TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI FISIOLOGI
1. Anatomi Darah
2) Granulosit
Disebut juga leukosit granular terdiri dari:
a) Neutrofil (polimorfonuklear leukosit) banyaknya mencapai 50% -60%.
Struktur: neutrofil memiliki granula kecil berwarna merah muda dalam
sitoplasmanya dan banyak bintik-bintik halus atau glandula.
Nukleusnya memiliki tiga sampai lima lobus yang terhubungkan
dengan benang kromatin tipis. Diametrnya mencapain9 µm -12 µm.
b) Eusinofil mencapai 1-3% jumlah sel darah putih
Struktur: memiliki granula sitoplasma yang kasar dan besar, dengan
pewarnaan oranye kemerahan. Sel ini memiliki nukleus berlobus dua,
dan berdiameter 12µm-15µm.
Fungsi: merupakan fagositik lemah, jumlahnya akan menigkat saat
terjadi alergi atau penyakit parasit, tetapi akan berkurang selama sters
berkepanjangan. Sel ini berfungsi dalam detoksifikasi hestamin yang
diproduksi sel mast dan jaringan yang cedera saat inflamasi
berlangsung.
c) Basofil mencapai kurang dari 1% jumlah leukosit
Struktur: memiliki sejumlah granula sitoplasma besar yang bentuknya
tidak beraturan dan akan berwarna keunguan sampai hitam serta
memperlihatkan nukleus berbentuk S dan diameternya 12µm-15µm.
Fungsi: basofil menyerupai sel mast. Sel ini mengandung histamin
mungkin untuk menigkatkan aliran darah ke jaringan yang cedera dan
juga antiglukagon heparin mungkin untuk membantu mencegah
penggumpalan darah intravaskuler, fungsi sebenarnya belum diketahui.
(Nugrahaeni, 2014)
d. Plasma Darah
Bagian cairan darah yang membentuk sekitar 5% dari berat badan,
merupakan media sirkulasi elemen-elemen darah yang membentuk sel darah
merah, sel darah putih, dan sel pembeku darah juga sebagai media transportasi
bahan organik dan anorganik dari suatu jaringan atau organ. Plasma darah
adalah bagian darah yang cair. Plasma darah tersusun dari 91,5% air dan 8,5%
zat-zat terlarut. Dalam plasma darah terlarut molekul-molekul dan berbagai
ion, yang meliputi glukosa sebagai sumber utama energi untuk sel-sel tubuh
dan asam-asam amino. Ion-ion yang banyak terdapat dalam plasma darah
adalah natrium (Na+) dan klor (Cl-). Ion-ion dan molekul tersebut akan
diedarkan ke seluruh tubuh atau berfungsi untuk membentuk peredaran zat-zat
lainnya. Kira-kira 7% plasma darah terdiri dari molekul-molekul protein, yaitu
serum albumin 4%; serum globulin 2,7%; dan fibrinogen 0,3% (Devi, 2015).
Berikut adalah jenis-jenis plasma darah:
1) Serum adalah cairan darah yang tidak mengandung fibrinogen (komponen
untuk proses pembekuan darah). Serum berfungsi sebagai penghasil zat
antibodi yang dapat membunuh bakteri atau benda asing yang masuk ke
dalam tubuh kita.
2) Albumin adalah protein plasma yang terbanyak ,tetapi ukurannya paling
kecil. Albumin disintesis di hati dan bertanggung jawab untuk tekanan
osmotik koloid darah.
3) Globulin membentuk sekitar 30% protein plasma. Ada dua globulin yaitu
alfa dan beta globulin dan gamma globulin. Berfungsi untuk membentuk
zat antibody
4) Fibrinogen disintesis di hati dan merupakan komponen asensial dalam
mekanisme pembekuan darah.
Protein plasma juga berperan sebagai antibodi. Antibodi merupakan
protein yang dapat mengenali dan mengikat antigen tertentu. Sedangkan
antigen merupakan molekul (protein) asing yang memacu pembentukan
antibodi. Antibodi terebntuk jika ada antigen yang masuk ke dalam tubuh.
