Anda di halaman 1dari 59

UNIVERSITAS INDONESIA MAKALAH MATA

KULIAH BIOKIMIA

KARBOHIDRAT

Early Vici Azmia (1906289086)


Mohammad Rafid Billy Ramadhan (1906349362)
Muhammad Aulia Rizky (1906289174)
Nathalia Mentanaway (1606959636)
Rahma Anindya Putri (1906289205)

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM STUDI GIZI
DEPOK SEPTEMBER
2020
1. Pengertian, Struktur Kimia dan Gugus Fungsi Karbohidrat.
a. Pengertian
Karbohidrat merupakan komponen zat gizi yang tersusun oleh atom
karbon, hidrogen, dan oksigen dengan rasio (CnH2nO)n. Karbohidrat
dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu karbohidrat simpleks
dan karbohidrat kompleks. Dimana karbohidrat simpleks terdiri atas
monosakarida dan disakarida, sedangkan karbohidrat kompleks terdiri atas
oligosakarida dan polisakarida. Karbohidrat menghasilkan 4 kkal / gram.
Angka kecukupan karbohidrat sebesar 50-60% dari total energi (WNPG,
2004). WHO menganjurkan agar 55-75% konsumsi energi total berasal dari
karbohidrat kompleks.

b. Struktur Kimia dan Gugus Fungsi


Karbohidrat memiliki struktur kimia yang beragam berdasarkan
klasifikasi jenisnya dan juga terbagi menjadi dua gugus fungsi umum, yaitu
gugus aldosa dan ketosa.
Macam - macam struktur kimia dari karbohidrat berdasarkan gugus
fungsinya, yaitu:
1) Monosakarida
Monosakarida mengandung tiga hingga tujuh atom karbon yang
disebut triosa, tetrosa, pentosa, heksosa, dan heptosa. Contohnya, yaitu
glukosa, fruktosa, dan galaktosa. Mereka tidak bisa lebih jauh dipecah
dengan hidrolitik ringan, hanya dengan zat pengoksidasi kimia yang
kuat. Selain hidroksil kelompok, senyawa ini memiliki karbonil (C=O)
dimana gugus fungsionalnya dapat berupa aldehid atau keton (Gropper
and Smith, 2012).
Stereoisomer pada monosakarida membentuk D atau L
berdasarkan posisi gugus -OH berada di kanan atom karbon, maka
tergolong ke dalam D atau jika berada di kiri atom karbon pusat maka
tergolong ke dalam kelompok L.
Sumber: Gropper, S. and Smith, J., 2012. Advanced Nutrition And Human
Metabolism. 6th ed. Wadsworth, Ohio, USA: Cengage Learning.

Gugus Aldosa dan Ketosa Monosakarida

2) Disakarida
Disakarida mengandung dua unit monosakarida yang terikat satu
sama lain melalui ikatan asetal, yang juga bisa disebut ikatan glikosidik
karena terjadi dalam kasus khusus struktur karbohidrat, terbentuk antara
gugus hidroksil dari satu unit monosakarida dan gugus hidroksil dari
monosakarida kedua, dengan penghapusan satu molekul air (Gropper
and Smith, 2012).
Struktur Maltosa, Laktosa, dan Sukrosa.
Sumber: Gropper, S. and Smith, J., 2012. Advanced Nutrition And Human
Metabolism. 6th ed. Wadsworth, Ohio, USA: Cengage Learning.

3) Oligosakarida
Rafinosa (trisakarida), statiosa (tetrasakarida), dan verbaskosa
(pentasakarida) terdiri dari glukosa, galaktosa, dan fruktosa. Biasanya
ditemukan dalam kacang-kacangan, kacang polong, dan biji-bijian.
Enzim pencernaan manusia tidak menghidrolisisnya, tetapi bakteri di
dalam usus bisa mencerna mereka, dimana hal inilah yang mendasari
perut kembung yang terjadi setelah makan makanan tersebut (Gropper
and Smith, 2012).

Struktur dari Rafinosa dan Contoh Makanannya.

4) Polisakarida
Polisakarida merupakan polimer molekul-molekul monosakarida
yang dapat berantai lurus atau bercabang dan dapat dihidrolisis dengan
enzim-enzim tertentu.
a) Pati
Polisakarida yang paling umum dicerna pada tumbuhan
adalah pati, yang berbentuk amilosa dan amilopektin dimana
keduanya polimer dari D-glukosa. Molekul amilosa adalah linier,
rantai tidak bercabang di mana residu glukosa terikat hanya
melalui ikatan glikosidik α (1-4). Sedangkan amilopektin adalah
polimer rantai bercabang, dengan titik cabang terjadi melalui
ikatan α (1-6) (Gropper and Smith, 2012).

b) Glikogen
Bentuk utama dari simpanan karbohidrat dalam jaringan
hewan adalah glikogen, yang terlokalisasi terutama di hati dan
otot rangka. Glikogen bahkan lebih bercabang daripada
amilopektin (Gropper and Smith, 2012).

Struktur dari Pati dan Glikogen.


Sumber: Gropper, S. and Smith, J., 2012. Advanced Nutrition And Human
Metabolism. 6th ed. Wadsworth, Ohio, USA: Cengage Learning.

c) Selulosa
Selulosa adalah komponen utama dinding sel pada
tumbuhan dan homopolisakarida glukosa. Manusia tidak memiliki
enzim β-glukosidase yang bisa mencerna selulosa. Maka hal itu
didefinisikan sebagai serat makanan dan tidak dianggap sebagai
sumber energi bagi tubuh manusia (Gropper and Smith, 2012).
Struktur dari Selulosa.

2. Fungsi Karbohidrat
a. Sumber Energi
Fungsi utama karbohidrat ialah menjadi pemasok energi bagi tubuh.
Karbohidrat merupakan sumber utama energi bagi banyak orang di dunia,
hal ini dikarenakan mudahnya untuk didapat dan harganya relatif murah.
Satu gram karbohidrat menghasilkan 4 kalori untuk memenuhi kebutuhan
tubuh (Almatsier, 2004).

b. Pemberi rasa manis pada makanan


Karbohidrat memberi rasa manis pada makanan khususnya untuk unit
monosakarida dan disakarida. Jika di peringkat, fruktosa memiliki tingkat
kemanisan paling manis dan laktosa memiliki rasa yang paling tidak manis.

c. Penghemat protein
Pada tubuh manusia apabila kebutuhan karbohidrat tidak dapat
terpenuhi dengan baik maka tubuh akan menggunakan protein sebagai
bahan pengganti untuk memenuhi kebutuhan energi. Hal ini menyebabkan
hilangnya fungsi protein sebagai zat pembangun (Almatsier, 2004).

d. Membantu pengeluaran feses


Karbohidrat dapat membantu proses pencernaan dengan membantu
pengeluaran feses dengan cara membantu pengaturan peristaltic usus dan
pemberi bentuk feses. Selain itu, karbohidrat memiliki peran lain seperti
serat yang berperan pada pencegahan kegemukan, dan laktosa yang
merangsang pertumbuhan bakteri baik di saluran cerna karena lebih lama
tinggal.
e. Pembentuk makhluk hidup
Fungsi karbohidrat lain ialah sebagai pembentuk makhluk hidup, salah
satunya ialah pada dinding sel tumbuhan yang tersusun atas komponen
selulosa. Beberapa serangga juga memiliki bagian terluar yang tersusun atas
karbohidrat.

3. Karakteristik, Sifat Fisik, Sifat Kimia, dan Sumber Makanan yang


Mengandung Karbohidrat

Karakteristik karbohidrat tidak terlepas dari klasifikasi struktur kimia


karbohidrat itu sendiri. Struktur kimia karbohidrat berkorelasi dengan sifat
kimia yang dimiliki dan juga menentukan sifat fisik karbohidrat tersebut.
Klasifikasi karbohidrat yang bervariasi menunjukkan bahwa tidak semua sifat
fisik dan kimia yang dimiliki oleh berbagai jenis karbohidrat adalah sama
(Mann and Truswell, 2012).
Secara umum, monosakarida dan beberapa disakarida memiliki sejumlah
sifat fisik yang hampir sama karena disakarida merupakan dua monosakarida
yang bergabung dengan ikatan yang disebut dengan ikatan glikosidik. Sifat
fisik pertama sekaligus ciri khas dari karbohidrat adalah memiliki rasa manis.
Sifat ini yang membuat karbohidrat (terutama monosakarida dan disakarida)
dikenal juga dengan istilah ‘gula’. Tingkat rasa manis yang dimiliki juga
bervariasi (Tabel 3.1). Fruktosa, memiliki rasa paling manis bahkan jika
dibandingkan dengan sukrosa yang merupakan gula biasa (Seager and
Slabaugh, 2014).

Tabel 3.1. Tingkat kemanisan relatif monosakarida dan disakarida


Sumber: Seager, S., and Slabaugh, M., (2014). Chemistry for Today: General, Organic,
and Biochemistry. 8th ed. Belmont, CA: Cengage Learning.
Sifat fisik kedua, diketahui bahwa semua jenis karbohidrat berwujud
padat pada suhu ruang, baik itu gula yang merupakan karbohidrat simpleks
ataupun karbohidrat kompleks lain seperti halnya kelompok pati. Selain itu,
banyaknya gugus hidroksil (―OH) yang ada, karbohidrat monosakarida
memiliki sifat sangat cepat larut dalam air. Gugus hidroksil memungkinkan
terbentuknya ikatan hidrogen dengan molekul air disekitarnya. Hal ini sejalan
dengan kelarutan karbohidrat di dalam tubuh yang apabila telah dipecah akan
secara cepat diangkut dalam sistem sirkulasi darah (Seager and Slabaugh,
2014).
Untuk sifat kimia, terdapat beberapa perbedaan sifat antara satu sama
lain dari jenis karbohidrat. Berikut sifat kimia pada karbohidrat:
1. Monosakarida, bentuk karbohidrat paling sederhana sehingga tidak
dapat diuraikan (tidak dapat mengalami reaksi hidrolisis lebih lanjut)
(McMurry, 2016);
2. Monosakarida biasanya tidak ada dalam larutan dalam bentuk "rantai
terbuka": gugus alkohol dapat ditambahkan ke dalam gugus karbonil
dalam molekul yang sama untuk membentuk cincin piranosa yang
mengandung hemiasetal siklik atau hemiketal yang stabil (Seager
and Slabaugh, 2014);

Sumber: Seager, S., and Slabaugh, M., (2014). Chemistry for Today: General,
Organic, and Biochemistry. 8th ed. Belmont, CA: Cengage Learning.
3. Mengalami reaksi oksidasi. Semua monosakarida dan beberapa
disakarida merupakan gula pereduksi. Karena gula pereduksi
memiliki aldehid atau keton bebas yang mengandung gugus ―OH di
dalamnya (Seager and Slabaugh, 2014);

Sumber: Seager, S., and Slabaugh, M., (2014). Chemistry for Today: General,
Organic, and Biochemistry. 8th ed. Belmont, CA: Cengage Learning.

