ANEMIA
A. Pengertian
Anemia didefinisikan sebagai penurunan volume eritrosit atau kadar
Hb sampai di bawah rentang nilai yang berlaku untuk orang sehat. Anemia
adalah gejala dari kondisi yang mendasari, seperti kehilangan komponen
darah, elemen tidak adekuat atau kurang nutrisi yang dibutuhkan untuk
pembentukan sel darah, yang mengakibatkan penurunan kapasitas
pengangkut oksigen darah dan ada banyak tipe anemia dengan beragam
penyebabnya. (Marilyn E, Doenges, Jakarta, 2002)
Anemia adalah istilah yang menunjukkan rendahnya hitung sel darah
merah dan kadar hemoglobin dan hematokrit di bawah normal. Anemia
bukan merupakan penyakit, melainkan merupakan pencerminan keadaan
suatu penyakit atau gangguan fungsi tubuh. Secara fisiologis, anemia terjadi
apabila terdapat kekurangan jumlah hemoglobin untuk mengangkut
okesigen ke jaringan (Smeltzer & Bare, 2002).
Anemia adalah berkurangnya kadar Hb dalam darah sehingga terjadi
gangguan perfusi O2 ke jaringan tubuh. Disebut gravis yang artinya berat
dan nilai Hb di bawah 7 g/dl sehingga memerlukan tambahan umumnya
melalui transfusi. Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai
normal sel darah merah, kualitas hemoglobin dan volume packed red bloods
cells (hematokrit) per 100 ml darah (Price, 2006).
B. Anatomi Fisiologi
Kandungan yang ada di dalam darah :
1. Air : 91%
2. Protein : 3% (albumin, globulin, protombin, dan fibrinigen)
3. Mineral : 0,9% (natrium klorida, natrium bikarbonat, garam
fosfat, magnesium, kalsium dan zat besi.
4. Bahan Organik : 0,1% (glukosa, lemakasam urat, keratinin, kolesterol,
dan asam amino)
Fungsi Darah :
1. Sebagai alat pengangkut, yaitu :
a. Mengambil oksigen / zat pembakaran dari paru-paru untuk diedarkan
keseluruh jaringan tubuh.
b. Mengangkut karbon dioksida dari jaringan untuk dikeluarkan melalui
paru-paru.
c. Mengambil zat-zat makanan dari usus halus untuk diedarkan dan
dibagikan keseluruh jaringan / alat tubuh.
d. Mengangkat / mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna bagi tubuh
untuk dikeluarkan melalui ginjal dan kulit.
e. Mengedarkan hormon yaitu hormon untuk membantu proses
fisiologis.
2. Sebagai pertahanan tubuh terhadap serangan penyakit dan racun dalam
tubuh dengan perantaraan leukosit dan antibodi / zat-zat anti racun.
3. Menyebarkan panas keseluruh tubuh.
4. Menjaga kesetimbangan asam basa jaringan tubuh untuk menghindari
kerusakan.
C. Penyebab
Penyebab anemia pada dewasa terbagi menjadi dua, yakni :
1. Kehilangan sel darah merah
a. Perdarahan
Perdarahan dapat diakibatkan berbagai penyebab diantaranya adalah
trauma, ulkus, keganasan, hemoroid, perdarahan pervaginam, dan
lain-lain.
b. Hemolisis yang berlebihan
Penghancuran sel darah merah dalam sirkulasi dikenal sebagai
hemolisis, terjadi jika gangguan pada sel darah merah itu sendiri
memperpendek siklus hidupnya (kelainan intrinsik) atau perubahan
lingkungan yang menyebabkan penghancuran sel darah merah
(kelainan ekstrinsik). Sel darah merah mengalami kelainan pada
keadaan :
1) Hemoglobinopati atau hemoglobin abnormal yang diwariskan,
contohnya adalah pada penderita penyakit sel sabit (sickle cell
anemia)
2) Gangguan sintesis globin, contohnya pada penderita thalasemia
3) Kelainan membrane sel darah merah, contohnya pada sferositosis
herediter dan eliptositosis
4) Difisiensi enzim, seperti defisiensi glukosa 6-fosfat
dehidrogenase (G6PD) dan defisiensi piruvat kinase
2. Kekurangan zat gizi seperti Fe, asam folat, dan vitamin B12.
(Price, 2006).
D. Manifestasi klinik
1. Lemah, letih, lesu dan lelah
2. Sering mengeluh pusing dan mata berkunang-kunang
3. Gejala lanjut berupa kelopak mata, bibir, lidah, kulit dan telapak tangan
menjadi pucat. Pucat oleh karena kekurangan volume darah dan Hb,
vasokontriksi
4. Takikardi dan bising jantung (peningkatan kecepatan aliran darah)
Angina (sakit dada)
5. Dispnea, nafas pendek, cepat capek saat aktifitas (pengiriman O2
berkurang)
6. Sakit kepala, kelemahan, tinitus (telinga berdengung) menggambarkan
berkurangnya oksigenasi pada SSP
E. Patofisiologi
Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sumsum
tulang atau kehilangan sel darah merah berlebihan atau keduanya.
