Oleh :
Kelompok: 4
1. Yulia Kevin (161810301004)
2. Amanda Dwi Widyatmiko C. (161810301014)
3. Mya Hidayatul Ulfa (161810301024)
4. Faizal Aldino
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS JEMBER
2019
BAB 1. PENDAHULUAN
f. Xilosa
Xilosa merupakan karbohidrat monoskarida jenis aldosa. Xilosa dapat
diperoleh dengan cara menguraikan jerami ataupun serat nabati lainnya dengan
dilarutkan dalam asam sulfat encer. Xilosa tidak berwarna dan Xilosa berwujud
serbuk.Xilosa dapat diguankan sebagai pemanis pada penderita Diabetes
Millitus.
g. Arabinosa
Arabinosa disebut juga gula pektin.Arabinosa bersumber dari plum, getah
ceri.Arabinosa dimanfaatkan dalam bidang obat-obatan. Arabinosa berwujud
kristal berwarna putih. Arabinosa larut dalam air dan gliserol.Arabinosa tidak
larut dalam eter dan alkohol.
2. Oligosakarida
Oligosakarida merupakan karbohidrat yang tersusun dari 2-10 unit
monosakarida yang terhubung dengan ikatan glikosidik. Jika tersusun atas 2 unit
gula disebut disakarida, 3 unit gula disebut trisakarida dst (Rauf, 2015). Menurut
Lehninger (1982), contoh karbohidrat jenis oligosakarida yaitu:
a. Rafinosa
Rafinosa terdiri dari 3 molekul monosakarida yang saling berikatan.Tiga
molekul monosakrida yang membentuk rafinosa yaitu galaktosa-glukosa-
fruktosa.Atom karbon nomor 1 pada galaktosa berikatan dengan atom karbon
nomor 6 pada glukosa.Atom karbon nomor 1 pada glukosa berikatan dengan
atom karbon nomor 2 pada fruktosa. Rafinosa apabila dihidrolisis sempurna
akan menghasilkan galaktosa, glukosa dan fruktosa.
b. Stakiosa
Stakiosa merupakan krbohidrat tetrasakarida. Stakiosa dihidrolisis
sempurna akan menghasilkan 2 molekul galaktosa, 1 molekul glukosa dan 1
molekul fruktosa. Stakiosa tidak memiliki sifat mereduksi.
c. Sukrosa
Sukrosa tersusun dari 2 monosakarida yaitu glukosa dan fruktosa. Sukrosa
salah satu oligosakarida yang sangat penting dalam proses pengelolahan
makanan. Sukrosa dapat diperoleh dari pengelolahan nira dari buah kelapa,
tetes tebu, lontar. Sukrosa apabila dihidrolisis sempurna akan menghasilkan
fruktosa dan glukosa. Sukrosa diperoleh di alam sebagai gula tebu atau bit.
d. Laktosa
Laktosa merupakan kelompok karbohidrat disakarida yang memiliki 2
molekul monosakarida.Laktosa bersifat reduktif karena memiliki gugus OH
yang bebas sehingga bersifat reaktif. Laktosa merupakan karbohidrat yang
terdapat di susu. Proses pecernaan laktosa diurai oleh enzim laktase. Proses ini
akan menghasilkan glukosa dan galaktosa yang diserap oleh usus yang diubah
menjadi kalori dalam proses metabolisme.
e. Maltosa
Maltosa merupakan disakarida yang terbentuk apabila pati
dihidrolisis.Maltos terbentuk dari 2 molekul glukosa yang terhubung
dengan ikatan glikosida. Ikatan yang terbentuk antara 2 molekul glukosa
yaitu atom karbon nomor 1 pada glukosa 1 dan atom karbon nomor 4 pada
glukosa 2.