4. Membentuk formasi glikosida. Bentuk hemiasetal dan hemiketal


monosakarida dapat bereaksi dengan alkohol membentuk struktur
asetal dan ketal yang disebut glikosida. Ikatan karbon-oksigen baru
disebut ikatan glikosidik. Glikosida bukan merupakan gula
pereduksi karena ketika terbentuk glikosida, maka strukturnya tidak
akan kembali ke bentuk rantai terbuka kembali (Seager and
Slabaugh, 2014);

Sumber: Seager, S., and Slabaugh, M., (2014). Chemistry for Today: General,
Organic, and Biochemistry. 8th ed. Belmont, CA: Cengage Learning.

5. Karbohidrat selain monosakarida terbentuk dari tiap-tiap


monosakarida yang terikat dalam ikatan glikosidik (Seager and
Slabaugh, 2014).
Sampai saat ini, sumber utama karbohidrat di dunia adalah jenis
makanan serealia (beras, gandum, jagung, sorgum, oat) beserta olahannya (roti,
tepung, bihun, mie), umbi-umbian (kentang, singkong, ubi, talas), gula, kacang-
kacangan, sayuran, buah, dan juga produk susu (Mann and Truswell, 2012).
Serealia tertentu termasuk jagung dan juga umbi kentang memiliki kandungan
pati yang tinggi. Sedangkan ubi jalar sebagian besar mengandung sukrosa,
bukan pati. Buah-buahan dan sayuran berwarna hijau tua tidak terdapat atau
terdapat sedikit pati, tetapi banyak mengandung gula dan serat makanan (Slavin
and Carlson, 2014).

Kelompok
Komponen Utama Sumber Bahan Makanan
Karbohidrat
Monosakarida Glukosa Madu, sirup maple, buah beri
Fruktosa Madu, sirup maple, buah beri,
produk roti, sirup jagung tinggi
fruktosa,
sweetened beverages
Disakarida Sukrosa Gula tebu/gula meja, gula bit, buah
beri,
ubi jalar, sayur dan buah-buahan
Laktosa Susu dan produk olahannya (dadih,
keju, yogurt)
Oligosakarida Raffinosa, statiosa, Kacang polong, kacang-kacangan lain,
verbaskosa biji-bijian
Frukto-oligosakarida Gandum, gandum hitam, asparagus,
bawang merah, bawang putih, ASI
Polisakarida Pati Serealia (gandum, beras, jagung,
sorgum, barley), umbi
(kentang, singkong)

Selulosa Apel dan buah-buahan berbiji lainnya,


kacang polong, gandum utuh
Sumber:
● FAO. n.d. Dietary Carbohydrates Composition. USA: fao.org.
● Mann, J. and Truswell, S., (2012). Essentials of Human Nutritions. 4th ed. New
York: Oxford University Press
4. Pathway metabolisme (katabolisme dan anabolisme) karbohidrat secara
umum hingga menjadi energi, termasuk siklus krebs.

Sebagian besar sel menghasilkan ATP dengan memecahkan karbohidrat,


terutama glukosa. Sebagian besar dari produksi ATP tersebut terjadi di dalam
mitokondria, namun langkah awalnya terjadi di sitosol. Aktivitas pada
mitokondria yang berfungsi untuk menghasilkan ATP disebut dengan
metabolisme aerobik atau respirasi seluler (Martini, 2012).

a. Katabolisme Glukosa
Respirasi seluler memiliki empat tahapan, yaitu:
● Glikolisis
Glikolisis merupakan serangkaian reaksi dimana sebuah molekul
glukosa teroksidasi dan menghasilkan dua molekul asam piruvat. Selain
itu reaksi tersebut juga menghasilkan dua molekul ATP dan dua NADH
ditambah H+ yang berisi energi (Tortora, 2016).
● Pembentukan Asetil Koenzim A
Mempersiapkan asam piruvat untuk masuk ke dalam siklus krebs.
Langkah ini juga menghasilkan 2 NADH + H + yang berisi energi dan 2
karbon dioksida (Tortora, 2016).
● Siklus Krebs
Asetil Koenzim A teroksidasi dan menghasilkan 4 CO2, 2 ATP, 6
NADH + H+, dan 2 FADH2 (Tortora, 2016).
● Rantai Transpor Elektron
Reaksi ini mengoksidasi NADH + H+ dan FADH2, lalu mentransfer
elektron mereka melalui berbagai carrier elektron (Tortora, 2016).
Proses Katabolisme Glukosa

Sumber: Tortora, G. J. 2016. Principles of anatomy and physiology. 15th ed. Hoboken,
NJ: J. Wiley

Glikolisis tidak memerlukan oksigen sehingga dapat terjadi baik dalam


keadaan aerobik maupun anaerobik. Sebaliknya, siklus krebs dan transpor
elektron membutuhkan oksigen, sehingga disebut respirasi aerobik. Jika
terdapat oksigen maka keempat langkah respirasi seluler dapat terjadi. Jika
oksigen tidak cukup, asam piruvat akan diubah menjadi asam laktat dan
langkah setelah glikolisis tidak bisa berjalan (Tortora, 2016).
a) Glikolisis

Glikolisis
Sumber: Tortora, G. J. 2016. Principles of anatomy and physiology. 15th ed. Hoboken,
NJ: J. Wiley

Pada glikolisis, sebuah molekul glukosa 6 karbon (C 6H12O6) dipecah


menjadi dua molekul asam piruvat dengan 3 karbon (CH3 ¬ CO ¬ COOH).
Glikolisis membutuhkan 2 ATP dan menghasilkan 4 ATP (Tortora, 2016).
Berikut adalah langkah-langkah reaksi dari glikolisis:

Proses Glikolisis
Sumber: Tortora, G. J. 2016. Principles of anatomy and physiology. 15th ed. Hoboken,
NJ: J. Wiley

1. Glukosa terfosforilasi menggunakan fosfat dari sebuah molekul ATP.


2. Glukosa-6-fosfat dikonversi menjadi fruktosa-6-fosfat.
3. Menggunakan ATP untuk menambahkan fosfat kepada fruktosa-6-fosfat
untuk membentuk 1,6-bisfosfat.
4. Dan 5. Fruktosa pecah menjadi dua molekul dengan 3 karbon,
gliseraldehid 3-fosfat (G 3-P) dan dihidroksiaseton fosfat, masing-masing
memiliki satu grup fosfat.
6. Terjadi oksidasi ketika dua molekul NAD+ menerima dua pasang
elektron dan ion hidrogen dari G 3-P membentuk dua molekul NADH.
Kedua NADH yang terbentuk digunakan sel untuk membentuk ATP pada
rantai transpor elektron. Sebuah grup fosfat menempel pada G 3-P,
membentuk 1,3-asam bifosfogliserat (BPG).
7. hingga 10. Reaksi-reaksi ini membentuk empat molekul ATP dan dua
molekul asam piruvat.

Fosfofruktokinase, enzim yang mengkatalisis langkah ke-3, memiliki


peran penting dalam meregulasi laju glikolisis. Aktivitas enzim ini
meningkat ketika konsentrasi ADP tinggi, dalam hal ini ATP diproduksi
dengan cepat. Ketika aktivitas fosfofruktokinase rendah, kebanyakan
glukosa tidak masuk ke glikolisis tetapi diubah menjadi glikogen untuk
disimpan (Tortora, 2016).

b) Asam Piruvat
Apa yang terjadi selanjutnya pada asam piruvat bergantung dengan
keadaan oksigen. Jika hanya terdapat sedikit oksigen (kondisi anaerobik)
maka asam piruvat diubah menjadi asam laktat:

Reaksi tersebut meregenerasi NAD+ yang digunakan pada langkah


ke-6 glikolisis, dan memungkinkan glikolisis untuk berlanjut. Asam
laktat yang terbentuk akan masuk ke dalam darah. Hepatosit
menghilangkan asam laktat dari darah dan mengubahnya kembali
menjadi asam piruvat. Penumpukan asam laktat menyebabkan kelelahan
pada otot (Tortora, 2016).
Ketika terdapat oksigen yang cukup (kondisi aerobik), sel-sel
mengubah asam piruvat menjadi asetil koenzim a. Molekul ini
menghubungkan glikolisis dengan siklus krebs di matriks mitokondria.
Asam piruvat masuk ke dalam matriks mitokondria dengan bantuan
protein transporter.

c) Pembentukan Asetil Koenzim A


Oksidasi glukosa memerlukan berbagai enzim dan koenzim.
Koenzim yang dibutuhkan pada tahap ini di respirasi seluler adalah
koenzim A (Ko A). Di antara glikolisis dan siklus krebs, perlu dilakukan
beberapa persiapan. Enzim piruvat dehidrogenase, yang terletak di
matriks mitokondria, menghilangkan karbon dioksida (dekarboksilasi)
dari asam piruvat sehingga terbentuk grup asetil. Pada reaksi ini asam
piruvat juga teroksidasi. Masing-masing asam piruvat kehilangan dua
atom hidrogen dalam bentuk H+ dan H-. NAD+ mengikat H-, sedangkan
H+nya dilepaskan ke matriks mitokondria. NAD+ direduksi menjadi
NADH + H+. Selanjutnya grup asetil mengikat koenzim A, menghasilkan
molekul bernama asetil koenzim A (asetil koA) (Tortora, 2016).