Antibodi ini berasal dari globulin dalam sel-sel plasma. Antibodi bekerja
melalui dua cara yang berbeda untuk mempertahankan tubuh terhadap
penyebab penyakit, yaitu dengan menyerang langsung penyebab penyakit
tersebut, atau dengan mengaktifkan sistem komplemen yang kemudian akan
merusak penyebab penyakit tersebut. Antibodi dapat melemahkan penyebab
penyakit dengan cara sebagai berikut:
1) Aglutinasi: terbentuknya gumpalan-gumpalan yang terdiri dari struktur
besar berupa antigen pada permukaannya, misalnya bekteri atau sel darah
merah.
2) Presipitasi: terbentuknya molekul yang besar antara antigen yang larut,
misalnya racun tetanus dengan sehingga berubah menjadi tidak larut dan
akan mengendap
3) Netralisasi: antibodi yang bersifat antigenik akan menutupi tempat-tempat
yang toksik dari agen penyebab penyakit
4) Lisis: beberapa antibodi yang bersifat antigenik yang sangat kuat kadamg-
kadang mampu langsung menyerang membran sel agen penyebab penyakit
sehingga menyebabkan sel-sel tersebut rusak.
Pada penyakit ginjal plasma albumin turun sehingga terdapat kebocoran
albumin yang besar melalui glomerulus ginjal. Hampir 90% dari plasma darah
terdiri dari air, di samping itu terdapat pula zat-zat lain yang terlarut di
dalamnya (Devi, 2015).
2. Fisiologi Darah
a. Sebagai alat pengangkut yaitu:
1) Mengambil oksigen atau zat pembakaran dari paru-paru untuk diedarkan
keseluruh jaringan tubuh
2) Mengangkut karbon dioksida dari jaringan untuk dikeluarkan melalui
paru-paru
3) Mengambil zat-zat makanan dari usus halus untuk diedarkan dan
dibagikan ke seluruh jaringan atau alat tubuh
4) Mengangkat atau mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna bagi tubuh
untuk dikeluarkan melalui ginjal dan kulit.
5) Mengedarkan hormon;hormon untuk membantu proses fisiologis
b. Sebagai pertahanan tubuh terhadap serangan penyakit dan racun dalam tubuh
dengan perantaraan leukosit dan antibody atau zat–zat anti racun
c. Menyebarkan panas keseluruh tubuh
d. Menjaga keseetimbangan asam basa jaringan tubuh untuk menghindari
kerusakan
(Devi, 2015).
B. DEFINISI
Thalasemia merupakan suatu sindrom kelainan darah yang diwariskan
(inherited) dan merupakan kelompok penyakit hemoglobinopati, yaitu kelainan yang
disebabkan oleh gangguan sintesis hemoglobin akibat mutasi di dalam atau dekat gen
globin. Kelainan hemoglobin pada penderita thalasemia akan menyebabkan eritrosit
mudah mengalami destruksi, sehingga usia sel-sel darah merah menjadi lebih pendek
dari normal yaitu berusia 120 hari (Marnis, Indriati, & Nauli, 2018).
Thalasemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan ditandai oleh
defisiensi produk rantai globulin pada hemoglobin (Suriadi, 2010). Penyakit
thalasemia merupakan salah satu penyakit genetik tersering di dunia. Penyakit genetic
ini diakibatkan oleh ketidakmampuan sumsum tulang membentuk protein yang
dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin (Potts & Mandleco, 2007). Hemoglobin
merupakan protein kaya zat besi yang berada di dalam sel darah merah yang
berfungsi untuk mengangkut oksigen dari paru-paru keseluruh bagian tubuh
(McPhee & Ganong, 2010) dalam (Rosnia Safitri, Juniar Ernawaty, 2015).
C. ETIOLOGI
Thalassemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan
secara resesif. ditandai oleh defisiensi produksi globin pada hemoglobin. Dimana
terjadi kerusakan sel darah merah di dalam pembuluh darah sehingga umur
sel darah merah menjadi pendek (kurang dari 100 hari). Kerusakan tersebut karena
hemoglobin yang tidak normal (hemoglobinopatia). Sebagian besar penderita
thalassemia terjadi karena factor turunan genetik pada sintesis hemoglobin yang
diturunkan oleh orang tua (Suriadi, 2006).
