Anda di halaman 1dari 121

UNIVERSITAS INDONESIA

ENZIM

MAKALAH BIOKIMIA

Disusun oleh:
ANISSA DAMAIYANTI (1906397720)
NUR AULIA (1906289193)
SAFIRA DIVA ARANIS (1906349356)
MIKAYLA YAZMINE THWAYYA (1906289161)

PROGRAM STUDI SARJANA GIZI


DEPARTEMEN GIZI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan karena kami telah menyelesaikan makalah
kelompok kami, Enzim. Ucapan terima kasih kami untuk fasilitator kami Prof. Dr. Dra.
R. T. Ayu Dewi Sartika Apt., M.Sc. yang telah memberikan ilmu dan membimbing kami
dalam menjalani perkuliahan Biokimia dan menyusun makalah ini. Tak lupa kami
ucapkan kepada seluruh teman - teman yang telah membagi ilmunya sehingga kami
dapat menyusun makalah dengan sebaik - baik yang kami bisa.
Semoga makalah ini dapat diterima dan menjadi ilmu yang bermanfaat bagi
pembaca. Dengan sepenuh hati kami terima kritik dan saran demi makalah kami yang
mungkin banyak kesalahan didalamnya. Sekian dan terima kasih.

Depok, 1 Desember 2020

Kelompok Enzim

2
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 3

BAB 1 PEMBAHASAN 4
1.1 Definisi Enzim 4
1.2 Penggolongan Enzim 4
1.3 Karakteristik dan Sifat Enzim 11
1.4 Fungsi dan Peran dalam Tubuh 21
1.4.2 Koenzim 22
1.4.3 Apoenzim 34
1.4.4 Holoenzim 34
1.5 Mekanisme Kerja Enzim pada Proses Biokimia Zat Gizi Makro
dan Mikro 35
1.6 Dampak Kekurangan Enzim Bagi Metabolisme Zat Gizi 42

DAFTAR PUSTAKA 109

3
Universitas Indonesia
BAB 1
PEMBAHASAN

1.1 Definisi Enzim


Enzim adalah protein yang didistribusikan ke seluruh kompartemen
seluler (Gropper, et.al, 2012). Enzim adalah biomolekul yang mengkatalisis
reaksi kimia (Seager and Slabaugh, 2014). Enzim tidak mempengaruhi
konstanta kesetimbangan suatu reaksi dan tidak dapat menyebabkan
perubahan kimiawi yang sebaliknya tidak menguntungkan. Enzim bekerja
hanya untuk menurunkan energi aktivasi pada suatu reaksi, sehingga membuat
reaksi berlangsung lebih cepat (McMurry, 2015).

1.2 Penggolongan Enzim


a. Perkembangan Nama Enzim
Beberapa enzim yang paling awal ditemukan diberi nama yang
diakhiri dengan -in untuk menunjukkan komposisi proteinnya. Misalnya,
tiga dari enzim pencernaan yang mengkatalisis hidrolisis protein
bernama pepsin, tripsin, dan kimotripsin. Sejumlah besar enzim yang
sekarang dikenal dengan sistem tata nama sistematis yang dikenal
sebagai Enzymes Commission (EC). Enzim dikelompokkan menjadi enam
kelas utama berdasarkan reaksi yang dikatalisis:

4
Tabel 1.2.1 Klasifikasi Enzim

Sumber: McMurry, J,. 2015. Organic Chemistry. 9 th ed. Belmont CA: Cengage Learning

Dalam sistem EC, setiap enzim memiliki nama sistematis yang tidak
ambigu (dan seringkali panjang) yang menentukan substrat (zat yang bekerja),
gugus fungsi yang bekerja, dan jenis reaksi yang dikatalisis. Semua nama EC
diakhiri dengan -ase. Contohnya adalah hidrolisis urea:

Gambar 1.2.1 Nomenklatur Hidrolisis Urea


Sumber: Seager, S., and Slabaugh, M., 2014. Chemistry for Today: General,
Organic, and Biochemistry. 8th ed. Belmont, CA: Cengage Learning.

Enzim juga diberi nama umum, yang biasanya lebih pendek dan lebih
nyaman. Nama umum diturunkan dengan menambahkan -ase ke substrat atau
kombinasi nama substrat dan jenis reaksi. Misalnya, urea amidohydrolase
diberi nama umum urease, yaitu dengan substrat urea dan ditambahkan -ase,
sehingga nama umumnya menjadi urease.
5
Universitas Indonesia
b. Klasifikasi Enzim
Enzim diklasifikasikan menjadi enam kategori tergantung pada
jenis reaksi yang dikatalisisnya, seperti yang ditunjukkan pada Tabel
1.2.1 . Enzim berpartisipasi dalam reaksi seluler yang berada di seluruh
sel, baik dalam matriks sitoplasma dan di berbagai organel. Lokasi enzim
tertentu bergantung pada lokasi jalur metabolisme atau reaksi
metabolik di mana enzim tersebut berpartisipasi. Oleh karena itu,
klasifikasi enzim didasarkan pada jenis reaksi yang dikatalis oleh
berbagai enzim (Gropper, et.al, 2012). Enam klasifikasi enzim tersebut,
antara lain:
1. Oksidoreduktase
Oksidoreduktase adalah enzim yang mengkatalisis reaksi oksidasi
dan reduksi. Oksidoreduktase dapat berupa dehidrogenase,
reduktase, oksidase, peroksidase, hidroksilase, dan oksigenase.
Laktat dehidrogenase adalah contoh enzim dehidrogenase yang
bekerja terhadap asam laktat sebagai substrat. Enzim yang bekerja
pada reaksi yang ditunjukan Gambar 1.2.2 adalah enzim laktat
dehidrogenase. Di sini laktat adalah donor hidrogen, sedangkan
senyawa yang menerima hidrogen adalah nicotinamide adenine
dinucleotide (NAD+). Gambar 1.2.2. menunjukkan partisipasi NAD+
dalam oksidasi laktat oleh enzim laktat dehidrogenase (LDH). Seperti
kofaktor lainnya, NAD+ ditulis secara terpisah dari enzim sehingga
perubahan strukturnya dapat terlihat dan untuk menekankan bahwa
enzim dan kofaktor mudah dipisahkan.

Gambar 1.2.2 Laktat Dehidrogenase


Sumber: Seager, S., and Slabaugh, M., 2014. Chemistry for Today: General,
Organic, and Biochemistry. 8th ed. Belmont, CA: Cengage Learning.

6
Dari reaksi tersebut dapat terlihat bahwa koenzim NAD+ sangat
penting karena ia adalah agen pengoksidasi yang sebenarnya. NAD+
adalah tipikal koenzim yang sering membantu transfer gugus kimia dari
satu senyawa ke senyawa lainnya. Dalam Gambar 1.2.2 NAD+ menerima
hidrogen dari laktat dan akan mentransfernya ke senyawa lain dalam
reaksi selanjutnya (Seager and Slabaugh, 2014).
Reduktase glutationin adalah contoh enzim reduktase yang
bekerja terhadap GSSG sebagai substrat. GSSG mengalami oksidasi yang
dimana glutationin reduktase merupakan pereduktor yang melepaskan
elektronnya sehingga terbentuklah 2GSH.

Gambar 1.2.3 Glutationin Reduktase


Gropper, S. S., Smith, J. L., 2013. Advanced Nutrition and Human Metabolism. 6th Ed.
Wadsworth: Cengage Learning.

2. Transferase
Transferase adalah enzim yang mengkatalisis reaksi yang tidak
melibatkan oksidasi dan reduksi di mana gugus fungsi dipindahkan
dari satu substrat ke substrat lainnya. Yang termasuk dalam
kelompok enzim ini adalah transketolase, kinase, transaldolase,
transmetilase, dan transaminase. Transaminase (transferase α-
amino), yang sangat menonjol dalam metabolisme protein, terletak
terutama di matriks mitokondria. Misalnya pada reaksi aspartat dan
glutamat pada Gambar 1.2.4 yang memindahkan gugus amino
menjadi gugus karbonil oleh senyawa yang direaksikan. Contohnya
aspartat direaksikan dengan piruvat menghasilkan oksaloasetat dan
7
Universitas Indonesia
alanin, sedangkan glutamat direaksikan dengan piruvat menghasilkan
alfa ketoglutarat dan alanin (Murray, R., et.al, 2009).

Gambar 1.2.4 Enzim Transaminase


Sumber: Murray, R., et al., 2009. Harper’s Illustrated Biochemistry. 28th Ed. New York: McGraw-Hill
Companies, Inc.

Enzim Kinase adalah enzim yang mengkatalisis transfer gugus


fosforil terminal ATP ke gugus hidroksil serin, treonin, atau tirosin,
membentuk residu O-fosfoseril, O-fosfothreonil, atau O-fosfotirosilm
(Gambar 1.2.5) (Murray, R., et.al, 2009).

Gambar 1.2.5 Enzim Kinase


Sumber: Murray, R., et al., 2009. Harper’s Illustrated Biochemistry. 28th Ed. New York: McGraw-
Hill Companies, Inc.

3. Hidrolase
Hidrolase adalah enzim yang mengkatalisis pemutusan ikatan antara
atom karbon dan atom jenis lain dengan menambahkan air. Contoh dari
ikatannya adalah C´C, C´O, C´N, dan ikatan kovalen lainnya. Yang termasuk
8
dalam kelompok enzim hidrolase yaitu esterase, amilase, peptidase, dan
fosfatase. Enzim pencernaan termasuk dalam klasifikasi ini.
Glukosa 6-fosfat adalah contoh enzim hidrolase dimana enzim ini
menambahkan air pada glukosa 6-fosfat sehingga terbentuklah glukosa.
proses ini merupakan bagian dari proses glikogenesis dan glikogenolisis di
hati.

Gambar 1.2.6 Glukosa 6-fosfatase


Sumber: Murray, R., et al., 2009. Harper’s Illustrated Biochemistry. 28th Ed. New York: McGraw-
Hill Companies, Inc.

4. Liase
Liase adalah enzim yang mengkatalisis pemecahan karbon-karbon,
karbon-sulfur, dan ikatan karbon-nitrogen tertentu dan ikatan kovalen
lainnya dengan eliminasi atom, menghasilkan ikatan rangkap tanpa hidrolisis
atau oksidasi-reduksi. Yang termasuk dalam kelompok enzim liase adalah
dekarboksilase, aldolase, sintase, deaminase, siklase nukleotida, hidrase atau
hidratase, dan dehidratase.

Gambar 1.2.7 Enzim Piruvat Dekarboksilase


Sumber: Biochem. 2007. Glycolysis, Gluconeogenesis and The Pentose Pathway. [online]
Available at: www.biochem.arizona.edu/.../462b/glycolysis.html

9
Universitas Indonesia
Piruvat dekarboksilase adalah enzim yang bekerja pada reaksi
dekarboksilasi asam piruvat dan menghasilkan asetaldehid. Enzim ini
mengkatalisis reaksi dekarboksilasi dimana terjadi pelepasan gugus karboksil
dengan adanya enzim ini.
5. Isomerase
Isomerase yang enzim yang mengkatalisis perubahan geometris atau
struktural dalam molekul. Isomerase mencangkup isomerase, rasemase,
epimerase, dan mutase. Isomerase fosfoheksosa, yang mengubah glukosa-6-
fosfat menjadi fruktosa-6-fosfat dalam glikolisis, reaksi ini terjadi di dalam
sitoplasma.

Gambar 1.2.8 Fosfoheksosa Isomerase


Sumber: Murray, R., et al., 2009. Harper’s Illustrated Biochemistry. 28th Ed. New York: McGraw-
Hill Companies, Inc.

6. Ligase
Ligase adalah enzim yang mengkatalisis pembentukan ikatan antara
karbon dan berbagai atom lain, termasuk oksigen, sulfur, dan nitrogen.
Pembentukan ikatan yang dikatalisis oleh ligase membutuhkan energi yang
biasanya disediakan oleh hidrolisis ATP. Contoh ligase adalah asetil-KoA
karboksilase, yang diperlukan untuk memulai sintesis asam lemak dalam
sitoplasma. Melalui aksi karboksilase asetil-KoA, ion bikarbonat (HCO3-)
dilekatkan pada asetil-KoA untuk membentuk malonil-KoA, senyawa awal
dalam memulai sintesis asam lemak (Grooper, et.al, 2013).

10
Gambar 1.2.9 Asetil-KoA Karboksilase
Sumber: Murray, R., et al., 2009. Harper’s Illustrated Biochemistry. 28th Ed. New York: McGraw-
Hill Companies, Inc.

1.3 Karakteristik dan Sifat Enzim


A. Katalis Yang Efektif
Enzim adalah katalis sejati yang mempercepat reaksi kimia dengan
menurunkan energi aktivasi (Gambar 1.3.1) dan memungkinkan reaksi
mencapai kesetimbangan lebih cepat. Katalis meningkatkan laju reaksi kimia
tetapi tidak digunakan dalam proses tersebut. Meskipun katalis benar-benar
berpartisipasi dalam reaksi kimia, katalis tidak terus-menerus dimodifikasi dan
dapat digunakan berulang kali.

Gambar 1.3.1 Diagram Energi Untuk Reaksi Saat Tidak Dikatalisis dan
Dikatalisis
Sumber: Seager, S., and Slabaugh, M., 2014. Chemistry for Today: General, Organic, and
Biochemistry. 8th ed. Belmont, CA: Cengage Learning.

Kondisi laboratorium tidak dapat menyamai apa yang terjadi ketika


reaksi ini dilakukan di dalam tubuh; enzim menyebabkan reaksi tersebut
berlangsung di bawah kondisi pH dan suhu ringan. Selain itu, katalisis enzim
dalam tubuh dapat mencapai reaksi dalam hitungan detik yang biasanya
membutuhkan waktu berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan dalam
kondisi laboratorium.
11
Universitas Indonesia
Pengaruh enzim pada laju reaksi yang penting bagi kehidupan sangatlah
berperan. Contohnya adalah kebutuhan untuk memindahkan karbondioksida,
produk limbah respirasi sel, keluar dari tubuh. Sebelum ini dapat dilakukan,
karbon dioksida harus digabungkan dengan air untuk membentuk asam
karbonat:

Gambar 1.3.2 Enzim Karbonat Anhidrase


Sumber: Seager, S., and Slabaugh, M., 2014. Chemistry for Today: General, Organic, and
Biochemistry. 8th ed. Belmont, CA: Cengage Learning.

Dengan tidak adanya enzim yang sesuai dengan karbonat anhidrase,


pembentukan asam karbonat berlangsung terlalu lambat untuk mendukung
pertukaran karbon dioksida yang diperlukan antara darah dan paru-paru.
Tetapi dengan adanya enzim karbonat anhidrase, reaksi penting ini berlangsung
dengan cepat. Setiap molekul enzim dapat mengkatalisis pembentukan asam
karbonat dengan kecepatan 36 juta molekul per menit.

B. Enzim Sangat Spesifik


Enzim yang spesifik merupakan karakteristik kedua yang penting dalam
proses kehidupan. Tidak seperti katalis lainnya, enzim seringkali cukup spesifik
dalam jenis reaksi yang dikataliskannya dan bahkan zat tertentu yang akan
terlibat dalam reaksi. Contohnya enzim urease mengkatalisis hanya hidrolisis
amida tunggal yaitu urea (Gambar 1.3.3 dan Gambar 1.3.4):

12
Gambar 1.3.3 Reaksi Hidrolisis Urea
Sumber: Seager, S., and Slabaugh,M., 2014. Chemistry for Today: General, Organic, and
Biochemistry. 8th ed. Belmont, CA: Cengage Learning.

Gambar 1.3.4 Enzim urease


Sumber: Seager, S., and Slabaugh, M., 2014. Chemistry for Today: General, Organic, and
Biochemistry. 8th ed. Belmont, CA: Cengage Learning.

Pada Gambar 1.3.3 merupakan contoh reaksi hidrolisis dengan


penambahan enzim urease ke dalam larutan urea yang mengandung indikator
fenolftalein. Saat urea dihidrolisis dan membentuk amonia, lalu indikator
berubah menjadi warna merah muda. Dalam reaksi tersebut adalah contoh
spesifisitas absolut, yaitu enzim hanya akan mengikat satu substrat tertentu
dan mengkatalis satu reaksi.

C. Konsentrasi Enzim
Dalam reaksi yang dikatalisis oleh enzim, konsentrasi enzim biasanya
sangat rendah dibandingkan dengan konsentrasi substrat. Ketika konsentrasi
enzim meningkat, konsentrasi enzim dan substrat juga meningkat sesuai
dengan teori laju reaksi.

13
Universitas Indonesia
Dengan demikian, ketersediaan molekul enzim lebih banyak untuk
mengkatalisis reaksi mengarah pada pembentukan lebih banyak ES dan laju
reaksi yang lebih tinggi. Pengaruh konsentrasi enzim pada laju reaksi
ditunjukkan pada gambar 1.3.6, laju reaksi berbanding lurus dengan
konsentrasi enzim yaitu, jika konsentrasi enzim digandakan, laju konversi
substrat menjadi produk juga berlipat ganda.

Gambar 1.3.6 Diagram Laju Reaksi Terhadap Konsentrasi Enzim


Sumber: Seager, S., and Slabaugh, M., 2014. Chemistry for Today: General, Organic, and
Biochemistry. 8th ed. Belmont, CA: Cengage Learning.

D. Konsentrasi Substrat
Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.3.7 konsentrasi substrat secara
signifikan mempengaruhi laju reaksi yang dikatalisis oleh enzim. Awalnya,
kecepatan tersebut responsif terhadap peningkatan konsentrasi substrat.
Namun, pada konsentrasi tertentu, kecepatannya mendatar dan konsentrasi
tetap konstan. Laju maksimum ini (dilambangkan dengan Vmax) terjadi karena
enzim jenuh dengan substrat dan tidak dapat bekerja lebih cepat dalam kondisi
yang ditentukan.

Gambar 1.3.7 Diagram Laju Reaksi Terhadap Konsentrasi Substrat

14
Sumber: Seager, S., and Slabaugh, M., 2014. Chemistry for Today: General, Organic, and
Biochemistry. 8th ed. Belmont, CA: Cengage Learning.

E. Suhu
Reaksi yang dikatalisis oleh enzim, seperti semua reaksi kimia, memiliki
kecepatan yang meningkat seiring dengan suhu (Gambar 1.3.8). Namun, karena
enzim adalah protein, ada batas suhu di mana enzim menjadi rentan terhadap
denaturasi. Jadi, setiap reaksi yang dikatalisis dengan enzim memiliki suhu
optimal, biasanya berkisar antara 25 ° C – 40 ° C. Di atas atau di bawah nilai
tersebut, laju reaksi akan lebih rendah.

Gambar 1.3.8 Pengaruh Suhu Pada Laju Reaksi Yang Dikatalis Oleh Enzim
Sumber: Seager, S., and Slabaugh, M., 2014. Chemistry for Today: General, Organic, and
Biochemistry. 8th ed. Belmont, CA: Cengage Learning.

F. Pengaruh pH
Grafik aktivitas enzim sebagai fungsi pH agak mirip dengan perilaku
sebagai fungsi suhu (Gambar 1.3.9). Pada Gambar 1.3.9 bahwa enzim paling
efektif dalam kisaran pH yang sempit dan kurang aktif pada nilai pH yang lebih
rendah atau lebih tinggi dari optimum ini. Variasi aktivitas enzim dengan
perubahan pH ini mungkin disebabkan oleh pengaruh pH pada rantai samping
asam dan basa dalam situs aktif. Selain itu, sebagian besar enzim didenaturasi
oleh pH ekstrim. Banyak enzim memiliki pH optimal mendekati 7 kebanyakan
terdapat pada cairan biologis. Namun, pH optimum dari beberapa enzim sangat
tinggi atau rendah dari 7. Misalnya, pepsin, enzim pencernaan lambung,

15
Universitas Indonesia
menunjukkan aktivitas maksimum pada pH sekitar 1,5, pH cairan lambung.
Tabel 1.3.1 mencantumkan nilai pH optimal untuk beberapa enzim.

Gambar 1.3.9 Pengaruh pH Pada Laju Reaksi


Sumber: Seager, S., and Slabaugh, M., 2014. Chemistry for Today: General, Organic,
and Biochemistry. 8th ed. Belmont, CA: Cengage Learning.

Tabel 1.3.1 Contoh Nilai pH Optimal Pada Beberapa Enzim

Sumber: Seager, S., and Slabaugh, M., 2014. Chemistry for Today: General, Organic,
and Biochemistry. 8th ed. Belmont, CA: Cengage Learning.

G. Inhibitor Enzim
Inhibitor enzim adalah suatu zat yang dapat menurunkan laju reaksi
yang dikatalisis oleh enzim. Pemahaman tentang penghambatan enzim penting
karena beberapa alasan. Pertama, fungsi karakteristik dari banyak racun dan

16
beberapa obat adalah untuk menghambat satu atau lebih enzim dan untuk
menurunkan laju reaksi yang dikatalisnya. Kedua, beberapa zat yang biasanya
ditemukan dalam sel menghambat reaksi katalis enzim tertentu dan dengan
demikian menyediakan sarana untuk regulasi internal metabolisme sel.
Inhibitor enzim diklasifikasikan menjadi dua kategori, reversibel dan ireversibel,
berdasarkan perilaku mereka pada tingkat molekuler.

1.) Irreversible Inhibition


Inhibitor irreversibel membentuk ikatan kovalen dengan
kelompok fungsional enzim tertentu dan akibatnya enzim menjadi tidak
aktif. Sejumlah racun yang sangat mematikan bertindak sebagai
penghambat yang tidak dapat diubah. Ion sianida (CN2) adalah contoh
penghambat enzim yang tidak dapat diubah. Ini sangat beracun dan
bertindak sangat cepat. Ion sianida mengganggu kerja enzim yang
mengandung zat besi yang disebut sitokrom oksidase. Kemampuan sel
untuk menggunakan oksigen bergantung pada aksi sitokrom oksidase.
Ketika ion sianida bereaksi dengan besi dari enzim ini, ia membentuk
reaksi kompleks yang sangat stabil (Gambar 1.3.10), dan enzim tersebut
tidak dapat lagi berfungsi dengan baik. Akibatnya, respirasi sel terhenti,
menyebabkan kematian dalam hitungan menit.

Gambar 1.3.10 Reaksi Ion Sianida


Sumber: Seager, S., and Slabaugh, M., 2014. Chemistry for Today: General, Organic,
and Biochemistry. 8th ed. Belmont, CA: Cengage Learning.