Pembentukan Asetil Koenzim A


Sumber: Tortora, G. J. 2016. Principles of anatomy and physiology. 15th ed. Hoboken,
NJ: J. Wiley
d) Siklus Krebs

Siklus Krebs

Sumber: Tortora, G. J. 2016. Principles of anatomy and physiology. 15th ed. Hoboken,
NJ: J. Wiley

Siklus krebs terjadi di matriks mitokondria dan terdiri dari reaksi


oksidasi-reduksi serta dekarboksilasi yang melepaskan CO2. Reaksi
oksidasi-reduksi mengirimkan energi kimiawi dalam bentuk elektron
kepada NAD+ dan FAD. Derivat asam piruvat teroksidasi dan koenzim
tereduksi (Tortora, 2016).

Ketika sebuah molekul asetil koA memasuki siklus krebs, terjadi


satu putaran lengkap mulai dari produksi asam sitrat hingga pembentukan
asam oksaloasetat. Setiap putaran siklus krebs, reaksi oksidasi-reduksi
menghasilkan tiga NADH, tiga H+, dan satu FADH2. 1 molekul ATP
juga terbentuk dari fosforilasi pada tingkat substrat. Karena satu glukosa
menghasilkan dua asetil koA, maka terjadi dua putaran siklus krebs per
molekul glukosa. Pembentukan NADH dan FADH2 merupakan hasil
terpenting dari siklus krebs karena kedua koenzim tersebut mengandung
energi (Tortora, 2016).

Pelepasan CO2 terjadi saat asam piruvat diubah menjadi asetil koA
dan dua kali saat dekarboksilasi pada siklus krebs. Karena tiap glukosa
membentuk dua molekul asam piruvat, maka tiap glukosa yang
mengalami katabolisme melalui jalur ini menghasilkan enam molekul
CO2. Molekul CO2 itu mengalami difusi keluar dari mitokondria,
melewati sitosol dan membran plasma, masuk ke darah dan dibawa ke
paru-paru yang nantinya akan dihembuskan ke luar.

Proses Siklus Krebs


Sumber: Tortora, G. J. 2016. Principles of anatomy and physiology. 15th ed. Hoboken,
NJ: J. Wiley

e) Rantai Transpor Elektron

Rantai transpor elektron adalah serangkaian carrier elektron,


protein integral dan perifer di dalam membran mitokondria. Membran
tersebut melipat membentuk krista yang memperluas permukaan
mitokondria, sehingga memungkinkan adanya ribuan rantai transpor di
dalam mitokondria. Masing-masing carrier elektron tereduksi ketika
menangkap elektron dan teroksidasi ketika melepaskan elektron. Ketika
elektron melewati rangkaian ini, reaksi-reaksi eksergonik melepaskan
energi. Energi tersebut yang akan digunakan untuk membentuk ATP.
Pada respirasi seluler, penerima elektron terakhir adalah oksigen.
Mekanisme pembuatan ATP ini disebut dengan Chemiosmosis karena
menghubungkan reaksi kimia dengan pompa ion hidrogen.
Chemiosmosis dan transpor elektron merupakan fosforilasi oksidatif
(Tortora, 2016).

Berikut adalah langkah-langkah chemiosmosis:


1. Energi dari NADH + H+ melewati rantai transpor elektron dan
digunakan untuk memompa H+ dari matriks mitokondria ke dalam
ruang diantara membran dalam dan luar mitokondria. Mekanisme ini
disebut dengan proton pump.
2. Meningkatnya konsentrasi H+ di dalam ruang antara membran dalam
dan luar mitokondria.
3. Sintesis ATP dapat terjadi ketika ion hidrogen kembali masuk ke
dalam matriks mitokondria melalui channel H+ spesial di membran
dalam.

Chemiosmosis
Sumber: Tortora, G. J. 2016. Principles of anatomy and physiology. 15th ed.
Hoboken, NJ: J. Wiley

Beberapa tipe molekul dan atom yang berfungsi sebagai carrier elektron:

● Flavin mononucleotide (FMN) adalah flavoprotein turunan riboflavin


(vitamin B2)
● Cytochrome adalah protein dengan heme yang bisa ada bergantian
dalam bentuk tereduksi (FE2+) atau teroksidasi (FE3+).
● Iron-sulfur (Fe-S) centers memiliki dua atau empat atom Fe yang
berikatan dengan atom S yang membentuk pusat transfer elektron
dalam protein.
● Copper (Cu) atoms dapat mengikat dua protein dan dapat melakukan
transfer elektron.
● Coenzyme Q (Q) adalah sebuah carrier yang bergerak di lipid bilayer
membran dalam.

Langkah-langkah Transpor Elektron dan Pembuatan ATP


Chemiosmotic

Langkah-langkah Transpor Elektron


Sumber: Tortora, G. J. 2016. Principles of anatomy and physiology. 15th ed. Hoboken, NJ:
J. Wiley

Di dalam membran mitokondria, carrier dari rantai transpor elektron


dikelompokkan menjadi tiga kompleks, masing-masing bekerja sebagai
pompa yang melepaskan H+ dari matriks mitokondria, dan membantu
membuat gradien elektrokimia dari H+ (Tortora, 2016).

Pompa H+ membuat konsentrasi gradien proton dan gradien elektrik.


Penumpukan H+ mengakibatkan satu sisi dari membran mitokondria dalam
lebih positif. Gradien elektrokimia tersebut memiliki energi potensial yang
disebut proton motive force. Saluran proton pada membran mitokondria
dalam memungkinkan H+ untuk melewati membran dengan dorongan
proton motive force. Ketika H+ melewati saluran maka terbentuk ATP,
karena saluran H+ memiliki enzim ATP Synthase. Proses chemiosmosis
menghasilkan ATP terbanyak pada respirasi seluler (Tortora, 2016).

Tiap molekul NADH + H+ yang melepaskan atom hidrogen ke rantai


transpor elektron dapat menghasilkan dua atau tiga ATP melalui fosforilasi
oksidatif. Tiap molekul FADH2 yang melepaskan atom hidrogen ke rantai
transpor elektron dapat menghasilkan satu atau dua molekul ATP melalui
fosforilasi oksidatif (Tortora, 2016).

b. Anabolisme Glukosa
Glukosa dapat dibentuk melalui beberapa reaksi anabolik. Pertama ada
sintesis glikogen. Selain itu juga ada pembentukan molekul glukosa dari
protein dan lipid (Tortora, 2016).

● Glikogenesis

Ketika glukosa sedang tidak dibutuhkan untuk produksi ATP, maka


molekul-molekul glukosa membentuk polisakarida yang disebut
glikogen. Hormon insulin menstimulasi hepatosit dan sel otot rangka
untuk melakukan glikogenesis (pembentukan glikogen). Tubuh dapat
menyimpan sekitar 500 gram glikogen, 75% di otot rangka dan sisanya di
sel hati. Ketika glikogenesis, pertama glukosa difosforilasi menjadi
glukosa 6-fosfat oleh hexokinase. Glukosa 6-fosfat lalu dikonversi
menjadi glukosa-1-fosfat, lalu menjadi uridine difosfat glukosa, dan
akhirnya menjadi glikogen (Tortora, 2016).
Glikogenesis (panah merah pada gambar)

Sumber: Tortora, G. J. 2016. Principles of anatomy and physiology. 15th ed. Hoboken,
NJ: J. Wiley

● Glikogenolisis
Ketika tubuh membutuhkan ATP, glikogen di hepatosit dipecah
menjadi glukosa dan dilepaskan ke dalam darah untuk dikirim ke sel. Di
sel glukosa tersebut akan melalui proses respirasi seluler. Glikogenolisis
adalah proses pemecahan glikogen menjadi glukosa.
Glikogenolisis dimulai dengan memisahkan molekul glukosa dari
cabang molekul glikogen melalui fosforilasi untuk membentuk glukosa
1-fosfat. Enzim fosforilase yang mengkatalis reaksi ini diaktifkan oleh
glukagon dari sel alpha pankreas dan epinefrin dari medula adrenal.
Glukosa 1-fosfat lalu diubah menjadi glukosa 6-fosfat dan akhirnya
menjadi glukosa. Lalu glukosa meninggalkan hepatosit melalui glucose
transporters (GluT) pada plasma membran. Fosfatase merupakan enzim
yang mengubah glukosa 6-fosfat menjadi glukosa. Enzim tersebut tidak
terdapat pada otot rangka, sehingga hanya hati yang dapat melepaskan
glukosa turunan glikogen ke dalam darah. Pada sel otot rangka, glikogen
diubah menjadi glukosa 1-fosfat lalu melewati proses glikolisis dan
siklus krebs. Tetapi asam laktat yang diproduksi oleh glikolisis pada sel
otot dapat diubah menjadi glukosa di hati. Dari proses ini glikogen otot
secara tidak langsung dapat menjadi sumber glukosa darah (Tortora,
2016).

Glikogenolisis (panah biru pada gambar)

Sumber: Tortora, G. J. 2016. Principles of anatomy and physiology. 15th ed. Hoboken,
NJ: J. Wiley
● Glukoneogenesis
Ketika hati kehabisan glikogen tetapi tidak ada asupan makanan
yang masuk, maka tubuh akan meng katabolisme trigliserida (lemak) dan
protein. Bagian gliserol dari trigliserida, asam laktat, dan beberapa asam
amino dapat diubah menjadi glukosa di hati. Proses terbentuknya glukosa
dari sumber non karbohidrat disebut dengan glukoneogenesis. Sekitar
60% jenis asam amino dapat digunakan dalam glukoneogenesis. Asam
laktat dan asam amino seperti alanin, sistein, glisin, serin, dan treonin
diubah menjadi asam piruvat, lalu akan disintesis menjadi glukosa atau
masuk ke dalam siklus krebs. Gliserol dapat diubah menjadi gliseraldehid
3-fosfat, yang dapat membentuk asam piruvat atau digunakan untuk
sintesis glukosa (Tortora, 2016).

Glukoneogenesis dapat distimulasi oleh kortisol dan glukagon dari


pankreas. Kortisol dapat menstimulasi dan memecah protein menjadi
asam amino, sehingga memperbanyak asam amino yang dapat digunakan
untuk glukoneogenesis. Hormon tiroid (tiroksin dan triiodotironin) juga
bisa memindahkan protein dan trigliserida dari jaringan adiposa,
sehingga gliserol juga tersedia untuk glukoneogenesis (Tortora, 2016).