Sementara menurut Ngastiyah (2006) Penyebab kerusakan tersebut karena
hemoglobin yang tidak normal (hemoglobinopatia) dan kelainan hemoglobin ini
karena adanya gangguan pembentukan yang disebabkan oleh gangguan struktural
pembentukan hemoglobin (hemoglobin abnormal) misalnya pada HbS, HbF, HbD
dan sebagainya, selain itu gangguan jumlah (salah satu/beberapa) rantai globin seperti
pada thalassemia.
Ketidakseimbangan dalam rantai protein globin alfa dan beta, yang diperlukan
dalam pembentukan hemoglobin, disebabkan oleh sebuah gen cacat yang diturunkan.
Untuk menderita penyakit ini, seseorang harus memiliki 2 gen dari kedua orang
tuanya. Jika hanya 1 gen yang diturunkan, maka orang tersebut hanya menjadi
pembawa tetapi tidak menunjukkan gejala-gejala dari penyakit ini.
D. KLAFIKASI
Klasifikasi dari penyakit thalassemia menurut Suriadi (2006) yaitu:
1. Thalassemia Alfa
Thalassemia alfa merupakan jenis thalassemia yang mengalami penurunan
sintesis dalam rantai alfa.
2. Thalassemia beta
Thalassemia beta merupakan jenis thalassemia yang mengalami penurunan
pada rantai beta. Sedangkan berdasarkan jumlah gen yang mengalami gangguan,
Hockenberry & Wilson (2009) mengklasifikasikan thalasemia menjadi:
a) Thalasemia minor
Thalasemia minor merupakan keadaan yang terjadi pada seseorang yang
sehat namun orang tersebut dapat mewariskan gen Thalasemia pada
anak-anaknya. Thalasemia trait sudah ada sejak lahir dan tetap akan ada
sepanjang hidup penderita. Penderita tidak memerlukan transfusi darah dalam
hidupnya.
b) Thalasemia intermedia
Thalasemia intermedia merupakan kondisi antara thalasemia mayor
dan minor. Penderita thalasemia ini mungkin memerlukan transfusi darah
secara berkala, dan penderita Thalasemia jenis ini dapat bertahan hidup
sampai dewasa.
c) Thalasemia mayor
Thalasemia jenis ini sering disebut Cooley Anemia dan terjadi apabila kedua
orangtua mempunyai sifat pembawa Thalasemia (Carrier). Anak-anak
dengan Thalasemia mayor tampak normal saat lahir, tetapi akan menderita
kekurangan darah pada usia 3-18 bulan. Penderita Thalasemia mayor akan
memerlukan transfusi darah secara berkala seumur hidupnya dan dapat
meningkatkan usia hidup hingga 10-20 tahun. Namun apabila penderita tidak
dirawat penderita Thalasemia ini hanya bertahan hidup sampai 5-6 tahun
(Potts & Mandleco, 2007). (Bakta, 2003; Permono, dkk, 2006;
Hockenberry & Wilson, 2009). Thalasemia mayor biasanya menjadi
bergejala sebagai anemia hemolitik kronis yang progresif selama 6 bulan
kehidupan. Transfusi darah reguler diperlukan pada penderita ini untuk
mencegah kelemahan yang amat dan gagal jantung yang disebabkan oleh
anemia (Nelson, 2000) dalam (Putri, 2015).
E. EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan data WHO (2019) terdapat sekitar 7% populasi dunia sebagai
pembawa sifat thalasemia dengan kematian sekitar 50.000-100.000 anak dimana 80%
nya terjadi di negara berkembang. Indonesia merupakan negara yang berada dalam
sabuk thalasemia dengan prevalensi kejadian thalasemia mencapai sekitar 3,8% dari
seluruh populasi. Berdasarkan data dari Yayasan Thalasemia Indonesia, terjadi
peningkatan kasus thalasemia yang terus menerus sejak tahun 2012 (4896) hingga
tahun 2018 (8761) (Kemenkes, 2019).