Penangkal apa pun untuk keracunan sianida harus diberikan


dengan cepat. Salah satu penawar adalah natrium tiosulfat. Zat ini
mengubah ion sianida menjadi ion tiosianat yang tidak berikatan
dengan besi sitokrom oksidase.
17
Universitas Indonesia
Gambar 1.3.11 Reaksi Natrium Tiosulfat
Sumber: Seager, S., and Slabaugh, M., 2014. Chemistry for Today: General, Organic,
and Biochemistry. 8th ed. Belmont, CA: Cengage Learning.

Tidak semua inhibitor enzim bertindak sebagai racun bagi tubuh


beberapa enzim pada kenyataannya adalah agen terapeutik yang
berguna. Obat sulfa dan kelompok senyawa yang dikenal sebagai
penisilin adalah dua famili antibiotik terkenal yang menghambat enzim
spesifik yang penting untuk proses kehidupan bakteri. Struktur penisilin
umum ditunjukkan pada Tabel 1.3.2, bersama dengan empat bentuk
yang banyak digunakan. Penisilin mengganggu transpeptidase, enzim
yang penting dalam pembentukan dinding sel bakteri. Ketidakmampuan
untuk membentuk dinding sel yang kuat tersebut dapat mencegah
bakteri untuk bertahan hidup.

Tabel 1.3.2 Empat Penisilin yang Banyak Digunakan

18
Sumber: Seager, S., and Slabaugh, M., 2014. Chemistry for Today: General, Organic,
and Biochemistry. 8th ed. Belmont, CA: Cengage Learning.

2.) Reversible Inhibition


Inhibitor reversibel (kebalikan dengan irreversible) mengikat
enzim secara reversibel. Keseimbangan terbentuk, oleh karena itu,
inhibitor dapat dihilangkan dari enzim dengan menggeser
kesetimbangan. Terdapat dua jenis inhibitor reversibel yaitu inhibitor
kompetitif dan nonkompetitif:
a. Inhibitor Kompetitif
Inhibitor kompetitif adalah Inhibitor yang bersaing dengan
substrat untuk mengikat di tempat aktif enzim. Inhibitor kompetitif
mengikat situs aktif enzim dan dengan "bersaing" dengan molekul
substrat untuk situs aktif. Inhibitor kompetitif seringkali memiliki
struktur molekul yang mirip dengan substrat normal enzim. Suksinat
dehidrogenase oleh malonat adalah contoh dari inhibitor kompetitif.
Dehidrogenase suksinat mengkatalisis oksidasi substrat suksinat untuk

19
Universitas Indonesia
membentuk fumarat dengan mentransfer dua hidrogen ke koenzim
FAD:

Gambar 1.3.12 Reaksi Enzim Suksinat Dehidrogenase


Sumber: Seager, S., and Slabaugh, M., 2014. Chemistry for Today: General, Organic,
and Biochemistry. 8th ed. Belmont, CA: Cengage Learning.

Malonat, memiliki struktur yang mirip dengan suksinat, bersaing


untuk situs aktif suksinat dehidrogenase dan dengan demikian dapat
menghambat enzim:

Gambar 1.3.13 Struktur Suksinat dan Malonat


Sumber: Seager, S., and Slabaugh, M., 2014. Chemistry for Today: General, Organic,
and Biochemistry. 8th ed. Belmont, CA: Cengage Learning.

Sifat inhibisi kompetitif disajikan dalam Gambar 1.3.14 Ada


persaingan antara substrat dan inhibitor untuk situs aktif. Setelah
inhibitor bergabung dengan enzim, situs aktif diblokir, mencegah aksi
katalitik lebih lanjut.

20
Gambar 1.3.14 Sifat Inhibitor Kompetitif
Sumber: Seager, S., and Slabaugh, M., 2014. Chemistry for Today: General, Organic,
and Biochemistry. 8th ed. Belmont, CA: Cengage Learning.

Inhibitor kompetitif dapat dibalik dengan meningkatkan


konsentrasi substrat dan membiarkan prinsip Le Châtelier beroperasi.
Hal ini diilustrasikan oleh kesetimbangan berikut yang akan ada dalam
larutan yang mengandung enzim (E), substrat (S), dan inhibitor
kompetitif (I):

Gambar 1.3.15 Kesetimbangan Menurut Prinsip Le Châtelier


Sumber: Seager, S., and Slabaugh, M., 2014. Chemistry for Today: General, Organic,
and Biochemistry. 8th ed. Belmont, CA: Cengage Learning.

Jika konsentrasi substrat meningkat, maka menurut prinsip Le


Châtelier, kesetimbangan pertama harus bergeser ke kanan. Ketika itu
terjadi, konsentrasi enzim menurun, yang menyebabkan kesetimbangan
2 bergeser ke kiri. Efek keseluruhannya adalah konsentrasi ES
meningkat sedangkan konsentrasi EI menurun. Jadi, persaingan antara

21
Universitas Indonesia
inhibitor dan substrat dimenangkan oleh spesies molekul mana pun
yang memiliki konsentrasi lebih besar.

b. Non-competitive Inhibitor
Noncompetitive inhibitor adalah Inhibitor yang mengikat enzim
di lokasi selain situs aktif. Inhibitor nonkompetitif tidak memiliki
kemiripan dengan substrat enzim normal dan mengikat secara
reversibel ke permukaan enzim di situs selain situs aktif katalitik
(Gambar 1.3.17). Interaksi antara enzim dan inhibitor nonkompetitif
menyebabkan bentuk tiga dimensi enzim dan sisi aktifnya berubah.
Enzim tidak lagi mengikat substrat dengan benar sehingga mencegah
gugus katalitik dari situs aktif berpartisipasi dalam mengkatalisis reaksi.

Gambar 1.3.16 Sifat Inhibitor Nonkompetitif.


Sumber: Seager, S., and Slabaugh, M., 2014. Chemistry for Today: General, Organic,
and Biochemistry. 8th ed. Belmont, CA: Cengage Learning.

Tidak seperti inhibitor kompetitif, inhibitor nonkompetitif tidak


dapat dibalik dengan penambahan lebih banyak substrat karena
substrat tambahan tidak berpengaruh pada inhibitor terikat enzim,
substrat tersebut tidak dapat menggantikan inhibitor karena tidak dapat
mengikat ke situs yang ditempati inhibitor.

1.4 Fungsi dan Peran dalam Tubuh

22
Gambar 1.5.1 Struktur Enzim
sumber: Hisham, S., 2020. Perbedaan Antara Kofaktor Dan Koenzim – Hisham.Id. [online] Hisham.id.
Available at: <https://hisham.id/perbedaan-antara-kofaktor-dan-koenzim.html>

Perbedaa Apoenzim Kofaktor Koenzim Holoenzim


n

Penyusun Protein Terdiri dari Non-protein Tersusun atas


koenzim dan yang bersifat koenzim dan
ion anorganik organik, kofaktor
(ion logam) biasanya
vitamin B dan
vitamin C

Sifat - Inaktif -Ion non - Tidak terikat


organik begitu erat
-Membutuhkan berikatan kuat dengan
kofaktor untuk dengan apoenzim
diubah menjadi apoenzim
holoenzim - Tahan panas
- Tahan panas
- Tidak tahan panas
Tabel 1.4 Perbedaan apoenzim, kofaktor, koenzim, dan holoenzim
1.4.1 Komponen non-protein
A. Koenzim

Aktivitas fungsional sebagian besar enzim, tidak hanya bergantung pada porsi
bagian enzim yang merupakan protein, tetapi juga bergantung pada koenzim dan
23
Universitas Indonesia
gugus prostetik yang merupakan bagian nonprotein. Koenzim merupakan bagian
organic dari enzim. Koenzim terikat longgar dengan apoenzim. Koenzim bersifat
termostabil (tahan panas). Koenzim tidak mengubah tempat pengikatan enzim namun
koenzim bertindak sebagai reseptor dan pembawa atom atau gugus fungsi yang
dikeluarkan dari substrat selama reaksi. Meskipun koenzim diperlukan untuk beberapa
reaksi metabolik, mereka tidak dibutuhkan dalam jumlah besar. Banyak vitamin yang
merupakan prekursor koenzim. Vitamin yang larut dalam air, seperti vitamin B (asam
folat, biotin, dan asam pantotenat) dan vitamin C menjadi koenzim yang dibutuhkan
untuk berbagai reaksi metabolisme.

Koenzim berfungsi sebagai angkutan yang dapat didaur ulang yang mengangkut
banyak substrat dari satu titik di dalam sel ke sel yang lain. Fungsi angkutan ini ada
dua. Pertama, mereka menstabilkan seperti atom hidrogen (FADH) atau ion hidrida
(NADH) yang terlalu reaktif untuk bertahan dalam waktu yang signifikan dengan
adanya air atau molekul organik yang menembus sel. Kedua, mereka berfungsi sebagai
adaptor atau pegangan yang memfasilitasi pengenalan dan pengikatan kelompok kimia
kecil, seperti asetat (koenzim A).

24
25
Universitas Indonesia
Tabel 1.4.1.2 Vitamin, bentuk koenzim, dan fungsinya dalam tubuh
sumber: Gropper, S. S., Smith, J. L., 2013. Advanced Nutrition and Human Metabolism. 6th Ed.
Wadsworth: Cengage Learning.

1) Tiamin (Vitamin B1)

Sebagai TDP, fungsi tiamin dalam transformasi energi sebagai koenzim dari
kompleks dehidrogenase piruvat, kompleks dehidrogenase α-ketoglutarat, dan
kompleks dehidrogenase asam α-keto rantai bercabang. Selain itu, TDP
berfungsi sebagai koenzim untuk transketolase yang dibutuhkan untuk sintesis
NADPH dan pentosa.

Gambar 1.4.1 (1) berbagai kofaktor vitamin dan perannya dalam metabolisme
energi
Gropper, S. S., Smith, J. L., 2013. Advanced Nutrition and Human Metabolism. 6th Ed. Wadsworth:
Cengage Learning.

26
Tiamin sebagai TDP berfungsi sebagai koenzim yang diperlukan untuk
dekarboksilasi oksidatif piruvat, α-ketoglutarat, dan tiga rantai cabang asam
amino isoleusin, leusin, dan valin. Reaksi ini berperan penting dalam
menghasilkan energi (ATP). Penghambatan reaksi, terutama untuk piruvat dan
α-ketoglutarat, mencegah sintesis ATP dan asetil-KoA yang diperlukan untuk
sintesis asam lemak, kolesterol, dan senyawa penting lainnya. Penghambatan
juga mengakibatkan akumulasi piruvat, laktat, dan α-ketoglutarat.

2) Riboflavin (Vitamin B2)

Di dalam sel, riboflavin diubah menjadi bentuk koenzimnya oleh flavokinase dan
sintetase FAD, keduanya didistribusikan secara luas di jaringan, terutama hati,
limpa, usus kecil, ginjal, dan jantung. FMN adalah bentuk utama (60–95%) yang
ada dalam sel, diikuti oleh FAD (5–20%). Sintesis FMN dan FAD dipengaruhi oleh
penghambatan produk akhir dan hormon termasuk ACTH, aldosteron, dan
hormon tiroid, yang semuanya mempercepat konversi riboflavin menjadi bentuk
koenzimnya dengan meningkatkan aktivitas flavokinase. Setelah disintesis,
koenzim flavin terikat pada apoenzim. FMN dan FAD terlibat dalam reaksi
oksidasi-reduksi.

FMN dan FAD berfungsi sebagai koenzim untuk berbagai macam sistem enzim
oksidatif dan tetap terikat pada enzim selama reaksi reduksi oksidasi. Flavin
dapat bertindak sebagai oksidator karena kemampuannya menerima sepasang
atom hidrogen. Cincin isoalloxazine direduksi dengan pembentukan perantara
dari radikal bebas semiquinone. Pengurangan cincin isoalloxazine menghasilkan
penurunan bentuk flavoprotein, yang dapat ditemukan di FMNH2 dan FADH2.

FAD dan FMN berperan dalam rantai transpor elektron. Selain itu terdapat
beberapa fungsi lain dari FAD dan FMN yaitu:

a. L-amino oksidase menggunakan FMN dalam dehidrogenasi asam amino-L


menjadi asam amino.
b. Dalam dekarboksilasi oksidatif piruvat dan α-ketoglutarat, FAD berfungsi
sebagai pembawa elektron perantara, dengan NADH sebagai produk akhir
tereduksi.
c. Suksinat dehidrogenase adalah flavoprotein FAD yang menghilangkan elektron
dari asam suksinat untuk membentuk fumarat, dan membentuk FADH2 dari
FAD. Elektron kemudian dilewatkan ke rantai transpor elektron oleh koenzim
Q.
d. Dalam oksidasi beta asam lemak, dehidrogenase asil-KoA membutuhkan FAD

27
Universitas Indonesia
Gambar 1.4.1 (2) oksidasi beta asam lemak
Gropper, S. S., Smith, J. L., 2013. Advanced Nutrition and Human Metabolism. 6th Ed. Wadsworth:
Cengage Learning.

3) Niacin (Vitamin B3)

Sekitar 200 enzim, terutama dehidrogenase, membutuhkan koenzim NAD dan


NADP, yang bertindak sebagai donor hidrogen atau akseptor elektron. Selain
peran koenzimnya, niacin juga berperan dalam peran non redoks sebagai donor
adenosin difosfat ribosa.

Meskipun NAD dan NADP serupa dan mengalami reduksi reversibel dengan
cara yang sama, fungsinya dalam sel berbeda. Peran utama NADH, yang
dibentuk dari NAD, adalah mentransfer elektronnya dari zat antara metabolik
melalui rantai transpor elektron, sehingga menghasilkan ATP. Sebaliknya,
NADPH bertindak sebagai agen pereduksi di banyak jalur biosintetik seperti
asam lemak, kolesterol, dan sintesis hormon steroid dan juga di jalur lainnya.
Koenzim NAD dan NADP terikat erat pada apoenzimnya dan dapat dengan
mudah mengangkut atom hidrogen dari satu bagian sel ke bagian lain. Reaksi di
mana mereka berpartisipasi terjadi baik di mitokondria dan di sitosol.

Reaksi oksidatif di mana NAD berpartisipasi dan direduksi menjadi NADH (dan
pada gilirannya dapat ditransfer ke rantai transpor elektron untuk
pembentukan ATP) meliputi Glikolisis, dekarboksilasi oksidatif piruvat menjadi

28
asetil-KoA, oksidasi asetil-KoA dalam siklus TCA (siklus krebs), β-oksidasi asam
lemak, dan oksidasi etanol.

Gambar 1.4.1 (3) a. NADH dan perannya dalam fermentasi laktat


Gropper, S. S., Smith, J. L., 2013. Advanced Nutrition and Human Metabolism. 6th Ed. Wadsworth:
Cengage Learning.
Selain perannya dalam metabolisme energi, NAD juga dibutuhkan oleh aldehida
dehidrogenase untuk katabolisme vitamin B6 sebagai piridoksal untuk produk
ekskresinya, asam piridoksat. NADP direduksi menjadi NADPH. Reaksi ini terjadi
sebagai bagian dari jalur pentosa fosfat dan membran mitokondria malat
aspartate shuttel. NADPH yang dihasilkan dalam reaksi ini digunakan dalam
berbagai proses biosintetik reduktif, termasuk sintesis asam lemak, sintesis
hormon kolesterol dan steroid, sintesis prolin, sintesis deoksiribonukleotida
(prekursor DNA), glutathione, vitamin C, dan regenerasi thioredoxin, sintesis
koenzim folat (dihidrofolat [DHF], tetrahidrofolat [THF], 5-metil THF, dan 5,10-
metilen THF)

Gambar 1.4.1 (3) b. NADPH perannya dalam sintesis prolin


Gropper, S. S., Smith, J. L., 2013. Advanced Nutrition and Human Metabolism. 6th Ed. Wadsworth:
Cengage Learning.
4) Asam Pantotenat

Sekitar 85% asam pantotenat dalam makanan terikat sebagai komponen


koenzim A, disingkat CoA. Selama pencernaan, CoA dihidrolisis di lumen saluran
pencernaan dalam beberapa langkah. Sintesis CoA dihambat oleh asetil-KoA,
malonil-KoA, dan propionil-KoA serta oleh asil-CoA rantai panjang lainnya. CoA
mengandung beberapa komponen, termasuk phosphopantetheine dan
adenosine 3,5-bisphosphate.

29
Universitas Indonesia
Gambar 1.4.1 (4) a. struktur dari koenzim A

Gropper, S. S., Smith, J. L., 2013. Advanced Nutrition and Human Metabolism. 6th Ed. Wadsworth:
Cengage Learning.

Gambar ini juga menunjukkan situs aktif di mana CoA mengikat gugus asil
melalui pembentukan tioester dengan asam karboksilat. CoA dapat
mentransfer 2 hingga 13 karbon, sesuai kebutuhan untuk berbagai reaksi
seluler. Contoh beberapa asam karboksilat yang dibawa oleh CoA meliputi
adalah asam asetat (dua karbon), asam malonat (tiga karbon), asam propionat
(tiga karbon), asam metilmalonat (empat karbon), asam suksinat (empat
karbon).

Gambar 1.4.1 (4) b. CoA membawa gugus asetil (dua karbon)


30
Gropper, S. S., Smith, J. L., 2013. Advanced Nutrition and Human Metabolism. 6th Ed. Wadsworth:
Cengage Learning.

5) Biotin

Untuk fungsi koenzim di dalam sel, biotin terikat secara kovalen ke masing-
masing empat karboksilase.

Tabel 1.4.1 (5) karboksilase yang mengikat biotin dan fungsinya


Gropper, S. S., Smith, J. L., 2013. Advanced Nutrition and Human Metabolism. 6th Ed. Wadsworth:
Cengage Learning.

Penempelan biotin ke enzim ini terjadi dalam dua langkah dan dikatalisis oleh
enzim holocarboxylase synthetase, yang ditemukan di sitosol sel dan
mitokondria.

6) Vitamin B6 (Pirodoksin)

Bentuk koenzim PLP dari vitamin B6 dikaitkan dengan sejumlah besar (> 100)
enzim, yang sebagian besar terlibat dalam metabolisme asam amino. Koenzim
ini berperan dalam proses transaminasi dan reaksi dekarboksilasi.

7) Folat

Di dalam sel usus, asam folat dan folat direduksi menjadi dihidrofolat (DHF),
yang kemudian direduksi untuk menghasilkan THF. THF berfungsi sebagai
koenzim di mitokondria dan sitosol untuk menerima gugus karbon tunggal atau
satu (biasanya dihasilkan dari metabolisme asam amino) pada posisi tertentu
(N5 dan/atau N10) pada cincin pteridin. THF ini kemudian berfungsi sebagai
donor unit satu karbon dalam berbagai reaksi sintetik, termasuk sintesis asam
amino, purin, dan pirimidin.

8) Vitamin B12 (Kobalamin)

Dua reaksi enzimatik yang membutuhkan vitamin B12. Salah satu reaksi ini
membutuhkan methylcobalamin, sedangkan yang lain harus memiliki
adenosylcobalamin. Reaksi yang membutuhkan methylcobalamin sebagai
koenzim adalah konversi homosistein menjadi metionin. Reaksi ini, yang terjadi
di sitosol sel. Reaksi kedua yang bergantung pada vitamin B12 membutuhkan

31
Universitas Indonesia
adenosylcobalamin untuk mutase methylmalonyl-CoA, yang mengubah
(mengatur ulang kerangka) L-methylmalonyl-CoA menjadi suksinil-CoA.

9) Vitamin C
Meskipun strukturnya tidak rumit, vitamin C memiliki peran fungsional yang
kompleks dalam tubuh. Vitamin C diperlukan dalam beberapa reaksi yang
terlibat dalam proses tubuh, termasuk sintesis kolagen, sintesis karnitin,
sintesis tirosin dan katabolisme, serta sintesis neurotransmitter. Lebih khusus
lagi, enzim yang mengkatalis berbagai reaksi ini mengandung kofaktor mineral
(tembaga atau besi); vitamin C berfungsi sebagai agen pereduksi (antioksidan)
untuk menjaga atom besi dan tembaga di metaloenzim dalam keadaan
tereduksi. Selain perannya sebagai agen pereduksi dalam reaksi enzimatis,
vitamin C berfungsi sebagai antioksidan penting dalam tubuh.
B. Ion anorganik/kofaktor
1) Cu

Salah satu fungsi tembaga adalah partisipasinya sebagai kofaktor enzim, baik di
situs aktif enzim (mungkin sebagai perantara dalam transfer elektron) atau di
situs pengaturan alosterik enzim. Beberapa cuproenzim tubuh dan reaksi yang
dikatalisasinya adalah Ceruloplasmin: oksidasi besi dan antioksidan, Superoxide
dismutase: antioksidan, Cytochrome c oxidase: produksi ATP, Amine oxidases:
oksidasi biogenic amine, Factors V dan VIII: blood clotting.

2) Mg

Magnesium dikaitkan dengan protein (enzim). Magnesium penting untuk lebih


dari 300 reaksi enzimatik baik sebagai kofaktor struktural atau sebagai aktivator
alosterik aktivitas enzim. Sekitar 90% magnesium intraseluler mungkin terkait
dengan ATP atau ADP. Dalam ATP, magnesium terkait dengan atom oksigen
dari gugus fosfat, membentuk kompleks yang membantu dalam transfer gugus
ATP fosfat.

32
Gambar 1.4.1 B. Mg menstabilkan gugus fosfat ATP
Gropper, S. S., Smith, J. L., 2013. Advanced Nutrition and Human Metabolism. 6th Ed. Wadsworth:
Cengage Learning.

Gambar 1.4.1 B menggambarkan magnesium sebagai ligan untuk gugus fosfat ATP.
Protein kinase mentransfer γ-fosfat magnesium ATP ke substrat.

Berikut adalah beberapa peran magnesium dalam tubuh yaitu glikolisis (heksokinase,
glukokinase, dan fosfofruktokinase), siklus asam sitrat (dekarboksilasi oksidatif), jalur
pentosa fosfat (reaksi transketolase), pembentukan kreatin fosfat (kreatin kinase),
oksidasi β yang diinisiasi oleh thiokinase (asil-CoA sintetase), sintesis asam nukleat,
sintesis dan degradasi DNA, serta integritas fisik heliks DNA, replikasi DNA dan
transkripsi RNA, serta aktivasi asam amino.