Glukoneogenesis

Sumber: Tortora, G. J. 2016. Principles of anatomy and physiology. 15th ed. Hoboken,
NJ: J. Wiley

5. Jenis dan cara kerja enzim serta hormon yang berperan dalam
metabolisme karbohidraet.
a. Enzim
Secara umum nama enzim terdiri dari istilah yang mengidentifikasi
jenis reaksi yang dikatalisis diikuti oleh akhiran -ase.
Karakteristik enzim meliputi :
● Mempercepat reaksi dengan memperkecil energi aktivasi
● Tersusun atas protein (apoenzim), yang diaktifkan oleh
gugus prostetik atau aktivator

● berupa zat organik (koenzim)


misalnya vitamin atau zat anorganik (kofaktor) misalnya
mineral.

● Reaksi bolak balik (reversible)


● Bekerja spesifik terhadap substratnya, karena memiliki sisi
pengikatan spesifik.

Faktor-faktor yang mempengaruhi enzim antara lain :


● Suhu, pada suhu yang panas akan denaturasi serta jika pada
suhu yang dingin non aktif. Suhu optimum enzim sebagian
besar berkisar antara 370C - 400C.
● pH, perubahan Ph dapat mempegaruhi efektitas sisi aktife
enzim dalam membentuk kompleks enzim substrat. Selain
itu dapat menyebabkan proses denaturasi sehingga
menurunkan aktivitas enzim. pH optimum untuk enzim
sebagian besar berkisar antara 6-8.
● Konsentrasi enzim dan substrat, jika melebihi titik jenuh
maka reaksinya akan melambat.
● Inhibitor, dibagi dua yaitu inhibitor kompetitif yang mana
inhibitor mengikat ke situs aktif enzim dan mencegah
substrat dari mengikat ke enzim. Serta enzim non
kompetitif yang mana inhibitor mengurangi aktivitas enzim.
Enzim dalam metabolisme berperan sebagai katalisator. Berikut
kerja enzim dalam metabolisme karbohidrat :

Proses glikolisis terjadi melalui tahapan-tahapan tertentu


dan membutuhkan peran enzim tertentu. Tahapan-tahapan
tersebut sebagai berikut :
a) Tahapan pertama proses glikolisis adalah
pengubahan glukosa menjadi glukosa-6 fosfat
dengan reaksi fosforilasi dibantu dengan enzim
heksokinase.

Sumber : Poedjiadi, Dasar-dasar Biokimia 1994, hlm.249.


Gambar 2.1. Pengubahan glukosa menjadi glukosa- 6 fosfat.
b) Tahap kedua adalah isomerisasi, yaitu pengubahan
glukosa-6 fosfat menjadi fruktosa-6-fosfat, dengan
enzim fosfoglukoisomerase. Enzim ini tidak
memerlukan kofaktor.

Sumber : Poedjiadi, Dasar-dasar Biokimia 1994, hlm.249.


Gambar 2.2. Pengubahan glukosa 6 fosfat menjadi fruktosa-
6-fosfat.

c) Tahap ketiga, adalah fruktosa-6-fosfat diubah


menjadi fruktosa-1,6-bifosfat oleh enzim
fosfofruktokinase dibantu oleh ion Mg2+ sebagai
kofaktor.

Sumber : Poedjiadi, Dasar-dasar Biokimia 1994, hlm.250.


Gambar 2.3. Pengubahan fruktosa-6-fosfat menjadi
fruktosa 1,6-difosfat.
d) Tahap keempat dalam rangkaian reaksi
glikolisis adalah penguraian molekul fruktosa-
1,6-difosfat membentuk dua molekul triosa
fosfat, yaitu dihidroksi aseton fosfat dan D-
gliseraldehida-3- fosfat. Dalam tahapan ini
enzim aldolase yang menjadi katalis.

Sumber : Poedjiadi, Dasar-dasar Biokimia 1994, hlm.251.


Gambar 2.4. Penguraian molekul fruktosa-1,6-difosfat
e) Tahap kelima ialah Gliseraldehid 3-P diubah
menjadi 1,3 bifosfogliserat (gliseraldehid 3-P
Dehidrogenase). Proses ini memerlukan koenzim
NAD+ yang akan bereaksi dengan fosfat anorganik
menjadi NADH dan melepaskan ion hidrogen.
Proses ini akan menghasilkan 3 ATP melalui rantai
pernafasan. Proses ini dapat dihambatoleh
iodoasetat.

Sumber : Poedjiadi, Dasar-dasar Biokimia 1994, hlm.252.


Gambar 2.5. Pengubahan gliseraldehid 3-P menjadi 1,3 bifosfogliserat.
f) Tahap keenam adalah 1,3 bifosfogliserat diubah
menjadi 3 fosfogliserat (fosfogliserat kinase),
dengan bantuan ion magnesium, proses ini akan
menghasilkan 1 ATP pada tingkat substrat.

Sumber : Poedjiadi, Dasar-dasar Biokimia 1994, hlm.252.


Gambar 2.5. Pengubahan 1,3 bifosfogliserat menjadi 3
fosfogliserat.
g) Tahap ketujuh ialah 3 fosfogliserat diubah menjadi
2 fosfogliserat (mutase).

Sumber : Poedjiadi, Dasar-dasar Biokimia 1994, hlm.253.


Gambar 2.6. Pengubahan 1,3 bifosfat menjadi 2 fosfogliserat.
h) Tahap ke delapan ialah 2 fosfogliserat diubah
menjadi fosfoenol piruvat (enolase),
memerlukan ion magnesium dan akan
dihambat oleh fluorida.

Sumber : Poedjiadi, Dasar-dasar Biokimia 1994, hlm.254.


Gambar 2.7. Pengubahan 2 fosfogliserat menjadi fosfoenolpiruvat.

i) Tahap kesembilan adalah fosfoenol piruvat diubah


menjadi (enol) piruvat (piruvat kinase), proses ini
memerlukan ion magnesium dan ADP. Gugus
phospat dari phospho enol piruvat akan diambil
untuk bergabung dengan ADP membentuk 1
molekul ATP.

Sumber : Poedjiadi, Dasar-dasar Biokimia 1994, hlm.255.


Gambar 2.8. Pembentukan fosfoenol menjadi piruvat
piruvat

j) Tahap kesepuluh, reaksi yang menggunakan enzim


laktat dehidrogenase ini adalah reaksi tahap akhir
glikolisis, yaitu pembentukan asam laktat dengan
cara reduksi asam piruvat. Dalam reaksi ini
digunakan NADH sebagai koenzim.
Sumber : Poedjiadi, Dasar-dasar Biokimia 1994, hlm.255.
Gambar 2.8. Pembentukan asam laktat.

2) Glikogenesis

Enzim yang berperan dalam rangkaian proses terjadinya


glikogenesis sebagai berikut :
a) Glukosa mengalami fosforilasi menjadi glukosa 6-
fosfat (reaksi yang lazim terjadi juga pada lintasan
glikolisis). Di otot reaksi ini dikatalisis oleh
heksokinase sedangkan di hati oleh glukokinase.
b) Glukosa 6-fosfat diubah menjadi glukosa 1-fosfat
dalam reaksi dengan bantuan katalisator enzim
fosfoglukomutase. Enzim itu sendiri akan
mengalami fosforilasi dan gugus fosfat akan
mengambil bagian di dalam reaksi reversible yang
intermesiatnya adalah glukosa 1,6-bifosfat.
Enzim-P + Glukosa 6-fosfat E
Enzim-P + Glukosa 1-fosfat.
c) Selanjutnya glukosa 1,6-fosfat bereaksi dengan
uridin trifosfat (UTP) untuk membentuk uridin
difosfat glukosa (UDPGIc). Reaksi ini dikatalisir
oleh enzim UDPGIc pirofosforilase.
UTP + Glukosa 1-fosfat U D P
i

d) Hidrolisis pirofosfat inorganik berikutnya oleh


enzim pirofosfatase anorganik akan menarik reaksi
ke arah kanan persamaan reaksi.
e) Atom C1 pada glukosa yang diaktifkan oleh
UDPGIC membentuk ikatan glikosidik dengan atom
C4 pada residu glukosa terminal glikogen, sehingga
membebaskan uridin difosfat. Reaksi ini dikatalisir
oleh enzim glikogen sintase. Molekul glikogen yang
sudah ada sebelumnya (disebut glikogen primer)
harus ada untuk memulai reaksi ini. Glikogen
primer selanjutnya dapat terbentuk pada primer
protein yang dikenal sebagai glikogenin.
UDPGIC + (C6)n U D P +
n+1

Residu glukosa yang lebih lanjut melekat pada


posisi 1 4 untuk membentuk rangkaian
pendek yang diaktifkan oleh glikogen sintase. Pada
otot rangka glikogenin tetap melekat pada pusat
molekul glikogen, sedangkan di hati terdapat jumlah
molekul glikogen yang melebihi jumlah molekul
glikogenin.
f) Setelah rangkaian glikogen primer diperpanjang
dengan penambahan glukosa tersebut hingga
mencapai minimal 11 residu glukosa, maka enzim
pembentuk cabang memindahkan bagian dari rantai
1 4 (panjang minimal 6 residu glukosa) pada

rantai yang berdekatan untuk rangkaian 1 6


sehingga membuat titik bercabang pada molekul
tersebut. Cabang-cabang ini akan tumbuh dengan

penambahan lebih lanjut 1 glukosil dan


pembentukan cabang selanjutnya.
Setelah jumlah
residu terminal yang non reduktif bertambah, jumlah
total reaktif dalam molekul akan meningkat
sehingga akan mempercepat glikogenesis maupun
glikogenolisis.