Menurut Riskesdas 2018, 8 provinsi dengan prevalensi lebih tinggi dari
prevalensi nasional, antara lain Provinsi Aceh (13,4), DKI Jakara (12,3), Sumatera
Selatan (5,4), Gorontalo (3,1), Kepulauan Riau (3,0), Nusa Tenggara Barat (2,6),
Maluku (1,9), dan Papua Barat (2,2). Berdasarkan data YTI dan POPTI tahun 2014,
dari hasil skrining pada masyarakat umum dari tahun 2008-2017, didapatkan
pembawa sifat sebanyak 699 orang (5,8%) dari 12.038 orang yang diperiksa,
sedangkan hasil skrining pada keluarga thalasemia (ring 1) tahun 2009-2017
didapatkan sebanyak 1.184 orang (28,61%) dari 4.137 orang. Sedangkan
berdasarkan data RSCM, sampai dengan bulan Oktober 2016 terdapat 9.131 pasien
thalassemia yang terdaftar di seluruh Indonesia (Riskesdas, 2018).
Menurut data Kemenkes RI tahun 2016 angka kejadian kasus thalassemia pada
anak di Kalimantan ditemukan bahwa Provinsi Kalimantan Barat memiliki angka
kejadian kasus tertinggi sebanyak 116 kasus, Provinsi Kalimantan Timur ditemukan
76 kasus, Provinsi Kalimantan Selatan ditemukan 48 kasus sedangkan Provinsi
Kalimantan Selatan ditemukan jumlah kasus thalassemia sebanyak 13 kasus dan
banyak terjadi pada anak usia < 15 tahun (4.710 kasus).
F. MANIFESTASI KLINIS
Pada beberapa kasus Thalassemia dapat ditemukan gejala-gejala seperti badan
lemah, mudah lelah, pucat, kulit kekuningan (jaundice), urin gelap, cepat lelah,
denyut jantung meningkat, tulang wajah abnormal dan pertumbuhan terhambat serta
permukaan perut yang membuncit dengan pembesaran hati dan limpa (Kemenkes,
2019).
Pasien Thalassemia mayor umumnya menunjukkan gejala-gejala fisik
berupa hambatan pertumbuhan, anak menjadi kurus, perut membuncit akibat
hepatosplenomegali dengan wajah yang khas, frontal bossing, mulut tongos
(rodent like mouth), bibir agak tertarik, dan maloklusi gigi. Perubahan ini terjadi
akibat sumsum tulang yang terlalu aktif bekerja untuk menghasilkan sel darah
merah, pada Thalassemia bisa menyebabkan penebalan dan pembesaran tulang
terutama tulang kepala dan wajah, selain itu anak akan mengalami pertumbuhan
yang terhambat. Akibat dari anemia kronis dan transfusi berulang, maka pasien
akan mengalami kelebihan zat besi yang kemudian akan tertimbun di setiap organ,
terutama otot jantung, hati, kelenjar pankreas, dan kelenjar pembentuk hormon
lainnya, yang dikemudian hari akan menimbulkan komplikasi. Perubahan tulang
yang paling sering terlihat terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah. Kepala
pasien Thalassemia mayor menjadi besar dengan penonjolan pada tulang frontal
dan pelebaran diploe (spons tulang) tulang tengkorak hingga beberapa kali lebih
besar dari orang normal (Kemenkes, 2019).
G. PATOFISIOLOGI
1. Narasi
Kelebihan pada rantai alpha ditemukan pada beta thalasemia dan kelebihan
rantai beta dan gama ditemukan pada alpha thalasemia. Kelebihan rantai
polipeptida ini mengalami presippitasi dalam sel eritrosit. Globin intra eritrosik
yang mengalami presipitasi, yang terjadi sebagai rantai polipeptida alpa dan beta,
atau terdiri dari hemoglobin tak stabil- badan Heinz, merusak sampul eritrosit
dan menyebabkan hemolisis. Reduksi dalam hemoglobin menstimulasi bone
marrow memproduksi RBC yang lebih. Dalam stimulasi yang konstan pada
bone marrow, produksi RBC secara terus-menerus pada suatu dasar kronik, dan
dengan cepatnya destruksi RBC, menimbulkan tidak adekuatnya sirkulasi
hemoglobin. Kelebihan produksi dan destruksi RBC, menimbulkan tidak
adekuatnya sirkulasi hemoglobin. Kelebihan produksi dan destruksi RBC
menyebabkan bone marrow menjadi tipis dan mudah pecah atau rapuh (Sausan,
2020).
Penyebab anemia pada talasemia bersifat primer dan sekunder.