3) Mn

Pada tingkat molekuler, mangan, seperti trace element lainnya yang dapat berfungsi
baik sebagai aktivator enzim dan sebagai penyusun metaloenzim. Dalam aktivasi reaksi
katalis enzim, mangan dapat mengikat substrat ke ATP, atau ke enzim secara langsung
yang menyebabkan perubahan konformasi. Karena aktivasi banyak enzim tidak spesifik
mangan, defisiensi mangan tidak mengganggu aktivitas sebagian besar enzim. Logam
ini biasanya diganti dengan kation divalen lain seperti magnesium. Contoh peran yang
dilakukan enzim yang bergantung pada mangan dalam tubuh adalah sintesis tulang,
tulang rawan, dan jaringan ikat, metabolisme karbohidrat.

4) Zn

Seng memiliki banyak fungsi yang tampaknya berbeda, mungkin karena merupakan
komponen dari banyak metaloenzim. Sebagai komponen metaloenzim, seng
memberikan integritas struktural pada enzim dengan mengikat langsung ke residu
asam amino dan dengan demikian menstabilkan struktur tersier enzim, seng
berpartisipasi dalam reaksi di lokasi katalitik. Seng mempengaruhi banyak proses
kehidupan mendasar. Seng tampaknya menjadi bagian dari lebih banyak sistem enzim
daripada trace element lainnya yang digabungkan. Enzim (setidaknya 70 dan mungkin
lebih dari 200) dari setiap kelas enzim (oksidoreduktase, hidrolase, lyase, isomerase,
transferase, dan ligase) membutuhkan seng.
33
Universitas Indonesia
5) Fe

Fungsi zat besi dalam tubuh sebagai bagian dari beberapa protein, termasuk enzim
yang berfungsi sebagai kofaktor. Protein yang bergantung pada zat besi ini terlibat
dalam berbagai proses tubuh seperti hemoglobin dan mioglobin, transpor elektron:
produksi ATP, metabolisme asam amino: fenilalanin, tirosin, triptofan, arginin, sintesis
Niacin, sintesis karnitin, sintesis prokolagen, sintesis oksida nitrat, Antioksidan:
perlindungan, oksidasi sulfit, katabolisme basa purin DNA, dan sintesis DNA. Selain itu,
zat besi dalam protein ditemukan dalam berbagai bentuk. Misalnya, di banyak protein
tubuh, zat besi hadir sebagai bagian dari heme, sementara di protein lain, zat besi
ditemukan dalam gugus belerang, dengan sendirinya sebagai atom tunggal, atau
berikatan dengan oksigen. Protein heme mewakili kelompok terbesar dan termasuk
hemoglobin, mioglobin, dan sitokrom, serta beberapa enzim. Esensi zat besi sebagian
karena keberadaannya di heme, yang berfungsi sebagai kelompok prostetik untuk
beberapa protein. Atom besi di tengah molekul heme memungkinkan pengangkutan
oksigen ke jaringan (hemoglobin); penyimpanan transisi oksigen dalam jaringan,
terutama otot (mioglobin); dan pengangkutan elektron melalui rantai pernapasan
(sitokrom)

Protein besi-belerang juga mencakup beberapa enzim dengan beragam peran yang
berpartisipasi dalam transpor elektron, siklus TCA, dan sintesis heme. Protein yang
mengandung atom besi tunggal kebanyakan adalah enzim mono dan dioksigenase, dan
protein jembatan besi-oksigen ditemukan dalam enzim ribonukleotida reduktase.

1.4.2 Apoenzim

Apoenzim adalah bagian protein dari enzim, bersifat tidak tahan panas, dan berfungsi
menentukan kekhususan dari enzim. Apoenzim adalah enzim yang tidak aktif. Aktivasi
enzim terjadi setelah pengikatan kofaktor organik atau anorganik.

1.4.3 Holoenzim

Gabungan antara bagian protein enzim (apoenzim) dan kofaktor dinamakan


holoenzim. Fungsi holoenzim adalah mengubah substrat menjadi produk, seperti
halnya enzim, tetapi holoenzim membutuhkan kofaktor untuk hadir. Contoh
holoenzim adalah kinesin-II. Holoenzim kinesin-II adalah protein motor yang
membantu memindahkan berbagai hal dalam sel (seperti mitokondria) dari satu
tempat ke tempat lain. Contoh dari kompleks holoenzim DNA polimerase adalah
holoenzim yang mengkatalisis polimerisasi deoksiribonukleotida menjadi untai
DNA. DNA polimerase berperan aktif dalam replikasi DNA. Ia membaca untai DNA
utuh sebagai template dan menggunakannya untuk mensintesis untai baru. Untai
DNA yang baru dipolimerisasi melengkapi untai templat dan identik dengan untai
mitra asli templat. DNA polimerase menggunakan ion magnesium untuk aktivitas
katalitik.

34
RNA polimerase juga merupakan holoenzim yang mengkatalisis RNA. RNA
polimerase diperlukan untuk membangun rantai RNA dari gen DNA sebagai
templat, suatu proses yang dikenal sebagai transkripsi. Enzim RNA polimerase
mengkatalisis transkripsi DNA. Namun, enzim harus diinstruksikan di mana harus
memulai proses transkripsi dan di mana harus mengakhirinya. Segmen DNA tempat
transkripsi dimulai disebut promotor yang terletak di dekat permulaan gen. Di
sinilah RNA polimerase menempel pada DNA.

Gambar 1.4.3 proses kerja holoenzim RNA polimerase

1.5 Mekanisme Kerja Enzim pada Proses Biokimia Zat Gizi Makro dan Mikro
Mekanisme kerja enzim:

Gambar 1.5.1 Mekanisme kerja enzim


Sumber: Tortora, G. J. 2016. Principles of anatomy and physiology. 15th ed. Hoboken, NJ: J. Wiley.

35
Universitas Indonesia
1.Substrat berkontak dengan sisi aktif pada permukaan molekul enzim, membentuk
senyawa perantara sementara yang disebut kompleks enzim-substrat. Dalam reaksi ini
dua molekul substrat adalah sukrosa (disakarida) dan air.

2.Molekul substrat diubah oleh penataan ulang atom yang ada, pemecahan molekul
substrat, atau kombinasi beberapa molekul substrat menjadi produk reaksi. Berikut
produknya adalah dua monosakarida: glukosa dan fruktosa.

3.Setelah reaksi selesai dan produk reaksi menjauh dari enzim, enzim yang tidak
berubah bebas untuk menempel pada molekul substrat lainnya.

Mekanisme reaksi enzim-substrat ini dapat digambarkan dengan menggunakan:

1. Model Key and lock:

Model ini pada awalnya diusulkan oleh Fischer yang menyatakan bahwa situs aktif
sudah ada dalam konformasi yang tepat bahkan tanpa adanya substrat. Dengan
demikian situs aktif dengan sendirinya menyediakan, templat cetakan kaku dengan
ukuran dan bentuk molekul substrat. Substrat cocok dengan situs aktif dari suatu
enzim karena kunci cocok dengan kunci dan karenanya disebut model kunci-dan-kunci
(key and lock model). Model ini mengusulkan bahwa media mengikat dengan templat
kaku yang sudah ada sebelumnya dari situs aktif, menyediakan kelompok tambahan
untuk mengikat ligan lain. Tapi ini tidak bisa menjelaskan perubahan aktivitas
enzimatik di hadapan modulator alosterik

2. Model Koschland atau Induced-Fit (model konformasi, model fleksibel):

Karena sifat terbatas model kunci-dan-gembok, model lain diusulkan oleh Koshland
pada tahun 1963 yang dikenal sebagai model induced-fit. Fitur penting dari model ini
adalah fleksibilitas wilayah situs aktif. Menurut ini, situs aktif tidak memiliki struktur,
kaku pada enzim yang dibentuk agar sesuai dengan substrat. Sebaliknya, substrat
36
selama pengikatannya menginduksi perubahan konformasi pada situs aktif untuk
mencapai bentuk dan bentuk katalitik akhir. Ini menjelaskan beberapa hal yang
berkaitan dengan aksi enzim seperti:

• Enzim menjadi tidak aktif pada denaturasi

• Kinetika saturasi,

• Hambatan kompetitif, dan

• Modulasi alosterik.

Kompleks ES adalah kompleks antara atau sementara dan ikatan yang terlibat adalah
ikatan non-kovalen yang lemah, seperti ikatan-H, gaya Van der Waals, interaksi
hidrofobik. Kadang-kadang dua substrat dapat mengikat molekul enzim dan reaksi
semacam itu disebut sebagai reaksi bisubstrate. Situs tempat substrat dapat berikatan
dengan molekul enzim sangat spesifik dan disebut sebagai situs aktif atau situs
katalitik. Biasanya ukuran dan bentuk molekul molekul substrat sangat kecil
dibandingkan dengan molekul enzim. Situs aktif terdiri dari beberapa residu asam
amino yang menyatu sebagai hasil dari lipatan struktur sekunder dan tersier enzim.
Jadi, situs aktif memiliki bentuk dan bentuk tiga dimensi yang kompleks, memberikan
celah yang sebagian besar non-polar untuk menerima dan mengikat media. Beberapa
kelompok asam amino situs aktif terikat ke substrat sementara beberapa kelompok
membawa perubahan dalam molekul substrat.

Aspek penting dari biokimia nutrisi adalah pengaturan jalur metabolisme. Reaksi
anabolik (sintetis) dan katabolik (oksidatif) harus dijaga dalam keseimbangan yang
sesuai untuk kehidupan (dan mungkin pertumbuhan) organisme. Regulasi terutama
melibatkan penyesuaian aktivitas katalitik dari enzim tertentu yang berpartisipasi.
Pengaturan enzim ini terjadi melalui tiga mekanisme utama:

1. modifikasi kovalen enzim melalui stimulasi hormon

37
Universitas Indonesia
Gambar 1.5.2 Stimulasi melalui hormon glukagon
Sumber: Litwack, G., 2018. Glycolysis and Gluconeogenesis. Human Biochemistry, p.183-198.

Dengan mekanisme pertama ini, modifikasi kovalen, enzim tidak aktif sampai
modifikasi dilakukan. Ini biasanya dicapai dengan penambahan atau
penghilangan gugus fosfat secara hidrolitik ke atau dari enzim. Contoh
modifikasi kovalen enzim adalah regulasi glikogenesis (sintesis glikogen dari
unit glukosa) dan glikogenolisis (pemecahan glikogen menjadi unit glukosa).
Beberapa enzim disintesis sebagai prekursor tidak aktif. Contohnya adalah
enzim proteolitik yang disekresikan ke dalam perut atau usus sebagai proenzim.
Sebagian peptida dihilangkan dengan hidrolisis untuk membuat enzim aktif
sepenuhnya.

2. Modulasi enzim alosterik

Gambar 1.5.3 regulasi timbal balik dari glikolisis dan glukoneogenesis


sumber:https://greek.doctor/second-year/biochemistry-1/lectures/5-regulation-and-disorders-
of-carbohydrate-metabolism/

Mekanisme pengaturan penting kedua adalah yang dijalankan oleh enzim unik
tertentu yang disebut enzim alosterik. Istilah alosterik mengacu pada fakta
bahwa enzim ini memiliki situs alosterik atau "lain" spesifik di samping situs
katalitik. Senyawa khusus, yang disebut modulator, dapat mengikat situs
alosterik ini dan sangat mempengaruhi aktivitas enzim pengatur ini. Modulator
mungkin positif (yaitu, menyebabkan peningkatan aktivitas enzim), atau
mereka dapat memberikan efek negatif (yaitu, menghambat aktivitas). Zat
modulasi diyakini dapat mengubah aktivitas enzim alosterik dengan mengubah
konformasi (struktur tiga dimensi) rantai polipeptida atau rantai enzim,
sehingga mengubah pengikatan situs katalitiknya dengan substrat yang
diinginkan. Modulator negatif sering kali merupakan produk akhir dari
serangkaian reaksi. Sebagai produk akhir yang terakumulasi di atas konsentrasi
kritis tertentu, ia dapat menghambat, melalui enzim alosterik, produksi lebih
lanjutnya sendiri. Contoh yang sangat baik dari enzim alosterik adalah
38
fosfofruktokinase di jalur glikolitik. Glikolisis menimbulkan piruvat, yang
dekarboksilasi dan dioksidasi menjadi asetil-KoA, yang memasuki mitokondria
dan selanjutnya dioksidasi oleh siklus TCA dengan menggabungkan dengan
oksaloasetat untuk membentuk sitrat. Sitrat adalah modulator
fosfofruktokinase negatif. Oleh karena itu, akumulasi sitrat dalam matriks sel
menyebabkan jalur glikolitik dihambat dengan mengatur fosfofruktokinase.
Sebaliknya, akumulasi AMP atau adenosine diphosphate (ADP), yang
menunjukkan bahwa ATP habis, menandakan perlunya energi tambahan dalam
sel dalam bentuk ATP. Oleh karena itu, AMP atau ADP memodulasi
fosfofruktokinase secara positif. Hasilnya adalah jalur glikolitik aktif yang pada
akhirnya mengarah pada pembentukan lebih banyak ATP melalui hubungan
rantai transpor elektron-siklus TCA.

Gambar 1.5.4 Status energi seluler, response metabolic, dan situs control alosterik
Sumber: Gropper, S. S. and Smith, J. L. (2018) Advanced Nutrition and Human Metabolism. 7th edn.
Boston: Cengage Learning.

Gambar 1.5.4 merangkum enzim kunci yang dikontrol secara alosterik untuk
merespon perubahan langsung dalam sinyal seluler. Saat status energi menurun,
konsentrasi asetil-KoA, sitrat, dan ATP juga menurun karena penurunan glikolisis,
lipolisis (Oksidasi β), dan siklus asam sitrat. Pada saat yang bersamaan, kenaikan
jumlah ADP dan AMP mengindikasikan bahwa ATP telah digunakan pada reaksi
anabolic dan diperlukan lebih banyak lagi ATP. Selanjutnya, penurunan
konsentrasi malonil-KoA mencerminkan sedikit atau tidak adanya sintesis asam
lemak yang terjadi saat status energi rendah. Masing-masing sinyal seluler ini akan
memicu stimulasi enzim regulator alosterik untuk meningkatkan glikolisis, oksidasi
beta, dan siklus asam sitrat untuk mengisi ATP.

Ketika ATP pada sel melimpah, konsentrasi ATP, asetil-KoA, dan sitrat relative
tinggi dan bertindak untuk secara alosterik menghambat enzim yang menjalankan
39
Universitas Indonesia
glikolisis dan siklus asam sitrat sambil merangsang glukoneogenesis dan sintesis
asam lemak untuk menyimpan energi untuk digunakan nanti.

3. Peningkatan konsentrasi enzim dengan induksi (sintesis lebih banyak enzim)

Gambar 1.5.5 Hormon larut lemak


Sumber: Tortora, G. J. 2016. Principles of anatomy and physiology. 15th ed. Hoboken, NJ: J. Wiley.

Induksi enzim, menciptakan perubahan konsentrasi enzim tertentu yang dapat


diinduksi dengan meningkatkan sintesis enzim. Enzim yang dapat diinduksi
bersifat adaptif, yang berarti bahwa mereka disintesis dengan kecepatan yang
ditentukan oleh keadaan seluler. Sebaliknya, enzim konstitutif, yang disintesis
dengan kecepatan yang relatif konstan, tidak dipengaruhi oleh rangsangan
eksternal. Induksi biasanya terjadi melalui aksi hormon tertentu, seperti
hormon steroid dan hormon tiroid, dan dilakukan melalui perubahan ekspresi
gen yang menjadi enzim. Perubahan pola makan dapat memicu induksi enzim
yang diperlukan untuk mengatasi perubahan beban nutrisi. Namun, mekanisme
pengaturan ini relatif lambat, dibandingkan dengan dua mekanisme pertama
yang dibahas, yang memberikan efeknya dalam hitungan detik atau menit.
Kebalikan dari induksi adalah penyumbatan sintesis enzim dengan menghalangi
pembentukan mRNA enzim tertentu. Pengaturan penerjemahan ini adalah
salah satu cara di mana molekul kecil, yang bereaksi dengan protein seluler,
dapat memberikan pengaruhnya terhadap konsentrasi enzim dan aktivitas jalur
metabolisme. Dalam setiap jalur metabolisme, setidaknya satu reaksi pada
dasarnya ireversibel, eksergonik, dan enzim terbatas. Artinya, laju reaksi hanya

40
dibatasi oleh aktivitas enzim yang mengkatalisnya. Enzim semacam itu sering
disebut enzim pengatur, yang mampu distimulasi atau ditekan oleh salah satu
mekanisme yang dijelaskan. Logikanya, enzim yang mengkatalisis reaksi secara
reversibel di dekat kesetimbangan dalam sel tidak dapat menjadi enzim
pengatur karena regulasi naik atau turunnya akan mempengaruhi aktivitas
maju dan mundurnya secara seimbang. Efek ini, pada gilirannya, tidak akan
mencapai tujuan regulasi, yaitu untuk merangsang laju jalur metabolisme
dalam satu arah untuk melebihi laju jalur dalam arah sebaliknya.

1.6 Dampak Kekurangan Enzim Bagi Metabolisme Zat Gizi


Mengingat kembali bahwa enzim berfungsi sebagai katalisator dalam
pembentukan produk, normalnya enzim akan mengkatalisis suatu reaksi dan
terjadi perubahan dari substrat menjadi produk (Gambar 1.6.1-a). Jadi, dampak
dari kekurangan enzim bagi metabolisme zat gizi adalah substrat akan
terakumulasi dan pembentukan produk akan berkurang (Gambar 1.6.1-b).
Substrat yang terakumulasi tersebut dapat bersifat toksik (Boyer, Barclay dan
Burrage, 2015).

Gambar 1.6.1 Contoh Reaksi Normal dan Abnormal pada Enzim


Sumber: Boyer, S. W., Barclay, L. J. dan Burrage, L. C., 2015. Inherited Metabolic Disorders: aspects of

chronic nutritional management. Nutr Clin Pract, 30(4), p.502-510. doi: 10.1177/0884533615586201.

Prinsip Penting Mengenai Defisiensi Enzim


Empat prinsip penting mengenai defisiensi enzim menurut Murray, et al. (2003),
yaitu sebagai berikut.
1. Cacat pada salah satu dari beberapa enzim jalur metabolisme yang sama
dapat menyebabkan tanda dan gejala klinis yang serupa.

41
Universitas Indonesia
Misalnya pada jalur katabolisme asam amino isoleusin. Defisiensi enzim
pada jalur tersebut akan menyebabkan akumulasi dari substrat yang sama
(isoleusin) dan kekurangan produk yang sama (suksinil CoA). Oleh karena itu,
gejala dari akumulasi isoleusin dan kurangnya produksi suksinil CoA akan
serupa. Contohnya gejala yang muncul adalah lethargy atau kekurangan
energi. Hal ini disebabkan oleh ATP tidak dapat terbentuk dari suksinil CoA
yang berasal dari asam amino isoleusin. Sedangkan, suksinil CoA akan
melanjutkan jalur metabolismenya melalui siklus krebs dan akan dilanjutkan
dengan reaksi transpor elektron, sehingga ATP akan terbentuk. Kekurangan
ATP atau energi ini yang memunculkan gejala lethargy.
2. Sebelum memblokir jalur metabolisme, perlu dipelajari tentang reaksi yang
akan terpengaruh dengan cara mengidentifikasi produk-antara dan produk
tambahan yang terakumulasi.
Misalnya pada jalur katabolisme asam amino isoleusin, leusin, valin, glisin,
dan treonin. Kelima asam amino ini mengalami reaksi pemecahan yang akan
menghasilkan beberapa produk antara yang sama, yaitu
1. Propionil CoA pada katabolisme asam amino isoleusin, metionin,
treonin, dan asam lemak rantai ganjil (Gambar 1.6.2 - 1.6.4; 1.6.40).
2. Metilmalonil CoA pada katabolisme asam amino isoleusin, valin,
metionin, treonin, dan asam lemak rantai ganjil (Gambar 1.6.2 - 1.6.4;
1.6.40).

42
Gambar 1.6.2 Jalur Metabolisme Isoleusin, Leusin, dan Valin
Sumber: Gropper, S. S., Smith, J. L., 2013. Advanced Nutrition and Human Metabolism. 6th Ed.
Wadsworth: Cengage Learning.

Gambar 1.6.3 Jalur Metabolisme Treonin, Glisin, dan Serin


Sumber: Gropper, S. S., Smith, J. L., 2013. Advanced Nutrition and Human Metabolism. 6th Ed.
Wadsworth: Cengage Learning.

43
Universitas Indonesia
Gambar 1.6.4 Jalur Metabolisme Asam Lemak Rantai Ganjil
Sumber: Lehninger, A., Nelson, D. L. dan Cox, M. M., 2005. Lehninger Principles of Biochemistry. 4th
Ed. New York: W. H. Freeman.

Sedangkan, untuk produk tambahan misalnya pada jalur Leloir atau jalur
galaktosa. Reaksi konversi galaktosa sebetulnya memiliki dua jalur, yaitu
jalur Leloir dan jalur bypass. Jalur Leloir lebih dominan untuk digunakan
daripada jalur bypass. Hal ini disebabkan oleh jalur Leloir digunakan untuk
konversi galaktosa menjadi glukosa yang sangat dibutuhkan oleh tubuh,
sedangkan jalur bypass mengonversi galaktosa menjadi produk lain, yaitu
galaktitol dan galaktonat. Galaktitol dan galaktonat inilah yang disebut
sebagai produk tambahan (Gambar 1.6.5).
Jalur bypass digunakan saat jalur Leloir tidak dapat berjalan dengan lancar.
Jika terjadi defisiensi enzim pada jalur Leloir, maka jalur bypass akan
digunakan dan akan terjadi secara terus menerus. Hal ini akan
mengakibatkan adanya akumulasi dari galaktitol dan galaktonat yang dapat
berdampak buruk pada kesehatan (selengkapnya akan dibahas pada bagian
“Galaktosemia”).

44
Gambar 1.6.5 Jalur Metabolisme Galaktosa (Jalur Leloir)
Sumber: TY - JOUR Coelho, A. I., Berry, G. dan Rubio-Gozalbo, M., 2015.Galactose metabolism and
health. Current Opinion in Clinical Nutrition and Metabolic Care, 18(4), p.422-427.