3) Glikogenolisis
Jika glukosa dari diet tidak dapat mencukupi kebutuhan maka
glikogen harus dipecah untuk mendapatkan glukosa sebagai
sumber energi. Proses ini digunakan glikogenolisis.
Glikogenolisis seakan-akan kebalikan dari glikogenesis akan
tetapi sebenarnya tidak demikian. Untuk memutuskan ikatan
glukosa satu demi satu dari glikogen diperlukan enzim
fosforilase. Enzim ini spesifik untuk proses fosforolisis
rangkaian 1 4 glikogen untuk menghasilkan glukosa 1- fosfat.
Residu glikolisis terminal pada rantai paling luar molekul
glikogen dibuang secara berurutan sampai kurang lebih ada 4
buah residu glukosa yang tersisa pada sisi cabang 1 6.
Glukan transferase dibutuhkan sebagai katalisator pemindahan
unit trisakarida dari satu cabang ke cabang lainnya sehingga
membuat titik cabang 1 6 terpanjang. Hidrolisis ikatan 1
6 memerlukan enzim pemutus cabang (debranching
enzyme) yang spesifik. Dengan pemutusan cabang tersebut,
maka kerja enzim fosforilasi selanjutnya dapat berlangsung.

4) Pembentukan Asetil- KoA


Piruvat yang telah terbentuk sebagai hasil proses glikolisis
dapat masuk ke dalam mitokondria untuk mengalami oksidasi
menjadi molekul asetil KoA. 1 molekul glukosa akan
menghasilkan 2 molekul piruvat yang memiliki 3 atom karbon.
Piruvat akan diubah menjadi asetil KoA yang memiliki 2 atom
karbon. Dalam eritrosit, setelah mengalami glikolisis maka piruvat
akan diubah menjadi laktat (Murray, dkk, 2009).

Sumber : Biology Concepts dan Connection, 2008.


Gambar 2.9. Pembentukan asetil-KoA
Piruvat dehidrogenase adalah enzim yang berperan dalam
proses ini. Konsentrasi dari piruvat dehidrogenase meningkat pada
saat makan dan saat piruvat banyak terbentuk. Sebaliknya kondisi
kelaparan serta konsentrasi asetil KoA yang meningkat akan
menghambat kerja dari piruvat dehidrogenase. Selain itu kinase
spesifik juga berperan dalam proses oksidasi piruvat.
Fosforilasi kinase dapat menghambat aktivitas enzim ini,
sedangkan defosforilasi kinase dapat mempercepat kerja enzim ini.
Enzim ini memerlukan koenzim NAD+ yang melalui rantai
pernapasan akan berubah menjadi NADH dan menghasilkan 3
ATP.
Proses reaksi memerlukan 5 vitamin dalam bentuk koenzim,
yaitu vitamin asam lipoat, vitamin B1, B2, B5 dan vitamin asam
pantotenat. Sedangkan hambatan pada enzim dehidrogenase dapat
menyebabkan laktat asidosis. Kondisi ini dapat terjadi pada
keracunan ion merkuri dan pada penderita diabetes melitus
(Harjasasmita, 2003). Jumlah ATP yang dihasilkan proses ini
sebesar 6 ATP.
5) Siklus Asam Sitrat
Siklus asam sitrat adalah serangkaian reaksi kimia dalam sel
yaitu pada mitokondria yang berlangsung secara berurutan dan
berulang, bertujuan mengubah asam piruvat menjadi CO2, H2O
dan sejumlah energi. Proses ini adalah proses oksidasi dengan
menggunakan oksigen atau aerob. Siklus asam sitrat ini disebut
juga siklus kreb. Siklus ini merupakan siklus dimana terjadi
penggabungan antara molekul asetil KoA dengan oksaloasetat
hingga terbentuk asam trikarboksilat yaitu asam sitrat. Asam sitrat
akan mengalami beberapa reaksi untuk akhirnya kembali
membentuk oksaloasetat.

Sumber : Poedjiadi, Dasar-dasar Biokimia 1994, hlm.270.g


````````````````````````````````````````````````````````````````````````````````````````````````````
````````````````````````````````````````````````````h
Gambar 2.10. Siklus asam sitrat.
Tahapan proses terjadinya siklus asam sitrat (Krebs) adalah sebagai
berikut :
a) Asetil KoA + oksaloasetat + H 2O sitrat + Ko ASH
(enzim sitrat sintase)
b) Sitrat i s o s i t r
Hal ini dikarenakan fluoroasetat dapat berkondensasi dengan
oksaloasetat membentuk fluoro sitrat yang menghambat kerja
enzim akonitase.
c) Isositrat + NAD+ ɑ - k e t o g l
+
(enzim isositrat dehidrogenase). Proses ini melalui rantai
pernapasan akan menghasilkan 3 ATP.
d) ɑ - ketoglutarat + NAD+ + KoASH Suksinil Ko-A + CO2 +
NADH H+ (enzim ɑ- ketoglutarat dehidrogenase). Proses ini juga
menghasilkan 3 ATP. Kerja enzim dapat dihambat oleh arsenat.
e) Suksinil KoA + GDP + Pi S u k s i
Melalui tingkat substrat maka GTP dapat menyumbang 1 gugus
phospat ke ADP untuk menghasilkan ATP.3
f) Suksinat + FAD Fumarat + FADH2 (enzim suksinat
dehidrogenase). Kerja enzim dapat dihambat malonat yang sifat
inhibisinya ialah kompetitif. Jumlah ATP yang dihasilkan melalui
proses ini adalah 2 ATP.
g) Fumarat + H2O Malat (enzim fumarase).
h) Malat + NAD+ O k s a l o a
+
(enzim malat dehidrogenase). Jumlah ATP yang dihasilkan
melalui proses ini adalah sebesar 3 ATP.
Regulasi terutama dari siklus asam sitrat adalah konsentrasi produk.
Semakin tinggi konsentrasi produk, maka enzim untuk mensintesisnya
semakin dihambat.
Hasil dari siklus asam sitrat adalah 24 ATP, yang terdiri dari :
● 3 NADH : 9 ATP
● 1 FADH2 : 2 ATP
● 1 GTP : 1 ATP
Karena ada 2 molekul asetil koA, maka jumlah energi menjadi
12×2 ATP = 24 ATP. Dari ketiga proses diatas total energi yang
dihasilkan dalam oksidasi satu molekul glukosa ialah sebesar 38 ATP
(glikolisis 8 ATP, pembentukan Asetil KoA 6 ATP dan siklus asam sitrat
24 ATP).
6) Glukoneogenesis
Glukoneogenesis, proses sintesis glukosa dari prekursor bukan
karbohidrat, terjadi terutama di hati pada keadaan puasa.
Glukoneogenesis berlangsung melalui suatu jalur yaitu (Marks,dkk
2012) :
a) Perubahan Piruvat Menjadi Fosfoenolpiruvat
Piruvat mengalami karboksilasi oleh piruvat karboksilase
untuk membentuk oksaloasetat. Enzim ini, yang memerlukan
biotin, adalah katalisator reaksi anaplerotik pada siklus asam
trikarboksilat. Pada glukoneogenesis, reaksi ini melengkapi lagi
oksaloasetat yang digunakan untuk sintesis glukosa.
CO2 yang ditambahkan ke piruvat untuk membentuk
oksaloasetat dibebaskan oleh fosfoenolpiruvat karboksikinase
(PEPCK) dan dihasilkan fosfoenolpiruvat. Untuk reaksi ini, GTP
merupakan sumber energi serta sumber gugus fosfat
fosfoenolpiruvat. Enzim-enzim yang mengkatalis kedua langkah
ini terletak di dua kompartemen subsel yang berbeda. Piruvat
karboksilase dijumpai di mitokondria. Pada berbagai spesies,
fosfoenolpiruvat karboksikinase terletak di sitosol atau
mitokondria, atau tersebar di kedua kompartemen ini. Pada
manusia, enzim ini tersebar hampir sama banyak di masing-masing
kompartemen.
Oksaloasetat, yang dihasilkan dari piruvat oleh piruvat
karboksilase atau dari asam amino yang membentuk antara pada
siklus asam trikarboksilat, tidak mudah menembus mitokondria.
Oksaloasetat mengalami dekarboksilasi menjadi fosfoenolpiruvat
oleh fosfoenolpiruvat karboksikinase mitokondria, atau diubah
menjadi malat memerlukan NADH. Fosfoenolpiruvat, malat,
aspartat dapat dipindahkan ke dalam sitosol.
Setelah menembus membran mitokondria dan masuk ke
dalam sitosol, malat dan aspartat diubah kembali menjadi
oksaloasetat. Perubahan malat menjadi oksaloasetat menghasilkan
NADH. NADH diperlukan untuk mereduksi 1,3-bisfosfogliserat
menjadi gliseraldehida 3-fosfat selama glukoneogenesis.

Sumber : Marks,D.B, Marks, A.L dan Smith, C.M, Biokimia Kedokteran Dasar,
2012.
Gambar 2.11 Perubahan dari fosfoenolpiruvat ke piruvat di luar mitokondria
dan dari piruvat ke fosfoenol piruvat dengan melibatkan mitokondria.

Oksaloasetat, yang dihasilkan dari malat atau aspartat di


sitosol, diubah kembali menjadi fosfoenolpiruvat oleh
fosfoenolpiruvat karboksikinase sitosol.

b) Perubahan Fosfoenolpiruvat Menjadi Fruktosa 1,6-Bifosfat.


Langkah glukoneogenesis selanjutnya berlangsung didalam
sitosol. Fosfoenolpiruvat membalikkan langkah pada glikolisis
untuk membentuk gliseraldehida 3-fosfat. Untuk setiap 2 molekul
gliseraldehid 3-fosfat yang terbentuk, 1 diubahmenjadi
dihidroksiaseton fosfat (DHAP). Kedua triosa fosfat ini, DHAP
dan gliseraldehida 3-fosfat, terkondensasi untuk membentuk
fruktosa 1,6-bifosfat melalui kebalikan dari reaksi aldolase.
c) Perubahan Fruktosa 1,6-bios fosfatase membebaskan fosfat
anorganik dari fruktosa 1,6-bifosfat untuk membentuk 6-fosfat.
Enzim glikolitik, fosfofruktokinase-1, tidak mengkatalis reaksi ini
melainkan suatu reaksi yang melibatkan ATP.
d) Perubahan Glukosa 6-fosfat Menjadi Glukosa.
Glukosa 6-fosfatase memutuskan Pi dari glukosa 6-fosfat, dan
membebaskan glukosa bebas untuk masuk ke dalam darah. Enzim
glikolitik glukokinase, yang mengkatalis reaksi sebaliknya,
memerlukan ATP. Glukosa 6-fosfatase terletak di membran
retikulum endoplasma. Glukosa 6-fosfatase digunakan tidak saja
pada glukoneogenesis, tetapi juga untuk menghasilkan glukosa
darah dari pemecahan glikogen hati.