Penyebab primer adalah berkurangnya sintesis Hb A dan eritropoesis yang tidak
efektif disertai penghancuran sel-sel eritrosit intrameduler. Penyebab sekunder
adalah karena defisiensi asam folat, bertambahnya volume plasma
intravaskuler yang mengakibatkan hemodilusi, dan destruksi eritrosit oleh system
retikuloendotelial dalam limfa dan hati. Penelitian biomolekular menunjukkan
adanya mutasi DNA pada gen sehingga produksi rantai alfa atau beta dari
hemoglobin berkurang. Tejadinya hemosiderosis merupakan hasil kombinasi
antara transfusi berulang, peningkatan absorpsi besi dalam usus karena
eritropoesis yang tidak efektif, anemia kronis serta proses hemolysis (Sausan,
2020).
2. Pathway Klinik
keturunan thalasemia
Ketidakseimbangan pembentukan
Rantai α kurang terbentuk daripada
rantai globin α dan β
rantai β
Thalasemia β Thalasemia α
Gangguan pembentukan rantai globin α dan β
Hemolisis
Pembentukan Hb
Anemia
Anemia
Pucat, akral
dingin, CRT > 3
detik Jumlah darah
kembali ke
jantung
Ketidakefektifan
perfusi jaringan Mortilitas
perifer usus
CO
Beban kerja Digesti dan
jantung absorbsi
makanan
Makanan
terganggutertahan
Payah jantung di lambung
Menekan organ
abdomen
Distensi
abdomen
Merangsang
hipotalamus
Persepsi
kenyang
Anoreksia
Intake nutrisi
BB
H. KOMPLIKASI
Ketidakseimbangan nutrisi:
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan thalassemia menurut Kemenkes (2019) adalah:
kurang dari kebutuhan
1. Kelainan Tulang
Tulang penderita thalasemia menjadi tipis dan rapuh (osteoporosis), sehingga penderita berisiko untuk mengalami patah
tulang. Kondisi ini terjadi akibat sumsum tulang bekerja keras dalam menghasilkan sel darah, sehingga rongga sumsum
tulang melebar.
2. Pembesaran Limpa
Kerusakan sel darah merah akibat thalasemia dapat menyebabkan limpa harus bekerja lebih keras untuk menghancurkan
sel darah yang rusak. Hal ini mengkibatkan organ limpa semakin membesar. Jika limpa membesar, bukan hanya sel darah
rusak yang akan dihancurkan, melainkan juga darah yang sehat dari pendonor.
3. Gangguan Jantung
Thalasemia yang parah juga dapat menimbulkan gangguan jantung, seperti gangguan irama jantung (aritmia) dan gagal
jantung.
4. Pertumbuhan Pada Anak Menjadi Terhambat
Thalasemia dapat menyebabkan pertumbuhan anak menjadi lambat. Selain itu, anak juga akan terlambat mengalami pubertas.
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis untuk Thalassemia terdapat dua yaitu secara screening test dan definitive test. Di daerah endemik, anemia
hipokrom mikrositik perlu diragui sebagai gangguan Thalassemia (Wiwanitkit, 2007).
1. Screening Test
a. Interpretasi apusan darah
Dengan apusan darah anemia mikrositik sering dapat dideteksi pada kebanyakkan Thalassemia kecuali
Thalassemia α silent carrier. Pemeriksaan apusan darah rutin dapat membawa kepada diagnosis Thalassemia tetapi
kurang berguna untuk skrining.
d. Model Matematika
Membedakan anemia defisiensi besi dari Thalassemia β berdasarkan parameter jumlah eritrosit digunakan.
Beberapa rumus telah dipropose seperti 0.01 x MCH x (MCV)², RDW x MCH x (MCV)²/Hb x 100, MCV/RBC dan
MCH/RBC tetapi kebanyakkannya digunakan untuk membedakan anemia defisiensi besi dengan Thalassemia β
(Wiwanitkit, 2007).
Sekiranya Indeks Mentzer = MCV/RBC digunakan, nilai yang diperoleh sekiranya >13 cenderung ke arah
defisiensi besi sedangkan <13 mengarah ke Thalassemia trait. Pada penderita Thalassemia trait kadar MCV rendah,
eritrosit meningkat dan anemia tidak ada ataupun ringan. Pada anemia defisiensi besi pula MCV rendah, eritrosit
normal ke rendah dan anemia adalah gejala lanjut (Yazdani, 2011).