3. Diagnosis yang tepat memerlukan uji kuantitatif (uji laboratorium) dari


aktivitas enzim yang dianggap rusak.
Berhubung penyakit metabolik sebagian besar disebabkan oleh keturunan
ataupun mutasi gen (dikenal sebagai inborn error of metabolism (IEM)),
maka diagnosis yang dapat dilakukan adalah menggunakan newborn
screening (NBS). NBS digunakan untuk mengidentifikasi bayi yang tidak
menunjukkan gejala (asymptomatic), melakukan pengobatan atau
treatment sesegera mungkin, dan mencegah terjadinya kegagalan yang lebih
parah pada tubuh. Namun, NBS ternyata belum dapat mengidentifikasi
seluruh penyakit metabolik, sehingga dibutuhkan uji laboratorium. IEM
terkadang gagal ditemukan saat dilakukan uji laboratorium juga karena
gejala yang muncul sangat umum dan dapat dihubungkan dengan berbagai
penyakit. Beberapa gejala yang biasanya muncul pada penyakit metabolik
adalah
1. Laktat asidosis, yaitu penumpukan asam laktat di dalam darah. Laktat
asidosis dapat terjadi karena kekurangan oksigen, tekanan darah rendah,
melakukan olahraga secara terus menerus, ataupun cacat pada reaksi

45
Universitas Indonesia
pengubahan laktat menjadi glukosa (Brinkman dan Sharma, 2020;
MedlinePlus, 2020a).
2. Ketosis, yaitu terjadi peningkatan badan keton di dalam darah lebih dari
5 mmol/L. Ketosis dapat terjadi karena makanan yang dikonsumsi
mengandung banyak badan keton ataupun tingginya pemecahan asam
lemak yang digunakan sebagai sumber energi misalnya karena berada
pada fase puasa atau karena konsumsi karbohidrat yang rendah, atau
dapat juga karena terjadi gangguan pada metabolisme pembentukan
glukosa yang diperlukan untuk menghasilkan energi (Charlie Foundation,
2020).
3. Hiperammonemia, yaitu peningkatan kadar amonia di dalam tubuh.
Hiperamonemia dapat terjadi karena adanya penyakit kongenital
ataupun abnormalitas metabolisme, seperti gangguan pada siklus urea
(Ali dan Nagalli, 2020).
Dari uji urin dan darah (tes laboratorium umum) ini barulah pencarian
diagnosis penyakit dapat dilakukan sedikit lebih spesifik dengan
memperhatikan zat-zat yang terakumulasi tersebut. Lalu, lebih spesifiknya
lagi khususnya untuk penyakit genetik dapat dilakukan dengan uji genetik
biokimia dan uji genetik molekuler. Selain itu, diagnosis juga dapat didukung
oleh riwayat medis, riwayat penyakit keluarga, dan gejala klinis yang muncul
untuk mengkategorisasikan jenis penyakit metabolik (Guerrero, Salazar dan
Tanpaiboon, 2018).
4. Terapi rasional harus didasarkan pada pemahaman tentang reaksi biokimia
dasar pada penderita dan pada orang normal.
Pengobatan atau treatment atau terapi yang cocok dapat dipilih sesuai
dengan pengetahuan biokimia yang dipahami (Guerrero, Salazar dan
Tanpaiboon, 2018).

Penyebab Kekurangan Enzim Metabolisme

46
Kekurangan enzim metabolisme atau metabolic enzyme deficiency (MED) dapat
terjadi karena kecacatan genetik, yaitu mutasi dan keturunan atau inborn error
of metabolism (IEM)/inherited metabolic disorders (Chaturvedi, et al., 2016;
Murray, et al., 2003).
1. Mutasi pada gen yang membentuk enzim spesifik (Gambar 1.6.6).

Gambar 1.6.6 Perbandingan Gen yang Normal dengan Gen yang Bermutasi
Sumber: PinClipart, n.d. Gene Mutations Are Either Germline Or Somatic Clipart. [online] Available at:
<https://images.app.goo.gl/3iyCadj9e1huRJhh8> [Accessed 28 October 2020].

2. Inborn error of metabolism (IEM). IEM adalah penyakit yang disebabkan oleh
terjadinya pemblokiran pada jalur metabolisme karena defisiensi aktivitas
dari suatu enzim spesifik (Guerrero, Salazar dan Tanpaiboon, 2018).
Defisiensi enzim dapat disebabkan oleh resesif autosom, yaitu kedua orang
tua sebagai carrier, membentuk 25% anak tidak sakit, 50% anak carrier, dan
25% anak sakit (Gambar 1.6.7) atau X-linked recessive, yaitu kromosom X
pada ibu memiliki sifat pembawa, sehingga diturunkan kepada anaknya
(Gambar 1.6.8) (Chaturvedi, et al., 2016). Pada X-linked recessive misalnya
seorang ayah memiliki kromosom X yang memiliki sifat pembawa, maka
anak laki-lakinya tidak akan mendapatkan kromosom X tersebut jika
memang sang ibu tidak memiliki kromosom X pembawa. Dari keluarga ini
akan menghasilkan anak laki-laki sehat dan anak perempuan sebagai carrier.

47
Universitas Indonesia
Gambar 1.6.7 Skema Resesif Autosomal
Sumber: Wikipedia, n.d. Berkas: Autosomal Recessive - en.svg. [online] Available at:
<https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Autosomal_recessive_-_en.svg> [Accessed 28 October 2020].

Gambar 1.6.8 X-linked kromosom


Sumber: PNGkit, n.d. Banner Freeuse Library Ocular Type Hereditary Diseases - X Linked Recessive.
[online] Available at: <https://images.app.goo.gl/VL4rhqMZWVN2HZdV9> [Accessed 28 October
2020].

Defisiensi Enzim
48
1. Galaktosemia Klasik
Galaktosemia adalah kelainan yang memengaruhi cara tubuh memproses
galaktosa (MedlinePlus, 2020b). Kelainan ini terjadi pada jalur galaktosa
(galactose pathway/Leloir pathway), yaitu pengubahan galaktosa menjadi
glukosa (Murray, et al., 2003; Daenzer dan Fridovich-Keil, 2017).
Galaktosemia umumnya terjadi karena defisiensi galaktosa-1-fosfat
uridiltransferase (GALT) (galaktosemia tipe 1/galaktosemia klasik), tetapi
juga dapat disebabkan oleh defisiensi pada galaktokinase (GALK)
(galaktosemia tipe 2), ataupun uridin difosfogalaktosa 4-epimerase (GALE)
(galaktosemia tipe 3), sehingga terbentuk tiga tipe galaktosemia (Murray, et
al., 2003). Namun, materi ini akan lebih fokus membahas tentang klasik
galaktosemia. Defisiensi ketiga enzim ini disebabkan oleh resesif autosom
karena terjadinya mutasi pada gen GALT, GALK1, dan GALE kedua orang tua
(MedlinePlus, 2020b; Martinelli, et al., 2016).

Jalur Normal Metabolisme Galaktosa


Jalur Leloir normal (Gambar 1.6.9) menurut Murray, et al. (2003) adalah
sebagai berikut.
1. Galaktosa dikonversi menjadi galaktosa-1-fosfat (Gal-1-P) dengan
tambahan ATP dan kofaktor magnesium dan dikatalis oleh galaktokinase
(GALK).
2. Gal-1-P dengan uridin difosfat glukosa (UDP-glucose / UDPGlc) diubah
menjadi uridin difosfat galaktosa (UDP-galactose / UDPGal) dan glukosa-
1-fosfat. Reaksi tersebut melibatkan dua enzim, yaitu
1) Galaktosa-1-fosfat uridiltransferase (GALT) yang mengkatalis reaksi
pengubahan Gal-1-P menjadi glukosa-1-fosfat
2) Uridine diphosphogalactosa 4-epimerase (GALE) yang mengkatalis
reaksi pengubahan UDP-glukosa menjadi UDP-galaktosa
menggunakan NAD+ sebagai koenzim.

49
Universitas Indonesia
3. Saat UDPGal kembali membentuk UDPGlc, maka UDPGlc dapat diubah
menjadi glikogen dengan bantuan enzim glikogen sintase. Lalu
dilanjutkan dengan pengikatan dengan fosfat melalui bantuan
pirofosforilase membentuk glukosa-1-fosfat.
4. Glukosa-1-fosfat dikonversi menjadi glukosa-6-fosfat dengan
phosphoglucomutase.
5. Glukosa-6-fosfat dikonversi menjadi
1) Glukosa dengan glukosa-6-phosphatase (Murray, et al., 2003);
2) Laktat dan/atau piruvat melalui reaksi glikolisis (Boyer, Barclay dan
Burrage, 2015).

Gambar 1.6.9 Jalur Leloir atau Jalur Galaktosa


Sumber: Murray, R. K., et al., 2003. Harper's Illustrated Biochemistry. 6th Ed. New York: McGraw Hill
Companies.

Jalur Bypass
Sebetulnya, dalam reaksi galaktosa, terdapat jalur Leloir dan jalur "bypass"
yang minor. Jalur Leloir adalah jalur yang lebih dominan pada pengubahan
galaktosa menjadi glukosa, sedangkan jalur bypass tidak dianggap signifikan.
Namun, saat jalur Leloir terblokir karena kekurangan GALT, GALK, ataupun
GALE, maka jalur bypass menjadi sangat penting (Daenzer dan Fridovich-Keil,
2017). Pada jalur bypass, terjadi:
1. Oksidasi pada galaktosa menjadi galaktonat oleh galaktosa
dehidrogenase (Gambar 1.6.10(1));

50
2. Reduksi galaktosa menjadi galaktitol oleh aldosa reduktase (Gambar
1.6.10(2);
3. Konversi UDP-Galaktosa menjadi Gal-1-P oleh UDP-glukosa
pirofosforilase (UGP) (Gambar 1.6.10(3)) (Daenzer dan Fridovich-Keil,
2017).

Gambar 1.6.10 Gambar Jalur Leloir dan Jalur Bypass


Sumber: MedlinePlus, 2020b. Galaktosemia. [online] Available at:
<https://medlineplus.gov/genetics/condition/galactosemia/#inheritance> [Accessed 14 November
2020].

Jenis Galaktosemia
Jenis-jenis galaktosemia menurut Daenzer dan Fridovich-Keil (2017).
1. Galaktosemia tipe 1
Kekurangan enzim galaktosa-1-fosfat uridiltransferase (GALT)
menyebabkan Gal-1-P tidak dapat dikonversikan menjadi glukosa-1-
fosfat, sehingga terjadi akumulasi Gal-1-P.
2. Galaktosemia tipe 2
Kekurangan enzim galaktokinase (GALK) membuat galaktosa tidak dapat
diubah menjadi Gal-1-P, sehingga terjadi akumulasi galaktosa.
3. Galaktosemia tipe 3
51
Universitas Indonesia
Kekurangan enzim uridin difosfogalaktosa 4-epimerase (GALE) membuat
UDP-glukosa yang bekerja sama dengan Gal-1-P tidak dapat dikonversi
menjadi UDP-galaktosa dan glukosa-1-phosphate, sehingga glukosa-1-
phosphate juga akan gagal terbentuk mengakibatkan terjadinya
akumulasi Gal-1-P.
Penderita galaktosemia tipe 2 memiliki gejala paling ringan, yaitu
ditunjukkan oleh adanya katarak karena hanya terjadi akumulasi galaktosa,
bukan galaktosa-1-fosfat. Sedangkan, galaktosemia tipe 1 dan 3 dapat terjadi
akumulasi Gal-1-P abnormal dan berpotensi mematikan dan menunjukkan
komplikasi spesifik organ jangka panjang (akan dibahas selanjutnya) (Lai,
Elsas, Wierenga, 2010).

Akibat dari Galaktosemia Klasik


Galaktosemia klasik, yaitu penyakit defisiensi enzim galaktosa-1-fosfat
uridiltransferase (GALT), memiliki gejala jaundice, hypoglycemia, gagal hati,
hepatopati, katarak, and terkadang hipertensi intrakranial atau bahkan
edema otak. Pada defisiensi enzim GALT ini, terjadi akumulasi dari galaktosa
1-fosfat, galaktitol, dan galaktonat.
1. Akibat dari akumulasi Galaktosa-1-fosfat
- Penghabisan dari penggunaan fosfat di dalam hati secara terus-menerus
(Gambar 1.6.11), sehingga menyebabkan gagal hati (Murray, et al.,
2003). Gagal hati menyebabkan pigmen-pigmen empedu dari
pemecahan sel darah merah antara tidak dapat diserap oleh hati
dengan benar atau tidak dapat terkonjugasi dengan benar, sehingga
menyebabkan penumpukan pigmen empedu di dalam darah yang
menyebabkan jaundice (penyakit kuning) (Murray, et al., 2003).

52
Gambar 1.6.11 Metabolisme Bilirubin pada Penyakit Kuning
Sumber: Berkowitz, A., 2007. Clinical Pathophysiology Made Ridiculously Simple. Florida:
MedMaster Inc.

- Inhibisi kerja dari phosphoglucomutase, glucose-6-phosphatase


(Gambar 1.6.9), glycogen phosphorylase, UDP-glucose
pyrophosphorylase (Gambar 1.6.20), glucose-6-phosphate
dehydrogenase (Gambar 1.6.12), dan inositol monophosphatase
(Gambar 1.6.13) karena galaktosa 1 fosfat berperan sebagai inhibitor
aktivitas dari enzim-enzim tersebut (Machado, et al., 2017), sehingga
terjadi gangguan pada produksi glukosa yang menyebabkan terjadi
hipoglikemia.

53
Universitas Indonesia
Gambar 1.6.12 Reaksi Stres Oksidatif pada Sel Darah Merah
Sumber: Abramova, I., et al., 2020. A Study on the Relevance of Glucose-6-Phosphate
Dehydrogenase Level Screening in Patients with Rheumatic Diseases Prior to Initiating
Treatment With Hydroxychloroquine. Cureus, 12(8), p.e9519.

Gambar 1.6.13 Reaksi Pembentukan Inositol


Sumber: Goswami, R., et al., 2018.Inositol Monophosphatase: A Bifunctional Enzyme in
Mycobacterium smegmatis. ACS OMEGA, 3(10), p.13876–13881.

54
2. Akiba tdari akumulasi galaktitol
Di dalam darah, galaktitol akan terakumulasi dan sebagian akan dibuang
melalui urin (Lai, Elsas, Wierenga, 2010).
- Akumulasi dari galaktitol pada mata, tepatnya pada lensa menyebabkan
katarak (Gambar 1.6.14) (Segal and Cuatrecasas, 1967). Hal ini membuat
lensa tidak dapat membiaskan cahaya ke bagian retina, sehingga
mengganggu pengelihatan (Tortora dan Derrickson, 2017).

Gambar 1.6.14 Anatomi Mata


Sumber: Jmarchn, 2020. Schematic diagram of the human eye. [online] Available at:
<https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Schematic_diagram_of_the_human_eye_en.svg>
[Accessed 23 November 2020].

- Akumulasi galaktitol ditemukan dalam otak yang dapat menyebabkan


hipertensi intrakranial dan edema otak karena sifat dari galaktitol.
Galaktitol bersifat impermeabel terhadap membran, sehingga saat
konsentrasinya meningkat di dalam pembuluh darah, dapat
menyebabkan penyeimbangan cairan dengan cara meningkatkan cairan
pada otak, sehingga menyebabkan hipertensi intrakranial dan pada
akhirnya juga edema otak karena cairan keluar ke jaringan otak (Brown,
dan Imam, 1991).

55
Universitas Indonesia
3. Akumulasi galaktonat masih belum diketahui bersifat toksik atau tidak
dan akibatnya (Lai, Elsas, Wierenga, 2010).

Upaya Preventif
Upaya untuk meminimalisasi akibat negatif dari galaktosemia menurut
Boyer, Barclay dan Burrage (2015) adalah sebagai berikut.
1. Restriksi konsumsi makanan yang mengandung laktosa dan galaktosa
untuk menghindari dampak dari penyakit ini. Misalnya pada bayi dan
anak-anak, dengan mengonsumsi susu selain dari susu sapi contohnya
susu formula dari susu bubuk yang bebas laktosa.
2. Membaca label nutrisi pada makanan kemasan.
3. Memperhatikan asupan kalsium, fosfor, dan vitamin D anak karena
kalsium dan fosfor biasanya terdapat pada susu, sedangkan vitamin D
berfungsi untuk meningkatkan serapan dari kalsium tersebut.
Namun, pada galaktosa dalam buah, sayur, dan keju masih belum diketahui
pengaruhnya.

2. Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik adalah penyakit kekurangan sel darah merah akibat dari
pemecahan sel darah merah yang lebih cepat dari pembentukannya.
Destruksi sel darah merah disebut dengan hemolisis, sedangkan kekurangan
sel darah merah disebut dengan anemia. Oleh karena itu penyakit ini disebut
dengan anemia hemolitik (John Hopkins Medicine, 2020).
Anemia hemolitik dapat terjadi akibat defisiensi enzim-enzim yang berperan
dalam memproduksi ATP yang dibutuhkan oleh sel darah merah. Enzim-
enzim ini terdapat pada jalur glikolisis maupun jalur pentosa fosfat (PPP).
Misalnya, pada jalur glikolisis, anemia hemolitik terjadi karena defisiensi dari
enzim heksokinase (akibat resesif autosomal pada gen HK1), piruvat kinase
(akibat resesif autosomal gen PKLR), fosfofruktokinase (Tarui disease) (akibat
resesif autosomal gen PFKM), glukosa fosfat isomerase (akibat resesif
56
autosomal gen GPI), triosafosfat isomerase (akibat resesif autosomal gen
TPI1), dan fosfogliserat kinase (akibat kromosom X) (Gambar 1.6.15).
Sedangkan, pada jalur pentosa fosfat karena defisiensi enzim glukosa 6-
fosfat dehidrogenase (akibat kromosom X) (Gambar 1.6.16)(Omim, 2017;
NORD, 2019; Enerca, 2020; MDA, 2020; MedlinePlus, 2020c; MedlinePlus,
2020d; MedlinePlus, 2020e; GARD, 2020a).

Gambar 1.6.15 Glikolisis


Sumber: Murray, R., Granner, D., Mayes, P., and Rodwell, V. 2006. Harper’s Biochemistry. 26th ed.
New York: McGraw Hill.

57
Universitas Indonesia
Gambar 1.6.16 Jalur Pentosa Fosfat (PPP)
Sumber: Murray, R., Granner, D., Mayes, P., and Rodwell, V. 2006. Harper’s Biochemistry. 26th ed.
New York: McGraw Hill.

ATP dibutuhkan oleh sel darah merah karena sel darah merah tidak memiliki
mitokondria, maka sumber energi sel darah merah berasal dari hasil glikolisis
pada mitokondria dari organ lain. Saat enzim-enzim dari glikolisis defisiensi,
maka pembentukan energi akan terhambat. Akhirnya, produksi energi
kurang dan sel darah merah tidak dapat bekerja dengan baik, sehingga
terjadi hemolisis (pemecahan sel darah merah prematur). Jika sel darah
merah tidak diproduksi dengan cepat, maka akan menyebabkan anemia
(Berkowitz, 2007).
Anemia hemolitik juga dapat terjadi karena defisiensi enzim G6PD yang
berperan dalam memproduksi NADPH. NADPH berperan untuk mengaktivasi
enzim glutation reduktase dan peroksidase dalam darah (Gambar 1.6.12).
Enzim glutation reduktase berfungsi sebagai katalisator untuk reduksi
glutation yang berperan untuk melindungi sel darah merah dari spesies
58
oksigen reaktif pada. Jika enzim ini tidak bekerja dengan benar, maka akan
terbentuk zat oksidatif. Sedangkan, sel darah merah sensitif terhadap zat
oksidatif, jika tidak terdapat NADPH, sel darah merah tidak dapat
mengeluarkan H2O2, dan radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan
oksidatif, sehingga terjadi hemolisis dan penyakitnya disebut dengan
hemolitik anemia (Murray, et al., 2003).

Gejala dari Anemia Hemolitik


1. Tachycardia (detak jantung cepat), hipertensi, dan gejala penyakit
jantung lainnya karena organ tubuh membutuhkan pasokan oksigen dan
nutrisi yang diangkut oleh eritrosit, tetapi jumlah eritrosit di dalam
plasma sedikit, sehingga gejala tersebut terjadi (Gambar 1.6.17).

Gambar 1.6.17 Hubungan antara Anemia dengan Penyakit Jantung


Sumber: Silent Damage, n.d. In sickle cell disease (SCD), Hemoglobin S (Hbs) Polymerization Is
The Root Cause Of SCD Damage. [online] Available at:
<https://www.scdsilentdamage.com/sickle-cell-pathophysiology> [Accessed 15 November
2020].

2. Peningkatan kebutuhan tidur, pusing, lelah, lesu, karena otak tidak


mendapatkan cukup oksigen sesuai kebutuhannya, sehingga otak cepat
lelah (Gambar 1.6.18).

59
Universitas Indonesia
Gambar 1.6.18 Hubungan antara Anemia dengan Kebutuhan Otak
Sumber: Silent Damage, n.d. In sickle cell disease (SCD), Hemoglobin S (Hbs) Polymerization Is
The Root Cause Of SCD Damage. [online] Available at:
<https://www.scdsilentdamage.com/sickle-cell-pathophysiology> [Accessed 15 November
2020].

3. Kulit pucat dan sianosis (jari tangan, kuku, dan bibir kebiruan) karena
jumlah eritrosit pada permukaan tubuh berkurang karena eritrosit
digunakan untuk organ-organ inti (MedlinePlus, 2020c).
4. Penyakit kuning, ikterus sklera (mata berwarna kuning), urin berwarna
gelap, dan batu empedu karena tingginya level bilirubin dalam hati
(Gambar 1.6.19) yang dihasilkan dari hemolisis atas pemecahan darah
yang terjadi secara terus menerus. Hal ini menyebabkan terjadi
penumpukan bilirubin di dalam darah dan empedu, dan sebagian juga
diekskresikan melalui urin, sehingga terjadi penyakit kuning, ikterus
sklera, urin berwarna gelap (MedlinePlus, 2020c), dan batu empedu
(Kids Health, 2020).

60
Gambar 1.6.19 Jalur Pemecahan Sel Darah Merah
Sumber: Rubin, E., Reisner, H. M., 2014. Essentials of Rubin’s Pathology. 6th Ed. Baltimore:
Lippincott Williams and Wilkins.

5. Splenomegali (pembesaran limpa) karena limpa bekerja lebih keras


untuk memecah eritrosit, sehingga limpa membesar (Kids Health, 2020).
6. Kelebihan zat besi di dalam darah (MedlinePlus, 2020a).

Tindakan Preventif
Tindakan untuk meminimalisasi akibat negatif dari anemia hemolitik karena
gangguan metabolisme ini adalah dengan cara menghindari diri dari sumber
infeksi yang dapat menginisiasi terjadinya anemia hemolitik dan
meningkatkan sistem imun (Hopkins Medicine, 2020a).