7) Pengaturan Glukoneogenesis
Hati dapat membuat glukosa melalui glukoneogenesis dan
menggunakan glukosa melalui glikolisis, maka harus ada sistem
pengaturan yang mencegah agar kedua lintasan ini bekerja serentak.
Sistem pengatur juga harus menjamin bahwa aktivitas metabolik hati
sesuai dengan status gizi tubuh, yaitu pembentukan glukosa selama puasa
dan menggunakan puasa pada saat glukosa banyak. Aktivitas
glukoneogenesis dan glikolisis diatur secara terkoordinasi dengan cara
perubahan jumlah relatif glukagon dan insulin dalam sirkulasi
(Colby,1998).
Bila kadar glukosa dan insulin darah turun, asam lemak
dimobilisasi dari cadangan jaringan adiposa dan aktivitas β-oksidasi dalam
hati meningkat. Hal ini mengakibatkan peningkatan kadar asam amino,
terutama alanin. Asam amino hati diubah menjadi piruvat dan substrat lain
glukoneogenesis. Peningkatan kadar asam lemak, alanin dan asetil-KoA
semuanya memegang peranan mengarahkan substrat masuk ke
glukoneogenesis dan mencegah penggunaanya oleh siklus asam sitrat.
Asetil KoA secara alosterik mengaktifkan piruvat karboksilase dan
menghambat piruvat dehidrogenase. Oleh karena itu, menjamin bahwa
piruvat dehidrogenase. Oleh karena itu, menjamin bahwa piruvat akan
diubah menjadi oksaloasetat. Piruvat kinase dihambat oleh asam lemak
dan alanin, menjadi penghambat pemecahan PEP yang baru terbentuk
menjadi piruvat (Colby,1998).
Pengaturan hormonal fosfofruktokinase dan fruktosa 1,6-
bifosfatase diperantarai oleh senyawa fruktosa 2,6-bifosfat. Pembentukan
dan pemecahan senyawa pengatur ini dikatakan fruktosa 2,6-bifosfat
sejajar dengan perubahan untuk glukosa dan insulin yaitu konsentrasinya
meningkat bila glukosa banyak dan berkurang bila glukosa sedikit.
Fruktosa 3,6-bifosfat secara alosterik mengaktifkan fosfofruktokinase dan
menghambat fruktosa 1,6-bifosfatase. Jadi, bila glukosa banyak, glikolisis
aktif dan glukoneogenesis dihambat. Bila kadar glukosa turun,
peningkatan glukagon mengakibatkan penurunan konsentrasi fruktosa 2,6-
bifosfat dan penghambatan yang sederajat pada glikolisis dan pengaktifan
glukoneogenesis (Colby,1998).

8) Siklus Cori
Lokalisasi enzim-enzim tertentu hanya dalam sel-sel tertentu
berarti bahwa beberapa organ tergantung pada yang lain untuk melengkapi
metabolisme substrat tertentu. Selama karbohidrat diperhitungkan, hati dan
otot rangka menjalankan suatu kerjasama metabolisme tertentu. Otot
rangka memperoleh ATP selama berlatih, hampir semuanya dari glikolisis.
Sebagai hasilnya, produk akhir latat memasuki darah. Latat ini kemudian
dihilangkan dari darah oleh hati terutama melalui isozim M4 laktat
dehidrogenase yang mengkatalisis konversi cepat laktat menjadi piruvat.
Bila hati biasanya dalam keadaan berenergi tinggi, maka mayoritas piruvat
ini diubah oleh jalur glukoneogenesis menjadi glukosa 6-fosfat. Senyawa
ini bisa dihidrolisis menjadi glukosa dengan enzim glukosa-6-fosfatase
yang kemudian dapat memasuki darah, dimana glukosa ditranspor menuju
otot rangka. Dalam otot rangka, glukosa diubah menjadi glukosa 6-fosfat
dengan enzim heksokinase lalu memasuki glikolisis. Proses ini disebut
siklus Cori (Ngili,2009).

Sumber : Ngili, Biokimia Metabolisme Bionergetika,2009.


Gambar 2.8. Pembentukan asam laktat.

b. Hormon

Mekanisme kontrol hormon yang berperan dalam metabolisme karbohidrat.


Peredaran zat gizi termasuk karbohidrat, protein dan lemak dipengaruhi oleh
berbagai hormon, diantaranya ialah insulin, glukagon, epinefrin, kortisol dan
hormon pertumbuhan (growth hormon). Pada berbagai kondisi insulin dan
glukagon secara normal merupakan hormon pengatur yang paling dominan
mengubah jalur metabolik dari anabolisme menjadi metabolisme bolak balik dan
penghemat glukosa yang tergantung pada kondisi tubuh saat kenyang atau puasa.

1) Mekanisme kontrol insulin.

Insulin memiliki efek penting pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan


protein. Hormon ini menurunkan kadar glukosa, asam lemak, dan asam
amino dalam darah serta mendorong penyimpanan zat-zat gizi tersebut.
Hormon insulin digunakan secara nyata untuk mempengaruhi metabolisme
karbohidrat dan protein pada otot rangka. Hormon ini memudahkan
penyerapan glukosa dan asam amino dalam otot rangka dan hati, dengan
demikian berperan dalam proses yang disebut glikogenesis.

Secara bersamaan insulin menghalangi pelepasan glukosa hati dan produksi


glukosa baru dari nutrien non karbohidrat atau glukoneogenesis masuknya
glukosa kedalam otot rangka dan ke jaringan adiposa hanya melalui di membran
plasma yang dikenal sebagai glucose transporter. Glucose transporter ini adalah
glucose transporter 4 atau yang lebih dikenal dengan istilah Glut 4 ini ditemukan
pada jaringan adiposa dan otot serang lintang (otot rangka dan jantung).
Insulin meningkatkan mekanisme difusi terfasilitasi (dengan perantara pembawa)
glukosa ke dalam sel-sel tergantung insulin tersebut melalui fenomena transporter
recruitment. Pengangkut-pengangkut tersebut diinsersikan ke dalam membran
plasma sebagai respon terhadap peningkatan sekresi insulin, sehingga terjadi
peningkatan pengangkutan glukosa ke dalam sel (Bawono, 2008).

a) Kadar glukosa

PERKENI (2015) menggolongkan kadar glukosa darah menjadi 3 bagian


yaitu diabetes, prediabetes, dan normal. Hasil pemeriksaan tersebut
meliputi HbA1c, glukosa darah puasa dan glukosa plasma 2 jam setelah
TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral).

b) Cara menghitung kebutuhan insulin injeksi


Menghitung kebutuhan insulin injeksi berbeda-beda sesuai dengan berat
badan masing-masing pasien.

Berikut gambar mengenai cara menghitung kebutuhan injeksi insulin :


c) Kelebihan hormon insulin

Kelebihan hormon insulin atau hiperinsulinemia juga menyebabkan


sindrom metabolik, gangguan yang ditandai dengan kadar insulin yang
tinggi, obesitas, kadar lipid yang tinggi dan resistensi insulin. Kadar
insulin yang tinggi juga dapat meningkatkan kadar hormon laki-laki pada
wanita, yang mengarah kepada sindrom ovarium polikistik (PCOS)
(Rubenstein, et.al., 2007).

d) Defisiensi hormon insulin.

Dengan tidak adanya insulin, tubuh tidak mampu memanfaatkan glukosa


sebagai energi didalam sel. Akibatnya glukosa tetap di aliran darah dan
dapat menyebabkan gula darah tinggi, yang dikenal sebagai hiperglikemia.
Hiperglikemia kronik adalah tingginya kadar gula darah yang berlangsung
lama, dan ini merupakan karakteristik dari diabetes melitus.
2) Mekanisme kontrol glukagon

Glukagon mempengaruhi banyak proses metabolisme yang juga


dipengaruhi oleh insulin dan berlawanan dengan efek insulin.
Glukagon bekerja terutama di hati. Tempat hormon ini menimbulkan
berbagai efek pada metabolisme karbohidrat, yaitu efek pada
karbohidrat mengakibatkan peningkatan pembentukan dan pengeluaran
glukosa oleh hati sehingga terjadi peningkatan kadar glukosa darah.

Glukagon menimbulkan efek hiperglikemik dengan menurunkan


sintesis glikogen, meningkatkan glikogenolisis dan merangsang
glukoneogenesis. Faktor utama yang mengatur sekresi glukagon adalah
efek dan konsentrasi glukosa darah pada pankreas endokrin. Ketika
glukosa darah mengalami penurunan maka sel ɑ-pankreas
meningkatkan sekresi glukagon. Efek hiperglikemik hormon ini
cenderung memulihkan konsentrasi glukagon darah ke tingkat normal.
Sebaliknya peningkatan glukosa darah seperti yang telah terjadi,
setelah makan akan menghambat sekresi glukagon yang juga
cenderung memulihkan kadar glukosa darah ke kadar normal.
a) Kelebihan hormon glukagon

Glukagon adalah hormon yang meningkatkan kadar gula darah,


kelebihannya akan memperparah hiperglikemia pada diabetes
melitus. Pada kasus glaukoma dan tumor sel alfa pankreas kadar
glukagon dapat sangat tinggi yaitu sekitar 500-1000 pg/ml (Kee,
2002).

b) Defisiensi hormon glukagon

Efek keseluruhan glukagon pada metabolisme karbohidrat timbul


akibat peningkatan pembentukan dan pengeluaran glukosa oleh
hati sehingga terjadi peningkatan kadar glukosa darah. Defisiensi
glukagon dapat menimbulkan hipoglikemia. Pada orang dewasa
nilai rujukan kandungan glukagon plasma adalah 50-200 pg/ml
(Kee, 2002).