Kegagalan sumsum tulang dapat terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan
toksik, invasi tumor atau kebanyakan akibat penyebab yang tidak diketahui.
Sel darah merah dapat hilang melalui perdarahan atau hemolisis (destruksi)
pada kasus yang disebut terakhir, masalah dapat akibat efek sel darah merah
yang tidak sesuai dengan ketahanan sel darah merah normal atau akibat
beberapa factor diluar sel darah merah yang menyebabkan destruksi sel
darah merah.
Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam system
fagositik atau dalam sistem retikuloendotelial terutama dalam hati dan
limpa. Sebagai hasil samping proses ini bilirubin yang sedang terbentuk
dalam fagosit akan masuk dalam aliran darah. Setiap kenaikan destruksi sel
darah merah (hemolisis) segera direfleksikan dengan meningkatkan bilirubin
plasma (konsentrasi normalnya 1 mg/dl atau kurang kadar 1,5 mg/dl
mengakibatkan ikterik pada sclera.
Apabila sel darah merah mengalami penghancuran dalam sirkulasi,
seperti yang terjadi pada berbagai kelainan hemolitik, maka hemoglobin
akan muncul dalam plasma (hemoglobinemia). Apabila konsentrasi
plasmanya melebihi kapasitas haptoglobin plasma (protein pengikat
hemoglobin bebas) untuk mengikat semuanya (mis., apabila jumlahnya lebih
dari sekitar 100 mg/dL), hemoglobin akan terdifusi dalam glomerulus ginjal
dan ke dalam urin (hemoglobinuria). Jadi ada atau tidak adanya
hemoglobinemia dan hemoglobinuria dapat memberikan informasi
mengenai lokasi penghancuran sel darah merah abnormal pada pasien
dengan hemolisis dan dapat merupakan petunjuk untuk mengetahui sifat
hemolitik tersebut. (Sjaifoellah, 1998).
F. Patways
G. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Guillermo dan Arguelles (Riswan, 2003) pemeriksaan yang dapat
dilakukan untuk memperkuat penegakkan diagnosa anemia antara lain:
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Hemoglobin
Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu
ukuran kuantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi setelah
anemia berkembang. Pada pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat
dilakukan dengan menggunakan alat sederhana seperti Hb sachli.
b. Penentuan Indeks Eritrosit Penentuan indeks eritrosit secara tidak
langsung dengan flowcytometri atau menggunakan rumus:
1) Mean Corpusculer Volume (MCV)
MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun
apabila kekurangan zat besi semakin parah, dan pada saat anemia
mulai berkembang. MCV merupakan indikator kekurangan zat
besi yang spesiflk setelah thalasemia dan anemia penyakit kronis
disingkirkan. Dihitung dengan membagi hematokrit dengan
angka sel darah merah. Nilai normal 70-100 fl, mikrositik < 70 fl
dan makrositik > 100 fl.
2) Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH)
MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah
merah. Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan angka sel
darah merah. Nilai normal 27-31 pg, mikrositik hipokrom < 27
pg dan makrositik > 31 pg.
3) Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC)
MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata.
Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai
normal 30-35% dan hipokrom < 30%.
4) Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer
Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara manual.
Pemeriksaan menggunakan pembesaran 100 kali dengan
memperhatikan ukuran, bentuk inti, sitoplasma sel darah merah.
Dengan menggunakan flowcytometry hapusan darah dapat
dilihat pada kolom morfology flag.
5) Luas Distribusi Sel Darah Merah (Red Distribution Wide =
RDW)
Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah
merah yang masih relatif baru, dipakai secara kombinasi dengan
parameter lainnya untuk membuat klasifikasi anemia. RDW
merupakan variasi dalam ukuran sel merah untuk mendeteksi
tingkat anisositosis yang tidak kentara. Kenaikan nilai RDW
merupakan manifestasi hematologi paling awal dari kekurangan
zat besi, serta lebih peka dari besi serum, jenuh transferin,
ataupun serum feritin. MCV rendah bersama dengan naiknya
RDW adalah pertanda meyakinkan dari kekurangan zat besi, dan
apabila disertai dengan eritrosit protoporphirin dianggap menjadi
diagnostik. Nilai normal 15 %.