3. Glycogen Storage Disease Type 1a


Glycogen storage disease (GSD) adalah penyakit penumpukan glikogen di
dalam hati atau penyakit pembentukan glikogen yang tidak benar yang
disebabkan oleh defisiensi enzim. GSD memiliki sepuluh tipe, yaitu tipe 1a
(von Gierke disease) dan tipe 1b, tipe 2 (Pompe’s disease), tipe 3a (Forbe’s
atau Cori’s disease) dan tipe 3b, tipe 4 (Andersen’s disease), tipe 5
(McArdle’s syndrome), tipe 6 (Hers’ disease), tipe 7 (Tarui’s disease), dan tipe
8 sampai dengan tipe 10 (John Hopkins Medicine, 2020; Murray, et al.,
2009). Tabel 1.6.1 menunjukkan tipe glycogen storage disease.

61
Universitas Indonesia
Tabel 1.6.1 Tipe Glycogen Storage Disease
Sumber: Murray, R., et al., 2009. Harper’s Illustrated Biochemistry. 28th Ed. New York: McGraw-Hill
Companies, Inc.

Materi ini akan lebih terfokus membahas GSD tipe 1a atau von Gierke’s
disease dan tipe 1b. GSD tipe 1a terjadi akibat dari defisiensi enzim glukosa 6
fosfatase pada retikulum endoplasma. Enzim ini berperan dalam reaksi
glikogenolisis (reaksi pembentukan glukosa dari glikogen) dan reaksi
glukoneogenesis (pembentukan glukosa dari sumber non karbohidrat)
(Gambar 1.6.20 dan 1.6.21) (Murray, et al., 2003). Aktivitas G6Pase
dilakukan pada beberapa jaringan glukoneogenik seperti hati, ginjal, usus
kecil, dan sel β pankreas endokrin. Normalnya, G6Pase akan teraktivasi
dengan berikatan dengan fosfat, tetapi glycogen storage disease type 1a
(GSD-1a), G6Pase tidak dapat berikatan dengan fosfat, sehingga enzim gagal
teraktivasi dan mengakibatkan glikogen ataupun sumber non karbohidrat
tidak dapat diubah menjadi glukosa (Chaturvedi, et al., 2016). Lalu, glikogen
akan terakumulasi di dalam organ (Glycogen storage disease/GSD) (Boyer,
Barclay dan Burrage, 2015).

62
Gambar 1.6.20 Jalur Glikogenolisis (Glikogen Menjadi Glukosa)
Sumber: Murray, R. K., et al., 2003. Harper's Illustrated Biochemistry. 6th Ed. New York: McGraw Hill
Companies.

63
Universitas Indonesia
Gambar 1.6.21 Jalur Glukoneogenesis (Sumber Non Karbohidrat Menjadi
Glukosa)
Sumber: Murray, R., et al., 2009. Harper’s Illustrated Biochemistry. 28th Ed. New York: McGraw-Hill
Companies, Inc.

Glukosa 6 fosfatase bekerja dalam bentuk sistem multikomponen bersama


beberapa protein integral membran, G6Pase catalytic subunit (G6PC),
protein regulator pengikat Ca2+, dan glucose-6-phosphate translocase
(G6PT) (Chaturvedi, et al., 2016). Gambar 1.6.22 mengilustrasikan letak
G6Pase catalytic subunit (G6PC) dan glucose-6-phosphate translocase (G6PT)
pada retikulum endoplasma.

Gambar 1.6.22 Ilustrasi Letak G6Pase catalytic subunit (G6PC) dan glucose-6-
phosphate translocase (G6PT) pada Retikulum Endoplasma
Sumber: Lizák, B., et al., 2019. Glucose Transport and Transporters in the Endomembranes. Int. J. Mol.
Sci., 20(23).

Kekurangan G6Pase disebabkan oleh terjadi kerusakan pada dua komponen


yang bekerja sama dengan G6Pase, sehingga terdapat perkembangan dua
penyakit yang berbeda. Penyakit tersebut adalah GSD tipe 1a (von Gierke’s
disease) dan GSD tipe 1b (Rai, Narayanan dan Ray, 2017).

64
1. GSD tipe 1a atau Von Gierke's disease adalah GSD tipe 1 yang paling
sering terjadi. GSD tipe 1a disebabkan oleh kerusakan G6PC (G6Pase
catalytic subunit) (Gambar 1.6.22). GSD tipe 1a terjadi saat kurangnya
aktivitas G6Pase dalam hati, ginjal, dan mukosa usus karena G6PC yang
berfungsi untuk mempertahankan homeostasis glukosa dan hidrolisis
glukosa-6-P menjadi glukosa dan fosfat anorganik (Pi). Jadi, jika G6PC
mengalami kerusakan, homeostasis glukosa dan reaksi hidrolisis tidak
dapat terjadi, sehingga glikogen dan substrat non karbohidrat tidak
dapat dipecah menjadi glukosa, menyebabkan terjadi penumpukan
glikogen dan substrat non karbohidrat dalam organ tersebut. Defisiensi
enzim ini disebabkan oleh resesif autosomal yang terjadi mutasi pada
gen G6PC pada kromosom 17q21.

Gejala dan Tanda dari Penderita GSD-1a


- Hipoglikemia atau gula darah rendah karena glukosa tidak dapat
diproduksi.
- Hiper laktasidemia/asidosis laktat, yaitu kelebihan asam laktat dalam
darah karena substrat tidak dapat membentuk glukosa, sehingga
substrat diubah menjadi piruvat yang pada akhirnya akan dikonversi
menjadi asam laktat, sehingga terjadi produksi laktat berlebih.
- Hepatomegali dini (hati membesar) karena terjadi akumulasi dari
glikogen di dalam hati (Gambar 1.6.23).

65
Universitas Indonesia
Gambar 1.6.23 Jalur Penyimpanan dan Pemecahan Glikogen pada Hati
dan Otot
Sumber: Stark, R. dan Kibbey, R. G., 2014. The mitochondrial isoform of phosphoenolpyruvate
carboxykinase (PEPCK-M) and glucose homeostasis: Has it been overlooked? Biochimica et
Biophysica Acta (BBA) - General Subjects, 1840 (1), p.1313-1330.

- Otot lemah karena glikogen tidak dapat membentuk ATP.


- Hiperlipidemia karena terjadi penumpukan kolesterol dan lipid di
dalam tubuh.
- Hiperurisemia (penyakit gout), yaitu kadar asam urat tinggi yang
berasal dari penumpukan glikogen. Seperti yang sudah dibahas
sebelumnya, penumpukan glikogen yang tidak dapat diubah menjadi
glukosa ini akan diubah menjadi asam piruvat yang pada akhirnya

66
akan berubah menjadi asam laktat. Karena produksi asam laktat
terjadi secara terus menerus, pada akhirnya menyebabkan asidosis
laktat. Asam laktat berperan dalam aktivasi karier URAT-1, yaitu
pembawa asam urat agar direabsorbsi di ginjal. Jadi, saat terjadi
asidosis laktat, terjadi pula peningkatan reabsorbsi asam urat,
sehingga terjadi peningkatan konsentrasi asam urat pada ginjal dan
juga pada tubuh (Gambar 1.6.24).

Gambar 1.6.24 Proses Terjadinya Hiperurisemia


Sumber: Lima, W., Martin-Santos, M. E. S. dan Chaves, V. E., 2015. Uric acid as a modulator of
glucose and lipid metabolism. Biochimie, 116, p.17-23.

- Ketosis karena saat terjadi peningkatan asam piruvat dalam tubuh,


tubuh akan memproduksi lebih banyak asetil CoA, ditambah juga
dengan asam lemak yang berasal dari jaringan adiposa. Tingginya
kadar asetil CoA akan menghasilkan badan keton melalui reaksi
ketogenesis, sehingga terjadi peningkatan badan keton di dalam
tubuh (Gambar 1.6.25).

67
Universitas Indonesia
Gambar 1.6.25 Hubungan antara Badan Keton dengan Asam Piruvat
Sumber: Basicmedical Key, 2016. Carbohydrate Metabolism. [online] Available at:
<https://basicmedicalkey.com/carbohydrate-metabolism-4/> [Accessed 15 November 2020].

- Efek jangka panjangnya menyebabkan adenoma hepatoseluler,


komplikasi ginjal, hipertrigliseridemia parah, sehingga berisiko
pankreatitis dan hipertensi paru-paru.

2. GSD-1b terjadi karena kerusakan G6PT (glucose-6-phosphate


translocase) karena resesif autosomal gen SLC37A4 pada kromosom
11q23. G6PT berperan dalam memindahkan G6P ke dalam lumen
retikulum endoplasma dan juga mengatur jumlah neutrofil. Pengaturan
jumlah neutrofil ini dilakukan dengan cara mengeliminasi metabolit non
klasik yang disebut dengan 1,5-anhydroglucitol-6-phosphate (1,5AG6P)
di dalam neutrofil (Gambar 1.6.26). Awalnya, zat mirip glukosa yang
disebut dengan 1,5-anhydro glusitol (1,5-AG) masuk ke dalam neutrofil.
Lalu 1,5-AG ini akan terfosforilasi saat kadar heksokinase dan ADP-
glukokinase rendah, sehingga membentuk 1,5AG6P. Lalu, 1,5AG6P akan
masuk ke dalam retikulum endoplasma melalui glukosa 6 fosfat
translokase (G6PT). Di dalam RE, 1,5AG6P akan mengalami defosforilasi
68
oleh glukosa 6 fosfat katalitik (G6PC), menghasilkan senyawa 1,5-AG
kembali dan juga fosfat inorganik. Namun, saat G6PT defisiensi,
1,5AG6P akan terakumulasi di dalam sitoplasma dan menginhibisi enzim
heksokinase. Heksokinase berperan dalam pemanfaatan glukosa
menjadi ATP. Saat ATP ini tidak dapat dibentuk, maka neutrofil akan
mengalami nekrosis, sehingga efek dari akumulasi 1,5AG6P adalah
membuat kadar neutrofil darah menjadi rendah (Veiga-da-Chunha, et
al., 2019). Lalu, Saat G6PT defisiensi, dampak lainnya adalah glukosa 6
fosfat tidak dapat masuk ke dalam lumen retikulum endoplasma yang
membuat pembentukan glukosa juga terhambat. Oleh karena itu,
penderita GSD-1b memiliki gejala mirip seperti GSD-1a, tetapi dengan
tambahan mengalami neutropenia. Neutropenia adalah kadar neutrofil
di dalam darah rendah (MayoClinic, 2020a). Selain itu, gejala lainnya
adalah mengalami splenomegali (perbesaran limpa) yang jarang
ditemukan pada pasien GSD-1a. Splenomegali terjadi karena neutrofil
terlalu sering mengalami nekrosis akibat dari defisiensi G6PT seperti
yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Gambar 1.6.26 Ilustrasi Akumulasi dari 1,5-AG6P di dalam Neutrofil


Sumber: Veiga-da-Chunha, M., et al., 2019. Failure to eliminate a phosphorylated glucose analog
leads to neutropenia in patients with G6PT and G6PC3 deficiency. PNAS, 116(4), p.1241-1250.

69
Universitas Indonesia
Tindakan Pengobatan
Tindakan preventif tidak dapat dilakukan karena GDS terjadi akibat dari
turunan orang tua. Namun, tindakan untuk meminimalisasi akibat buruk dari
GSD dan pengobatan dapat dilakukan dengan pengaturan pola makan, yaitu
sebagai berikut.
- Pada bayi, mengatur asupan makanan yang berkelanjutan, tetapi tidak
berlebihan.
- Pada anak-anak, dengan (1) mengonsumsi pati jagung karena pati
jagung merupakan jenis karbohidrat kompleks yang butuh dicerna
dalam waktu yang lama, sehingga dapat mempertahankan
normoglikemia dan (2) mengonsumsi makanan mengandung rendah
lemak agar tidak meningkatkan kadar lipid dalam tubuh, tetapi tetap
memberi asupan asam lemak esensial untuk pertumbuhan dan
perkembangan otak anak. Jika kadar lipid berlebih di dalam darah, maka
akan terjadi penyimpanan lemak kembali.
- Mengonsumsi suplemen untuk menurunkan kadar asam urat, yaitu
allopurinol dan angiotensin-converting-enzyme (ACE) dengan cara
meningkatkan ekskresi.
- Terapi menurunkan kadar lipid.
- Transplantasi hati pada GSD-1a jika pengobatan dengan makanan tidak
responsif terhadap hepatocellular adenoma dan tumor. GSD-1b
transplantasi sumsum tulang karena berhubungan dengan defisiensi
myeloid (sel pembentuk neutrofil) (Boyer, Barclay dan Burrage, 2015).

4. Gangguan Pada Glukoneogenesis


Defisiensi Fruktosa-1,6-Bifosfatase (FBPase)
Fruktosa-1,6-bifosfatase (FBPase) adalah enzim yang bekerja pada jalur
glukoneogenesis yang teraktivasi oleh bentuk isomer konformasional aktif
(R) dan inaktif (T) melalui reaksi defosforilasi dan fosforilasi (Gambar 1.6.27-
70
Kerja dari FBPase adalah mengkatalis reaksi pengubahan fruktosa-1,6-
bifosfatase ataupun fruktosa-2,6-bifosfatase menjadi fruktosa-6-fosfat (dari
glikogen dan substrat non karbohidrat menjadi glukosa) (Chaturvedi, et al.,
2016) (Gambar 1.6.27-a dan 1.6.28). FBPase teregulasi oleh fruktosa-1,6-
bifosfat yang berikatan dengan situs substrat dan AMP (adenosin
monofosfat) yang berikatan dengan situs alosterik (Gambar 1.6.27-a).
Defisiensi FBPase terjadi saat gen FBP1 ataupun FBP2 pada kromosom 9q22
mengalami mutasi gen dan diturunkan melalui autosomal resesif.

Gambar 1.6.27 (a) Cara Aktivasi FBPase2; (b) Hubungan Antara Fosforilasi
Fosfatase dengan Kinase
Keterangan: FBPase 2 (Fruktosa-1,6-bifosfatase); PFK2 (Fosfofruktokinase 2); F-6-P
(fruktosa-6-fosfat);F-2-,6-BP); cAMP (cyclic Adenosine Monophosphate), PKA
(protein kinase A).
Sumber: Litwack, G., 2018. Glycolysis and Gluconeogenesis. Human Biochemistry, p.183-198.

71
Universitas Indonesia
Gambar 1.6.28 Peran FBPase pada Glikolisis
Keterangan: G-6-P (glukosa-6-fosfat); F-6-P (fruktosa-6-fosfat); F-2,6-P (Fruktosa-2,6-fosfat);
F-1,6-P (Fruktosa-1,6-fosfat); FBPase (fruktosa bifosfatase); PK (protein kinase).
Sumber: Litwack, G., 2018. Glycolysis and Gluconeogenesis. Human Biochemistry, p.183-198.

Gambar 1.6.29 Glikolisis beserta Glukoneogenesis


Sumber: Pagliara, A., et al., 1972. Hepatic fructose-1,6-diphosphatase deficiency. A cause of lactic
acidosis and hypoglycemia in infancy. Journal of Clinical Investigation, 11, p.2115-2123.

Gejala dan Tanda Penderita Defisiensi Fruktosa Bifosfatase

72
Jika kekurangan FBPase di dalam hati, maka akan mengalami tanda dan
gejala sebagai berikut.
- Hipoglikemia karena glikogen, fruktosa, asam amino, asam lemak, dan
gliserol tidak dapat diubah menjadi glukosa, sehingga kadar gula darah
rendah Gambar 1.6.29.
- Asidosis laktat karena bermacam-macam senyawa yang tidak dapat
diubah menjadi glukosa akan mengalami reaksi berbalik arah,
membentuk piruvat. Asam piruvat ini akan diubah antara menjadi asam
laktat ataupun menjadi asetil CoA. Jika diubah menjadi asam laktat,
maka asam laktat akan menumpuk dan menyebabkan asidosis laktat.
Namun, saat asetil CoA menumpuk, maka akan membentuk badan
keton (Gambar 1.6.30). Lalu, badan keton juga akan menumpuk yang
disebut sebagai ketosis.

Gambar 1.6.30 Ketogenesis


Sumber: Murray, R., et al., 2009. Harper’s Illustrated Biochemistry. 28th Ed. New York: McGraw-
Hill Companies, Inc.

- Hiperventilasi sebagai respon dari asidosis laktat, karena darah bersifat


asam/asidosis maka hiperventilasi membantu darah menjadi bersifat
basa/alkalosis (Brinkman dan Sharma, 2020);

73
Universitas Indonesia
- Apnea, yaitu berhenti bernapas sementara, terjadi karena banyaknya
asam laktat membuat otot tenggorokan relaksasi, sehingga pernapasan
terhambat (Mayo Clinic, 2020b).

Tindakan Pengobatan
Pengobatan dapat dilakukan dengan konsumsi glukosa dan bikarbonat untuk
mengontrol hipoglikemia dan asidosis. Pati dan dan gastric drip sering
diberikan selama pengobatan, tetapi tidak untuk sukrosa, sorbitol, fruktosa,
dan lemak karena seperti pada Gambar 1.6.31, keempat zat tersebut akan
diubah menjadi senyawa antara yang terletak sebelum FBPase mengubah F-
1,6-B menjadi F-6-P. Selain itu juga dapat menggunakan inhibitor adenosin
monofosfat (AMP) untuk menghambat glukoneogenesis (Chaturvedi, et al.,
2016).

Gambar 1.6.31 Sukrosa, Sorbitol, dan Fruktosa Memasuki Jalur Glikolisis dan
Glikogenolisis

74
Sumber: Tran, C., 2017. Inborn Errors of Fructose Metabolism. What Can We Learn from Them?
Nutrients, 9(4), p.356.

Defisiensi Fosfoenolpiruvat Karboksikinase (PEPCK)


Fosfoenolpiruvat Karboksikinase (PEPCK) bekerja pada glukoneogenesis yang
mengkatalisis konversi oksaloasetat menjadi fosfoenolpiruvat dengan
menggunakan GTP dan menghasilkan CO2 dan GDP (Gambar 1.6.32). Fase
kerja dari PEPCK adalah fase transisi dari dalam matriks mitokondria ke
sitosol, sehingga PEPCK terbagi menjadi dua jenis, yaitu PEPCK1 (pada
sitosol) dan PEPCK2 (pada mitokondria). Kekurangan enzim ini terjadi karena
resesif autosomal (Chaturvedi, et al., 2016).

75
Universitas Indonesia
Gambar 1.6.32 Jalur Glukoneogenesis (Sumber Non Karbohidrat Menjadi
Glukosa)
Sumber: Murray, R., et al., 2009. Harper’s Illustrated Biochemistry. 28th Ed. New York: McGraw-Hill
Companies, Inc.

PEPCK1 pada sitosol diatur oleh mitokondria melalui GTP-dependent


pathway dengan dorongan dari hormon, suplai substrat, dan nukleotida
purin yang mengonversi oksaloasetat menggunakan GTP, menjadi
fosfoenolpiruvat (PEP), GDP, dan CO2. Selain pada glukoneogenesis, PEPCK1
juga berperan dalam pembentukan gliserol 3 fosfat melalui jalur selain
glukoneogenesis yang disebut dengan gliseroneogenesis pada jaringan
adiposa dan hati (Chaturvedi, et al., 2016). Gliseroneogenesis adalah
produksi gliserol 3 fosfat yang bersumber dari selain glukosa dan gliserol.
Misalnya dari asam piruvat, asam laktat, alanin, dan anion siklus krebs
(Gambar 1.6.33) (Nye, Hanson, dan Kalhan, 2008). Dalam sel beta pankreas,
reaksi ini menghasilkan pembawa pesan kedua (second messenger) yang
digabungkan dengan sekresi insulin (Kibbey, 2016). Defisiensi dari enzim ini
terjadi karena diturunkan melalui autosomal resesif pada gen PCK1 pada
kromosom 20q13 yang mengalami mutasi.

Gambar 1.6.33 Gliseroneogenesis


76
Sumber: Hanson, R. W., Ballard, F. J. dan Reshef, L., Glyceroneogenesis, the pathway that almost
wasn't. Biochemistry and Molecular Biology Education, 34(5), p.317-325.

PEPCK2 memiliki kemampuan untuk menghasilkan karbon dioksida dengan


cara mengonversi piruvat menjadi asam oksaloasetat (jalur Wood-
Werkman). Juga, berperan dalam menyediakan NADH pada saat
pengkonversian dari asam laktat menjadi piruvat (Gambar 1.6.34)
(Chaturvedi, et al., 2016).
Gejala utama dari defisiensi PEPCK
- Hipoglikemia (gula darah rendah) terjadi karena zat lain yang bersumber
dari non karbohidrat tidak dapat diubah menjadi glukosa, menyebabkan
glukosa darah menjadi rendah. Glukosa yang rendah dalam darah dapat
menyebabkan rasa pusing, kebingungan, atau bahkan kehilangan
kesadaran.
- Asidosis laktat terjadi karena pengubahan asam laktat menjadi glukosa
melalui penggunaan PEPCK terjadi kegagalan. Oleh karena itu, asam
laktat akan terakumulasi, sehingga menyebabkan asidosis laktat.

Gambar 1.6.34 Jalur Glukoneogenesis dari Asam Laktat


Sumber: Kamel, K. S., Oh, M. S. dan Halperin, M. L., 2020. L-lactic acidosis: pathophysiology,
classification, and causes; emphasis on biochemical and metabolic basis. Kidney International,
97(1), p.75-88.

77
Universitas Indonesia
- Hipotonia (otot lunak) adalah istilah medis untuk penurunan tonus otot.
Otot yang sehat tidak pernah sepenuhnya rileks. Mereka
mempertahankan sejumlah ketegangan dan kekakuan (tonus otot) yang
bisa dirasakan sebagai perlawanan terhadap gerakan. Hipotonia tidak
sama dengan kelemahan otot, meskipun mungkin sama-sama sulit
untuk menggunakan otot. Hipotonia paling sering terdeteksi pada bayi
segera setelah lahir atau pada usia yang sangat muda, meskipun juga
dapat berkembang di kemudian hari (Finanger dan Koch, 2014).
Hipotonia dapat disebabkan oleh produksi kolin propionil yang
bersumber dari asidemia propionat. Asidemia propionat adalah
akumulasi dari propionil CoA yang bersumber dari isoleusin, treonin,
dan metionin. Kolin propionil ini berperan sebagai inhibitor kompetitif
terhadap reseptor asetilkolin. Jadi kemungkinan mekanisme terjadinya
hipotonia adalah sebagai berikut
Normalnya, asetilkolin berikatan dengan reseptor ACh pada otot untuk
mengeluarkan kalsium dari dalam retikulum sarkoplasma (Gambar
1.6.35). Namun, saat propionil kolin berikatan dengan reseptor
tersebut, maka otot tidak dapat bekerja sesuai dengan fungsinya,
sehingga terjadi hipotonia (Tortora dan Derrickson, 2012; Brown dan
Imam, 1991).