6. Kebutuhan dan Simpanan Karbohidrat


a. Kebutuhan Karbohidrat per Hari
Angka kebutuhan karbohidrat per harinya pasti berbeda-beda setiap
orang, tergantung dari umur, jenis kelamin, kondisi tubuh, dan lain-lain.
Namun Kementerian Kesehatan Republik Indonesia sudah menetapkan
angka kebutuhan karbohidrat bagi rakyat Indonesia, dimana angka tersebut
dapat dijadikan acuan bagi kita.
Tabel Angka Kecukupan Karbohidrat yang Dianjurkan (per orang per hari) Sumber:
PMK no. 28 tahun 2019 tentang Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan untuk
Masyarakat Indonesia.

b. Simpanan Karbohidrat
Glikogen adalah bentuk penyimpanan karbohidrat pada mamalia. Pada
manusia, mayoritas glikogen disimpan di otot rangka (∼500 g) dan hati
(∼100 g). Glikogen disimpan secara intraseluler akan segera tersedia untuk
memproduksi energi, dan laju produksi energi jauh melebihi fluks glukosa
ke otot rangka. Maka dari itu, glikogen otot mungkin penting untuk
kelangsungan hidup selama keadaan darurat akut sebagai substrat untuk
reaksi "fight or flight", sedangkan lemak yang terakumulasi penting untuk
kelangsungan hidup di waktu kelaparan (Jensen et al., 2011).
Kandungan glikogen lebih tinggi pada subjek yang dilatih ketahanan
dibandingkan dengan yang tidak terlatih, dan banyaknya glikogen
meningkat pada otot setelah latihan ketahanan (Burgomaster et al., 2005).
Sebaliknya, jika asupan karbohidrat manusia itu dalam jumlah tinggi dan
berkepanjangan tidak akan meningkatkan kandungan glikogen pada otot
rangka, dan kelebihan karbohidrat yang dikonsumsi diubah menjadi lipid
(Jensen, 2009). Oleh karena itu, kandungan glikogen di otot rangka pada
orang obesitas dan diabetes tipe 2 sebanding dengan subjek kurus atau
mungkin berkurang (He and Kelley, 2004). Karena olahraga meningkatkan
kapasitas penyimpanan glikogen dalam otot rangka, kemungkinan
ketidakaktifan akan mengurangi kapasitas penyimpanan.

7. Dampak kelebihan dan kekurangan karbohidrat.


Kekurangan atau kelebihan karbohidrat dapat pula menimbulkan berbagai
gangguan atau penyakit, diantaranya :
a. Lemas dan lesu
Hal ini mengingat fungsi dari karbohidrat sendiri, khususnya glikogen
sebagai asupan energi bagi otot-otot tubuh. Ketika asupan karbohidrat
berkurang, tubuh akan merasa lemah dan tidak berenergi sehingga
menghilangkan minat untuk melakukan aktivitas.
b. Kekurangan energi dan Protein (KEP)
Pada dasarnya penyakit kekurangan energi dan protein ini terjadi
karena seseorang mengalami defisiensi terhadap asupan kalori dan protein,
biasanya disertai dengan pola makan yang tidak seimbang. Penyakit KEP ini
paling sering menyerang balita yang sedang mengalami masa pertumbuhan,
khususnya anak-anak usia 2-4 tahun, namun penyakit ini juga bisa terjadi
pada ibu hamil yang biasanya kekurangan makanan secara menyeluruh.
Beberapa gejala penderita KEP ini dapat dilihat secara langsung,
khususnya penderita dengan usia balita. Salah satu gejalanya adalah raut
wajah seperti orang tua dan memiliki kesan kulit yang terlalu besar untuk
anak-anak sehingga membuat lipatan-lipatan kulit di tubuhnya salah satunya
di bokong. Anak juga terlihat lemas dan pasif terhadap keadaan sekitar
(Arisman, 2004).
c. Lactose Intolerance
Penyakit Lactose Intolerance merupakan penyakit gangguan
metabolik yang disebabkan oleh disakarida laktosa. Pada manusia normal,
laktosa di dalam saluran pencernaan akan dipecah menjadi glukosa dan
galaktosa oleh bantuan enzim laktase. Namun pada penderita penyakit
lactose intolerance terjadi kekurangan enzim laktase yang mengakibatkan
laktosa tidak dapat dicerna. Laktosa yang tidak dicerna yang membuat kadar
laktosa di dalam saluran tinggi dan menjadi pemicu dari timbulnya rasa
tidak nyaman pada usus. Ketidakmampuan usus halus mencerna laktosa ini
ditandai dengan gejala kejang perut, diare, dan perut kembung jika minum
susu.
d. Hipoglikemia
Pada dasarnya glukosa dapat ditemukan dalam darah karena fungsinya
sebagai penyedia energi bagi sel dan jaringan tubuh yang dilewatinya.
Rendahnya kadar glukosa dalam darah dapat menyebabkan hipoglikemia.
Salah satu gejala terberat dari penyakit ini dapat menyebabkan kehilangan
kesadaran atau koma, karena saraf pusat dan otak kekurangan asupan
glukosa yang menjadi sumber tenaganya. Pada situasi seperti ini harus
diberikan suntikan glukosa untuk memulihkan fungsi otak.
e. Diabetes Melitus
Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik yang berkaitan erat
dengan glukosa. Para peneliti dan ilmuwan berpendapat bahwa faktor utama
dari penyakit ini adalah kurangnya hormon insulin. Hormon ini lah yang
memiliki kemampuan untuk mengatur metabolisme glukosa dalam tubuh
(Sediaoetama, 2008). Pada dasarnya fungsi insulin adalah mengubah
glukosa menjadi glikogen pada sel hari ataupun otot ketika kadar glukosa
dalam darah tinggi. Sebaliknya apabila glukosa dalam darah rendah, maka
glikogen di dalam hati akan digunakan sehingga menaikkan kembali
konsentrasi glukosa di dalam aliran darah.
Pada penderita diabetes melitus yang memiliki defisiensi insulin,
glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke sel lainnya sehingga
terkonsentrasi dengan tinggi di luar sel dan di sel darah itu sendiri. Glukosa
yang tertimbun ini tidak dapat digunakan sebagai untuk menghasilkan
energi, karenanya glukosa yang bertumpuk dalam aliran darah akan dibuang
melalui ginjal ke dalam urine. Hal inilah yang disebut juga kencing manis
(Sediaoetama, 2008).
f. Obesitas
Obesitas atau kegemukan ini merupakan salah dampak dari kelebihan
gizi yang dapat ditandai dengan penimbunan lemak dengan berlebihan pada
tubuh dan mengakibatkan kenaikan berat badan. Kelebihan berat badan ini
salah satu penyebabnya adalah tidak seimbangnya antara konsumsi kalori
dan kebutuhan energi tubuh, dimana konsumsi kalori yang berlebihan
dibanding dengan kebutuhan tubuhnya. Kelebihan energi inilah nantinya
akan disimpan dalam bentuk lemak.

8. Menilai status karbohidrat dalam tubuh.


Selain simpanan karbohidrat dalam bentuk glikogen di otot dan hati,
hadirnya karbohidrat di dalam tubuh juga banyak terdapat di darah. Hingga
saat ini, penelitian menunjukkan bahwa glukosa merupakan monosakarida
yang paling banyak ditemukan di dalam darah. Istilah ‘gula darah’ juga
merujuk pada kandungan atau tingkat glukosa dalam darah (Seager and
Slabaugh, 2012).
Status karbohidrat di dalam tubuh bisa diketahui melalui status atau
kadar gula darah tubuh. Pada orang dewasa, kadar gula darah normal yang
diukur setelah puasa 8-12 jam berada pada kisaran 70–110 mg/100 mL. Kadar
gula darah mencapai maksimum sekitar 140–160 mg/100 mL sekitar 1 jam
setelah makan makanan yang mengandung karbohidrat. Keadaan ini akan
kembali normal setelah 2–2½ jam (Seager and Slabaugh, 2012).
Kadar atau status gula darah dikatakan rendah, apabila berada di bawah
kadar gula darah puasa normal (<70 mg/100 mL). Kondisi ini disebut dengan
hipoglikemia. Sedangkan keadaan di mana kadar gula darah di atas normal
disebut dengan hiperglikemia. Jika kadar gula darah melebihi 180 mg/100
mL, maka glukosa akan kembali diekskresikan melalui urin, dan kondisi ini
disebut glukosuria. Kondisi kadar gula yang rendah maupun tinggi dapat
menjadi penanda akan rendah atau tingginya status keberadaan karbohidrat di
dalam tubuh (Seager and Slabaugh, 2012).

Sumber: Seager, S., and Slabaugh, M., (2014). Chemistry for Today: General, Organic,
and Biochemistry. 8th ed. Belmont, CA: Cengage Learning.

Kenaikan glukosa darah dikenal sebagai respon glikemik dan tergantung


pada kecepatan dan tingkat pencernaan, absorpsi, serta pengosongan plasma
dari glukosa yang diedarkan. Perbedaan kecepatan cerna karbohidrat pada
makanan ditunjukkan dalam Indeks Glikemik (IG). Semakin tinggi IG maka
semakin cepat dan semakin banyak pula kandungan glukosa cerna yang dapat
menaikkan kadar glukosa darah, begitu pula sebaliknya. Setiap makanan
memiliki IG yang berbeda (Tabel 8.1). IG ini yang kemudian menjadi indikator
risiko suatu pangan terhadap penyakit diabetes―yang merupakan efek dari
tingginya status karbohidrat dalam tubuh (Mann and Truswell, 2017).
Tabel 8.1. Indeks Glikemik pada Makanan yang Mengandung Karbohidrat
Sumber: Mann, J. and Truswell, S., (2012). Essentials of Human Nutritions. 4th ed. New
York: Oxford University Press.
REFERENSI