2. Definitive Test
a. Elektroforesis hemoglobin
Pemeriksaan ini dapat menentukan pelbagai jenis tipe hemoglobin di dalam darah. Pada dewasa konstitusi
normal hemoglobin adalah Hb A1 95-98%, Hb A2 2-3%, Hb F 0.8-2% (anak di bawah 6 bulan kadar ini tinggi
sedangkan neonatus bisa mencapai 80%). Nilai abnormal bisa digunakan untuk diagnosis Thalassemia seperti pada
Thalassemia minor Hb A2 4-5.8% atau Hb F 2-5%, Thalassemia Hb H: Hb A2 <2% dan Thalassemia mayor Hb F 10-
90%. Pada negara tropikal membangun, elektroporesis bisa juga mendeteksi Hb C, Hb S dan Hb J (Wiwanitkit, 2007).
b. Kromatografi Hemoglobin
Pada elektroforesis hemoglobin, HB A2 tidak terpisah baik dengan Hb C. Pemeriksaan menggunakan high
performance liquid chromatography (HPLC) pula membolehkan penghitungan aktual Hb A2 meskipun terdapat
kehadiran Hb C atau Hb E. Metode ini berguna untuk diagnosa Thalassemia β karena ia bisa mengidentifikasi
hemoglobin dan variannya serta menghitung konsentrasi dengan tepat terutama Hb F dan Hb A2 (Wiwanitkit,
2007).
c. Molecular Diagnosis
Pemeriksaan ini adalah gold standard dalam mendiagnosis Thalassemia. Molecular diagnosis bukan saja dapat
menentukan tipe Thalassemia malah dapat juga menentukan mutasi yang berlaku (Wiwanitkit, 2007).
J. PENATALAKSANAAN MEDIS
Pengobatan Thalasemia bergantung pada jenis dan tingkat keparahan dari gangguan. Seseorang pembawa atau yang
memiliki sifat alfa atau beta Thalasemia cenderung ringan atau tanpa gejala dan hanya membutuhkan sedikit atau tanpa
pengobatan. Terdapat tiga standar perawatan umum untuk Thalasemia tingkat menengah atau berat, yaitu transfusi darah,
terapi besi dan chelation, serta menggunakan suplemen asam folat. Selain itu, terdapat perawatan lainnya adalah dengan
transplantasi sum-sum tulang belakang, pendonoran darah tali pusat, dan HLA (Children's Hospital & Research Center Oakland,
2005).
1. Transfusi Darah
Transfusi yang dilakukan adalah transfusi sel darah merah. Terapi ini merupakan terapi utama bagi orang-orang yang
menderita Thalasemia sedang atau berat. Transfusi darah dilakukan melalui pembuluh vena dan memberikan sel darah merah
dengan hemoglobin normal. Untuk mempertahankan keadaan tersebut, transfusi darah harus dilakukan secara rutin karena
dalam waktu 120 hari sel darah merah akan mati. Khusus untuk penderita beta Thalasemia intermedia, transfusi darah hanya
dilakukan sesekali saja, tidak secara rutin. Sedangkan untuk beta Thalasemia mayor (Cooleys Anemia) harus dilakukan
secara teratur (Children's Hospital & Research Center Oakland, 2005). Terapi diberikan secara teratur untuk
mempertahankan kadar Hb di atas 10 g/dl (Arnis, 2016).
3. Suplemen Asam Folat Asam folat adalah vitamin B yang dapat membantu pembangunan sel-sel darah merah yang
sehat. Suplemen ini harus tetap diminum di samping melakukan transfusi darah ataupun terapi khelasi besi.
a) Transplantasi sum-sum tulang belakang Bone Marrow Transplantation (BMT) sejak tahun 1900 telah
dilakukan. Darah dan sumsum transplantasi sel induk normal akan menggantikan sel- sel induk yang rusak. Sel-sel
induk adalah sel- sel di dalam sumsum tulang yang membuat sel-sel darah merah. Transplantasi sel induk adalah
satu-satunya pengobatan yang dapat menyembuhkan Thalasemia. Namun, memiliki kendala karena hanya sejumlah kecil
orang yang dapat menemukan pasangan yang baik antara donor dan resipiennya (Okam, 2001).