78
Gambar 1.6.35 Kontraksi Normal pada Otot
Sumber: Tortora, G. J. dan Derrickson, B., 2012. Principles of Anatomy and Physiology. 13th Ed.
New Jersey: John Wiley and Sons, Inc.

- Terjadi peningkatan ekskresi produk antara dari siklus krebs, terutama


fumarat karena kebutuhan ATP sudah terpenuhi, tetapi produk-produk
pada siklus krebs tidak dapat diubah menjadi glukosa, sehingga produk-
produk tersebut akan diekskresikan.

Tindakan Preventif
Tindakan yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi akibat buruk dari
defisiensi PEPCK adalah dengan menghindari puasa, menghindari konsumsi
karbohidrat berlebih saat berolahraga, dan menghindari saat-saat tubuh
membutuhkan energi tambahan selain dari sumber karbohidrat, yaitu
sumber non karbohidrat yang perlu dipecah membentuk glukosa melalui
katalisator enzim PEPCK yang defisiensi tersebut (NORD, 2020).

79
Universitas Indonesia
Tindakan Pengobatan
Pengobatan dapat dilakukan dengan melakukan terapi untuk mengobati
serangan akut (infus glukosa dan bikarbonat). Tidak ada pengobatan khusus
selain mempertahankan normoglikemia (Chaturvedi, et al., 2016).

Gejala yang muncul juga dapat serupa dengan penderita defisiensi PEPCK
adalah defisiensi enzim sebagai berikut (NORD, 2020).
1. Medium chain acyl-coA dehydrogenase (MCAD) dan long-chain 3-
hydroxyacyl-CoA dehydrogenase (LCHAD) karena sama-sama memiliki
tanda hipoglikemia dan mengandung metabolit abnormal dalam urin;
2. Fructose 1,6-bisphosphatase (FBPase) karena sama-sama tidak dapat
memecah asam amino menjadi glukosa, mengalami laktat asidosis,
hipoglikemia, dan urin mengandung badan keton (hipoglikemia ketotik);
3. Pyruvate carboxylase, karena sama-sama mengalami laktat asidemia
dan hipotonia; dan
4. Pyruvate dehydrogenase karena sama-sama mengalami asidemia.

5. Gangguan pada Dekarboksilasi Oksidatif


Defisiensi Piruvat Dehidrogenase Kompleks (PDHC)
Piruvat Dehidrogenase Kompleks (PDHC) bekerja sebagai katalis dalam reaksi
dekarboksilasi oksidatif, yaitu pengonversi asam piruvat menjadi asetil
koenzim A (Gambar 1.6.36). Disebut "kompleks" pada Piruvat Dehidrogenase
Kompleks karena terdiri atas piruvat dekarboksilase (E1 alfa dan beta),
dihidrolipoil transasetilase (E2), dan dihidrolipoil dehidrogenase (E3). Ketiga
kompleks tersebut membutuhkan lima koenzim, tiga gugus prostetik (tiamin
pirofosfat, FAD, dan asam lipoat), dan dua carrier lainnya (koenzim A dan
NAD). Defisiensi PDHC terjadi karena X-linked kromosom pada defisiensi
subunit E1 alfa, kromosom Xp22 gem PDHA1. Selain itu juga dapat
disebabkan oleh resesif autosomal dari defisiensi dari subunir E1 beta pada
80
kromosom 3p14 gen PDHB; subunit E2 kromosom 11q23 gen DLAT; dan
subunit E3-binding protein kromosom 11p13 gen PDHX.

Gambar 1.6.36 Jalur Dekarboksilasi Oksidatif


Sumber: Tortora, G. J. dan Derrickson, B., 2012. Principles of Anatomy and Physiology. 13th Ed. New
Jersey: John Wiley and Sons, Inc.

Tanda dan Gejala Defisiensi Piruvat Dehidrogenase Kompleks


Defisiensi PDHC dan kelainan neurodegeneratif berhubungan dengan
metabolisme mitokondria yang abnormal. Manifestasi klinis dari defisiensi
PDHC terbagi menjadi aspek neurologis dan metabolis.
Aspek neurologis meliputi hipotonia (otot lunak, seperti penjelasan pada
materi sebelumnya, tetapi terjadi karena asetilkolin yang berasal dari asetil
CoA dan kolin tidak dapat terbentuk karena kekurangan asetil CoA),
spastisitas (kelainan motorik utama/otot kencang), retardasi mental, kejang,
lethargy (kelelahan), gangguan pergerakan mata, dan disabilitas intelektual.
Hal ini terjadi karena otak mendapatkan sumber energi terbesar dari

81
Universitas Indonesia
glukosa, sedangkan glukosa akan diubah menjadi ATP melalui konversi asam
piruvat menjadi asetil CoA terlebih dahulu. Oleh karena itu, saat asetil CoA
tidak dapat terbentuk, produksi ATP yang akan digunakan pada otak juga
akan berkurang, sehingga akan mempengaruhi kerja otak. Seluruh gejala
tersebut termasuk ke dalam gejala dari sindrom Leigh, yaitu penyakit
neurodegeneratif atau degenerasi pada otak, sumsum tulang, dan saraf
mata (GARD, 2020b).
Aspek metabolik terjadi saat neonatal karena asidosis laktat setelah terjadi
penumpukan glukosa. Juga, terjadi penyakit maple syrup urine (MSUD) and
gangguan metabolisme energi karena terjadi peningkatan piruvat, laktat,
dan alfa-ketoglutarat pada plasma (Chaturvedi, et al., 2016). Penyakit maple
syrup urine (MSUD) yang berhubungan dengan defisiensi piruvat
dehidrogenase kompleks ini terjadi karena kekurangan enzim E3
(dihidrolipoil dehidrogenase) yang juga menjadi bagian dari defisiensi
BCKADC (Branched-chaid alpha keto acid dehydrogenase complex) dan
alpha-ketoglutarate dehydrogenase complex (KGDC) (OMIM, 2016). Materi
MSUD akan dibahas lebih lanjut pada materi Maple Syrup Urine Disease.

Tindakan Preventif
Tindakan yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi akibat buruk dari
defisiensi PDHC adalah mendorong kerja dari PDHC dengan cara
memberikan asupan kofaktor untuk PDHC, seperti karnitin, tiamin, dan asam
lipoat. Selain itu, mengonsumsi makanan tinggi lemak dan rendah
karbohidrat (diet ketogenik) untuk menggantikan sumber energi dari
karbohidrat yang tidak dapat diubah menjadi ATP dan meminimalisasi risiko
asidosis laktat (GARD, 2020b).

6. Gangguan pada Siklus Krebs


Defisiensi Succinate Dehydrogenase (SDH)

82
Succinate dehydrogenase (SDH) adalah enzim yang mengubah suksinat
menjadi fumarat dengan pelepasan H2 dengan bantuan FAD menjadi FADH2
pada siklus Krebs (Gambar 1.6.37). SDH terdiri atas protein heterotetramer
dengan succinate dehydrogenase A (SDHA) dan B (SDHB). Succinate
dehydrogenase A dan B adalah subunit yang menonjol ke dalam mitokondria
dan berikatan dengan membran bagian dalam dari oleh subunit succinate
dehydrogenase C (SDHC) dan D (SDHD) (Gambar 1.6.38).

Gambar 1.6.37 Siklus Krebs atau Siklus Asam Sitrat


Sumber: Murray, R., et al., 2009. Harper’s Illustrated Biochemistry. 28th Ed. New York: McGraw-Hill
Companies, Inc.

83
Universitas Indonesia
Gambar 1.6.38 Letak Suksinat Dehidrogenase Kompleks
Sumber: Scott-Thomas, J., 2006. SDH Complex. [online] Available at:
<https://en.wikipedia.org/wiki/File:SDH_complex.jpg> [Accessed 17 November].

Gejala dan Tanda Defisiensi Succinate Dehydrogenase (SDH)


Defisiensi SDH dapat terjadi karena mutasi gen dan diturunkan melalui
autosomal resesif ataupun autosomal dominan. Defisiensi SDH
mengakibatkan sindrom Leigh's atau subacute necrotising
encephalomyelopathy (SNEM), yaitu penyakit neurodegeneratif dan
berhubungan dengan defisiensi SDH (pada otak, sumsum tulang, dan saraf
mata). Juga, miopati progresif, oftalmoplegia (otot mata lemas), atrofi optik
(kerusakan akson), ataxia (gangguan koordinasi tubuh), kejang,
keterlambatan motorik, visual tracking yang buruk, tachypnea (nafas cepat),
piruvat asidosis, dan laktat asidosis yang dapat merusak kerja organ respirasi
dan ginjal (Chaturvedi, et al., 2016).
Secara spesifik, mutasi missense yang diturunkan secara autosomal dominan
menyebabkan terjadinya defisiensi SDHB dan menyebabkan terjadinya
sindrom PLG4 (sindrom pheochromocytoma/paraganglioma tipe 4) yang
ditandai dengan tumor stroma gastrointestinal dan tumor ginjal (termasuk
karsinoma). Mutasi subunit SDHB, SDHC atau SDHD dan diturunkan melalui
autosomal dominan menyebabkan paraganglioma dan pheochromocytoma
herediter.
84
Normalnya, suksinat dehidrogenase berperan untuk mengkatalisis oksidasi
suksinat menjadi fumarat dalam siklus Krebs (Gambar 1.6.39-1), elektron
turunan diumpankan ke kompleks rantai pernapasan III untuk mereduksi
oksigen dan membentuk air (Gambar 1.6.39-2). Ini membangun gradien
elektrokimia melintasi membran dalam mitokondria memungkinkan untuk
sintesis ATP. Sebagai alternatif, elektron dapat dialihkan untuk mereduksi
kumpulan ubikuinon (kumpulan UQ) dan memberikan reduksi ekuivalen
yang diperlukan untuk mengurangi anion superoksida yang berasal dari
sumber eksogen atau dari rantai pernapasan itu sendiri (Gambar 1.6.39-3).
Kurangnya aktivitas dehidrogenase suksinat akan menghambat aliran
elektron ke kompleks rantai pernapasan III dan kumpulan kuinon, yang
mengakibatkan stres oksidatif utama yang diketahui dapat mendorong
pembentukan tumor pada manusia (Rustin, Munnigh dan Rötig, 2002).

Gambar 1.6.39 Peran Suksinat Dehidrogenase


Sumber: Rustin, P., Munnigh, A. dan Rötig, A., 2002. Succinate dehydrogenase and human diseases:
new insights into a well-known enzyme. European Journal of Human Genetics, 10, p.289-291.

Tindakan Preventif
TIndakan untuk meminimalisasi akibat buruk dari defisiensi SDH melalui
pengaturan suplemen dan vitamin kurang efektif. Namun, pengobatan
menggunakan rapamycin diketahui dapat meningkatkan keselamatan hidup

85
Universitas Indonesia
dari penderita defisiensi SDH, tetapi pengobatan ini masih diteliti lebih lanjut
(Fan, et al., 2019).

Defisiensi Fumarase atau Fumarat Hidratase (FH)


Fumarase atah fumarat hidratase (FH) bekerja sebagai pengkatalis konversi
fumarat menjadi malat dengan penambahan H2O (Gambar 1.6.37). FH
terjadi karena resesif autosomal pada kromosom 1q43 gen FH. FH terdapat
pada sitosol dan mitokondria. FH mitokondria berfungsi sebagai katalis
reversible antara fumarat dan malat saat siklus asam sitrat. FH sitosol
berperan dalam metabolisme fumarat dalam siklus urea (Chaturvedi, et al.,
2016).

Tanda dan Gejala Defisiensi Fumarase


Defisiensi FH menyebabkan asiduria fumarat dengan gejala gangguan
neurologis, ensefalopati, dan kejang, yang menyebabkan kematian di masa
kanak-kanak. Perubahan neuropatologis terjadi akibat otak kekurangan ATP
yang terbentuk melalui kerja dari enzim FH. Perubahan neuropatologis
meliputi kista pleksus koroid (akumulasi cairan di otak, bagian pleksus
koroid), polimikrogia (pertumbuhan otak yang abnormal), dan hipomielinasi
yang terjadi pada materi putih otak di usia tua. Hal-hal tersebut diperkirakan
terjadi karena adanya gangguan fungsi mitokondria dan stress oksidatif pada
otak, sehingga muncul gejala-gejala tersebut (Bubber, et al., 2012).
Sayangnya, hingga saat ini, belum ada pengobatan khusus yang dapat
digunakan secara efektif (Chaturvedi, et al., 2016).

7. Kelainan pada Fenilalanin dan Tirosin


Fenilalanin adalah asam amino esensial dan tirosin adalah asam amino semi-
esensial. Pada manusia, tirosin disintesis dari fenilalanin melalui fenilalanin
hidroksilase yang menambahkan gugus hidroksil ke cincin aromatik. Tirosin

86
melalui beberapa langkah katabolisme membentuk asetoasetat (ketogenik)
dan fumarat (glukogenik) sebagai produk akhir (Gambar 1.6.40).

Fenilketouria (PKU)
PKU terjadi karena defisiensi dari fenilalanin hidroksilase, enzim yang
mengkatalisis pengubahan fenilalanin menjadi tirosin. Jika defisiensi enzim
ini, akan terjadi akumulasi fenilalanin, sedangkan tirosin yang berperan
sebagai prekursor untuk neurotransmitter dan melanin menjadi berkurang.
Jika tidak diobati, maka penderita akan mengalami kerusakan neurokognitif
irreversible, defisiensi pertumbuhan, eczema (dermatitis atopik/kulit merah
dan gatal), dan hipopigmentasi kulit dan rambut. Gejala tersebut dialami
karena defisiensi tirosin dan gangguan transpor dari asam amino besar yang
bermuatan netral oleh fenilalanin. Oleh karena itu, rekomendasi untuk
makanan yang tidak boleh dikonsumsi adalah fenilalanin (maksimal
fenilalanin sebanyak 2-6 mg/dL dalam darah sepanjang hidupnya) dan
mengonsumsi tirosin dari suplementasi agar gejala sekuel tidak terjadi.
Pemantauan dapat dilakukan dengan penilaian rutin kadar serum fenilalanin
dan tirosin, parameter pertumbuhan, dan asupan makanan "aktual" melalui
catatan diet yang diberikan oleh pasien (Boyer, Barclay dan Burrage, 2015).
Defisiensi enzim fenilalanin hidroksilase diturunkan melalui autosomal
resesif pada kromosom 12q23 gen PAH.

87
Universitas Indonesia
Gambar 1.6.40 Jalur Metabolisme Fenilalanin
Sumber: Gropper, S. S., Smith, J. L., 2013. Advanced Nutrition and Human Metabolism. 6th Ed.
Wadsworth: Cengage Learning.

Tirosinemia tipe II (Richner-Hanhart syndrome)


Tirosinemia tipe II adalah penyakit pada langkah pertama degradasi dari
tirosin. Tirosinemia tipe II terjadi saat enzim aminotransferase defisiensi
akibat resesif autosomal pada kromosom 16q22 gen TAT. Pada dasarnya,
tirosin berperan sebagai building blocks dari mayoritas protein. Akumulasi
dari tirosin berdampak pada mata, kulit, dan perkembangan intelektual.
Gejala yang muncul adalah cacat intelektual, yang dapat bervariasi dari
ringan hingga parah. Temuan lain termasuk keterlambatan psikomotor,
fotofobia (sensitif terhadap cahaya), penyakit mata dan mata merah, dan
sakit pada lesi kulit (Aliu, Kanungo dan Arnold, 2018; GARD, 2017). Tindakan
untuk meminimalisasi akibat negatif dari defisiensi enzim aminotransferase
adalah dengan mengurangi atau mengatur konsumsi tirosin dan fenilalanin
(GARD, 2017).
88
Alkaptonuria (AKU)
AKU adalah penyakit akumulasi dari asam homogentisat akibat dari resesif
autosomal pada kromosom 3q13 gen yang membentuk enzim homogentisat
dioksigenase (HGD). Akumulasi dari asam homogentisat terjadi pada bagian
kartilago, jaringan ikat termasuk tendon dan ligamen, bahkan pada tulang
dan mata yang menyebabkan terjadinya perubahan warna pada bagian-
bagian tersebut. Selain itu, pada jaringan ikat juga dapat menyebabkan
rapuh dan melemah, sehingga dapat berisiko mengalami inflamasi. Oleh
karena itu, penderita alkaptonuria didiagnosis memiliki pigmentasi jaringan
ikat (terutama terlihat di sklera atau tulang rawan telinga), artritis sendi dan
tulang belakang yang menyebabkan low back pain, pengerasan dan
pengecilan (stenosis) katup jantung, dan batu ginjal dan prostat. Pada anak-
anak dapat didiagnosis karena urin menjadi gelap saat terkena udara (Aliu,
Kanungo dan Arnold, 2018; NORD, 2017). Tindakan untuk meminimalisasi
akibat buruk dari defisiensi enzim homogentisat dioksigenase adalah dengan
menghindari aktivitas berat yang dapat memberikan stres pada tulang
belakang dan persendian. Restriksi dari diet tertentu kurang efektif
dilakukan karena sulit untuk dipertahankan dan dapat memunculkan
komplikasi. Konsumsi dari vitamin C dapat mencegah akumulasi dari asam
homogentisat, tetapi juga dirasa kurang efektif dan dibutuhkan studi lebih
lanjut mengenai hal ini. Tindakan pengobatan pada penderita AKU dapat
dilakukan dengan pemberian pengobatan anti inflamasi untuk mengobati
penderita sakit pada sendi. Juga, dapat dilakukan terapi fisik (NORD, 2017).

8. Penyakit pada Asam Amino Rantai Cabang


Maple Syrup Urine Disease (MSUD)
Maple syrup urine disease (MSUD) atau branched-chain ketonuria adalah
penyakit akumulasi dari asam amino leusin, isoleusin, valin di dalam plasma
dan urin. MSUD disebabkan oleh defisiensi dari enzim branched-chain alpha
89
Universitas Indonesia
keto acid complex (BCKDC) (Gambar 1.6.41) (Chaturvedi, et al., 2016). BCKDC
tersusun atas enzim E1 alfa dan beta (ubiquitin-activating enzyme atau
catalytic components decarboxylase, jika terjadi mutasi akan menyebabkan
defisiensi piruvat dehidrogenase), E2 (ubiquitin-conjugating enzyme atau
dihydrolipoyl transacylase), dan E3 (dihydrolipoamide dehydrogenase,
seperti pada defisiensi piruvat dehidrogenase kompleks) dengan dua enzim
regulator, yaitu BCKD kinase dan BCKD phosphatase (Gambar 1.6.42 dan
1.6.43). Enzim E1 (alfa dan beta), E2, dan E3 dikode oleh gen BCKDHA,
BCKDHB, DBT, dan DLD. Dengan subunit E3 digunakan juga pada piruvat dan
α ketoglutarate dehydrogenase complex. Defisiensi enzim ini disebabkan
oleh resesif autosomal pada gen BCKDHA, BCKDHB, DBT, dan DLD
(Gorjizadeh, Jazayeri, dan Najavand, 2018). Branched-chain alfa keto acid
complex (BCKDC) dapat ditemukan di dalam mitokondria dari hati, otot,
jantung, ginjal, usus, dan otak (Gropper dan Smith, 2013).
Langkah kerja dari enzim ini adalah pertama, terjadi transaminasi
(perpindahan gugus amino) pada isoleusin, leusin, dan valin (branched-chain
amino acid) dengan alfa ketoglutarat, membentuk glutamat dan asam alfa
keto turunannya, yaitu α-ketoisocaproate (KIC), α-keto-β-methylvalerate
(KMV), α-ketoisovalerate (KIV) oleh enzim branched chain amino acid
transaminase (BCAT) (Gorjizadeh, Jazayeri, dan Najavand, 2018) (Gambar
1.6.43).
Lalu, dilanjutkan dengan deaminasi oksidatif oleh enzim BCKADC yang
dikontrol oleh BCKDH kinase dan fosfatase. Saat BCAA diperlukan untuk
sintesis protein, BCKDH kinase akan memfosforilasi E1 alfa untuk
mengaktivasi enzim BCKADC. Sedangkan, jika BCAA berlebih, maka BCKDH
fosfatase akan melakukan defosforilasi agar enzim-enzim tersebut
terinaktivasi (Gambar 1.6.42). Saat teraktivasi, maka turunan dari BCAA tadi
(α-ketoisocaproate (KIC), α-keto-β-methylvalerate (KMV), α-ketoisovalerate
(KIV)) akan bergabung dengan koenzim A, melepaskan CO2, dan melakukan

90
reaksi reduksi dengan mengubah NAD+ menjadi NADH (Gorjizadeh, Jazayeri,
dan Najavand, 2018).

Gambar 1.6.41 Jalur Metabolisme Isoleusin, Leusin, dan Valin


Sumber: Gropper, S. S., Smith, J. L., 2013. Advanced Nutrition and Human Metabolism. 6th Ed.
Wadsworth: Cengage Learning.

91
Universitas Indonesia
Gambar 1.6.42 Bentuk dari Branched-chain Alpha Keto Acid Dehydrogenase
(BCKAD)
Sumber: Gorjizadeh, N., Jazayeri, O. dan Najavand, S., 2018. The Genes Responsible for Maple Syrup
Urine Disease, Molecular Pathomechanisms and Causative Mutations in Iranian Population. Journal of
Babol University of Medical Sciences, 20(12), p.39-48.

Gambar 1.6.43 Reaksi pada Branched-chain Alpha Keto Acid complex


(BCKAD)
Sumber: Gorjizadeh, N., Jazayeri, O. dan Najavand, S., 2018. The Genes Responsible for Maple Syrup
Urine Disease, Molecular Pathomechanisms and Causative Mutations in Iranian Population. Journal of
Babol University of Medical Sciences, 20(12), p.39-48.