6) Eritrosit Protoporfirin (EP)
EP diukur dengan memakai haematofluorometer yang hanya
membutuhkan beberapa tetes darah dan pengalaman tekniknya
tidak terlalu dibutuhkan. EP naik pada tahap lanjut kekurangan
besi eritropoesis, naik secara perlahan setelah serangan
kekurangan besi terjadi. Keuntungan EP adalah stabilitasnya
dalam individu, sedangkan besi serum dan jenuh transferin rentan
terhadap variasi individu yang luas. EP secara luas dipakai dalam
survei populasi walaupun dalam praktik klinis masih jarang.
7) Besi Serum (Serum Iron = SI)
Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta
menurun setelah cadangan besi habis sebelum tingkat
hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi serum karena variasi diurnal
yang luas dan spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang
rendah ditemukan setelah kehilangan darah maupun donor, pada
kehamilan, infeksi kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan
malignansi. Besi serum dipakai kombinasi dengan parameter
lain, dan bukan ukuran mutlak status besi yang spesifik.
8) Serum Transferin (Tf)
Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersama -
sama dengan besi serum. Serum transferin dapat meningkat pada
kekurangan besi dan dapat menurun secara keliru pada
peradangan akut, infeksi kronis, penyakit ginjal dan keganasan.
9) Transferrin Saturation (Jenuh Transferin)
Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan
mengikat besi, merupakan indikator yang paling akurat dari
suplai besi ke sumsum tulang. Penurunan jenuh transferin
dibawah 10% merupakan indeks kekurangan suplai besi yang
meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit. Jenuh transferin
dapat menurun pada penyakit peradangan. Jenuh transferin
umumnya dipakai pada studi populasi yang disertai dengan
indikator status besi lainnya. Tingkat jenuh transferin yang
menurun dan serum feritin sering dipakai untuk mengartikan
kekurangan zat besi. Jenuh transferin dapat diukur dengan
perhitungan rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi
total (TIBC), yaitu jumlah besi yang bisa diikat secara khusus
oleh plasma.
10) Serum Feritin
Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif
untuk menentukan cadangan besi orang sehat. Serum feritin
secara luas dipakai dalam praktek klinik dan pengamatan
populasi. Serum feritin < 12 ug/l sangat spesifik untuk
kekurangan zat besi, yang berarti kehabisan semua cadangan
besi, sehingga dapat dianggap sebagai diagnostik untuk
kekurangan zat besi. Rendahnya serum feritin menunjukan
serangan awal kekurangan zat besi, tetapi tidak menunjukkan
beratnya kekurangan zat besi karena variabilitasnya sangat tinggi.
Penafsiran yang benar dari serum feritin terletak pada pemakaian
range referensi yang tepat dan spesifik untuk usia dan jenis
kelamin. Konsentrasi serum feritin cenderung lebih rendah pada
wanita dari pria, yang menunjukan cadangan besi lebih rendah
pada wanita. Serum feritin pria meningkat pada dekade kedua,
dan tetap stabil atau naik secara lambat sampai usia 65 tahun.
Pada wanita tetap saja rendah sampai usia 45 tahun, dan mulai
meningkat sampai sama seperti pria yang berusia 60-70 tahun,
keadaan ini mencerminkan penghentian mensturasi dan
melahirkan anak. Pada wanita hamil serum feritin jatuh secara
dramatis dibawah 20 ug/ l selama trimester II dan III bahkan
pada wanita yang mendapatkan suplemen zat besi. Serum feritin
adalah reaktan fase akut, dapat juga meningkat pada inflamasi
kronis, infeksi, keganasan, penyakit hati, alkohol. Serum feritin
diukur dengan mudah memakai Essay immunoradiometris
(IRMA), Radioimmunoassay (RIA), atau Essay immunoabsorben
(Elisa).
2. Pemeriksaan Sumsum Tulang
Masih dianggap sebagai standar emas untuk penilaian cadangan besi,
walaupun mempunyai beberapa keterbatasan. Pemeriksaan histologis
sumsum tulang dilakukan untuk menilai jumlah hemosiderin dalam sel-
sel retikulum. Tanda karakteristik dari kekurangan zat besi adalah tidak
ada besi retikuler. Keterbatasan metode ini seperti sifat subjektifnya
sehingga tergantung keahlian pemeriksa, jumlah struma sumsum yang
memadai dan teknik yang dipergunakan. Pengujian sumsum tulang
adalah suatu teknik invasif, sehingga sedikit dipakai untuk mengevaluasi
cadangan besi dalam populasi umum.