Pada dasarnya perawatan thalasemia sama dengan pasien anemia lainnya, yaitu memerlukan perawatan tersendiri
dan perhatian lebih Masalah pasien yang perlu diperhatikan adalah risiko terjadi komplikasi akibat tranfusi yang berulang-
ulang, gangguan rasa aman dan nyaman, kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit dan cemas orang tua terhadap
kondisi anak (Ngastiyah, 2005).
Menurut Suriadi (2006) tindakan keperawatan yang dapat dilakukan terhadap pasien dengan thalassemia di
antaranya membuat perfusi jaringan pasien menjadi adekuat kembali, mendukung anak tetap toleran terhadap aktivitasnya,
memenuhi kebutuhan nutrisi yang adekuat dan membuat keluarga dapat mengatasi masalah atau stress yang terjadi pada
keluarga. Selain tindakan keperawatan yang di atas tadi, perawat juga perlu menyiapkan klien untuk perencanaan pulang
seperti memberikan informasi tentang kebutuhan melakukan aktivitas sesuai dengan tingkat perkembangan dan kondisi fisik
anak, jelaskan terapi yang diberikan mengenai dosis dan efek samping, jelaskan perawatan yang diperlukan di rumah, tekankan
untuk melakukan control ulang sesuai waktu yang di tentukan (Suriadi, 2006).
L. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian merupakan langkah pertama dari proses keperawatan. Kegiatan
yang dilakukan pada saat pengkajian adalah mengumpulkan data, memvalidasi
data, megorganisasikan data dan mencatat yang diperoleh. Langkah ini merupakan
dasar untuk perumusan diagnose keperawatan dan mengembangkan rencana
keperawatan sesuai kebutuhan pasien serta melakukan implementasi keperawatan.
a. Asal Keturunan/Kewarganegaraan
Thalasemia banyak dijumpai pada bangsa disekitar laut tengah
(mediterania). Seperti turki, yunani, Cyprus, dll. Di Indonesia sendiri
thalassemia cukup banyak dijumpai pada anak, bahkan merupakan penyakit
darah yang paling banyak diderita.
b. Umur
Pada thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas, gejala tersebut telah
terlihat sejak anak berumur kurang dari 1 tahun. Sedangkan pada
thalasemia minor yanmbg gejalanya lebih ringan, biasanya anak baru datang
berobat pada umur sekitar 4-6 tahun.
e. Pola Makan
Karena adanya anoreksia, anak sering mengalami susah makan, sehingga
berat badan anak sangat rendah dan tidak sesuai dengan usianya.
f. Pola Aktivitas
Anak terlihat lemah dan tidak selincah anak usianya. Anak banyak tidur
atau istirahat, karena bila beraktivitas seperti anak normal mudah merasa lelah.
2. Diagnosa Kperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respon klien
terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang
berlangsung actual maupun potensial. diagnosa keperawatan bertujuan untuk
mengidentifikasi respons klien individu, keluarga dan komunitas terhadap situasi
yang berkaitan dengan kesehatan. berikut adalah diagnose keperawatan yang muncul
pada pasien dengan Thalasemia menurut (Nurarif & Kusuma, 2016) dengan
menggunakan standar diagnosis keperawatan indonesia dalam (PPNI, 2017).