MSUD ditandai oleh adanya bau seperti maple syrup akibat dari adanya
asam amino isoleusin, leusin, dan valin di dalam urin yang tidak dapat diolah
menjadi produknya. Juga, adanya asidosis yang terjadi karena BCKDC yang
berhubungan dengan mutasi dari enzim E1 (penyusun BCKADC), yaitu
defisiensi piruvat dehidrogenase. Defisiensi piruvat dehidrogenase
menyebabkan asam piruvat tidak dapat diubah menjadi asetil CoA dan akan
terakumulasi (Gambar 1.6.36). Akhirnya, asam piruvat diubah menjadi

92
laktat. Laktat yang tertumpuk akan menyebabkan laktat asidosis
(MedlinePlus, 2017).

Tindakan Preventif
Tindakan meminimalisasi akibat buruk dari MSUD dapat dilakukan dengan
menjaga kadar BCAA (branched-chain amino acid) yang mencakup leusin,
isoleusin, dan valin di dalam tubuh agar tubuh dapat tetap tumbuh dan
berkembang sesuai dengan kebutuhannya. Pengendalian asupan makanan
dapat dilakukan mengonsumsi formula yang mengandung asam amino
sintetik dengan campuran zat gizi makro dan mikro lainnya. Perlu adanya
pengawasan kadar BCAA dalam darah agar kadar BCAA tidak berlebih.
Kekurangan BCAA dapat menyebabkan penurunan sintesis atau katabolisme
otot karena BCAA dapat menghasilkan ATP melalui produksi suksinil CoA,
asetil CoA, dan asetoasetil CoA (Gambar 1.6.41) (Chaturvedi, et al., 2016).

Methylmalonic Aciduria (MMA) dan Propionic Aciduria (PA)


Hasil akhir dari katabolisme leusin, isoleusin, valin, metionin, treonin, dan
asam lemak rantai ganjil adalah propionil CoA menjadi suksinil CoA yang
merupakan bagian dari siklus krebs. Enzim yang membentuk propionil CoA
dan suksinil CoA adalah propionil CoA karboksilase dan metilmalonil CoA
mutase (Gambar 1.6.41). Defisiensi kedua enzim ini akibat dari autosomal
resesif. Pada MMA, yaitu kromosom 6p12 gen MMUT. Sedangkan, pada PA,
yaitu kromosom 3q22 (gen PCCB) ataupun kromosom 13q32 (gen PCCA). Jika
kedua enzim ini defisiensi, maka akan terjadi metilmalonat asiduria (MMA)
dan propionat asiduria (PA). Risikonya adalah keterlambatan perkembangan,
disabilitas intelektual, kejang, dan asidosis metabolik (Chaturvedi, et al.,
2016).

Tindakan Preventif

93
Universitas Indonesia
Tindakan minimalisasi akibat buruk dari defisiensi kedua enzim tersebut
dilakukan dengan pembatasan konsumsi isoleusin, leusin, valin, metionin,
treonin, dan asam lemak rantai ganjil sesuai dengan produk antara pada
defisiensi enzim tersebut. Larangan mengonsumsi metionin, treonin, dan
asam lemak ganjil karena ketiga zat tersebut merupakan produk antara dari
propionil CoA. Sedangkan, larangan mengonsumsi treonin metionin, dan
isoleusin pada defisiensi enzim metilmalonil CoA.
- Produk antara propionil CoA adalah hasil degradasi dari treonin,
metionin, isoleusin, dan asam lemak rantai ganjil (Gambar 1.6.4, 1.6.41,
1.6.44, 1.6.45).
- Produk antara dari metilmalonil CoA adalah treonin, metionin, isoleusin,
valin, dan asam lemak rantai ganjil (Gambar 1.6.4, 1.6.41, 1.6.44, 1.6.45)
(Gropper dan Smith, 2013).
Jumlah konsumsi protein disesuaikan dengan umur, perkembangan,
stabilitas metabolisme, dan tingkat keparahan. Larangan mengonsumsi
makanan yang mengandung zat-zat tersebut dapat dilakukan dengan
strategi pencampuran protein alami dari makanan dan asam amino sintetik
dengan tetap memperhatikan total protein intake. Ataupun strategi yang
kedua adalah mengonsumsi protein hanya dari protein alami, tetapi
mengonsumsi dalam jumlah dibawah rekomendasi kecukupan protein orang
sehat (Chaturvedi, et al., 2016).

9. Kelainan pada Asam Amino Bersulfat (Metionin dan Sistein)


Metionin berperan dalam menghasilkan homosistein, sistein, taurin, sulfat,
dan lain-lain. Metionin dapat diubah menjadi S-adenosil metionin (SAM)
dengan menggunakan ATP dan dibantu oleh enzim adenosil transferase.
Lalu, SAM akan dikonversi menjadi SAH (S-adenosin homosistein) yang akan
membentuk homosistein. Homosistein akan bergabung dengan serin dan
diubah menjadi sistationin dengan bantuan enzim sistationin sintase dan

94
koenzim PLP. Jika reaksi ini dilanjutkan, maka akan menghasilkan sistein,
taurin sulfat, propionil CoA dan metilmalonil CoA (Gambar 1.6.44).

Hipermetioninemia
Hipermetioninemia terjadi saat enzim adenosil transferase defisiensi akibat
dari resesif autosomal ataupun dominan autosomal pada kromosom 10q22
gen MT1A. Hipermetioninemia terjadi karena metionin tidak dapat diubah
mejadi SAM dari metionin (Gambar 1.6.44). Dengan kata lain, metionin akan
terakumulasi dan SAM akan berkurang jumlahnya. Gejala dari
hipermetioninemia biasanya asimtomatik, tetapi jika terdapat gejala
meliputi masalah pada perkembangan psikomotor atau kecerdasan, tremor,
kontraksi otot yang tidak normal, dan lain-lain (MedlinePlus, 2007).

Homosistinuria
Homosistinuria terjadi saat enzim sistationin sintase defisiensi (Gambar
1.6.44). Terjadi karena autosomal resesif. Saat defisiensi enzim sistationin
sintase, homosistein akan terakumulasi dan sitationin akan berkurang.
Gejala yang muncul serupa dengan hipermetioninemia. Namun, para peneliti
belum menemukan hubungan antara gejala yang muncul dengan akumulasi
dari homosistein, S-adenosisil homosistein, S-adenosil metionin, dan
metionin (MedlinePlus, 2016).

95
Universitas Indonesia
Gambar 1.6.44 Jalur Metabolisme Metionin dan Sistein
Sumber: Gropper, S. S., Smith, J. L., 2013. Advanced Nutrition and Human Metabolism. 6th Ed.
Wadsworth: Cengage Learning.

Tindakan Preventif
Tindakan meminimalisasi akibat buruk dari kedua penyakit tersebut adalah
dengan mengatur jumlah konsumsi metionin. Untuk penderita
homosistinuria dapat mengonsumsi suplemen sistin. Jika penderita responsif
terhadap piridoksin (sebagai koenzim), maka dapat juga diberikan suplemen
vitamin B6 (Erbe dan Levy, 2013).

10. Kelainan pada Metabolisme Glisin


Glisin merupakan salah satu produk antara dari metabolisme treaonin. Pada
metabolisme treonin, treonin cleavage complex akan mengubah treonin

96
menjadi glisin dan asetaldehid. Lalu, glisin akan diubah menjadi karbon
dioksida dan amonium dengan pemanfaatan NAD+ dan tetrahidrofolat yang
akan menghasilkan NADH dan 5,10-metilen tetrahidrofolat oleh glisin
cleavage system (Gambar 1.6.45). Namun, saat glisin cleavage system
defisiensi, metabolisme glisin akan terhambat, sehingga glisin akan
terakumulasi serta pembentukan karbon dioksida dan amonium akan
berkurang. Defisiensi glisin cleavage system terjadi disebabkan oleh resesif
autosomal.

Gambar 1.6.45 Jalur Metabolisme Treonin, Glisin, dan Serin


Sumber: Gropper, S. S., Smith, J. L., 2013. Advanced Nutrition and Human Metabolism. 6th Ed.
Wadsworth: Cengage Learning.

Hiperglisinemia
Akumulasi dari glisin disebut dengan non ketotik hiperglisinemia.
Hiperglisinemia terjadi di dalam plasma darah dan cairan serebrospinal.
Akumulasi di dalam otak ini akan menyebabkan gangguan neurologis (Hove,
et al., 2019).
Gejala dari penderita defisiensi enzim ini adalah sebagai berikut.

97
Universitas Indonesia
- Neonatus mengalami hipotonia, lesu, koma, apnea (nafas berhenti tiba-
tiba karena kerja dari otot pernapasan terganggu), dan kejang
- Bayi mengalami kelesuan, hipotonia, kejang, kurang makan,
keterlambatan perkembangan
- Anak-anak dengan keterlambatan perkembangan (dengan bahasa
ekspresif lebih terganggu daripada bahasa reseptif)
- Individu dengan peningkatan kadar glisin plasma yang terisolasi,
terutama bila dikaitkan dengan keterlambatan perkembangan, dan /
atau kejang, atau manifestasi lain di atas
Patofisiologi penyakit otak ini tidak dipahami dengan baik. Namun, dipercaya
bahwa glisin, sebuah neurotransmitter aktif, dapat mengganggu aktivitas
channel klorida tertentu, sehingga mengganggu membran potensial dan
depolarisasi neuron. Tampaknya juga ada gangguan aktivitas saluran keluar
saraf motorik alfa, menghasilkan keadaan klinis yang menyerupai penyakit
Werdnig-Hoffmann (penyakit gangguan pada otot atau miopati) (Cederbaum
dan Berry, 2012).

Tindakan Pengobatan
Pengobatan dapat dilakukan dengan cara pemberian natrium benzoat
karena natrium benzoat akan berikatan dengan glisin membentuk hippurat
yang akan diekskresikan melalui urin (Gambar 1.6.46) (NORD, 2016).

98
Gambar 1.6.46 Reaksi Natrium Benzoat dengan Glisin
Sumber: Rohr, F., 2015. Nutrition Management of Urea Cycle Disorders. In: Bernstein, L. E., Rohr, F.
dan Helm, J. R., 2015. Nutrition Management of Inherited Metabolic Diseases. Switzerland: Springer
Nature. p.159-171.

11. Urea Cycle Disorders (UCD)


Urea cycle disorders (UCD) adalah penyakit turunan yang mempengaruhi
cara tubuh membuang zat sisa dari hasil pemecahan protein. Penyakit
turunan ini menyebabkan enzim-enzim yang berperan dalam siklus urea
mengalami defisiensi, sehingga siklus urea tidak dapat berjalan seperti
seharusnya. Enzim-enzim yang defisiensi antara lain OTC (ornithine
transcarbamylase), ASD (argininosuccinic acid synthetase (citrullinemia)), AG
(arginase), ALD (argininosuccinase acid lyase (argininosuccinic aciduria)), CPS
(carbamoyl phosphate synthetase), dan NAGS (N-acetylglutamate
synthetase) (Gambar 1.6.47). Seluruh enzim tersebut defisiensi akibat dari
resesif autosomal, kecuali OTP yang diturunkan melalui X-linked kromosom
(Cincinnati Children’s, 2020).
N-acetylglutamate synthase (NAGS) terdapat pada usus halus dan hati
sebagai enzim untuk regulasi ureagenesis. Pada siklus urea, N-
acetylglutamate (NAG) dibutuhkan sebagai aktivator allosentrik dari
carbamoyl phosphate sintase (Gambar 1.6.48). NAGS mengkatalisis konversi

99
Universitas Indonesia
glutamat menjadi NAG dengan pencampuran asetil CoA (Chaturvedi, et al.,
2016). Oleh karena itu, defisiensi NAGS menyebabkan hiperamonemia
karena amonia tidak dapat mengalami proses lebih lanjut. Hiperamonemia
tipe 1 adalah defisiensi NAGS, sedangkan hiperamonemia tipe 2 adalah
defisiensi ornitin transkarbamoilase (Chaturvedi, et al., 2016).

Gambar 1.6.47 Siklus Urea


Sumber: Murray, R., et al., 2009. Harper’s Illustrated Biochemistry. 28th Ed. New York: McGraw-Hill
Companies, Inc.

100
Gambar 1.6.48 Hubungan N-asetilglutamat dengan Carbamoyl Phosphate
Synthetase 1
Sumber: Kdjohn16, 2019. How is NAG synthesized? [online] Available at:
<https://www.memorangapp.com/flashcards/189305/HSHD2/> [Accessed 27 November 2020].

Siklus urea terjadi saat tubuh mengandung banyak amonia di dalam tubuh.
Amonia dihasilkan dari proses deaminasi oksidatif asam amino, yaitu dari
pengubahan glutamat membentuk alfa ketoglutarat (Gambar 1.6.49).
Amonia (NH3) maupun amonium (NH4+) (amonia yang bergabung dengan
proton (H+)) bersifat toksik.
Kadar amonium yang tinggi dapat menyebabkan gangguan pada sistem
saraf, fungsi hati, temor, cara berbicara yang tidak jelas (slurred speech),
pandangan buram, mual, muntah, cepat lelah, sulit terbangun dari tidur,
koma, bahkan kematian. Amonia juga sangat bersifat toksik pada otak
karena amonia akan bereaksi dengan alfa ketoglutarat untuk membentuk
glutamat (Gambar 1.6.49). Hal ini menyebabkan kadar alfa ketoglutarat
menjadi berkurang dan dapat merusak siklus krebs di neuron (Murray, et al.,
2009). Oleh karena akumulasi amonia dalam tubuh bersifat toksik, siklus
urea akan mengubah amonia menjadi urea agar sifat toksik tersebut dapat
diekskresikan dari tubuh.

101
Universitas Indonesia
Gambar 1.6.49 Jalur Transaminasi-Deaminasi Oksidatif-Siklus Urea
Sumber: Murray, R., et al., 2009. Harper’s Illustrated Biochemistry. 28th Ed. New York: McGraw-Hill
Companies, Inc.

Pada dasarnya, di dalam otak, amonia akan bereaksi dengan glutamat


membentuk glutamin (Gambar 1.6.50). Saat kadar amonia tinggi di dalam
otak akibat dari defisiensi enzim-enzim pada siklus krebs, maka glutamin
akan terus menerus diproduksi. Peningkatan kadar glutamin ini akan
menyebabkan edema otak yang dapat berpengaruh pada gejala yang
muncul. Namun, peran dari amonia, glutamat, dan glutamin dalam edema
otak masih diteliti lebih lanjut (Mew, et al., 2017).

102
Gambar 1.6.50 Penggabungan Glutamat dengan Amonia membentuk
Glutamin
Sumber: Murray, R., et al., 2009. Harper’s Illustrated Biochemistry. 28th Ed. New York: McGraw-Hill
Companies, Inc.

Tindakan Preventif
Tindakan meminimalisasi akibat buruk dari USD dapat dilakukan dengan
pembatasan konsumsi protein karena dapat meningkatkan kadar amonia di
dalam tubuh. Selain itu, menghindari puasa karena saat tubuh kurang bahan
bakar untuk digunakan dalam beraktivitas, protein pada otot akan dipecah
dan digunakan sebagai sumber energi dan menghasilkan juga amonia.
Konsumsi sitrulin dan arginin juga dapat dilakukan karena keduanya menjadi
produk antara dari siklus urea.

12. Gangguan Oksidasi Asam Lemak


Secara umum, defisiensi ataupun kerusakan enzim dari beta oksidasi atau
ketogenesis menyebabkan hipoglikemia non ketotik, fatty liver, dan koma.
Kekurangan enzim terdapat pada rantai panjang dan pendek asetil CoA
dehidrogenase, 3-hidroksiasil CoA dehidrogenase, dan HMG CoA lyase.

Gangguan pada Beta Oksidasi


Defisiensi Medium, Very Long, dan Short Chain Acyl CoA Dehydrogenase
(MCAD, VLCAD, dan SCAD), Carnitine acyltransferase tipe 1 (CAT1),
Carnitine-acylcarnitine translokase (CACT), dan Carnitine acyltransferase tipe
2 (CAT2)
Carnitine acyltransferase tipe 1 (CAT1), Carnitine-acylcarnitine translocase
(CACT), dan Carnitine acyltransferase tipe 2 (CAT2) adalah enzim yang
berperan dalam membantu asam lemak bebas masuk ke dalam mitokondria
(Gambar 1.6.51). Defisiensi dari enzim-enzim ini diturunkan melalui
autosomal resesif.

103
Universitas Indonesia
Gambar 1.6.51 Jalur Rantai panjang asam lemak ke dalam mitokondria
melalui karnitin
Sumber: Murray, R., et al., 2009. Harper’s Illustrated Biochemistry. 28th Ed. New York: McGraw-Hill
Companies, Inc.

Short Chain Acyl CoA Dehydrogenase (SCAD), Medium Chain Acyl CoA
Dehydrogenase (MCAD), dan Very Long Chain Acyl CoA Dehydrogenase
(VLCAD) adalah enzim yang berperan dalam jalur beta oksidasi untuk
mengubah asam lemak rantai pendek/sedang/sangat panjang dari bentuk
asil CoA menjadi trans delta2 enoil CoA (Gambar 1.6.52). Enzim ini bekerja
saat tubuh kehabisan glikogen dan perlu mengubah asam lemak simpanan
menjadi energi. Defisiensi dari enzim ini diturunkan melalui autosomal
resesif.

104
Gambar 1.6.52 Jalur Beta Oksidasi dari Asam Lemak
Sumber: Murray, R., et al., 2009. Harper’s Illustrated Biochemistry. 28th Ed. New York: McGraw-Hill
Companies, Inc.

Tanda dan Gejala Penderita Defisiensi Enzim pada Oksidasi Asam Lemak
Penderita defisiensi SCAD, MCAD, dan VLCAD mengalami hipoglikemia,
hipoketosis (jumlah keton dalam darah rendah karena asam lemak tidak
dapat membentuk badan keton melalui beta oksidasi), dan kelesuan yang
dipicu oleh stres katabolik, seperti pilek, flu, gastroenteritis, atau penurunan
asupan kalori. Kejadian tersebut dapat dengan cepat berkembang menjadi
koma dan kematian (Meritt, Norris dan Kanungo, 2018). Pada LCAD dan
VLCAD, selain gejala yang telah disebutkan diatas, penyakit yang dialami
penderita juga dapat berupa kardiomiopati hipertrofik, dan aritmia jantung

105
Universitas Indonesia
karena asam lemak bebas yang terakumulasi dapat menutup/memperkecil
pembuluh darah, sehingga menyebabkan kardiomiopati hipertropik dan
aritmia jantung (Meritt, Norris dan Kanungo, 2018).

Tindakan Preventif
Tindakan meminimalisasi akibat buruk dapat dilakukan dengan cara
mencegah keadaan sel harus bergantung hanya pada lemak yang disimpan
untuk energi, hipoglikemia, dan gejala yang sudah disebutkan sebelumnya,
dapat dicegah. Misalnya dengan mengonsumsi makanan yang rendah lemak,
konseling mengenai puasa, dan pengaturan kadar glukosa untuk mengatasi
hipoglikemia (Boyer, Barclay dan Burrage, 2015).

13. Gangguan pada Ketogenesis


Defisiensi HMG CoA Sintetase
3-hydroxy-3-methylglutaryl-CoA synthase (HMG CoA sintetase) adalah enzim
yang berperan dalam ketogenesis untuk memproduksi badan keton (Gambar
1.6.53). Defisiensi enzim ini disebabkan oleh resesif autosom.

Gambar 1.6.53 Jalur Ketogenesis

106
Sumber: Murray, R., et al., 2009. Harper’s Illustrated Biochemistry. 28th Ed. New York: McGraw-Hill
Companies, Inc.

Tanda dan Gejala dari Defisiensi HMG CoA Sintetase


Gejala dan tanda dari penderita defisiensi HMG CoA sintetase adalah
muntah, letargi, hipoketotik hipoglikemia, hepatomegali, dan dikarboksilik
asiduria.
Hipoketotik hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa dalam
darah yang berhubungan dengan penurunan konsentrasi badan keton.
Hipoketotik hipoglikemia dapat disebabkan oleh cacat oksidasi asam lemak
dan kurang asupan makanan. Sedangkan, cacat oksidasi asam lemak dapat
terjadi karena banyak faktor. Misalnya dimulai dari defisiensi enzim-enzim
karnitin dan defisiensi enzim pada oksidasi asam lemak itu sendiri (Jun, et al.,
2016; HPO, 2020). Selain itu, saat asupan makanan berkurang,
pembentukan glukosa darah juga akan menurun. Melalui kompensasi
oksidasi asam lemak, glukosa akan terbentuk. Namun, saat defisiensi enzim
pada oksidasi asam lemak, produksi glukosa juga akan menurun, sehingga
terjadi kekurangan glukosa darah (hipoglikemia). Lalu, pada saat asam lemak
tidak dapat dioksidasi, maka akan terjadi penurunan produksi badan keton.
Hal ini terjadi karena produksi badan keton terjadi saat adanya oksidasi asam
lemak. Asam lemak ini akan menghasilkan asetil CoA yang berperan sebagai
sumber utama untuk membentuk badan keton.
Akumulasi dari badan keton dapat membuat darah bersifat asam (asidosis),
maka tubuh dapat mengkompensasi keadaan tersebut dengan cara muntah
agar asam tersebut keluar dari dalam tubuh (Tabel 1.6.2).
Badan keton berperan dalam memberikan energi untuk otak saat periode
puasa, sehingga saat badan keton tidak diproduksi, otak akan kekurangan
energi dan dapat menyebabkan koma dan bahkan kematian (Puisac, et al.,
2018).

107
Universitas Indonesia
Tabel 1.6.2 Asidosis dan Alkalosis
Sumber: Tortora, G. J. dan Derrickson, B., 2017. Principles of Anatomy and Physiology. 15th Ed. New
Jersey: John Wiley and Sons, Inc.

Tindakan Preventif
Tindakan untuk meminimalisasi akibat buruk dari defisiensi HMG CoA sintase
dengan meminimalisasi menghindari puasa dan olahraga berlebih karena
pemecahan simpanan lemak akan menghasilkan asetil CoA yang juga akan
membentuk badan keton.