3. Polisakarida
Polisakarida merupakan Karbohidrat yang terdiri dari banyak molekul
monosakraida.Polisakarida yang terdiri dari satu monosakarida disebut
homopolisakarida. Polisakarida yang mengandung satu monosakarida dan
senyawa lain disebut heteropolisakarida. Menurut Lehninger (1982), contoh
karbohidrat jenis polisakarida yaitu:
Contoh karbohidrat termasuk polisakarida yaitu :
a. Amilum
Amilum merupakan polisakarida yang dapat diperoleh dari
tumbuhan.Amilum terdapat pada umbi – umbian.Umbi pada umbi jalar
atau singkong mengandung amilum yang banyak sehingga dapat
digunakan sebagai sumber karbohidrat.Amilum tersusun dari polimer
glukosa yaitu amilosa dan aamilopektin.
b. Glikogen
Glikogen merupakan polisakarida yang tersusun dari subunit
glukosa.Glikogen memiliki struktur seperti aamilopektin namun memiliki
banyak percabangan yaitu 8-12 residu.Glikogen ini diguanakan hewan
untuk menyimpan energi.
c. Dekstrin
Dekstrin merupakan polisakarida hasil hidrolisis amilum.Dekstrin
biasanya diguanakan sebagai bahan perekat.
d. Selulosa
Selulosa merupakan polisakarida yang terdapat pada tumbuhan.
Selulosa digunakan tumbuhan sebgai penyusun diding sel. Selulosa
merupakan rantai panjang molekul gula yang terhubung satu sama lain.
Selulosa tidak dapat digunakan sebabagai bahan makanan.Namun, selulosa
dapat diguanakan sebagai serat tumbuhan, buah-buahan.Serat berguna
dalam mempelancar pencernaan sehingga sangat dibutuhkan dalam tubuh
manusia.
Retrogradasi
Pasta / gel
Penyimpanan
syeneris
b. Gelatinasi
Granula pati yang menyerap air pada suhu kamar menyebabkan
volumenya meningkat, bila dikeringkan dapat diperoleh kristal pati yang
sama seperti sebelum mengalami penyerapan air. Jika suhu dinaikkan,
granula pati dapat membengkak dan tergelatinasi. Gelatinasi pati
merupakan pembengkakan granula pati sebagai akibat dari difusi air dalam
jumlah banyak pada suhu tertentu ( suhu gelatinasi) membentuk pasta / gel
dan terjadi perubahan bentuk kristal
Granula pati secara alami memiliki bentuk semi kristalin. Saat granula pati
dipanaskan, maka kristal pati meleleh dan berubah bentuk menjadi
amorphous. Perubahan bentuk kristal tersebut merupakan titik terjadinya
gelatinasi. Perubahan bentuk pati tersebut bersifat irreversible, artinya
granula pati tersebut tidak dapat kembali menjadi granula pati seperti
semula yang berbentuk kristal. Setiap jenis pati memiliki sifat gelatinasi
yang berbeda.Sifat gelatinasi pati dipengaruhi oleh rasio amilosa dan
amilopektin, ukuran, bentuk dan distribusi granula pati, serta ikatan
antarfraksi pati dalam granula.Amilosa dan amilopektin memberikan sifat
gelatinasi yang berbeda.Amilosa lebih mudah tergelatinasi dibanding
amilopektin.Amilosa dengan molekulnya yang lebih kecil lebih mudah
berinteraksi dengan air panas dan mencapai titik gelatinasi dibanding
amilopektin yang memilki molekul yang lebih besar.
Proses gelatinasi dipengaruhi oleh rentang suhu. Rentang suhu
gelatinasi suatu granula menunjukkan stabilitas kristal pati terhadap panas.
Suhu gelatinasi semakin tinggi maka stabilitas kristal semakin tinggi dari
granula pati. Stabilitas granula pati dapat dijadikan sebagai petunjuk arah
pengembangan produk.Pati yang memiliki stabilitas tinggi terhadap panas
baik digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan produk yang
menggunakan suhu tinggi.
c. Retrogradasi
Retrogradasi merupakan peristiawa dimana pati yang telah
tergelatinasi bila disimpan, dikeringkan atau didinginkan akan mengalami
perubahan bentuk menjadi krital. Faktor-faktor yang mempengaruhi
retrogradasi antara lain rasio amilosa dan amilopektin, suhu
penyimpananan, dan kadar air. Amilosa lebih mudah mengalami
retroogradasi dibandingkan amilopektin, sehingga semakin tinggi pati
yang mengalami retrogradasi setelah menglami gelatinasi kemudian
didinginkan, amilosa segera mengalami retrogradasi.Amilopektin
membutuhkan waktu lebih lama untuk mengalami retrogradasi.