a. Pola nafas inefektif b.d ekspirasi dan isnpirasi inadekuat
b. Gangguan perfusi jaringan perifer b.d sirkulasi darah inadekuat ke seluruh tubuh
c. Intoleransi aktifitas b.d ketidakcukupan energy untuk memulai aktifitas
d. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake inadekuat
b. Diagnosa 2:
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan toleransi aktivitas
meningkat
Kriteria Hasil:
1) Keluhan lelah menurun
2) Perasaan lemah menurun
3) Tenaga meningkat
Intervensi:
1) Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan lelah
Rasional: mengetahui bagian tubuh yang mana yang mengalami kelelahan
2) Kaji kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas, catat kelelahan dan
kesulitan dalam beraktivitas
Rasional: untuk mengetahui program aktifitas yang dapat dilakukan pasien
3) Monitor kelelahan fisik dan emosional
Rasional: mengetahui apakah pasien mengalami stress selama menjalani
program aktifitas bertahap
4) Catat respon terhadap tingkat aktivitas terapeutik
Rasional: sebagai dokumentasi
5) Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus
Rasional: membuat pasien rileks dan nyaman
6) Berikan aktivitas distraksi yang menyenangkan
Rasional: membuat pasien nyaman
7) Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat berpidah atau berjalan
Rasional: membantu pasien yang hanya mampu beraktifitas di atas tempat
tidur
8) Libatkan keluarga dalam aktvitas, jika perlu
Rasional: membuat pasien merasa diperhatikan oleh keluarga terdekat
9) Anjurkan tirah baring
Rasional: mengurangi penggunaan energy yang berlebihan
10) Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
Rasional: aktifitas yang bertahap membuat pasien yang intoleransi aktifitas
dapat beradapytasi secara perlahan
11) Pilih periode istirahat dengan periode aktivitas
Rasional: mengistirahatkan tubuh pasien yang mengalami kelelahan akibat
aktifitas yng dipilih
c. Diagnosa 3:
Tujuan: setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan perfusi perifer
meningkat
Kriteria hasil:
1) Warna Kulit pucat menurun
2) Pengisian kapiler membaik
3) Akral hangat
4) Turgor kulit membaik
Intervensi:
1) Periksa sirkulasi perifer (nadi perifer, edema, pengisian kapiler, warna,
suhu, anklebrachial index)
Rasional: mengetahui apakah oksigen dalam tubuh dapat teraliri ke ujung
perifer
2) Monitor panas, kemerahan, nyeri, atau bengkak pada extermitas
Rasional: mengetahui adakah factor penyebab oksigen tidak sampai ke
esktremitas pasien
3) Observasi adanya keterlambatan respon verbal, kebingungan atau gelisah
Rasional: sebagai gejala awal kekurangan asupan oksigen ke otak
4) Hindari pemakaian benda-benda yang berlebihan suhunya (terlalu panas
atau dingin)
Rasional: pasien mengalami hipertermia atau hipotermia mengalami konsumsi
oksigen yang berlebih
5) Anjurkan mengecek suhu air mandi untuk menghindari kulit terbakar
Rasional: mencegah kerusakan jaringan perifer
6) Anjurkan perawatan kulit yang tepat (melembabkan kulit kering pada kaki)
Rasional: menjaga sensibilitas jaringan perifer
d. Diagnosa 4
Tujuan: setelah diberikan tindakan asuhan keperawatan status nutrisi pasien
adekuat dan seimbang.
Kriteria hasil:
1) Nafsu makan anak meningkat
2) Pasien mengungkapkan keinginan untuk mengkonsumsi makanan
3) BB mengalami peningkatan
Intervensi:
1) Kaji BB pasien
Rasional: mengetahui apakah BB pasien dalam batas normal
2) Kaji apakah ada riwayat alergi makanan
Rasional: menghindari terjadinya reaksi alergi saat ingin memberikan
makanan
3) Diskusikan dengan keluarga pasien tentang makanan yang disukai pasien
Rasional: meningkatkan nafsu makan pasien jika pasien makan makanan yang
disukainya
4) Anjurkan keluarga memberi makanan sedikit tapi sering
Rasional: mengurangi pengosongan lambung berlebih agar tidak terjadi
peningkatan asam lambung yang bias menyebabkan pasien mual, muntah dan
tidak nafsu makan
5) Kolaborasi dengan ahli gizi
Rasional: sebagai penentuan gizi yang seimbang pada pasien
6) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian vitamin maupun cairan nutrisi
parenteral
Rasional: membantu memenuhi asupan nutrisi pasien
4. Evaluasi
a. Pasien mengungkapkan nafas tidak terasa sesak, frekuensi nafas membaik, fungsi
paru dalam batas normal, tanda-tanda vital dalam batas normal.
b. Pasien mengungkapkan tidak mengalami kelelahan yang berarti, mampu
intoleransi terhadap aktifitas yang diberikan.
c. Kulit mulai berwarna kemerahan, akral teraba hangat, pengisian CRT < 3 detik.
d. Keluarga pasien mengungkapkan pasien mau makan sedikit-sedikit, BB dalam
batas normal.
(PPNI, 2017)