Defisiensi HMG CoA lyase


3-hydroxy-3-methylglutaryl-CoA lyase adalah enzim yang berperan dalam
katalisis perubahan HMG CoA menjadi asetil CoA, asetoasetat, dan 3-
hidroksibutirat pada ketogenesis; atau pengubahan HMG CoA menjadi
asetoasetat dan asetil CoA (Gambar 1.6.53). Defisiensi enzim ini disebabkan
oleh mutasi gen pembentuk HMG CoA liase yang diturunkan secara resesif
autosom, menyebabkan tubuh tidak dapat memproses leusin (Gambar
1.6.41) dan juga tidak dapat menghasilkan badan keton yang digunakan
untuk menghasilkan energi pada periode puasa. Gejala yang timbul dari
defisiensi enzim ini adalah muntah, diare (Tabel 1.6.2), dehidrasi, letargi
(tidak memiliki energi), otot lemas (hipotonia), gula darah rendah, dan
asidosis akibat akumulasi dari komponen berbahaya dalam darah
(MedlinePlus, 2020f).
108
Tindakan Preventif
Tindakan yang dapat meminimalisasi akibat buruk dari defisiensi enzim HMG
lyase adalah dengan mengatur kadar konsumsi leusin karena pemecahan
leusin juga menggunakan enzim HMG lyase. Lalu, menghindari puasa dan
olahraga berlebih yang akan mendorong penggunaan simpanan lemak
menjadi asetil CoA yang pada akhirnya akan membentuk asetoasetat dan 3-
hidroksibutirat (MedlinePlus, 2020f).

109
Universitas Indonesia
PERTANYAAN

1. Dijelaskan bahwa kerja enzim dipengaruhi oleh suhu, bagaimana cara kerja
enzim pada saat tubuh demam?
Demam tinggi dapat menyebabkan denaturasi, perubahan bentuk dari
suatu enzim yang menyebabkan kurangnya aktivitas enzim untuk mengkatalisis
reaksi dalam tubuh. pada umumnya enzim memiliki struktur ion yang
tergantung pada PH lingkungan, terjadinya denaturasi disebabkan karena tinggi
atau rendahnya PH dan akan menyebabkan ionisasi pada sisi aktif enzim,
ionisasi pada substrat atau akan mempengaruhi konformasi substrat dan enzim
sehingga akan berpengaruh terhadap aktivitas enzim tersebut (Unair.ac.id),
Worthington Biochemical Corporation menyatakan bahwa sebagian besar
aktivitas enzim akan berkurang pada suhu yang lebih tinggi. sebagian besar
enzim menjadi terdenaturasi pada suhu di atas 40 derajat celcius. Oleh karena
itu, apabila demam masih berada di bawah suhu 40 derajat celcius maka
sebagian besar kerja enzim masih dalam batas yang optimal.

2. Penyakit yang disebabkan karena kekurangan enzim biasanya merupakan


penyakit yang bersifat keturunan yang dapat diminimalisir dengan terapi
penggantian enzim/enzyme replacement therapy, bagaimana mekanisme
tersebut dan seberapa efektif dalam mengatasi penyakit akibat kekurangan
enzim?
Enzyme Replacement Therapy (ERT) adalah terapi spesifik untuk
menangani penyakit simpanan lisosom (lysosomal storage diseases/LSDs). LSD
adalah kumpulan dari 50 lebih penyakit akibat dari defisiensi enzim pada
lisosom dan akumulasi dari substrat. Substrat ini mencakup sfingolipid,
glikogen, mukopolisakarida, dan glikoprotein. Penyakit yang enzimnya sudah
melalui uji coba klinis dan telah diterima, yaitu Gaucher disease tipe 2, Fabry
disease klasik dan later onset, MPS tipe 1, tipe 2, tipe 4, Pompe disease, dan
lain-lain (Desnick, dan Schuchman, 2012).

110
ERT dilakukan dengan menggunakan infus intravenous (IV). Zat yang
terkandung dalam infus berupa rekombinan enzim. Jadi, enzim lisosom yang
masuk ke dalam tubuh manusia akan ditargetkan ke lisosom menggunakan
reseptor manosa-6-fosfat sebagai mediator karena akan membantu
pengambilan dan pengiriman enzim ke dalam sel (Gambar 1). Dengan kata lain,
distribusi dari enzim ini bersifat receptor-mediated. Reseptor yang digunakan
pada Gaucher disease adalah reseptor manosa dan Limp2. Lalu, enzim akan
berikatan dengan reseptor manosa-6-fosfat pada membran sel dan akan
dengan mudah ditransportasikan ke lisosom. Enzim masuk ke dalam sel dengan
cara endositosis. Akhirnya, enzim dapat sampai di lisosom dan enzim dapat
bekerja. Enzim makromolekul tidak dapat melewati BBB (blood brain barrier)
(Desnick, dan Schuchman, 2012).

Gambar 1 Kerja Reseptor Manosa 6 Fosfat (M6P) sebagai Mediator Enzim


Rekombinan
Sumber: Concolino, D., Deodato, F. dan Parini, R., 2018. Enzyme replacement therapy: efficacy and
limitations. Italian Journal of Pediatrics, 44(120), p,117-126.

ERT bersifat efektif karena dapat menurunkan kadar akumulasi dari


substrat yang ada, sehingga dapat mengatasi gejala-gejala yang ada pada

111
Universitas Indonesia
penderita (Concolino, Deodato, dan Parini, 2018). Namun, pengantaran enzim
dan penghilangan akumulasi dari substrat bergantung pada dosis yang sifatnya
spesifik pada penyakit. Pada beberapa jaringan juga terdapat jaringan tertentu
yang mudah untuk dicapai, tetapi ada juga yang sulit karena membutuhkan
dosis lebih tinggi. Jika terjadi gangguan pada ERT, maka substrat akan
terakumulasi kembali. Untuk jadwalnya, ERT bisa dilakukan seminggu sekali
(Desnick, dan Schuchman, 2012).
Rekombinan enzim dibentuk menggunakan media kultur yang dapat
melakukan modifikasi post transisional untuk stabilitas, sintesis, dan/atau
aktivitas dari enzim lisosom. Sel yang paling sering digunakan adalah CHO
(Chinese hamster ovary) karena mudah untuk bertumbuh dan melakukan
modifikasi post transisional serta identik dengan sel manusia. Namun, dapat
juga menggunakan sel fibrosarkoma, binatang transgenik, putih telur, dan sel
tumbuhan (Desnick, dan Schuchman, 2012).

3. Seperti yang dijelaskan bahwa reaksi dari katalisis enzim di tubuh sangat
cepat (hitungan detik) sedangkan di laboratorium butuh waktuyang lebih
lama. Faktor apa saja yang menyebabkan perbedaan durasi lamanya reaksi
dari katalisis enzim tersebut?
Faktor suhu dapat mempengaruhi perbedaan durasi lamanya reaksi
yang dikatalis enzim. Hal ini disebabkan karena perebedaan antara suhu ruang
dan suhu optimal enzim. Menurut American Heritage Dictionary of the English
Language, suhu ruangan adalah 20–22 ° C (68–72 ° F). Sedangkan menurut
kamus Inggris Oxford menyatakan suhu ruangan sekitar 20 ° C (72 ° F) yang
sesuai untuk hunian manusia jangka panjang dan eksperimen laboratorium.
Namun, karena enzim adalah protein, ada batas suhu di mana enzim menjadi
rentan terhadap denaturasi. Jadi, setiap reaksi yang dikatalisis dengan enzim
memiliki suhu optimal, biasanya berkisar antara 25 ° C – 40 ° C. Di atas atau di
bawah nilai tersebut, laju reaksi akan lebih rendah dan menyebabkan
denaturasi enzim (Seager and Slabaugh, 2014).
112
4. Salah satu fungsi koenzim yaitu group transferring. Bisa dijelasin gak apa saja
unsur atau senyawa yang dibawa oleh koenzim yg sudah dijelaskan?
Salah satu fungsi enzim adalah group transferring atau mentransfer suatu
unsur atau senyawa tertentu. Koenzim yang berperan sebagai group
transferring yaitu koenzim flavin adenine dinucleotide (FAD), flavin
mononucleotide (FMN), nicotinamide adenine dinucleotide (NAD),
nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADP), koenzim-A (Ko-A),
carboxybiotinyl lysine, dan derivat dari koenzim folat. Koenzim FAD, FMN, NAD,
dan NADP berfungsi dalam mentransfer hidrogen atau berperan dalam reaksi
transfer elektron. Ko-A berperan dalam mentransfer gugus asil yang meliputi
asam asetat (dua karbon), asam malonat (tiga karbon), asam propionat (tiga
karbon), asam metilmalonat (empat karbon), asam suksinat (empat karbon).
carboxybiotinyl lysine mentransfer CO2 dan berperan dalam reaksi karboksilasi.
Derivat koenzim dari folat dapat membawa gugus karbon tunggal biasanya
banyak dibutuhkan dalam metabolisme protein. (Gropper, S. and Smith, J.,
2012)

5. Bagaimana cara mencegah inhibitor agar tidak bersifat beracun?


Cara mencegah inhibitor agar tidak beracun contohnya ada pada
penawar ion sianida. Penangkal apapun untuk keracunan sianida harus
diberikan dengan cepat. Salah satu penawar adalah natrium tiosulfat. Zat ini
mengubah ion sianida menjadi ion tiosianat yang tidak berikatan dengan besi
sitokrom oksidase.

Gambar 2 Reaksi Natrium Tiosulfat

113
Universitas Indonesia
Sumber: Seager, S., and Slabaugh, M., 2014. Chemistry for Today: General, Organic, and
Biochemistry. 8th ed. Belmont, CA: Cengage Learning.

Tidak semua inhibitor enzim bertindak sebagai racun bagi tubuh


beberapa enzim pada kenyataannya adalah agen terapeutik yang berguna.
Obat sulfa dan kelompok senyawa yang dikenal sebagai penisilin adalah dua
famili antibiotik terkenal yang menghambat enzim spesifik yang penting untuk
proses kehidupan bakteri. Penisilin mengganggu transpeptidase, enzim yang
penting dalam pembentukan dinding sel bakteri. Ketidakmampuan untuk
membentuk dinding sel yang kuat tersebut dapat mencegah bakteri untuk
bertahan hidup (Seager dan Slabaugh, 2014).

114
DAFTAR PUSTAKA

Ali, R. dan Nagalli, S., 2020. Hyperammonemia. Florida: StatPearls.

Aliu, E., Kanungo, S. dan Arnold, G. L., 2018. Amino acid disorders. Ann Transl Med,
6(24), p.471.

Berkowitz, A., 2007. Clinical Pathophysiology Made Ridiculously Simple. Florida:


MedMaster Inc.

Boyer, S. W., Barclay, L. J. dan Burrage, L. C., 2015. Inherited Metabolic Disorders:
aspects of chronic nutritional management. Nutr Clin Pract, 30(4), p.502-510. doi:
10.1177/0884533615586201.

Brinkman, J. E. dan Sharma, S., 2020. Respiratory Alkalosis. Florida: StatPearls


Publishing.

Brown, J. K. dan Imam, H., 1991. Interrelationships of Liver and Brain with Special
Reference to Reye Syndrome. J Inher Metab Dis, 14, p.436-458.

Bubber, P., et al., 2012. Abnormalities In The Tricarboxylic Acid (TCA) Cycle In Brain Of
Schizophrenia Patients. Eur Neuropsychopharmacol, 21(3), p.254–260

Cederbaum, S. dan Berry, G. T., 2012. Inborn Errors of Carbohydrate, Ammonia, Amino
Acid, and Organic Acid Metabolism. In: Gleason, C. A. dan Devaskar, S. U., 2012.
Avery's Diseases of the Newborn. 9th Ed. Amsterdam: Elsevier.

Charlie Foundation, 2020. Ketogenic Diet Explained. [online] Available at: <
https://charliefoundation.org/learn-about-ketosis/> [Accessed 14 November
2020].

Chatterjea, M. N. & Shinde, R. (2012). Textbook of Medical Biochemistry. 8th ed. New
Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd.

115
Universitas Indonesia
Chaturvedi, S., et al., 2016. Human metabolic enzymes deficiency: a genetic mutation
based approach. Scientifica (Cairo). doi: 10.1155/2016/9828672.

Cincinnati Children's, 2020. Urea Cycle Disorder (UCD). [online] Available at: <
https://www.cincinnatichildrens.org/health/u/ucd> [Accessed 18 November
2020].

Concolino, D., Deodato, F. dan Parini, R., 2018. Enzyme replacement therapy: efficacy
and limitations. Italian Journal of Pediatrics, 44(120), p,117-126.

Daenzer, J. M. I. dan Fridovich-Keil, J. L., 2017. Fly models of human diseases. Current
Topics in Developmental Biology, 121(12), p.377-395.

Desnick, R. J. dan Schuchman, E. H., 2012. Enzyme Replacement Therapy for Lysosomal
Diseases: Lessons from 20 Years of Experience and Remaining Challenges. Annu.
Rev. Genom. Human Genet, 13, p.307-335.

Enerca, 2020. Phosphofructokinase deficiency. [online] Available at: <


https://www.enerca.org/anaemias/39/phosphofructokinase-deficiency>
[Accessed 9 October 2020].

Erbe, R. W. dan Levy, H. L., 2013. Neonatal Screening. In: Rimoin, D., Pyeritz, R. and
Korf, B., 2013. Emery and Rimoin's Principles and Practice of Medical Genetics.
Amsterdam: Elsevier.

Fan, F., et al., 2019. Rapamycin as a potential treatment for succinate dehydrogenase
deficiency. Helyon, 5(2).

GARD, 2017. Tyrosinemia type 2. [online] Available at: <


https://rarediseases.info.nih.gov/diseases/3105/tyrosinemia-type-2> [Accessed 23
November 2020].

GARD, 2020a. Nonspherocytic hemolytic anemia due to hexokinase deficiency. [online]


Available at: <https://rarediseases.info.nih.gov/diseases/3672/nonspherocytic-
hemolytic-anemia-due-to-hexokinase-deficiency> [Accessed 9 October 2020].

GARD, 2020b. Pyruvate dehydrogenase complex deficiency. [online] Available at: <
https://rarediseases.info.nih.gov/diseases/7513/pyruvate-dehydrogenase-
complex-deficiency > [Accessed 23 November 2020].

Gorjizadeh, N., Jazayeri, O. dan Najavand, S., 2018. The Genes Responsible for Maple
Syrup Urine Disease, Molecular Pathomechanisms and Causative Mutations in
Iranian Population. Journal of Babol University of Medical Sciences, 20(12), p.39-
48.

Gropper, S. and Smith, J., 2012. Advanced Nutrition And Human Metabolism. 6th ed.
Wadsworth: Cengage Learning.
116
Guerrero, R. B., Salazar, D. dan Tanpaiboon, P., 2018. Laboratory diagnostic
approaches in metabolic disorders. Ann Transl Med, 6(24), p.470.

Hardjasasmita, P. 2009. Ikhtisar Biokimia Dasar Seri A. Penerbit FKUI.

Hove, J. L. V., et al., 2019. Nonketotic Hyperglycinemia. In: Adam, M. P., et al., et al.,
2019. GeneRiviews. Seattle: University of Washington.

HPO, 2020. Hypoketotic hypoglycemia. [online] Available at: <


https://hpo.jax.org/app/browse/term/HP:0001985> [Accessed 14 November
2020].

John Hopkins Medicine, 2020a. Hemolytic Anemia. [online] Available at:


<https://www.hopkinsmedicine.org/health/conditions-and-diseases/hemolytic-
anemia> [Accessed 17 October 2020].

John Hopkins Medicine, 2020b. Glycogen Storage Disease. [online] Available at: <
https://www.hopkinsmedicine.org/health/conditions-and-diseases/glycogen-
storage-disease> [Accessed 15 November 2020].

Jun, J. S., et al., 2016. Systemic primary carnitine deficiency with hypoglycemic
encephalopathy. Ann Pediatr Endocrinol Metab, 21(4), p.226–229.

Kibbey, R. G., 2016. PEPCK-M. In: Choi, S. (eds) Encyclopedia of Signaling Molecules.
Springer, New York. https://doi.org/10.1007/978-1-4614-6438-9_101756-1.

Kids Health, 2020. Pyruvate Kinase Deficiency. [online] Available at:


<https://kidshealth.org/en/parents/pyruvate-kinase-deficiency.html> [Accessed
17 October 2020].

Lai, K., Elsas, L. J. dan Wierenga, K. J., 2009. Galactose toxicity in animals. IUBMB Life,
61(11), p.1063-1074. doi: 10.1002/iub.262.

Machado, C. M., et al., 2017. The galactose-induced decrease in phosphate levels leads
to toxicity in yeast models of galactosemia. Biochimica et Biophysica Acta (BBA) -
Molecular Basis of Disease, 1863(6), p.1403-1409.

Martinelli, D., et al., 2016. Teaching NeuroImages: Galactitol peak and fatal cerebral
edema in classic galactosemia: Too much sugar in the brain. American Academy of
Neurology, 86, p.e32-e33.

Mayo Clinic, 2020a. Neutropenia. [online] Available at:


<https://www.mayoclinic.org/symptoms/neutropenia/basics/definition/sym-
20050854> [Accessed 16 November 2020].

117
Universitas Indonesia
Mayo Clinic, 2020b. Sleep Apnea. [online] Available at:
<https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/sleep-apnea/symptoms-
causes/syc-20377631> [Accessed 17 October 2020].

MDA, 2020. Phosphoglycerate kinase deficiency. [online] Available at: <


https://www.mda.org/disease/metabolic-myopathies/types/phosphoglycerate-
kinase-deficiency> [Accessed 9 October 2020].

MedlinePlus, 2007. Hypermethioninemia. [online] Available at: <


https://medlineplus.gov/genetics/condition/hypermethioninemia/#causes>
[Accessed 22 November 2020].

MedlinePlus, 2016. Homocystinuria. [online] Available at: <


https://medlineplus.gov/genetics/condition/homocystinuria/#causes> [Accessed
22 November 2020].

MedlinePlus, 2017. Maple syrup urine disease. [online] Available at: <
https://medlineplus.gov/genetics/condition/maple-syrup-urine-
disease/#synonyms> [Accessed 23 November 2020].

MedlinePlus, 2020a. Lactic acidosis. [online] Available at: <


https://medlineplus.gov/ency/article/000391.htm> [Accessed 14 November 2020].

MedlinePlus, 2020b. Galaktosemia. [online] Available at: <


https://medlineplus.gov/genetics/condition/galactosemia/#inheritance>
[Accessed 14 November 2020].

MedlinePlus, 2020c. Glucose phosphate isomerase deficiency. [online] Available at:


<https://medlineplus.gov/genetics/condition/glucose-phosphate-isomerase-
deficiency/#inheritance> [Accessed 9 October 2020].

MedlinePlus, 2020d. Triosephosphate isomerase deficiency. [online] Available at: <


https://medlineplus.gov/genetics/condition/triosephosphate-isomerase-
deficiency/#inheritance> [Accessed 9 October 2020].

MedlinePlus, 2020e. Glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency. [online] Available


at: < https://medlineplus.gov/genetics/condition/glucose-6-phosphate-
dehydrogenase-deficiency/#inheritance> [Accessed 9 October 2020].

MedlinePlus, 2020f. 3-hydroxy-3-methylglutaryl-CoA lyase. [online] Available at: <


https://medlineplus.gov/genetics/condition/3-hydroxy-3-methylglutaryl-coa-lyase-
deficiency/> [Accessed 23 October 2020].

Meritt, J. L., Norris, M. dan Kanungo, S., 2018. Fatty acid oxidation disorders. Ann
Transl Med, 6(24), p.473. doi: 10.21037/atm.2018.10.57.

118
Mew, N. A., et al., 2017. Urea Cycle Disorders Overview. In: Adam, M. P., et al., 2017.
GeneReview. Seattle: University of Washington.

Murray, R. K., et al., 2003. Harper's Illustrated Biochemistry. 6th Ed. New York: McGraw
Hill Companies.

Murray, R., et al., 2009. Harper’s Illustrated Biochemistry. 28th Ed. New York: McGraw-
Hill Companies, Inc.

NORD, 2016. Nonketotic Hyperglycinemia. [online] Available at:


<https://rarediseases.org/rare-diseases/nonketotic-hyperglycinemia/> [Accessed
27 November 2020].

NORD, 2017. Alkaptonuria. [online] Available at: < https://rarediseases.org/rare-


diseases/alkaptonuria/> [Accessed 23 November 2020].

NORD, 2019. Pyruvate kinase deficiency. [online] Available at: <


https://rarediseases.org/rare-diseases/pyruvate-kinase-deficiency/> [Accessed 9
October 2020].

NORD, 2020. PEPCK Deficiency. [online]. Available at: < https://rarediseases.org/rare-


diseases/pepck-deficiency/ > [Accessed 23 November 2020].

Nye, C. K., Hanson, R. W. dan Kalhan, S. C., 2008. Glyceroneogenesis Is the Dominant
Pathway for Triglyceride Glycerol Synthesis in Vivo in the Rat. J Biol Chem, 283(41),
p.27565–27574.

OMIM, 2016. Dihydrolipoamide Dehydrogenase Deficiency; DLDD. [online] Available


at: <https://omim.org/entry/246900> [Accessed 27 November 2020].

OMIM, 2017. Hemolytic anemia, nonspherocytic, due to hexokinase deficiency. [online]


Available at: <https://www.omim.org/entry/235700> [Accessed 9 October 2020].

Puisac, B., et al., 2018. Human Mitochondrial HMG-CoA Synthase Deficiency: Role of
Enzyme Dimerization Surface and Characterization of Three New Patient. Int J Mol
Sci, 19(4). doi: 10.3390/ijms19041010.

Rustin, P., Munnigh, A. dan Rötig, A., 2002. Succinate dehydrogenase and human
diseases: new insights into a well-known enzyme. European Journal of Human
Genetics, 10, p.289-291.

Segal, S. dan Cuatrecasas, P., 1967. The oxidation of C14 galactose by patients with
congenital galactosemia: evidence for direct oxidative pathway. The American
Journal of Medicine, 44(3), p.340-347.

Seager, S., and Slabaugh, M., 2014. Chemistry for Today: General, Organic, and
Biochemistry. 8th ed. Belmont, CA: Cengage Learning.
119
Universitas Indonesia
Tortora, G. J. dan Derrickson, B., 2012. Principles of Anatomy and Physiology. 13th Ed.
New Jersey: John Wiley and Sons, Inc.

Tortora, G. J. 2016. Principles of anatomy and physiology. 15th ed. Hoboken, NJ: J.
Wiley.

Tortora, G. J. dan Derrickson, B., 2017. Principles of Anatomy and Physiology. 15th Ed.
New Jersey: John Wiley and Sons, Inc.

Veiga-da-Chunha, M., et al., 2019. Failure to eliminate a phosphorylated glucose


analog leads to neutropenia in patients with G6PT and G6PC3 deficiency. PNAS,
116(4), p.1241-1250.

120

Anda mungkin juga menyukai