Retrogradasi pati merupakan salah satu penentu kualitas produk
pangan.Produk roti yang mengalami staling, dengan struktur yang yang
tidak kompak merupakan dampak dari terjadinya retrogradasi pati. Produk
serealia seperti beras yang telah tergelatinasi, bila dikeringkan akan
memberikan bentuk kristal yang berbeda dari aslinya, serta lebih keras
teksturnya.
d. Syneresis
Sumber pati memiliki kemampuan pengikatan air yang
berbeda.Syneresis menunjukkan banyaknya air yang keluar dari suatu gel
atau pasta.Syneresis memberikan gambaran dari kemampuan pasta atau
gel dalam memerangkap air dan menunjukkan stabilitas dari pasta. Makin
tinggi syneresis suatu pasta, semakin tidak stabil pasta tersebut (Rauf, et,.al
2013). Syneresis dari pasta dapat diukur dengan cara disentrifugasi,
sehingga terpisah sebagian air dan pasta. Rasio dari berat air yang
dipisahkan dengan berat pasta sebelum disentrifugasi menunjukkan nilai
dari syneresis.Makin banyak jumlah air yang merembes keluar, semakin
tinggi tingkat syneresisnya, sehingga semakin tidak stabil granula pati
tersebut dalam mengikat air.
Syeneresis menjadi salah satu penentu mutu produk pangan.Beberapa
produk pangan komersial yang ditemukan di pasaran, dengan mudah
diketahui syneresisnya.Contohnya berbagai produk jely, jam dan sosis.
Produk jam dan jely dapat ditemukkan genangan air pada permukaan
produk. Demikian pula pada sosis dapat ditemukkan adanya genangan air
pada kemasan akibat dari proses syneresis. Syeneresis dapat juga
diguanakan sebagai petunjuk pemilihan teknik pengemasan suatu produk
pangan.Jika suatu produk pangan mudah mengalami syneresis, sebaiknnya
dipertimbangakan untuk tidak mengemas dengan vakum.Kondisi vakum
dapat menyebabkan terjadinya syneresis dengan lebih mudah.
e. Pencokelatan
Fenomena pencoklatan pada bahan pangan sering terjadi selama proses
penanganan dan pengelolahan bahan pangan. Terjadinya pencokelatan ada
yang diharapkan atau disengaja untuk meningkatkan citarasa dan membuat
warna bahan pangan lebih menarik , seperti pada proses pengelolahan teh
hitam dan penyabgraian kopi. Namun ada proses pencokelatan yang tidak
diharapkan, dan diupayakan untuk dihambat. Pencokelatan jenis kedua ini
dihubungkan dengan terjadinya penurunan mutu bahan pangan, seperti
pencokelatan yang terjadi pada irisan buah apel dan buah sukun.
Pencokelatan berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi 2 yaitu
pencokelatan secara enzimatik dan pencokelatan non
enzimatik.Penckelatan enzimatik disebabkan oleh aktivitas enzim oksidase
(polifenol oksidase) yang mengoksidasi senyawa polifenol. Proses
pengelolahan teh hitam dan pencokeltan pada irisan buah apel merupakan
contoh peristiwa pencokelatan enzimatik. Pencokelatan non enzimatik
terjadi karena adanya proses pemanasan pada bahan pangan, seperti
pemanasan gula dalam peristiwa karamelisasi dan pemanasan campuran
gula dan protein dalam reaksi maillard.