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan anemia ditujukan untuk mencari penyebab dan mengganti
darah yang hilang:
1. Anemia aplastik:
a. Transplantasi sumsum tulang
b. Pemberian terapi imunosupresif dengan globolin antitimosit(ATG)
2. Anemia pada penyakit ginjal
a. Pada paien dialisis harus ditangani denganpemberian besi dan asam
folat
b. Ketersediaan eritropoetin rekombinan
3. Anemia pada penyakit kronik
Kebanyakan pasien tidak menunjukkan gejala dan tidak memerlukan
penanganan untuk aneminya, dengan keberhasilan penanganan kelainan
yang mendasarinya, besi sumsum tulang dipergunakan untuk membuat
darah, sehingga Hb meningkat.
4. Anemia pada defisiensi besi
a. Dicari penyebab defisiensi besi
b. Menggunakan preparat besi oral: sulfat feros, glukonat ferosus dan
fumarat ferosus.
5. Anemia megaloblastik
a. Defisiensi vitamin B12 ditangani dengan pemberian vitamin B12,
bila difisiensi disebabkan oleh defekabsorbsi atau tidak tersedianya
faktor intrinsik dapat diberikan vitamin B12 dengan injeksi IM.
b. Untuk mencegah kekambuhan anemia terapi vitamin B12 harus
diteruskan selama hidup pasien yang menderita anemia pernisiosa
atau malabsorbsi yang tidak dapat dikoreksi.
c. Anemia defisiensi asam folat penanganannya dengan diet dan
penambahan asam folat 1 mg/hari, secara IM pada pasien dengan
gangguan absorbsi.
I. Focus pengkajian keperawatan
1. Identitas Klien
2. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Dahulu
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
3. Pmeriksaan Fisik
a. Kardiologi
- Kardiomegali , Hepatomegali
- Edema perifer
- Takikardi, palpitasi,
b. Pernafasan
Takipnea, orthopnea, dispnea.
c. Sirkulasi
- TD: peningkatan sistolik dengan diastolic stabil & tekanan nadi
melebar, hipotensi postural.
- Bunyi jantung murmur sistolik (DB)
- Ekstremitas: pucat pada kulit, dasar kuku, dan membrane
mukosa,
- Sclera biru atau putih seperti mutiara.
- Pengisisan darah kapiler melambat
- Kuku mudah patah dan berbentuk seperti sendok (koilonika)
(DB)
- Rambut kering, mudah putus, menipis, tumbuh uban secara
premature
d. Gastrointestinal
- Diare, muntah,
- glositis (peradanagan lidah)
- melena/ hematemesis
e. Neurologi
- Parastesia
- Ataksia
- Koordinasi buruk
- Bingung
f. Integuman
- Mukosa pucat,kering
- Kulit kering
Faktor-faktor yang
berhubungan :
Ketidakmampuan
pemasukan atau
mencerna makanan
atau mengabsorpsi zat-
zat gizi berhubungan
dengan faktor
biologis, psikologis
atau ekonomi.
3 Defisit perawatan diri Setelah dilakukan tindakan Self Care assistane : ADLs
b/d kelemahan fisik keperawatan selama ………. 1. Monitor kemempuan klien
Definisi : jamkebutuhan mandiri klien untuk perawatan diri yang
Gangguan terpenuhidengan kriteria mandiri.
kemampuan untuk 1. Klien terbebas dari bau 2. Monitor kebutuhan klien untuk
melakukan ADL pada badan alat-alat bantu untuk
diri 2. Menyatakan kenyamanan kebersihan diri, berpakaian,
Batasan karakteristik: terhadap kemampuan untuk berhias, toileting dan makan
- ketidakmampuan melakukan ADLs 3. Sediakan bantuan sampai klien
untuk mandi 3. Dapat melakukan ADLS mampu secara utuh untuk
- ketidakmampuan dengan bantuan melakukan self-care.
untuk berpakaian 4. Dorong klien untuk melakukan
- ketidakmampuan aktivitas sehari-hari yang
untuk makan normal sesuai kemampuan
- ketidakmampuan yang dimiliki.
untuk toileting 5. Dorong untuk melakukan
secara mandiri, tapi beri
Faktor yang bantuan ketika klien tidak
berhubungan : mampu melakukannya.
kelemahan, kerusakan 6. Ajarkan klien/ keluarga untuk
kognitif atau mendorong kemandirian, untuk
perceptual, kerusakan memberikan bantuan hanya
neuromuskular/ otot- jika pasien tidak mampu untuk
otot saraf melakukannya.
7. Berikan aktivitas rutin sehari-
hari sesuai kemampuan.
8. Pertimbangkan usia klien jika
mendorong pelaksanaan
aktivitas sehari-hari.
Maas, Morhead, Jhonson dan Swanson. 2013. Nursing Out Comes (NOC),Edition
5. United States Of America: Mosby Elseveir Acadamic Press.
Smeltzer, dkk. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth Edisi 8 Vol 2. alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica
Ester, Yasmin asih. Jakarta: EGC.