan anak-
anak lain seusianya
8) Pertumbuhan organ seks sekunder untuk anak pada usia pubertas
Ada keterlambatan kematangan seksual, misalnya, tidak adanya
pertumbuhan rambut pada ketiak, pubis, atau kumis. Bahkan mungkin
anak tidak dapat mencapai tahap adolesense karena adanya anemia
kronik.
9) Kulit pucat kekuning- kuningan. Jika anak telah sering mendapat transfusi
darah, maka warna kulit menjadi kelabu seperti besi akibat adanya
penimbunan zat besi dalam jaringan kulit (hemosiderosis).
(Wiayaningsih, 2013)

2. Diagnosa Kperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respon klien
terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang
berlangsung actual maupun potensial. diagnosa keperawatan bertujuan untuk
mengidentifikasi respons klien individu, keluarga dan komunitas terhadap situasi
yang berkaitan dengan kesehatan. berikut adalah diagnose keperawatan yang muncul
pada pasien dengan Thalasemia menurut (Nurarif & Kusuma, 2016) dengan
menggunakan standar diagnosis keperawatan indonesia dalam (PPNI, 2017).
a. Pola nafas inefektif b.d ekspirasi dan isnpirasi inadekuat
b. Gangguan perfusi jaringan perifer b.d sirkulasi darah inadekuat ke seluruh tubuh
c. Intoleransi aktifitas b.d ketidakcukupan energy untuk memulai aktifitas
d. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake inadekuat

3. Rencana Asuhan Keperawatan


a. Diagnosa 1:
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pola nafas klien
membaik
Kriteria Hasil:
1) Frekuensi nafas membaik
2) Fungsi paru dalam batas normal
3) Tanda-tanda vital dalam batas normal
Intervensi:
1) Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya bernapas
Rasional: mengetahui ketidaknormalan system pernapasan pasien
2) Monitor pola nafas (seperti bradipnea, Takipnea, hiperventilasi,
kussmaul, cheyne-stokes, biot, ataksik)
Rasional: dengan menemukan adanya ketidaknormalan pada pernapasan
pasien diharapkan tindakan yang akan dilakukan tepat dan cepat
3) Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
Rasional: mengetahui adakah terjadinya edema paru atau ekspansi paru yang
abnormal
4) Auskultasi bunyi nafas
Rasional: mengetahui adakah bunyi napas tambahan
5) Monitor saturasi oksigen
Rasional: mengetahui status kadar oksigen dalam tubuh pasien
6) Posisikan semi fowler atau fowler
Rasional: membantu paru ekspansi lebih maksimal jika pasien dalam keadaan
sesak napas
7) Berikan oksigen jika perlu
Rasional: membantu kebutuhan oksigen dalam tubuh yang kurang dan
mengurangi kerja otot bantu pernapasan

b. Diagnosa 2:
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan toleransi aktivitas
meningkat
Kriteria Hasil:
1) Keluhan lelah menurun
2) Perasaan lemah menurun
3) Tenaga meningkat
Intervensi:
1) Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan lelah
Rasional: mengetahui bagian tubuh yang mana yang mengalami kelelahan
2) Kaji kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas, catat kelelahan dan
kesulitan dalam beraktivitas
Rasional: untuk mengetahui program aktifitas yang dapat dilakukan pasien
3) Monitor kelelahan fisik dan emosional
Rasional: mengetahui apakah pasien mengalami stress selama menjalani
program aktifitas bertahap
4) Catat respon terhadap tingkat aktivitas terapeutik
Rasional: sebagai dokumentasi
5) Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus
Rasional: membuat pasien rileks dan nyaman
6) Berikan aktivitas distraksi yang menyenangkan
Rasional: membuat pasien nyaman
7) Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat berpidah atau berjalan
Rasional: membantu pasien yang hanya mampu beraktifitas di atas tempat
tidur
8) Libatkan keluarga dalam aktvitas, jika perlu
Rasional: membuat pasien merasa diperhatikan oleh keluarga terdekat
9) Anjurkan tirah baring
Rasional: mengurangi penggunaan energy yang berlebihan
10) Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
Rasional: aktifitas yang bertahap membuat pasien yang intoleransi aktifitas
dapat beradapytasi secara perlahan
11) Pilih periode istirahat dengan periode aktivitas
Rasional: mengistirahatkan tubuh pasien yang mengalami kelelahan akibat
aktifitas yng dipilih

c. Diagnosa 3:
Tujuan: setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan perfusi perifer
meningkat
Kriteria hasil:
1) Warna Kulit pucat menurun
2) Pengisian kapiler membaik
3) Akral hangat
4) Turgor kulit membaik
Intervensi:
1) Periksa sirkulasi perifer (nadi perifer, edema, pengisian kapiler, warna,
suhu, anklebrachial index)
Rasional: mengetahui apakah oksigen dalam tubuh dapat teraliri ke ujung
perifer
2) Monitor panas, kemerahan, nyeri, atau bengkak pada extermitas
Rasional: mengetahui adakah factor penyebab oksigen tidak sampai ke
esktremitas pasien
3) Observasi adanya keterlambatan respon verbal, kebingungan atau gelisah
Rasional: sebagai gejala awal kekurangan asupan oksigen ke otak
4) Hindari pemakaian benda-benda yang berlebihan suhunya (terlalu panas
atau dingin)
Rasional: pasien mengalami hipertermia atau hipotermia mengalami konsumsi
oksigen yang berlebih
5) Anjurkan mengecek suhu air mandi untuk menghindari kulit terbakar
Rasional: mencegah kerusakan jaringan perifer
6) Anjurkan perawatan kulit yang tepat (melembabkan kulit kering pada kaki)
Rasional: menjaga sensibilitas jaringan perifer

d. Diagnosa 4
Tujuan: setelah diberikan tindakan asuhan keperawatan status nutrisi pasien
adekuat dan seimbang.
Kriteria hasil:
1) Nafsu makan anak meningkat
2) Pasien mengungkapkan keinginan untuk mengkonsumsi makanan
3) BB mengalami peningkatan
Intervensi:
1) Kaji BB pasien
Rasional: mengetahui apakah BB pasien dalam batas normal
2) Kaji apakah ada riwayat alergi makanan
Rasional: menghindari terjadinya reaksi alergi saat ingin memberikan
makanan
3) Diskusikan dengan keluarga pasien tentang makanan yang disukai pasien
Rasional: meningkatkan nafsu makan pasien jika pasien makan makanan yang
disukainya
4) Anjurkan keluarga memberi makanan sedikit tapi sering
Rasional: mengurangi pengosongan lambung berlebih agar tidak terjadi
peningkatan asam lambung yang bias menyebabkan pasien mual, muntah dan
tidak nafsu makan
5) Kolaborasi dengan ahli gizi
Rasional: sebagai penentuan gizi yang seimbang pada pasien
6) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian vitamin maupun cairan nutrisi
parenteral
Rasional: membantu memenuhi asupan nutrisi pasien
4. Evaluasi
a. Pasien mengungkapkan nafas tidak terasa sesak, frekuensi nafas membaik, fungsi
paru dalam batas normal, tanda-tanda vital dalam batas normal.
b. Pasien mengungkapkan tidak mengalami kelelahan yang berarti, mampu
intoleransi terhadap aktifitas yang diberikan.
c. Kulit mulai berwarna kemerahan, akral teraba hangat, pengisian CRT < 3 detik.
d. Keluarga pasien mengungkapkan pasien mau makan sedikit-sedikit, BB dalam
batas normal.
(PPNI, 2017)

Anda mungkin juga menyukai