Latar Belakang
Komposisi umum bahan makanan baik yang berasal dari hewan maupun yang
berasal dari tumbuh-tumbuhan terdiri atas protein, lemak dan karbohidrat (Ariyadi &
Anggraini, 2010). Beras adalah salah satu bahan makanan pokok masyarakat
Indonesia yang mudah disajikan dan mempunyai nilai energi yang cukup
tinggi.Kandungan karbohidrat utama nasi berupa glukosa.Jagung juga diolah
sebagai bentuk beras untuk dimasak lebih lanjut menjadi bahan makanan pokok, dapat
pula direbus atau dibakar sebagai makanan selingan.Jagung mengandung 73-75%
karbohidrat. Kandungan karbohidrat pada jagung menyamai beras yakni 76,2%.
Nasi merupakan jenis makanan yang dikonsumsi oleh sebagian besar
masyarakat Indonesia. Nasi dapat dibuat dengan cara tradisional maupun modern.
secara modern, nasi dibuat dengan cara merebus beras dengan sejumlah air
menggunakan alat penanak sekaligus pemanas nasi atau biasa disebut dengan rice
cooker (Islamiyah, 2013).Penggunaan rice cooker berfungsi untuk
mempertahankan nasi tetap panas dan menjaga nasi tetap lunak. Akan tetapi,
penyimpanan nasi dalam rice cooker dapat menurunkan kualitas nasi. Penurunan
kualitas nasi ditandai dengan warna nasi menjadi kuning dan aromanya menjadi
tengik (Sholihin, dkk., 2010).
Jurnal ini menyatakan untuk menentukan kadar glukosa yang terdapat
pada nasi putih (beras santana) dan nasi jagung sebelum dan selama penyimpanan
dalam rice cooker kemudian menentukan kadar glukosa pada nasi putih dan nasi
jagung dengan perbandingan yang berbeda sebelum dan selama penyimpanan
dalam rice cooker. Prosedur Penelitian yang digunakan yaitu Pembuatan Larutan
Standar dan Fenol,Penetapan Panjang Gelombang Maksimum, dan Penetapan
Kadar Glukosa pada Nasi dan Nasi Jagung
Metode
Glukosa
- dilarutkan 100 mg dalam labu ukur 1000 mL
- diambil 10 mL
- diencerkan dalam labu ukur 100 mL menghasilkan larutan
standar glukosa 100 ppm
- diencerkan menjadi variasi 5 konsentrasi (10,20,30,40, dan 50
ppm)
Hasi
l
Fenol
-
- dibuat larutan standar fenol 5%
- ditimbang 5 gr fenol
- dilarutkan dengan akuades hingga volume 100 mL
Hasil
Hasil
Glukosa standar
Hasil
c. penetapan kadar glukosa pada Nasi dan Nasi jagung
Hasil
Hasil dan Pembahasan
Analisis glukosa pada nasi putih dan nasi jagung dengan menggunakan
metode spektronik 20 menunjukkan hasil sebagai berikut:
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa kadar kadar glukosa yang dimiliki jagung
dan beras berbeda. Lama waktu penyimpanan juga dapat mempengaruhi kadar
glukosa pada kedua makanan pokok tersebut. Kadar glukosa jagung pada waktu
penyimpanan 0 jam sesudah masak adalah 10,761 ppm ini merupakan kadar
glukosa yang paling rendah dari variasi 7 waktu selama penyimpanan dalam rice
cooker, sedangkan kadar glukosa jagung yang paling tertinggi adalah 32,250 ppm
dengan waktu peyimpanan 12 jam. Waktu penyimpanan 12 jam glukosa belum
mengalami penguraian, namun ketika lebih dari 12 jam glukosa sudah mulai
teroksidasi dan diubah menjadi karbondioksida dan air. Suhu pemanasan yang
cukup tinggi juga menyebabkan rusaknya senyawa-senyawa yang terdapat pada
nasi sehingga kadar glukosanya berkurang (Sholihin dkk., 2010).