1. Adi, Soelistijo dkk. 2015. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan


Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. PB PERKENI.
2. Almatsier, S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
3. Arisman. 2004. Gizi Dalam Daur Kehidupan. EGC. Jakarta.
4. Bawono MN. Kontrol Hormon Insulin dan Glukagon Dalam Perubahan
Metabolisme Selama Latihan. Ejournal Universitas Negeri Surabaya. 2008;
2(2).
5. Burgomaster, K., Hughes, S., Heigenhauser, G., Bradwell, S. and Gibala,
M., 2005. Six sessions of sprint interval training increases muscle oxidative
potential and cycle endurance capacity in humans. Journal of Applied
Physiology, 98(6), pp.1985-1990.
6. Campbell. 2008. Biology Concepts dan Connection. 9 Edition. San
Francisco : Pearson Benjamin Cummings.
7. Colby, D.S., 1998. Ringkasan Biokimia Harper. Jakarta : EGC.
8. FAO. n.d. Dietary Carbohydrates Composition. USA: fao.org.
9. Gropper, S. and Smith, J., 2012. Advanced Nutrition And
Human Metabolism. 6th ed. Wadsworth, Ohio, USA: Cengage
Learning.
10. Harjasasmita. 2003. Ikhtisar biokimia dasar B. Jakarta : FKUI.
11. He, J. and Kelley, D., 2004. Muscle glycogen content in type 2 diabetes
mellitus. American Journal of Physiology-Endocrinology and Metabolism,
287(5), pp.E1002-E1007.
12. Jensen J. 2009. The role of skeletal muscle glycolysis in whole body
metabolic regulation and type 2 diabetes, in Glycolysis: Regulation,
Processes and Diseases, ed. Lithaw H. New York: Nova Science Publishers,
Inc., 65–83.
13. Jensen, J., Rustad, P., Kolnes, A. and Lai, Y., 2011. The Role of Skeletal
Muscle Glycogen Breakdown for Regulation of Insulin Sensitivity by
Exercise. Frontiers in Physiology, 2.
14. Kee, J. L. 2002. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik, Edisi
1. Jakarta: EGC.
15. Mann, J. and Truswell, S., (2012). Essentials of Human Nutritions. 4th ed.
New York: Oxford University Press.
16. Marks, D.B, Marks, A.L dan Smith, C.M. 2012.Biokimia Kedokteran
Dasar. Jakarta : EGC.
17. Martini, F. 2012. Fundamentals of Anatomy & Physiology. 9th ed. Boston.
18. McMurry, J. (2016). Organic Chemistry. 9th ed. Boston, MA: Cengage
Learning.
19. Miharja, L., 2004. Sistem Energi Dan Zat Gizi Yang Diperlukan Pada
Olahraga Aerobik Dan Anaerobik. Majalah Gizi Medik Indonesia. Jakarta :
Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.
20. Murray, dkk, 2009. Biokimia Harper. Jakarta : EGC.
21. Ngili, Y,. 2009. Biokimia metabolisme Bioenergetika. Jakarta : Graham
Ilmu.
22. Poedjiadi, Anna,. Dasar-dasar Biokimia, Penerbit UI-Press, Jakarta, 1994.
23. Rubenstein, David, dkk. 2007. Lecture Notes Kedokteran Klinis. Dialih
bahasakan oleh Annisa Rahmalia. Jakarta : Erlangga.
24. Seager, S., and Slabaugh, M., (2014). Chemistry for Today:
General, Organic, and Biochemistry. 8th ed. Belmont, CA: Cengage
Learning.
25. Sediaoetama, A.D. 2008. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Dian
Rakyat. Jakarta.
26. Slavin, J., and Carlson, J., (2014). Carbohydrates. Advances in Nutritions,
5(6), pp. 760-761.
27. Tortora, G. J. 2016. Principles of anatomy and physiology. 15th ed.
Hoboken, NJ: J. Wiley.
28. Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan
Gizi, di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta: LIPI.
PERTANYAAN

1. Callista (13): Bentuk Karbohidrat Apa yang Paling Mudah Diserap oleh
Tubuh?
Bentuk karbohidrat yang paling mudah diserap oleh tubuh ialah
karbohidrat simpleks, seperti glukosa, fruktosa, laktosa, dll. Dimana karbohidrat
simpleks sendiri terdiri dari gula tunggal (monosakarida) dan gula ganda
(disakarida) yang strukturnya lebih sederhana dibanding dengan oligosakarida
dan polisakarida.
Karbohidrat simpleks ini dengan mudah dicerna dan digunakan sebagai
energi, menyebabkan peningkatan cepat gula darah dan sekresi insulin dari
pankreas. Maka dari itu biasanya kita akan lebih mudah merasa lapar kembali
ketika mengonsumsi karbohidrat simpleks dibanding dengan karbohidrat
kompleks (Holesh, et al., 2020).
- Sumber: Holesh, J. E., Aslam, S., and Martin, A., 2020. Physiology,
Carbohydrate. USA: StatPearls Publishing LLC.

2. Jika pada proses glikolisis ada reaksi yang tidak reversibel, bagaimana dengan
pada reaksi glukoneogenesis?
Pada dasarnya proses glukoneogenesis adalah sintesis glukosa dari
senyawa-senyawa non karbohidrat, misal asam laktat dan beberapa asam amino.
Walaupun proses glukoneogenesis mirip dengan glikolisis karena sama-sama
adalah proses reaksi sintesis glukosa. Namun glikolisis bukan kebalikan dari
glukoneogenesis, karena ada 3 tahap dalam reaksi glikolisis yang tidak
reversibel, sehingga diperlukan enzim lain untuk reaksi kebalikannya. Dengan
adanya 3 tahap reaksi tersebut maka proses proses glukoneogenesis berlangsung
melalui tahap reaksi lain (yang tidak sama dengan glikolisis).
- Sumber: Colby, D. S., 1998. Ringakasan Biokimia Harper. Jakarta:
Penerbit EGC.
3. Apakah lactose intolerance bisa diberikan treatment tertentu agar menjadi
normal? Bagaimana pada kasus lactose intolerance yang diturunkan dari
orang tuanya?
Pada bayi dan anak-anak umumnya kandungan enzim laktose dalam tubuh
relatif tinggi. tetapi setelah dewasa , sebagian indiividu mengalami penurunan
enzim laktase sehingga tidak tahan mengonsumsi susu. Oleh karenanya terdapat
anjuran untuk mempraktikkan minum susu dari masa anak-anak guna tubuh
terus memproduksi enzim laktase secara cukup (Fikawati, dkk. 2020).
Sejauh ini dari apa yang saya baca, intoleransi laktosa ini belum ada
pengobatannya, hanya saja dapat mengendalikan gejala dan faktor pemicunya.
Buat penderita ini bukan berarti benar-benar tidak dapat mengonsumsi produk
susu, hanya saja jumlahnya dibatasi. Alternatif lain ialah mengkonsusi produk
susu yang difermentasi karena memiliki laktosa yang rendah sehingga mudah
untuk dicerna tubuh penderita. (Saputra, 2019).
Untuk penderita juga dapat menyuntikkan atau memasukkan enzim laktose
yang berupa obat tablet atau tetes obat yang dapat membantu tubuh dalam
mencerna produk susu. Namun efek dan reaksi tubuh berbeda-beda, tidak semua
dapat terbantu akan hal ini. Untuk yang keturunan kan khususnya bagi bayi bisa
mengonsumsi produk rendah laktosa sejenis susu, seperti susu kedelai dll
(Fikawati, dkk. 2020).
- Sumber:
1) Fikawati, S. Syafiq, A. Karima, K, 2015. Gizi Ibu dan Bayi. Depok:
Rajawali Pers.
2) Saputra, G. D., 2019. INTOLERANSI LAKTOSA: VARIASI
PEMERIKSAAN PENUNJANG DAN TATALAKSANA. Lampung:
Fakultas Kedokteran UNILA.

4. Bagaimana metabolisme karbohidrat saat tubuh berolahraga?


Kontraksi otot saat melakukan olshraga membutuhkan ATP. Salah satu
sumber ATP tersebut adalah karbohidrat. Glukosa dan glikogen perlu dikonversi
menjadi glukosa-6-fosfat sebelum bisa digunakan untuk menghasilkan energi.
Salah satu nasib glukosa-6-fosfat adalah dikonversi menjadi asam laktat
(glikolisis anaerobik), yang akan menghasilkan 3 ATP per molekul glikogen
atau 2 ATP per molekul glukosa. Efek samping asam laktat adalah kelelahan
pada otot. ATP dari glikolisis anaerobik tidak cukup untuk olahraga dengan
durasi yang panjang. Maka kebutuhan oksigen akan meningkat agar tubuh bisa
menjalankan proses glikolisis aerobik .
- Sumber: Mul, J., et al. 2015. Exercise and Regulation of Carbohydrate
Metabolism. Progress in Molecular Biology and Translational Science,
135, pp. 17-37.

5. Sumber utama karbohidrat adalah serealia, umbi, kacang, sayuran, dan


sebagainya. Bagaimana proses anabolisme karbohidrat pada tumbuhan
tersebut?
Proses anabolisme atau penyusunan senyawa karbohidrat yang pada
umumnya ialah glukosa (C6H12O6) pada tumbuhan terjadi melalui proses
fotosintesis. Secara umum, proses fotosintesis membutuhkan molekul CO2,
H2O, dan dibantu dengan adanya sinar matahari. Namun, secara lebih spesifik
proses fotosintesis melalui dua reaksi besar yang berbeda yaitu, reaksi terang dan
reaksi gelap (siklus Calvin). Dimana setiap reaksi membutuhkan dan
menghasilkan bahan yang juga berbeda-beda (Reece, et al., 2014).
Proses pembentukan karbohidrat terjadi pada siklus Calvin. Reaksi ini
terjadi pada stroma kloroplas dan tidak membutuhkan sinar matahari dalam
prosesnya. Dalam membentuk karbohidrat dibutuhkan ATP dan NADPH yang
merupakan hasil dari reaksi terang, serta CO 2 dari alam yang merupakan bahan
penting di siklus ini (Reece, et al., 2014).
Siklus dimulai dengan pengikatan/fiksasi atom karbon pada CO 2 oleh
ribulosa bifosfat/RuBP membentuk dua molekul 3-fosfogliserat (PGA). Tiap-
tiap molekul PGA mendapat donor fosfat dari ATP dan membentuk 1,3-
bifosfogliserat. Setelah itu, terjadi reaksi reduksi, di mana satu atom fosfat dari
tiap-tiap molekul lepas sehingga terbentuk 3-fosfogliseraldehid (PGAL). Setiap
dua molekul PGAL yang terbentuk dari tiap siklusnya, akan membentuk glukosa
dan disimpan sebagai cadangan makanan tumbuhan tersebut. Gula (glukosa)
inilah yang menjadi salah satu sumber karbohidrat pada tumbuhan yang
dikonsumsi manusia (Reece, et al., 2014).
-Sumber: Reece, et al., 2014. Campbell Biology. 10th ed. USA: Pearson
Education, Inc.

Anda mungkin juga menyukai