Kadar glukosa pada nasi putih (tidak ditambahkan jagung) selama
penyimpanan terjadi kenaikan kadar glukosa yang tertinggi pada 18 jam yaitu
sebesar 56,488 ppm, sedangkan pada 36 jam mengalami penurunan kadar glukosa
yaitu 22,931 ppm. Dari hasil yang diperoleh dapat disimpulkan kadar glukosa
beras lebih tinggi dibandingkan dengan jagung, selain itu kadar glukosa beras
lebih tahan dibandingkan dengan jagung terhadap lama waktu penyimpanan
dalam rice cooker. Begitu pula untuk perbandingan yang lainnya umumnya
mengalami penurunan pada penyimpanan lebih dari 12 jam. Pada campuran nasi
jagung dan nasi putih mempunyai kadar glukosa yang tertinggi pada 12 jam yaitu
67,546 ppm diantara semua perbandingan dengan variasi 8 waktu selama
penyimpanan dalam rice cooker, karena jumlah nasi lebih banyak dibandingkan
dengan jagung. Selanjutnya bahwa pada 18 jam, 24 jam, 30 jam dan 36 jam kadar
glukosanya rendah. Sebagaimana Jenkins, dkk (1984) menyatakan bahwa
rendahnya kadar glukosa karena adanya peningkatan aktivitas bakteri, karena
aktivitas bakteri sangat erat hubungannya dengan proses selama peyimpanan
dalam rice cooker.
Hasil pengukuran serapan larutan glukosa pada nasi putih dan nasi jagung
dengan menggunakan spektonik 20 diperoleh data sebagai berikut: Perbandingan
kadar glukosa pada nasi putih dan nasi jagung dengan waktu yang berbeda dapat
dilihat pada grafik dibawah ini:
Penelitian lain yang dilakukan oleh Diyah et al. (2016) tentang evaluasi
kandungan glukosa dan indeks glikemik beberapa sumber karbohidrat dalam
upaya penggalian pangan ber-indeks glikemik rendah pada beberapa jenis
sumberkarbohidrat didapatkan data sebagai berikut:
Data pada tabel tersebut juga menjelaskan bawasannya kadar glukosa yang
dimiliki beras putih dan jagung lebih tinggi dalam beras putih. Hal tersebut
dikarenakan adanya perbedaan kadar amilosa dan amilopektin yang terdapat pada
pati jagung dan pati beras. Perbedaan kandungan amilosa dan amilopektin pada
keduanya dapat dilihat pada tabel berikut:
Berdasarkan tabel diatas kandungan amilosa jagung lebih tinggi dari pada
beras. Kandungan amilosa yang lebih tinggi menyebabkan pencernaan menjadi
lebih lambat karena amilosa merupakan polimer glukosa yang memiliki struktur
tidak bercabang (struktur lebih kristal dengan ikatan hidrogen yang lebih
ekstensif). Amilosa juga mempunyai ikatan hidrogen yang lebih kuat
dibandingkan dengan amilopektin, sehingga lebih sukar dihidrolisis oleh enzim-
enzim pencernaan (Behall dan Hallfrisch 2002). Struktur yang tidak bercabang ini
membuat amilosa terikat lebih kuat sehingga sulit tergelatinisasi dan akibatnya
sulit dicerna (Rimbawan dan Siagian 2004). Selain itu, amilosa mudah bergabung
dan mengkristal sehingga mudah mengalami retrogradasi yang bersifat sulit untuk
dicerna (Meyer 1973). Tingginya kadar amilosa juga akan menghasilkan nilai
indeks glikemik yang lebih rendah sehingga jagung lebih baik dikonsumsi bagi
penderita diabetes daripada beras.
Kesimpulan
Kadar glukosa yang paling rendah terdapat pada nasi jagung dan waktu 0 jam
yaitu 10,761 ppm. Kadar glukosa yang tertinggi terdapat pada waktu
penyimpanan 12 jam yaitu 32.250 ppm. Sedangkan kadar glukosa paling rendah
pada nasi putih terdapat pada waktu penyimpanan 0 jam yaitu 10,953 ppm dan
kadar paling tinggi untuk perbandingan 1:1 terdapat pada waktu penyimpanan 18
jam yaitu 27,414 ppm. Kadar glukosa pada campuran nasi jagung dan nasi putih
untuk perbandingan 1 : 3 yang terendah adalah pada waktu penyimpanan 0 jam
yaitu 51,151 ppm dan tertinggi pada waktu penyimpan 12 jam yaitu 76,546 ppm.
BAB III
KESIMPULAN